Anda di halaman 1dari 5

Uraian Filsafat Aristoteles

Nama : Novia C. Diawang


NIM : 20101104
Kelas : Pengantar Filsafat Kelas B

a. Hylemorfisme
Kata Hylemorfisme berasal dari bahasa Yunani Hyle yang berarti materi dan Morphe
yang berarti bentuk. Aristoteles melihat materi dan forma sebagai satu kesatuan yang tak
dapat dipisahkan satu sama lain. Namun, di lain pihak dapat dibedakan. Keduanya senantiasa
melekat erat pada setiap barang karena itu menjadi unsur substansial realitas. Keduanya
merupakan prinsip metafisik. Jadi keberadaan mereka tidak dapat ditunjuk dengan jari, tetapi
harus diandaikan begitu saja supaya kita dapat mengerti adanya benda-benda jasmani.

Konsep Tentang Wujud


Morphe adalah sesuatu yang bersifat jasmaniah. Ia sangat konkret dan dekat dengan
objek. Morphe pada dasarnya adalah prinsip yang membuat suatu barang dapat dikenal
sebagai ada, yang mana prinsip itu bersifat imanen. Demikianlah Aristoteles menguraikan
bahwa forma atau wujud suatu benda bersifat tetap, permanen dan dikenal. Oleh karena
adanya barang-barang bersifat tetap, maka ia membuka peluang untuk dikenal dan diindrai.
Dalam Metafisika Aristoteles, forma dikenal sebagai aktus yang mengaktualkan materi
sebagai potensi. Apa yang adalah mungkin adalah materi diwujudnyatakan atau
disempurnakan dalam actus (forma).

Konsep Tentang Materi


Hyle atau materi merupakan unsur untuk menerima forma dan kemampuan untuk
dibentuk, yang dibedakan atas hyle prote atau materi kedua. Materi kedua adalah badan yang
kelihatan. Misalnya batu, kayu, dan lain sebagainya. Materi tersebut dapat diindrai atau
dijangkau melalui observasi langsung. Sedangkan materi pertama adalah sesuatu yang bukan
bahan yang kelihatan, tetapi suatu prinsip dari bahan yang tidak dapat dilihat, tidak
berkualitas dan berkuantitas dan tidak dapat dimasukan dalam kategori apa pun. Materi
pertama bukan ada sebagai benda tetapi hanya dapat ditemukan lewat pikiran. Ia sendiri
mempunyai bentuk sehingga menjadi prinsip bagi segala barang. Materi pertama itu sama
sekali tidak ditentukan oleh dirinya sendiri, sebab ia mempunyai kesanggupan untuk
menerima forma substansial.
b. Politik
Politik menurut Aristoteles berasal dari kata Polis yang berarti kota atau perkumpulan.
Politik menurutnya tidak hanya sebatas perkumpulan semata akan tetapi memiliki tujuan
untuk menciptakan kehidupan yang lebih baik, tidak hanya sebatas dirinya sendiri akan tetapi
kepentingan umum juga termasuk dalam tujuan politik itu sendiri. 
Politik memiliki tujuan kemaslahatan. Dalam pelaksanaannya, politik diibaratkan
sebuah bongkahan batu dan manusia merupakan pelaku untuk memoles bongkahan batu
tersebut. Untuk melahirkan tujuan politik, terdapat tiga poin penting untuk mewujudkan
sebuah kehidupan yang baik. Pertama, adanya bongkahan yang akan kita poles menjadi
bentuk tertentu.
Kedua, sebelum mewujudkan bentuk tersebut, terlebih dahulu kita menganalisis dan
membayangkan bagaimana bentuk itu akan kita ciptakan. Hal ini berkaitan dengan tahap-
tahap yang kita butuhkan dan kita perseiapkan untuk membuat bentuk tersebut. Ketiga,
adanya tujuan yang dihasilkan setelah bentuk tersebut diciptakan.
Dalam poin ini, Aristoteles menyatakan bahwa keberuntungan dan ekonomi adalah
salah satu dari tujuan setelah bentuk patung tersebut tercipta. Setelah tujuan manusia tercapai,
maka akan melahirkan kehidupan yang baik dan kejahteraan (Eudaimonia). Aristoteles
menyebutkan eudaimonia dalam pemikirannya (Etika Nikomakhean) menyebutkan
eudaimonia merupakan hakikat dari pada politik itu sendiri.
Perkembangan zaman dan egosime manusia merupakan hambatan untuk menciptakan
sebuah politik yang baik. Orang berbondong-bondong menciptakan kehidupan mewah untuk
kepentingan pribadi, padahal makna dasar dari politik tidaklah membenarkan perilaku yang
menguntungkan diri sendiri.

2
c. Etika
Di dalam bukunya yang berjudul Etika Nikomacheia, Pengertian etika dibagi menjadi
dua yaitu, Terminius Technicus yang artinya etika dipelajari untuk ilmu pengetahuan yang
mempelajari masalah perbuatan atau tindakan manusia. dan yang kedua yaitu, Manner dan
Custom yang artinya membahas etika yang berkaitan dengan tata cara dan kebiasaan (adat)
yang melekat dalam kodrat manusia (in herent in human nature) yang terikat dengan
pengertian “baik dan buruk” suatu tingkah laku atau perbuatan manusia.
Etika menurut Aristoteles pada dasarnya sama dengan etik Sokrates dan Plato.
Tujuannya mencapai eudaemonia, kebahagiaan sebagai “barang yang tertinggi” dalam
kehidupan.akan tetapi, ia memahaminya secara realistik dan sederhana, ia tidak bertanya
tentang budi dan berlakunya seperti yang dikemukakan oleh Sokrates. Ia tidak pula menuju
pengetahuan tentang idea yang kekal dan tidak berubah-ubah, tentang ide kebaikan, seperti
yang ditegaskan oleh Plato. Ia menuju kepada kebaikan yang tercapai oleh manusia sesuai
dengan gendernya, derajatnya, kedudukannya, atau pekerjaannya. Terdapat tiga karyanya
yang menjelaskan tentang etika, yaitu Ethica Nicomanchea, Ethica Eudoimonia, dan Magna
Moralia.
Dalam bukunya tentang Etika Nikomacheia, etika dibagi menjadi dua, yaitu
Terminius Technicus yang artinya etika dipelajari untuk ilmu pengetahuan yang mempelajari
masalah perbuatan atau tindakan manusia. Yang kedua adalah Manner dan Custom yang
artinya membahas etika yang berkaitan dengan tata cara dan kebiasaan (adat) yang melekat
dalam kodrat manusia (in herent in human nature) yang terikat dengan pengertian “baik dan
buruk” suatu tingkah laku atau perbuatan manusia. Karya terakhir ini umumnya tidak di
anggap otentik. Otentisitas Ethica eudemia pada awalnya sering kali dipersoalkan, tetapi
sekarang sudah tercapai konsensus antara para ahli mengenai otentisitasnya.
Berawal dari konsep pemikiran etika Aristoteles merupakan dasar tentang tujuan. Dari
konsep inilah Aristoteles mulai adanya dinamika pemikirannya tentang etika. Terdapat dua
perspektif tentang tujuan menurut Aristoteles, yakni pertama adalah ada yang dicari demi
tujuan yang lebih jauh dan kedua adalah ada yang dicari demi dirinya sendiri.

3
d. Logika
Aristoteles terkenal sebagai 'bapak' logika. Logika adalah berpikir secara teratur
menurut hukum logika yang tepat, atau berdasarkan hubungan sebab akibat. Aristoteles
menyebut metode berpikirnya ialah analytica, tetapi lebih populer disebut logika.

Inti dari logika adalah silogistik. Silogistis(me) berasal dari bahasa Yunani kuno:
συλλογισμός syllogismós "[yang] menambahkan ", "kesimpulan logis"). Silogistis
bersinonim dengan argumen deduktif. Silogistik adalah uraian berkunci, yaitu: menarik
kesimpulan logis dari pernyataan umum (universal) ke pernyataan khusus (individual).
Aristoteles mendasarkan logika pada empat prinsip sebagai berikut:

1. Hukum Identitas (Law of Identity)


Hukum ini berbunyi: “Suatu hal adalah hal itu sendiri, tak mungkin yang lain.
Dan jika disimbolkan akan berbunyi “A adalah A, tak mungkin B”. Jadi, arti yang
benar dari suatu benda atau hal adalah sama selama benda atau hal itu dibicarakan
atau dipikirkan. Kita tak boleh mengubah atribut-atribut dari benda atau hal itu
sendiri, karena jika kita mengubah atribut-atribut itu sendiri berarti konsep dari benda
atau hal itu pun akan berubah pula.
2. Hukum Kontradiksi (Law of Contradiction)
Hukum ini menyatakan bahwa dua sifat yang berlawanan tidak mungkin ada
pada suatu benda atau hal pada waktu dan tempat yang sama. Atau jika kita
analogikan, “meja itu berwarna hijau dan pasti berwarna hijau”, tidak mungkin
berbunyi “meja itu berwarna hijau dan tidak berwarna hijau”, atau contoh yang
lainnya, “benda itu bentuknya besar dan kecil”.
3. Hukum Jalan Tengah (Law of Ecluded Middle).
Sekilas, prinsip atau hukum ini terlihat sama. Hukum Jalan Tengah
menyatakan bahwa dua sifat yang berlawanan tidak mungkin dimiliki satu benda,
hanya satu sifat yang bisa dimiliki oleh suatu benda. Contoh, “A” harus “B”, atau
“bukan B”. Pada hukum kontradikisi, dua sifat tidak mungkin benar pada suatu
benda, salah satunya haruslah bernilai salah. Dan pada hukum penyisihan jalan
tengah, dua sifat yang berbeda tak mungkin bernilai salah pada suatu benda, salah
satunya harus ada yang bernilai benar. Jadi, jika kedua prinsip ini digabungkan, maka
kebenaran salah satu dari dua hal yang berkontradikisi, menunjukan kesalahan yang
lainya dan kesalahan yang satu menunjukan kebenaran yang lainya.
4. Hukum Cukup Alasan
Hukum ini sebenarnya adalah hukum tambahan dari hukum identitas. Hukum
ini mengatakan, “Jika ada sesuatu kejadian pada suatu benda, hal itu harus
mempunyai alasan yang cukup.” Demikian juga jika ada perubahan pada suatu benda
itu”. Contoh, “air membeku”, air membeku karena adanya suhu di bawah titik beku
di sekitar air itu, dan suhu itu bertahan dengan waktu yang cukup lama untuk
membekukan air tersebut. Kenapa hukum ini merupakan hukum tambahan dari
hukum identitas? Karena secara tidak langsung, hukum ini menyatakan bahwa suatu
benda haruslah tetap, tidak berubah. Adapun jika ada perubahan/penambahan, harus

4
ada sesuatu yang mendahuluinya, yang cukup untuk menyebabkan perubahan
tersebut.

Anda mungkin juga menyukai