Anda di halaman 1dari 5

Latar belakang

Tarian ini dikenal sebagai "Rentak Kudo" karena gerakannya yang menghentak-hentak seperti
kuda. Tarian ini ditarikan di dalam perayaan yang dianggap sangat Latar belakang

Tarian ini dikenal sebagai "Rentak Kudo" karena gerakannya yang menghentak-hentak seperti
kuda. Tarian ini ditarikan di dalam perayaan yang dianggap sangat sakral oleh masyarakat
Kerinci. Tingginya penghormatan terhadap perayaan seni dan budaya Kerinci ini pada zaman
dahulu sangat kuat sehingga dipercaya bahwa dalam setiap pementasan seni budaya ini getaran
dan hentakan tari Rantak Kudo bisa terasa hingga jarak yang sangat jauh dari lokasi pementasan.
Tarian ini dipersembahkan untuk merayakan hasil panen pertanian di daerah Kerinci yang secara
umum adalah beras (padi) dan dilangsungkan berhari-hari tanpa henti. Kadang bila dilanda
musim kemarau yang panjang, masyarakat Kerinci juga akan mementaskan kesenian ini untuk
berdoa kepada Yang Maha Kuasa (menurut kepercayaan mereka masing-masing). Tujuan dari
pementasan tari ini umumnya adalah untuk melestarikan pertanian dan kemakmuran masyarakat,
untuk menunjukkan rasa syukur masyarakat Kerinci baik dalam musim subur maupun dalam
musim kemarau untuk memohon berkah hujan.sakral oleh masyarakat Kerinci. Tingginya
penghormatan terhadap perayaan seni dan budaya Kerinci ini pada zaman dahulu sangat kuat
sehingga dipercaya bahwa dalam setiap pementasan seni budaya ini getaran dan hentakan tari
Rantak Kudo bisa terasa hingga jarak yang sangat jauh dari lokasi pementasan. Tarian ini
dipersembahkan untuk merayakan hasil panen pertanian di daerah Kerinci yang secara umum
adalah beras (padi) dan dilangsungkan berhari-hari tanpa henti. Kadang bila dilanda musim
kemarau yang panjang, masyarakat Kerinci juga akan mementaskan kesenian ini untuk berdoa
kepada Yang Maha Kuasa (menurut kepercayaan mereka masing-masing). Tujuan dari
pementasan tari ini umumnya adalah untuk melestarikan pertanian dan kemakmuran masyarakat,
untuk menunjukkan rasa syukur masyarakat Kerinci baik dalam musim subur maupun dalam
musim kemarau untuk memohon berkah hujan.

Asal-usul
Walaupun telah ada banyak tulisan yang menuliskan tentang asal usul Tari Rantak Kudo, belum
ditemukan sumber yang benar-benar menjelaskan asal usul seni budaya ini di Kerinci. Hal ini
diperkirakan karena sejarah Tari Rantak Kudo ini diperkirakan telah ada sejak lama sekali di
daerah Kabupaten Kerinci. Menurut seniman-seniman senior (tua), kesenian ini telah dipelajari
dan di laksanakan jauh sebelum mereka lahir namun asal-usulnya menjadi kabur seiring
perjalanan waktu dan kurangnya perhatian dari sejarawan setempat.

Keberadaan seni tari Kerinci ini terus di jaga secara turun-temurun oleh seniman budaya Kerinci
lokal dari generasi ke generasi, walaupun kerberadaannya sangat sedikit pada saat ini dan mulai
pudar. Seni budaya ini sangat identik sekali dengan bahasa dan gaya bahasa masyarakat kerinci
daerah Tanjung dalam menembangkanya nyayian (pengasuh) untuk mengiri kesenian dan tarian.
Daerah Tanjung berada di hilir menyusuri sepanjang pinggiran sungai yang mengalir menuju
Danau Kerinci. Hal ini terlihat dari lirik dan pantun serta bahasa Kerinci Hilir yang digunakan
dalam mendendangkan lagu yang mengiringi gerakan tarian (pengasuh).
Tata tari dan adat ritual
Tari Rantak Kudo dimainkan dengan diiringi alat musik gendang dan di iringi oleh nyayian yang
berisi pantun-pantun, hal ini berbeda dengan Tari Rantak dari Minangkabau yang hanya diiringi
instrumen musik. Para penari terdiri dari pria dan wanita yang menari dengan gerakan yang khas,
yaitu kombinasi dari gerakan silat "langkah tigo" ("Langkah Tiga") dan tari. Biasanya tarian ini
juga dipentaskan dengan pembakaran kemenyan tradisional upacara ritual yang membuat penari
semakin khidmat dalam geraknya, bahkan kadang-kadang ada di antara penari yang mengalami
kesurupan.

Di Indonesia saat ini, tarian ini biasanya dipentaskan dalam acara-acara adat dan acara resepsi
pernikahan adat Kerinci. Salah satu lirik lagu di dalam pantun yang bersahut-sahutan adalah :
"Tigeo dili, empoak tanoh rawoa. Tigeo mudik, empoak tanoh rawoa" ([[Bahasa Indonesia:
"Tiga di Hilir, Empat dengan Tanah Rawang. Tiga di Mudik, Empat dengan Tanah Rawang").
Lirik tersebut menceritakan sebuah kisah pada zaman nenek moyang suku Kerinci dahulu kala,
di kala pemerintahan para Depati (Adipati), Tanah Hamparan Rawang merupakan pusat
pemerintahan, pusat kota dan kebudayaan di kala itu, yaitu dalam lingkup Depati 8 helai kain
yang berpusat di Hiang (Depati Atur Bumi) dimana Tanah Hamparan Rawang merupakan tempat
duduk bersama (pertemuan penting dalam adat Kerinci).

Asal-usul
Walaupun telah ada banyak tulisan yang menuliskan tentang asal usul Tari Rantak Kudo, belum
ditemukan sumber yang benar-benar menjelaskan asal usul seni budaya ini di Kerinci. Hal ini
diperkirakan karena sejarah Tari Rantak Kudo ini diperkirakan telah ada sejak lama sekali di
daerah Kabupaten Kerinci. Menurut seniman-seniman senior (tua), kesenian ini telah dipelajari
dan di laksanakan jauh sebelum mereka lahir namun asal-usulnya menjadi kabur seiring
perjalanan waktu dan kurangnya perhatian dari sejarawan setempat.

Keberadaan seni tari Kerinci ini terus di jaga secara turun-temurun oleh seniman budaya Kerinci
lokal dari generasi ke generasi, walaupun kerberadaannya sangat sedikit pada saat ini dan mulai
pudar. Seni budaya ini sangat identik sekali dengan bahasa dan gaya bahasa masyarakat kerinci
daerah Tanjung dalam menembangkanya nyayian (pengasuh) untuk mengiri kesenian dan tarian.
Daerah Tanjung berada di hilir menyusuri sepanjang pinggiran sungai yang mengalir menuju
Danau Kerinci. Hal ini terlihat dari lirik dan pantun serta bahasa Kerinci Hilir yang digunakan
dalam mendendangkan lagu yang mengiringi gerakan tarian (pengasuh).

Tata tari dan adat ritual


Tari Rantak Kudo dimainkan dengan diiringi alat musik gendang dan di iringi oleh nyayian yang
berisi pantun-pantun, hal ini berbeda dengan Tari Rantak dari Minangkabau yang hanya diiringi
instrumen musik. Para penari terdiri dari pria dan wanita yang menari dengan gerakan yang khas,
yaitu kombinasi dari gerakan silat "langkah tigo" ("Langkah Tiga") dan tari. Biasanya tarian ini
juga dipentaskan dengan pembakaran kemenyan tradisional upacara ritual yang membuat penari
semakin khidmat dalam geraknya, bahkan kadang-kadang ada di antara penari yang mengalami
kesurupan.

Di Indonesia saat ini, tarian ini biasanya dipentaskan dalam acara-acara adat dan acara resepsi
pernikahan adat Kerinci. Salah satu lirik lagu di dalam pantun yang bersahut-sahutan adalah :
"Tigeo dili, empoak tanoh rawoa. Tigeo mudik, empoak tanoh rawoa" ([[Bahasa Indonesia:
"Tiga di Hilir, Empat dengan Tanah Rawang. Tiga di Mudik, Empat dengan Tanah Rawang").
Lirik tersebut menceritakan sebuah kisah pada zaman nenek moyang suku Kerinci dahulu kala,
di kala pemerintahan para Depati (Adipati), Tanah Hamparan Rawang merupakan pusat
pemerintahan, pusat kota dan kebudayaan di kala itu, yaitu dalam lingkup Depati 8 helai kain
yang berpusat di Hiang (Depati Atur Bumi) dimana Tanah Hamparan Rawang merupakan tempat
duduk bersama (pertemuan penting dalam adat Kerinci).

Tari rantak adalah tarian Minangkabau yang sangat dinamis, gerakan-gerakannya


penuh gerakan yang terinspirasi dari pencak silat.

Tari Rantak Dari Sumatera Barat Dinamis dengan


Gerakan Pencak
Siapa yang tak kenal pencak silat? Seni bela diri ini tertanam sangat kuat dalam tradisi
rakyat Minangkabau Sumatera Barat hinga mengilhami salah satu gerakan seni tarian
yang disebut tari rantak. Semua tarian rakyat Minangkabau sangat dinamis, namun tari
rantak luar biasa dinamis dan unik untuk dilihat karena menampilkan gerakan-gerakan
dinamis yang terinspirasi dari pencak silat. Malah, tarian ini lebih ‘ramai’ karena selain
musik, sesekali ada suara keras saat para penari menghentakkan kaki di lantai.

Tarian rantak ini biasanya dibawakan oleh beberapa orang pria dan wanita yang
mengenakan pakaian berwarna merah serta emas. Dengan kombinasi pakaian yang
warnanya cerah, musik yang dinamis dan gerakan-gerakan yang kuat dan tajam plus
hentakan kaki, tari rantak merupakan pemandangan yang mengagumkan untuk dilihat.

Gerakan Penuh Filosofi


Tari rantak yang dikenal orang Minangkabau saat ini ada dua macam, yaitu Rantak
Kudo Pesisir Selatan yang agak lebih kuno dan tarian ciptaan Gusmati Sud yang
bernama sama. Keunikan tari rantak ciptaan Gusmiati Sud ini adalah adanya jenis-jenis
teknik yang menekankan pada berbagai teknik gerakan silat lengkap dengan filosofinya,
yaitu:

 Tagak-tagak (‘berdiri tegak’) yang juga melambangkan konsep merenung


sebelum melakukan segala sesuatu.

 Ukua Jo Jangko (gerakan seperti mengukur) yang bermakna melakukan segala


sesuatu harus sesuai dengan kemampuan yang diukur dengan baik.

 Pandang Kutiko (memandang) yang bermakna kemampuan untuk menafsirkan


suatu peristiwa atau pelajaran dengan arif, tidak berat sebelah.

 Garak-garik (bergerak) yang bermakna inisiatif untuk melakukan sesuatu yang


baik, penuh kepekaan dan kewaspadaan.

 Raso Pareso, yaitu tahap terakhir dimana hal ini melambangkan pikiran yang
sudah menyatu dengan hati nurani.

Semua gerakan ini dimaksudkan untuk melestarikan seni pencak (aspek seni dari silat)
sekaligus menunjukkan filosofi sebenarnya dari gerakan-gerakan seni pencak dan tari
rantak itu sendiri dalam kesatuan gerak yang harmonis. Lepas dari itu, tarian ini adalah
tarian yang dinamis dan menarik mata serta enak disimak. Tarian ini pun menjadi salah
satu tarian Minangkabau Sumatera Barat paling atraktif.

Anda mungkin juga menyukai