Anda di halaman 1dari 15

Perbaikan Sistem Triage, Observasi dan Pencatatan di IGD RS

Wonolangan
Oleh : dr. Fakhrina Nur Fadhillah

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Instalasi Gawat Darurat (IGD) merupakan salah satu bentuk layanan gawat
darurat di rumah sakit dan juga sebagai jalur masuk utama pasien yang
membutuhkan perawatan Kesehatan darurat. Terdapat berbagai macam kondisi
gawat darurat yang ditemuai di IGD. Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan
Republik Indonesia IGD melayani kondisi kegawatdaruratan meliputi kondisi
mengancam nyawa, membahayakan diri dan orang lain/lingkungan, adanya
gangguan pada jalan nafas, pernafasan dan sirkulasi, adanya penurunan kesadaran,
adanya gangguan hemodinamik dan kondisi yang memerlukan tindakan segera.
Masalah yang paling sering dijumpai selama layanan IGD adalah peningkatan
jumlah kedatangan di IGD terutama di masa pandemi ini serta terbatasnya kapasitas
SDM dan tempat di rumah sakit. Di Indonesia penyebab kegagalan nomor satu
dalam penanganan kasus kegawatdaruratan adalah kegagalan mengenal resiko
khususnya dalam memutuskan pelaksanaan triage, sedangkan sisanya adalah karena
keterlambatan rujukan, kurangnya sarana yang memadai maupun pengetahuan dan
keterampilan tenaga medis, paramedis dalam mengenal keadaan resiko tinggi secara
dini, masalah dalam pelayanan kegawatdaruratan, maupun kondisi ekonomi
(Ritonga, 2012).

Sistem triase dibutuhkan untuk memilah dan mengelompokan pasien


berdasarkan kondisinya di IGD. Triase memiliki fungsi penting dalam situasi
emergensi terutama ketika kondisi banyak orang yang membutuhkan pertolongan
datang dalam waktu bersamaan atau pada situasi bencana. Tujuan triase adalah
memastikan setiap pasien menerima perawatan dan observasi sesuai dengan urgensi
kondisi klinisnya. Beberapa sistem triase yang sering digunakan adalah Simple
Triage and Rapid Treatment /START, Australian Triage Scale (ATS), Emergency
Severity Index (ESI) Canadian Triage and Acuity Scale (CTAS) dan Manchester
Triage System (MTS). Setiap sistem memiliki kelebihan dan kekurangan. Hal ini
disesuaikan dengan kondisi lingkungan dan tenaga medis yang ada di IGD. Akan
tetapi, cukup banyak IGD Rumah sakit di Indonesia belum dapat melaksanakan
sistem triase secara baik. Hal tersebut dipengaruhi oleh berbagai macam faktor,
diantara penataan tempat dan fasilitas di IGD yang tidak memungkinkan dilakukan
triase secara optimum, pemilihan system triase yang tidak sesuai keadaan rumah
sakit, atau terbatasnya tenaga Kesehatan yang terlatih untuk melakukan triase pasien.

Berdasarkan observasi yang dilakukan di IGD RS Wonolangan menerapkan


input penilaian triase secara aplikasi menggunakan Averin / SIRS RS wonolangan.
Triase yang diterapkan di IGD menggolongkan kondisi pasien menjadi 5 level status
triase. Hal ini cukup membuat penilaian triase dapat dilakukan lebih sulit daripada
sistem triase yang diberlakukan sebelumnya, yaitu sistem START. Serta pelaksaan
ESI di IGD belum dilakukan dengan tepat. Hal ini akan menjadi potensi chaos dan
neglected pasien di IGD ketika terjadi KLB atau situasi overload di IGD. Hal ini bisa
meningkatkan angka kematian di RS. Oleh sebab itu perlu dilakukan penataan ulang
sistem triase di IGD yang juga disesuaikan dengan kondisi pandemi saat ini serta
tenaga kerja yang tersedia di IGD.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa saja konponen yang diperlukan untuk menjalankan triase di IGD?
2. Bagaimana alur Triase yang bisa diterapkan di IGD RS Wonolangan?
3. Bagaimana cara menentukan status triage pasien di IGD RS Wonolangan?
4. Bagaimana cara melakukan monitoring pasien di IGD berdasarkan
pengelompokan triage?
5. Bagaimana format yang baik dalam pencatatan kegiatan dan observasi di IGD ?

1.3 Tujuan
1. Mengetahui komponen yang diperlukan untuk menjalankan triage di IGD
2. Mengetahui dan dapat menjalankan alur Triase yang bisa diterapkan di IGD RS
Wonolangan
3. Memahami cara menentukan status triage pasien di IGD RS Wonolangan
4. Mengetahui dan melakukan monitoring pasien di IGD berdasarkan
pengelompokan triage dengan baik.
5. Memperbaharui format dalam pencatatan kegiatan dan observasi di IGD sehingga
tercatat dengan baik.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Instalasi Gawat Darurat


Instalasi Gawat Darurat (IGD) adalah unit rumah sakit yang memberikan
perawatan pertama pada pasien dengan memberikan respon pelayanan yang cepat dan
tepat. IGD rumah sakit mempunyai tugas menyelenggarakna pelayanan asuhan media dan
asuhan keperawatan sementrasa serta pelayanan pembedahan darurat bagi pasien yang
datang dengan gawat darurat medis. Salah satu indicator mutu pelayanan IGD adalah
waktu tanggap (respon time) (Depkes RI, 2010). Layana di IGD harus diatur standarnya
dalm memberikan pelayanan gawat darurat sesuai dengan kompetensi dan
kemampuannya sehingga dapat menjamin suatu penanganan gawat arurat dengan respon
time yang cepat dan penanganan yang tepat. Semua itu dapat dicapai dengan
memperbaiki dan selalu mengevaluasi sistem yang ada, meningkatkan sarana prasarana
dan sumber daya manusia.
Prinsip umum pelayanan IGD di rumah sakit (Depkes RI, 2010):
a. Setiap rumah sakit wajib memiliki pelayanan gawat darurat yang memiliki
kemampuan : melakukan pemeriksaan awal kasus-kasus gawat darurat dan
melakukan resusitasi dan stabilisasi (life saving).
b. Pelayanan di IGD rumah sakit harus dapat memberikan pelayanan 24 jam dalam
sehari dan tujuh hari dalam seminggu.
c. Berbagai nama untuk instalasi gawat darurat di rumah sakit diseragamkan
menjadi IGD
d. Rumah sakit tidak boleh meminta uang muka pada saat menangani kasus gawat
darurat.
e. Pasien gawat darurat harus ditangan paling lama 5 menit setelah sampai di IGD
f. Organisasi IGD didasarkan pada organisasi multidisiplin, multiprofesi dan
terintegrasi struktur organisasi fungsional (unsur pimpinan dan unsur pelaksana).
g. Setiap rumah sakit wajib berusaha untuk menyesuaikan pelayanan gawat
daruratnya minimal sesuai dengan klasifikasi.
2.2. Sistem Triase Emergency Severity Index (ESI)
Emergency Severity Index (ESI) merupakan konsep triase yang telah
dikembangkan di Amerika sejak tahun sembilan puluhan. Sistem ESI bersandar pada
perawat dengan pelatihan triase secara spesifik. Dalam sistem ini kondisi pasien
diklasifikasikan dalam 5 level kegawatan. Klasifikasi didasarkan pada penilaian kondisi
awal pasien dan sumber daya rumah sakit yang diperlukan oleh pasien. Sehingga saat
perawat atau tenaga medis bertemu dengan pasien pertama kali, harus dapat segera
menentukan kondisi pasien, memberikan keputusan perawatan hingga kemungkinan
perawatan dan pemulangan pasien (Bolk et al,2011).
Sistem ESI telah diadopsi secara luas di Eropa, Australia, Asia dan Indonesia.
ESI lebih mudah diterapkan di Indonesia karena tidak ada batas waktu yang spesifik yang
ditentuka secara ketat untuk masing-masing level. Selain itu, ESI tidak
mempertimbangkan diagnosis untuk penentuan level triase (Mace dan Mayer, 2012).
a. Skala Prioritas ESI
Emergency Severity Index (ESI) memiliki 5 skala prioritas, yaitu (Hadi, 2014):
1. Prioritas 1/Resusitasi (label biru) merupakan pasien dengan kondisi
mengancam jiwa (impending life/ lim threatening problem) sehingga
membutuhkan tindakan yang segera. Parameter prioritas 1 adalah semua
gangguansignifikan pada ABCD. Contoh prioritas 1 antara lain, cardiac
arrest, status epilepticus, koma hipoglikemik, dsb.
2. Prioritas 2 (label merah) merupakan pasien-pasien dengan kondisi yang
berpotensi mengancam jiwa atau organ sehingga membutuhkan pertolongan
yang sifatnya segera dan tidak dapat ditunda. Parameter prioritas 2 adalah
pasien dengan hemodinamik atau ABCD stabil dengan penurunan kesadaran
tapi tidak sampai koma (GCS 8-12).
3. Prioritas 3 (label kuning) merupakan pasien yang membutuhkan evaluasi
yang mendalam dan pemeriksaan klinis yang cukup banyak (menyeluruh).
Seperti Sepsis.
4. Prioritas 4 (label kuning) merupakan pasien yang memerlukan satu macam
sumber daya perawatan IGD. Seperti pasien BPH yang memerlukan kateter
urin, vulnus laseratum yang membutuhkan hecting, dsb.
5. Prioritas 5 (label putih) merupakan pasien yang tidak memerlukan sumber
daya . pasien hanya memerlukan pemeriksaan fisik dan anamnesis tanpa
pemeriksaan penunjang. Pengobatan pasien prioritas 5 secara umum
pemberian obat oral dan rawat luka sederhana.
b. Algoritma Triase ESI
Apabila pasien memerlukan intervensi penyelamatan jiwa maka pasien
akan masuk dam kelompok priotitas 1 (resusitasi). Apabila pasien terdapat risiko
tinggi terjadi kegawatan kondisi menjadi membutuhkan resusitasi apabila
pertolongan tidak segera diberikan, maka termasuk kedalam golongan prioritas 2.
Seperti pasien dengan perubahan kesadaran akut, perdarahan massif, atau nyeri
hebat. Apabila pasien memerlukan lebih dari satu sumber daya pemeriksaan
tambahan medis maka akan dimasukkan dalam ESI prioritas 3. Namun, apabila
pasien memerlukan sumber daya tambahan hanya 1 maka akan masuk ke dalam
golongan prioritas 4. Sedangkan, pasien yang masih dalam kondisi baik dan dapat
menunggi, karena risiko rendah dan tidak terjadi penurunan kesadaran akut atau
nyeri hebat, masuk kedalam penggolongan ESI 5.

Untuk kategori ESI 2 dan ESI 3 mensyaratkan perawat triase untuk


mengetahui secara tepat berapa sumber daya yang diperlukan. Sumberdaya yang
dimaksud adalah utilisasi pemeriksaan tambahan yang adana direncanakan dokter
IGD terhadap pasien tersebut. Contoh pemeriksaan penunjang adalah
pemeriksaan darah dan urine di laboratorium, pencitraan, pemberian cairan
intravena, nebulisasi, pemasangan kateter urine dan penjahitan luka laserasi.
Pemeriksaan darah, urine dan sputum yang dilakukan bersamaan hanya dihitung
satu sumberdaya. Semikian pula bila ada CT scan kepala, foto polos thorax, dan
foto polos ekstremitas yang dilakukan bersamaan dihitung sebagai satu
sumberdaya (Gilboy, 2011).

C. Triage: Deteksi Dini Pasien dalam Pengawasan COVID-19


Infeksi COVID-19 dapat menyebabkan gejala ISPA ringan sampai berat bahkan
sampai terjadi Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS), sepsis dan syok septik.
Deteksi dini manifestasi klinis akan dapat menentukan secara tepat penerapan
tatalaksana dan level penempatan pasien sesuai kondisinya. Pasien dengan gejala
ringan, rawat inap tidak diperlukan kecuali ada kekhawatiran untuk perburukan yang
cepat sesuai dengan pertimbangan medis. Semua pasien yang pulang ke rumah harus
memeriksakan diri ke rumah sakit jika mengalami perburukan. Pertimbangkan COVID-19
sebagai etiologi ISPA berat. Pengkajian triase primer berbeda dengan triase sekunder.
Pengkajian triase primer berfokus pada keluhan awal pasien datang ke IGD dan riwayat
kontak dengan pasien COVID-19 atau riwayat ke tempat terindikasi COVID-19.
Pengkajian di triase sekunder IGD ISPA dapat memakai list manisfestasi klinis COVID-19
yang dikeluarkan Kementerian Kesehatan Pedoman Rev 4.0 serta Early Warning System
skrining COVID-19 untuk menetapkan tindakan yang dilakukan (lihat Tabel 1 untuk
pengkajian pada triase primer untuk COVID-19 dan Tabel 3 EWS skrining COVID-19).
Alur Triase Pasien di IGD:
1. Siapkan triase primer (initial) di pintu masuk di IGD sebelum masuk ruang tunggu
untuk skrining awal pasien terhadap COVID-19. Bedakan antara ruang IGD ISPA
dengan IGD non ISPA. Hal ini membatasi kemungkinan penularan infeksi melalui
pusat pelayanan kesehatan
2. Kaji pasien: a. keluhan datang ke IGD, b. riwayat kontak dengan penderita COVID-
19, c. riwayat berpergian ke area terindikasi COVID-19.
3. Pasien dengan keluhan non ISPA dan tanpa riwayat kontak dengan penderita
COVID-19 atau riwayat berpergian ke area terindikasi COVID-19 maka rujuk ke IGD
non ISPA untuk dilakukan pengkajian dan treatmen sesuai kondisi.
4. Pasien tanpa keluhan namun memiliki riwayat kontak dengan penderita COVID-19
atau riwayat berpergian ke area terindikasi COVID-19 maka dianjurkan ke poli
ISPA untuk skrining COVID-19
5. Pasien dengan keluhan gangguan pernapasan mengarah ke COVID-19 dan riwayat
riwayat kontak dengan penderita COVID-19 atau berpergian ke area terindikasi
COVID19 maka diarahkan ke IGD ISPA
6. Pada IGD ISPA, dilakukan triase sekunder, kaji kondisi pasien. Gunakan list
manisfestasi klinis Kemkes Rev 4.0 atau EWS skrining COVID-19
7. Berdasarkan tingkat kondisi pasien kolaborasikan penempatan dan tindakan yang
perlu dilakukan.

Tabel Skrining Primer Covid

Algoritma Triase Pada Masa Covid


BAB III
ANALISIS MASALAH

3.1 Detail Alur Pasien


Pasien Masuk

P1

CXR dan Swab Ag

CXR dan Swab Ag


P1 P2 P2
P3/
Tindakan Apabila terdapat temuan positif swab
antigen dan/atau Rongent pneumonia

Apabila terdapat temuan negative swab


antigen dan Rongent normal
Ruang triase IGD :
1. Melakukan anamnesis Awal dan penilaian kondisi
umum.
2. Melakukan skrining cepat berdasarkan gejala dan
faktor epidemiologi
3. Melakukan TTV awal
4. Menentukan level Kegawatan
5. KIE keputusan rawat inap atau rawat jalan
(keputusan ditentukan oleh dokter jaga)
6. Menentukan penempatan dan pemindahan pasien
di IGD berdasarkan level kegawatan dan skrining

Prinsip utama pengaturan Rumah Sakit pada masa adaptasi kebiasaan baru untuk
menyesuaikan layanan rutinnya adalah:
a. Memberikan layanan pada pasien COVID-19 dan non COVID-19 dengan
menerapkan prosedur skrining, triase dan tata laksana kasus.
b. Melakukan antisipasi penularan terhadap tenaga kesehatan dan pengguna
layanan dengan penerapan prosedur Pencegahan dan Pengendalian Infeksi
(PPI), penerapan Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) di unit kerja dan
pemenuhan Alat Pelindung Diri (APD).
c. Menerapkan protokol pencegahan COVID-19 yaitu: harus mengenakan
masker bagi petugas, pengunjung dan pasien, menjaga jarak antar orang >1m
dan rajin mencuci tangan dengan sabun dan air mengalir selama 40 s/d 60
detik atau dengan hand sanitizer selama 20 s/d 30 detik.
d. Menyediakan fasilitas perawatan terutama ruang isolasi untuk pasien kasus
COVID-19.
e. Terintegrasi dalam sistem penanganan COVID-19 di daerah masing-masing
sehingga terbentuk sistem pelacakan kasus, penerapan mekanisme rujukan
yang efektif dan pengawasan isolasi mandiri dan berkoordinasi dengan Dinas
Kesehatan setempat.
f. Melaksanakan kembali pelayanan yang tertunda selama masa pandemik
COVID-19

3.1.1 Anamnesis dan Penilaian Kondisi Umum


Di ruang triase dilakukan penilaian kondisi umum, melakukan TTV awal, dan
anamsesis awal keluhan. Anamnesis meliputi keluhan utama, keluhan penyerta dan
riwayat sebelumnya. Di tahap ini juga secara simultan dilakukan observasi Head to toe
kondisi pasien, kesadaran, kelainan di tubuh serta menentukan level kegawatan pasien.
Level kegawatan ditentukan dengan algoritme sistem triase Emergency Severuty
Index/ESI. Level triase bisa berubah sesuai dengan perkembangan kondisi pasien. Setelah
dilakukan penilaian pasien hasil anamnesis dan ttv awal ditulis di lembar triase sekaligus
observasi IGD sesuai dengan level kegawatannya. Lembar triase + observasi IGD
tergolong menjadi 3 warna kertas (Merah (P1) untuk Level 1-2, Kuning (P2) untuk level
3-4, hijau (P3) untuk level 5).
3.1.2 Skrining Covid
Skrining awal dilakukan di triase dilakukan untuk menentukan apakah ada gejala
yang mengarah pada gejala Covid 19 melalui kuisioner gejala dan faktor epidemiologi.
Pasien yang datang dengan gejala ISPA, meliputi demam disertai batuk, sesak nafas, dan
desaturasi oksigen atau gejala probable covid seperti anosmia. Maka akan diarahkan ke
IGD infeksi (Panah Kuning). Sedangkan pasien tanpa gejala yang mengarah ke Covid-19
akan dimasukkan ke IGD non Infeksi (Panah hijau). Pasien yang masuk ke Rumah Sakit
dapat melalui datang langsung ke IGD atau melalui proses rujukan.
a. Langsung ke IGD Rumah Sakit (atas permintaan pasien sendiri dan tanpa
perjanjian).
Pasien yang masuk ke Rumah Sakit dan terindikasi membutuhkan rawat inap harus
melalui proses skrining. Bila dari hasil skrining awal dicurigai COVID-19 maka
pasien diarahkan menuju IGD infeksi . Sebaliknya bila dari skrining tidak dicurigai
COVID-19 maka pasien diarahkan menuju IGD non COVID-19 sesuai kebutuhan
pasien. selanjutnya pasien akan dilakukan skrining pemeriksaan swab antigen dan
foto rongent dada.

b. Melalui rujukan (dari Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) atau


(Fasilitas Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjut (FKRTL) ).
1. Rujukan pasien konfirmasi COVID-19 langsung diarahkan ke IGD Infeksi dan
dilakukan foto rongent dada (apabila belum dilakukan).
2. Rujukan pasien kasus non COVID-19 yang dengan hasil pemeriksaan COVID-19
negatif atau yang belum dilakukan pemeriksaan COVID-19 tetap harus melewati
proses skrining apabila belum dilakukan salah satu dari foto rongent atau swab
antigen, hasil pemeriksaan sebelumnya sudah tidak valid, terjadi perburukan kondisi
atau munculnya gejala baru yang mengarah ke Covid-19.

3.1.3 Menentukan Level Kegawatan


Penentuan level kegawatan dilakukan menggunakan sistem Emergency Severity
Index/ ESI. Sistem triase ini merupakan algoritma triase gawat darurat lima tingkat, yang
awalnya dikembangkan pada tahun 1999 oleh Agency for Healthcare Research and
Quality (AHRQ) dan telah mengalami beberapa kali pengembangan sistem. ESI triase
didasarkan pada kondisi klinis kesehatan pasien dan jumlah sumber daya kesehatan (baik
pemeriksaan penunjang atau tindakan medis) yang dibutuhkan. Triase ESI juga dapat
dilakukan oleh perawat IGD, sehingga disarankan pada rumah sakit dengan tenaga dokter
yang terbatas. Dalam skala ESI, pasien diklasifikasikan dan diprioritaskan berdasarkan
tingkat keparahan penyakit mereka dengan memperkirakan jumlah sumber daya yang
dibutuhkan untuk perawatannya.

Sistem triase ini berbeda dari algoritma triase standar yang digunakan di beberapa
negara lain, seperti Skala Triase Australasia, yang hanya membagi pasien berdasarkan
seberapa lama waktu yang aman untuk menunggu penanganan. Sebaliknya, waktu yang
dibutuhkan hingga penanganan tidak diatur pada sistem Emergency Severity Indeks dan
dikembalikan ke masing-masing institusi untuk menentukan waktu tersebut.
Terdapat empat poin keputusan (A ke D) digunakan untuk membuat triase pasien ke
dalam lima level ESI:
 A: Apakah pasien membutuhkan intervensi penyelamatan jiwa segera: Jika ya,
pasien masuk ke ESI level 1. Jika tidak, lanjutkan ke poin keputusan B
 B: Apakah pasien dalam kondisi berisiko tinggi, disorientasi, kebingungan,
distress, atau sangat nyeri: Jika ya, pasien masuk ESI level 2. Jika tidak,
lanjutkan ke poin keputusan C
 C: Apakah pasien memerlukan pemeriksaan penunjang: Jika tidak, pasien masuk
ESI level 5. Jika butuh 1 pemeriksaan, pasien masuk ESI level 4. Jika butuh
banyak pemeriksaan, lanjutkan ke poin keputusan D
 D: Apakah ada kelainan pada tanda-tanda vital pasien: Jika ya, pasien masuk ESI
level 2. Jika tidak, pasien masuk ESI level 3

Pasien dengan ESI level 1 membutuhkan intervensi penyelamatan jiwa segera (titik
keputusan A). Pasien yang stabil dalam situasi berisiko tinggi ditunjuk ke ESI level 2
(titik keputusan B). Pada titik keputusan C, pasien ditugaskan sesuai dengan perkiraan
penggunaan sumber daya, mulai dari tidak ada (ESI 5) hingga lebih dari satu (ESI 3).
Untuk akhirnya mengklasifikasikan pasien sebagai ESI level 3, tanda-tanda vital harus
dinilai. Jika mereka melebihi batas yang ditentukan, penugasan kembali ke ESI level 2
harus dipertimbangkan (titik keputusan D). Penilaian tanda vital penting untuk
identifikasi pasien dengan prognosis yang lebih buruk yang membutuhkan perhatian
segera. Masing-masing level ESI ini dapat dilihat pada daftar di bawah ini:
1. Resusitasi (Level 1): Pasien membutuhkan tindakan penyelamatan nyawa segera
tanpa penundaan. Contoh: pasien penurunan kesadaran atau henti jantung
2. Emergensi (Level 2): Pasien yang memiliki faktor risiko tinggi mengalami
kecacatan atau kematian, memiliki tanda-tanda kritis suatu penyakit. Contohnya:
pasien dengan nyeri dada atau serangan asma
3. Urgensi (Level 3): Pasien dalam keadaan stabil, namun perlu berbagai
pemeriksaan lebih lanjut untuk penanganannya seperti pemeriksaan lab atau X-
ray. Contohnya: pasien dengan nyeri perut, batuk dengan demam
4. Non-urgensi: pasien stabil yang membutuhkan satu jenis pemeriksaan/tindakan,
seperti hanya pemeriksaan lab saja, X-ray saja, atau hanya perlu jahitan saja.
Contohnya pasien dengan luka tunggal yang memerlukan penjahitan kulit
5. Refered / dapat rawat jalan : pasien stabil yang tidak memerlukan pemeriksaan
penunjang. Hanya memerlukan obat oral atau oles saja. Contohnya: gatal-gatal di
kulit, kemerahan pada kulit [7]

Poin Keputusan A
Berikut adalah daftar pertanyaan yang dapat membantu untuk menentukan apakah pasien
termasuk dalam kondisi gawat darurat yang membutuhkan intervensi penyelamatan jiwa
segera atau tidak:
 Apakah pasien bernapas, denyut nadi teraba, dan memiliki jalur napas yang
paten?
 Apakah ada masalah mengenai denyut nadi dan ritme jantung?
 Apakah pasien datang ke rumah sakit dalam kondisi terintubasi?
 Apakah ada kecurigaan masalah perfusi pada pasien?
 Apakah pasien memerlukan pengobatan segera atau intervensi hemodinamik
seperti penggantian cairan atau transfusi darah?
 Apakah pasien mengalami distress pernapasan berat, saturasi oksigen <90%,
perubahan status mental akut, atau tidak menunjukkan respons?
Penilaian tingkat kesadaran pasien untuk penentuan apakah pasien membutuhkan
intervensi penyelamatan jiwa segera dilakukan menggunakan sistem Alert, Verbal,
Painful, Unresponsive (AVPU):
 Alert (A): Pasien sadar penuh dan merespons terhadap suara, mengetahui tempat
dan waktu serta bisa mengenali orang
 Verbal (V): pasien memberikan respons terhadap rangsangan verbal dengan
membuka mata tetapi tidak bisa mengetahui tempat dan waktu, serta mengenali
orang
 Painful (P): pasien hanya menunjukkan respons hanya ketika diberikan rangsang
nyeri, misalnya dengan memencet jari tangan pasien atau melakukan sternal rub
 Unresponsive (U): pasien tidak menunjukkan respons sama sekali
Pasien dengan tingkat kesadaran P atau U masuk dalam kategori perlu intervensi
penyelamatan jiwa segera (ESI level 1).[14]
Yang dikategorikan sebagai intervensi penyelamatan jiwa adalah tindakan-tindakan
berikut ini:
 Pernapasan: ventilasi bag-valve mask, intubasi, surgical airway, CPAP atau
BiPAP emergensi
 Kardiovaskular: defibrilasi, kardioversi emergensi, pacing eksternal
 Hemodinamik: resusitasi cairan intravena, transfusi darah, kontrol perdarahan
mayor
 Pemberian obat-obatan: nalokson, dekstrosa 50% (D50), dopamin, atropin,
adenosin
 Tindakan lainnya: dekompresi jarum, perikardiosentesis, open thoracotomy,
akses intraoseus
Beberapa contoh kondisi yang membutuhkan intervensi penyelamatan jiwa segera yang
masuk di ESI level 1:
1. Henti napas dan/atau jantung
2. Distress pernapasan berat
3. SpO2 <90%
4. Pasien trauma yang mengalami kritis yang tidak responsif
5. Overdosis dengan laju pernapasan < 6 x/menit
6. Bradikardia berat atau takikardia atau hipotensi yang disertai adanya tanda
hipoperfusi
7. Pasien trauma yang membutuhkan resusitasi kristaloid dan koloid segera
8. Nyeri dada, pucat, diaforesis, tekanan darah < 70 / palpasi
9. Bradikardia dengan denyut nadi di bawah 30 x/menit
10. Syok anafilaksis

Poin Keputusan B
Poin keputusan B bertujuan untuk menentukan apakah pasien berada dalam kondisi
darurat yang memerlukan penanganan segera. Untuk itu, digunakan 3 pertanyaan
penyaring:
 Apakah kondisi pasien merupakan situasi berisiko tinggi?
 Apakah pasien dalam kondisi kebingungan, letargik, atau mengalami
disorientasi?
 Apakah pasien berada dalam kondisi nyeri hebat atau distress?
Yang dimaksud sebagai kondisi berisiko tinggi adalah pasien yang kondisinya dapat
segera menurun dengan cepat atau pasien dengan gejala yang mengarah pada kondisi
yang membutuhkan penanganan yang sensitif waktu, misalnya stroke atau infark
miokard. Contoh kondisi berisiko tinggi adalah sebagai berikut:
 Pasien dengan nyeri dada yang mengarah pada dugaan sindrom koroner akut,
tetapi kondisinya stabil
 Pasien stroke yang tidak memenuhi kriteria ESI level 1
 Kehamilan ektopik dengan kondisi hemodinamik stabil
 Pasien imunokompromais yang datang dengan demam
 Pasien dengan tendensi bunuh diri

Poin Keputusan C
Poin keputusan C bertujuan untuk menentukan jumlah sumber daya tenaga kesehatan dan
tindakan/pemeriksaan yang diperlukan untuk menangani pasien hingga keluar dari IGD.
Perlu diingat bahwa jumlah sumber daya ini perlu dihitung berdasarkan penanganan
standar dari pengalaman menangani kondisi serupa, bukan berdasarkan tipe dan lokasi
rumah sakit, atau siapa tenaga kesehatan yang sedang bertugas. Jadi, jumlah sumber daya
yang diperlukan akan berlaku universal di IGD manapun.

Poin Keputusan D
Poin keputusan D menggunakan tanda vital pasien sebagai bahan pertimbangan untuk
menaikkan level ESI pasien. Walau demikian, tidak semua tanda vital yang abnormal
akan dinaikkan level ESInya. Pertimbangan klinis per kasus tetap diperlukan untuk
menentukan hal ini.
Sebagai contoh, pria 60 tahun, dengan hipertensi yang datang ke IGD dengan keluhan
nyeri kepala, tekanan darah 150/92 mmHg. Pria ini datang ke IGD karena kehabisan obat
antihipertensi sehingga sudah 2 hari lupa minum obat. Tentunya kasus ini tidak perlu
dinaikkan menjadi ESI level 2 karena kondisi pasien terlihat stabil dan dinilai hanya
memerlukan pemeriksaan dan pemberian obat saja.

3.1.4 Pencatatan Pemeriksaan Triase


Pencatatan dilakukan pada lembar lepas triase yang diklasifikasi dalam 3 warna
yaitu (Merah (P1) untuk Level 1-2, Kuning (P2) untuk level 3-4, hijau (P3) untuk level
5). Pada lembar tersebut juga ditulis anamnesis singkat, penandaan lokasi / ciri deformitas
yang ditemukan serta TTV awal. Serta diberi stamp Infeksi / NON- Infeksi yang
digolongkan berdasarkan temuan skrining awal. Apabila terdapat perubahan status
kegawatan / Infeksi maka kemudian akan di tambahkan stamp pengalihan status triase
atau tempat. Usulan desain lembar triase dilampirkan.
3.1.5 Keputusan rawat inap atau rawat jalan
Pengambilan keputusan rawat inap/ rawat jalan dilakukan atas persetujuan dokter
jaga IGD. Perawat triase akan dapat melaporkan temuan hasil triase dan kemudian dokter
dapat memeriksa pasien atau berdasarkan hasil laporan perawat dan triase untuk
memutuskan pasien terindikasi rawat inap atau rawat jalan. Pasien terindikasi rawat inap
akan dilakukan KIE mengenai pemindahan ke IGD Infeksi serta langkah skrining
selanjutnya yaitu Swab antigen dan foto rongent dada.
3.1.6 Pemindahan berdasarkan level kegawatan dan hasil skrining
Pasien dengan gejala ISPA, meliputi demam disertai batuk, sesak nafas, dan
desaturasi oksigen atau gejala probable covid seperti anosmia akan dimasukkan ke IGD
infeksi dan disarankan untuk tidak ditunggu oleh keluarga atau hanya ditunggu oleh 1
orang. Sedangkan pasien tanpa gejala kearah covid akan dipindahkan dan ditempatkan ke
IGD non-infeksi sesuai dengan level triase.

Anda mungkin juga menyukai