Anda di halaman 1dari 44

TUGAS EPIDEMIOLOGI

CEPHALGIA
MENURUT TEORI LEAVEL DAN CLARK

OLEH:

ESTER ZHURIRIN
NPM 2139000

PENDIDIKAN PROFESI BIDAN FAKULTAS


KEDOKTERAN UNIVERSITAS MALAHAYATI
BANDAR LAMPUNG
TAHUN 2021
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Nyeri kepala merupakan masalah umum yang sering dijumpai dalam


praktek sehari - hari, meskipun sebenarnya terutama dari jenis menahun jarang
sekali disebabkan oleh gangguan organik. Penelitian yang dilakukan di Surabaya
menunjukkan bahwa di antara 6488 pasien baru, 1227 (18,9%) datang karena
keluhan nyeri kepala, 180 di antaranya didiagnosis sebagai migren. Sedangkan di
RS Cipto Mangunkusumo, Jakarta didapatkan 273 (17,4%) pasien baru dengan
nyeri kepala diantara 1298 pasien baru yang berkunjung selama. Nyeri kepala
adalah perasaan sakit atau nyeri, termasuk rasa tidak nyaman yang menyerang
daerah tengkorak (kepala) mulai dari kening kearah atas dan belakang kepala. dan
daerah wajah. IHS tahun 1988 menyatakan bahwa nyeri pada wajah termasuk juga
dalam sakit kepala. Dalam buku-buku teks dan jurnal banyak memakai klasifikasi
1962, dan klasifikasi terbaru adalah INS 1988 yang akan dipakai dalam ICD -
WHO ke - X ada beberapa terminologi yang harus dibedakan seperti: Pusing =
vertigo, ringan kepala = like headedness, pening = dizziness, rasa ingin pingsan =
faintness, kepala berdenyut tujuh keliling dan sebagainya. Definisi menurut IASP
(International assosiation for the study of pain), nyeri adalah pengalaman sensorik
dan emosional yang tidak menyenangkan yang sedang terjadi atau telah terjadi
atau yang digambarkan dengan kerusakan jaringan.1-4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 DEFINISI CEPHALGIA


Dapat dikatakan sebagai rasa nyeri atau rasa tidak mengenakkan pada
daerah atas kepala memanjang dari orbital sampai ke daerah belakang kepala (area
oksipital dan sebagian daerah tengkuk). Nyeri kepala adalah nyeri yang berlokasi
di atas garis orbitomeatal. Pendapat lain mengatakan nyeri atau perasaan tidak
enak diantara daerah orbital dan oksipital yang muncul dari struktur nyeri yang
sensitif.1

2.2 ETIOLOGI
Nyeri kepala penyebabnya multifaktorial, seperti kelainan emosional,
cedera kepala, migraine, demam, kelainan vaskuler intrakranial otot, massa
intrakranial, penyakit mata, telinga / hidung.

2.3 PATOFISIOLOGI
Menurut Sidharta (2008), sakit kepala timbul sebagai hasil perangsangan
terhadap bagian-bagian di wilayah kepala dan leher yang peka terhadap nyeri.
Bangunan-bangunan ekstrakranial yang peka nyeri ialah otot-otot oksipital,
temporal dan frontal, kulit kepala, arteri-arteri subkutis dan periostium. Tulang
tengkorak sendiri tidak peka nyeri. Bangunan-bangunan intracranial yang peka
nyeri terdiri dari meninges, terutama dura basalis dan meninges yang mendindingi
sinus venosus serta arteri-arteri besar pada basis otak. Sebagian besar dari jaringan
otak sendiri tidak peka nyeri. Peransangan terhadap bagian-bagian itu dapat
berupa :
1. Infeksi selaput otak : meningitis, ensefalitis
2. Iritasi kimiawi terhadap selaput otak seperti pada perdarahan subdural atau
setelah dilakukan pneumo atau zat kontras ensefalografi.
3. Peregangan selaput otak akibat proses desak ruang intrakranial,
penyumbatan jalanlintasan liquor, trombosis venos spinosus, edema serebri
atau tekanan intrakranial yang menurun tiba-tiba atau cepat sekali.
4. Vasodilatasi arteri intrakranial akibat keadaan toksik (seperti pada infeksi
umum, intoksikasi alkohol, intoksikasi CO, reaksi alergik), gangguan
metabolik (seperti hipoksemia, hipoglikemia dan hiperkapnia), pemakaian
obat vasodilatasi, keadaan paska contusio serebri, insufisiensi
serebrovasculer akut).
5. Gangguan pembuluh darah ekstrakranial, misalnya vasodilatasi ( migren dan
clusterheadache) dan radang (arteritis temporalis)
6. Gangguan terhadap otot-otot yang mempunyai hubungan dengan kepala,
seperti pada spondiloartrosis deformans servikalis.

Penjalaran nyeri (reffererd pain) dari daerah mata (glaukoma, iritis), sinus
(sinusitis),baseol kranii ( ca. Nasofaring), gigi geligi (pulpitis dan molar III yang
mendesak gigi)dan daerah leher (spondiloartritis deforman servikalis. Ketegangan
otot kepala, leher bahu sebagai manifestasi psiko organik pada keadaan depresi
dan stress.

2.4 TANDA DAN GEJALA


1. Nyeri kepala dapat unilateral atau bilateral.
2. Nyeri terasa di bagian dalam mata atau pada sudut mata bagian dalam, lebih
sering didaerah fronto temporal .
3. Nyeri dapat menjalar di oksiput dan leher bagian atas atau bahkan leher
bagian bawah.
4. Ada sebagian kasus dimulai dengan nyeri yang terasa tumpul mulai di leher
bagian atas menjalar ke depan.
5. Kadang pada di seluruh kepala dan menjalar ke bawah sampai muka.
6. Nyeri tumpul dapat menjadi berdenyut-denyut yang semakin bertambah
sesuai dengan pulsasi dan selanjutnya konstan.
7. Penderita pucat, wajah lebih gelap dan bengkak di bawah mata.
8. Muka merah dan bengkak pada daerah yang sakit.
9. Kaki atau tangan berkeringat dan dingin.
10. Biasanya oliguria sebelum serangan dan poliuria setelah serangan.
11. Gangguan gastrointestinal berupa mual, muntah, dan lain-lain.
12. Kadang-kadang terdapat kelainan neurologik yang menyertai, timbul
kemudian atau mendahului serangan.

2.5 PEMERIKASAAN PENUNJANG


1. Rontgen kepala : mendeteksi fraktur dan penyimpangan struktur.
2. Rontgen sinus : Mengkonfirmasi diagnosa sinusitis dan mengidentifikasi
masalah-masalah struktur, malformasi rahang.
3. Pemeriksaan visual : ketajaman, lapang pandang, refraksi, membantu dalam
menentukan diagnosa banding.
4. CT scan Otak : Mendeteksi masa intracranial, perpindahan ventrikuler atau
hemoragi Intracranial.
5. Sinus : Mendeteksi adanya infeksi pada daerah sfenoldal dan etmoidal
6. MRI : Mendeteksi lesi/abnormalitas jaringan, memberikan informasi tentang
biokimia, fisiologis dan struktur anatomi.
7. Ekoensefalografi : mencatat perpindahan struktur otak akibat trauma, CSV
atau space occupaying lesion.
8. Elektroensefalografi : mencatat aktivitas otak selama berbagai aktivitas saat
episode sakit kepala.
9. Angeografi serebral : Mengidentifikasi lesivaskuler.
10. HSD : leukositosis menunjukkan infeksi, anemia dapat menstimulasi migren.
11. Laju sedimentasi : Mungkin normal, menetapkan ateritis temporal, meningkat
pada inflamasi.
12. Elektrolit : tidak seimbang, hiperkalsemia dapat menstimulasi migren.
13. Pungsi lumbal : Untuk mengevaluasi/mencatat peningkatan tekanan CSS,
adanya sel-sel abnormal dan infeksi.

2.6 KOMPLIKASI
Komplikasi yang dapat terjadi pada pasien dengan chepalgia meliputi :
-      Cidera serebrovaskuler / Stroke
-      Infeksi intrakranial
-       Trauma kranioserebral
-       Cemas
-       Gangguan tidur
-      Depresi
-      Masalah fisik dan psikologis lainnya

2.7 PENATALAKSANAAN
1. Migren
a. Terapi Profilaksis
1) Menghindari pemicu
2) Menggunakan obat profilaksis secara teratur
Profilaksis: bukan analgesik, memperbaiki pengaturan proses
fisiologis yang mengontrol aliran darah dan aktivitas system
syaraf
b. Terapi abortif menggunakan obat-obat penghilang nyeri dan/atau
vasokonstriktor. Obat-obat untuk terapi abortif
1) Analgesik ringan : aspirin (drug of choice), parasetamol
2) NSAIDS : Menghambat sintesis prostaglandin, agragasi
platelet, dan pelepasan 5-HT. Naproksen terbukti lebih baik
dari ergotamine. Pilihan lain : ibuprofen, ketorolak
3) Golongan triptan
a) Agonis reseptor 5-HT1D menyebabkan vasokonstriksi
Menghambat pelepasan takikinin, memblok inflamasi
neurogenik Efikasinya setara dengan dihidroergotamin,
tetapi onsetnya lebih cepat
b) Sumatriptan oral lebih efektif dibandingkan ergotamin per
oral
c) Ergotamin : Memblokade inflamasi neurogenik dengan
menstimulasi reseptor 5-HT1 presinapti.  Pemberian IV dpt
dilakukan untuk serangan yang berat
d) Metoklopramid : Digunakan untuk mencegah mual muntah.
Diberikan 15-30 min sebelum terapi antimigrain, dapat
diulang setelah 4-6 jam
e) Kortikosteroid : Dapat mengurangi inflamasi. Analgesik
opiate. Contoh : butorphanol
c. Obat untuk terapi profilaksis
1) Beta bloker. Merupakan drug of choice untuk prevensi
migraine. Contoh: atenolol, metoprolol, propanolol, nadolol.
Antidepresan trisiklik  Pilihan: amitriptilin, bisa juga:
imipramin, doksepin, nortriptilin Punya efek antikolinergik,
tidak boleh digunakan untuk pasien glaukoma atau hiperplasia
prostat
2) Metisergid. Merupakan senyawa ergot semisintetik, antagonis
5-HT2.  Asam/Na Valproat dapat menurunkan keparahan,
frekuensi dan durasi pada 80% penderita migraine.
3) NSAID. Aspirin dan naproksen terbukti cukup efektif. Tidak
disarankan penggunaan jangka panjang karena dapat
menyebabkan gangguan GI
4) Verapamil. Merupakan terapi lini kedua atau ketiga
5) Topiramat. Sudah diuji klinis, terbukti mengurangi kejadian
migrain

2. Sakit kepala tegang otot


a. Terapi Non-farmakologi
1) Melakukan latihan peregangan leher atau otot bahu sedikitnya
20 sampai 30 menit.
2) Perubahan posisi tidur.
3) Pernafasan dengan diafragma atau metode relaksasi otot yang
lain.
4) Penyesuaian lingkungan kerja maupun rumah
5) Pencahayaan yang tepat untuk membaca, bekerja,
menggunakan komputer, atau saat menonton televisi
6) Hindari eksposur terus-menerus pada suara keras dan bising
7) Hindari suhu rendah pada saat tidur pada malam hari
b. Terapi farmakologi
Menggunakan analgesik atau analgesik plus ajuvan sesuai tingkat
nyeri Contoh : Obat-obat OTC seperti aspirin, acetaminophen,
ibuprofen atau naproxen sodium. Produk kombinasi dengan kafein
dapat meningkatkan efek analgesic. Untuk sakit kepala kronis,
perlu assesment yang lebih teliti mengenai penyebabnya, misalnya
karena anxietas atau depresi. Pilihan obatnya adalah antidepresan,
seperti amitriptilin atau antidepresan lainnya. Hindari penggunaan
analgesik secara kronis memicu rebound headache
3. Cluster headache
a. Sasaran terapi : menghilangkan nyeri (terapi abortif), mencegah
serangan (profilaksis)
b. Strategi terapi : menggunakan obat NSAID, vasokonstriktor
cerebral
c. Obat-obat terapi abortif:
1) Oksigen
2) Ergotamin. Dosis sama dengan dosis untuk migrain
3) Sumatriptan. Obat-obat untuk terapi profilaksis : Verapamil,
Litium,  Ergotamin, Metisergid, Kortikosteroid, Topiramat

2.8 GAMBARAN KLINIK

Lokasi nyeri
Nyeri yang berasal dari bangunan intrakranial tidak dirasakan didalam
rongga tengkorak melainkan akan diproyeksikan ke permukaan dan dirasakan di
daerah distribusi saraf yang bersangkutan. Nyeri yang berasal dari dua pertiga
bagian depan kranium, di fosa kranium tengah dan depan, serta di supratentorium
serebeli dirasakan di daerah frontal, parietal di dalam atau belakang bola mata dan
temporal bawah. Nyeri ini disalurkan melalui cabang pertama nervus Trigeminus.1

Nyeri yang berasal dari bangunan di infratentorium serebeli di fosa


posterior (misalnya di serebelum) biasanya diproyeksikan ke belakang telinga, di
atas persendian serviko-oksipital atau dibagian atas kuduk. Nervi kraniales IX dan
X dan saraf spinal C1, C2 dan C3 berperan untuk perasaan di bagian
infratentorial. Bangunan peka nyeri ini terlibat melalui berbagai cara yaitu oleh
peradangan, traksi, kontraksi otot dan dilatasi pembuluh darah.1

Nyeri yang berhubungan dengan penyakit mata, telinga & hidung


cenderung di frontal pada permulaannya. Nyeri kepala yang bertambah hebat
menunjukkan kemungkinan massa intrakranial yang membesar (hematoma
subdural, anerysma, tumor otak) 1

Lamanya nyeri kepala


Lamanya nyeri kepala bervariasi, pada nyeri kepala tekanan (pressure
headache) disebabkan oleh ketegangan emosional dapat berlangsung berhari-hari
atau berminggu-minggu. Pada penderita migraine dirasakan nyeri kepala
paroksismal, singkat & melumpuhkan, berlansung kurang dari 30 menit.

Berulangnya nyeri kepala


Berulangnya nyeri kepala suatu fenomena yang telah diketahui. Pada
wanita yang menderita migrane akan mendapat serangan berulang ketika sedang
menstruasi. Sedangkan nyeri kepala yang berhubungan dengan gangguan hidung
akan berulang apabila sering terjadi infeksi traktus respiratorius atas yang sering
ditemukan.

2.9 KLASIFKASI NYERI KEPALA


I. Nyeri kepala PRIMER

a. Migren
b. Tension Type Headache
c. Cluster headache
d. Other primary headaches
II. Nyeri kepala SEKUNDER
a. Nyeri kepala yang berkaitan dengan trauma kepala dan / atau
leher.
b. Nyeri kepala yang berkaitan dengan kelainan vaskuler cranial
atau servikal
c. Nyeri kepala yang berkaitan dengan kelainan non vaskuler
intracranial.
d. Nyeri kepala yang berkaitan dengan substansi atau
withdrawalnya.
e. Nyeri kepala yang berkaitan dengan infeksi.
f. Nyeri kepala yang berkaitan dengan kelainan hemostasis.
g. Nyeri kepala atau nyeri vaskuler berkaitan dengan kelainan
kranium, leher, mata, telinga, hidung, sinus, gigi, mulut, atau
struktur facial atau kranial lainnya.
h. Nyeri kepala yang berkaitan dengan kelainan psikiatrik.
2.9.1 NYERI KEPALA PRIMER

A. MIGREN

Definisi
Nyeri kepala berulang dengan manifestasi serangan selama 4 - 72 jam.
Karekteristik nyeri kepala unilateral, berdenyut, intensitas sedang atau berat,
bertambah berat dengan aktivitas fisik yang rutin dan diikuti dengan mual
dan/atau fotofobia dan fonofobia.1

Epidemiologi

Migraine dapat terjadi pada 18 % dari wanita dan 6 % dari pria sepanjang
hidupnya. Prevalensi tertinggi berada diantara umur 25-55 tahun. Migraine
timbul pada 11 % masyarakat Amerika Serikat yaitu kira-kira 28 juta orang.
Prevalensi migraine ini beranekaragam bervariasi berdasarkan umur dan jenis
kelamin. Migraine dapat tejadi dari mulai kanak-kanak sampai dewasa. Migraine
lebih sering terjadi pada anak laki-laki dibandingkan dengan anak perempuan
sebelum usia 12 tahun, tetapi lebih sering ditemukan pada wanita setelah pubertas,
yaitu paling sering pada kelompok umur 25-44 tahun. Onset migraine muncul
pada usia di bawah 30 tahun pada 80% kasus. Migraine jarang terjadi setelah usia
40 tahun. Wanita hamil pun tidak luput dari serangan migraine yang biasanya
menyeang pada trimester I kehamilan. Risiko mengalami migraine semakin besar
pada orang yang mempunyai riwayat keluarga penderita migraine.3

Etiologi
Penyebab pasti migraine tidak diketahui, namun 70 – 80 % penderita
migraine memiliki anggota keluarga dekat dengan riwayat migraine juga. Risiko
terkena migraine meningkat 4 kali lipat pada anggota keluarga para penderita
migraine dengan aura. Namun, dalam migraine tanpa aura tidak ada keterkaitan
genetik yang mendasarinya, walaupun secara umum menunjukkan hubungan
antara riwayat migraine dari pihak ibu. Migraine juga meningkat frekuensinya
pada orang-orang dengan kelainan mitokondria seperti MELAS (mitochondrial
myopathy, encephalopathy, lactic acidosis, and strokelike episodes). Pada pasien
dengan kelainan genetik CADASIL (cerebral autosomal dominant arteriopathy
with subcortical infarcts and leukoencephalopathy) cenderung timbul migrane
dengan aura.1,3
Klasifikasi
Secara umum migraine dibagi menjadi dua, yaitu:
1. Migraine dengan aura
Migraine dengan aura disebut juga sebagai migraine klasik. Diawali
dengan adanya gangguan pada fungsi saraf, terutama visual, diikuti
oleh nyeri kepala unilateral, mual, dan kadang muntah, kejadian ini
terjadi berurutan dan manifestasi nyeri kepala biasanya tidak lebih
dari 60 menit yaitu sekitar 5-20 menit.
2. Migraine tanpa aura
Migraine tanpa aura disebut juga sebagai migraine umum. Sakit
kepalanya hampir sama dengan migraine dengan aura. Nyerinya pada
salah satu bagian sisi kepala dan bersifat pulsatil dengan disertai mual,
fotofobia dan fonofobia. Nyeri kepala berlangsung selama 4-72 jam.
Patofisiologi 3,4
Teori vaskular
Vasokontriksi intrakranial di bagian luar korteks berperan dalam terjadinya
migren dengan aura. Pendapat ini diperkuat dengan adanya nyeri kepala disertai
denyut yang sama dengan jantung. Pembuluh darah yang mengalami konstriksi
terutama terletak di perifer otak akibat aktivasi saraf nosiseptif setempat. Teori ini
dicetuskan atas observasi bahwa pembuluh darah ekstrakranial mengalami
vasodilatasi sehingga akan teraba denyut jantung. Vasodilatasi ini akan
menstimulasi orang untuk merasakan sakit kepala. Dalam keadaan yang demikian,
vasokonstriktor seperti ergotamin akan mengurangi sakit kepala, sedangkan
vasodilator seperti nitrogliserin akan memperburuk sakit kepala.

Teori Neurovaskular dan Neurokimia

Teori vaskular berkembang menjadi teori neurovaskular yang dianut oleh para
neurologist di dunia. Pada saat serangan migraine terjadi, nervus trigeminus
mengeluarkan CGRP (Calcitonin Gene-related Peptide) dalam jumlah besar. Hal
inilah yang mengakibatkan vasodilatasi pembuluh darah multipel, sehingga
menimbulkan nyeri kepala. CGRP adalah peptida yang tergolong dalam anggota
keluarga calcitonin yang terdiri dari calcitonin, adrenomedulin, dan amilin.
Seperti calcitonin, CGRP ada dalam jumlah besar di sel C dari kelenjar tiroid.
Namun CGRP juga terdistribusi luas di dalam sistem saraf sentral dan perifer,
sistem kardiovaskular, sistem gastrointestinal, dan sistem urologenital. Ketika
CGRP diinjeksikan ke sistem saraf, CGRP dapat menimbulkan berbagai efek
seperti hipertensi dan penekanan pemberian nutrisi. Namun jika diinjeksikan ke
sirkulasi sistemik maka yang akan terjadi adalah hipotensi dan takikardia. CGRP
adalah peptida yang memiliki aksi kerja sebagai vasodilator poten. Aksi keja
CGRP dimediasi oleh 2 reseptor yaitu CGRP 1 dan CGRP 2. Pada prinsipnya,
penderita migraine yang sedang tidak mengalami serangan mengalami
hipereksitabilitas neuron pada korteks serebral, terutama di korteks oksipital, yang
diketahui dari studi rekaman MRI dan stimulasi magnetik transkranial.
Hipereksitabilitas ini menyebabkan penderita migraine menjadi rentan mendapat
serangan, sebuah keadaan yang sama dengan para pengidap epilepsi. Pendapat ini
diperkuat fakta bahwa pada saat serangan migraine, sering terjadi alodinia
(hipersensitif nyeri) kulit karena jalur trigeminotalamus ikut tersensitisasi saat
episode migraine. Mekanisme migraine berwujud sebagai refleks trigeminal
vaskular yang tidak stabil dengan cacat segmental pada jalur nyeri. Cacat
segmental ini yang memasukkan aferen secara berlebihan yang kemudian akan
terjadi dorongan pada kortibular yang berlebihan. Dengan adanya rangsangan
aferen pada pembuluh darah, maka menimbulkan nyeri berdenyut.

Teori cortical spreading depression (CSD)

Patofisiologi migraine dengan aura dikenal dengan teori cortical spreading


depression (CSD). Aura terjadi karena terdapat eksitasi neuron di substansia nigra
yang menyebar dengan kecepatan 2-6 mm/menit. Penyebaran ini diikuti dengan
gelombang supresi neuron dengan pola yang sama sehingga membentuk irama
vasodilatasi yang diikuti dengan vasokonstriksi. Prinsip neurokimia CSD ialah
pelepasan Kalium atau asam amino eksitatorik seperti glutamat dari jaringan
neural sehingga terjadi depolarisasi dan pelepasan neurotransmiter lagi.

CSD pada episode aura akan menstimulasi nervus trigeminalis nukleus


kaudatus, memulai terjadinya migraine. Pada migraine tanpa aura, kejadian kecil
di neuron juga mungkin merangsang nukleus kaudalis kemudian menginisiasi
migren. Nervus trigeminalis yang teraktivasi akan menstimulasi pembuluh kranial
untuk dilatasi. Hasilnya, senyawa-senyawa neurokimia seperti calcitonin gene-
related peptide (CGRP) dan substansi P akan dikeluarkan, terjadilah ekstravasasi
plasma. Kejadian ini akhirnya menyebabkan vasodilatasi yang lebih hebat,
terjadilah inflamasi steril neurogenik pada kompleks trigeminovaskular. Selain
CSD, migren juga terjadi akibat beberapa mekanisme lain, di antaranya aktivasi
batang otak bagian rostral, stimulasi dopaminergik, dan defisiensi magnesium di
otak. Mekanisme ini bermanifestasi pelepasan 5-hidroksitriptamin (5-HT) yang
bersifat vasokonstriktor. Pemberian antagonis dopamin, misalnya Proklorperazin,
dan antagonis 5-HT, misalnya Sumatriptan dapat menghilangkan migraine dengan
efektif.

Manifestasi Klinis 2,3

Migraine tanpa aura

Serangan dimulai dengan nyeri kepala berdenyut di satu sisi dengan durasi
serangan selama 4-72 jam. Nyeri bertambah berat dengan aktivitas fisik dan
diikuti dengan nausea dan atau fotofobia dan fonofobia.
Migraine dengan aura

Sekitar 10-30 menit sebelum sakit kepala dimulai (suatu periode yang disebut
aura), gejala-gejala depresi, mudah tersinggung, gelisah, mual atau hilangnya
nafsu makan muncul pada sekitar 20% penderita. Penderita yang lainnya
mengalami hilangnya penglihatan pada daerah tertentu (bintik buta atau skotoma)
atau melihat cahaya yang berkelap-kelip. Ada juga penderita yang mengalami
perubahan gambaran, seperti sebuah benda tampak lebih kecil atau lebih besar
dari sesungguhnya. Beberapa penderita merasakan kesemutan atau kelemahan
pada lengan dan tungkainya. Biasanya gejala-gejala tersebut menghilang sesaat
sebelum sakit kepala dimulai, tetapi kadang timbul bersamaan dengan munculnya
sakit kepala. Nyeri karena migraine bisa dirasakan pada salah satu sisi kepala atau
di seluruh kepala. Kadang tangan dan kaki teraba dingin dan menjadi kebiru-
biruan. Pada penderita yang memiliki aura, pola dan lokasi sakit kepalanya pada
setiap serangan migran adalah sama. Migraine bisa sering terjadi selama waktu
yang panjang tetapi kemudian menghilang selama beberapa minggu, bulan bahkan
tahun. Migraine dengan aura dapat dibagi menjadi empat fase, yaitu:

 Fase I Prodromal

Sebanyak 50% pasien mengalami fase prodromal ini yang berkembang


pelan-pelan selama 24 jam sebelum serangan. Gejala: kepala terasa ringan,
tidak nyaman, bahkan memburuk bila makan makanan tertentu seperti
makanan manis, mengunyah terlalu kuat, sulit/malas berbicara.

 Fase II Aura.

Berlangsung lebih kurang 30 menit, dan dapat memberikan kesempatan


bagi pasien untuk menentukan obat yang digunakan untuk mencegah
serangan yang dalam. Gejala dari periode ini adalah gangguan penglihatan
(silau/fotofobia), kesemutan, perasaan gatal pada wajah dan tangan, sedikit
lemah pada ekstremitas dan pusing.

 Fase III sakit kepala

Fase sakit kepala berdenyut yang berat dan menjadikan tidak mampu yang
dihubungkan dengan fotofobia, mual dan muntah. Durasi keadaan ini
bervariasi, beberapa jam dalam satu hari atau beberapa hari.

 Fase IV pemulihan

Periode kontraksi otot leher dan kulit kepala yang dihubungkan dengan
sakit otot dan ketegangan lokal. Kelelahan biasanya terjadi, dan pasien
dapat tidur untuk waktu yang panjang.

Pemeriksaan Penunjang 5

a. Pemeriksaan Laboratorium

Dilakukan untuk menyingkirkan sakit kepala yang diakibatkan oleh penyakit


struktural, metabolik, dan kausa lainnya yang memiliki gejala hampir sama
dengan migraine. Selain itu, pemeriksaan laboratorium dapat menunjukkan
apakah ada penyakit komorbid yang dapat memperparah sakit kepala dan
mempersulit pengobatannya.
b. Pencitraan

CT scan dan MRI dapa dilakukan dengan indikasi tertentu, seperti: pasien
baru pertama kali mengalami sakit kepala, ada perubahan dalam frekuensi serta
derajat keparahan sakit kepala, pasien mengeluh sakit kepala hebat, sakit kepala
persisten, adanya pemeriksaan neurologis abnormal, pasien tidak merespon
terhadap pengobatan, sakit kepala unilateral selalu pada sisi yang sama disertai
gejala neurologis kontralateral.

c. Pungsi Lumbal

Indikasinya adalah jika pasien baru pertama kali mengalami sakit kepala, sakit
kepala yang dirasakan adalah yang terburuk sepanjang hidupnya, sakit kepala
rekuren, onset cepat, progresif, kronik, dan sulit disembuhkan. Sebelum dilakukan
LP seharusnya dilakukan CT scan atau MRI terlebih dulu untuk menyingkirkan
adanya massa lesi yang dapat meningkatkan tekanan intracranial.

Diagnosis

Migraine tanpa aura

A. Sekurang-kurangnya terjadi 5 serangan yang memenuhi kriteria B-D.


B. Serangan nyeri kepala berlangsung selama 4-72 jam (tidak diobati atau tidak
berhasil diobati).
C. Nyeri kepala mempunyai sedikitnya dua diantara karakteristik berikut :
1. Lokasi unilateral
2. Kualitas berdenyut
3. Intensitas nyeri sedang atau berat
4. Keadaan bertambah berat oleh aktifitas fisik atau penderita menghindari
aktivitas fisik rutin (seperti berjalan atau naik tangga).
D. Selama nyeri kepala disertai salah satu dibawah ini :
1. Mual dan/atau muntah
2. Fotofobia dan fonofobia
E. Tidak berkaitan dengan kelainan yang lain.

Migraine dengan aura

Aura tipikal terdiri dari gejala visual dan/atau sensoris dan/atau berbahasa.
Yang berkembang secara bertahap, durasi tidak lebih dari 1 jam, bercampur
gambaran positif dan negatif, kemudian
menghilang sempurna yang memenuhi kriteria migraine tanpa aura.
Kriteria diagnostik :
A. Sekurang-kurangnya terjadi 2 serangan yang memenuhi criteria B-D.
B. Adanya aura yang terdiri paling sedikit satu dari dibawah ini tetapi tidak
dijumpai kelemahan motorik:
1. Gangguan visual yang reversibel seperti : positif (cahaya yang berkedip-
kedip, bintik-bintik atau garis-garis) dan negatif (hilangnya
penglihatan).
2. Gangguan sensoris yang reversible termasuk positif (pins and needles),
dan/atau negatif (hilang rasa/baal).
3. Gangguan bicara disfasia yang reversibel
C. Paling sedikit dua dari dibawah ini:
1. Gejala visual homonim dan/atau gejala sensoris unilateral 17
2. paling tidak timbul satu macam aura secara gradual > 5 menit dan /atau
jenis aura yang lainnya > 5 menit.
3. masing-masing gejala berlangsung > 5 menit dan < 60 menit.
D. Nyeri kepala memenuhi kriteria B-D
E. Tidak berkaitan dengan kelainan lain.

Tatalaksana 4,6,7,8
Medikamentosa
Terapi Abortif
1. Sumatriptan

Sumatriptan cukup efektif sebagai terapi abortif jika diberikan secara


subkutan dengan dosis 4-6 mg. Dapat diulang sekali setelah 2 jam
kemudian jika dibutuhkan. Dosis maksimum 12 mg per 24 jam. Triptan
merupakan serotonin 5-HT1B/1D–receptor agonists. Golongan obat ini
ditemukan dalam suatu penelitian mengenai serotonin dan migraine yang
mendapatkan adanya suatu atypical 5-HT receptor. Aktivasi reseptor ini
menyebabkan vasokontriksi dari arteri yang berdilatasi. Sumatriptan juga
terlihat menurunkan aktivitas saraf trigeminal. Terdapat tujuh subkelas
utama dari 5-HT receptors. Semua triptan dapat mengaktivasi reseptor 5-
HT1B/1D, serta dalam potensi yang lebih ringan dapat mengaktivasi reseptor
5-HT1A atau 5-HT1F. Namun, aktivitas 5-HT1B/1D–agonist merupakan
mekanisme utama dari efek terapeutik golongan triptan.

Indikasi: serangan migren akut dengan atau tanpa aura

Dosis & Cara Pemberian: dapat diberikan secara subkutan dengan dosis
4-6 mg. Dapat diulang sekali setelah 2 jam kemudian jika dibutuhkan.
Dosis maksimum 12 mg per 24 jam.

2. Zolmitriptan

Zolmitriptan efektif untuk pengobatan akut. Dosis awal oral 5 mg.


Gejala-gejala akan berkurang dalam 1 jam. Obat ini dapat diulang sekali
lagi setelah 2 jam jika diperlukan. Dosis maksimal adalah 10 mg untuk 24
jam. Zolmitriptan juga dapat digunakan melalui nasal spray.
Indikasi: Untuk mengatasi serangan migraine akut dengan atau tanpa
aura pada dewasa. Tidak ditujukan untuk terapi profilaksis migren atau
untuk tatalaksana migren hemiplegi atau basilar.

Dosis & Cara Pemberian : Pada uji klinis, dosis tunggal 1; 2,5 dan 5
mg efektif mengatasi serangan akut. Pada perbandingan dosis 2,5 dan 5
mg, hanya terjadi sedikit penambahan manfaat dari dosis lebih besar,
namun efek samping meningkat. Oleh karena itu, pasien sebaiknya mulai
dengan doss 2,5 atau lebih rendah. Jika sakit terasa lagi, dosis bisa diulang
setelah 2 jam, dan tidak lebih dari 10 mg dalam periode 24 jam.

Efek Samping: hiperestesia, parestesia, sensasi hangat dan dingin,


nyeri dada, mulut kering, dispepsia, disfagia, nausea, mengantuk, vertigo,
astenia, mialgia, miastenia, berkeringat.

Kontraindikasi: Pasien dengan penyakit jantung iskemik (angina


pectoris, riwayat infark miokard, coronary artery vasospasm, Prinzmetal's
angina), dan pasien hipersensitif.

3. Eletriptan

Farmakologi: Eletriptan terikat dengan afinitas tinggi terhadap


reseptor 5-HT1B, 5-HT1D dan 5-HT1F. Aktivasi reseptor 5-HT1 pada
pembuluh darah intrakranial menimbulkan vasokontriksi yang berkorelasi
dengan meredanya sakit kepala migraine. Selain itu, aktivasi reseptor 5-
HT1 pada ujung saraf sensoris pada sistem trigeminal menghambat
pelepasan pro-inflammatory neuropeptida.

Indikasi: Penanganan migraine akut dengan atau tanpa aura.

Dosis & Cara Pemberian: 20–40 mg po saat onset berlangsung, dapat


diulang 2 jam kemudian sebanyak 1 kali. Dosis maksimum tidak melebihi
80 mg/24 jam.
Efek Samping: parestesia, flushing, hangat, nyeri dada, rasa tidak enak
pada perut, mulut kering, dispepsia, disfagia, nausea, pusing, sakit kepala,
mengantuk.

Terapi Profilaktif
Tujuan dari terapi profilaktif adalah untuk mengurangi frekuensi berat dan
lamanya serangan, meningkatkan respon pasien terhadap pengobatan, serta
pengurangan disabilitas. Terapi preventif yang dilaksanakan mencakup pemakaian
obat dimulai dengan dosis rendah yang efektif dinaikkan pelan-pelan sampai dosis
efektif. Efek klinik tercapai setelah 2-3 bulan pengobatan, pemberian edukasi
supaya pasien teratur memakai obat, diskusi rasional tentang pengobatan, efek
samping obat. Pasien juga dianjurkan untuk menulis headache diary yang berguna
untuk mengevaluasi serangan, frekuensi, lama, beratnya serangan, disabilitas dan
respon terhadap pengobatan yang diberikan. Obat-obatan yang sering diberikan:

a. Beta-blocker:
- propanolol yang dimulai dengan dosis 10-20 mg 2-3x1 dan dapat
ditingkatkan secara gradual menjadi 240 mg/hari.
- atenolol 40-160 mg/hari
- timolol 20-40 mg/hari
- metoprolol 100-200 mg/hari
b. Calcium Channel Blocker:
- verapamil 320-480 mg/hari
- nifedipin 90-360 mg/hari
c. Antidepresan, misalnya amitriptilin 25-125 mg, antidepresan trisiklik, yang
terbukti efektif untuk mencegah timbulnya migraine.
d. Antikonvulsan:
- asam valproat 250 mg 3-4x1
- topiramat
e. Methysergid, derivatif ergot 2-6 mg/hari untuk beberapa minggu sampai bulan
efektif untuk mencegah serangan migraine.
Terapi non-medikamentosa

Terapi abortif
Para penderita migraine pada umumnya mencari tempat yang tenang dan
gelap pada saat serangan migraine terjadi karena fotofobia dan fonofobia yang
dialaminya. Serangan juga akan sangat berkurang jika pada saat serangan
penderita istirahat atau tidur.
Terapi profilaktif
Pasien harus memperhatikan pencetus dari serangan migraine yang dialami,
seperti kurang tidur, setelah memakan makanan tertentu misalnya kopi, keju,
coklat, MSG, akibat stress, perubahan suhu ruangan dan cuaca, kepekaan terhadap
cahaya terang, kelap kelip, perubahan cuaca, dan lain-lain. Selanjutnya, pasien
diharapkan dapat menghindari faktor-faktor pencetus timbulnya serangan
migraine. Disamping itu, pasien dianjurkan untuk berolahraga secara teratur untuk
memperlancar aliran darah. Olahraga yang dipilih adalah yang membawa
ketenangan dan relaksasi seperti yoga dan senam. Olahraga yang berat seperti lari,
tenis, basket, dan sepak bola justru dapat menyebabkan migraine.

Prognosis
Untuk banyak orang, migraine dapat remisi dan menghilang secara utuh pada
akhirnya, terutama karena faktor penuaan/usia. Penurunan kadar estrogen setelah
menopause bertanggungjawab atas remisi ini bagi beberapa wanita. Walaupun
demikian, migraine juga dapat meningkatkan faktor risiko seseorang terkena
stroke, baik bagi pria maupun wanita terutama sebelum usia 50 tahun. Sekitar
19% dari seluruh kasus stroke terjadi pada orang-orang dengan riwayat migraine.
Migrain dengan aura lebih berisiko untuk terjadinya stroke khususnya pada
wanita. Selain itu, migraine juga meningkatkan risiko terkena penyakit jantung.
Para peneliti menemukan bahwa 50% pasien dengan Patent Foramen Ovale
menderita migraine dengan aura dan operasi perbaikan pada pasien Patent
Foramen Ovale dapat mengontrol serangan migraine.
B. TENSION TYPE HEADACHE
Definisi Tension Type Headache (TTH)

Merupakan sensasi nyeri pada daerah kepala akibat kontraksi terus


menerus otot- otot kepala dan tengkuk ( M.splenius kapitis, M.temporalis,
M.maseter, M.sternokleidomastoid, M.trapezius, M.servikalis posterior, dan
M.levator skapula).

Etiologi dan Faktor Resiko Tension Type Headache (TTH)

Etiologi dan Faktor Resiko Tension Type Headache (TTH) adalah stress,
depresi, bekerja dalam posisi yang menetap dalam waktu lama, kelelahan mata,
kontraksi otot yang berlebihan, berkurangnya aliran darah, dan
ketidakseimbangan neurotransmitter seperti dopamin, serotonin, noerpinefrin, dan
enkephalin.9,10

Epidemiologi Tension Type Headache (TTH)

TTH terjadi 78 % sepanjang hidup dimana Tension Type Headache


episodik terjadi 63 % dan Tension Type Headache kronik terjadi 3 %. Tension
Type Headache episodik lebih banyak mengenai pasien wanita yaitu sebesar 71%
sedangkan pada pria sebanyak 56 %. Biasanya mengenai umur 20 – 40 tahun.11

Klasifikasi Tension Type Headache (TTH)

Klasifikasi TTH adalah Tension Type Headache episodik dan dan


Tension Type Headache kronik. Tension Type Headache episodik, apabila
frekuensi serangan tidak mencapai 15 hari setiap bulan. Tension Type Headache
episodik (ETTH) dapat berlangsung selama 30 menit – 7 hari. Tension Type
Headache kronik (CTTH) apabila frekuensi serangan lebih dari 15 hari setiap
bulan dan berlangsung lebih dari 6 bulan.9

Patofisiologi Tension Type Headache (TTH)


Patofisiologi TTH masih belum jelas diketahui. Pada beberapa literatur
dan hasil penelitian disebutkan beberapa keadaan yang berhubungan dengan
terjadinya TTH sebagai berikut :

1. Disfungsi sistem saraf pusat yang lebih berperan daripada sistem saraf
perifer dimana disfungsi sistem saraf perifer lebih mengarah pada ETTH
sedangkan disfungsi sistem saraf pusat mengarah kepada CTTH,
2. Disfungsi saraf perifer meliputi kontraksi otot yang involunter dan
permanen tanpa disertai iskemia otot,
3. Transmisi nyeri TTH melalui nukleus trigeminoservikalis pars kaudalis
yang akan mensensitasi second order neuron pada nukleus trigeminal dan
kornu dorsalis ( aktivasi molekul NO) sehingga meningkatkan input
nosiseptif pada jaringan perikranial dan miofasial lalu akan terjadi regulasi
mekanisme perifer yang akan meningkatkan aktivitas otot perikranial. Hal
ini akan meningkatkan pelepasan neurotransmitter pada jaringan miofasial,
4. Hiperflesibilitas neuron sentral nosiseptif pada nukleus trigeminal,
talamus, dan korteks serebri yang diikuti hipesensitifitas supraspinal
(limbik) terhadap nosiseptif. Nilai ambang deteksi nyeri ( tekanan,
elektrik, dan termal) akan menurun di sefalik dan ekstrasefalik. Selain itu,
terdapat juga penurunan supraspinal decending pain inhibit activity,
5. Kelainan fungsi filter nyeri di batang otak sehingga menyebabkan
kesalahan interpretasi info pada otak yang diartikan sebagai nyeri,
6. Terdapat hubungan jalur serotonergik dan monoaminergik pada batang
otak dan hipotalamus dengan terjadinya TTH. Defisiensi kadar serotonin
dan noradrenalin di otak, dan juga abnormal serotonin platelet, penurunan
beta endorfin di CSF dan penekanan eksteroseptif pada otot temporal dan
maseter,
7. Faktor psikogenik ( stres mental) dan keadaan non-physiological motor
stress pada TTH sehingga melepaskan zat iritatif yang akan menstimulasi
perifer dan aktivasi struktur persepsi nyeri supraspinal lalu modulasi nyeri
sentral. Depresi dan ansietas akan meningkatkan frekuensi TTH dengan
mempertahankan sensitisasi sentral pada jalur transmisi nyeri,
8. Aktifasi NOS ( Nitric Oxide Synthetase) dan NO pada kornu dorsalis.

Pada kasus dijumpai adanya stress yang memicu sakit kepala. Ada
beberapa teori yang menjelaskan hal tersebut yaitu (1) adanya stress fisik
(kelelahan) akan menyebabkan pernafasan hiperventilasi sehingga kadar
CO2 dalam darah menurun yang akan mengganggu keseimbangan asam
basa dalam darah. Hal ini akan menyebabkan terjadinya alkalosis yang
selanjutnya akan mengakibatkan ion kalsium masuk ke dalam sel dan
menimbulkan kontraksi otot yang berlebihan sehingga terjadilah nyeri
kepala. (2) stress mengaktifasi saraf simpatis sehingga terjadi dilatasi
pembuluh darah otak selanjutnya akan mengaktifasi nosiseptor lalu
aktifasi aferen gamma trigeminus yang akan menghasilkan neuropeptida
(substansi P). Neuropeptida ini akan merangsang ganglion trigeminus
(pons). (3) stress dapat dibagi menjadi 3 tahap yaitu alarm reaction, stage
of resistance, dan stage of exhausted. Alarm reaction dimana stress
menyebabkan vasokontriksi perifer yang akan mengakibatkan kekurangan
asupan oksigen lalu terjadilah metabolisme anaerob. Metabolisme anaerob
akan mengakibatkan penumpukan asam laktat sehingga merangsang
pengeluaran bradikinin dan enzim proteolitik yang selanjutnya akan
menstimulasi jaras nyeri. Stage of resistance dimana sumber energi yang
digunakan berasal dari glikogen yang akan merangsang peningkatan
aldosteron, dimana aldosteron akan menjaga simpanan ion kalium. Stage
of exhausted dimana sumber energi yang digunakan berasal dari protein
dan aldosteron pun menurun sehingga terjadi deplesi K+. Deplesi ion ini
akan menyebabkan disfungsi saraf.9,10

Diagnosa Tension Type Headache (TTH)

Tension Type Headache harus memenuhi syarat yaitu sekurang –


kurangnya dua dari berikut ini : (1) adanya sensasi tertekan/terjepit, (2) intensitas
ringan – sedang, (3) lokasi bilateral, (4) tidak diperburuk aktivitas. Selain itu,
tidak dijumpai mual muntah, tidak ada salah satu dari fotofobia dan fonofobia.
Gejala klinis dapat berupa nyeri ringan - sedang - berat, tumpul seperti
ditekan atau diikat, tidak berdenyut, menyeluruh, nyeri lebih hebat pada daerah
kulit kepala, oksipital, dan belakang leher, terjadi spontan, memburuk oleh stress,
insomnia, kelelahan kronis, iritabilitas, gangguan konsentrasi, kadang vertigo, dan
rasa tidak nyaman pada bagian leher, rahang serta temporomandibular.

Pemeriksaan Penunjang Tension Type Headache (TTH)

Tidak ada uji spesifik untuk mendiagnosis TTH dan pada saat dilakukan
pemeriksaa neurologik tidak ditemukan kelainan apapun. TTH biasanya tidak
memerlukan pemeriksaan darah, rontgen, CT scan kepala maupun MRI.

Diferensial Diagnosa Tension Type Headache (TTH)

Diferensial Diagnosa dari TTH adalah sakit kepala pada spondilo-artrosis


deformans, sakit kepala pasca trauma kapitis, sakit kepala pasca punksi lumbal,
migren klasik, migren komplikata, cluster headache, sakit kepala pada arteritis
temporalis, sakit kepala pada desakan intrakranial, sakit kepala pada penyakit
kardiovasikular, dan sakit kepala pada anemia.

Terapi Tension Type Headache (TTH)

Relaksasi selalu dapat menyembuhkan TTH. Pasien harus dibimbing


untuk mengetahui arti dari relaksasi yang mana dapat termasuk bed rest, massage,
dan atau latihan biofeedback. Pengobatan farmakologi adalah simpel analgesia
dan atau mucles relaxants. Ibuprofen dan naproxen sodium merupakan obat yang
efektif untuk kebanyakan orang. Jika pengobatan simpel analgesia (asetaminofen,
aspirin, ibuprofen, dll.) gagal maka dapat ditambah butalbital dan kafein ( dalam
bentuk kombinasi seperti Fiorinal) yang akan menambah efektifitas pengobatan.

PENGOBATAN PROFILAKSIS

Meskipun sakit kepala NT  umum dan berdampak besar pada masyarakat,


sangat sedikit studi yang terkontrol-baik dari pengobatannya yang telah dilakukan.
Tidak ada obat baru yang disetujui oleh FDA khususnya untuk pengobatan sakit
kepala tension. Namun, mengingat sifat kronis gangguan ini dan risiko
penggunaan berlebihan-obat-obatan sakit kepala pada pasien dengan sakit kepala
sering, terapi profilaksis tampaknya terjamin untuk kebanyakan pasien. Sejak
sakit kepala tension-type kronis adalah sebuah gangguan pengolahan nyeri sentral,
obat dengan sentral efek modulasi nyeri cenderung paling efektif. 

Obat antidepresan

Antidepresan trisiklik obat pilihan untuk mencegah sakit kepala tension-


type kronis, dan beberapa daripadanya juga efektif sebagai profilaksis migrain.
Antidepresan diuji pada studi double-blind, dikontrol plasebo yang mencakup
amitriptyline, doxepin, dan maprotiline. Amitriptyline mengurangi jumlah sakit
kepala harian atau durasi sakit kepala sekitar 50% pada sekitar sepertiga pasien
dalam beberapa studi, meskipun studi lain menemukan ini tidak lebih baik
daripada placebo. 

Antidepresan trisiklik lainnya mungkin juga efektif, sebagaimana disarankan


oleh pengalaman klinis, meskipun belum diteliti pada sakit kepala tension-
type kronis. 

SSRI: fluoxetine, paroxetine, dan citalopram belum menunjukkan efikasi


studi-terkontrol. Obat ini sering digunakan, namun, karena mereka memiliki
insiden efek samping lebih rendah. 

Relaksan otot

Cyclobenzaprine adalah relaksan otot struktural terkait dengan amitriptyline.


Pada 1972 studi double-blind, 10 dari 20 pasien menerima cyclobenzaprine
mengalami 50 % atau lebih perbaikan pada sakit kepala tension-type,
dibandingkan dengan 5 dari 20 pasien yang menerima plasebo. Dosis biasa
cyclobenzaprine adalah 10 mg pada waktu tidur. 
Tizanidine, sebuah penghambat alfa-adrenergik, dilaporkan efektif untuk
sakit kepala tension typekronis pada percobaan plasebo-terkontrol tunggal. Dosis
biasanya dititrasi dari 2 mg pada waktu tidur hingga 20 mg per hari, dibagi
menjadi tiga dosis. Sedasi adalah efek samping paling umum dari agen ini. 

Valproate

Valproate, antikonvulsi agonis asam gamma-aminobutyric (GABA), telah


dievaluasi untuk keberhasilannya pada migraine, dan “sakit kepala harian kronis”.
Efek samping yang paling sering dilaporkan adalah berat bertambah, gemetaran,
rambut rontok, dan mual. 

Obat anti-inflamasi non steroid

Obat anti-inflamasi non steroid (NSAID) secara luas diresepkan baik sebagai
terapi tambahan sakit kepala tension-type dan untuk profilaksis dari migraine.

Toksin botulinum

Suntikan toksin botulinum pada otot kepala dan leher ditemukan efektif untuk
meredakan sakit kepala tension-type kronis pada pasien.

TERAPI AKUT

Pengobatan akut sakit kepala tension-type harian sulit. NSAID mungkin


berguna sebagai analgesik untuk sakit kepala harian.Relaksan otot seperti
chlorzoxazone, orphenadrine sitrat, carisoprodol, dan metaxalone umumnya
digunakan oleh pasien dengan sakit kepala tension-type kronis, tetapi belum
terbukti efektif untuk melegakan nyeri akut. 

Sumatriptan telah dievaluasi pada beberapa studi sakit kepala tension-type.


Obat ini tidak lebih efektif daripada plasebo untuk serangan akut pada pasien
dengan sakit kepala tension-type kronis; namun, sakit kepala tension-type episodik
berat pada pasien bersama dengan migraine tampaknya merespon terhadap agen
ini.  Agen untuk mencegah. Benzodiazepine, kombinasi butalbital, kombinasi
kafein, dan narkotika harus dihindari, atau gunakanlah obat-obatan tersebut
dengan kontrol yang cermat, karena risiko habituasi dan sakit kepala diinduksi-
pengobatan. 

TERAPI NON FARMAKOLOGI

Manajemen stress dengan menggunakan terapi perilaku-kognitif sama efektif


dengan menggunakan relaksasi atau biofeedback dalam mengurangi sakit
kepala tension-type. Terapi non-farmakologi terutama berguna untuk pasien yang
enggan untuk minum obat karena efek samping sebelumnya dari obat-obatan,
seiring masalah medis, atau ada keinginan untuk hamil.
Sementara biofeedback  dan terapi manajemen stres biasanya memerlukan rujukan
ke psikolog.

Prognosis dan Komplikasi Tension Type Headache (TTH)

TTH pada kondisi dapat menyebabkan nyeri yang menyakitkan tetapi


tidak membahayakan.Nyeri ini dapat sembuh dengan perawatan ataupun dengan
menyelesaikan masalah yang menjadi latar belakangnya jika penyebab TTH
berupa pengaruh psikis. Nyeri kepala ini dapat sembuh dengan terapi obat berupa
analgesia. TTh biasanya mudah diobati sendiri. Progonis penyakit ini baik, dan
dengan penatalaksanaan yang baik maka > 90 % pasien dapat disembuhkan.

Komplikasi TTH adalah rebound headache yaitu nyeri kepala yang


disebabkan oleh penggunaan obat – obatan analgesia seperti aspirin,
asetaminofen, dll yang berlebihan.

Pencegahan Tension Type Headache (TTH)

Pencegahan TTH adalah dengan mencegah terjadinya stress dengan


olahraga teratur, istirahat yang cukup, relaksasi otot (massage, yoga, stretching),
meditasi, dan biofeedback. Jika penyebabnya adalah kecemasan atau depresi maka
dapat dilakukan behavioral therapy. Selain itu, TTH dapat dicegah dengan
mengganti bantal atau mengubah posisi tidur dan mengkonsumsi makanan yang
sehat.

C. CLUSTER HEADACHE

Definisi
Nyeri kepala klaster (cluster headache) merupakan nyeri kepala vaskular
yang juga dikenal sebagai nyeri kepala Horton, sfenopalatina neuralgia, nyeri
kepala histamine, sindrom Bing, erythrosophalgia, neuralgia migrenosa, atau
migren merah (red migraine) karena pada waktu serangan akan tampak merah
pada sisi wajah yang mengalami nyeri.12,13,15
Epidemiologi
Cluster headache adalah penyakit yang langka. Dibandingkan dengan
migren, cluster headache 100 kali lebih lebih jarang ditemui. Di Perancis
prevalensinya tidak diketahui dengan pasti, diperkirakan sekitar 1/10.000
penduduk, berdasarkan penelitian yang dilakukan di negara lainnya. Serangan
pertama muncul antara usia 10 sampai 30 tahun pada 2/3 total seluruh pasien.
Namun kisaran usia 1 sampai 73 tahun pernah dilaporkan. Cluster headache sering
didapatkan terutama pada dewasa muda, laki-laki, dengan rasio jenis kelamin
laki-laki dan wanita 4:1. Serangan terjadi pada waktu-waktu tertentu, biasanya
dini hari menjelang pagi, yang akan membangunkan penderita dari tidurnya
karena nyeri.12,15

Etiologi
Etiologi cluster headache adalah sebagai berikut :16
 Penekanan pada nervus trigeminal (nervus V) akibat dilatasi pembuluh darah
sekitar.
 Pembengkakan dinding arteri carotis interna.
 Pelepasan histamin.
 Letupan paroxysmal parasimpatis.
 Abnormalitas hipotalamus.
 Penurunan kadar oksigen.
 Pengaruh genetik
Diduga faktor pencetus cluster headache antara lain :
 Glyceryl trinitrate.
 Alkohol.
 Terpapar hidrokarbon.
 Panas.
 Terlalu banyak atau terlalu sedikit tidur.
 Stres.
Positron emision tomografi (PET) scanning dan Magnetic resonance
imaging (MRI) membantu untuk memperjelas penyebab cluster headache yang
masih kurang dipahami. Patofisiologi dasar dalam hipotalamus gray matter. Pada
beberapa keluarga, suatu gen autosom dominan mungkin terlibat, tapi alel-alel
sensitif aktivitas kalsium channel atau nitrit oksida masih belum teridentifikasi.
Vasodilatasi arteri karotis dan arteri oftalmika dan peningkatan sensitivitas
terhadap rangsangan vasodilator dapat dipicu oleh refleks parasimpatetik
trigeminus. Variasi abnormal denyut jantung dan peningkatan lipolisis nokturnal
selama serangan dan selama remisi memperkuat teori abnormalitas fungsi otonom
dengan peningkatan fungsi parasimpatis dan penurunan fungsi simpatis. Serangan
sering dimulai saat tidur, yang melibatkan gangguan irama sirkadian. Peningkatan
insidensi sleep apneu pada pasien-pasien dengan cluster headache menunjukan
periode oksigenasi pada jaringan vital berkurang yang dapat memicu suatu
serangan.14

Patofisiologi
Patofisiologi cluster headache masih belum diketahui dengan jelas, akan
tetapi teori yang masih banyak dianut sampai saat ini antara lain:
 Cluster headache timbul karena vasodilatasi pada salah satu cabang arteri
karotis eksterna yang diperantarai oleh histamine intrinsic (Teori
Horton).12
 Serangan cluster headache merupakan suatu gangguan kondisi fisiologis
otak dan struktur yang berkaitan dengannya, yang ditandai oleh disfungsi
hipotalamus yang menyebabkan kelainan kronobiologis dan fungsi
otonom. Hal ini menimbulkan defisiensi autoregulasi dari vasomotor dan
gangguan respon kemoreseptor pada korpus karotikus terhadap kadar
oksigen yang turun. Pada kondisi ini, serangan dapat dipicu oleh kadar
oksigen yang terus menurun. Batang otak yang terlibat adalah setinggi
pons dan medulla oblongata serta nervus V, VII, IX, dan X. Perubahan
pembuluh darah diperantarai oleh beberapa macam neuropeptida
(substansi P, dll) terutama pada sinus kavernosus (teori Lee Kudrow).12

Manifestasi Klinis
Nyeri kepala yang dirasakan sesisi biasanya hebat seperti ditusuk-tusuk
pada separuh kepala, yaitu di sekitar, di belakang atau di dalam bola mata, pipi,
lubang hidung, langit-langit, gusi dan menjalar ke frontal, temporal sampai ke
oksiput. Nyeri kepala ini disertai gejala yang khas yaitu mata sesisi menjadi merah
dan berair, konjugtiva bengkak dan merah, hidung tersumbat, sisi kepala menjadi
merah-panas dan nyeri tekan. Serangan biasanya mengenai satu sisi kepala, tapi
kadang-kadang berganti-ganti kanan dan kiri atau bilateral. Nyeri kepala bersifat
tajam, menjemukan dan menusuk serta diikuti mual atau muntah. Nyeri kepala
sering terjadi pada larut malam atau pagi dini hari sehingga membangunkan
pasien dari tidurnya.13
Serangan berlangsung sekitar 15 menit sampai 5 jam (rata – rata 2 jam)
yang terjadi beberapa kali selama 2-6 minggu. Sedangkan sebagai faktor pencetus
adalah makanan atau minuman yang mengandung alkohol. Serangan kemudian
menghilang selama beberapa bulan sampai 1-2 tahun untuk kemudian timbul lagi
secara cluster (berkelompok).15
Gambar 2.1 Ciri khas Cluster Headache

Gambar 2.2 Gejala Klinis Cluster headache

Diagnosis
Diagnosis nyeri kepala klaster menggunakan kriteria oleh International
Headache Society (IHS) adalah sebagai berikut: 11,12
a. Paling sedikit 5 kali serangan dengan kriteria seperti di bawah
b. Berat atau sangat berat unilateral orbital, supraorbital, dan atau nyeri
temporal selama 15 – 180 menit bila tidak di tatalaksana.
c. Sakit kepala disertai satu dari kriteria dibawah ini :
1. Injeksi konjungtiva ipsilateral dan atau lakriimasi
2. Kongesti nasal ipsilateral dan atau rhinorrhea
3. Edema kelopak mata ipsilateral
4. Berkeringat pada bagian dahi dan wajah ipsilateral
5. Miosis dan atau ptosis ipsilateral
6. Kesadaran gelisah atau agitasi
d. Serangan mempunyai frekuensi 1 kali hingga 8 kali perhari
e. Tidak berhubungan dengan kelainan yang lain.

Pada tahun 2004 American Headache Society menerbitkan kriteria baru


untuk mendiagnosa cluster headache. Untuk memenuhi kriteria diagnosis
tersebut, pasien setidaknya harus mengalami sekurang-kurangnya lima serangan
nyeri kepala yang terjadi setiap hari selama delapan hari, yang bukan disebabkan
oleh gangguan lainnya. Selain itu, nyeri kepala yang terjadi parah atau sangat
parah pada orbita unilateral, supraorbital atau temporal, dan nyeri berlansung
antara 18 sampai 150 menit jika tidak diobati, dan disertai satu atau lebih gejala-
gejala berikut ini: injeksi konjungtiva atau lakrimasi ipsilateral, hidung tersumbat
atau rinore ipsilateral, edema kelopak mata ipsilateral, wajah dan dahi berkeringat
ipsilateral, ptosis atau miosis ipsilateral, atau kesadaran gelisah atau agitasi.
Cluster headache episodik didefinisikan sebagai setidak-tidaknya terdapat dua
periode cluster yang berlangsung tujuh sampai 365 hari dan dipisahkan periode
remisi bebas nyeri selama satu bulan atau lebih. Sedangkan cluster headache
kronis adalah serangan yang kambuh lebih dari satu tahun tanpa periode remisi
atau dengan periode remisi yang berlangsung kurang dari satu bulan.14
Gambar 2.3 Lokasi nyeri pada Cluster headache

Penatalaksanaan
Penatalaksanaan medis terhadap cluster headache dapat dibagi ke dalam
pengobatan terhadap serangan akut, dan pengobatan preventif, yang bertujuan
untuk menekan serangan. Pengobatan akut dan preventif dimulai secara
bersamaan saat periode awal cluster. Pilihan pengobatan pembedahan yang
terbaru dan neurostimulasi telah menggantikan pendekatan pengobatan yang
bersifat merugikan.12
1. Pengobatan Serangan Akut
Serangan cluster headache biasanya singkat, dari 30 sampai 180 menit,
sering memberat secara cepat, sehingga membutuhkan pengobatan awal yang
cepat. Penggunaan obat sakit kepala yang berlebihan sering didapatkan pada
pasien-pasien cluster headache, biasanya bila mereka pernah memiliki riwayat
menderita migren atau mempunyai riwayat keluarga yang menderita migren, dan
saat pengobatan yang diberikan sangat tidak efektif pada serangan akut, seperti
triptan oral, acetaminofen dan analgetik agonis reseptor opiate.12
 Oksigen: inhalasi oksigen, kadar 100% sebanyak 10-12 liter/menit selama
15 menit sangat efektif, dan merupakan pengobatan yang aman untuk
cluster headache akut.
 Triptan: Sumatriptan 6 mg subkutan, sumatriptan 20 mg intranasal, dan
zolmitriptan 5 mg intranasal efektif pada pengobatan akut cluster
headache. Tiga dosis zolmitriptan dalam dua puluh empat jam bisa
diterima. Tidak terdapat bukti yang mendukung penggunaan triptan oral
pada cluster headache.
 Dihidroergotamin 1 mg intramuskular efektif dalam menghilangkan
serangan akut cluster headache. Cara intranasal terlihat kurang efektif,
walaupun beberapa pasien bermanfaat menggunakan cara tersebut.
 Lidokain: tetes hidung topikal lidokain dapat digunakan untuk mengobati
serangan akut cluster headache. Pasien tidur telentang dengan kepala
dimiringkan ke belakang ke arah lantai 30° dan beralih ke sisi sakit kepala.
Tetes nasal dapat digunakan dan dosisnya 1 ml lidokain 4% yang dapat
diulang setekah 15 menit.12

2.9.2 NYERI KEPALA SEKUNDER

Sakit kepala sekunder dapat dibagi menjadi sakit kepala yang disebabkan
oleh karena trauma pada kepala dan leher, sakit kepala akibat kelainan vaskular
kranial dan servikal, sakit kepala yang bukan disebabkan kelainan vaskular
intrakranial, sakit kepala akibat adanya zat atau withdrawal, sakit kepala akibat
infeksi, sakit kepala akibat gangguan homeostasis, sakit kepala atau nyeri pada
wajah akibat kelainan kranium, leher, telinga, hidung, gigi, mulut atau struktur
lain di kepala dan wajah, sakit kepala akibat kelainan psikiatri.17

Sakit kepala sekunder merupakan sakit kepala yang disebabkan adanya suatu
penyakit tertentu (underlying disease). Pada sakit kepala kelompok ini, rasa nyeri
di kepala merupakan tanda dari berbagai penyakit.

Adapun penyakit yang dapat menimbulkan sakit kepala adalah:18

1. Infeksi sistemik seperti flu, demam dengue/demam berdarah denggue,


sinusitis, radang tenggorokan dan lain-lain
2. Aneurisma otak
3. Tumor otak
4. Keracunan karbon dioksida
5. Glaukoma
6. Kelainan refraksi mata (mata minus/plus)
7. Cedera kepala
8. Ensefalitis (radang otak)
9. Meningitis (radang selaput otak)
10. Perdarahan otak
11. Stroke
12. Efek samping obat
13. Dan lain-lain

Karakteristik Sakit Kepala Yang Menjadi Tanda Penyakit Serius

Sebagian besar sakit kepala bersifat ringan atau disebabkan penyakit yang
ringan. Namun kita tetap harus waspada karena sakit kepala juga dapat merupakan
gejala dari penyakit yang serius seperti  radang otak/selaput otak, perdarahan otak,
stroke, tumor otak, glaukoma, dan lain-lain.17

Adapun karakteristik sakit kepala yang menjadi tanda penyakit serius adalah
sebagai berikut :

1. Sangat sakit – paling sakit ( “worst” headache ever) : rasa sakit yang
dirasakan sangat sakit, jauh lebih sakit dibandingkan sakit kepala
sebelumnya
2. Sakit kepala berat yang dirasakan pertama kalinya
3. Sakit kepala yang bertambah berat dalam beberapa hari atau beberapa
minggu
4. Ada gangguan saraf seperti kelumpuhan, kebutaan, dan lain-lain
5. Sakit kepala disertai demam (yang penyebab demam tidak diketahui
dengan jelas)
6. Muntah yang terjadi mendahului sakit kepala
7. Sakit kepala yang dicetuskan oleh bending, mengangkat beban, dan batuk
8. Sakit kepala timbul segera setelah bangun tidur
9. Usia lebih dari 55 tahun
10. Sakit kepala pada anak

Beberapa nyeri kepala sekunder yang sering terjadi, misalnya : 18

1. Nyeri kepala karena sakit gigi

Keluhan sakit gigi (nyeri gigi) dapat disebabkan karena berbagai


penyakit pada gigi sehingga kelainan / penyakit pada  gigi perlu dicari
dan diatasi oleh dokter gigi.

2. Nyeri kepala pada sinusitis

Nyeri kepala ringan hingga berat dirasakan di daerah muka, pipi atau
dahi, biasanya disertai juga dengan keluhan 'THT' (telinga, hidung dan
tenggorakan) yang lain, misalnya berdahak, hidung mampet, hidung
meler dan lain-lain.

3. Nyeri kepala pada kelainan mata

'Iritis', 'glaukoma' dan 'papilitis', dapat menimbulkan nyeri sedang


hingga berat pada mata dan sekitarnya. Mata tampak memerah disertai
dengan gangguan penglihatan.

4. Nyeri kepala pada tekanan darah tinggi ('hipertensi')

Tekanan darah tinggi dapat menimbulkan keluhan nyeri kepala. Semua


penderita nyeri kepala harus mengetahui tekanan darahnya. Minum
obat sakit kepala tanpa menurunkan tekanan darah dapat berbahaya,
karena 'hipertensi' merupakan ancaman bagi terjadinya kerusakan
organ target hipertensi (ginjal, otak, jantung dan pembuluh darah).
5. Nyeri kepala akibat putus obat ('withdrawal headache')

Nyeri kepala juga bisa terjadi karena terlalu lama (lebih dari 15 hari)
minum obat sakit kepala, kemudian ketika 'putus obat' malah
menimbulkan keluhan nyeri kepala.
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Cephalgia atau sakit kepala merupakan suatu gejala yang sering
dikeluhkan. Cephalgia bukan sebuah diagnosis suatu penyakit. Perbedaan gejala,
onset, dan nyeri pada cephalgia berbeda-beda, maka harus lebih teliti untuk
melakukan anamnesis dan pemeriksaan. Cephalgia harus diklasifikasikan secara
cermat untuk mengetahui penyebabnya.
DAFTAR PUSTAKA

1. Pertemuan Nasional III Nyeri, Nyeri Kepala & Vertigo PERDOSSI, Solo, 4 - 6
Juli 2008

2. Srivasta S. Pathophysiology and treatment of migraine and related headache.


Diunduh dari : http://emedicine.medscape.com/article/1144656-overview
3. Chawla J. Migraine Headache: Differential Diagnoses & Workup. Diunduh
dari : http://emedicine.medscape.com/article/1142556-diagnosis
4. Current Diagnosis & Treatment in Family Medicine.
5. Brunton, LL. Goodman and Gilman’s Pharmacology. Boston: McGraw-Hill.
2006.
6. Gladstein. Migraine headache-Prognosis. Diunduh dari :
http://www.umm.edu/patiented/articles/how_serious_migraines_000097_2.ht
m
7. Katzung, Bertram. Basic and Clinical Pharmacology. 10th edition. Boston:
McGraw Hill.

2007.
8. Sumatriptan Transdermal sebagai Terapi Gejala Migren. Diunduh dari :
http://www.kalbe.co.id/?mn=news&tipe=detail&detail=20565

9. Sidharta, Priguna. Tension Headache dalam Kumpulan naskah Headache.


FKUI. Jakarta.
10. "Muscle Contraction Tension Headache: eMedicine Neurology". Diunduh dari
: http://www.emedicinehealth.com/tension_headache/article_em.htm
11. Goadsby, J Peter. 2009. Treatment of Cluster Headache. Headache Group.
Department of Neurology University of California. San Francisco. Diunduh
dari : www.AmericanHeadacheSociety.org.
12. Visy, Jean-Marc and Bousser, Marie-Germaine. 2003. Cluster Headache.
Orphanet Ensiklopedia. Diunduh : http://www.orpha.net/data/patho/GB/uk-
cluster.pdf
13. Ginsberg, L. 2008. Lecture Notes: Neurologi. Edisi-8. Erlangga Medical
Series. Jakarta. 74-75
14. Harsono. 2005. Kapita Selekta Neurologi. Gajah Mada University Press.
Yogyakarta.
15. Mansjoer, A. 2000. Kapita Selekta Kedokteran Ed. 3 jilid 2. Media
Aeusclapius. Jakarta.
16. ICSI. 2011. Health Care Guideline : Diagnosis and Treatment of Headache.
17. ISH Classification ICHD II ( International Classification of Headache
Disorders). Diunduh dari : http://ihs-
classification.org/_downloads/mixed/ICHD-IIR1final.doc

18. Raskin, Neil H. Headache. Harison’s Internal Medicine.

Anda mungkin juga menyukai