Wonolangan
Oleh : dr. Fakhrina Nur Fadhillah
BAB I
PENDAHULUAN
Instalasi Gawat Darurat (IGD) merupakan salah satu bentuk layanan gawat
darurat di rumah sakit dan juga sebagai jalur masuk utama pasien yang
membutuhkan perawatan Kesehatan darurat. Terdapat berbagai macam kondisi
gawat darurat yang ditemuai di IGD. Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan
Republik Indonesia IGD melayani kondisi kegawatdaruratan meliputi kondisi
mengancam nyawa, membahayakan diri dan orang lain/lingkungan, adanya
gangguan pada jalan nafas, pernafasan dan sirkulasi, adanya penurunan kesadaran,
adanya gangguan hemodinamik dan kondisi yang memerlukan tindakan segera.
Masalah yang paling sering dijumpai selama layanan IGD adalah peningkatan
jumlah kedatangan di IGD terutama di masa pandemi ini serta terbatasnya kapasitas
SDM dan tempat di rumah sakit. Di Indonesia penyebab kegagalan nomor satu
dalam penanganan kasus kegawatdaruratan adalah kegagalan mengenal resiko
khususnya dalam memutuskan pelaksanaan triage, sedangkan sisanya adalah karena
keterlambatan rujukan, kurangnya sarana yang memadai maupun pengetahuan dan
keterampilan tenaga medis, paramedis dalam mengenal keadaan resiko tinggi secara
dini, masalah dalam pelayanan kegawatdaruratan, maupun kondisi ekonomi
(Ritonga, 2012).
1.3 Tujuan
1. Mengetahui komponen yang diperlukan untuk menjalankan triage di IGD
2. Mengetahui dan dapat menjalankan alur Triase yang bisa diterapkan di IGD RS
Wonolangan
3. Memahami cara menentukan status triage pasien di IGD RS Wonolangan
4. Mengetahui dan melakukan monitoring pasien di IGD berdasarkan
pengelompokan triage dengan baik.
5. Memperbaharui format dalam pencatatan kegiatan dan observasi di IGD sehingga
tercatat dengan baik.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
P1
Prinsip utama pengaturan Rumah Sakit pada masa adaptasi kebiasaan baru untuk
menyesuaikan layanan rutinnya adalah:
a. Memberikan layanan pada pasien COVID-19 dan non COVID-19 dengan
menerapkan prosedur skrining, triase dan tata laksana kasus.
b. Melakukan antisipasi penularan terhadap tenaga kesehatan dan pengguna
layanan dengan penerapan prosedur Pencegahan dan Pengendalian Infeksi
(PPI), penerapan Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) di unit kerja dan
pemenuhan Alat Pelindung Diri (APD).
c. Menerapkan protokol pencegahan COVID-19 yaitu: harus mengenakan
masker bagi petugas, pengunjung dan pasien, menjaga jarak antar orang >1m
dan rajin mencuci tangan dengan sabun dan air mengalir selama 40 s/d 60
detik atau dengan hand sanitizer selama 20 s/d 30 detik.
d. Menyediakan fasilitas perawatan terutama ruang isolasi untuk pasien kasus
COVID-19.
e. Terintegrasi dalam sistem penanganan COVID-19 di daerah masing-masing
sehingga terbentuk sistem pelacakan kasus, penerapan mekanisme rujukan
yang efektif dan pengawasan isolasi mandiri dan berkoordinasi dengan Dinas
Kesehatan setempat.
f. Melaksanakan kembali pelayanan yang tertunda selama masa pandemik
COVID-19
Sistem triase ini berbeda dari algoritma triase standar yang digunakan di beberapa
negara lain, seperti Skala Triase Australasia, yang hanya membagi pasien berdasarkan
seberapa lama waktu yang aman untuk menunggu penanganan. Sebaliknya, waktu yang
dibutuhkan hingga penanganan tidak diatur pada sistem Emergency Severity Indeks dan
dikembalikan ke masing-masing institusi untuk menentukan waktu tersebut.
Terdapat empat poin keputusan (A ke D) digunakan untuk membuat triase pasien ke
dalam lima level ESI:
A: Apakah pasien membutuhkan intervensi penyelamatan jiwa segera: Jika ya,
pasien masuk ke ESI level 1. Jika tidak, lanjutkan ke poin keputusan B
B: Apakah pasien dalam kondisi berisiko tinggi, disorientasi, kebingungan,
distress, atau sangat nyeri: Jika ya, pasien masuk ESI level 2. Jika tidak,
lanjutkan ke poin keputusan C
C: Apakah pasien memerlukan pemeriksaan penunjang: Jika tidak, pasien masuk
ESI level 5. Jika butuh 1 pemeriksaan, pasien masuk ESI level 4. Jika butuh
banyak pemeriksaan, lanjutkan ke poin keputusan D
D: Apakah ada kelainan pada tanda-tanda vital pasien: Jika ya, pasien masuk ESI
level 2. Jika tidak, pasien masuk ESI level 3
Pasien dengan ESI level 1 membutuhkan intervensi penyelamatan jiwa segera (titik
keputusan A). Pasien yang stabil dalam situasi berisiko tinggi ditunjuk ke ESI level 2
(titik keputusan B). Pada titik keputusan C, pasien ditugaskan sesuai dengan perkiraan
penggunaan sumber daya, mulai dari tidak ada (ESI 5) hingga lebih dari satu (ESI 3).
Untuk akhirnya mengklasifikasikan pasien sebagai ESI level 3, tanda-tanda vital harus
dinilai. Jika mereka melebihi batas yang ditentukan, penugasan kembali ke ESI level 2
harus dipertimbangkan (titik keputusan D). Penilaian tanda vital penting untuk
identifikasi pasien dengan prognosis yang lebih buruk yang membutuhkan perhatian
segera. Masing-masing level ESI ini dapat dilihat pada daftar di bawah ini:
1. Resusitasi (Level 1): Pasien membutuhkan tindakan penyelamatan nyawa segera
tanpa penundaan. Contoh: pasien penurunan kesadaran atau henti jantung
2. Emergensi (Level 2): Pasien yang memiliki faktor risiko tinggi mengalami
kecacatan atau kematian, memiliki tanda-tanda kritis suatu penyakit. Contohnya:
pasien dengan nyeri dada atau serangan asma
3. Urgensi (Level 3): Pasien dalam keadaan stabil, namun perlu berbagai
pemeriksaan lebih lanjut untuk penanganannya seperti pemeriksaan lab atau X-
ray. Contohnya: pasien dengan nyeri perut, batuk dengan demam
4. Non-urgensi: pasien stabil yang membutuhkan satu jenis pemeriksaan/tindakan,
seperti hanya pemeriksaan lab saja, X-ray saja, atau hanya perlu jahitan saja.
Contohnya pasien dengan luka tunggal yang memerlukan penjahitan kulit
5. Refered / dapat rawat jalan : pasien stabil yang tidak memerlukan pemeriksaan
penunjang. Hanya memerlukan obat oral atau oles saja. Contohnya: gatal-gatal di
kulit, kemerahan pada kulit [7]
Poin Keputusan A
Berikut adalah daftar pertanyaan yang dapat membantu untuk menentukan apakah pasien
termasuk dalam kondisi gawat darurat yang membutuhkan intervensi penyelamatan jiwa
segera atau tidak:
Apakah pasien bernapas, denyut nadi teraba, dan memiliki jalur napas yang
paten?
Apakah ada masalah mengenai denyut nadi dan ritme jantung?
Apakah pasien datang ke rumah sakit dalam kondisi terintubasi?
Apakah ada kecurigaan masalah perfusi pada pasien?
Apakah pasien memerlukan pengobatan segera atau intervensi hemodinamik
seperti penggantian cairan atau transfusi darah?
Apakah pasien mengalami distress pernapasan berat, saturasi oksigen <90%,
perubahan status mental akut, atau tidak menunjukkan respons?
Penilaian tingkat kesadaran pasien untuk penentuan apakah pasien membutuhkan
intervensi penyelamatan jiwa segera dilakukan menggunakan sistem Alert, Verbal,
Painful, Unresponsive (AVPU):
Alert (A): Pasien sadar penuh dan merespons terhadap suara, mengetahui tempat
dan waktu serta bisa mengenali orang
Verbal (V): pasien memberikan respons terhadap rangsangan verbal dengan
membuka mata tetapi tidak bisa mengetahui tempat dan waktu, serta mengenali
orang
Painful (P): pasien hanya menunjukkan respons hanya ketika diberikan rangsang
nyeri, misalnya dengan memencet jari tangan pasien atau melakukan sternal rub
Unresponsive (U): pasien tidak menunjukkan respons sama sekali
Pasien dengan tingkat kesadaran P atau U masuk dalam kategori perlu intervensi
penyelamatan jiwa segera (ESI level 1).[14]
Yang dikategorikan sebagai intervensi penyelamatan jiwa adalah tindakan-tindakan
berikut ini:
Pernapasan: ventilasi bag-valve mask, intubasi, surgical airway, CPAP atau
BiPAP emergensi
Kardiovaskular: defibrilasi, kardioversi emergensi, pacing eksternal
Hemodinamik: resusitasi cairan intravena, transfusi darah, kontrol perdarahan
mayor
Pemberian obat-obatan: nalokson, dekstrosa 50% (D50), dopamin, atropin,
adenosin
Tindakan lainnya: dekompresi jarum, perikardiosentesis, open thoracotomy,
akses intraoseus
Beberapa contoh kondisi yang membutuhkan intervensi penyelamatan jiwa segera yang
masuk di ESI level 1:
1. Henti napas dan/atau jantung
2. Distress pernapasan berat
3. SpO2 <90%
4. Pasien trauma yang mengalami kritis yang tidak responsif
5. Overdosis dengan laju pernapasan < 6 x/menit
6. Bradikardia berat atau takikardia atau hipotensi yang disertai adanya tanda
hipoperfusi
7. Pasien trauma yang membutuhkan resusitasi kristaloid dan koloid segera
8. Nyeri dada, pucat, diaforesis, tekanan darah < 70 / palpasi
9. Bradikardia dengan denyut nadi di bawah 30 x/menit
10. Syok anafilaksis
Poin Keputusan B
Poin keputusan B bertujuan untuk menentukan apakah pasien berada dalam kondisi
darurat yang memerlukan penanganan segera. Untuk itu, digunakan 3 pertanyaan
penyaring:
Apakah kondisi pasien merupakan situasi berisiko tinggi?
Apakah pasien dalam kondisi kebingungan, letargik, atau mengalami
disorientasi?
Apakah pasien berada dalam kondisi nyeri hebat atau distress?
Yang dimaksud sebagai kondisi berisiko tinggi adalah pasien yang kondisinya dapat
segera menurun dengan cepat atau pasien dengan gejala yang mengarah pada kondisi
yang membutuhkan penanganan yang sensitif waktu, misalnya stroke atau infark
miokard. Contoh kondisi berisiko tinggi adalah sebagai berikut:
Pasien dengan nyeri dada yang mengarah pada dugaan sindrom koroner akut,
tetapi kondisinya stabil
Pasien stroke yang tidak memenuhi kriteria ESI level 1
Kehamilan ektopik dengan kondisi hemodinamik stabil
Pasien imunokompromais yang datang dengan demam
Pasien dengan tendensi bunuh diri
Poin Keputusan C
Poin keputusan C bertujuan untuk menentukan jumlah sumber daya tenaga kesehatan dan
tindakan/pemeriksaan yang diperlukan untuk menangani pasien hingga keluar dari IGD.
Perlu diingat bahwa jumlah sumber daya ini perlu dihitung berdasarkan penanganan
standar dari pengalaman menangani kondisi serupa, bukan berdasarkan tipe dan lokasi
rumah sakit, atau siapa tenaga kesehatan yang sedang bertugas. Jadi, jumlah sumber daya
yang diperlukan akan berlaku universal di IGD manapun.
Poin Keputusan D
Poin keputusan D menggunakan tanda vital pasien sebagai bahan pertimbangan untuk
menaikkan level ESI pasien. Walau demikian, tidak semua tanda vital yang abnormal
akan dinaikkan level ESInya. Pertimbangan klinis per kasus tetap diperlukan untuk
menentukan hal ini.
Sebagai contoh, pria 60 tahun, dengan hipertensi yang datang ke IGD dengan keluhan
nyeri kepala, tekanan darah 150/92 mmHg. Pria ini datang ke IGD karena kehabisan obat
antihipertensi sehingga sudah 2 hari lupa minum obat. Tentunya kasus ini tidak perlu
dinaikkan menjadi ESI level 2 karena kondisi pasien terlihat stabil dan dinilai hanya
memerlukan pemeriksaan dan pemberian obat saja.