Anda di halaman 1dari 47

LAPORAN MINI PROJECT

GAMBARAN FAKTOR RISIKO DI MAYARAKAT YANG


MEMENGARUHI MANAJEMEN HIPERTENSI DI WILAYAH
PUSKESMAS PUGER SELAMA MASA PANDEMI

Oleh :

dr, Alfin Jam’Annuri


dr. Ida Lailatul Hasanah
dr. Fakhrina Nur Fadhillah

Pendamping :
Dr. Wike Wahyu Wijayanti
NIP :19790715 201412 2 003

PROGRAM INTERNSIP DOKTER INDONESIA


PUSKESMAS PUGER
KABUPATEN JEMBER
JAWA TIMUR
2021
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Hipertensi merupakan salah satu faktor risiko penyakit

kardiovaskuler seperti gagal jantung, sumbatan arteri koroner, stroke

dan yang lainnya. Hipertensi adalah peningkatan tekanan darah sistolik

dan atau diastolik, dapat ditegakan ditegakkan bila TDS ≥140 mmHg

dan/atau TDD ≥90 mmHg pada pengukuran di klinik atau fasilitas

layanan kesehatan (Lukito, 2019). Berdasarkan guideline ISH 2020

tekanan darah sistolik 130-139 mmHg dan atau diastolik 85-89 mmHg

termasuk dalam peningkatan tekanan darah (high-normal) (ISH, 2020).

Pandemi COVID-19 muncul ketika terjadi penularan dari orang

ke orang dalam waktu singkat, dengan gejala umum meliputi demam,

batuk, sesak, tidak nafsu makan dan lemas. COVID-19 pertama kali

dilaporkan di Wuhan, Hubei, Cina pada Desember 2019, dan pada 11

Maret 2020 Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan bahwa

COVID-19 telah menjadi penyakit pandemi di seluruh dunia (Andrews,

Foulkes, & Blakemore, 2020). Di Indonesia Januari 2021, menurut peta

sebaran Covid-19 terdapat 836,718 kasus terkonfirmasi, 123,636 kasus

aktif, 688,739 kasus sembuh dan 24,343 kasus meninggal. Penambahan

kasus harian nasional yaitu sebanyak 8.692 kasus. Provinsi Jawa Timur

berada diurutan ke-3 nasional dengan jumlah kasus sebanyak 92.613

kasus (KPCPEN, 2020).


Hal yang mengkhawatirkan saat terjadi pandemi adalah

turunnya tingkat kehadiran masyarakat di fasilitas Kesehatan, termasuk

pelayanan rawat jalan dikarenakan takut akan penularan Covid. Hal ini

juga berimbas terhadap pasien dengan penyakit kronis, termasuk

hipertensi. Penurunan pelayanan terhadap pasien hipertensi akan

menyebabkan tenaga kesehatan kesulitan untuk mengevaluasi dan

monitoring terapi pada pasien hipertensi, dimana tekanan darah yang

tidak terkontrol dan ketidakpatuhan terhadap pengobatan sering kali

dihubungkan dengan hasil pengobatan yang buruk, peningkatan angka

rawat inap, dan peningkatan biaya sistem pelayanan kesehatan untuk

penyakit kronis, seperti hipertensi, diabetes, dan gagal ginjal (Tang et

al., 2017). Ketidakpatuhan konsumsi antihipertensi berperan dalam

kontrol hipertensi yang buruk (Hyman & Pavlik, 2015).

Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui faktor

resiko yang berpengaruh dalam kepatuhan kontrol pasien hipertensi

selama masa pandemi Covid -19. Khususnya, pada pasien hipertensi di

Puskesmas Puger. Sehingga dapat dijadikan dasar dalam menyusun

berbagai program oleh Puskesmas Puger agar dapat memaksimalkan

kepatuhan pasien hipertensi dalam kepatuhan kontrol tekanan darah

selama masa pandemi COVID-19.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang dipaparkan diatas, adapun masalah

yang dapat dirumuskan yaitu Bagaimana Gambaran faktor risiko


dimasyarakat yang mempengaruhi efisiensi manajemen hipertensi selama

pandemi Covid-19 di wilayah kerja Puskesmas Puger ?

1.3 Tujuan Penelitian

Mengetahui faktor di masyarakat yang banyak berpengaruh dalam

ketidakpatuhan pengobatan hipertensi selama pandemi covid 19 di wilayah

kerja Puskesmas Puger.

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Bagi Puskesmas

Dapat dijadikan sebagai referensi puskesmas dalam menyusun

kebijakan program dalam manajemen hipertensi di wilayah kerja

Puskesmas puger sehingga dapat meningkatkan kepatuhan berobat,

memperbaiki prognosis dan menurunkan angka insiden hipertensi selama

pandemi COVID-19.

1.4.2 Bagi Masyarakat

Diharapkan penderita hipertensi lebih mengetahui, memahami

tentang hipertensi serta pengobatan hipertensi selama masa pandemi covid

sehingga mencegah terjadinya komplikasi untuk mencegah terpaparnya

COVID-19.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Hipertensi

2.1.1 Pengertian Hipertensi

Hipertensi adalah peningkatan tekanan darah sistolik dan atau

diastolik, dapat ditegakan ditegakkan bila TDS ≥140 mmHg

dan/atau TDD ≥90 mmHg pada pengukuran di klinik atau

fasilitas layanan kesehatan (Lukito, 2019).

2.1.2 Klasifikasi Hipertensi

Secara umum hipertensi dapat diklasifikasikan menjadi:

Tabel 2.1 Klasifikasi Hipertensi (ISH,2020)

Berdasarkan penyebabnya, hipertensi juga

diklasifikasikan menjadi hipertensi esensial atau primer dan

hipertensi sekunder. Sekitar 80-95% pasien hipertensi

didiagnosis sebagai hipertensi esensial, sedangkan sisa 5-20%

pasien hipertensi didiagnosis sebagai hipertensi sekunder,

peningkatan tekanan darah akibat adanya penyakit yang

mendasari (Loscalzo, 2010).


2.2 Faktor Resiko Hipertensi

Faktor risiko hipertensi dibagi menjadi faktor yang tidak

dapat dimodifikasi dan faktor yang dapat dimodifikasi. Faktor yang

tidak dapat dimodifikasi antara lain adalah usia, genetik, dan jenis

kelamin. Faktor risiko yang dapat dimodifikasi antara lain adalah

dislipidemia, diabetes, obesitas abdominal, overweight, merokok,

konsumsi alkohol, diet, dan stress (Bansal et al., 2012).

2.3 Patofisiologi Hipertensi

Mekanisme patofisiologi hipertensi sangat kompleks yang

melibatkan berbagai sistem tubuh. Sistem organ tubuh yang terlibat

adalah sistem saraf dan endokrin, sistem kardiovaskular, dan sistem

urinaria (Kotchen, 2010).

Pada sistem saraf dan endokrin terjadi peningkatan aktivitas

sistem saraf dan jumlah hormon yang disekresikan. Aktivitas sistem

saraf simpatis meningkat pada hipertensi. Penyebab aktivasi sistem

saraf simpatis masih belum jelas. Selain itu, peningkatan

mineralokortikoid atau aldosteron serta kortisol yang disekresikan

oleh kelenjar adrenal juga dapat meningkatkan tekanan arteri dengan

mengaktivasi reseptor mineralokortikoid. Aktivasi sistem renin

angiotensin juga berperan dalam terjadinya hipertensi. Aktivitas

renin plasma dan konsentrasi angiotensin II plasma meningkat pada

hipertensi. Pada keadaan resistensi insulin juga dapat terjadi

gangguan kapasitas hiperinsulinemia postpandrial dengan menekan


lipolisis yang menyebabkan pelepasan asam lemak bebas lebih

banyak. Pelepasan asam lemak bebas ini menyebabkan terjadinya

disfungsi endotel hingga pada akhirnya menyebabkan hipertensi

(Kotchen, 2010).

Gambar 2.1 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Tekanan Darah

(Sudoyo et al., 2010)

Pada sistem kardiovaskular terjadi gangguan fungsi endotel

yang dapat menyebabkan hipertensi. Endotel vaskular berperan

dalam regulasi resistensi vaskular. Aktivasi nitrit oksida yang

berasal dari endotel berperan dalam relaksasi vaskular. Disfungsi

endotel vaskular menyebabkan konstriksi pembuluh darah sehingga

resistensi perifer meningkat (Kotchen, 2010).


Pada sistem urinaria, mekanisme sistem renal terkait

dengan retensi sodium renal dan gangguan tekanan natriuresis

dapat mengakibatkan terjadinya hipertensi. Peningkatan

reabsorbsi sodium tubular terkait dengan

peningkatan aliran ke ginjal. Hal

ini menyebabkan peningkatan tekanan darah (Kotchen, 2010).

2.3.1 Diagnosis Hipertensi

Kategori TDS TDD

(mmH mmHg)

g)
TD Klinik ≥140 dan/atau ≥90
ABPM
Rerata pagi-siang hari (atau ≥135 dan/atau ≥85
bangun)
Rerata malam hari (atau tidur) ≥120 dan/atau ≥70
Rerata 24 jam ≥130 dan/atau ≥80
Rerata HBPM ≥135 dan/atau ≥85

Tabel 2.2 Diagnosis Hipertensi (Lukito, 2019)

ABPM=ambulatory blood pressure monitoring;

HBPM=home blood pressure monitoring;

TD=tekanan darah; TDD=tekanan darah

Konfirmasi diagnosis hipertensi tak dapat hanya mengandalkan


pada satu kali pemeriksaan, kecuali pada pasien dengan TD yang

sangat tinggi, misalnya hipertensi derajat 3 atau terdapat bukti

kerusakan target organ akibat hipertensi (HMOD, hypertension-

mediated organ damage) misalnya retinopati hipertensif dengan

eksudat dan perdarahan, hipertrofi ventrikel kiri, atau kerusakan

ginjal.

Sebagian besar pasien, pengukuran berulang di klinik bisa menjadi

strategi untuk konfirmasi peningkatan TD persisten, juga untuk

klasifikasi dan derajat hipertensi. Jumlah kunjungan dan jarak

pengukuran TD antar kunjungan sangat bervariasi tergantung

beratnya hipertensi. Pada hipertensi derajat 1 tanpa tanda kerusakan

organ target, pengukuran tekanan darah dapat diulang dalam

beberapa bulan. Selama periode ini, dapat dilakukan penilaian TD

berulang berdasarkan beratnya risiko kardiovaskular. Strategi

pengukuran TD di luar klinik (HBPM atau ABPM) untuk

konfirmasi diagnosis hipertensi sangat dianjurkan bila tersedia.

Pengukuran TD di rumah dapat juga mendeteksi adanya hipertensi

jas putih, hipertensi terselubung, dan juga kasus lain (Lukito, 2019).

2.3.2 Tatalaksana Non-Medikamentosa Hipertensi

Pola hidup sehat dapat mencegah ataupun memperlambat

awitan hipertensi dan dapat mengurangi risiko kardiovaskular.

Pola hidup sehat juga dapat memperlambat ataupun mencegah

kebutuhan terapi obat pada hipertensi derajat 1, namun

sebaiknya tidak menunda inisiasi terapi obat pada pasien dengan


HMOD atau risiko tinggi kardiovaskular. Pola hidup sehat telah

terbukti menurunkan tekanan darah yaitu pembatasan konsumsi

garam dan alkohol, peningkatan konsumsi sayuran dan buah,

penurunan berat badan dan menjaga berat badan ideal, aktivitas

fisik teratur, serta menghindari rokok (Lukito, 2019).

Terdapat bukti hubungan antara konsumsi garam dan

hipertensi. Konsumsi garam berlebih terbukti meningkatkan

tekanan darah dan meningkatkan prevalensi hipertensi.

Rekomendasi penggunaan natrium (Na) sebaiknya tidak lebih

dari 2 gram/hari (setara dengan 5-6 gram NaCl perhari atau 1

sendok teh garam dapur). Sebaiknya menghindari makanan

dengan kandungan tinggi garam (Lukito, 2019).

Pasien hipertensi disarankan untuk konsumsi makanan

seimbang yang mengandung sayuran, kacang- kacangan, buah-

buahan segar, produk susu rendah lemak, gandum, ikan, dan

asam lemak tak jenuh (terutama minyak zaitun), serta membatasi

asupan daging merah dan asam lemak jenuh (Lukito, 2019).

Terdapat peningkatan prevalensi obesitas dewasa di

Indonesia dari 14,8% berdasarkan data Riskesdas 2013, menjadi

21,8% dari data Riskesdas 2018. Tujuan pengendalian berat

badan adalah mencegah obesitas (IMT >25 kg/m 2), dan

menargetkan berat badan ideal (IMT 18,5 – 22,9 kg/m2) dengan

lingkar pinggang <90 cm pada laki-laki dan

<80 cm pada perempuan (Lukito, 2019).


Olahraga aerobik teratur bermanfaat untuk pencegahan

dan pengobatan hipertensi, sekaligus menurunkan risiko dan

mortalitas

kardiovaskular. Olahraga teratur dengan intensitas dan durasi

ringan memiliki efek penurunan TD lebih kecil dibandingkan

dengan latihan intensitas sedang atau tinggi, sehingga pasien

hipertensi disarankan untuk berolahraga setidaknya 30 menit

latihan aerobik dinamik berintensitas sedang (seperti: berjalan,

joging, bersepeda, atau berenang) 5-7 hari per minggu (Lukito,

2019).

Merokok merupakan faktor risiko vaskular dan kanker,

sehingga status merokok harus ditanyakan pada setiap

kunjungan pasien dan penderita hipertensi yang merokok harus

diedukasi untuk berhenti merokok (Lukito, 2019).

2.3.3 Tatalaksana Medikamentosa Hipertensi

Tujuan strategi terapi hipertensi adalah menurunkan mortalitas

dan morbiditas penyakit kardiovaskular yang berhubungan dengan

peningkatan tekanan darah kronis (Cuspidi et al., 2017).

TDD di klinik

Ambang batas TDS di kllinik untuk (mmHg)

Kelompok inisiasi obat (mmHg)

Usia
Hipert +Diab +PGK +PJK +stroke

ensi etes /TIA

18-65

tahun >140 >140 >140 >140 >140 > 90

65-79

>140 >140 >140 >140 >140 > 90


tahun

>80 tahun

>160 >160 >160 >160 >160 > 90

Tabel 2.3 Ambang Batas Tekanan Darah untuk Inisiasi Obat (Lukito, 2019)

TD=tekanan darah; TDD=tekanan darah diastolik; TDS=tekanan

darah sistolik, PGK=penyakit ginjal kronik, PJK=penyakit

jantung koroner, TIA=transient ischemic

Menurut pedoman ESH/ESC (2013), inisiasi pengobatan dan

pengobatan lanjut hipertensi dapat berupa monoterapi atau

kombinasi antihipertensi yang terdiri dari lima kelas

antihipertensi, seperti diuretik, beta bloker, antagonis kalsium,


angiotensin converting enzyme inhibitor, dan angiotensin

receptor blocker. Diuretik memiliki mekanisme kerja yang

bifasik. Pada minggu awal, pemakaian diuretik menghambat

reabsorbsi sodium dan kemudian menyebabkan penurunan

volume cairan plasma. Akan tetapi, penggunaan diuretik tipe

tiazid dalam jangka waktu lama dapat menyebabkan penurunan

resistensi perifer, yang berhubungan dengan desentisasi kalsium

sehingga tidak terjadi vasokonstriksi.


Gambar 2.2 Algoritma Manajemen Terapi Hipertensi (James et al., 2014).

Beta bloker memiliki mekanisme kerja dengan menurunkan

curah jantung, renin, dan potensial aksi pada aktivitas sistem

saraf simpatis pusat, serta pelepasan katekolamin. Kanal kalsium

bloker memiliki pengaruh yang lebih tinggi pada tekanan darah

sentral dibandingkan perifer. Kanal kalsium bloker menurunkan

denyut jantung per menit dan mencegah terjadinya

vasokonstriksi dengan desensitasi kalsium. Angiotensin-

converting enzyme inhibitor (ACEI) bekerja dengan menghambat

pengubahan angiotensin I menjadi angiotensin II sehingga terjadi

relaksasi otot polos pembuluh dan penurunan pelepasan

aldosteron. Angiotensin receptor blocker (ARB) bekerja dengan

menurunkan reseptor angiotensin sehingga tidak terjadi

vasokonstriksi dan pelepasan aldosteron (Protogerou et al.,

2009).

Terdapat beberapa keuntungan dan keterbatasan

penggunaan antihipertensi, baik dalam bentuk monoterapi atau

pun kombinasi. Keuntungan utama penggunaan antihipertensi

dalam bentuk monoterapi merujuk pada keefektifan dan efek

samping agen spesifik tersebut. Selain itu, monoterapi membatasi

risiko penurunan tekanan darah yang berlebihan. Keterbatasan

monoterapi ditunjukkan pada beberapa penelitian bahwa

monoterapi efektif menurunkan tekanan darah hanya pada


sejumlah pasien hipertensi, dan sebagian besar pasien

membutuhkan sedikitnya dua obat untuk mengontrol tekanan

darah. Strategi penggantian satu monoterapi antihipertensi

dengan antihipertensi lainnya bertujuan untuk mengontrol

tekanan darah dan menghindari konsumsi antihipertensi multipel

yang dapat menurunkan tingkat kepatuhan konsumsi.

Penggunaan dua agen antihipertensi menurunkan tekanan darah

lebih banyak dibandingkan dengan penggunaan satu agen

antihipertensi. Terapi kombinasi dua agen antihipertensi

memiliki efek samping lebih rendah dibandingkan monoterapi

dosis penuh karena pada terapi kombinasi dua agen

antihipertensi digunakan dosis rendah (Cuspidi et al., 2017).

2.3.4 Target Tekanan Darah Setelah Terapi Medikamentosa

Tabel 2.4 Target Tekanan Darah Setelah Mendapat Terapi


29
(Lukito, 2019).
Target TDD
Target TDS(mmHg) (mmHg)
Kelompok
usia + +Stroke/ TIA
HipertensiDiabetes + PGK+ PJK
Target Target Target Target
<130 jika <130 jika Target <130 jika <130 jika
dapat dapat <140 dapat dapat
18-65
ditoleran ditoleran hingga ditoleran ditoleran 70-79
tahun si Tetapi
si si 130 jika si
Tetapi Tetapi dapat tidak Tetapi
tidak tidak ditolerasi <120 tidak
<120 <120 <120
Target 130- Target 130- Target Target Target
65-79 139139 130-139 130- 139* 70-79
a dapjikatjikat 130-
tahun jika jika dapat
oleranditsi
ditsi oleran 139 ditoleransi
dapat
ditolera jika dapat
nsi ditoleransi
Target 130- Target 130- Target Target Target
139139 130-139 130- 139*
a dapjikatjikat 130-
≥80 tahun jika jika dapat 70-
oleranditsi
ditsi oleran 139 ditoleransi
dapat 79
ditolera jika dapat
nsi ditoleransi

2.3.5 Algoritma Terapi Obat Hipertensi

Algoritma farmakoterapi telah dikembangkan untuk memberikan

rekomendasi praktis pengobatan hipertensi. Beberapa rekomendasi

utama, yaitu (Lukito, 2019) :

(1) Inisiasi pengobatan pada sebagian besar pasien dengan

kombinasi dua obat. Bila memungkinkan dalam bentuk SPC,

untuk meningkatkan kepatuhan pasien.

(2) Kombinasi dua obat yang sering digunakan adalah RAS

blocker (Renin-angiotensin system blocker), yakni ACEi atau

ARB, dengan CCB atau diuretik.

(3) Kombinasi beta bloker dengan diuretik ataupun obat golongan

lain dianjurkan bila ada indikasi spesifik, misalnya angina,

pasca IMA, gagal jantung dan untuk kontrol denyut jantung.


(4) Pertimbangkan monoterapi bagi pasien hipertensi derajat 1

dengan risiko rendah (TDS <150mmHg), pasien dengan

tekanan darah normal-tinggi dan berisiko sangat tinggi, pasien

usia sangat lanjut (≥80 tahun) atau ringkih.

(5) Penggunaan kombinasi tiga obat yang terdiri dari RAS blocker

(ACEi atau ARB), CCB, dan diuretik jika TD tidak terkontrol

oleh kombinasi duaobat.

(6) Penambahan spironolakton untuk pengobatan hipertensi

resisten, kecuali ada kontraindikasi.

(7) Penambahan obat golongan lain pada kasus tertentu bila TD

belum terkendali dengan kombinasi obat golongan di atas.

(8) Kombinasi dua penghambat RAS tidak direkomendasikan.

2.4 Kepatuhan Minum Obat

Kepatuhan minum obat adalah suatu keadaan dimana pasien

mengonsumsi obat sesuai dengan yang diresepkan dan berlanjut

secara terus menerus sesuai yang diresepkan (Ho, 2009),

sedangkan ketidakpatuhan pengobatan didefinisikan sebagai

suatu proses di mana pasien tidak mengikuti anjuran

pengobatan, baik akibat keputusan rasional pasien atau ketida

ksengajaan (Hugtenburg et al., 2013). Ketidakpatuhan terhadap

pengobatan sering kali dihubungkan dengan hasil pengobatan

yang buruk, peningkatan angka rawat inap, dan peningkatan

biaya sistem pelayanan kesehatan untuk penyakit kronis, seperti

hipertensi, diabetes, dan gagal ginjal (Tang et al., 2017).


Ketidakpatuhan konsumsi antihipertensi berperan dalam kontrol

hipertensi yang buruk (Hyman & Pavlik, 2015).

Kontrol hipertensi yang buruk berperan dalam peningkatan

tekanan darah. Peningkatan tekanan darah dan faktor-faktor

lainnya dapat menyebabkan hipertensi krisis dapat terjadi.

Faktor-faktor yang berperan dalam terjadinya hipertensi krisis

adalah peningkatan tekanan darah, sistem renin angiotensin,

stress oksidatif, dan disfungsi endotel. Mekanisme autoregulasi

menjaga perfusi organ target konstan relatif dengan peningkatan

ringan atau moderat tekanan darah. Peningkatan tekanan darah

melebihi batas autoregulasi menyebabkan transmisi tekanan

yang meningkat ke pembuluh distal yang lebih kecil,

menyebabkan stres mekanik dan kerusakan pembuluh darah.

Gangguan endotel membuat terjadinya peningkatan

permeabilitas dinding pembuluh darah, proliferasi sel, dan

aktivasi kaskade koagulasi dan trombosit, dan pada akhirnya

menyebabkan nekrosis fibrosis arteriol dan iskemik jaringan.

Kerusakan endotel juga menyebabkan pelepasan

vasokonstriktor yang memicu kerusakan endotel dan iskemik

terus menerus (Patel & Mitsnefes, 2005).

Terdapat lima dimensi saling berkaitan yang memengaruhi

kepatuhan pengobatan. Pertama, faktor sosial dan ekonomi

memengaruhi kepatuhan pengobatan. Faktor sosial dan ekonomi

dapat dilihat berdasarkan tingkat pendidikan, angka buta huruf,

kemiskinan, pengangguran, biaya transportasi dan pengobatan.

Kedua, faktor terkait sistem dan tim pelayanan kesehatan turut


memengaruhi kepatuhan pengobatan. Hubungan antara pasien

dan penyedia layanan kesehatan yang baik dapat meningkatkan

kepatuhan, tetapi terdapat faktor-faktor lain yang memberikan

efek buruk terhadap tingkat kepatuhan, seperti sistem distribusi

pengobatan yang rendah, beban kerja penyedia layanan

kesehatan yang tinggi, dan konsultasi singkat. Ketiga, faktor

terkait kondisi pasien memengaruhi tingkat kepatuhan

pengobatan. Faktor terkait kondisi ini termasuk beratnya gejala,

tingkat disabilitas, dan laju progresi penyakit, dan ketersediaan

pengobatan. Keempat, faktor terapi juga memengaruhi tingkat

kepatuhan pengobatan. Faktor-faktor tersebut di antaranya

adalah kompleksitas regimen pengobatan, durasi pengobatan,

kegagalan pengobatan sebelumnya, perubahan pengobatan, efek

samping dan ketersediaan pengobatan. Kelima, faktor terkait

pasien, seperti pengetahuan, sikap, kepercayaan, persepsi dan

ekspektasi pasien juga memengaruhi tingkat kepatuhan

pengobatan (Brown & Bussell, 2011). Saat ini, kepatuhan

konsumsi antihipertensi secara signifikan

dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti kompleksitas regimen

pengobatan, frekuensi dosis, faktor perilaku dan efek samping

pengobatan (Lee et al., 2013)

Pengukuran terhadap kepatuhan pengobatan merupakan

pengukuran terhadap perilaku individu pasien. Terdapat

beberapa pendekatan yang telah digunakan, seperti pengukuran


subjektif dengan menanyakan pasien, anggota keluarga, perawat,

dan dokter mengenai penggunaan konsumsi obat pasien,

pengukuran objektif yang didapatkan dengan menghitung pil,

menilai rekam pengisian farmasi, atau menggunakan sistem

pengawasan obat elektronik, dan pengukuran biokimiawi yang

didapatkan dengan menambah penanda nontoksik pada

pengobatan dan mengukur jumlahnya di dalam darah atau urin.

Saat ini, kombinasi pengukuran-pengukuran tersebut digunakan

untuk menilai perilaku kepatuhan (Brown & Bussell, 2011).

Akan tetapi, kuesioner lebih sering digunakan untuk menilai

kepatuhan pengobatan terhadap pasien dengan penyakit kronis.

Beberapa kuesioner tervalidasi dikembangkan untuk mengawasi

kepatuhan pengobatan pada pasien penyakit kronis termasuk

pasien hipertensi. Skala-skala yang digunakan untuk mengukur

kepatuhan pada pasien hipertensi termasuk Morisky Medication

Adherence Scale-8 (MMAS-8), Brief Medication Questionnaire

oleh Svarstad et al, the Hill-Bone Compliance scale, dan

Adherence scale oleh Culig et al (Abegaz et al., 2017).

2.5 Faktor Risiko Kepatuhan Berobat

2.5.1 Faktor Eksternal

a. Pandemi Covid-19

Pandemi COVID-19 muncul ketika virus ini diketahui menyebar

dari orang ke orang dalam waktu singkat dan dengan gejala seperti

demam tinggi, batuk, sesak, tidak nafsu makan dan lemas. COVID-19
pertama kali dilaporkan di Wuhan, Hubei, Cina pada Desember 2019,

dan pada 11 Maret 2020 Organisasi Kesehatan Dunia (WHO)

menyatakan bahwa COVID-19 telah menjadi penyakit pandemi di

seluruh dunia (Andrews, Foulkes, & Blakemore, 2020). Wabah COVID-

19 ditetapkan sebagai pandemik global oleh WHO pada 11 Maret 2020,

dengan peningkatan 13 kali lipat dalam jumlah kasus yang dilaporkan di

luar China, lebih dari beberapa minggu. Wabah ini telah mempengaruhi

lebih dari 2,3 juta orang di 185 negara di dunia. Angka fatalitas kasus

(CFR) secara keseluruhan di antara semua negara adalah 6,8%, tetapi

tertinggi di Italia pada 13,1%. Pandemi COVID-19 dapat menjadi

pandemi kategori 3, tergantung pada nomor reproduksinya (R0) dan

keseluruhan rasio keparahan (Mansuri, Zalat, Khan, Alsaedi, & Ibrahim,

2020).

Masalah covid-19 juga terjadi di Indonesia dengan permasalahan

paling besar yaitu pada kalangan dengan penyakit penyerta. Secara

patofisiologi, Virus Covid-19 melewati membran mukosa, terutama

mukosa nasal dan laring, kemudian memasuki paru-paru melalui traktus

respiratorius. Selanjutnya, virus akan menyerang organ target yang

mengekspresikan Angiotensin Converting Enzyme 2 (ACE2), seperti

paru-paru, jantung, sistem renal dan traktus gastrointestinal (Gennaro

dkk., 2020). Hipertensi menjadi salah satu komorbid terbanyak covid-19

yang disebabkan melalui reseptor ACE-2. Dari total 996 pasien Covid-

19 dengan 282 orang menderita hipertensi dan 714 tanpa hipertensi,

didapatkan hasil bahwa pasien Covid-19 dengan hipertensi cenderung

mengalami infeksi sekunder lebih parah, disfungsi jantung dan ginjal

serta penurunan jumlah CD8 + lebih banyak dibandingkan pasien covid

tanpa hipertensi (Pan, wei et al, 2020). Hal ini menjadi salah satu faktor
yang menyebabkan ketakutan masyarakat untuk datang ke faskes primer.

b. Keluarga

Riwayat Keluarga Jika orang tua atau kerabat dekat memiliki tekanan

darah tinggi, risiko menderita hipertensi semakin meningkat (AHA,

2014). Sebuah penelitian di wilayah Miyun, China menunjukkan bahwa

seseorang dengan riwayat keluarga hipertensi 4 kali lebih berisiko

mengalami hipertensi (Liu et al., 17 2015). Riwayat kesehatan keluarga

merupakan catatan penyakit dan kondisi kesehatan keluarga. Riwayat

kesehatan keluarga juga menyediakan informasi mengenai risiko kondisi

langka yang disebabkan adanya mutasi gen (NIH, 2020). Setiap anggota

dalam keluarga akan memiliki kesamaan gen, lingkungan, dan gaya

hidup (CDC, 2019). Faktor-faktor tersebut secara bersama-sama

memberikan petunjuk terhadap permasalahan kesehatan yang mungkin

terjadi di dalam sebuah keluarga. Dengan melihat pola penyakit di antara

keluarga, pihak medis profesional dapat memperkirakan apakah

individu, anggota keluarga lain atau generasi selanjutnya kemungkinan

memiliki faktor risiko lebih tinggi terhadap penyakit tersebut. Penyakit

yang dimaksud salah satunya adalah tekanan darah tinggi (hipertensi).

Penyakit tersebut dapat dipengaruhi oleh kombinasi dari beberapa faktor

seperti genetik, kondisi lingkungan dan gaya hidup (NIH, 2020). Faktor

keluarga juga menjadi risiko terhadap kepatuhan berobat pasien. Sebagai

sistem pendukung dalam terapi hipertensi seperti turut menjaga pola

hidup pasien, sebagai pengingat dan pendukung akomodasi pasien

selama kontrol penyakit.

c. Ekonomi
d. Penelitian-penelitian
sebelumnya menun-
e. jukkan hubungan
Status Sosial Ekonomi
(SSE)
f. dengan kejadian
hipertensi. Penelitian
oleh Caro-
g. lyn dan Lam
memperlihatkan bahwa
status sosial
Peningkatan prevalensi hipertensi terjadi di negara maju maupun negara

berkembang, dengan peningkatan yang terjadi di negara berkembang

masih tergolong tinggi.3 Hal tersebut berdasarkan data meta-analisis

yang menunjukkan 1 dari 3 penduduk usia dewasa di negara

berkembang mengidap hipertensi.4 Data Riskesdas 2013

memperlihatkan sebanyak 26,5% penduduk dewasa di Indonesia

terdiagnosa hipertensi. Dari data tersebut juga menunjukkan telah terjadi

peningkatan prevalensi hipertensi berdasarkan wawancara, dari 7,6%

tahun 2007 menjadi 9,5% pada tahun 2013.5 Salah satu faktor penyebab

terjadinya hipertensi adalah terkait dengan masalah Status Sosial


Ekonomi (SSE). Status sosial ekonomi rendah dihubungkan dengan

status kesehatan yang lebih buruk, hal tersebut terkait dengan gaya hidup

dan kualitas diet yang rendah atau kurang sehat.6,7

Indonesia termasuk low middle income countries yang ditandai

masih banyak masyarakat tinggal di daerah pedesaan dengan SSE

rendah.8 Penelitian-penelitian sebelumnya menunjukkan hubungan

Status Sosial Ekonomi (SSE) dengan kejadian hipertensi. Penelitian oleh

Carolyn dan Lam memperlihatkan bahwa status sosial ekonomi rendah

merupakan faktor risiko potensial untuk terjadinya hipertensi.9

Penelitian Beverly, dkk pada dewasa muda di Amerika menunjukkan

bahwa status sosial ekonomi rendah merupakan faktor risiko untuk

penyakit kardiovaskular dan peningkatan Indeks Massa Tubuh (IMT).10

Hasil yang sama juga didapatkan oleh Leng, dkk bahwa status sosial

ekonomi rendah dapat dikaitkan dengan tekanan darah tinggi, dan

hubungan ini signifikan pada tingkat pendapatan. Penelitian yang

dilakukan oleh Vathesatogkit, dkk bahwa status sosial ekonomi rendah

dapat dikaitkan dengan tekanan darah tinggi, dan hubungan ini

signifikan pada tingkat pendidikan.12

2.5.2 Faktor Internal

a. Pola Hidup

Pola hidup harian merupakan hal yang paling mungkin dapat

dimodifikasi di masyarakat. Beberapa pola hidup yang berkaitan dengan

hipertensi diantaranya:

1) Obesitas

Industrialisasi dan urbanisasi menyebabkan standar kehidupan

semakin meningkat di negara-negara berkembang. Hal ini berkaitan


dengan pertambahan berat badan dan obesitas yang menjadi

ancaman bagi kesehatan masyarakat. Obesitas merupakan masalah

malnutrisi yang paling sering ditemui di negara berkembang.

Beberapa penelitian telah membuktikan 18 bahwa obesitas

berhubungan dengan peningkatan tekanan darah (Dua et al., 2014).

Obesitas menyebabkan beberapa mekanisme dalam tubuh yang

berkontribusi dalam peningkatan tekanan darah. Mekanisme tersebut

adalah dislipidemia dan aterosklerosis (Jiang et al., 2016). Kelebihan

berat badan atau obesitas akan memberikan beban ekstra pada

jantung dan sistem sirkulasi darah yang dapat menyebabkan masalah

kesehatan serius. Hal ini juga meningkatkan risiko terjadinya

hipertensi (AHA, 2014). Status obesitas pada seseorang dapat

diketahui melalui pengukuran Indeks Massa Tubuh (IMT). Menurut

Kemenkes RI (2019) IMT merupakan indeks sederhana untuk

mengklasifikasikan berat badan orang dewasa dengan

mempertimbangkan berat badan dan tinggi badan. IMT dapat

dihitung dengan membagikan nilai berat badan seseorang (kg) dan

kuadrat tinggi badan.

2) Status Merokok

Merokok merupakan salah satu faktor risiko terjadinya hipertensi.

Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 109 tahun 2012 Tentang

Pengamanan Bahan Pangan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa

Produk Tembakau bagi Kesehatan, rokok adalah salah satu produk

tembakau yang dimaksudkan untuk dibakar dan dihisap dan/atau

dihirup asapnya, termasuk rokok kretek, rokok putih, cerutu atau

bentuk lainnya yang dihasilkan dari tanaman nicotiana tobacum,


nicotiana rustica dan spesies lainnya atau sintetisnya yang asapnya

mengandung nikotin dan tar, dengan atau tanpa bahan tambahan.

Produk tembakau seperti rokok mengandung zat adiktif dan bahan

lain yang secara langsung maupun tidak langsung sangat berbahaya

bagi kesehatan (Kemenkes RI, 2015).

Merokok dan menggunakan tembakau dapat menyebabkan tekanan

darah meningkat untuk sementara dan dapat berkontribusi pada

kerusakan arteri (AHA, 2014). Sebuah studi epidemiologi

melaporkan bahwa lebih dari >1 dari 10 kematian akibat penyakit

kardiovaskular yang menyumbang 54% kematian dunia

berhubungan dengan merokok (Talukder et al., 2011).

Merokok dapat merusak pembuluh darah dan membuatnya

menebal serta tumbuh lebih sempit. Hal ini membuat jantung

berdetak lebih cepat dan meningkatkan tekanan darah (CDC, 2018).

20 Terdapat lebih dari 5000 komponen bahan kimia yang terdapat

pada rokok. Ratusan di antaranya sangat berbahaya terhadap

kesehatan manusia. Misalnya karbon monoksida dan nikotin pada

rokok. Karbon monoksida adalah gas berbahaya yang dihirup ketika

merokok. Gas tersebut masuk ke paru-paru dan ditransfer menuju

aliran darah. Karbon monoksida menurunkan kadar oksigen dalam

sel darah merah. Hal ini juga meningkatkan jumlah kolesterol yang

disimpan di lapisan arteri. Semakin lama, arteri akan semakin

mengeras dan menyebabkan tekanan darah tinggi (AHA, 2015).

Nikotin adalah bahan kimia yang sangat berbahaya dan adiktif.

Nikotin dapat menyebabkan peningkatan tekanan darah, detak


jantung, menghambat aliran darah ke jantung dan mempersempit

arteri (pembuluh darah). Nikotin juga dapat menyebabkan penebalan

dindin arteri yang mengakibatkan serangan jantung. Zat kimia ini

dapat tinggal di dalam tubuh selama 6 – 8 jam (AHA, 2015).

Perokok aktif bukan satu-satunya pihak yang terpapar asap

rokok. Asap dan uap bekas rokok adalah bahaya yang mengancam

kesehatan orang lain yang bukan perokok (perokok pasif). Orang

tidak merokok yang memiliki tekanan darah tinggi dan kolesterol

darah tinggi memiliki risiko lebih besar terkena penyakit jantung

ketika mereka terpapar asap rokok orang lain (AHA, 2015). Perokok

pasif juga berisiko mengalami hipertensi dan berbagai jenis penyakit

kardiovaskular lain dikarenakan darah mereka juga terpapar asap

rokok sehingga cenderung lebih kental dan memicu penyumbatan

pembuluh darah (Kemenkes RI, 2018). Perokok pasif atau 21

second-hand smoke adalah orang yang tidak merokok namun

terpapar/menghirup asap rokok orang lain atau orang bukan perokok

yang berada dalam satu ruangan tertutup dengan orang yang sedang

merokok (Kemenkes RI, 2019). Tidak ada batas aman untuk

perokok pasif. Terkena asap tembakau sesaat saja dapat

menyebabkan bahaya. Penelitian menunjukkan bahwa menjadi

perokok pasif dapat berbahaya meskipun hanya terpapar sesaat.

3) Konsumsi Natrium (Sodium)

Salah satu mineral penting yang diperlukan tubuh adalah natrium

(sodium) (Prihatini, Permaesih, & Julianti, 2016). Sodium adalah

nutrisi esensial yang diperlukan untuk memelihara plasma darah,


keseimbangan asam basa, transmisi saraf impuls dan normalisasi

fungsi sel (WHO, 2016). Namun diperlukan kadar yang tepat untuk

konsumsi mineral ini. Apabila dikonsumsi secara berlebihan, maka

akan berdampak negatif pada tubuh (Prihatini et al., 2016).

Kelebihan sodium berhubungan dengan peningkatan tekanan darah.

Kontributor utama konsumsi sodium sangat bergantung pada

konteks budaya dan kebiasaan konsumsi pangan di masyarakat

(WHO, 2016). WHO merekomendasikan konsumsi sodium untuk

orang dewasa maksimal 2 gram per hari (setara dengan 5 gram

garam per hari) (WHO, 2012). Kementerian Kesehatan juga

menyarankan untuk memperhatikan batasan konsumsi sodium di

mana konsumsi garam tersebut tidak melebihi 2000 mg sodium atau

5 gr garam (setara dengan 1 sendok teh) (Kemenkes RI, 2013a).

Konsumsi sodium yang tinggi dan peningkatan tekanan darah

berkaitan dengan retensi air dalam tubuh, resistensi sistem perifer,

modifikasi aktivitas simpatetik serta modulasi saraf autonom pada

sistem peredaran darah (Grillo et al., 2019).

4) Konsumsi alcohol

Konsumsi alkohol secara berlebih dapat meningkatan tekanan

darah secara drastis (AHA, 2014). Alkohol menyebabkan efek yang

sama dengan karbondioksida dimana keduanya dapat meningkatkan

keasaman darah menjadi kental dan jantung dipaksa untuk

memompa. Selain itu, konsumsi alkohol akan berpengaruh pada

peningkatan produksi hormon kortisol dalam darah sehingga

aktivitas rennin-angiotensin aldosteron system (RAAS) meningkat

dan menyebabkan tekanan darah meningkat (Jayanti, Wiradnyani, &


Ariyasa, 2017). Beberapa mekanisme dalam tubuh yang

menyebabkan hipertensi akibat alkohol adalah ketidakseimbangan

sistem saraf pusat, gangguan baroreseptor, peningkatan aktivitas

simpatis, stimulasi sistem reninangiotensin-aldosteron, peningkatan

kadar kortisol, peningkatan reaktivitas vaskular karena peningkatan

intraseluler. Selain itu hilangnya relaksasi karena peradangan dan

cedera oksidatif endotelium oleh angiotensin II yang mengarah ke

penghambatan endotelium yang bergantung pada produksi nitrat

adalah kontributor utama hipertensi akibat alkohol (Husain, Ansari,

& Ferder, 2014).

5) Kurangnya aktivitas fisik

Tidak melakukan aktivitas fisik yang cukup sebagai bagian dari

gaya hidup akan meningkatkan risiko tekanan darah tinggi. Aktivitas

fisik yang tepat sangat baik untuk kesehatan jantung dan sistem

peredaran darah (AHA, 2014). Rendahnya tingkat aktivitas fisik

berhubungan langsung dengan 24 peningkatan berat badan (WHO,

2013). Peningkatan berat badan tersebut terjadi karena adanya

penimbunan zat gizi terutama karbohidrat, protein dan lemak

(Nurcahyo, 2011). Penelitian menunjukkan bahwa menurunkan

tekanan darah sistolik sebesar 5 mmHg, kematian akibat stroke dapat

diturunkan 14% dan kematian akibat penyakit jantung koroner dapat

diturunkan 9%. Aktivitas fisik rutin merupakan langkah paling

penting untuk mencegah dan merawat hipertensi (WHO, 2013).

Secara umum, pembagian aktivitas fisik terdiri dari 3 jenis yakni

aktivitas fisik sehari-hari, aktivitas fisik latihan dan olahraga.

Aktivitas fisik harian merujuk kepada kegiatan sehari-hari dalam


rumah tangga seperti menyapu, mengepel, mencuci baju, berkebun,

menyetrika dan sebagainya. Latihan fisik diartikan sebagai aktivitas

yang dilakukan secara terencana dan terstruktur seperti jogging,

jalan kaki, push up, peregangan, aerobik, dan sebagainya. Olahraga

memiliki arti berupa aktivitas fisik yang terstruktur dan terencana

mengikuti regulasi yang berlaku. Hal ini tidak hanya ditujukan untuk

alasan kebugaran namun juga untuk memperoleh prestasi.

Contohnya adalah sepak bola, bulu tangkis, basket, berenang dan

sebagainya (Kemenkes RI, 2018).

6) Stres

Stres merupakan hal yang umum dialami oleh setiap orang.

Tetapi terlalu banyak stres juga dapat berkontribusi pada

peningkatan tekanan darah (AHA, 2014). Pada situasi stres, tubuh

akan merasakan ketidaknyamanan emosional. Tubuh bereaksi

dengan melepaskan hormon kortisol dan adrenalin 25 ke dalam

darah. Hormon-hormon ini mempersiapkan tubuh untuk merespon

“melawan atau lari”. Hal ini membuat jantung berdetak lebih cepat

dan pembuluh darah menyempit sehingga tekanan darah meningkat

(AHA, 2016).

b. Pengetahuan

Menurut Notoatmodjo (2003), banyak ditemukan pasien

hipertensi yang memiliki pengetahuan yang baik tetapi tidak diiringi

dengan sikap yang positif, itu yang menyebabkan banyak terjadi

penyakit hipertensi primer diumur < 40 tahun Faktor lain yang


mempengaruhi pengetahuan adalah tingkat pendidikan responden.

Berdasarkan tabel 1 menunjukkan bahwa dari 48 responden 47,9%

memiliki jenjang pendidikan dasar (SD,SMP). Bimbingan yang

diberikan seseorang terhadap perkembangan orang lain menuju ke arah

cita-cita tertentu yang menentukan manusia untuk mencapai keselamatan

dan kebahagiaan. Pendidikan diperlukan untuk mendapat informasi.

Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang maka akan lebih mudah

menerima informasi dan makin banyak pula pengetahuan yang dimiliki.

Pendidikan dapat mempengaruhi seseorang termasuk juga perilaku

seseorang akan pola hidup terutama dalam memotivasi untuk berperan

serta dalam pembangunan. Proses belajar didalamnya terjadi perubahan

dari tidak tahu menjadi tahu dan tidak mau mengerjakan menjadi mau

mengerjakan (Arikunto, 2006).


BAB III
METODE

3.1 Rancangan Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode observasional deskriptif, dimana

penelitian dilakukan untuk mencari dan menjelaskan faktor risiko yang

berpengaruh dalam tatalaksana hipertensi di wilayah Puskesmas Puger.

3.2 Metode Pengumpulan

Data

3.2.1 Rancangan Pengumpulan Data

Pengumpulan data digunakan untuk mengetahui profil, pola hidup, dan

persepsi terhadap hipertensi pada sebagian pasien hipertensi yang berobat ke

Puskesmas Keliling Puger selama bulan April 2021. Dalam masa pandemi ini,

pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan kuesioner.


3.2.2 Populasi dan Sampel

a. Populasi target adalah pasien hipertensi yang berobat di Puskesmas

Keliling Wilayah Puger selama bulan April 2021

b. Sampel dalam penelitian ini adalah seluruh anggota populasi yang

memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi.

Kriteria inklusi:

1. Penderita Hipertensi dengan jenis kelamin laki-laki dan perempuan

2. Penderita Hipertensi yang datang ke puskesmas keliling Wilayah Puger

selama bulan April 2021

Kriteria ekslusi:

1) Penderita hipertensi yang susah untuk berkomunikasi dengan

pewawancara

Teknik Pengambilan Sampel

Teknik pengambilan sampel yang digunakan yaitu total sampling

yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi, yaitu pasien hipertensi yang

berobat dan berkunjung ke Puskesmas Keliling Puger dengan menggunakan

kuisioner yang dibantu diisi oleh pelaksana.

3.2.3 Waktu dan Tempat Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan pada bulan April 2021 di wilayah Puskesmas


Puger.
3.2.4 Instrumen Pengumpulan Data
Instrumen pengumpulan data pada mini project ini adalah kuesioner, yang

terdiri dari pernyataan yang berkaitan dengan data pasien, pola hidup dan factor

persepsi terhadap hipertensi


3.3 Cara Pengumpulan Data

Semua jenis data yang dikumpulkan pada miniproject ini adalah data

primer. Pengumpulan data dilakukan dengan pengisian kuesioner dengan langkah-

langkah sebagai berikut :

a. Pelaksana dalam hal ini dokter internsip Puskesmas Puger bekerja sama

dengan staf puskesmas penanggung jawab pasien hipertensi (PTM)

b. Pelaksana membuat daftar pertanyaan yang diunggah di google form

maupun dicetak yang di dalamnya disertai penjelasan tentang tujuan

pengumpulan data dan kerahasiaan data responden

c. Pelaksana membantu pengisian kuesioner baik secara online ataupun offline

ketika pasien datang berkunjung ke puskesmas keliling (kuisioner terlampir)

d. Kuesioner yang sudah diisi selanjutnya akan diperiksa kelengkapannya dan

diolah data oleh peneliti

3.4 Pengolahan dan Analisa Data Data

1. Melakukan editing dengan memeriksa kembali kelengkapan data dari

responden, termasuk di dalamnya kelengkapan lembar kuesioner

(menjaga kemungkinan lembar hilang atau rusak) serta kelengkapan

isian item oleh responden.

2. Mengubah kuisioner yang diisi secara offline untuk diinput secara

online ke google form.

3. Melakukan analisa terhadap kuisioner yang telah diinput

menggunakan fitur pada google form, sehingga didapat data sesuai


dengan profil penderita, pola hidup dan persepsi terhadap hipertensi

yang hasil akhirnya berupa besaran jumlah dan presentase untuk

dianalisa secara deskriptif.

BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Karakteristik Responden


Penelitian dilakukan di Puskesmas Puger pada bulan Maret-April
2021. Dengan melakukan penelitian di Lima Desa yang termasuk dalam
wilayah kerja Puskesmas Puger dengan jumlah responden 102 orang yang
didapatkan dari kegiatan Posbindu rutin serta kegiatan pelayanan poli umum
di Puskesmas Puger. Jumlah responden wanita 84 orang dan 18 orang
responden laki-laki. Jumlah responden yang diambil tidak merata di setiap
wilayah dengan sebaran Puger Kulon 22 orang (21,5%), Grenden 9 Orang
(8,8%), Puger Wetan 32 orang (31,3%), Mojosari 24 orang (23,5%) dan
Mojomulyo 15 orang (14,7%). Usia responden berkisar antara usia 30-70
tahun dan dengan hasil pemeriksaan hipertensi. Berikut merupakan sebaran
respondem berdasarkan usia. Rerata terbanyak responden berusia 50-55 tahun
(Diagram 4.1).

Diagram 4.1 Sebaran Usia responden di 5 wilayah Puskesmas Puger

Berdasarkan survey National Health and Nutriton Examination


Survey 2017-2018, menyimpulkan bahwa prevalensi hipertensi meningkat
sebanyak 22,4% pada kelompok usia 18-39 tahun, 54,5% pada kelompok usia
40-59 tahun dan 74,5% pada usia geriatri pada rentang usia > 60 tahun
(NCHS, 2017-2018).

Pada Diagram 4.2 menunjukkan sebaran tingkat pendidikan


responden. Sebagian besar reponden merupakan lulusan SD sebanyak 57
orang (56,3%), lulusan SMP sebanyak 22 orang (21.9%) dan 10 orang lulusan
SMA sederajat. Sisanya ada yang tidak sekolah maupun tidak lulus SD. Dari
total tersebut 84,4 % berstatus menikah dan sisanya Duda/janda.
Diagram 4.2 Sebaran tingkat pendidikan responden di 5 desa wilayah Puskesmas Puger.

Berdasarkan beberapa studi mengenai hubungan tingkat edukasi dengan


tingkat kolesterol, kebiasaan merokok banyak didapatkan pada kelompok dengan
tingkat pendidikan tinggi. Akan tetapi, pada kelompok ini memiliki tingkat
mortalitas yang paling rendah diabndingkan dengan kelompok dengan tingkat
Pendidikan yang lebih rendah. Hal yang berbeda adalah dari segi kesadaran akan
keluhan yang muncul, langkah pencegahan, dan akses terhadap layanan kesehatan
(MA Tedesco et al, 2001).
Berdasarkan pemeriksaan yang dilakukan selama kegiatan Posbindu dan
pelayanan poli umum. Indeks massa tubuh responden terbanyak berada dalam
kategori rentang IMT 25,00 – 29,99 (overweight) dengan jumlah 58 orang
(56,8%), obesitas 21 orang (20,5%) dan normal 14 orang (13,7%). Jumlah ini
menggambarkan bahwa sekitar 80% responden dengan hipertensi di wilayah
Puskesmas Puger juga memiliki faktor risiko kardiovaskuler berupa Overweight
dan obesitas. Rata-rata responden dengan obesitas adalah wanita.
Studi Framingham menyatakan bahwa peningkatan tekanan darah terjadi
pada kelompok laki-laki maupun perempuan. Overweight/ obesitas dinyatakan
sebagai salah satu factor risiko hipertensi. Seseorang dengan selisih IMT 1 kuartil
mengalami peningkatan tekanan darah sistolik 16 mmHg dan 9 mmHg tekanan
diastole dibandingkan dengan orang dengan IMT yang lebih rendah. Penelitian
lainmengatakan bahwa setiap peningkatan berat badan 4,5 kg sebanding dengan
peningkatan tekanan sistolik 4 mmHg (Aronow W. S.,2017).
BMI

8% Underweight
21%
13% Normal
overweight
Obesitas

58%

Diagram 4.3 Persentase Indeks Massa Tubuh responden di 5 wilayah Puskesmas Puger.

Diagram 4.4 Gambaran tekanan darah pasien Hipertensi di Wilayah Puger

Berdasarkan grafik diatas didapatkan bahwa rentang tekanan darah responden


dengan hipertensi lebih banyak berada di rentang > 150/90 mmHg. Beberapa dengan
status hipertensi urgensi (tekanan darah > 180/120 mmHg). Lama waktu hipertensi juga
merupakan salah satu faktor munculnya komplikasi kardiovaskuler lain. Diagram sebaran
lama waktu responden di wilayah Puger paling banyak berkisar selama 5 tahun pada
kelompok usia 30 tahunan dan rentang lama hipertensi >30 tahun pada kelompok lansia
(diagram 4.5).

4.2 Riwayat Pengobatan Hipertensi


Diagram 4.5 Sebaran lama hipertensi responden di wilayah Puskesmas Puger

Riwayat pengobatan juga salah satu faktor terkontrolnya kasus hipertensi.


Berdasarkan 102 responden yang ada di wilayah Puskesmas Puger, Sebagian besar
mengaku sudah pernah mengonsumsi obat antihipertensi. Sebanyak 37% responden
mengaku pernah mengonsumsi captopril, 40,7% mengonsulsi amlodipine dan 14,8%
mengaku tidak pernah berobat, hanya cek ke apotik atau mantri dan hanya minum obat
anti nyeri bila ada keluhan seperti sakit kepala. Hanya sebagian kecil (3,1%) yang tidak
pernah berobat dan baru diketahui menderita hipertensi.

Diagram 4.6 Amlodipin dan Captopril merupakan obat yang paling sering
dikonsumsi untuk mengatasi hipertensi di wilayah Puger

Diagram 4.7 berikut menunjukkan bahwa keteraturan kontrol tekanan


darah ke puskesmas, rumah sakit ataupun ketika kegiatan posbindu/posyandu
lansia, cukup rendah di wilayah Puskesmas Puger. Dari 102 responden yang
diambil hanya 13 orang yang minum obat dan control rutin ke puskesmas ataupun
rumah sakit. Beberapa menyatakan dengan alasan sudah mengalami komplikasi
berupa stroke ataupun gagal jantung. Sedangkan, 87,5% dari responden mengaku
jarang kontrol ke puskesmas dan minum obat apabila mengalami keluhan seperti
pusing.
Diagram 4.7 Persentase responden yang melakukan kontrol rutin tekanan darah ke
puskesmas atau rumah sakit dan minum obat teratur di wilayah Puskesmas Puger.

Grafik berikut menunjukkan bahwa Sebagian besar responden baru saja 1


bulan yang lalu mengalami keluhan dan minum obat antihipertensi. Rata-rata
setelah mengalami keluhan datang ke puskesmas dan diberi obat yang habis
sebelum 1 bulan, yang kemudian responden tidak kontrol kembali. Beberapa
responden lainnya (14,3%), mengaku terakhir minum obat antihipertensi atau
kontrol ke puskesmas 1 tahun yll/lebih.

Diagram 4.8 Menunjukkan durasi waktu terakhir meminum obat hipertensi

Sebagian besar responden dengan hipertensi juga memiliki penyakit


metabolic penyerta lainnya. 42,3% memiliki hiperlipidemia dengan profil
hiperkolesterolemia yang dominan. Sedangkan, penyakit penyerta lain yang
mengikuti berupa gangguan metabolism asam urat dan diabetes melitus.
Diagram 4.9 Persentase penyakit penyerta pada responden dengan hipertensi di wilayah
Puskesmas Puger.

Penelitian ini meninjau alasan responden jarang/tidak kontrol rutin ke


puskesmas terutama selama waktu pandemic corona di 2020. Berdasarkan sebaran
alasan masyarakat didapatkan bahwa alasan paling banyak adalah tidak adanya
keluhan tekanan darah tinggi yang diderita (73,3%) dan kesadaran yang rendah
akan pentingnya kontrol dan minum obat rutin (26,7%). Beberapa pertimbangan
lainnya juga takut akan corona (30%). Situasi pandemic ini membuat masyarakat
semakin ragu untuk datang ke puskesmas dan memeriksakan dirinya.

Diagram 4.10 Menunjukkan alasan respondenn tidak rutin berobat

4.2 karakteristik kepatuhan pola hidup responden


Pada diagram 4.1 menunjukkan sebaran frekuensi pola makan responden.
Sebagian responden memiliki pola makan yang teratur yaitu 3 kali sehari yaitu
sebanyak 64 orang (62,5 %), responden yang memiliki pola makan 3 kali yang
sering yaitu sebesar 9 orang (9,4 %), pola makan responden dalam sehari 3 kali
yang tergolong kadang-kadang atau 1 sampai 3x dalam seminggu yaitu sebanyak
16 orang (15,6%), dan yang tidak pernah memiliki pola makan 3 kali sehari
sebanyak 13 orang (12,5%).
Pada diagram 4.15 menunjukkan pola makan responden terhadap keseringan
makan-makanan instan. Berdasarkan hasil ini, banyak responden yang tidak
pernah memakan makanan instan dengan hasil 52 orang (50%), dan banyak juga
yang sering memakan makananan instan yaitu sebanyak 44 orang (43,8%). Dan
hasil dari responden yang sealu dan sering dalam mengkonsumsi makan instan
yaitu sama sama yaitu masing-masing 3 orang (3,1%). Hasil ini menunjjukan
masih banyak responden yang mengkonsumsi makanan instan, sedangkan
makanan instan menurut ahli gizi banyak mengandung natriumnya, yang jika
terlalu banyak akan mengakibatkan terjadinya tekanan darah tinggi.

Diagram 4.16 Menunjukkan kerutinan responden memasak dengan menggunakan


banyak garam. Berdasarkan hasil ini, responden yang sealu memakai garam
banyak disetiap masakannya yaitu sebanyak (43,8%), jadi masih banyak
responden yang setiap harinya memasak masakan dengan menggunakan banyak
garam, dan responden dengan kategori sering atau konsumsi banyak garam 4
sampai 6 kali seminggu yaitu 16 orang (15,6%), yang 1 sampai 3 kali seminggu
menggunakan banyak garam sebanyak 19 orang (18,8%), dan yang tidak pernah
memasak menggunakan banyak garam yaitu sebanyak 22 orang (21,9%).
Diagram 4.17 menunjukkan keseringan responden memasak dengan
menggunakan banyak kecap
Dari hasil penelitian ini sebagian besar responden yang memasak dengan
menggunakan kecap dengan frekuensi 1 sampai 3 kali dalam seminggu yaitu
sebanyak 69 responden (67,7%), dengan kriteria sering yaitu sebanyak 23 orang
(22,6%) dan yang tidak pernah sebanyak 10 responden (9,7%). Menurus kemkes,
dalam 100 g kecap mengandung kadar natrium sebanyak 4000mg. Sedangkan
berdasarkan anjuran AHA dan USDA batas konsumsi natrium perhari untuk orang
sehat <2300mg perhari. Sedangkan orang >51 tahun, memili tekanan darah
tinggi , diabetes atau gagal ginjal disarankan < 1500 mg per hari.

Berdasarkan rangkuman ketiga diagram diatas menjukkan dari 102 responden


memiliki kecenderungan konsumsi natrium yang tinggi dimana diketahui bahwa
mengkonsumsi natrium atau garam yang berlebih menyebabkan konsentrasi
natrium di dalam cairan ektraselular meningkat maka tekanan osmotik darah akan
meningkat yang menyebabkan osmoreseptor hipotalamus merangsang hipofisis
untuk mensekresikan hormon ADH yang bersifat antideuretik untuk
meningkatkan permebilitas tubulus ginjal terhadap air sehingga reabsorbsi air
pada tubulus distal dan duktus kongentes ginjal menigkat, akibatnya volume
cairan ekstraselular dan meningkatkan volume darah meningkat menyebabkan
jantung harus memompa keras untuk mendorong volume darah yang meningkat
melalui ruang pembulu darah sehingga menyebabkan tekanan darah menjadi
tinggi .
Diagram 4.18 menunjukkan keseringan responden memasak masakan santan
Berdasarkan diagram 4.18, bahwa responden memiliki hasil paling banyak dengan
kriteria kadang-kadang yaitu 1-3 kali dalam seminggu sebanyak 54 orang
( 53,1%), dan yang sering memasak masakan santan sebanyak 38 orang ( 37,5%),
dan yang tidak pernah yaitu 7 orang (6,3%), dan yang selalu memasak setiap
harinya degan santan yaitu sebanyak 3 orang (3,1%). Santan sendiri jika di
panaskan akan menghasilkan lemak jenuh.
Diagram 4.19 Menunjukkan keseringan responden memasak dengan menggukan
minyak yang banyak
Berdasarkan hasil penelitian kebanyakan responden selalu menggunakan banyak
minyak goreng saat memasak yaitu sebanyak 57 orang (56,3%), dan yang sering
menggunakan banyak minyak saat memasak yaitu sebanyak 34 orang (31,3%) dan
responden yang kadang-kadang atau 1-3 kali dalam seminggu memasak
menggunkan minyak yang banyak saat memasak yaitu 11 orang (12,5 %).
Berdasarkan 2 diagram diatas sama sama berkaitan dengan konsumsi lemak,
sebagian besar responden memiliki kebiasaan mengkonsumsi makanan yang
bersantan dan memasak menggunakan banyak minyak, hal ini nantinya akan di
ubah menjadi kolesterol. Kolesterol yang tinggi dapat meneybabkan aterosklerosis
dimana kolesterol akan menumpuk di dinding pembuluh darah arteri dan akan
berakhir terbentuknya plak sehigga pembulu darah makin sempit dan elastisnya
berkurang sehingga menyebabkan tekanan darah menjadi tinggi.

Diagram 4.20 Menunjukkan pola hidup responden dalam mengkonsumsi makanan


bergizi serta variatif
Hasil terbanyak yaitu responden 1-3 kali dalam seminggu mengkonsumsi
makanan bergizi serta variatif yaitu sebanyak 49 orang (46,9%) ,yang setiap hari
serta yang sering memiliki hasil yang sama yaitu masing masing sebesar 19 orang
(18,8%) dan yang tidak pernah mengkonsumsi makanan yang variatif yaitu
sebanyak 15 orang (15,6%).

Diagram 4.21 menunjukkan pola hidup responden dalam mengkonsumsi Kopi


Dari hasil diagram ini yang terbanyak adalah yang tidak pernah mengkonsumsi
kopi setiap harinya yaitu sebanyak 51 orang (50%), dan yang mengkonsumsi kopi
setiap harinya yaitu sebanyak 29 orang (28,1%), dan yang mengkonsumsi kopi 1
sampai 3 kali dalam seminggu yaitu sebanyak 19 orang (18.8%) dan hasil yang
paling sedikit yaitu responden yang sering mengkonsumsi 4 sampai 6 kali dalam
seminggu. dari hasil ini sebagian dari responden yang mengkonsumsi kopi, kopi
sendiri mengandung kafein yang mana kafein akan mengikat adenosin, dan
mengaktifkan saraf simpatis dengan meningkatkan kosenterasi katekolamin dalam
plasma, dan menstimulai kelenjar adrenalin serta meningkatkan produksi kortisol.
Hal ini berdampak pada vasokontriksi dan meningkatkan total resistensi perifer,
yang menyebabkan tekanan dara menjadi naik.( Martini 2016).

Diagram 4.23 Menunjukkan pola hidup responden dalam mengkonsumsi rokok


Dari hasil sebaran pola hidup pasien dalam mengkonsumsi rokok paling banyak
didapatkan hasil yaitu 86 orang(84,4%) responden tidak pernah merokok, karena
sebagian besar yang merokok adalah laki-laki sedangkan pada penelitian ini
cenderug respondenya adalah wanita. dan yang mengkonsumsi rokok setiap hari
didapatkan ada 9 orang (9,4%) yang semuanya berjenis kelamin laki laki.
Sedangkan yang frekuensi merokoknya 4-6 kali seminggu yaitu 7 orang (6,2%).
Menurut ........ dengan kita menghisap rokok akan mempunyai pengaruh besar
terhadap kenaikan tekanan darah, hal ini disebabkan oleh zat-zat yang
terkaandung pada azap rokok. Asap rokok terdiri dari 4000 bahan kimia dan 200
diantaranya beracun, atara lain karbon monoksida yang dihasilkan oleh asap rokok
dan dapat menyebabkan pembulu darah kramp, sehingga tekanan darah dapat
naik. Gas CO dapat pula meningkatkan karboksi hemoglobin, menurunkan
lansung persediaan oksigen untuk jaringan seluruh tubuh termasuk ke otot
jantung. CO mengganikan tempat oksigen di hemoglobin, mengganggu pelepasan
oksigen, dan mempercepat arterosklerosis. Nikotin yang terkandung pada rokok
meningkatkan trombosit dengan akibat timbulnya adhesi trombosit
( penggumpalan) ke dinding pembuluh darah. Dan bahan- bahan yang terkandung
dalam rokok terbukti merusak dinding endotel pembulu darah dan menimpulkan
terjadinya tekanan darah meningkat.

Diagram 4.24 menunjukkan pola hidup responden dalam mengkonsumsi alkohol


Dalam diagram semua responden didapatkan tidak pernah mengkonsumsi alkohol.
Dengan demikian karakteristik ini bukan merupakan faktor yang mempengaruhi
ketidakkontrolan tekanan darah dari responden.

Diagram 4.25 menunjukkan pola tidur pasien dalam sehari-hari


Dalam diagram ini didapatkan hasil 79 orang (77,52 %) responden selalu teratur
dalam tidur pasien sehari-harinya, yang dalam kategori sering dan kategori
kadang-kadang atau 1 sampai 3 kali seminggu mendapatkan hasil yang sama
yaitu masing-masing 10 orang (10,22 %) dan yang tidak pernah tidur teratur
setiap malamnya yaitu sebanyak 2 orang (2,04%).
2%
10%
Selalu (tiap hari)
Sering (4-6 x seminggu)
10%
Kadang
;

78%

Anda mungkin juga menyukai