Anda di halaman 1dari 44

1.

Beban Peradilan Hukum Kontemporer


1.1. Perkembangan Lembaga Peradilan dalam Sejarah
Perkembangan peradilan hukum (court of law) pada awalnya didasarkan atas
ketentuan-ketentuan yang tidak tertulis, yang hidup dalam masyarakat yang
homogen dan sederhana. Begitu pula dengan peradilan adat di Indonesia yang
bersumber dari hukum adat yang tidak tertulis (onschreven adatrecht), yang
kemudian berkembang seiring dengan kemajuan peradaban dimana masyarakat
sudah mengenai tulisan.
Tahapan perkembangan peradilan selanjutnya ditandai dengan adanya
tradisi pengambilan keputusan berdasarkan sistem preseden seperti praktik di
Inggris. Seiring dengan meningkatnya kemampuan baca tulis manusia, pada sekitar
abad ke-15,16 dan 17 berkembanglah dua tradisi hukum, common law yang
bertumpu kepada hakim dan civil law yang bertumpu pada parliamentary law.
Selain kedua tradisi hukum tersebut, terdapat pula tradisi peradilan
berdasarkan buku-bukun hukum yang ditulis oleh para ahli atau yang disebut oleh
Prof. Djoko Soeteono sebagai rechtsspraak naar rechstboeken. Tradisi ini terutama
berkembang di dunia islam yang menggunakan buku-buku fiqh tulisan para ulama
sebagai sumber hukum. Kebiasaan ini juga dilanjutkan oleh lingkungan Pengadilan
Agama di Indonesia, yang kemudian karya-karya ulama serta putusan hakim
pengadilan agama sebelumnya kemudian dikumpulkan kedalam Kompilasi Hukum
Islam.
Lebih lanjut, Prof. Djoko Sutono mengklasifikasikan perkembangan
pengadilan ke dalam 4 tahapan:
1) Rechtsspraak naar ongeschreven recht
2) Rechstpraak naar precedenten
3) Rechstpraak naar rechstbooeken
4) Rechstpraak naar wetboeken

Dari keempat klasifikasi tersebut diketahui bahwa sumber hukum yang


digunakan meliputi The People’s Law, The Lawyer’s Law, The Professor’s Law dan
The State’s Law. Indonesia sendiri mengalami 3 diantara 4 tahapan perkembangan

1
pengadilan tersebut. Hanya tahapan pengadilan yang berdasarkan preseden yang
tidak dialami oleh Indonesia karena masuknya penjajahan Belanda dengan
membawa serta tradisi hukum civil law-nya.

Sistem hukum yang dibawa Belanda juga mempengaruhi lingkungan


peradilan di Indonesia yang terbagi menjadi 4, peradilan umum, peradilan agama,
peradilan militer dan peradilan tata usaha negara. Konsepsi ini dikukuhkan melalui
UU No. 14 Tahun 1970 tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman, yang
kemudian diperkuat kembali melalui amandemen ke-3 UUD 1945 dalam Pasal 24
ayat (2), dimana dengan adanya ketentuan tersebut kekuasaan peradilan di
Indonesia terbagi menjadi 2 puncak, yakni Mahkamah Agung dan Mahkamah
Konstitusi.

Sebagai perbandingan, kekuasaan peradilan di Austria terbagi menjadi 3


yaitu Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Administrasi
Negara. Serupa dengan Austria, Prancis juga memiliki 3 puncak kekuasaan
peradilan yakni Cour d’Cassation, Conseil d’Etat dan Conseil Constitutionnel,
ditambah dengan keberadaan Cour d’Comptes (serupa dengan BPK di Indonesia).
Agak berbeda dengan kedua negara di Kawasan Eropa sebelumnya, Jerman
memiliki 6 puncak struktur peradilan yang terbaik menjadi Federal Court of Justice,
Federal Labour Court, Federal Finance Court, Federal Social Court, Federal
Administrative Court dan Peradilan Konstitusi.

Selain perkembangan ragam kekuasaan peradilan diatas, dewasa ini juga


berkembang penyelesaian sengketa melalui jalur di luar pengadilan (out-of court
settlement). Out-of court settlement ini perlu dipahami positif sebagai budaya
berperkara yang bertujuan untuk menyelesaikan konflik (conflict resolution).
Penyelesaian di luar pengadilan yang cukup lazim di Indonesia diantaranya berupa
arbitrase dan mediasi. Alternatif penyelesaian sengketa ini turut dipengaruhi oleh
kompleksnya kehidupan umat manusia dewasa ini yang mengakibatkan beratnya
beban pengadilan. Untuk itu diperlukan sistem norma yang diidealkan dapat
mengontrol perilaku manusia dari deviant behaviours.

1.2. Ragam Mekanisme Upaya Hukum


Upada hukum adalah mekanisme yang diberikan oleh Undang-Undang
kepada setiap subyek hukum untuk melawan suatu keputusan hukum yang
dianggap merugikan subjek hukum. Dalam artian sempit, keputusan yang
dimaksud adalah keputusan pengadilan sehingga upaya hukum disini meliputi
banding, kasas, verzet dan peninjauan kembali. Tetapi dalam pengertian yang lebih
luas, upaya hukum juga mencakup segala jenis keputusan hukum termasuk
regulasi, keputusan pejabat tata usaha negara dan keputusan hukum berupa vonis.
Peradilan dirancang secara bertingkat untuk memastikan kebenaran dan
menjamin keadilan terpenuhi secara substansial. Namun dalam kondisi tertentu,
masih dibuka peluang untuk adanya upaya hukum luar biasa dalam kondisi
tertentu. Pertama, Peninjauan Kembali yang dilakukan terhadap putusan hakim
yang telah final dan mengikat (inkracht van gewijsde), sedangkan derden verzet
adalah perlawanan yang dilakukan pihak ketiga yang haknya terlanggar dari
adanya suatu putusan atas perkara perdata.

1.3. Perkembangan dan Efektifitas Sanksi Hukum


Beriringan dengan perkembangan hukum dan sistem peradilan, sanksi
hukum juga terus berevolusi menyesuaikan dengan kondisi masyarakat untuk
memenuhi special deterrence dan general deterrence. Sebagai contoh, dikenalnya
denda ganti rugi, penyitaan dan perampasan harta kekayaan untuk negara dalam
kasus korupsi dan kerja paksa atas perintah pengadilan.
Dewasa ini berkembang paham bahwa sistem sanksi seharusnya tidak
ditujukan sekedar sebagai sarana pelampiasan amarah dan kebencian (restorative
justice) tetapi lebih menekankan kepada pemulihan keadaan (retributive justice).
Untuk itu, sistem sanksi juga harus dapat mengimbangi tujuan dari pemidanaan
yang akan dicapai. Sistem sanksi hukum mengalami krisis efektivitas, selain karena
proses penjatuhannya yang berbelit-belit, juga pelaksanaannya yang tidak
sederhana. Oleh sebabnya, etika fungsional patut diperhitungkan sebagai sarana
pengendalian perilaku manusia modern yang mengedepankan sistem sanksi yang
sederhana dan tidak rumit.
Adalah hukuman mati, satu dari sekian jenis sanksi yang dianggap
merupakan hukuman terberat yang pernah ada. Sanksi ini pada kenyataannya
mulai ditinggalkan oleh banyak orang karena bertentangan dengan prinsip dasar
HAM, yakni the right to life yang merupakan non-derogable right. Di Indonesia
sendiri hak tersebut diakui dan dilindungi sebagaimana tertuang dalam Pasal 28 I
UUD NRI 1945, sehingga untuk sebagian kalangan hukuman mati dianggap secara
expressis verbis bertentangan dengan Pasal tersebut. Namun ada pula yang
mendalilkan bahwa sesuai dengan kesepakatan sidang Panitia Adhoc I Badan
Pekerja MPR Tahun 2000, hak ini dikecualikan untuk pidana mati dan abortus
untuk kepentingan ibu.
Hingga saat ini, sekitar 98 negara telah menghapuskan hukuman mati,
sementara lainnya yang masih mempertahankan ketentuan yuridis tentang pidana
mati memilih untuk tidak menerapkannya. Misalnya, dengan pemberian grasi,
penundaan eksekusi dan alasan lain yang menunjukan keengganan pihak
berwenang untuk menjatuhkan hukuman mati. Sikap ini yang disebut dengan
abolisionist de facto. Dari keempat negara terbesar di dunia yang masih
menerapkan hukuman mati, hanya Cina yang masih menerapkannya secara absolut
dalam sistem peradilan mereka.
Selain pidana mati, terdapat pula hukuman penjara dan kurungan yang
sejatinya merupakan bentuk pemidanaan yang merampas kebebasan seseorang.
Terdapat perbedaan diantara keduanya, diantaranya lama masa tahanan, lokasi
penahanan, dan hak pistole yang hanya dimiliki oleh terpidana kurungan. Seiring
dengan berkembangnya paham restorative justice, istilah penjara berganti dengan
Lembaga Permasyarakatan. Artinya, keberadaan lembaga penjara tidak lagi
diutamakan untuk membalas perilaku terpidana, melainkan untuk mengembalikan
kualitas kepribadian seorang pelaku tindak pidana.

1.4. Beban Penjara sebagai Wahana Resosialisasi Narapidana


Keberadaan penjara menjadi pilihan yang cukup sering digunakan oleh para
hakim disebabkan ketidakpopuleran pidana mati akhir-akhir ini. Sementara
tingkat kriminalitas terus meningkat, pada akhirnya penjara-penjara di dunia
mengalami over capacity. Kelebihan beban hunian ini memicu persoalan efektifitas
fungsi lembaga koreksi ini. Pada praktiknya banyak narapidana yang keluar dari
penjara tidak insyaf atau yang lebih parah menjadi recidivist.
Data Lembaga Permasyarakatan dan Rumah Tahanan Negara di wilayah
Polda Metro Jaya menunjukan bahwa fenomena over capacity terjadi di seluruh
lembaga permasyarakatan di bawah supervisinya. Tentu saja dengan
perkembangan kompleksitas kehidupan manusia, maka berkembang juga pula
mala prohibita di tengah masyarakat yang semakin majemuk itu. Dengan kondisi
kepadatan Lembaga Permasyarakatan, maka fungsi penjara menjadi cenderung
berubah dari membuat orang menjadi baik malah membuat orang semakin brutal.
Bahkan sebagian beranggapan bahwa penjara adalah sekolah bagi para kriminal
(untuk menjadi semakin kriminal).
Oleh sebab itu diperlukan adanya mekanisme lain untuk menopang
bekerjanya sistem ancaman sanksi terutama pada hukum pidana yang bertujuan
untuk mengefektifkan kembali sistem kontrol dari hukum pidana itu sendiri.
2. Sistem Norma Etika
2.1. Gambaran Umum tentang Etika
Etika adalah bagian dari salah satu cabang filsafat yang memperbincangkan
tentang perilaku benar dan baik dalam hidup manusia yang tujuan utamanya untuk
mencapai the good life. Secara umum, para ahli menggambarkan filsafat ke dalam 4
cabang yaitu; Descriptive Ethics, Normative Ethics atau Prescriptive Ethics, Applied
Ethics dan Meta Ethics. Adapun etika yang akan dielaborasi lebih lanjut dalam buku
ini adalah etika terapan.
Perkembangan etika terapan telah memasuki beragam aspek kehidupan
manusia, diantaranya etika ekonomi dan bisnis, etika bioetik, etika teknologi, etika
lingkungan, etika sosial, organisasi dan profesi dan etika sektor publik. Sebagian
diantaranya telah terlembagakan menjadi sekumpulan norma etik yang tertulis.
2.2. Sistem Norma, Agama, Etika dan Hukum
Kata norma berasal dari bahasa inggris, norm, yang juga bersumber dari
bahasa Yunani, nomoi atau nomos. Dalam bahasa Arab, kata ini erat kaitannya
dengan istilah kaidah atau qoidah, sedangkan jika dikonotasikan dengan hukum
maka akan sepadan dengan istilah hukum atau ahkam dalam bahasa Arab. Dalam
agama islam, dikenal istilah al-ahkam al-khomsah yang merupakan kaidah perilaku
yang dibedakan menjadi 5 norma, yaitu wajib, haram, sunnah, makruh dan mubah.
Prof. Hazairin membedakan kelima norma tersebut ke dalam norma agama, norma
hukum dan norma kesusilaan.
Norma hukum mencakup 3 hal saja, yakni wajib, haram (larangan) dan
kebolehan (mubah). Konten dalam norma hukum ini sama dengan kaidah norma
yang berkembang di kalangan filsafat Yunani kuno. Sedangkan norma kesusilaan
terdiri dari 3 kaidah yaitu kebolehan (mubah), anjuran untuk melakukan (sunah)
dan anjuran untuk meninggalkan (makruh).
Pada norma agama, kelima kaidah tersebut dijalankan secara simultan
dengan sistem reward and punishment yang bertumpu pada keyakinan
penganutnya akan adanya surga dan neraka. Meskipun tidak semua agama
memiliki konsep pengertian yang sama soal surga dan neraka, tetapi secara umum
setiap perbuatan, baik maupun buruk, akan mendapatkan ganjarannya masing-
masing.
Norma hukum dilaksanakan dengan gagasan tercapainya kepastian, keadilan
dan kemanfaatan dalam satu kesempatan. Untuk itu sistem sanksi yang tegas
seharusnya menjadi padanan dalam penegakan norma hukum. Akan tetapi dalam
praktiknya terdapat pula peraturan perundang-undangan yang tidak diikuti
dengan sistem sanksi, misalnya UU tentang Daerah Khusus Ibukota Jakarta. Untuk
itu dapat dikatakan bahwa norma hukum juga ada yang bersifat memaksa
(imperative) dan membimbing (directive). Untuk itu, penulis menanggap bahwa
pendapat Prof. Hazairin mengenai dikotomi kaidah dalam norma hukum perlu
dievaluasi kembali. Dengan merujuk pada prinsip al-ahkam al-khamsa kiranya
norma hukum tidak hanya terbatas pada perintah dan larangan saja, tapi meliputi
juga norma yang bersifat anjuran.
Dewasa ini berkembang norma anjuran positif atau anjuran negatif yang
tidak secara tegas memerintahkan atau melarang untuk dilakukan sesuatu. Seperti
misalnya yang termuat dalam Konstitusi Irlandia Tahun 1937 dan Konstitusi India
Tahun 1946 yang memuat prinsip-prinsip haluan kebijakan negara. Meskipun
tidak bersifat enforceable, namun prinsip yang terkandung di dalamnya menjadi
pedoman untuk melaksanakan kewajiban negara dengan sebaik-baiknya. Anjuran-
anjuran dalam konstitusi dimaksud kemudian dikenal sebagai etika konstitusi.

2.3. Gejala Pemisahan dan Hubungan Sinergi antar Norma


Kecenderungan untuk membedakan dan bahkan memisahkan pelbagai jenis
norma atau kaidah perilaku manusia dalam pengertian-pengertian tentang norma
hukum, norma etika dan norma agama sebagai kategori yang berbeda dan bahkan
terpisah sama sekali antara satu sama lain dipengarhui oleh gerakan politik dan
perkembangan ilmu pengetahuan, Gerakan politik dimulai dari sekularisme negata
dan geraja yang ditopang secara rasional oleh ilmu pengetahuan.
August Comte yang pertama kali memperkenalkan perspektif positifis ke
dalam filsafat ilmu pengetahuan modern, membagi perkembangan manusia ke
dalam 3 tahapan yaitu: teologis, metafisis dan positifis. Filsafat Auguts Comte ini
sangat mempengaruhi lahirnya mazhab positifis. Hukum dianggap sesuatu yang
terpisah dan tidak boleh dicampuradukan dengan paham-paham keagamaan.
Pemikiran filsafat hukum aliran positivisme pada intinya bersumber dari
perspektif individualisme dan liberalisme.
Pada abad ke-20, gelombang sosiologi mazhab Jerman menolak postifivisme
Comte dengan membangun tradisi baru, yakni anti-positivisme dalam sosiologi.
Pengusung antipositivist dan critical theorist menghubungkan positivisme dengan
scientism. Kemudian kaum positivisme logis atau neopositivist menolak spekulasi
metafisis dan mencoba mereduksi penyataan-pernyataan menjadi logika murni.
Oleh sebab itu, pengertian-pengertian konvensional mengenai ide-ide hukum
positif juga perlu disesuaikan. Untuk itu perlu didudukan kembali bahwa hubungan
antara norma agama, norma etika dan norma hukum harus kembali ditelaah.
Meskipun tidak dicampur-adukkan, tetapi tidak boleh dijauhkan seakan tidak ada
hubungannya sama sekali.
Paham positivisme berdampak besar pada pola pikir sarjana hukum. Hukum
dipahami hanya dengan pendekatan grammatical reading, salah satunya dalam
membaca konstitusi negara yang dilakukan dengan pendekatan tekstual tanpa
mempertimbangkan moral and philosophical reading. Pada akhirnya orang akan
bekerja karena hukum, karena peraturan, bukan karena misi dan kemuliaan tujuan
yang hendak dicapai dan diwujudkan.
Padahal konstitusi negara Indonesia sendiri justru diniatkan untuk menjadi
konstitusi pembebasan, bukan sekedar konstitusi yang membatasi kekuasaan
apalagi yang hanya dipahami dalam perspektif yang sangat formalistik, kaku,
tekstualis dan positivistis. Kaitan antara norma hukum dengan etika perlu
dimaknai kembali, pertama antara sistem hukum dan etika tidak bileh dipisahkan
tetapi bersifat sinergis, saling menopang dan saling melengkapi. Kedua, hubungan
ideal di antara keduanya bukanlan bersifat atas bawah, tetapi bersifat luar dalam.
Ketiga, etika haruslah dipandang lebih luas cakupan dan jangkauan daripada
hukum.
Di zaman sekarang, sistem norma etika mengalami perubahan yang pesat,
ditandai dengan upaya untuk melakukan positivisasi etika. Semula norma etika
dipahami sebagai suatu sistem norma yang hanya hidup dalam pergaulan
masyarakat tanpa membutuhkan penuangan resmi. Namun kini muncul kebutuhan
untuk menuangkan norma-norma etika ke dalam bentuk tertulis, misalnya dalam
bentuk kode etik dan kode perilaku.
2.4. Sistem Sanksi Agama, Hukum dan Etika
Pada dasarnya etika bisa dibedakan menjadi kesusilaan pribadi dan
kesusilaan antar pribadi. Jika seseorang melanggar etika atau kesusilaan
pribadinya, maka perasaannya menjadi tidak tenang. Oleh karena itu banyak pakar
yang mengatakan bahwa antara sistem etika dan kesadaran melakukannya bersifat
imposed from within atau dipaksakan dari dalam. Berbeda dengan norma hukum
yang dipaksakan dari luar kesadaran.
Dalam proses pemberlakuan sistem norma diperlukan iming-iming agar
dorongan dan bimbingan itu dapat efektif, untuk itu dihadirkan sistem reward and
punishment. Ketakutan orang akan hukuman seperti juga harapan orang akan
pujian dan penghargaan memberikan insentif untuk kerja sama dan menyumbang
terhadap kepentingan umum dan kebaikan publik.
Berbeda dengan sanksi dalam sistem hukum, norma agama yang
mengajarkan konsep kehidupan setelah kematian, selalui mengajarkan mengenai
surga dan neraka yang berkaitan dengan dosa dan pahala. Dengan kepercayaan
kepada janji surga dan ancaman neraka inilah perilaku manusia dibimbing oleh
imannya kepada Tuhan. Dalam sistem atau organisasi agama juga lazimnya antara
etika dan hukum tercampur secara alamiah.
Jika dibandingkan dengan sanksi agama, sanksi etika lebih konkret, yaitu
langsung diterima sekarang dan disini di dalam kehidupan masyarakat. Sanksi etik
dapat dilihat dalam berbagai penilaian positif atau negatif yang diberikan orang
lain terhadap tindakan perbuatan seseorang dalam kehidupan bersama. Sebagai
contoh penegakan kode etik, American Speech-Languange Hearing Association
menerapkan beberapa bentuk sanksi yaitu reprimand, cencure, revocation,
suspension, withholding, cease and desist orders.
Sanksi hukum yang dikenal dengan istilah hukuman atau punishment
didefinisikan sebagai suatu pengenaan dengan kekuasaan memaksa (authoritative
imposition) sesuatu yang tidak dikehendaki atau sesuatu yang tidak
menyenangkan atas individua tau sekelompok individu atau suatu kelembagaan
badan hukum tertentu sebagai imbalan atas perbuatan atau tindakan yang tidak
dikehendaki. Dasar pembenaran hukuman itu pada pokoknya dikelompokan
menjadi 5, yaitu; pembalasan atas kesalahan (retribution), penjeraan baik yang
bersifat umum (general deterrence) maupun untuk pelaku (special deterrence),
rehabilitasi, menyebabkan tidak dapat lagi melakukan kesalahan, mengisolasi
pelaku untuk tidak melakukan kesalahannya lagi.

2.5. Perkembangan Pengertian tentang Etika


Perkembangan sistem etika dibagi ke dalam lima tahapan, pertama-tama
pemahaman etika sebagai sebuah konsep yang terkait erat dengan agama,
kemudian dalan bahasan ini disebut dengan etika teologis. Kedua, tahapan dimana
etika tumbuh dan berkembang di dunia ilmu pengetahuan sebagai bagian dari
filsafat. Dengan bantuan ilmu pengetahuan dan teknologi, semakin banyak
fenomena alam yang dapat dikuasai oleh manusia. Tahapan ini oleh van Peursen
disebut dengan tahapan perkembangan ontologis.
Pada tahapan kedua, etika dikembangkan hanya dalam tataran wacana yang
bersifat teoritis dan abstrak. Barulah sejak ditandai dengan penulisan standar
perilaku professional yang dimulai dengan etika kedokteran, maka perkembangan
etika memasuki tahapan ketiga, yakni positivisasi etika. Kode etik yang pertama
kali disusun di Amerika adalah code of medical ethics tahun 1749, kode etik
akuntan (American association of Public Accountant) tahun 1905, dan yang ketiga
adalah Canons of Professional Ethic milik American Bar Association tahun 1908.
Tahapan keempat merupakan pengembangan dari positivisasi etika. Tidak
puas hanya dengan memiliki pedoman etiknya, kalangan professional kemudian
mengembangkan infrastruktur kelembagaan penegakan kode etik. Di Amerika
misalnya, dari 50 negara bagian, 42 diantaranya memiliki sistem infrastruktur etik
lengkap mencakup kode etik dan Komisi Etik. Namun demikian, pada tahapan ini
mekanisme penegakan etik dilakukan secara tertutup mengingat pada dasarnya
etik menyangkut hubungan yang bersifat pribadi atau privat.
Mekanisme penegakan etik yang bersifat tertutup pada dasarnya berpotensi
untuk tidak dapat dipertanggungjawabkan secara independent dan terbuka.
Padahal prinsip transparansi dan akuntabilitas adalah sebuah keniscyaan untuk
mewujudkan prinsip good governance. Dalam tahapan kelima yang saat ini sedang
diupayakan, etika sepatutnya memasuki tahapan fungsional terbuka. Tradisi
keterbukaan dalam penegakan kode etik sendiri sebelumnya telah dipelopori oleh
DK-KPU sejak tahun 2010 dan diteruskan oleh DKPP hingga sekarang.
Pengembangan peradilan etika (court of ethic) disamping court of law
memperkenalkan kita pada istilah rule of ethics. Berbeda dengan rule of law yang
bersumber pada code of law dan book of law, rule of ethics bersumber pada code of
ethics dan atau code of conduct. Pengembangan etika dalam tahapan kelima ini
masih merupakan rintisan sebagai sebuah inovasi untuk kepentingan integritas
kemanusiaan.
3. Perkembangan Kontemporer Etika Materiel dan Formil di Sektor Publik

3.1. Etika Profesi dan Jabatan di Sektor Publik (Public Offices and Sectors)
Etika seringkali dipahami sebagai prinsip-prinsip untuk mengevaluasi baik
buruk atau benar salah perbuatan seseorang. Nilai-nilai etik dibedakan menjadi 2,
yakni normative ethics yang menggambarkan standar perbuatan salah dan benar
dan descriptive ethics yang menggambarkan penyelidikan empiris mengenai
keyakinan moral seseorang.
Profesi pertama yang menyusun kode etiknya adalah bidang kedokteran,
melalui the Conduct of Physician karya al-Ruhawi pada abad ke 9H. Diikuti dengan
code of medical ethics yang disusun oleh Thomas Percival pada tahun 1749. Profesi
kedua adalah akuntan melalui Summa de Athmetica yang ditulis oleh Luca Pacioli
pada tahun 1949. Profesi ketiga yang memiliki kode etik adalah profesi hukum,
pertama yang disahkan oleh Negara bagian Alabama, Amerika Serikat pada tahun
1887. Diikuti oleh Canons of Professional Ethic yang disusun oleh American Bar
Association pada tahun 1908.
Sistem kode etik dan kode perilaku terus berkembang di ranah dunia usaha,
masyarakat sipil maupun pemerintahan negara. Keberadaannya semakin
berkembang setelah United Nation pada Sidang Umum Tahun 1996,
merekomendasikan kepada seluruh anggota United Nation untuk membangun
infrastruktur etik untuk jabatan-jabatan publik (ethics infra-structure in public
offices). Namun perkembangan mutakhir di hampir semua negara, fungsionalisasi
sistem kode etika profesi dan etika jabatan publik belum dikonstruksikan sebagai
suatu proses peradilan (norma etika). Tetapi sejak abad ke-19 dan ke-20, sistem
kode etika dan kode perilaku dikembangkan tidak hanya bersifat imposed from
within tetapi juga imposed from without. Sebagai contoh di Irlandia membentuk
Ethics in Public Offices Act 1995.
Indonesia sendiri memiliki Pancasila yang tidak hanya menjadi sumber
hukum tetapi juga sumber etika, begitu pula UUD Tahun 1945 yang tidak hanya
mengatur hukum konstitusi tetapi juga mengandung etika konstitusi. Berikut TAP
MPR No.VI/MPR/2001 yang merupakan haluan politik negara dalam etika
berbangsa dan bernegara.
Diskusi selanjutnya adalah bagaimana membedakan antara kode etik dan
kode perilaku. Pada dasarnya, kode perilaku merupakan implementasi dari kode
etik, baik yang tertulis maupun tidak tertulis. Kode etik digambarkan sebagai
aturan-aturan moral yang terkait dengan suatu profesi, pekerjaan atau jabatan
tertentu yang mengikat dan membimbing para anggotanya mengenai nilai-nilai
baik dan buruk, benar dan salah salam wadah organisasi bersama. Jika kode etik
bersifat umum dan abstrak, berbeda dengan kode perilaku yang lebih konkret dan
operasional.
Persamaan diantara keduanya adalah sama-sama bertujuan untuk
mempromosikan dan meningkatkan standar perilaku etis, membantu
mengidentifikasi mana perbuatan yang diterima dan tidak diterima, serta
membantu menciptakan suatu kerangka acuan dalam mengevaluasi perilaku
anggota.
Sedangkan perbedaan diantara keduanya, kode etik lebih fokus pada isu nilai
dan prinsip yang lebih umum sementara kode perilaku didesain untuk
menerjemahkan atau menjabarkan kode etik ke dalam petunjuk pelaksanaan.
Perbedaan selanjutnya adalah kode etik memuat rumusan aturan yang sangat
umum dan secara teoritis dapat dipakain untuk membimbing pengambilan
keputusan di semua bidang perilaku anggota. Sedangkan Kode Perilaku hanya
meliputi hal-hal dan keadaan yang spesifik saja yang dipandang perlu diatur dalam
kode perilaku.
Adapun subyek yang dituntut kepatuhannya akan kode etika dan standar-
standar perilaku ideal adalah para professional dan anggota organisasi agar
mampu menjaga standar perilaku yang diidealkan dalam kehidupan bersama
dalam suatu profesi atau organisasi. Profesi disini berarti suatu pekerjaan yang
dibangun atas dasar pendidikan yang berkeahlian khusus.
Sebuah pekerjaan dikatakan sebagai profesi jika memenuhi kriteria sebagai
berikut:
1) Adanya organisasi atau asosiasi profesi;
2) Berbasis pengetahuan, keahlian dan keterampilan tertentu;
3) Didukung oleh sistem pelatihan yang terlembagakan;
4) Adanya unsur lisensi resmi dari lembaga pemerintahan;
5) Memiliki unsur kemandirian atau otonomi dalam bekerja;
6) Tersedianya mekanisme pengendalian oleh sejawat; dan
7) Berlakunya kode etika dan standar perilaku.
3.2. Etika Sektor Publik
Sebagaimana pengertian dalam norma hukum yang terdiri dari hukum
materiel dan hukum formil, maka secara analogis kedua pengertian itu juga dapat
dipakai untuk membedakan etika formiel dan etika materiel. Etika materiil
berkaitan dengan substansi etika dan standar perilakunya sedangkan etika formil
berkenaan dengan prosedur penegakan etika materiil. Sebagai contoh dalam
praktik DKPP, etika formil dituangkan dalam bentuk Pedoman Beracara
Pemeriksaan dan Penegakan Kode Etik Penyelenggara Pemilu, sedangkan etika
materiil dituangkan dalam bentuk Peraturan Bersama KPU-BAWASLU.
Pada dasarnya penyusunan peraturan DKPP hanya perlu dikonsultasikan
kepada DPR dan Pemerintah, namun untuk menjaga harmonisasi maka DKPP
mengadakan konsultasi juga dengan Pihak Bawaslu. Forum konsultasi pertama
adalah pembahasan yang dilakukan antara DKPP dan Bawaslu dengan Pemerintah
dan DPR dalam forum komisi II DPR-RI. Kedua, forum konsultasi antara KPU,
Bawaslu dan DKPP sebelum pembahasan di DPR. Keterkaitan antara DPR dengan
DKPP sendiri sebatas pada konsultasi pembuatan peraturan. DKPP yang
merupakan lembaga quasi peradilan tidak dapat diawasi secara teknis oleh DPR
yang merupakan lembaga politik.
Selanjutnya mengenai kaitan antara etika dan penyelenggaraan negara, jika
dibahasakan maka Etika Pemerintahan (government ethics) mengerucut pada kode
perilaku professional di lingkungan jabatan dan tugas-tugas penyelenggaraan
kekuasaan negara. Etika Pemerintahan mencakup keseluruhan sistem norma
aturan etika dan pedoman atau petunjuk tentang perbuatan baik dan benar atau
salah dan buruk di semua lingkungan jabatan.
Tidak semua etika materiil dari para penyelenggara negara diharuskan
bersifat seragam, antara satu instutusi dan institusi lainnya boleh saja berbeda.
Sumber inspirasi untuk merumuskan kaidah-kaidah etika juga dapat diambil dari
nilai-nilai yang hidup dalam masyarakan dan dari dalam lingkungan profesi atau
nilai-nilai ideal di masing-masing bidang kerja. Sedangkan sistem etika formil bisa
saja diatur secara serupa, dengan menerapkan prinsip-prinsip peradilan modern.
Salah satu alasan mengapa etika pemerintahan atau etika penyelenggaraan
negara ini harus dianggap penting karena Indonesia telah tumbuh dan berkembang
semakin terbuka dengan adanya praktik demokrasi. Jika persepsi mayoritas
masyarakat terbentuk bahwa para politisi dan para pejabat pemerintah korup dan
tidak beretika, tentunya akan mempengaruhi kepercayaan dan sikap masyarakat.
Apabila sistem demokrasi gagal dikelola, dikuatirkan muncul pembenaran akan
praktik-praktik anti-demokrasi oleh rezim baru. Selain itu etika penyelenggaraan
negara juga penting untuk mendorong penyelenggaraan adminitrasi pemerintah
yang efektif.
Dalam perumusan materi kode etik, ada 2 kemungkinan cakupan subtansi
yang dinilai tepat untuk dimuat. Pertama kode etika pejabat publik penyelenggara
negara cukup untuk memuat ketentuan mengenai perilaku ideal yang terkait
dengan pekerjaan dalam jabatan yang bersangkutan. Kedua, kode etik pejabat
publik yang secara luas berisikan norma aturan etika dan perilaku ideal pejabat
publik sebagai manusia.
Pengaturan tentang etika ideal berupa Kode Etika Pejabat Publik itu sendiri
dapat dirumuskan dalam bentuk 1) instrumen hukum pidana, 2) peraturan formal
atau undang-undang, 3) kode etika tanpa didukung oleh peraturan perundang-
undangan formal atau 4) dalam bentuk informal.
Contoh penggunaan instrumen hukum pidana sebagai sanksi pelanggaran
etik adalah KUHP Kanada yang mengatur perilaku ideal pejabat publik. Meskipun
pada dasarnya pelanggaran hukum adalah pelanggaran etika pula, namun tujuan
pemidanaan dalam sanksi hukum berbeda dengan yang tujuan sanksi dalam sistem
norma etika. Jika sanksi hukum ditujukan untuk membalaskan dan mengganjar
perbuatan seseorang, sebaliknya sanksi etika bertujuan untuk menjaga dan
memulihkan integritas kepercayaan publik pada suatu institusi atau komunitas.
Pengaturan etika dalam bentuk peraturan formal atau undang-undang dapat
terlihat pada Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945 ataupun Ketetapan MPR
No.VI/MPR/2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa. Sedangkan bentuk formal
lainnya dapat pula dituangkan dalam instrumen tertulis yang bukan peraturan
resmi. Biasanya dirumuskan dalam bentuk Kode Etika dan Kode Perilaku yang
daya ikatnya cukup berdasarkan kesepakatan bersama semua warga yang
menundukan diri. Terakhir, dapat pula dituangkan dalam bentuk pedoman kerja
atau pedoman perilaku yang lebih sederhana yang disepakati bersama sebagai
pegangan bersama menurut standar perilaku yang dipandang ideal.
Terdapat dua pandangan tentang hubungan sistem sanksi etika dan sanksi
pidana, pertama pandangan yang idealis dan formalistic yang beranggapan bahwa
pengenaan sanksi etika saja tidak menghapuskan sanksi pidana terhadap suatu
perilaku yang melanggar norma. Pandangan kedua, pragmatis-moderat
beranggapan bahwa jika sanksi etika telah dijatuhkan maka sistem hukum pidana
tidak lagi perlu dilakukan kecuali jika sifat pelanggaran hukum pidana tersebut
sangat berat dan menimbulkan kerugian terhadap korban ataupun terhadap sistem
hukum.
Pilhan bentuk penormaan etika sendiri berkaitan erat dengan sikap
pemerintahan suatu negara dalam memandang norma etika. Jika pemerintah
mengharapkan pengembangan dan penegakan etika sebagai penopang sistem
hukum, maka sudah barang tentu penormaan etika akan dituangkan dalam bentuk
yang lebih resmi semisal undang-undang dan tentunya akan dikembangkan pula
infrastruktur etik untuk mendukung penegakannya.
Dewasa ini, berkembang konsep keterbukaan informasi yang lahir sebagai
akibat pesatnya teknologi dan informasi yang menyebabkan semakin sedikit
kehidupan kita yang bisa dirahasiakan dari orang lain. Tahun 2009, DPR RI
mengeluarkan Undang-Undang No.14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi
Publik. Dalam Pasal 1 ayat (2) UU ini dijelaskan bahwa informasi publik adalah
informasi yang dihasilkan, disimpan, dikelola, dikirim dan/atau diterima oleh suatu
badan publik yang berkaitan dengan penyelenggara dan penyelenggaraan negara
dan/atau penyelenggaraan badan publik lainnya yang sesuai dengan Undang-
Undang ini serta informasi lain yang berkaitan dengan kepentingan publik.
Transparansi berkaitan erat dengan akuntabilitas, dimana dalam artian luas
akuntabilitas bersifat keluar atau akuntabilitas publik, karena pelaksanaan semua
tugas-tugas kekuasaan publik seharusnya juga dapat dipertanggungjawabkan
secara terbuka juga. Kedua prinsip tersebut bertalian pula dengan prinsip
responsibility yang mengatur tentang apa yang harus dilakukan manakala norma
aturna yang berlaku dilanggar.
Salah satu cara untuk memastikan akuntabilitas dan transparansi dapat
ditumbukan dalam praktik adalah dengan membentuk lembaga eksternal sebagai
penegak aturan etika yang secara berkala menilai etika dan perilaku para pejabat
publik. Lembaga ini lazim dikenal sebagai Komisi Etik. Cara lainnya adalah dengan
mengatur kewajiban untuk disclosure berupa laporan pengungkapan informasi
kepada publik, misalnya kewajiban pembuatan Laporan Harta Kekayaan
Penyelenggara Negara (LHKPN). Selain itu dalam suatu institusi publik perlu juga
dikembangkan budaya the rule of law, not of man. Sehingga di beberapa institusi
publik kemudian dikembangkan budaya whistle blower.
Tetapi perlu diingat bahwa terdapat pula informasi pejabat publik yang
bersifat rahasia yang dalam UU No.14 Tahun 2008 disebut dengan “informasi yang
dikecualikan”. Sebagai contoh informasi pribadi seseorang seperti data perpajakan
dan catatan rekam medis. Karena pada hakikatnya setiap warga negara berhak atas
hak privacy. Contoh lainnya adalah rahasia militer, yang tidak hanya merupakan
pelanggaran etik tetapi juga termasuk dalam kategori tindak pidana berat. Di
beberapa negara bahkan perbuatan tersebut diancam dengan pidana mati.
Beberapa contoh perilaku tidak etis yang dilakukan oleh penyelenggara
kekuasaan negara antara lain:
1) Pencurian, penipuan dan penggelapan;
2) Penggunaan fasilitas negara secara tidak tepat (improper);
3) Suap dan perdagangan pengaruh (bribery and influence peddling);
4) Konflik kepentingan dan melayani kepentingan sendiri (conflict of
interest and self dealing);
5) Etika masa peralihan (pre-retirement and post emplotment periods);
dan
6) Perilaku tak bermoral.
Contoh pemberlakuan kode etik bagi penyelenggara negara dapat ditemui di
Messa City, negara bagian Arizona yang dituangkan dalam Code of Ethics for Public
Officials city of Mesa. Di dalamnya diuraikan mengenai lima hal yakni 1) prinsip-
prinsip umum (general character), 2) konflk kepentingan, 3) pemenuhan aturan
hukum, 4) kegiatan politik dan 5) persoalan fasilitas, sumber daya dan
pengeluaran. Sistem etika di kota Mesa ini dapat dijadikan gambaran bagi kita
sebagai perbandingan dalam pengembangan sistem etika di Indonesia.
3.3. Instrumen Internasional tentang Kode Etik dan Kode Perilaku
3.3.1. International Code of Conduct for Public Officials
Pada tanggal 12 Desember 1996, dalam Sidang Umum ke-82, PBB
mengesahkan Resolusi tentang Action Against Corruption yang melampirkan
naskah International Code of Conduct for Public Officials sebagai Annex. Dalam Kode
Perilaku untuk Pejabat Publik tersebut dimuat 6 butir materi, yakni 1) General
Principles, 2) Conflict of Interest and Disqualification, 3) Disclosure, 4) Acceptance of
Gifts or Other Favours, 5) Confidential Information, dan 6) Political Activity.
3.3.2. International Codes of Conduct Pelbagai Profesi
Seperti sudah dijabarkan sebelumnya, standar perilaku etika mulai
berkembang di lingkungan komunitas profesi. Diantara sistem etika kalangan
organisasi professional yang telah disebutkan antara lain yang dibuat oleh
American Medical Association mulai Tahun 1847, American Association of Public
Accountant yang kemudian berubah nama menjadi Institute of Certified Public
Accountant mulai tahun 1917, dan American Bar Association mulai Tahun 1908.
Adapun substansi atau materi etika yang lazim ditemukan dalam rumusan
Kode Etika tau Kode Perilaku antara lain:
1) Kejujuran;
2) Integritas;
3) Transparansi;
4) Akuntabilitas;
5) Sikap menjaga kerahasiaan;
6) Obyektifitas;
7) Sikap hormat;
8) Ketaatan pada hukum;
9) Kesetiaan pada profesi.

Arus globalisasi juga turut mempengaruhi pengembangan sistem etik di


berbagai negara. Banyak diantara profesi yang membentuk organisasi
internasional yang kemudian mempengaruhi tatanan pengaturan etik di nagara-
negara asal anggota organisasi. Beberapa diantara pekerjaan yang diakui sebagai
profesi antara lain agamawan, akademisi, akuntan, aktuaris, arsitek, audilog,
dentist, ekonom, insinyir, pekerja bahasa, ahli hukum, penegak hukum, jurnalis
atau wartawan, pustakawan, perawat, farmasi, dokter, fisioterapis, psikolog, pilot
professional, ilmuwan, pekerja sosial, statikawan, ahli bedah, surveyor guru,
perencana kota dan lain sebagainya.
4. Pelbagai Kode Etik Organisasi dan Profesi di Indonesia
4.1. Kode Etik Kedokteran
Organisasi profesi yang dapat dikatakan sebagai yang pertama dalam
memberlakukan sistem kode etik bagi para anggotanya adalah Ikatan Dokter
Indonesia (IDI). Dalam dunia kedokteran pada dasarnya terdapat 6 sifat dasar yang
harus dijadikan pegangan oleh setiap dokter yaitu 1) sifat ketuhanan, 2)
kemurnian niat, 3) keluhuran budi, 4) kerendahan hati, 5) kesungguhan kerja dan
6) integritas (ilmiah dan sosial).
Untuk menjalankan sifat dasar tersebut, terdapat beberapa prinsip etika yang
harus dijalankan dokter yaitu otonomi untuk menentukan hal terbaik bagi dirinya
dan pasien, beneficience atau memberikan bantuan yang bermanfaat bagi orang
lain, nonmaleeficence atau tidak membahayakan pun menimbulkan rasa sakit baik
fisik maupun psikis, justice atau adil, veracity atau jujur, dan terakhir fidelity atau
komitmen terhadap pelayanan sehingga menimbulkan kepercayaan.
Kode Etik Kedokteran Indonesia (Kodeki) memuat 4 macam kewajiban yaitu
Kewajiban Umum, Kewajiban Dokter terhadapan Penderita, Kewajiban Terhadap
Sejawat dan Kewajiban terhadap Diri Sendiri. Dalam LSDI dan KODEKI telah diatur
mengenai garis besar perilaku atau tindakan-tindakan yang layak dan tidak layak
dilakukan oleh seorang dokter. Pelanggaran atas tindakan-tindakan sebagaimana
diatur, dapat berakibat pada penjatuhan sanksi yang tergantung kadar pelanggaran
itu sendiri. Kategori pelanggaran tersebut dibagi menjadi pelanggaran yang
bersifat etika murni dan pelanggaran yang bersifat etikolegal atau bercampur
dengan pelanggaran norma hukum. Bentuk-bentuk sanksi pelanggaran etik dapat
berupa:
1) Teguran lisan atau tertulis;
2) Penundaan kenaikan gaji atau pangkat;
3) Penurunan gaji atau penurunan pangkat setingkat lebih rendah;
4) Pencabutan ijin praktik dokter untuk sementara atau untuk selama-
lamanya;
5) Sanksi hukum sesuai undang-undang kepegawaian yang berlaku dan
diproses hukum melalui pengadilan.
Beberapa contoh pelanggaran etika murni misalnya menarik imbalan yang
tidka wajar atau menarik imbalan jasa dari keluarga sejawat sendiri,
mengambilalih pasien tanpa persetujuan dokter sejawat, memuji sendiri di depan
pasien, memberikan perlakuan khusus kepada pasien, tidak mengikuti pendidikan
dokter secara berkesinambungan dan mengabaikan kesehatan sendiri. Sedangkan
contoh pelanggaran yang bersifat etikolegal yaitu memberikan pelayanan
kedokteran di bawah standar, menerbitkan surat keterangan palsu, membuka
rahasia jabatan atau pekerjaan dokter lain, melakukan tindakan abortus yang
dilarang undang-undang dan melakukan pelecehan seksual.
Pada dasarnya kewajiban pokok dokter adalah membaktikan hidupnya untuk
perikemanusiaan dengan selalu mengutamakan kewajiban diatas hak-hak atau
kepentingan pribadinya. Bagi dokter berlaku Aegroti Salus Lex Suprema, artinya
keselamatan pasien adalah hukum yang tertinggi.

4.2. Kode Etik Hakim

Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim tertuang dalam bentuk Keputusan
Bersama Ketua Mahkamah Agung dan Ketua Komisi Yudisial Tahun 2009. Kode
Etik dan Pedoman Perilaku Hakim ini merupakan panduan keutamaan moral bagi
hakim, baik dalam menjalankan tugas profesinya maupun dalam hubungan
kemasyarakatan di luar kedinasan.

Dengan memperhatikan hasil perenungan ulang atas pedoman perilaku yang


dicetuskan dalam Kongres IV Luar Biasa IKAHI Tahun 1966 di Semarang berupa
Kode Etik Hakim Indonesia, kemudian disempurnakan kembali dalam Munas XIII
IKAHI Tahun 2000 di Bandung. Rancangan pedoman perilaku tersebut kemudian
ditindaklanjuti dalam Rapat Kerja Mahkamah Agung RI Tahun 2002 di Surabaya
yang merumuskan 10 prinsip Pedoman Perilaku Hakim. Pedoman tersebut disusun
dengan terlebih dahulu memperbandingkan prinsip-prinsip internasional dan
peraturan- peraturan internasional diantaranya The Bangalore Principles of
Yudicial Conduct.

Mahkamah Agung kemudian menerbitkan Pedoman Perilaku Hakim melalui


Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung RI Nomor KMA/104-A/SK/XII/2006
tanggal 22 Desember 2006 tentang Pedoman Perilaku Hakim dan Surat Keputusan
Ketua Mahkamah Agung RI Nomor 215/KMA/SK/XIII/2007 tanggal 19 Desember
2007 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pedoman Perilaku Hakim.

Kemudian dengan mempertimbangkan Pasal 32A jo. Pasal 81B UU No.3


Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang No.14 Tahun 1985
tentang Mahkamah Agung, maka disusunlah Kode Etik dan Pedoman Perilaku
Hakim yang menjadi pedoman bagi hakim seluruh Indonesia, Mahkamah Agung
dan Komisi Yudisial. Prinsip-prinsip dasar Kode Etik dan Pedoman Perilaku
diimplementasikan dalam 10 aturan perilaku sebagai berikut:
1) Berperilaku adil;
2) Berperilaku jujur;
3) Berperilaku arif dan bijaksana;
4) Bersikap mandiri;
5) Berintegritas tinggi;
6) Bertanggung jawab;
7) Menjunjung tinggi harga diri;
8) Berdisiplin tinggi;
9) Berperilaku rendah hati; dan
10)Bersikap professional.
4.3. Kode Etik Advokat Indonesia

Kode Etik Advokat Indonesia disusun berdasarkan ketentuan UU No.18


Tahun 2003 tentang Advokat. Pada Bab XI PAsal 22 ayat (1), (2), (3), dan (4)
Aturan Peralihan Kode Etik Advokat ini ditegaskan bahwa Kode Etik ini dibuat dan
diprakarsai oleh Komite Kerja Advokat Indonesia yang disahkan dan ditetapkan
oleh IKADIN, AAI, IPHI, HAPI, SPI AKHI dan HKHPM yang dinyatakan berlaku bagi
setiap orang yang menjalankan profesi Advokat di Indonesia tanpa terkecuali.
Organisasi-organisasi advokat tersebut kemudian membentuk Dewan Kehormatan
sebagai Dewan Kehormatan Bersama yang secara struktur akan disesuaikan
dengan Kode Etik Advokat.

Kode Etik Advokat Indonesia PERADI ditetapkan pada 23 Mei 2002, namun
baru ditandatangani oleh Komite Kerja Advokat Indonesia yang diberi mandate
untuk itu pada tanggal 1 Oktober 2002. Advokat sebagai officium nobile dalam
menjalankan profesinya berada dibawah perlindungan hukum, undang-undang
dan Kode Etik, memiliki kebebasan yang didasarkan pada kehormatan dan
kepribadian advokat yang berpegang teguh pada prinsip Kemandirian, Kejujuran,
Kerahasiaan dan Keterbukaan.
Kode Etik Advokat terdiri atas 14 Bab, 24 Pasal. Mengenai siapa saja yang
layak untuk menjadi advokat dan pedoman perilaku advokat (individu) diatur
dalam Bab II, sebagai contoh advokat dapat menolak klien yang bertentangan
dengan nuraninya, tetapi tidak boleh didasari pada alasan perbedaan agama,
kepercayaan, suku, keturunan, jenis kelamin, dll. Untuk pengaturan mengenai
hubungan advokat dengan klien diatur dalam Bab III Pasal 4, yang termasuk dalam
bab ini misalnya advokat tidak dibenarkan untuk menjamin kepada klien bahwa
perkara yang ditanganinya akan menang. Sedangkan untuk pengaturan mengenai
hubungan dengan teman sejawat diatur dalam Bab IV Pasal 5, misalnya larangan
bagi advokat untuk menarik atau merebut klien dari rekan sejawatnya. Terakhir
dalam Bab VI sampai dengan Bab XIII mengatur prosedur penegakan yang
berfungsi sebagai pedoman beracara dalam penegakan kode etik advokat.

Sanksi yang dapat dijatuhkan bagi pelanggar Kode Etik Advokat sebagaimana
diatur dalam Pasal 16 Kode Etik ini, yaitu:

1) Peringatan biasa;
2) Peringatan Keras;
3) Pemberhentian Sementara untuk waktu tertentu; dan/atau
4) Pemecatan dari keanggotaan organisasi profesi
Sejatinya sistem peradilan etik Advokat ini bagaikan sistem peradilan pada
umumnya, tetapi sedikit catatan pada sifat persidangannya yang masih tertutup
(Pasal 14 ayat 5). Padahal dalam sistem peradilan sendiri, semua persidangan
harus diselenggarakan secara terbuka kecuali kasus-kasus tertentu. Selain itu
dalam sistem penegakan kode etik advokat ini sudah diperkenalkan pula
mekanisme upaya banding etik dari Dewan Kehormatan Cabang/Daerah ke Dewan
Kehormatan Tingkat Pusat.

4.4. Kode Etik Notaris

Ikatan Notaris Indonesia (INI) berdiri pada 1 Juli 1908 dan diakui sebagai
badan hukum berdasarkan Governments Besluit (Penetapan Pemerintah) No.9
tanggal 5 September 1908. Jabatan Notaris diakui sebagai pejabat umum
sebagaikaman disahkan pemerintah berdasarkan Keputusan Menteri Kehakiman
Republik Indonesia Tahun 1995 dan terus diakui berdasarkan UU No.30 Tahun
2004 tentang Jabatan Notaris.

Kode Etik Notaris dirumuskan sebagai keseluruhan kaidah moral yang


ditentukan oleh Perkumpulan INI yang terakhir kali diubah tanggl 27 Januari 2005.
Di samping kode etik, setiap pemegang dan pelaku tugas jabatan notaris sebagai
anggota perkumpulan juga terikat pada Disiplin Organisasi, yaitu kepatuhan
anggota perkumpulan dalam rangka memenuhi kewajiban-kewajiban terutama
kewajiban administrasi dan finansial sebagaimana ditentukan oleh perkumpulan.

Untuk menegakan Kode Etik Notaris, dibentuklah Dewan Kehormatan yang


mandiri dan bebas dari keberpihakan. Dewan Kehormatan bertugas untuk:

1) Melakukan pembinaan, bimbingan, pengawasan, pembenahan anggota


dalam menjunjung kode etik;

2) Memeriksa dan mengambil keputusan atas dugaan pelanggaran


ketentuan kode etik yang bersifat internal atau yang tidak berkaitan
dengan kepentingan masyarakat secara langsung;

3) Memberikan saran dan pendapat kepada Majelis Pengawas atas


dugaan pelanggaran Kode Etik dan Jabatan Notaris.

Terhadap putusan Dewan Kehormatan Daerah dapat diajukan permohonan


banding ke Dewan Kehormatan Wilayah, dan terhadap putusan Dewan
Kehormatan Wilayah dapat diajukan permohonan terakhir ke Dewan Kehormatan
Pusat yang memeriksa dan memutus pada tingkat akhir dan bersifat final.

Kode Etik Notaris berlaku bagi seluruh anggota Perkumpulan maupun prang
lain yang memangku dan menjalankan jabatan Notaris, seperti misalnya Pejabat
Sementara Notaris, Notaris Pengganti dan Notaris Pengganti Khusus. Kode Etik
Notaris termasuk cukup lengkap mengatus prosedur penegakannya, meliputi
prosedur pengawasan, pemeriksaan dan penjatuhan sanksi, eksekusi atas sanksi-
sanksi, pemecatan sementara dan seterusnya.

Pasal 8 mengatur Dewan Kehormatan sebagai alat perlengkapan


Perkumpulan yang berwenang untuk melakukan pemeriksaan terhadap
pelanggaran Kode Etik, sedangkan mekanisme penjatuhan sanksinya diatur pada
Pasal 9. Kode etik juga mengatur prosedur pemeriksaan dan penjatuhan sanksi
pada tingkat banding yang diatur dalam Pasal 10, namun hanya untuk sanksi
pemecatan sementara atau pemecatan dari keanggotaan Perkumpulan. Sedangkan
pemeriksaan dan penjatuhan sanksi pada tingkat akhir diatur dalam Pasal 11.
Khusus untuk sanksi pelanggaran kode etik berupa pemecatan sementara atau
pemberhentian tidak hormat wajib diberitahukan oleh Pengurus Pusat kepada
Majelis Pengawas Daerah dan tembusannya disampaikan kepada Menteri Hukum
dan Hak Asasi Manusia.

4.5. Kode Etik Guru Indonesia

Kode Etik profesi pengajar atau guru pertama kali dirumuskan oleh
organisasi National Education Association (NEA) pada tahun 1929 di Amerika
Serikat, dengan nama Code of Ethics for the Teaching Profession. Pada zaman
pendudukan Belanda, pendidikan di Indonesia diarahkan sesuai dengan kehendak
penjajah sehingga rakyat bersifat statis dan guru berperan sangat dominan
sehingga pengajaran menjadi otoriter, tidak partisipatoris dan merendahkan siswa.

Pada masa itu muncul tokoh Ki Hajar Dewantara yang mengajarkan 4


semboyan pendidikan yaitu:

1) Ing ngarso sung tulodo;


2) Ing madyo magun karso;
3) Tut wuri handayani;
4) Waspodo purbo waseso.
Keempat perilaku mulia tersebut tidak hanya berlaku bagi dunia pendidikan,
tetapi juga dapat diterapkan bagi siapa saja yang sedang menjadi pemimpin. Para
guru pribumi pertama kali mengorganisasikan diri dalam Persatuan Guru Hindia
Belanda (PGHB) Tahun 1912 yang berubah menjadi Persetuan Guru Indonesia
pada tahun 1932. Pasca kemerdekaan Indonesia, didirikanlah Persatuan Guru
Republik Indonesia tanggal 25 November 1945, yang kemudian mengesahkan
Kode Etik pada Kongres ke-XIII yang diselenggarakan pada 21-25 November 1973.
Secara umum, Kode Etik Guru Indonesia sejalan dengan isi Code of Ethics for the
Teaching Profession National Education Association di Amerika, namun disesuaikan
dengan konteks kebudayaan local.

Kode Etik Guru yang terakhir diberlakukan hingga saat ini merupakan hasil
dari Kongres Persatuan Guru Republik Indonesia ke XXI di Jakarta tahun 2013.
Materi kode etik guru ini disusun dalam bentuk rumusan kewajiban para guru
yaitu 1) kewajiban umum, 2) kewajiban terhadap peserta didik, 3) kewajiban
terhadap masyarakat, 4) kewajiban teman sejawat, 5) keajiban terhadap profesi, 6)
kewajiban terhadap organisasi profesi dan 7) kewajiban terhadap pemerintah.

4.6. Kode Etik Pegawai Negeri Sipil


Kode Etik Pegawai Negeri Sipil dituangkan dalam PP No.42 Tahun 2004 yang
merupakan aturan pelaksana dari UU No.8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok
Kepegawaian sebagaimana diubah dengan UU No.43 Tahun 1999. Kode Etik
dimaksud bertujuan untuk menanamkan jiwa korps dan mengamalkan etika bagi
pegawai negeri sipil. Yang dimaksud dengan jiwa korps atau jiwa korsa Pegawai
Negeri Sipil adalah rasa kesatuan dan persatuan, kebersamaa, kerja sama,
tanggung jawan, dedikasi, disiplim, kreativitas, kebanggaan dan rasa memiliki
organisasi Pegawai Negeri Sipil (PNS).

Segala bentuk pelanggaran yang bertentangan dengan jiwa korsa dan kode
etik PNS, diancam dengan sanksi kode yang penegakannya dilakukan oleh Majelis
Kehormatan Kode Etik Pegawai Negeri Sipil atau disingkat Majelis Kode Etik.
Majelis ini merupakan lembaga non-struktural yang bertugas untuk melakukan
penegakan pelaksanaan serta menyelesaikan pelanggaran kode etik yang
dilakukan oleh Pegawai Negeri Sipil.
Jumlah anggota Majelis Kode Etik dapat berjumlah lima atau lebih asalkan
jumlahnya tetap ganjil. Majelis Kode Etik mengambil keputusan setelah memeriksa
PNS yang disangka melanggar Kode Etik dan juga memberikan kesempatan bagi
PNS dimaksud untuk membela diri. Pengambilan keputusan ditempuh melalui
musyawarah mufakat, namun bila tidak ditemui kesepakatan dalam proses
musyawarah tersebut maka pengambilan keputusan dilakukan dengan
pengambilan suara terbanyak.

PP No.42 Tahun 2004 tersebut membedakan antara etika PNS dalam


bernegara, etika dalam berorganisasi, etika dalam bermasyarakat, etika terhadap
diri sendiri, dan etika terhadap sejawat atau sesama PNS. PP No.42 Tahun 2004
juga membedakan antara Kode Etik Instansi yang ditetapkan oleh pejabat pembina
kepegawaian di masing-masing instansi dan Kode Etik Organisasi yang ditetapkan
oleh organisasi profesi di masing-masing lingkungan PNS.

Bagi setiap PNS yang melakukan pelanggaran Kode Etik dikenakan sanksi
moral yang berupa pernyataan secara tertutup atau pernyataan secara terbuka.
Dalam pemberian sanksi morak harus disebutkan jenis pelanggaran kode etik yang
dilakukan oleh PNS bersangkutan. Selain sanksi moral, dapat pula dikenakan
tindakan administrative sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

4.7. Kode Etik Profesi Akuntan


Perkembangan profesi akuntan publik berbanding sejalan dengan
berkembangnya kegiatan usaha dan badan hukumnya. Profesi akuntan dapat
memberikan layanan-layanan dan jasa berupa jasa assurance, jasa atestasi dan jasa
non-assurance. Auditing sendiri adalah pemeriksaan yang dilakukan secara
obyektif atas laporan keuangan suatu perusahaan atau organisasi dengan tujuan
untuk menentukan apakah laporan keuangan tersebut menyajikan keadaan
keuagan dan hasil usaha perusahaan atau organisasi itu dikatakan wajar atau tidak.
Etika profesi akuntan disusun dan ditetapkan pertama kali dalam Kongrest
Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) pada tahun 1973, dan terakhir disempurnakan
pada tahun 1998 dengan nama Kode Etik Akuntan Indonesia. Berdasarkan kode
etik ini dibentuk pula etika profesi kompartemen akuntan publik yang berpraktik
dalam kantor akuntan publik yang menyediakan jenis jasa sebagaimana diatur
dalam Standar Profesional Akuntan Publik, yaitu auditing, atestasi, akuntansi dan
review serta jasa konsulting. Kegiatan audit sendiri terbagi menjadi 3 tipe yaitu
audit laporan keuangan, audit kepatuha, dan audit operasional. Sementara
auditornya diklafisikasikan menjadi tiga jenis yaitu auditor independent, auditor
pemerintah dan auditor internal.
Pada era globalisasi ini, dinamika kompetisi atau hubungan saling bersaing
antar individu dalam masyarakat juga berkembang kian terbuka di semua aspek
kehidupan, termasuk dalam hal ini dunia bisnis. Dalam konsep kompetisi,
diisyaratkan bahwa orang yang dinilai berhasil adalah orang yang menghancurkan
orang lain yang dianggap lawan atau pesaing. Karena itu kata kompetisi sering
dinilai sebagai lambang keserakahan. Untuk itu, sistem integritas harus
difungsikan dengan membangun infrastruktur etika yang efektif di lingkungan
dunia usaha.
Etika sendiri bersumber dari ajaran moral tentang perilaku yang baik versus
yang buruk, yang benar versus yang salah. Karena itu sering dikatakan bahwa
moral sangat erat kaitannya dengan agama dan budaya, termasuk dalam konteks
ini kaidah-kaidah moral pelaku bisnis sangat dipengaruhi ajaran agama dan tradisi
budaya yang melatarbelakanginya. Oleh karena moral lahir dari kesadaran
beragama dan berbudaya, maka sudah semestiya orang yang beragama dan
berbudaya luhur akan memiliki moral yang terpuji pula.
Namun untuk memastikan nilai-nilai moral menurut ajaran agama dan tradisi
budaya itu benar-benar fungsional, dalam praktik diperlukan pelembagaan dalan
sistem etika yang dipositivisasikan. Terkait dengan kaidah etika bisnis sendiri
terdapat beberapa hal yang perlu mendapatkan perhatian seperti pengendalian
diri, pengembangan tanggung jawab sosial, jati diri, penciptaan iklim persaingan
yang baik dan sehat dan penerapan suistainable development. Selain itu pelaku
bisnis juga dituntut untuk menghilangkan praktik budaya Korupsi Kolusi
Nepotisme (KKN) serta membangun tradisi professional yang berdasarkan pada
merit system.
Kode Etik Ikatan Akuntan Indonesia dimaksudkan berfungsi sebagai
pedoman atau panduan perilaku bagi seluruh anggota IAI. Kode Etik ini terdiri dari
tiga bagian yaitu Prinsip Etika, Aturan Etika dan Interpretasi Aturan Etika. Profesi
akuntan sendiri bertujuan untuk memenuhi tanggung jawabnya dengan standar
profesionalisme tertinggi, mencapat tingkat kinerja tertinggi, dengan orientasi
kepada kepentingan publik. Untuk itu ada empat kebutuhan dasar yang harus
dipenuhi seorang akuntan yaitu kredibilitas, professionalisme, kualitas jasa dan
kepercayaan.

4.8. Kode Etik Jurnalistik


Di Indonesia terdapat beberapa organisasi yang bergerak di bidang pers
sehingga mengakibatkan banyak pula kode etik jurnalistik sesuai dengan masing-
masing organisasi pers. Sebagai contoh Kode Etik Jurnalistik Persatuan Wartawan
Indonesia, Kode Etik Wartawan Indonesia, Kode Etik Jurnalistik Aliansi Jurnalis
Independen, Kode Etik Jurnalis Televisi Indonesia dan lain sebagainya.
Kode Etik Jurnalistik pertama lahir pada tahun 1947 yang dibuat oleh
Persatuan Wartawan Indonesia (PWI). Kenyataannya setelah kelahiran PWI tidak
semua wartawan mau bergabung dengan organisasi ini, sehingga pada 30
September 1968, Dewan Pers mengesahkan Kode Etik untuk wartawan non-
anggota PWI.
Melalui Peraturan Menteri Penerangan Nomor 02/Pers/MENPEN/1969,
wartawan Indonesia diwajibkan menjadi anggota organisasi yang telah disahkan
oleh pemerintah, dimana satu-satunya organisasi yang disahkan pemerintah
adalah PWI. Oleh karena itu kode etik PWI menjadi satu-satunya kode etik yang
berlaku pada masa itu.
Barulah pasca reformasi, kebijakan penyeragaman diubah sehingga lahir UU
No.40 Tahun 1999 tentang Pers yang membebaskan wartawan untuk memilih
organisasinya. Kebijakan ini berpengaruh pada kelahiran kode etik di masing-
masing organisasi wartawan. Kemudian pada 6 Agustus 1999 sebanyak 25
organisasi wartawan menyepakati pembentukan Kode Etik Wartawan Indonesia
(KEWI) yang disahkan oleh Dewan Pers pada 20 Juni 2000. Setelahnya, pada 14
Maret 2006 sebanyak 29 organisasi wartawan membuat Kode Etik Jurnalistik yang
baru dan disahkan oleh Dewan Pers pada 24 Maret 2006.
Kode Etik Jurnalistik pada pokoknya memuat 4 hal, yang pertama adalah Asas
Demokrasi yang berarti berita harus disiarkan secara berimbang, independent.
Selain itu pers juga berkewajiban melayani hak jawab dan hak koreksi serta
mengutamakan kepentingan publik. Kedua, Asas Profesionalitas yang secara
sederhana berarti wartawan Indonesia harus menguasai profesinya baik secara
teknis maupun filosofinya. Ketiga, Asas Moralitas yang berkaitan dengan peran
pers atau media masa sebagai institusi yang bisa membawa dampak luas bagi
masyarakat, sehingga dalam menjalankan tugasnya wartawan dituntut untuk
memiliki standar moral tertentu. Terakhir Asas Supremasi Hukum, yang artinya
wartawan berkewajiban untuk patuh dan tunduk kepada hukum yang berlaku.
Beberapa point yang diatur dalam Kode Etik Jurnalistik diantaranya:
1) Wartawan Indonesia bersikap independent, menghasilkan berita yang
akurat, berimbang dan tidak beritikad buruk (Pasal 1);
2) Wartawan Indonesia menempuh cara yang professional dalam menjalankan
tugas jurnalistik (Pasal 2);
3) Wartawan Indonesia selali menguji informasi, memberitakan secara
berimbang tidak mencampuradukan fakta dan opini yang menghakimi, serta
menerapkan asas praduka tak bersalah (Pasal 3);
4) Wartawan Indonesia tidak membuat berita bohong, fitnah, sadis dan cabul
(Pasal 4);
5) Wartawan Indonesia tidak boleh menyebutkan dan menyiarkan identitas
korban kejahatan Susila dan tidak mentebutkan identitas anak yang menjadi
pelaku kejahatan (Pasal 5);
6) Wartawan Indonesia tidak boleh menyalahgunakan profesi dan tidak boleh
menerima suap (Pasal 6);
7) Wartawan Indonesia memiliki hak tolak untuk melindungi narasumber yang
tidak bersedia diketahui identitas maupun keberadaannya, menghargai
ketentuan embargo, informasi latar belakang, dan off the record sesuai
dengan kesepakatan (Pasal 7);
8) Wartawan Indonesia tidak menulis atau menyiarkan berita berdasarkan
prasangka atau diskriminasi terhadap seseorang atas dasar perbedaan suku,
ras, warna kulit, agama, jenis kelamin, dan bahasa serta tidak merendahkan
martabat orang lemah, miskin, sakit, cacat jika atau cacat jasmani (Pasal 8);
9) Wartawan Indonesia harus menghormati hak narasumber tentang
kehidupan pribadinya, kecuali untuk kepentingan publik (Pasal 9);
10)Wartawan Indonesia harus segera mencabut, meralat, dan memperbaiki
berita yang keliru dan tidak akurat disertai dengan permintaan maaf (Pasal
10);
11)Wartawan Indonesia melayani hak jawab dan hak koreksi secara
proposional (Pasal 11).

4.9. Kode Etik Kehumasan


Berbicara mengenai Kode Etik Kehumasan di Indonesia tidak bisa dipisahkan
dari berdirinya Asosiasi Public Relations International (IPRA) tanggal 1 Mei 1955.
Kemudian pada Mei 1961, organisasi ini menetapkan 4 kode perilaku utama yang
berfungsi sebagai standar atau piagam moral bagi perilaku professional
kehumasan. Keempat perilaku tersebut meliputi 1) integritas pribadi dan
profesionalisme, 2) perilaku terhadap klien dan majikan, 3) perilaku terhadap
media dan umum, 4) perilaku terhadap rekan seprofesi. Kode Etik IPRA ini telah
mengalami beberapa kali perubahan terakhir pada tanggal 17 April 1968. IPRA
juga menetapkan Kode Etik Kehumasan Khusus yang berkaitan dengan lingkungan
hidup dan pembangunan yaitu “IPRA Nairobi Code for Communication in
Environmental and Development”.
Unit kerja kehumasan pertama di Indonesia didirikan oleh Pertamina, diikuti
dengan pembentukan Unit Humas POLRI pada tahun 1954. Perdana Menteri
Juanda kemudian menginstruksikan kepada setiap instansi pemerintah untuk
membentuk Unit Kerja Kehumasan, sehingga pada tahun 1967 dibentuk Badan
Koordinasi antar humas instansi pemerintah. Setelah itu baru didirikan organisasi
profesi kehumasan pada tanggal 15 Desember 1972 dengan nama Perhimpunan
Hubungan Masyarakat Indonesia (PERHUMAS) yang melahirkan Kode Etik
Kehumasan Indonesia (KEKI). Khusus untuk Kode Etik Huas di lembaga-lemabga
pemerintah, yang dijadikan acuan adalah Peraturan Menteri Komunikasi dan
Informatika No.371/KEP/M.KOMINFO/8/2007 tanggal 28 Agustus 2007, yang
merujuk pada Kode Etik IPRA.
5. Hukum Konstitusi (Constitutional Law), Etika Konstitusi (Constitutional Ethics)
dan Pengadilan Etik (Courts of Ethics)
5.1. Hukum Konstitusi dan Wacana Etika Konstitusi
Selama ini Undang-Undang Dasar dipahami dalam konstruksi hukum dan
politik. Konstitusi dikonstruksikan sebagai kontrak sosial atau kesepakatan
tertinggi yang memuat sistem norma hukum tertinggi, yang berkaitan erat dengan
perkembangan pemikiran tentang ide kedaulatan (Souvergnity). Bermula dari
gagasan nomokrasi dan demokrasi, keduanya dihadapkan dengan sistem
kekuasaan yang hanya memusatkan kekuasaan pada diri Raja dan Ratu.
Dalam sejarah, di hampir semua lingkungan peradaban, kekuasaan Raja atau
Ratu ini juga seringkali diintegrasikan dengan pengertian tentang ke-Maha-
Kuasaan Tuhan. Ide tentang kekuasaan Raja, kekuasaan rakyat, kekuasaan hukum
dan kekuasaan Tuhan inilah yang diperdebatkan dalam sejarah dikaitkan dengan
pengertian kekuasaan yang paling dianggap tinggi atau kedaulatan.
Dewasa ini, juga berkembang konsepsi tentang ecocracy atau kekuasaan oleh
lingkungan alam (ekologi). Yang dipahami sebagai pemegang kekuasaan tertinggi
adalah alam semesta sebagai lingkungan hidup dan kehidupan umat manusia.
Contohnya di Prancis, naskah Charter for Environtment 2004 ditambahkan ke
dalam rumusan Preambule Konstitusi Prancis pada perubahan Tahun 2006 dan ke
dalam kontitusi Ekuador Tahun 2008. Dari sini dapat dikembangkan pengertian
mengenai the nature’s constitutional rights dan the nature’s fundamental rights.
Karena itu, alam semesta sekarang ini dapat dipahami sebagai subyek kekuasaan
tertinggi atau kedaulatan juga.
Gagasan Kedaulatan Hukum atau Nomokrasi dipahami sebagai sistem
kekuasaan tertinggi yang terletak pada sistem aturan bukan pada subjek atau
benda. Istilah ini tumbuh dan dipakai menurut tradisi common law di Inggris dan
Amerika Serikat, yang dalam tradisi Eropa Kontinental diistilahkan dengan
rechstaat. Dalam doktrin Negara Hukum itu yang memimpin dalam suatu sistem
kekuasaan negara yang sesungguhnya bukanlah orang perorang yang kebutulan
menduduki jabatan kepemimpinan negara dan pemerintahan, tetapi sesungguhnya
adalah sistem aturan yang mengingat dan ditaati oleh semua orang. Ini pula yang
disebut dengan prinsip supremasi hukum (supremacy of law) yang menjadi
prasyarat utama suatu negara yang hendak dinilai sebagai negara hukum.
Di dalam islam terdapat pula prinsip “La tho’ata lo makhluqin fi ma’syiati al-
Khaliq” yang maknanya ketaatan kepada sesame manusia seperti mereka yang
diberi kepercayaan menjadi atasan kit aitu hanya boleh jika hal itu dilakukan
sesuai dengan prinsip-prinsip nilai dan aturan yang baik dan benar. Maksud pesan
Al-Quran ini sejalan the makna yang terkandung dalam the rule of law, not of man.
Kepemimpinan pemerintahan itu pada hakikatnya adalah oleh sistem aturan,
bukan orang perorangan yang sedang memimpin.
Umat manusia dalam sejarah kepemimpinan selalu dihadapkan pada
perdebatan panas antara mengutamakan hukum atau tokoh. Ketika Plato menulis
buku Res Publica ia membayangkan bahwa negara yang ideal haruslah dipimipin
oleh raja-filosof. Tetapi sesudah Plato bergaul sendiri dengan kekuasaan karena
pernah dipercaya menjadi Penasihat Raja, ia menulis lagi buku “Nomoi” yang dalam
bahasa Inggris diterjemahkan menjadi The Law.
Dalam perkembangan sejarah, struktur dari sistem norma hukum yang
bersifat supreme itu sendiri telah mengalami proses diferensiasi structural. Dari
segi struktur peraturan perundang-undangan, berkembang pula pengertian
tentang hirarki peraturan perundang-undangan. Di semua negara, nomra hukum
yang ditempatkan sebagai norma hukum tertinggi adalah konstitusi, baik dalam
pengertian tekstualnya maupun nilai-nilai yang hidup yang terkandung di
dalamnya. Konstitusi oleh JJ. Rousseau, disebut sebagai perjanjian tertinggi untuk
bernegara. Konstitusi juga biasa disebut oleh para ahli sebagai akta kesepakatan
bersama (gemaste akt).
Doktrin mengenai hukum tertinggi ini, seperti dikembangkan oleh banyak
sarjana, seperti Hans Kelsen, Hans Nawiasky, dan lain-ain, dikaitkan dengan
doktrin mengenai supremasi hukum (supremacy of law) yang merupakan salah
satu ciri negara hukum (rechtstaat dan rule of law). Negara demokrasi dipandang
idel jika negara demokrasi yang dibatasi konstitusi. Sedangkan negara hukum yang
dipandang ideal adalah negata hukum yang demokratis (democratic rule of law,
demokratische rechtstaat).
Karena itu, lembaga yang memutuskan persoalan konstitusionalitas seperti
Mahkamah Konstitusi mempunyai kedudukan yang sangat inti dalam sistem
demokrasi konstitusional atau negara hukum yang demokratis. Para hakim
konstitusi diharuskan memahami bahwa konstitusi bukan hanya seonggok kata-
kata yang kosong dan kering seperti apa yang tertulis secara grammatical dalam
naskah Undang-Undang Dasar, tetapi lebih dari itu apa yang terkandung di
dalamnya nilai-nilai yang hidup yang terdapat di dalamnya, ide dasarnya, rohnya,
jiwanya, yang terkandung dalam Pembukaan UUD1945.
Semua apa yang dimaksudkan oleh Plato dalam bukunya Nomoi masih
tercampur baur antara pengertian-pengertian tentang norma hukum, norma etika,
dan norma agama. Ketiga sistem norma ini baru dikemudian hari mengalami
diferensiasi strukturan dan fungsional. Bahkan, bersamaan dengan semakin
meluasnya pengaruh paham sekularisme dan kemudian paham postivisme,
pengertian norma hukum itu menjadi semakin sempit menjadi sekedar hukum
postif. Namun sejatinya, sesuatu yang melanggar hukum tentu dengan mudah
dapat dinilai melanggar etika juga, tetapi sesuatu yang melanggar etika belum
tentu melanggar hukum. Sayangnya, sulit bagi sarjana hukum yang berpikir sangat
tekstual dan postivistik untuk membayangkan bahwa norma hukum itu tidak lebih
tinggi kedudukannya daripada etika.
Ketua Mahkamah Agung Amerika Serikat pernah berkata, “law floats in a sea
of ethics” hukum mengapung di atas samudera etika. Artinya ada hubungan sinergi
antara hukum dan etika itu yang mana etika memiliki lingkup yang lebih luas dari
hukum. Para sarjana hukum, apalagi yang biasa terdidik dalam tradisi hukum sipil
yang lebih mengutamakan statutory law daripada judge made law seperti dalam
tradisi common law pada umumnya selalu berpikir tekstualis dalam memahami
hukum.
Padahal, hukum itu bukan hanya menyangkut persoalan tekstual, tetapi juga
kontekstual, yang dalam setiap perumusan teks selalu terkandung ide dan nilai-
nilai yang menjadi roh atau spirt of the law. Pentingnya roh hukum itu pulalah yang
menyebabkan Barond e Montesquieu memberi judul pada bukunya yang terkenal
yaitu De I’esprit de Lois atau The Spirit of Law. Dengan roh hukum, para hakim dan
sarjana hukum hendaklah mampu memahami dan menghayati makna yang
menjadi esensi atau jiwa yang terkandung dalam Undang-Undang Dasar, yang
biasanya diistilahkan dengan moral and philosophical reading of the constitution.
Gagasan moral reading itu sendiri pertama kali dipopulerkan oleh Ronald Dworkin
dalam bukunya Law’s Empire and Freedom’s Law: The Moral Reading of the
American Constitutions. Menurutnya, “The Moral Reading… brings political morality
into the heart of constitutional.
Studi konstitusi harus dikembangkan tidak hanya mempelajari soal-soal yang
berkenaan dengan hukum, tetapi juga moral dan etika konstitusi yang berkaitan
erat dengan pemahaman mengenai roh atau the spirt of constitution. Hal ini sama
dapat kita bandingkan dengan hubungan antara Pancasila dan UUS 1945.
Keduanya tidak boleh dipisahkan karena Pancasila adalah roh yang terkandung
dalam teks UUD sebagai konstitusi tertulis.
Wacana dan teori-teori konstitusi yang berkembang harus diakui belum
pernah dikaitkan dengan isu-isu etika. Wacana tentang konstitusi hanya berfungsi
sebagai pemandu bagi proses penyelenggaraan kekuasaan negara, terutama dalam
hubungan antara pemerintahan dengan rakyat. Namun dengan berkembangnya
waktu, muncul kebutuhan untuk memberikan ruang kepada temuan-temuan dalam
praktik (constitutional practices) menjadi kandungan makna yang lebih luas dari
norma-norma hukum yang termaktub dalam pasal-pasal konstitusi. Inilah yang
kemudian mendorong kemunculan constitutional practice melalui putusan
Mahkamah Agung dalam kasus Marburry. Vs Madison.
Perkembangan terakhir di dunia ini, beriringan dengan cara pandang realist
perspectives bermaksud mengurangi beban tanggung jawab konstitusional pada
penyelenggara negara non-judisial, sekaligus membuka ruang untuk menampung
kebutuhan-kebutuhan khusus dalam praktik konstitusi. Sekarang, muncul juga
kebutuhan baru lagi yaitu etika konstitusi. Sayangnya para ilmuan sosial
cenderung sangat mengutamakan empirisme dengan mengabaikan sama sekali
pesan moral dari analisis-analisis ilmiah yang mereka lakukan.
Pemahaman mengenai konstitusi dari sisi normative maupun empiris sama-
sama memiliki kelemahan. Dari sisi empiris, pendekatan yang dilakukan tidak
selalu menggambarkan kenyataan yang sebeneranya. Sebaliknya, pendekatan yang
hanya normative tidak dapat menampung kebutuhan yang nyata dalam praktik.
Jika konstitusi hanya dilihat sebagai seperangkat aturan hukum, menurut Keith E.
Whittington dapat menimbulkan setidaknya 3 kesulitan. Pertama, the problem of
fidelity, yang mempersoalkan tidak hanya makna atau tafsir atas aturan konstitusi
yang ada, tetapi bagaimana penafsiran itu dilakukan oleh setiap orang yang
menafsirkan.
Karena itu disamping diperlukan teori-teoru tang menuntut kea rah proses
interpretasi dan penegakan norma-norma hukum konstitusi, juga diperlukan teori
baru yang membimbing perilaku politik dalam sistem aturan dalam rezim
konstitusi itu. Inilah yang disebut misalnya oleh ekonom James Buchanan sebagai
ethic of constitutional citizenship atau etika kewarganegaraan berkonstitusi.
Kearifan konstitusional dalam suatu rezim konstitusi akan hilang jika
pemahaman dan bahkan minat terhadap struktur politik menghilang dari
kehidupan warga negara. Dengan demikian, probkem of fidelity tidak hanya
menyangkur penafsiran konstitusi, tetapi juga menyangkur keperluan
membangung dukungan politik terhadap upaya membina dan menjaga bekerjanya
upaya pengawasan terhadap kekuasaan politik.
Padahal, penafsir konstitusi itu adalah semua pejabat termasuk Presiden,
DPR, DPD, BPK dan lain-lain lembaga konstitusional adalah juga pelaksana
Undang-Undang Dasar yang dalam pelaksanaan tugas dan tanggung jawabnya juga
harus menafsirkan konstitusi. Hanya saja, tafsir mereka itu tidak mengikat bagi
orang lain. Karena itu Mahkamah Agung Amerika Serikat atau Mahkamah
Konstitusi Republik Indonesia bukanlah the sole interpreter of the constitution
tetapi adalah the final interpreter of the constitution.
Disamping praktik-praktik ketatanegaraan, yang biasa diartikan sebagai
hukum tata negara atau constitutional law pun tidak semuanya tercantum secara
ekslplisit dalam teks Undang-Undang Dasar. Karena itu, dalam studi hukum tata
negara diakui bahwa sumber hukum tata negara itu bukan hanya Undang-Undang
Dasar tetapi juga konvensi dan kebiasaan ketatanegaraan, praktik-praktik
ketatanegaraan, doktrin ilmiah dan bahkan peraturan perundang-undangan yang
melaksanakan ketentuan undang-undang dasar.
Konstitusionalisme dianggap identic saha denga napa yang dipahami sebagai
hukum konstitusi atau hukum tata negara. Padahal banyak aspek yang tidak
dimaktub dalam pengertian hukum ynag perlu mendapat pertimbangan
konstitusional juga. Misalnya, Presiden George Washington meninggalkan
preseden dalam sejarah ketatanegaraan Amerika Serikat karena hanya bersedia
menjabat selama 2 periode. Meskipun preseden ini terus diikuti oleh presiden-
presiden sesudahnya hingga pada Amandemen Konstitusi Ke-22 diberlakukan
hukum tertulis yang secara tegas membatasi masa jabatan Presiden Amerika
Serikat.
Contoh lain adalah persoalan negarawan yang menjadi syarat bagi hakim
konstitusi sebagaimana ditentukan pada Pasal 24C ayat (5) UUS 1945, oleh karena
itu secara harfiah calon hakim konstitusi seharusnya bukanlah seorang politisi.
Akan tetapi timbul perdebatan terhadap isi pasal tersebut dari kalangan anggota
Komisi 3 DPR RI yang hendak mencalonkan diri sebagai hakim MK. Alasannya
tidak ada larangan anggota DPR untuk mencalonkan diri sebagai Hakim Konstitusi,
asalkan setelah terpilih dan ditetapkan dengan keputusan Presiden mengundurkan
diri sebagai anggota DPR.
Praktik demikian sebenarnya menjelaskan bahwa jiwa dari Pasal 24 C ayat
(4) dan (5) UUD 1945 sudah tidak terpenuhi, karena kedua callon bukan diajukan
tetapi berasal dari DPR. Artinya ketika dipilih mereka masih belum memiliki
kualitas sebagai seorang negarawan, melainkan masih sebagai seorang politisi
yang meskipun sudah mengundurkan diri dari jabatan anggota DPR beberapa jam
sebelumnya. Sikap-sikap kenegarawanan dikaitkan dengan sifat-sifat orang yang
sudah selesai dengan dirinya, maka orang yang bersangkutn diharapkan hanya
untuk kepentingan bangsa dan negara saja bukan lagi urusan yang berkaitan
dengan kepentingan pribadinya.
Constitutional propriety dan constitutional fidelity tidak hanya terpaku pada
teks konstitusi, tetapi juga harus mempertimbangkan pengalaman-pengalaman
praktik yang memberikan nilai tambah tentang makna negarawan dalam proses
recruitment hakim. Ketiga, persoalan kemampuan untuk membuat keputusan
konstitusional yang tepat dan dapat dipertanggungjawabkan dalam situasi
tertentu. Oleh karena itu konstitusi tidak memuat semua hal yang kita anggap
penting, maka disamping pentingnya praktik-praktik kenegaraan yang kelak
dikembangkan juga perlu disadari terbukanya ruang untuk pengambilan
keputusan-keputusan yang tidak tergantung pada teks formal.
Teori-teori konstitusi atau hukum tata negara kontemporer haruslah
memperluas lingkup kajiannya, yaitu munculnya kebutuhan untuk dikembangkan
teori tentang etika konstitusi. Persoalan etika konstitusi tidak semata-mata
menyangkut perseoalan lengkap tidaknya aturan hukum konstitusi, untuk
melengkapi teori-teori dan doktrin-doktrin yang sudah berkembang selama
berabad-abad mengenai hukum konstitusi.
5.2. Pancasila dan Etika Kehidupan Berbangsa
Perkembangan terakhir, krisis etika telah melanda di hampir semua elemen
bangsa. Kerusakan moral telah memberi kontribusi secara negatif terhadap praktik
korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Kondisi tersebut mendorong MPR era
reformasi menyusun TAP MPR/VI/2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa.
Maksud dan tujuan pembentukan TAP MPR/VI/2001 diharapkan dapat membantu
memberikan penyadaran kepada segenap warga tentang arti penting tegaknya
etika dan moral dalam kehidupan berbangsa.
Uraian etika kehidupan berbangka ini mencakup enam pokok, yaitu 1) etika
sosial budaya, 2) etika politik dan pemerintahan, 3) etika ekonomi dan bisnis, 4)
etika penegakan hukum yang berkeadilan, 5) etika keilmuan dan 6) etika
lingkungan. Sebelumnya berlakunya TAP MPR No.VI/MPR/2001, pernah disusun
Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) yang dikenal juga sebagai
Eka Prasetya Panca Karsa. Meskipun sudah tidak berlaku, tetapi kedudukan
Pancasila yang menjadi materi di dalamnya masih tetap kokoh tidak berubah
dimakan zaman.
Dalam kaitannya dengan perkembangan sistem etika di abad modern, harus
dipahami bahwa Pancasila bukan hanya merupakan sumber hukum (source of law)
bagi bangsa Indonesia, tetapi juga merupakan sumber etika (source of ethics).
Dengan konsepsi Pancasila yang demikian itu, segala kehendak dan keinginan
politik yang tidak sejalan dengan nilai-nilai Pancasila seperti misalnya “nafsu
politik segelintir elit” yang tidak membawa kebaikan bersama akan bisa dicegah.
Prinsip-prinsip Pancasila itu kemudian dikembangkan secara nalar
intelektual pada tataran praktik, yakni Prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa yang
mengidealkan semua anak bangsa untuk ber-Tuhan yang Maha Esa dan beragama
agar perilakunya dapat tumbuh dan berkualitas dalam bimbingan keagamaan yang
beragam. Prinsip kemanusiaan yang adil dan beradab menggambarkan dan
sekaligus mendorong agar semua orang saling memanusiakan antar sesame secara
adil dan beradab, Prinsip Persatuan Indonesia mengajarkan kita untuk senantiasa
hidup rukun, toleran, saling menjaga dan saling memperkuat satu sama lain.
Sila keempat memuat prinsip kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan mengajarkan kita untuk
bersikap terbuka, yang mengakui keberadaan setiap warga negara sebagai penentu
kehidupan berbangsa, dan Prinsip keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia
mengidealkan sikap jujur, membela kebenaran dan keadilan yang memunculkan
sikap gotong royong antar warga negara sehingga keadilan sosial dapat terwujud.
Rumusan Pancasila berawal dari hasil renungan Bung Karno pada tanggal 1
Juni 1945 yang disebut olehnya sebagai Philosofische grondslag atau
Weltanschauung. Keseluruhan nilai-nilai yang terkandung didalamnya, dimuat
dalam Pembukaan UUD 1945 yang secara historis berasal dari Piagam Jakarta 22
Juni 1945.
Dalam perspektif Pancasila dan UUD 1945, dalam memperkembangkan
pengertian tentang sistem norma hukum, faktor agama, dan Ketuhanan Yang Maha
Esa sekaligus Maha Kuasa itu tidak boleh dipisahkan. Keduanya harus dibedakan
agar tidak tercampur-baru, tetapi tidak terpisahkan. Oleh sebab itu, norma hukum
dibangun seiring dan sejalan dengan sistem nilai dan norma-norma yang hidup
dalam keuakinan hukum masyarakat dan bahkan ditegakan demi keadilan
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai hakim tertinggi.
Negara kita adalah negara hukum yang beretika, bukan sekedar hukum dalam
logika positivisme yang absolut yang mengabaikan roh keadilan yang merupakan
jiwa kehidupan. Karena itu, sistem hukum yang kita bangun juga seajegnya
dilengkapi dengan positivisasi sistem etika bernegara. Meski dalam praktik
kadang-kadang timbul pertentangan antara sistem norma etika dengan hukum,
tetapi keperluan untuk mengembangkan kedua sistem norm aini secara simultan
dan saling melengkapi secara komplamenter terus meningkat di seluruh dunia
dewasa ini.
Pancasila harus dikembangkan sebagai ide dan ideologi terbuka. Sikap dan
sifat ketertutupan adalah pertanda kelemahan dan kesesatan yang menganggap
diri sempurna dan tidak dapat menerima pendapat orang lain, betapapun benar
dan berbahaya pendapat itu, hal itu merupakan satu cara untuk menutupi
kelemahan yang terdapat dalam diri kita sendiri.

5.3. Kepeloporan dalam Peradilan Etika


Kepeloporan dalam sistem Etika Bernegara dapat terlihat dari pembentukan
lembaga-lembaga penegak kode etik dalam jabatan publik (KY, MKH, Badan
Kehormatan DPR dan DPD), organisasi profesi (Konsil Kedokteran Indonesia,
Majelis Kehormatan Advokat, Majelis Kehormatan Notaris), dan di lingkungan
Tentara dan Kepolisian.
Namun demikian, semua lembaga penegak kode etik tersebut sebagian besar
masih bersifat pro-forma. Bahkan sebagian diantaranya belum pernah
menjalankan tugasnya dengan efektif dalam rangka menegakan kode etik yang
dimaksud. Salah satu penyebabnya adalah lembaga-lembaga kode etik tersebut
tidak memiliki kedudukan yang independent, sehingga kinerjanya tidak efektif.
Oleh karena itu solusinya adalah lembaga-lembaga penegak kode etik diharuskan
menerapkan prinsip-prinsip peradilan yang lazim di dunia modern.
Hal itulah yang kemudian dipelopori oleh Dewan Kehormatan Penyelenggara
Pemili (DKPP) yang cikal bakalnya berasal dari DK-KPU yang pada masa itu masih
bersifat ad hoc dan tidak independen, karena kedudukannya masih di dalam
struktur Komisi Pemilihan Umum dan 3 dari 5 orang anggotanya secara ex-officio
berasal dari anggota KPU. Meskpun demikian sidang pertama yang
diselenggarakan DK-KPU dilakukan secara terbuka sebagaimana lazimnya
diterapkan oleh lembaga-lembaga pengadilan.
Dari sisi konsepsi, kelembagaan DKPP benar-benar mempunyai kedudukan
sebagai lembaga peradilan etika yang sejalan dengan tradisi lembaga peradilan
etik. Kemunculannya berkaitan dengan anggapan bahwa KPU dan Bawaslu masih
dianggap belum cukup untuk menyelenggarakan pemilku yang independent.
Sebagai lembaga peradilan etik, segala prinsip yang berlaku di dunia peradilan
hukum juga harus diterapkan di bidang etika, termasuk prinsip audi et alteram
partem dan prinsip transparansi dan keterbukaan. Sidang tertutup sudah pasti
tidak dapat menyelesaikan kerusakan imahe atau citra yang berhubungan dengan
reputasi dan kredibilitas seseorang. Apapun yang diputuskan dalam sidang
tertutup pasti akan menyisakan banyak dugaan.
Hampir di seluruh negara demokrasi dunia menggunakan sistem Pemilu,
lewat Pemilu proses peralihan kekuasaan dijamin lebih aman dan lebih efektif
karena sirkulasi kepemimpinan akan lebih kompetitif dan terbuka. Namun, pada
praktiknya Pemilu dijadikan ajang semata-mata memperebutkan kekuasaan dan
dengan segala cara pasa kontestan membuat persaingan tidak sehat dan mengotori
tujuan Pemilu sehingga mengurangi kadar integritasnya.
Pemilu berintegritas di zaman serba modern tidak hanya menjadi
konsentrasi negara-negara maju dan berkembang tetapi sudah menjadi focus
perbaikan kualitas demokrasi negara-negara di dunia. Integritas penyelenggaraan
Pemilu hanya dapat dilihat dari perspektif manajemen organisasi penyelenggara
pemilu yang tertib dan professional. Integritas dalam Pemilu akan menjadi faktor
penentu munculnya pemimpin-pemimpin bangsa yang baik.
Pasca reformasi, Indonesia melakukan perbaikan sistem Pemilu salah
satunya dengan menerapkan sistem etika dalam penyelenggaraan Pemilu yang
ditandai dengan dibentuknya Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilihan Umum
(DKPP), yang cikal bakalnya berasal dari DK KPU yang pada saat itu masih bersifat
ad hoc.
DKPP secararesmi dibentuk tanggal 12 Juni 2012 dengan komposisi
keanggotaan yang cukup independen. Pada masa transisi mencari bentuk untuk
menjadi lembaga peradilan etika yang independent dan mandiri, DPKK
menjalankan tugas dan wewenang berdasarkan amanat UU No.15 Tahun 2011,
Untuk aturan pelaksaanaan pemeriksaan pelanggara etil, DKPP bersama-sama
dengan KPU dan Bawaslu menyusun Peraturan Bersama No.13,11 1 Tahun 2012
tentang Kode Etik Penyelenggaraan Pemilu dan Peraturan DKPP No.2 Tentang
Pedoman Beracara di DKPP.
Tugas, fungsi dan wewenang DKPP adalah menerima pengaduan adanya
pelanggaran kode etik, memverifikasi laporan, menetapkan putusan dan
menyampaikannya secara terbuka. Keberadaan DKPP diharapkan dapat mencegah
praktik penyelenggaraan Pemilu yang menyimpang dari nilai-nilai demokrasi.
Hingga saat ini DKPP telah menyidangkan lebih dari 300 kasus dugaan
pelanggaran kode etik, termasuk memberikan sanksi.
Sejak keberlakuan UU No.22 Tahun 2007, putusan DK KPU dinyatakan
bersifat final dan mengikat, sehingga oleh karena itu mempunyai karakter dan
mekanisme kerja seperti lembaga peradilan. Sama halnya dengan DKPP yang
dikembangkan sekarang. Sebagaimana telah disinggung, sebagai pengadilan
anggota DKPP juga bersikap netral, pasif dan tidak memanfaatkan kasus untuk
popularitas pribadi mereka. Pendek kata, sebagai lembaga peradilan etika DKPP
juga harus menjadi contoh mengenai perilaku etika dalam menyelenggarakan
sistem peradilan etika.
Peradilan hukum di Indonesia termasuk pada era reformasi masih sarat akan
intervensi dan intimidasi politik sehingga para hakim sering kali bersikap tidak
netral. Padahal seharusnya independensi peradilan terbagi menjadi 2 sisi yaitu
independensi institusional dan independensi personal hakim. Membangun
demokrasi yang sehat dengan ditopang the rule of law and the rule of ethics secara
bersamaan, dimana penegakannya dilakukan melalui proses peradilan yang
independent, imparsial dan terbuka yaitu court of law untuk masalah hukum dan
court of ethic untuk masalah etika.
DKPP dalam konteks peradilan merupakan peradilan etik pertama di
Indonesia, bahkan di dunia. Berawal dari pembentukan DK-KPU yang
meninggalkan legacy yang baik, pengembangannya menjadi DKPP menjadikan
lembaga ini sebagai model dan modal dalam sistem kehidupan bernegara di
Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai