1
pengadilan tersebut. Hanya tahapan pengadilan yang berdasarkan preseden yang
tidak dialami oleh Indonesia karena masuknya penjajahan Belanda dengan
membawa serta tradisi hukum civil law-nya.
3.1. Etika Profesi dan Jabatan di Sektor Publik (Public Offices and Sectors)
Etika seringkali dipahami sebagai prinsip-prinsip untuk mengevaluasi baik
buruk atau benar salah perbuatan seseorang. Nilai-nilai etik dibedakan menjadi 2,
yakni normative ethics yang menggambarkan standar perbuatan salah dan benar
dan descriptive ethics yang menggambarkan penyelidikan empiris mengenai
keyakinan moral seseorang.
Profesi pertama yang menyusun kode etiknya adalah bidang kedokteran,
melalui the Conduct of Physician karya al-Ruhawi pada abad ke 9H. Diikuti dengan
code of medical ethics yang disusun oleh Thomas Percival pada tahun 1749. Profesi
kedua adalah akuntan melalui Summa de Athmetica yang ditulis oleh Luca Pacioli
pada tahun 1949. Profesi ketiga yang memiliki kode etik adalah profesi hukum,
pertama yang disahkan oleh Negara bagian Alabama, Amerika Serikat pada tahun
1887. Diikuti oleh Canons of Professional Ethic yang disusun oleh American Bar
Association pada tahun 1908.
Sistem kode etik dan kode perilaku terus berkembang di ranah dunia usaha,
masyarakat sipil maupun pemerintahan negara. Keberadaannya semakin
berkembang setelah United Nation pada Sidang Umum Tahun 1996,
merekomendasikan kepada seluruh anggota United Nation untuk membangun
infrastruktur etik untuk jabatan-jabatan publik (ethics infra-structure in public
offices). Namun perkembangan mutakhir di hampir semua negara, fungsionalisasi
sistem kode etika profesi dan etika jabatan publik belum dikonstruksikan sebagai
suatu proses peradilan (norma etika). Tetapi sejak abad ke-19 dan ke-20, sistem
kode etika dan kode perilaku dikembangkan tidak hanya bersifat imposed from
within tetapi juga imposed from without. Sebagai contoh di Irlandia membentuk
Ethics in Public Offices Act 1995.
Indonesia sendiri memiliki Pancasila yang tidak hanya menjadi sumber
hukum tetapi juga sumber etika, begitu pula UUD Tahun 1945 yang tidak hanya
mengatur hukum konstitusi tetapi juga mengandung etika konstitusi. Berikut TAP
MPR No.VI/MPR/2001 yang merupakan haluan politik negara dalam etika
berbangsa dan bernegara.
Diskusi selanjutnya adalah bagaimana membedakan antara kode etik dan
kode perilaku. Pada dasarnya, kode perilaku merupakan implementasi dari kode
etik, baik yang tertulis maupun tidak tertulis. Kode etik digambarkan sebagai
aturan-aturan moral yang terkait dengan suatu profesi, pekerjaan atau jabatan
tertentu yang mengikat dan membimbing para anggotanya mengenai nilai-nilai
baik dan buruk, benar dan salah salam wadah organisasi bersama. Jika kode etik
bersifat umum dan abstrak, berbeda dengan kode perilaku yang lebih konkret dan
operasional.
Persamaan diantara keduanya adalah sama-sama bertujuan untuk
mempromosikan dan meningkatkan standar perilaku etis, membantu
mengidentifikasi mana perbuatan yang diterima dan tidak diterima, serta
membantu menciptakan suatu kerangka acuan dalam mengevaluasi perilaku
anggota.
Sedangkan perbedaan diantara keduanya, kode etik lebih fokus pada isu nilai
dan prinsip yang lebih umum sementara kode perilaku didesain untuk
menerjemahkan atau menjabarkan kode etik ke dalam petunjuk pelaksanaan.
Perbedaan selanjutnya adalah kode etik memuat rumusan aturan yang sangat
umum dan secara teoritis dapat dipakain untuk membimbing pengambilan
keputusan di semua bidang perilaku anggota. Sedangkan Kode Perilaku hanya
meliputi hal-hal dan keadaan yang spesifik saja yang dipandang perlu diatur dalam
kode perilaku.
Adapun subyek yang dituntut kepatuhannya akan kode etika dan standar-
standar perilaku ideal adalah para professional dan anggota organisasi agar
mampu menjaga standar perilaku yang diidealkan dalam kehidupan bersama
dalam suatu profesi atau organisasi. Profesi disini berarti suatu pekerjaan yang
dibangun atas dasar pendidikan yang berkeahlian khusus.
Sebuah pekerjaan dikatakan sebagai profesi jika memenuhi kriteria sebagai
berikut:
1) Adanya organisasi atau asosiasi profesi;
2) Berbasis pengetahuan, keahlian dan keterampilan tertentu;
3) Didukung oleh sistem pelatihan yang terlembagakan;
4) Adanya unsur lisensi resmi dari lembaga pemerintahan;
5) Memiliki unsur kemandirian atau otonomi dalam bekerja;
6) Tersedianya mekanisme pengendalian oleh sejawat; dan
7) Berlakunya kode etika dan standar perilaku.
3.2. Etika Sektor Publik
Sebagaimana pengertian dalam norma hukum yang terdiri dari hukum
materiel dan hukum formil, maka secara analogis kedua pengertian itu juga dapat
dipakai untuk membedakan etika formiel dan etika materiel. Etika materiil
berkaitan dengan substansi etika dan standar perilakunya sedangkan etika formil
berkenaan dengan prosedur penegakan etika materiil. Sebagai contoh dalam
praktik DKPP, etika formil dituangkan dalam bentuk Pedoman Beracara
Pemeriksaan dan Penegakan Kode Etik Penyelenggara Pemilu, sedangkan etika
materiil dituangkan dalam bentuk Peraturan Bersama KPU-BAWASLU.
Pada dasarnya penyusunan peraturan DKPP hanya perlu dikonsultasikan
kepada DPR dan Pemerintah, namun untuk menjaga harmonisasi maka DKPP
mengadakan konsultasi juga dengan Pihak Bawaslu. Forum konsultasi pertama
adalah pembahasan yang dilakukan antara DKPP dan Bawaslu dengan Pemerintah
dan DPR dalam forum komisi II DPR-RI. Kedua, forum konsultasi antara KPU,
Bawaslu dan DKPP sebelum pembahasan di DPR. Keterkaitan antara DPR dengan
DKPP sendiri sebatas pada konsultasi pembuatan peraturan. DKPP yang
merupakan lembaga quasi peradilan tidak dapat diawasi secara teknis oleh DPR
yang merupakan lembaga politik.
Selanjutnya mengenai kaitan antara etika dan penyelenggaraan negara, jika
dibahasakan maka Etika Pemerintahan (government ethics) mengerucut pada kode
perilaku professional di lingkungan jabatan dan tugas-tugas penyelenggaraan
kekuasaan negara. Etika Pemerintahan mencakup keseluruhan sistem norma
aturan etika dan pedoman atau petunjuk tentang perbuatan baik dan benar atau
salah dan buruk di semua lingkungan jabatan.
Tidak semua etika materiil dari para penyelenggara negara diharuskan
bersifat seragam, antara satu instutusi dan institusi lainnya boleh saja berbeda.
Sumber inspirasi untuk merumuskan kaidah-kaidah etika juga dapat diambil dari
nilai-nilai yang hidup dalam masyarakan dan dari dalam lingkungan profesi atau
nilai-nilai ideal di masing-masing bidang kerja. Sedangkan sistem etika formil bisa
saja diatur secara serupa, dengan menerapkan prinsip-prinsip peradilan modern.
Salah satu alasan mengapa etika pemerintahan atau etika penyelenggaraan
negara ini harus dianggap penting karena Indonesia telah tumbuh dan berkembang
semakin terbuka dengan adanya praktik demokrasi. Jika persepsi mayoritas
masyarakat terbentuk bahwa para politisi dan para pejabat pemerintah korup dan
tidak beretika, tentunya akan mempengaruhi kepercayaan dan sikap masyarakat.
Apabila sistem demokrasi gagal dikelola, dikuatirkan muncul pembenaran akan
praktik-praktik anti-demokrasi oleh rezim baru. Selain itu etika penyelenggaraan
negara juga penting untuk mendorong penyelenggaraan adminitrasi pemerintah
yang efektif.
Dalam perumusan materi kode etik, ada 2 kemungkinan cakupan subtansi
yang dinilai tepat untuk dimuat. Pertama kode etika pejabat publik penyelenggara
negara cukup untuk memuat ketentuan mengenai perilaku ideal yang terkait
dengan pekerjaan dalam jabatan yang bersangkutan. Kedua, kode etik pejabat
publik yang secara luas berisikan norma aturan etika dan perilaku ideal pejabat
publik sebagai manusia.
Pengaturan tentang etika ideal berupa Kode Etika Pejabat Publik itu sendiri
dapat dirumuskan dalam bentuk 1) instrumen hukum pidana, 2) peraturan formal
atau undang-undang, 3) kode etika tanpa didukung oleh peraturan perundang-
undangan formal atau 4) dalam bentuk informal.
Contoh penggunaan instrumen hukum pidana sebagai sanksi pelanggaran
etik adalah KUHP Kanada yang mengatur perilaku ideal pejabat publik. Meskipun
pada dasarnya pelanggaran hukum adalah pelanggaran etika pula, namun tujuan
pemidanaan dalam sanksi hukum berbeda dengan yang tujuan sanksi dalam sistem
norma etika. Jika sanksi hukum ditujukan untuk membalaskan dan mengganjar
perbuatan seseorang, sebaliknya sanksi etika bertujuan untuk menjaga dan
memulihkan integritas kepercayaan publik pada suatu institusi atau komunitas.
Pengaturan etika dalam bentuk peraturan formal atau undang-undang dapat
terlihat pada Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945 ataupun Ketetapan MPR
No.VI/MPR/2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa. Sedangkan bentuk formal
lainnya dapat pula dituangkan dalam instrumen tertulis yang bukan peraturan
resmi. Biasanya dirumuskan dalam bentuk Kode Etika dan Kode Perilaku yang
daya ikatnya cukup berdasarkan kesepakatan bersama semua warga yang
menundukan diri. Terakhir, dapat pula dituangkan dalam bentuk pedoman kerja
atau pedoman perilaku yang lebih sederhana yang disepakati bersama sebagai
pegangan bersama menurut standar perilaku yang dipandang ideal.
Terdapat dua pandangan tentang hubungan sistem sanksi etika dan sanksi
pidana, pertama pandangan yang idealis dan formalistic yang beranggapan bahwa
pengenaan sanksi etika saja tidak menghapuskan sanksi pidana terhadap suatu
perilaku yang melanggar norma. Pandangan kedua, pragmatis-moderat
beranggapan bahwa jika sanksi etika telah dijatuhkan maka sistem hukum pidana
tidak lagi perlu dilakukan kecuali jika sifat pelanggaran hukum pidana tersebut
sangat berat dan menimbulkan kerugian terhadap korban ataupun terhadap sistem
hukum.
Pilhan bentuk penormaan etika sendiri berkaitan erat dengan sikap
pemerintahan suatu negara dalam memandang norma etika. Jika pemerintah
mengharapkan pengembangan dan penegakan etika sebagai penopang sistem
hukum, maka sudah barang tentu penormaan etika akan dituangkan dalam bentuk
yang lebih resmi semisal undang-undang dan tentunya akan dikembangkan pula
infrastruktur etik untuk mendukung penegakannya.
Dewasa ini, berkembang konsep keterbukaan informasi yang lahir sebagai
akibat pesatnya teknologi dan informasi yang menyebabkan semakin sedikit
kehidupan kita yang bisa dirahasiakan dari orang lain. Tahun 2009, DPR RI
mengeluarkan Undang-Undang No.14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi
Publik. Dalam Pasal 1 ayat (2) UU ini dijelaskan bahwa informasi publik adalah
informasi yang dihasilkan, disimpan, dikelola, dikirim dan/atau diterima oleh suatu
badan publik yang berkaitan dengan penyelenggara dan penyelenggaraan negara
dan/atau penyelenggaraan badan publik lainnya yang sesuai dengan Undang-
Undang ini serta informasi lain yang berkaitan dengan kepentingan publik.
Transparansi berkaitan erat dengan akuntabilitas, dimana dalam artian luas
akuntabilitas bersifat keluar atau akuntabilitas publik, karena pelaksanaan semua
tugas-tugas kekuasaan publik seharusnya juga dapat dipertanggungjawabkan
secara terbuka juga. Kedua prinsip tersebut bertalian pula dengan prinsip
responsibility yang mengatur tentang apa yang harus dilakukan manakala norma
aturna yang berlaku dilanggar.
Salah satu cara untuk memastikan akuntabilitas dan transparansi dapat
ditumbukan dalam praktik adalah dengan membentuk lembaga eksternal sebagai
penegak aturan etika yang secara berkala menilai etika dan perilaku para pejabat
publik. Lembaga ini lazim dikenal sebagai Komisi Etik. Cara lainnya adalah dengan
mengatur kewajiban untuk disclosure berupa laporan pengungkapan informasi
kepada publik, misalnya kewajiban pembuatan Laporan Harta Kekayaan
Penyelenggara Negara (LHKPN). Selain itu dalam suatu institusi publik perlu juga
dikembangkan budaya the rule of law, not of man. Sehingga di beberapa institusi
publik kemudian dikembangkan budaya whistle blower.
Tetapi perlu diingat bahwa terdapat pula informasi pejabat publik yang
bersifat rahasia yang dalam UU No.14 Tahun 2008 disebut dengan “informasi yang
dikecualikan”. Sebagai contoh informasi pribadi seseorang seperti data perpajakan
dan catatan rekam medis. Karena pada hakikatnya setiap warga negara berhak atas
hak privacy. Contoh lainnya adalah rahasia militer, yang tidak hanya merupakan
pelanggaran etik tetapi juga termasuk dalam kategori tindak pidana berat. Di
beberapa negara bahkan perbuatan tersebut diancam dengan pidana mati.
Beberapa contoh perilaku tidak etis yang dilakukan oleh penyelenggara
kekuasaan negara antara lain:
1) Pencurian, penipuan dan penggelapan;
2) Penggunaan fasilitas negara secara tidak tepat (improper);
3) Suap dan perdagangan pengaruh (bribery and influence peddling);
4) Konflik kepentingan dan melayani kepentingan sendiri (conflict of
interest and self dealing);
5) Etika masa peralihan (pre-retirement and post emplotment periods);
dan
6) Perilaku tak bermoral.
Contoh pemberlakuan kode etik bagi penyelenggara negara dapat ditemui di
Messa City, negara bagian Arizona yang dituangkan dalam Code of Ethics for Public
Officials city of Mesa. Di dalamnya diuraikan mengenai lima hal yakni 1) prinsip-
prinsip umum (general character), 2) konflk kepentingan, 3) pemenuhan aturan
hukum, 4) kegiatan politik dan 5) persoalan fasilitas, sumber daya dan
pengeluaran. Sistem etika di kota Mesa ini dapat dijadikan gambaran bagi kita
sebagai perbandingan dalam pengembangan sistem etika di Indonesia.
3.3. Instrumen Internasional tentang Kode Etik dan Kode Perilaku
3.3.1. International Code of Conduct for Public Officials
Pada tanggal 12 Desember 1996, dalam Sidang Umum ke-82, PBB
mengesahkan Resolusi tentang Action Against Corruption yang melampirkan
naskah International Code of Conduct for Public Officials sebagai Annex. Dalam Kode
Perilaku untuk Pejabat Publik tersebut dimuat 6 butir materi, yakni 1) General
Principles, 2) Conflict of Interest and Disqualification, 3) Disclosure, 4) Acceptance of
Gifts or Other Favours, 5) Confidential Information, dan 6) Political Activity.
3.3.2. International Codes of Conduct Pelbagai Profesi
Seperti sudah dijabarkan sebelumnya, standar perilaku etika mulai
berkembang di lingkungan komunitas profesi. Diantara sistem etika kalangan
organisasi professional yang telah disebutkan antara lain yang dibuat oleh
American Medical Association mulai Tahun 1847, American Association of Public
Accountant yang kemudian berubah nama menjadi Institute of Certified Public
Accountant mulai tahun 1917, dan American Bar Association mulai Tahun 1908.
Adapun substansi atau materi etika yang lazim ditemukan dalam rumusan
Kode Etika tau Kode Perilaku antara lain:
1) Kejujuran;
2) Integritas;
3) Transparansi;
4) Akuntabilitas;
5) Sikap menjaga kerahasiaan;
6) Obyektifitas;
7) Sikap hormat;
8) Ketaatan pada hukum;
9) Kesetiaan pada profesi.
Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim tertuang dalam bentuk Keputusan
Bersama Ketua Mahkamah Agung dan Ketua Komisi Yudisial Tahun 2009. Kode
Etik dan Pedoman Perilaku Hakim ini merupakan panduan keutamaan moral bagi
hakim, baik dalam menjalankan tugas profesinya maupun dalam hubungan
kemasyarakatan di luar kedinasan.
Kode Etik Advokat Indonesia PERADI ditetapkan pada 23 Mei 2002, namun
baru ditandatangani oleh Komite Kerja Advokat Indonesia yang diberi mandate
untuk itu pada tanggal 1 Oktober 2002. Advokat sebagai officium nobile dalam
menjalankan profesinya berada dibawah perlindungan hukum, undang-undang
dan Kode Etik, memiliki kebebasan yang didasarkan pada kehormatan dan
kepribadian advokat yang berpegang teguh pada prinsip Kemandirian, Kejujuran,
Kerahasiaan dan Keterbukaan.
Kode Etik Advokat terdiri atas 14 Bab, 24 Pasal. Mengenai siapa saja yang
layak untuk menjadi advokat dan pedoman perilaku advokat (individu) diatur
dalam Bab II, sebagai contoh advokat dapat menolak klien yang bertentangan
dengan nuraninya, tetapi tidak boleh didasari pada alasan perbedaan agama,
kepercayaan, suku, keturunan, jenis kelamin, dll. Untuk pengaturan mengenai
hubungan advokat dengan klien diatur dalam Bab III Pasal 4, yang termasuk dalam
bab ini misalnya advokat tidak dibenarkan untuk menjamin kepada klien bahwa
perkara yang ditanganinya akan menang. Sedangkan untuk pengaturan mengenai
hubungan dengan teman sejawat diatur dalam Bab IV Pasal 5, misalnya larangan
bagi advokat untuk menarik atau merebut klien dari rekan sejawatnya. Terakhir
dalam Bab VI sampai dengan Bab XIII mengatur prosedur penegakan yang
berfungsi sebagai pedoman beracara dalam penegakan kode etik advokat.
Sanksi yang dapat dijatuhkan bagi pelanggar Kode Etik Advokat sebagaimana
diatur dalam Pasal 16 Kode Etik ini, yaitu:
1) Peringatan biasa;
2) Peringatan Keras;
3) Pemberhentian Sementara untuk waktu tertentu; dan/atau
4) Pemecatan dari keanggotaan organisasi profesi
Sejatinya sistem peradilan etik Advokat ini bagaikan sistem peradilan pada
umumnya, tetapi sedikit catatan pada sifat persidangannya yang masih tertutup
(Pasal 14 ayat 5). Padahal dalam sistem peradilan sendiri, semua persidangan
harus diselenggarakan secara terbuka kecuali kasus-kasus tertentu. Selain itu
dalam sistem penegakan kode etik advokat ini sudah diperkenalkan pula
mekanisme upaya banding etik dari Dewan Kehormatan Cabang/Daerah ke Dewan
Kehormatan Tingkat Pusat.
Ikatan Notaris Indonesia (INI) berdiri pada 1 Juli 1908 dan diakui sebagai
badan hukum berdasarkan Governments Besluit (Penetapan Pemerintah) No.9
tanggal 5 September 1908. Jabatan Notaris diakui sebagai pejabat umum
sebagaikaman disahkan pemerintah berdasarkan Keputusan Menteri Kehakiman
Republik Indonesia Tahun 1995 dan terus diakui berdasarkan UU No.30 Tahun
2004 tentang Jabatan Notaris.
Kode Etik Notaris berlaku bagi seluruh anggota Perkumpulan maupun prang
lain yang memangku dan menjalankan jabatan Notaris, seperti misalnya Pejabat
Sementara Notaris, Notaris Pengganti dan Notaris Pengganti Khusus. Kode Etik
Notaris termasuk cukup lengkap mengatus prosedur penegakannya, meliputi
prosedur pengawasan, pemeriksaan dan penjatuhan sanksi, eksekusi atas sanksi-
sanksi, pemecatan sementara dan seterusnya.
Kode Etik profesi pengajar atau guru pertama kali dirumuskan oleh
organisasi National Education Association (NEA) pada tahun 1929 di Amerika
Serikat, dengan nama Code of Ethics for the Teaching Profession. Pada zaman
pendudukan Belanda, pendidikan di Indonesia diarahkan sesuai dengan kehendak
penjajah sehingga rakyat bersifat statis dan guru berperan sangat dominan
sehingga pengajaran menjadi otoriter, tidak partisipatoris dan merendahkan siswa.
Kode Etik Guru yang terakhir diberlakukan hingga saat ini merupakan hasil
dari Kongres Persatuan Guru Republik Indonesia ke XXI di Jakarta tahun 2013.
Materi kode etik guru ini disusun dalam bentuk rumusan kewajiban para guru
yaitu 1) kewajiban umum, 2) kewajiban terhadap peserta didik, 3) kewajiban
terhadap masyarakat, 4) kewajiban teman sejawat, 5) keajiban terhadap profesi, 6)
kewajiban terhadap organisasi profesi dan 7) kewajiban terhadap pemerintah.
Segala bentuk pelanggaran yang bertentangan dengan jiwa korsa dan kode
etik PNS, diancam dengan sanksi kode yang penegakannya dilakukan oleh Majelis
Kehormatan Kode Etik Pegawai Negeri Sipil atau disingkat Majelis Kode Etik.
Majelis ini merupakan lembaga non-struktural yang bertugas untuk melakukan
penegakan pelaksanaan serta menyelesaikan pelanggaran kode etik yang
dilakukan oleh Pegawai Negeri Sipil.
Jumlah anggota Majelis Kode Etik dapat berjumlah lima atau lebih asalkan
jumlahnya tetap ganjil. Majelis Kode Etik mengambil keputusan setelah memeriksa
PNS yang disangka melanggar Kode Etik dan juga memberikan kesempatan bagi
PNS dimaksud untuk membela diri. Pengambilan keputusan ditempuh melalui
musyawarah mufakat, namun bila tidak ditemui kesepakatan dalam proses
musyawarah tersebut maka pengambilan keputusan dilakukan dengan
pengambilan suara terbanyak.
Bagi setiap PNS yang melakukan pelanggaran Kode Etik dikenakan sanksi
moral yang berupa pernyataan secara tertutup atau pernyataan secara terbuka.
Dalam pemberian sanksi morak harus disebutkan jenis pelanggaran kode etik yang
dilakukan oleh PNS bersangkutan. Selain sanksi moral, dapat pula dikenakan
tindakan administrative sesuai dengan peraturan perundang-undangan.