Anda di halaman 1dari 27

Pdt. Dr. Ir. Fridz P.

Sihombing
Dosen STT HKBP Pematangsiantar
Jl. Sangnawaluh 6 Pematangsiantar
081397171080 / 06227007600

Pertemuan I
Dogmatika I

Pendahuluan Perkuliahan

1. Apa syarat atau aksiom berteologi?


Dari aksiom tersebutlah teologi dimulai. Berdasarkan alkitab, yang adalah Firman Allah, Karl Barth mengambil
posisi bahwa Keluaran 20:2 (atau firman I) sebagai aksiom dalam berteologi. Apakah itu sesuai? ("Akulah
TUHAN, Allahmu, yang membawa engkau keluar dari tanah Mesir, dari tempat perbudakan. Jangan ada padamu
allah lain di hadapan-Ku.)

2. Apa objek berteologi?


Karena teologi adalah suatu ilmu yang mempelajari tentang Allah, maka kita harus menentukan objek berteologi.
Artinya apa bahan yang dapat dipertanggungjawabkan sehingga kita bisa mempelajari tentang Allah? Firman
Allah adalah satu-satunya bahan untuk itu.

3. Tanggapan Reformator
Pada masa awal reformasi, para reformator seperti Luther dan Calvin bertahan dan memposisikan diri pada
Alkitab. Mereka melihat bahwa hanya dalam firman Tuhan, manusia akan menemukan tempat berpijak dalam
seluruh kegiatan hidupnya yang berpusat dalam teologi.

4. Teologi sebagai kegairahan


Berteologi adalah tindakan dasar dari orang percaya dan menjadi kegiatan yang menggairahkan, karena berteologi
adalah suatu kegiatan yang menyangkut kehidupan: yaitu panggilan mengenal sang Pemberi kehidupan,
memahami arti dan tujuan kehidupan serta mendasari seluruh kehidupan orang percaya, pribadi dan komunitas.

5. Allah dalam Alkitab


Apa kata firman Allah tentang Allah? Itu sebabnya pertanyaan mendasar bagi kita dalam Dogma I ini adalah apa
kata Alkitab tentang Allah, namaNya dan perintahNya. Apakah mungkin kita dapat menelusuri seluruh Alkitab
dalam satu semester ini?

6. Kembali ke Alkitab
Buku-buku dogmatic akan menolong kita memahami Allah dalam Alkitab. Tetapi itu bukan segala-galanya,
karena pada saat tertentu kita akan melihat langsung dari Alkitab sehingga pemahaman kita akan lebih
bertanggung jawab.

7. Tujuan Akhir
Tujuan akhir tatap muka kita satu semester ini adalah agar kita memiliki pemahaman tentang Allah sebagaimana
yang dikatakan dalam Alkitab. Pemahaman ini tentu didasari akan pemahaman tentang Allah (Bapa, Kristus dan
Roh Kudus).

8. Daftar Nilai

KRITERIA PERSENTASE TOTAL KETERANGAN


TUGAS 20 %  Absen Maksimal 3
UJIAN MID SEMESTER 30 %
100 %  Segala bentuk ijin
UJIAN SEMESTER 50 %
maupun sakit dikategorikan
sebagai Absen.

Tugas :
Batas Pengumpulan : 4 Minggu kemudian
1
Pdt. Dr. Ir. Fridz P. Sihombing
Dosen STT HKBP Pematangsiantar
Jl. Sangnawaluh 6 Pematangsiantar
081397171080 / 06227007600

KEPUSTAKAAN

Becker, Dieter, Pedoman Dogmatika (Suatu Kompendium Singkat), Jakarta, BPK Gunung Mulia, 1991
Bethge, Eberhard, Dietrich Bonhoeffer: A Biography, Minneapolis, Fortress Press, 2000
Calvin, Johannes, Unterricht in der Christlichen Religion, Germany, Neukirchener, 1997
Dunn, James D. G., The christ an The Spirit (Vol. 1: Christology), Michigan, Chambridge, Wm. B. Eerdmans
Publishing Company, 1998
Hadiwijono, H., Iman Kristen, Jakarta, BPK Gunung Mulia, 1979
Janowski, Bernd, Der Gott Des Lebens, Germany, Neukirchener, 2003
Joest, Wilfried, Dogmatik (Band 1: Die Wiklichkeit Gottes – Auflage), Göttingen, Vandenhoeck & Ruprecht, 1995
Joest, Wilfried, Dogmatik (Band 2: Der Weg Gottes mit dem Menschen – Auflage), Göttingen, Vandenhoeck &
Ruprecht, 1996
Jongeneel, J. A. B., Pembimbing ke dalam Dogmatik Kristen, Jakarta, BPK Gunung Mulia, 1987
Kärkkäinen, Veli-Matti, An Introduction to the Theology of Religions, Illinois, InterVarsity Press, 2003
Klappert, Bertold, Worauf wir hoffen: Das Kommen Gottes und der Weg Jesu Christi, Gütersloh, Kaiser, 1977
Kraus, Hans-Joachim, Systematische Theologie im Kontext Biblischer Geschichte und Eschatologie , Germany, 1983
Kreck, Walter, Grundfragen der Dogmatik, Kaiser, München, 1985
LCMS World Relief & Human Care, Landasan Iman Kristen dan Penjelasannya, Missouri, LCMS World Relief,
2005
Liauw, Suhento, DoktrinGereja Alkitabiah, Jakarta, Gereja Baptis Independen Alkitabiah Graphe, 1996
Lull, Timothy F. (ed.), Martin Luther’s Basic Theological Writtings, Minneapolis, Fortress Press, 1989
Luther, Martin, Großer KAtechismus
Luther, Martin, Kleiner Katechismus mit Erklärung
Mohn, Gütersloher Verlagshaus gerd, Evangelischer Erwachsenen Katechismus, Gütersloh, Auflage, 1975
Moltmann, Jürgan, Der Weg Jesu Christi (Christologie in messianischen Dimensionen), München, Kaiser, 1989
Moltmann, Jürgan, The Coming Of God (Christianity Eschatology), London, SCM Press, 1996
Motte, Jochen, Biblische Theologie nach Walther Zimmerli, Frankfurt, Peter Lang, 1995
Niftrik G. C. van & B. J. Boland, Dogmatika Masa Kini, Jakarta, BPK Gunung Mulia, 2001
Plant, Stephen, Simone Weil (Tokoh Pemikiran Kristen), Yogyakarta, Kanisius, 2005
Schlink, Edmund, Theology of the Lutheran Confessions, Fortress Press, 1985
Sihombing, Fridz Pardamean, Versöhnung, Wahrheit und Gerechtigkeit, Germany, Neukirchener, 2007
Vorgrimler, Herbert, Trinitas (Bapa, Firman, Roh Kudus), Yogyakarta, Kanisius, 2005
Welker, Michael, Gottes Geist: Theologie des Heiligen Geistes, Neukirchener, 1992
Welth, rudolf, Der lebendige Gott: Auf den Spuren Neueren Trinitarischen Denkens, Janowski, 2005

2
Pdt. Dr. Ir. Fridz P. Sihombing
Dosen STT HKBP Pematangsiantar
Jl. Sangnawaluh 6 Pematangsiantar
081397171080 / 06227007600

Pertemuan II
Dogmatika I
Allah Israel
Dalam Kesaksian KedatanganNya

1. Dari Aktualitas Perjanjian Lama


1.1. Berbeda dengan ajaran tentang Allah dalam teologi tradisional, pembicaraan tentang Allah haruslah
diarahkan secara khusus kepada Allah Israel yang disaksikan dalam Perjanjian Lama.
1.1.1. Pertanyaan mendasar yang harus dijawab: Apakah dogmatika mengikuti kebiasaan berbicara
tentang Allah secara tradisional dalam artian metafisik atau keagamaan secara umum? Atau
beralih kepada fakta bahwa Allah yang disaksikan dalam Perjanjian Baru tidak lain adalah Allah
Israel? (Luk. 1:68, 4:12; Kis. 13:17, 3:13; Mrk. 12:26f, 10:18; Mat. 4:7).
1.1.2. Yang dimaksud berbicara tentang Allah secara tradisional adalah berbicara tentang Allah secara
Alamiah. Di sini menyangkut pembuktian (Dieter Becker, hlm. 58-59 dan Harun Hadiwijono,
hlm. 74-77):
1) Kosmologi, seperti tiga jalur pembuktian Thomas Aquinas: Kinetis (penggerak pertama),
Kausal (penyebab pertama) dan Kontingen (hakikat diri)
2) Henologis (peningkatan kepadatan keberadaan)
3) Teleologis (tujuan)
4) Moralis (kebaikan)
5) Etnologis (pengakuan bangsa-bangsa)
6) Eudemologis (kerinduan akan kebahagiaan)
7) Ontologis (dari istilah “Allah” itu sendiri)
1.1.3. Pada dasarnya pembuktian-pembuktian tersebut mengakar pada sifat-sifat Allah yang
supranaturalismus. Terminologi supranaturalismus diperhadapkan dengan naturalismus atau
yang supra alamiah diperhadapkan dengan yang alamiah berkembang dari konsep dualismus
filsafat Yunani. Dari dualisme inilah teologi Kristen mengembangkan ajarannya dengan tentang
Allah dan Kristologi yang berpuncak dalam ajaran dua dunia “Zwei-Naturen-Lehre”. Dengan
ajaran ini, Perjanjian lama dilihat sebagai buku filsafat, yang di dalamnya ditemukan ajaran
tentang Allah dalam tingkatan persiapan.

3
Pdt. Dr. Ir. Fridz P. Sihombing
Dosen STT HKBP Pematangsiantar
Jl. Sangnawaluh 6 Pematangsiantar
081397171080 / 06227007600

1.1.4. Teologi Kristen tidak mendasarkan ajarannya tentang Allah dari Perjanjian Lama, Kristen
menyadari terpisah dari Yahudi dan dengan demikian kehilangan dasar sejarahnya. Padahal: 1)
Allah yang disaksikan dalam Alkitab tidak bisa didefinisikan dengan syarat apapun, dengan
perantaraan apapun, dan dengan kemungkinan atau sistem apapun. 2) Allah Abraham, Ishak dan
Yakub tidak termasuk ke dalam kategori Allah filsafat dan Agama.
1.1.5. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kalau kita memahami Allah secara tradisional
metafisik, memasukkan pemahaman tentang Allah Israel ke dalam kategori filsafat keagamaan,
maka dalam artian ini kita bisa melihat kenyataan dalam teologi yang tradisional tersebut bahwa
“Allah telah mati”.
1.1.6. Sebaliknya, kalau Alkitab dilihat sebagai buku kesaksian pertama tentang kedatangan kerajaan
Allah, maka perhatian akan tertuju pada penyataan diri Allah dan kedatanganNya.
Kedatangan dapat dijelaskan demikian: Allah datang dalam Israel ke dunia (Yes. 40:3ff).
kedatanganNya membawa kekuatan yang membawa kepada perjumpaan (Yes. 62:11). Oleh
karena itu apa yang disaksikan dalam perjanjian semuanya sangat aktual.
1.1.7. Kedatangan Allah di Israel haruslah dipahami sebagai suatu bentuk kedatangan di dalam suatu
situasi tertentu. Jadi dalam artian biblis, berbicara tentang Allah hanya dapat dilakukan dalam
hubungannya dengan sejarah, situasi, karya, kedatangan dan masa depan. Segala sesuatu yang
dibicarakan tentang atribut maupun keberadaan, itu harus dipahami dalam konteks di atas. Jadi
bukan metafisis. Jadi dalam dogmatika yang demikian, kita beralih dari yang ontologis ke
sejarah, yaitu sejarah penyataan diri Allah. Penyataan transenden Allah terjawab dalam imanensi
penyataan kedatanganNya, bukan dari atas, tetapi ke Israel untuk dunia, untuk seluruh manusia.
1.1.8. Dengan demikian, kalau kita beralih ke pengenalan akan Allah Alkitab atau Allah Israel, atau
Allah Abraham, Ishak dan Yakub, maka kita tidak mengenal pengalaman alamiah Allah Israel.
Pengenalan akan Allah terjadi melalui pemilihan dan sejarah kedatanganNya. Dimana Allah
Israel memperkenalkan diriNya, di situ Dia dikenal. Kalau Israel menerima atau menemukan
pengenalan akan Allah pada bangsa-bangsa lain, dan kalau pengetahuan itu diterima sebagai
unsur-unsur dari luar, maka itu haruslah dipahami demikian, bahwa Allah Israel adalah pencipta
seluruh dunia dan Tuhan atas seluruh bangsa dan Allah. namaNya akan dipermuliakan di seluruh
dunia (Maz. 8:2; Yes. 6:3; Maz. 36:6, 57:11, 108:5), dan oleh karena itu, dapat dikenal dalam
relex keuniversalanNya, kekuasaanNya dan anugerahNya yang tidak terbatas.

4
Pdt. Dr. Ir. Fridz P. Sihombing
Dosen STT HKBP Pematangsiantar
Jl. Sangnawaluh 6 Pematangsiantar
081397171080 / 06227007600

1.2. Konsep dan gambaran kedatangan Allah Israel harus dirumuskan kembali dalam artian yang dasariah
dan harus dipahami dalam aktualitas implisitnya.
1.2.1. Ketika Allah memperkenalkan diriNya, Dia memperkenalkan diriNya dalam pemilihan
umatNya. Jadi pemilihan berarti Allah datang ke Israel. Itu berarti dalam perkenalan diriNya
Allah menjalani jalan yang konkrit dalam sejarah dunia kita dan itu terjadi sedemikian rupa ke
dalam sejarah umatNya Israel. Jalan yang demikian mengesampingkan segala kemungkinan
bentuk pengenalan akan Allah yang lain, ... kegelapan menutupi bumi, dan kekelaman menutupi
bangsa-bangsa; tetapi terang TUHAN terbit atasmu ... Bangsa-bangsa berduyun-duyun datang
kepada terangmu … (Yes. 60:2-3).
1.2.2. Kedatangan Allah terjadi dalam kebebasan pilihanNya. Kegagalan mendasar dari teologi
Kristen adalah penyangkalan dan penyingkiran pemilihan Allah atas umatNya Israel, karena
dengan demikian teologi Kristen menolak penyataan diri Allah Israel sebagai aksiom berteologi,
dan dengan demikian teologi Kristen tidak memenuhi aksiom atau syarat.
1.2.3. Allah berjalan bersama Israel dalam suatu perjumpaan yang selalu baru. Bagi umat Israel,
Allah merupakan “Dia yang selalu datang secara baru”: dalam anugerah dan hukum (Hab. 3:3;
Yes. 56:1, 59:19, 60:1a; 2:14). Kedatangan Allah dalam perkataanNya dan Dia tidak diam (Maz.
50:2).
1.2.4. Allah datang di dalam dan bersama Israel kepada bangsa-bangsa. Dia datang seperti arus dari
tempat yang sempit – partikularitas (Yes. 59:19) untuk memperlihatkan karyaNya di Israel bagi
seluruh bangsa-bangsa secara universal (Yes. 40:3). Dia datang memperkenalkan diriNya kepada
seluruh bangsa-bangsa dalam kuasa namaNya (Mal. 1:11-14).
1.2.5. Perjanjian Lama sebagai sejarah kedatanganNya tetap aktual bahkan sampai sampai ke dalam
perjanjian Baru. Aktualitas ini menjadi pra-syarat iman dan pengenalan akan Allah (1 Kor.
10:11; 2 Pet. 1:19). Bukan hanya Wahyu 1:8 (Akulah Alpha dan Omega), tetapi keseluruhan
Perjanjian Baru mengakui akan Allah yang telah datang. Dengan demikian Perjanjian Baru ada
memenuhi aksiom atau syarat firman 1 atau Allah Israel yang telah datang dan memperkenalkan
diriNya ketika Dia memilih umatNya. Ini tidak menyalahi bahwa Allah datang ke seluruh
bangsa-bangsa di dalam Kristus untuk mengaktualkan universalitas pemilihan Allah atas
umatNya Israel.
1.2.6. Perkenalan diri Allah kepada Israel bukan berarti bahwa kedatangan Allah tidak lagi dapat
dikomunikasikan dengan perkataan tentang Allah secara metafisik keagamaan. Sebagaimana
Israel juga dicetak melalui bahasa dan kebudayaan serta keagamaan di sekitarnya, maka, itu
berarti tidak menutup kemungkinan dengan adanya diskusi dengan per-kata-an tentang Allah
dalam filsafat.
5
Pdt. Dr. Ir. Fridz P. Sihombing
Dosen STT HKBP Pematangsiantar
Jl. Sangnawaluh 6 Pematangsiantar
081397171080 / 06227007600

1.3. Yahudi dan Kristen hidup di atas dasar Perjanjian Lama. Dengan demikian melalui kedatangan Allah,
mereka sama-sama mengetahui dan bersama-sama menyongsong masa depan.
1.3.1. Martin Buber mengatakan terhadap orang Kristen: “Bagi kalian Perjanjian Lama merupakan
sebuah serambi, tetapi bagi kami merupakan tempat suci. Tetapi dalam ruangan ini kita boleh
bersama-sama tinggal, sama-sama memperdengarkan suara. Itu berarti, bahwa kita bisa bekerja
bersama-sama menarik makna dari firman yang hidup.” Dari perkataan Buber ini kita bisa
menangkap bahwa orang Kristen memahami dan menerima Perjanjian Lama sebagai sebuah
pengantar. Sejarah Israel paling-paling hanya dilihat sebagai sejarah pendahuluan dan firman
Allah dalam Perjanjian Lama hanya sebagai kata pengantar.
1.3.2. Namun demikian beberapa teolog mulai melihat aktualitas Perjanjian Lama, aktualitas pemilihan
Allah atas umat Israel, seperti Dietrich Bonhoeffer (dalam bukunya Wederstand und Ergäbung,
hlm. 176) mengatakan: “Siapa yang ingin cepat-cepat menemukan diri dan beriman Perjanjian
Baru, menurut pendapat saya bukanlah orang Kristen.” Apa yang dikatakan oleh Bonhoeffer ini
bisa dilihat dalam dalam penerapannya seperti Za. 2:14 yang mengatakan bahwa “Aku datang
dan diam di tengah-tengahmu.” Bagi orang Kristen perkataan ini menjadi kenyataan di dalam
Yesus Kristus. Namun pengakuan ini merampok dari dasarnya, yaitu Israel, kalau gereja
menyatakan dirinya sebagai pengganti Israel dalam rencana keselamatan Allah dan seolah-olah
gereja mengambil alih posisi umat pilihan Allah atas Israel.
1.3.3. Untuk itu Judentum harus membantu Kristentum keluar dari pemahaman yang keliru. Keduanya
harus merupakan nasihat dan peringatan satu bagi yang lain (Leo Baeck). Di sisi lain, siapa yang
tidak lagi menyadari akan kedatangan Allah, tetapi hanya memestakan ketelah-datanganNya,
maka dia memisahkan diri dari tuntutan Allah dan dari messianismus.
1.3.4. Apakah jemaat Kristen masih mendengarkan suara Synagoge? Pertanyaan ini membawa pada
keharusan bahwa gereja dan synagoge harus saling mendengar, dilaksanakan di atas fundamen
Perjanjian Lama. Dalam dialog ini keduanya menyongsong masa depan Allah: awal kedatangan
kerajaanNya, puncak penampakkanNya bagi seluruh ciptaan. Dalam perspektif kedatanganNya
yang terakhir inilah tempat iman Kristen akan Messias-Christus. Kristen mengakui, bahwa Allah
Israel melawat dan melepaskan umatNya (Luk. 1:68). Dia menggenapi janjiNya dan
meneguhkan, bahwa dia sendiri datang dan merendahkan dengan sangat dalam (Zak. 2:10).

6
Pdt. Dr. Ir. Fridz P. Sihombing
Dosen STT HKBP Pematangsiantar
Jl. Sangnawaluh 6 Pematangsiantar
081397171080 / 06227007600

Pertemuan Ke-3
Dogmatika I

2. Nama Allah
Pada pendahuluan mata kuliah ini ditekankan bahwa Allah Israel adalah aksiom atau syarat berteologi. Seluruh
teologi dimulai dan dibangun di atas dasar aksiom tersebut. Pembuktian dari Alkitab sendiri memperlihatkan bahwa
Perjanjian Lama masih tetap aktual di dalam Perjanjian Baru. Sehingga tidak dapat dihindarkan bahwa Allah Israel
dalam PL juga Allah yang diakui dalam PB (pokok bahasan 1).
Pokok bahasa 2 ini akan menyoroti NAMA Allah Israel. Dengan kata lain: Nama Allah sebagai titik berangkat
ajaran tentang Allah, yang memuat antithese terhadap setiap bentuk ontologi, yang mempersyaratkan keallahan yang
abstrak dan kebenaran transendennya.
2.1. Allah Israel adalah Allah dari kerajaan yang mengubah dunia, yang memperkenalkan diri dengan namaNya dan
menyatakan diriNya dengan tindakanNya. Dialah Allah yang datang dalam sejarah dan mematahkan seluruh
ketertutupan sejarah.
2.1.1. Deus non est in genere: Allah Israel tidak bisa didefinisikan dalam konsep “Allah” secara umum. Allah
Israel adalah Allah di dalam kekonkritan (concretissimum) perkenalan nama diriNya. Di sisi lain,
pemahaman umum bahwa Allah tidak punya nama. Allah yang memperkenalkan dan menyatakan diriNya
dengan namaNya sendiri, yang keberadaanNya atau ketidak-beradaanNya bisa didiskusikan, seolah-olah
Dia merupakan objek untuk didiskusikan atau judul pelarian dari petualangan berpikir.
2.1.2. Allah Israel adalah Allah yang datang dalam sejarah umatNya, yang memulai perjalanan kedatanganNya
dengan pemilihan dan perjanjian dan yang tujuannya adalah perubahan dan pembaharuan ciptaan. Nama
Allah dan kedatanganNya merupakan perlawanan terhadap monotheismus abstrak. Monotheismus abstrak
sering dipergunakan sebagai konsep umum. Nama Allah tidak bisa dipahami dari terminologi atau
kategori teoritis monotheismus, karena “penyataan Allah, kalau itu benar-benar penyataan, membuktikan
diriNya sebagai satu-satunya kemungkinan yang tidak bisa dipilih oleh manusia, kecuali bahwa dia hanya
dapat memahami dirinya sebagai yang terpilih” (Barth, KD II/1, hlm. 155).

Karena nama Allah sebagai titik berangkat dan kedatanganNya merupakan bentuk pemilihan, maka itu berarti
bahwa nama Allah dan kedatanganNya merupakan suatu anugerah yang memberi masa depan bagi dunia, karena
dalam Israel Dia datang ke dunia bangsa-bangsa dan namaNya akan diagungkan oleh bangsa-bangsa. Dengan ini
segala bentuk ketertutupan dunia sudah dibuka oleh kedatanganNya dalam sejarah yang dibuktikan oleh namaNya
sendiri.

2.2. Dalam namaNya Allah Israel berfirman dan bertindak di dalam umatNya Israel, Dia memberi dirinya untuk
dikenal dan membuka diriNya kepada seruan orang-orang pilihanNya.
2.2.1. Teologi hanya bisa mulai berpikir dan berbicara ketika Allah sendiri telah bicara, dibicarakan dan akan
berbicara. Ketika Allah memperkenalkan namaNya, maka pada saat itu Allah telah mengucapkan kata

7
Pdt. Dr. Ir. Fridz P. Sihombing
Dosen STT HKBP Pematangsiantar
Jl. Sangnawaluh 6 Pematangsiantar
081397171080 / 06227007600

yang menentukan, karena kata tersebut merupakan keseluruhan diriNya. Kalau Allah bertindak di dalam
firmanNya, dan firman yang paling menentukan adalah namaNya sendiri, maka nama Allah dapat dilihat
sebagai firman mula-mula, dan dengan demikian perkenalan diri Allah dengan namaNya merupakan
jaminan bahwa Allah bertindak dan akan terus bertindak di dalam sejarah manusia dan dunia. Itu
sebabnya nama Allah “Aku adalah Aku” sering diartikan dengan “Aku hadir untukmu dan akan selalu
hadir bagimu.”
2.2.2. Konsekuensi dari pemahaman di atas adalah, bahwa setiap berbicara tentang hakikat Allah maka
pembicaraan tersebut tidak ada artinya jika tidak berbicara di dalam kekonkritan penyataan PL. Hanya
dalam perspektif kekonkritan sejarah, Allah dipahami sebagai janji dan kemerdekaan atau sebagai
pembawa perubahan dan pembaharu dunia di dalam kedatangan kerajaanNya.
2.2.3. Dapat dipahami kalau Judentum menguduskan nama Allah dan tidak berani menyebut namaNya. Bagi
orang Yahudi, Allah bukan tanpa nama. Pertanyaan yang perlu dijawab: Apa arti nama Allah?
2.2.4. Dalam Kel. 3:14 disebutkan nama Allah yang tidak dalam artian pernyataan keberadaan Allah secara
filosofis, sebagaimana dalam terjemahan septuaginta. Nama JHWH berasal dari akar HJH. Pernyataan
nama tersebut mempunyai arti:
1) Keterbukaan akan masa depan,
2) Kuasa dan kemuliaan Allah, dan dengan demikian Dia memberi kesempatan untuk mengalami kuasa
dan kemuliaanNya.
3) Keberadaan bersama dan kehadiran untuk umatNya Israel,
4) Kesetiaan Allah sebagai konsekuensi keberadaanNya, dan
5) Keterbukaan dan kesiapan mengikat diriNya kepada umatNya Israel, keterbukaan yang mencakup
kepenuhan keselamatan dan pertolongan bagi setiap orang yang memuliakan namaNya.

Kelima arti nama tersebut mencetak dan menentukan setiap pembicaraan tentang Allah, yaitu Allah yang
menyapa manusia dengan “Aku” yang personal, bukan konsep. Dengan nama tersebut, manusia dimampukan
untuk mengenalNya.

8
Pdt. Dr. Ir. Fridz P. Sihombing
Dosen STT HKBP Pematangsiantar
Jl. Sangnawaluh 6 Pematangsiantar
081397171080 / 06227007600

Pertemuan Ke-4
Dogmatika I

2.3. Penggambaran rahasia nama Allah dalam sejarah kedatanganNya merupakan permulaan yang tidak
bisa dihindarkan dan sangat penting bagi ajaran trinitas.
2.3.1. Pengakuan akan Allah yang dikenal di Yehuda dan namaNya yang diagungkan di Israel (Maz.
76:2) memperlihatkan penggambaran rahasia nama Allah dalam sejarah kedatanganNya. Di
Israel nama tersebut dipuja dan diagungkan (Maz. 9:3, 72:19, 99:3) tetapi juga dicemarkan (Yes.
52:5; Yeh.43:7). Namun pada jaman akhir janji ganda akan digenapi: bahwa umat Allah akan
memuliakan namaNya dan juga bangsa-bangsa akan menghormati nama Allah (Yes. 52:6; Maz.
86:9,102:16).

2.3.2. Yesus juga memenuhi janji tersebut. Dia berdoa kepada BapaNya, bahwa Dia telah
memberitakan Allah (Yoh. 17:6). Allah umat Israel akan dikenal di dalam Yesus (Kis. 13:16). Di
dalam Allah Israel tercakup keselamatan yang holistik. Perbedaan antara “aku” Yesus Kristus
dan “AKU” dalam Kel. 3:14 – bisa dibaca kembali tulisan Bertold Klappert.

2.3.3. Jika nama Allah dipahami sebagai aksiom berteologi, dan jika ajaran tentang trinitas sebagai
tradisi iman Kristen harus dibaca kembali dalam aksiom tersebut, maka haruslah mengikuti
teladan yang diberikan Yesus dalam doa Bapa Kami “dikuduskanlah namaMu” maka kekudusan
nama Allah haruslah menjadi kriteria tentang trinitas (Maz. 66). Kalau itu betul ajaran tentang
trinitas tertentu berhubungan dengan formulasi berkat harun (Bilangan 6:22-27) yang juga
dirumuskan trinitatis, dimana yang memberkati adalah nama Allah. Ketika hari trinitas dalam
tahun gereja, berkat Harun sering dikhotbahkan, hal ini memperlihatkan bahwa keduanya
berhubungan.

2.3.4. Kalau atau karena ajaran trinitas harus dipertahankan, maka rumusan itu harus dilihat secara baru
dari Alkitab dengan mengingat kriteria akan kekudusan nama Allah di atas. Hal tersebut
didorong oleh fakta bahwa ajarangtrinitas gereja mula-mula merupakan suatu dialog dengan
tradisi filsafat metafisik. Fakta tersebut mengikuti tradisi kitab Ibrani dalam sikap dialog yang
positif terhadap elohim dari dunia sekitar Israel tetapi membatasi diri dari Baal, sehingga elohim
dipahami sebagai predikat untuk Adonai (Kej. 14:18-22).

9
Pdt. Dr. Ir. Fridz P. Sihombing
Dosen STT HKBP Pematangsiantar
Jl. Sangnawaluh 6 Pematangsiantar
081397171080 / 06227007600

2.3.5. Melihat kembali ajaran trinitas dalam terang Alkitab berarti sebuah pengakuan bahwa ajaran
tentang trinitas mempunyai akar dalam PL dan PB. Dalam pengertian ini maka nama Yesus tidak
menggantikan nama Allah dan Yesus tidak menggantikan Adonai, tetapi Yesus menggantikan
temple (Yoh. 2:18-22), dan oleh karena itu, Dia adalah logos Allah, yang di dalamNya Allah
mengambil tempat (Teologi Schakinah). Dalam pengertian ini, Allah datang secara terus
menerus secara baru, dalam firman Allah yang adalah Yesus Kristus, Allah juga datang menyapa
manusia secara baru.

2.4. Kalau perkenalan nama Allah terjadi dalam tindakan anugerah yang memilih, maka haruslah didasari:
tidak ada hubungan terhadap Allah tersebut yang dapat dicapai.
2.4.1. Bahwa Allah yang memilih bukan manusia memilih Allah dan menentukan dirinya sendiri
menjadi orang yang terpilih, pola dasarnya sudah diperlihatkan terlebih dahulu dalam PL. Karena
pemilihan tidak bisa dilepaskan dari artian dasar nama Allah, dan karena Kristologis haruslah
teologis, maka Yesus Kristus juga mengaktualkan pola dasar pemilihan tersebut, dimana bukan
manusia yang memilih Dia, tetapi Dia yang memilih manusia (Yoh. 15:16).

2.4.2. Dengan pola dasar penerimaan umat Allah atas pemilihanNya (Ul. 7:6ff) ini pulalah penerimaan
bangsa-bangsa atas pilihan Allah di dalam Kristus. Sehingga dapat dimengerti kalau Karl Barth
mengatakan intisari Alkitab adalah pemilihan Allah. Itu sebabnya kita dapat memahami Karl
Barth sebagai teolog yang membangun teologinya di atas pemilihan umatNya yang tidak bisa
dilepaskan dari perkenalan diriNya di dalam namaNya (KD II/2 hlm. 215ff).

2.4.3. Orang yang dipilih dan disapa oleh Allah dalam perkenalanNya dengan namaNya, mereka
sendiri juga akan dipanggil dengan namaNya (Yes. 43:1) dan dalam nama Allah (Yes. 63:19).
Jadi makna kehidupan, hubungan dengan Allah bukan sesuatu yang diraih tetapi sesuatu yang
diberikan.

10
Pdt. Dr. Ir. Fridz P. Sihombing
Dosen STT HKBP Pematangsiantar
Jl. Sangnawaluh 6 Pematangsiantar
081397171080 / 06227007600

Pertemuan Ke-5
Dogmatika I

2.5. Dalam perspektif sejarah kedatangan kerajaan Allah, perjumpaan dengan Perjanjian Lama mempunyai
arti yang langsung dan aktual, karena ketika nama Allah dinyatakan di dalamnya (PL), maka janji
kebebasan menjadi kenyataan: Nama Allah merupakan janji kebebasan.
2.5.1. Perjanjian Lama membuka dan membiarkan terbukanya sejarah kedatangan kerajaan Allah.
Sejarah kedatangan kerajaan Allah merupakan sejarah yang daripadanya seluruh sejarah dunia
memperoleh arti dan tujuan. Sejarah kedatangan kerajaan Allah ini haruslah dipahami dari
kedatangan Allah ke dunia di dalam Israel secara horizontal.
2.5.2. Oleh karena sifat kedatangan Allah yang bukan pilihan manusia tetapi atas inisiatif Allah untuk
memilih dan bersama-sama Israel maka segala spekulasi kedatangan kerajaan ditiadakan.
Tetapi sekaligus menunjukkan kedatangan kerajaan Allah itu adalah suatu yang pasti.
Kepastian itu ada dalam nama Allah yang adalah janji dan kebebasan.
2.5.3. Walaupun ditekankan bahwa Allah memperkenalkan diri dengan namaNya secara konkrit,
tetapi juga harus dipahami bahwa dalam penyataan diriNya di situ Allah tersembunyi, dan di
dalam ketersembunyianNya di situ Dia menyatakan diri. Dua dimensi ini merupakan ciri khas
PL dan PB. Tidak seorangpun pernah melihat Allah (Yoh. 1:18) demikian juga Musa dalam
semak belukar yang menyala (Kel. 3). Oleh karena Allah Israel adalah janji dan kebebasan,
maka Perjanjian Lama mempunyai arti yang aktual bagi teologi Kristen. Ini dimungkinkan dari
penyataan nama Allah sendiri.

2.6. Allah datang kepada manusia, ketika Dia mencari, menyapa dan memanggil, mengambil dan
membawa mereka dengan firmanNya yang mengubah hubungan-hubungan dengan janjiNya ke masa
depan yang dibukanya sendiri.
2.6.1. Firman Allah pertama-tama datang dan firman itu berada dalam perjalanan realisasi. Allah
berfirman. Itu bukanlah simbol. Itu adalah firman yang yang bertindak dan menjadi peristiwa,
peristiwa yang tidak bisa dibandingkan dengan peristiwa lain. Itu adalah firman yang
mengubahkan dan memperbaharui, yang mencari manusia.
2.6.2. Karena namaNya mempunyai artian masa depan, maka itu berarti bahwa Allah sendiri adalah
masa depan manusia. Itu sebabnya penantian manusia hanyalah penantian akan Allah atau
penantian akan kedatangan kerajaan Allah (Maz. 130:6). Sebagai pengharapan, iman selalu
tertuju ke depan, terarah pada masa depan (Ayub 11:1f). Manusia hidup dari janji Allah yang
di dalam Kristus ya dan amin (2 Kor. 1:20).

11
Pdt. Dr. Ir. Fridz P. Sihombing
Dosen STT HKBP Pematangsiantar
Jl. Sangnawaluh 6 Pematangsiantar
081397171080 / 06227007600

2.7. Allah Israel menyatakan diriNya sendiri dalam sejarah politis umatNya sebagai kekuasaan
pembebasan, sebagai Allah pembebas dan Allah eksodus.
2.7.1. Pada awal kedatangan kerajaan Allah adalah tindakan pembebasan yang tidak terbandingkan
dengan tindakan apapun. Dalam tindakan ini, Allah Israel menyatakannya. Dia memberi
diriNya untuk dikenal. Dia adalah kuasa pembebasan. Itu bukan ide atau percakapan tentang
pembebasan, itu adalah tindakan pembebasan. Allah Israel menyatakan dan memperkenalkan
diri sebagai Allah pembebas.
2.7.2. Kalau tindakan pembebasan itu dilakukan dalam sejarah politis umatNya, ini mau
memperlihatkan bahwa hal ini merupakan suatu yang sama sekali baru, dimana Allah terlibat
dalam peristiwa politis, bukan Allah yang steril dari dunia.
2.7.3. Dari perspektif ini, iman Perjanjian Lama bukanlah sebuah agama keselamatan. Sayangnya
agama Kristen selalu mengidentifikasi diri sebagai agama keselamatan sama seperti agama-
agama pada umumnya (Bonhoeffer, Ergebung und Erlösung, hlm. 368). Harusnya pembebasan
Allah atas umatNya dari Mesir dipahami sebagai pembebasan dalam situasi politis yang
konkrit. Dalam pengertian ini maka keselamatan diartikan sebagai pembebasan.
2.7.4. Pembebasan ini mencetak dan memberi model terhadap seluruh pembebasan di dalam Alkitab
hingga pada penantian akan keselamatan eskatologis dalam Deutro-Yesaya (Yes. 40-55) yang
mewartakan keselamatan pada jaman akhir sebagai eksodus kedua.

Kuduskanlah nama TUHAN, Allahmu, maka kerajaan dan kehendakNya turun atasmu.

12
Pdt. Dr. Ir. Fridz P. Sihombing
Dosen STT HKBP Pematangsiantar
Jl. Sangnawaluh 6 Pematangsiantar
081397171080 / 06227007600

Pertemuan Ke-6
Dogmatika I

3. Firman TUHAN
Pada bagian ini akan didiskusikan tentang firman Allah, yang tidak terlepas dari bagian terdahulu bahwa Allah
Israel sebagai Aksiom (pendahuluan) dan NAMA Allah Israel (pokok bahasan 2). Firman Allah yang
dimaksudkan adalah 10 firman. 10 firman merupakan sentral dalam Perjanjian Lama dan dipahami sebagai pusat
dari seluruh Pentateuch, yang pada gilirannya juga pusat dari nubuatan para nabi, karena nubuatan diartikan
sebagai firman Tuhan yang datang pada para nabi untuk umatNya dan artinya juga bagi bangsa-bangsa. Kalau
dikatakan firman Tuhan atau firman Allah, yang dimaksudkan adalah firman Allah Israel, yang mempunyai nama
serta yang aktual di dalam Perjanjian Baru.
3.1. Seperti halnya tindakan, perkataan dan firman Allah merupakan petunjuk ke dalam kebebasan atau kemerdekaan :
puncaknya adalah firman 1, yang berada di dalam konteks peristiwa pembebasan yang mendasar dan terarah pada
kekuasaan Allah perjanjian serta ingin memelihara kekuasaan tersebut di hadapan kekuasaan-kekuasaan lain yang
tidak menyelamatkan.
3.1.1. Allah yang datang adalah Allah yang memerintah. Dia berbicara kepada manusia dan dengan kekuatan
firmanNya menempatkan manusia dalam perjalanan kebebasan yang dibukaNya sendiri. Dalam 10 firman
Allah keseluruhan kehendak Allah yang menuntut, membebaskan dan memimpin dalam rumusan yang
padat dan kaya diformulasikan.
3.1.2. Gesetz (hukum) und Evangelium (kabar gembira) atau Evangelium und Gebot (perintah). Biasanya orang
memahami yang pertama. Pola hukum dan kabar gembira mengikuti pola teologi yang mengatakan
bahwa manusia jatuh dalam dosa dan masuk dalam wilayah hukum. Itu sebabnya membutuhkan kabar
gembira yang datang dalam Yesus Kristus. Akhirnya Perjanjian Lama dibaca dalam kaca mata ini. Pola
ini berbeda dengan Kel. 20. Pertama bukan hukum. Tetapi pemilihan mendahului hukum. Allah memilih
Israel. Pemilihan adalah kabar gembira. Demikian halnya dengan pendahuluan, exodus memperlihatkan
Allah membebaskan Israel umatNya dari penindasan. Pembebasan adalah kabar gembira. Setelah kabar
gembira barulah perintah. Jadi kabar gembira mendahului tuntutan berarti memampukan umat melakukan
sesuai tuntutan untuk hidup sebagai umat pilihan yang dibebaskan.
3.1.3. Kalau ada perintah tertentu ada pendengar perintah dan ada yang memerintahkan. Pendengar tentu saja
akan mendengar, mengerti dan melakukan perintah jika pendengar tersebut mengenal siapa yang
memerintah dan mempunyai hubungan dengannya. Hubungan tersebut diperkuat dan diteguhkan oleh
inisiatif Allah (yang memerintahkan itu) yang memilih dan membebaskan mereka.
3.1.4. Jika itu artinya bagi umat pilihan, apa artinya bagi umat yang ikut terpilih dalam Kristus? “Dekalog
merupakan hukum kehidupan yang dinyatakan oleh Allah, semua ada di bawah kekuasaan Kristus yang
menghidupkan. Dia adalah pembebas dari kekuasaan lain yang sewenang-wenang. Dia membuka diri
pada orang yang percaya sebagai hukum pencipta dan pendamai. Dekalog adalah bingkai yang di

13
Pdt. Dr. Ir. Fridz P. Sihombing
Dosen STT HKBP Pematangsiantar
Jl. Sangnawaluh 6 Pematangsiantar
081397171080 / 06227007600

dalamnya ketaatan kehidupan manusia dimungkinkan. Dia membebaskan manusia kepada kehidupan
yang bebas di bawah kekuasaan Kristus” (Dietrich Bonhoeffer, Ethik hlm. 349).
3.1.5. Jadi 10 firman Tuhan bukanlah kumpulan perintah moral, tetapi harus dipahami dari Kel. 20:2-3.
dalam terjemahan “jangan ada padamu ...” memperlihatkan bahwa yang disapa itu konkrit dan
mempunyai hubungan dengan yang menyapa. Jadi bukan sekedar rumusan tidak ada Allah lain selain
Aku (perlu dibandingkan dengan ayat kursi dalam Islam), tetapi jangan ada padamu!!!
3.1.6. Dengan pemahaman yang demikian maka dapatlah dimengerti jika Allah yang membebaskan itu adalah
Allah yang memerintahkan sesuatu, maka berikut ini secara berturut-turut perlu dilihat sebagai
konsekuensinya (Ul. 6:13; Mat. 4:10; Kel. 20:5, 34:14 bnd. Ul. 30:11ff atau Rom. 10:6ff). Karena Allah
yang membebaskan memimpin kepada kepenuhannya, oleh karena itu perintahnya harus digenapi,
“totum bonum nostrum Deo adscribendum est” (Luther).

3.2. Dalam perjumpaan dengan Allah, larangan menyembah Allah berhala, membebaskan umat Allah dari setiap
bentuk pembatasan gambaran dan bayangan yang dibawa dari luar. Itu hanya menunjuk pada Nama dan Firman
Allah Israel.
3.2.1. Firman ke-2 (Kel. 20:4) pada dasarnya melarang membuat gambar lain (Kel. 20:4):
1) Larangan tersebut bukan didasarkan atas pemahaman pertentangan antara suatu yang kelihatan dan
yang tidak kelihatan, jasmaniah dan rohaniah. Oleh karena itu, larangan penyembahan berhala tidak
bisa dipahami sebagai sebuah bentuk pengendalian atau reaksi atas keyakinan keberagaman primitif
yang terpenjara pada hal-hal yang tampak dan jasmaniah.
2) Dalam ibadat agama-agama sekitar, yang dengannya Israel bersentuhan dan berhubungan, jarang
sekali gambar disatukan dengan keallahan yang harus disembah.
3) Ibadat pada jaman kuno didasarkan pada iman, bahwa ada kekuasaan-kekuasaan illahi yang tidak
terbatas dan tidak bisa diduga memenuhi dunia. Kalau larangan penyembahan berhala diartikan
sebagai upaya mengatasi pemahaman iman agama kuno, maka motif tersebut patut dipertanyakan dan
dicurigai.
3.2.2. Israel pernah jatuh pada pembatasan Allah ketika mereka membuat patung lembu emas. Pembatasan
tersebut justru memperlihatkan bahwa Allah dapat menjangkau dan dibatasi oleh manusia. Allah menjadi
pelarian manusia dari keterbatasannya. Atau dengan kata lain Allah menjadi projeksi kebutuhan,
keinginan dan harapan manusia. Itu sebabnya Allah dibuat dari barang-barang berharga.
3.2.3. Larangan penyembahan berhala membebaskan pembebasan akan Allah dari setiap keinginan dan materi
duniawi dan dari setiap pengenalan akan Allah yang salah dan membahayakan. Allah yang digambarkan
oleh manusia, bukan lagi Allah yang hidup. Dengan demikian perintah atau firman Tuhan membebaskan
manusia dari setiap gambar.
3.2.4. Pandangan yang mengatakan bahwa Allah dikenal dan dibatasi pada Nama dan Firman, pada dasarnya
juga sudah melanggar firman ke-2. itu sebabnya kalau 10 firman Allah dibaca sebagai satu kesatuan,

14
Pdt. Dr. Ir. Fridz P. Sihombing
Dosen STT HKBP Pematangsiantar
Jl. Sangnawaluh 6 Pematangsiantar
081397171080 / 06227007600

menjadi jelas bahwa firman ke-2 diperjelas oleh firman ke-3 yang hanya mengacu kepada Nama Allah
(Kel. 20:7).
3.2.5. Calvin menarik 3 hal penting dari perintah tersebut:
1) Apa yang kita pikirkan dan katakan tentang Dia haruslah menyaksikan kemuliaanNya dan melayani
kekudusan namaNya.
2) Kita dituntut mengarahkan diri kepada firmanNya dan mengenal kehendakNya.
3) Kita harus mengenal tindakanNya dan memuji hikmat, keadilan dan kebaikanNya.
Karl Barth pada tahun 1935 berkhotbah : “... Saudara-saudara hanya akan berjuang dengan benar dan akhirnya
dimahkotai kalau kalian justru melepaskan diri dari pemberhalaan diri, sehingga menjadi sangat bebas mengenal
firman Allah.”
3.3. Dengan perintah menguduskan hari Sabat Allah menuntut tidak hanya keseluruhan tindakan manusia tetapi juga
tindakan khusus manusia, bukan hanya keseluruhan waktunya tetapi juga waktu khususnya. Karena hari istirahat
merupakan petunjuk dan janji akan ketenangan yang menyelamatkan dan kedamaian di dunia yang akan datang.
3.3.1. Dalam Perjanjian Lama Sabat merupakan tanda kegenapan atau keutuhan ciptaan. Dalam perjanjian baru
hari pertama Minggu adalah hari Tuhan sebagai tanda kebangkitan dan dengan demikian sebagai awal
ciptaan yang baru (Kraus §170). Dengan demikian hari peristirahatan dilihat sebagai proton dan eschaton:
yang pertama dan terakhir, sebagai hari khusus yang di dalamnya kegenapan ciptaan dan janji
kedatangan kerajaan kebebasan (kemerdekaan) tercakup.
3.3.2. Itu sebabnya dalam penafsiran-penafsiran perintah ini ditujukan kepada jemaat, yang mempercakapkan
kedatangan kerajaan Allah dan keutuhan ciptaan. Pada gilirannya hari peristirahatan membuka arti dan
tujuan eskatologis bagi seluruh hari kerja dan pekerjaan. Dengan demikian hari peristirahatan adalah hari
yang ditentukan Allah dari rangkaian hari-hari yang ada sebagai hari khusus yang memaknai seluruh hari,
peristirahatan khusus yang memaknai seluruh kerja. Perintah harus bekerja selama 6 hari harus tidak
boleh tidak diindahkan (Kel. 20:9). Jadi hari bebas kerja merupakan tanda bahwa kerja manusia (baik atau
buruk) memenuhi hari-harinya bukan merupakan kepenuhan kehidupannya.
3.3.3. Bahwa kepenuhan kehidupan manusia bukan pekerjaan dan karyanya, atau sola gratia, bukan hanya
semboyan reformasi tetapi reformasi menemukannya dari Alkitab yang dimulai dalam kisah penciptaan
dan kisah Keluaran (Kel. 20). Tindakan khusus pengudusan hari Sabat, mngambil jarak dari pekerjaan,
menempatkan bagi iman sebuah akhir yang menyelamatkan dan membebaskan serta membebaskan diri
dari keyakinan pada karya prestasi sendiri.
3.3.4. Bekerja bukanlah kehidupan tetapi bekerja untuk kehidupan. Jika bekerja adalah kehidupan maka hari
tanpa kerja atau peristirahatan tidak lain adalah hari reproduksi kekuatan kerja. Itu berarti kerja identik
dengan kehidupan. Yang dimaksudkan oleh firman ke-4 bukanlah dalam artian ini, tetapi bahwa seluruh
waktu ada di tangan Allah dan ada dalam tuntutan Allah. Hari Sabat adalah milik Allah dan bukan
manusia. Siapa yang menguduskan hari Sabat, artinya mengambil jarak dari pekerjaan seperti biasanya,
berarti dia mengembalikan apa yang menjadi milik Allah yaitu waktu (Rom. 11:36).

15
Pdt. Dr. Ir. Fridz P. Sihombing
Dosen STT HKBP Pematangsiantar
Jl. Sangnawaluh 6 Pematangsiantar
081397171080 / 06227007600

Pertemuan Ke-7
Dogmatika I

3.4. Perintah menghormati orang tua membuat anak tidak hanya bertanggung jawab untuk pelaksanaan hak
hidup orang tuanya yang menjadi tua, tetapi juga untuk kesiapan hidup di masa tua yang
membahagiakan. Di bawah perintah ini kebebasan untuk hidup bagi orang tua dan anak menjadi
taruhan.
3.4.1. Dalam tradisi penafsiran, perintah menghormati orang tua (Kel. 20:12) telah dibebani dengan
salah pengertian. Dalam katekismus besar Luther mengajarkan ketaatan kepada ayah dalam arti
“di rumah, pemerintahan, sekolah, tempat kerja dan gereja” (Wa 301, 147ff). Demikian juga
Calvin melihat arti perintah ini bagi ketaan secara gradual dalam hubungan-hubungan
kekuasaan dan gereja (adakah pengaruhnya ini terhadap poda tohonan hapanditaon ke-7:
“ingkon unduk do tu uluan?”). Dengan artian ini maka perintah ke-4 diartikan secara
patriarkalis, sehingga di bawah perintah Allah menempatkan hubungan-hubungan kekuasaan
yang tidak menjamin kebebasan dan kemerdekaan.
3.4.2. Di bawah perintah ini juga, sering salah diartikan sebagai ketaatan anak kepada orang tua
melebihi dari ketaatan kepada firman Tuhan. Paling tidak itu diperlihatkan dari kata yang sama
“menghormati” yang dipergunakan juga untuk Allah, membuat orang mengartikannya sebagai
pengambilan total kepada orang tua yang dianggap sebagai “pengganti Allah” di dunia.
3.4.3. Perintah ini sesungguhnya dialamatkan kepada anak yang semakin dewasa, yang kepadanya
tanggung jawab terhadap kehidupan orang tuanya yang menjadi tua diembankan. Tetapi juga
bukan hanya hak hidup melainkan juga kebahagiaan hidup di masa tua. Penyerahan tanggung
jawab anak terhadap orang tua merupakan akhir dari kebebasan anak, sebaliknya adalah
kebebasan yang tidak bertanggung jawab.
3.4.4. Perintah kelima adalah sebuah perintah yang disertai dengan janji (Ef. 6:2f). Janji ini
merupakan pusat dari perintah yang lain bahwa Allah menghendaki kehidupan orang-orang
yang Dia sapa. Mereka haruslah orang-orang yang bebas bagi kehidupan orang dan terhadap
kehidupannya sendiri, bukan terpenjara atau terjerat atau terpaksa. Seluruh perintah Allah ada
di bawah syarat kebebasan hidup tersebut.

3.5. Perintah “engkau jangan membunuh” melindungi kehidupan dari kesewenang-wenangan dan
keinginan untuk menghancurkan. Ini terutama berhubungan dengan rencana atau perbuatan
tersembunyi.

16
Pdt. Dr. Ir. Fridz P. Sihombing
Dosen STT HKBP Pematangsiantar
Jl. Sangnawaluh 6 Pematangsiantar
081397171080 / 06227007600

3.5.1. Sepuluh perintah Allah berada di bawah terang pendahuluan bahwa Allah Israel memerintah,
memimpin dan membebaskan. 5 perintah dalam agama Buddha: 1) jangan membunuh makhluk
hidup, 2) jangan mengambil yang bukan diberikan kepadamu, 3) jangan menipu, 4) jangan
meminum minuman yang memabukkan, dan 5) jangan berbuat cabul. Perintah Allah juga
mempunyai refleksi atau pancaran secara universal. Dalam Alkitab perintah tersebut berada
dalam konteks kedatangan Allah. Hal ini menyangkut pembebasan manusia dari segala bentuk
yang menghancurkan hidup manusia.
3.5.2. Apa itu kehidupan? Sangat banyak definisi kehidupan, tergantung bidang atau sudut pandang.
Secara teologis kehidupan haruslah dibicarakan dari pemberi kehidupan, dari pencipta.
Akhirnya kepada Allah Israel kehidupan harus dipertanggung jawabkan dan disyukuri, karena
Dialah mengambil inisiatif mengikat perjanjian dengan umatNya, ikatan yang memberi makna
kehidupan, dimana masa depan manusia yang diciptakan dijamin dan dipelihara. Dengan
demikian, manusia ditentukan, dalam kebebasan hidup di hadapan Allah dan bersama-sama
dengan Allah. Hidup adalah yang diberikan atau dipinjamkan.
3.5.3. Pengakuan bahwa tubuh adalah adalah temple bagi Roh Kudus (1 Kor. 6:19) ingin
memperlihatkan kepenuhan tujuan kehidupan dan pentingnya kehidupan tubuh, dan tidak bisa
dipahami bahan antara untuk mencapai tujuan, yaitu hal-hal yang rohani. Tujuan awal
kehidupan manusia adalah segambar dengan Allah, dengan demikian mengisi tuntutan
kehidupan tubuhnya dalam kebebasan (sebagaimana kebebasan Allah). Maka kehidupan
manusia ditentukan Allah sebagai kehidupan yang diterima dan dikasihi Allah.
3.5.4. Alber Schweitzer merumuskan sikap takut dan hormat terhadap kehidupan. Hidup adalah
hidup dalam hubungannya dengan Allah Israel, pencipta dan pemelihara serta yang menjamin
kehidupan manusia, Allah yang memberi perintah untuk melindungi kehidupan.
3.5.5. Dalam Ulangan 27:24, ada tekanan kata “tersembunyi”. Tekanan tersebut diartikan dalam Mat.
5: 21ff diperlihatkan dalam sikap yang kelihatan hingga yang tersembunyi dalam hati, sebagai
tempat segala yang jahat (Mrk. 7:22). Di bawah ini pamahaman akan kehidupan seperti di
ataslah harus dinilai euthanasia, bunuh diri dan pengguguran kehamilan. Batas terakhir
kehidupan kita, dalam hubungannya dengan orang lain adalah kehidupan orang lain itu sendiri.
Hidup yang mengasihi adalah hidup yang menghidupkan orang lain, sebaliknya kebencian
mengharapkan kematian bagi orang lain. Kebencian adalah bentuk pembunuhan, yang
membatasi kebebasan hidup orang lain. Perintah Tuhan justru melindungi hak dan kebebasan
hidup orang lain.

17
Pdt. Dr. Ir. Fridz P. Sihombing
Dosen STT HKBP Pematangsiantar
Jl. Sangnawaluh 6 Pematangsiantar
081397171080 / 06227007600

3.6. Perintah “engkau jangan berzinah” melindungi kewibawaan dan kebebasan kebersamaan hidup
pasangan suami isteri. Ini menyangkut segala bentuk pemikiran, perkataan dan tindakan yang merusak
dan menghancurkan pasangan suami isteri.
3.6.1. Perintah “jangan berzinah” sering diinterpretasi dalam dua kecenderungan, yaitu sebagai
berikut: 1) pasangan sebagai wilayah atau bidang kepemilikan, dimana suami sebagai penguasa
atau pemilik. 2) pasangan sebagai zone seksual yang tabu, dimana peraturan tata tertib
memerintah. Tabu seksual merupakan fenomena yang berakar dari tradisi manikhaisme
(gnostik Kristen), yang berkembang di akhir jaman antik atau awal abad pertengahan.
3.6.2. Perintah ini jelas ingin melindungi hak dan kesucian kebersamaan hidup pasangan dari
kekuatan seksual yang merusak, yang banyak memainkan peranan pada ibadat-ibadat kuno.
Perlindungan ini jelas dilakukan demi kebebasan dan kebahagiaan kebersamaan hidup
pasangan. Puncak kehormatan terhadap pasangan dalam PL tampak dari pemakaiannya sebagai
metafor untuk ikatan perjanjian antara Allah dan Israel (Hos. 2:16ff, 20ff, 3:1ff). Tidak heran
ikatan antara Allah dan Israel sering dipakai sebagai gambaran asli kebersamaan hidup
pasangan, cinta dan kesetiaan, serta keandalan. Gambaran ini juga terus mentradisi hingga
masa-masa para rasul, seperti dalam Efesus 5:31ff. Dengan demikian pasangan dapat dilihat
sebagai suatu pancaran dari ikatan perjanjian, suatu gambaran pemilihan dan gambaran
kehidupan bersama dengan Israel dan dengan seluruh jemaat Kristen.
3.6.3. Pasangan dapat didefinisikan sebagai bentuk pertemuan antara laki-laki dan perempuan,
dimana keduanya dengan pilihan bersama mengambil keputusan bersama untuk hidup
bersama-sama yang ekslusif dan bertanggung jawab, unik dan selamanya. Hanya cinta dan
kebebasanlah yang menentukan pasangan. Bukanlah gereja atau negara yang menentukan
pasangan. Negara hanya meneguhkan pasangan untuk hidup bersama dengan masyarakat dan
memberi perlindungan kepadanya sebagai pasangan. Gereja menunjukkan dan mengingatkan
akan perjanjian Allah, yang memanggil kepada hidup berpasangan dan memberi kesempatan
serta mempersatukan pasangan, yang telah saling menemukan dan sekarang ingin hidup
bersama di hadapan dan bersama dengan Allah.
3.6.4. “Berjanjilah (kalian para pasangan): perhatikanlah, bahwa itu bukan janji palsu! Terlalu cepat
berjanji: demikianlah akibatnya terjadi perzinahan!” (F. Nietzsche). Di balik perintah “jangan
berzinah” lebih jauh menunjuk pada pemikiran, perkataan dan tindakan yang tidak merusak
pasangan atau yang melindungi pasangan yang telah memilih untuk hidup bersama. Bukanlah
tugas gereja untuk hadir sebagai lembaga pemerintahan pengesah pernikahan namun gereja
terpanggil untuk menunjukkan kewibawaan dan kebebasan kebersamaan hidup pasangan
sebagai suatu yang harus dihormati sangat berharga.
18
Pdt. Dr. Ir. Fridz P. Sihombing
Dosen STT HKBP Pematangsiantar
Jl. Sangnawaluh 6 Pematangsiantar
081397171080 / 06227007600

Pertemuan ke-8
Dogmatika I

3.7. Dalam konteks Tora, perintah “jangan mencuri” berlaku untuk pencurian manusia (penculikan).
Dengan pemahaman ini haruslah dikritisi tradisi penafsiran yang berlaku dan mempertanyakan secara
baru arti perintah tersebut dalam hubungannya dengan perampasan kebebasan dan eksploitasi tenaga
kerja manusia.
3.7.1. Tafsiran Albrecht Alt “Das Verbot des Diebstahls im Dekalog” (1953) seharusnya mewarnai
etika Kristen. Dalam Talmud: “Guru kita mengajarkan: Engkau jangan mencuri. Dalam hal ini
kitab (PL) bicara pencurian manusia.” Kalaupun ada pencurian ternak atau benda (Kel.22:1;
Ef. 4:28), perintah “jangan membunuh” haruslah ditafsirkan dari konteks aslinya! Albrecht Alt
memberikan 2 fokus perhatian: 1) “engkau jangan mencuri” diingatkan secara teratur dalam
kaitan langsung dengan perbuatan jahat seseorang terhadap sesama manusia, terhadap
hidupnya, pasangannya dan kehormatannya (Kel. 20:15; Ul. 5:19; Hos. 4:2; Yer. 7:9 dan Im.
19:11f). 2) penggandaan perintah dalam perintah ke-10, larangan yang berisi pendalaman dari
perintah “jangan mencuri”. Tekanannya lebih ke arah motif terdalam, yaitu masalah keinginan
atau hasrat. Kata gaanab “mencuri” menunjuk pada pencurian manusia.
3.7.2. Pencurian atau penculikan manusia bisa diterjemahkan kepada perampasan kebebasan manusia
pada jaman sekarang seperti eksploitasi tenaga kerja, berbagai bentuk perbudakan modern dan
penjualan manusia (anak-anak dan wanita) ada di bawah ancaman tuntutan perintah terebut.
Dengan demikian perintah “jangan mencuri” (karena hubungannya dengan kebebasan
manusia) akhirnya bermuara kepada persoalan hak asasi manusia yang harus diperhatikan oleh
masyarakat dan negara. Itu sebabnya perintah “engkau jangan mencuri dan engkau jangan
membunuh” merupakan dua perintah yang saling terkait dan harus memberi inspirasi dan dasar
bagi seluruh sikap dan tindakan dalam rangka melindungi kehidupan manusia. Dengan
demikian hak asasi manusia bukanlah kerinduan manusia belaka tetapi juga menjadi pusat
perhatian Allah Israel di dalam perintahNya.
3.7.3. Menjadi catatan penting untuk hal ini: 1) Negara-negara Barat sering menyuarakan
perlindungan manusia atau hak-hak asasi manusia dari perbudakan eksploitasi. Tetapi
perbudakan latent seperti eksploitasi “dunia ketiga” dilakukan demi kesejahteraan “negara-
negara maju”. 2) Kenyataan tersebut tidak harus menjadi alasan bahwa kita menjadi tidak
menghormati hak asasi manusia, dengan alasan bahwa tema hak asasi manusia adalah produksi
negara-negara Barat. Tidak harus membuang kebenaran, karena orang lain menyalahgunakan
kebenaran tersebut.
19
Pdt. Dr. Ir. Fridz P. Sihombing
Dosen STT HKBP Pematangsiantar
Jl. Sangnawaluh 6 Pematangsiantar
081397171080 / 06227007600

3.7.4. Pemahaman terhadap “jangan membunuh” dari konteks aslinya memberi perluasan dan
memperdalam cakupan perintah tersebut: mulai dari harta benda sampai kepada perampasan
kebebasan manusia. Konsekuensinya: mulai dari berbagai bentuk perlindungan terhadap hak
asasi manusia hingga pada penyediaan lapangan pekerjaan atau memberi kesempatan kepada
orang lain untuk bekerja.

3.8. Perintah “engkau jangan bersaksi dusta terhadap sesamamu manusia” berhubungan dengan situasi di
depan pengadilan, khususnya menyangkut pernyataan di bawah sumpah. Perintah Allah ini melindungi
hak dan kehormatan sesama manusia.
3.8.1. Pertama-tama perintah tersebut tidak menyangkut kebohongan yang biasa atau umum,
melainkan kebohongan di depan pengadilan yang berhubungan dengan situasi khusus
pernyataan saksi yang padanya kehormatan atau aib, hidup atau mati bergantung (Ams. 19:5, 9,
21:28; Maz. 15:3). Itu sebabnya saksi harus paham betul akan kebenaran atau menuntut
penyelidikan-penyelidikan.
3.8.2. Seringkali kebenaran atau kebohongan pernyataan tidak bisa dibuktikan, kalau itu dikatakan di
bawah sumpah. Pada bangsa-bangsa di sekitar Israel, sumpah sebagai fenomena keagamaan
dikaitkan dengan sesuatu yang kudus. Bersumpah demi sesuatu yang kudus. Di Israel sumpah
ada di bawah seruan kepada TUHAN, Allah Israel. Bukan kepada sesuatu yang kudus, tetapi
kepada Allah yang hidup, yang memperlihatkan kehadiranNya yang menghidupkan di dalam
tindakan-tindakanNya yang membebaskan dalam sejarah. Dia dikenal dan dihormati sebagai
saksi (Yer. 16: 14-15, 23: 7-8).
3.8.3. Kaitan perintah dengan situasi khusus di pengadilan ini ingin memperlihatkan bobot atau arti
sebuah kebenaran atau kebohongan. Perintah ini ingin melindungi kebebasan, hak dan
kehormatan manusia. Inilah arti yang paling mendasar dan mendalam dari perintah tersebut.
Allah bukanlah satu fungsi dalam dunia pengadilan, tetapi seluruh pikiran, perkataan dan
tindakan manusia terjadi di hadapanNya.
3.8.4. Sumpah justru membuat kebohongan manusia menjadi tampak. Sumpah bisa dipahami sebagai
ciri khas kekuasaan dusta. Dengan perintah ini diperlihatkan bahwa Allah berpihak dan
berjuang untuk sesama manusia yang diancam oleh kuasa kebohongan. Dusta keluar dari
kekuasaan yang jahat (Yoh. 8:44; 1 Yoh. 3:8ff) tetapi kebenaran keluar mendahului kasih (1
Kor. 13:6; Ef. 4:25).

20
Pdt. Dr. Ir. Fridz P. Sihombing
Dosen STT HKBP Pematangsiantar
Jl. Sangnawaluh 6 Pematangsiantar
081397171080 / 06227007600

Pertemuan Ke-9 Ujian Mid Semester Dan Pengumpulan Tugas


Pertemuan Ke-10
Dogmatika I
Das Problem Der Religion

Di dalam agama, manusia mencoba mendapatkan kesempatan mengalami kekuasaaan Allah untuk
memenuhi harapan, kerinduaan dan keamanannya.
1. Pengalaman keberagamaan merupakan pengalaman unik manusia.
Manusia mengalami suatu yang berhubungan dengan di luar dirinya, yang dianggapnya menentukan
kehidupannya. Kenyataan bahwa pengalaman keberagamaan itu sangat bermacam-macam dan
wadahnyapun bermacam-macam.
Itu sebabnya orang mempertanyakan wadah, yang disebut dengan agama tersebut.
2. Sudah sejak lama orang memikirkan tentang agama dan bermunculanlah berbagai teori atau pemahaman
tentang agama demikian juga berbagai kritik terhadap agama.
Namun demikian ada juga yang smpai kepada kesimpulan bahwa “agama itu tidak bisa didefinisikan,
karena agama merupakan sebuah fenomena yang tidak rasional dan terkait dengan situasi dan eksistensi,
sebuah fungsi manusia dan keberadaan manusia, yang tidak pernah jelas bagi kita” (K. Goldammer).
3. Ada juga yang melihat dan memahami agama sebagai suatu kecenderungan sejarah manusia atau bahkan
agama dilihat sebagai keseluruhan sejarah dunia.
Sejarah dunia tersebut berpusat pada dirinya sendiri, dan pusat itu adalah agama.
Pemahaman demikian misalnya dikembangkan oleh Ernst Troeltsch dalam bukunya “Die Absolutheit
des Christentums und die Religionswissenschaft” (1929). (Kemutlakan agama kristen dan ilmu agama-
agama).
4. Adolf von Harnack guru dari teolog besar Karl Barth dan Dietrick Bonhoeffer juga menyibukkan diri
dengan meneliti dan memahami agama.
Dia melihat dan memahami agama-agama dari Alkitab dan mengatakan bahwa Alkitab sebagai
“kompendium sejarah agama-agama“ (Dalam Kraus Hal 79), artinya bahwa Alkitab berisi intisari dan
ringkasan sejarah agama-agama di dunia.
Walaupun Karl Barth murid dari Adolf von Harnack, namun dia mempunyai pandangan yang sangat
beda . Banyak pandangan Karl Barth dan Adolf von Harnack yang tidak bisa dipertemukan seperti yang
terlihat dalam sebuah buku yang mendokumentasi surat-surat yang berisi perdebatan mereka tentang
beberapa thema-thema theologi termasuk menyangkut agama dan pernyataan Allah.
5. Karl Barth dalam paragraf 17 dalam KD 1/2 yang tekenal memberi judul “Pernyataan Allah sebagai
penyangkalan (atau kritik) terhadap agama”.Dia memahami demikian bahwa Alkitab adalah firman
21
Pdt. Dr. Ir. Fridz P. Sihombing
Dosen STT HKBP Pematangsiantar
Jl. Sangnawaluh 6 Pematangsiantar
081397171080 / 06227007600

Tuhan, dalam arti bahwa Alkitab berisi pernyataan Allah. Manusia tidak mungkin mengenal Allah kalau
Allah tidak memberi dirinya untuk dikenal.
Pernyataan diri Allah inilah yang merupakan dasar dari seluruh kehendak Allah. Allah merupakan
subjek dari pernyataanNya. Sebagai subjek Dia memberi diriNya menjadi objek untuk dikenal. Ketika
Allah memberi diri menjadi objek tersebut maka manusia bisa berbicara tentang Allah. Berangkat dari
pemahaman ini maka Barth melihat tekanan Allah yang menyatakan diri di dalam Yesus Kristus.
Tekanan tersebut ditemukan Barth dalam 2 Kor 5:19 yang isinya adalah ”Allah dulu didalam Kristus
dan telah memperdamaikan dunia dengan diriNya sendiri. Itu berarti perdamaian merupakan perfektum
yang telah dilakukan Allah (sebagai subjek) sekali untuk selama-lamanya. Pendamaian yang sudah
tuntas dilakukan didalam Yesus Kristus.
6. Dari penjelasan ini diakhir pembahasannya (dalam § 17) dia menekankan beberapa pokok menyangkut
(agama) Kristen dari hubungan antara Kristus dan orang kristen:
1. Apa yang dilakukan Allah tersebut menyangkut tindakan penciptaan, bahwa karya Allah
didalam Kristus mengadakan atau menciptakan orang yang beriman kepada Allah didalam
Yesus Kristus.
2. Apa yang dilakukan Allah tersebut menyangkut tindakkan pemilihan, bahwa karya Allah
didalam Kristus memilih orang yang beriman kepada Allah didalam Yesus Kristus.
3. Apa yang dilakukan Allah tersebut menyangkut tindakkan pembenaran, bahwa karya Allah
didalam Kristus membenarkan orang-orang yang beriman kepada Allah didalam Yesus
Kristus.
4. Apa yang dilakukan Allah tersebut menyangkut tindakan pengudusan, bahwa karya Allah
didalam Kristus menguduskan orng yang percaya kepada Allah didalam Yesus Kristus.

7. Empat hal yang ditekankan oleh Barth ini merupakan realitas karya Allah yang dipahami oleh Paulus
dalam 1 Kor 1:30. Dari tekanan yang dilihat Paulus ini bagi Karl Barth pernyataan Allah menyangkut
iman bukan agama. Namun demikian Karl Barth tidak meniadakan agama sebagai realitas kehidupan,
sebagaimana ciri khas berteologi Karl Barth. Itu sebabnya Karl Barth mengambil posisi kalau pun
agama harus diterima, maka agama itu haruslah berangkat dari pernyataan sebagaimana yang
diperlihatkan oleh Karl Barth.
8. Dengan demikian apa yang dilakukan oleh Barth ini adalah memahami Alkitab dan dari dalamnya
melahirkan kritik terhadap agama-agama yang sering dilihat dan dipahami secara penomenologi.
Dengan paham penomenologi agama mencoba mencari hakekat dari agama dari penomena, dimana
mereka bertindak secara sadar dalam meraih sesuatu. Jadi agama dilihat sebagai suatu pengalaman untuk
menggapai atau meraih kekuasaan Allah. Pemahaman demikian didukung oleh pandangan Luter
memahami bahwa manusia merupakan homo religious dan itu merupakan ciri dari egoisme manusia.
Homo religous menciptakan Allah menurut gambarnya, bukan Allah menciptakan manusi menurut
gambarNya.

22
Pdt. Dr. Ir. Fridz P. Sihombing
Dosen STT HKBP Pematangsiantar
Jl. Sangnawaluh 6 Pematangsiantar
081397171080 / 06227007600

Pertemuan Ke-11
Dogmatika I

9. Dietrich Bonhoeffer seorang teolog yang banyak menghasilkan pikiran-pikiran teologi dari penjara.
Selama dia di penjara dia banyak sekali mengirim suratnya kepada Eberhard Bethge yang kemudian
mendokumentasi surat-surat Bonhoeffer. Bonhoeffer mengakui bahwa Karl Barth merupakan tokoh
yang penting baginya dan memberikan insfirasi kepadanya.
10. Tulisan Karl Barth ”Pernyataan Allah sebagai penyangkalan (kritik) terhadap agama” ditulis tahun
1932. Bonhoeffer coba memahami dan menginterpretasi tulisan Karl Barth tersebut. Jadi pikiran Karl
Barth dapat kita pahami dari apa yang ditulis oleh Bonhoeffer dalam puisinya ”Christians and Pagans”
yang ditulisnya tahun 1944.

Christen und Heiden


(Christians and Pagans)

Dalam penderitaannya manusia datang kepada Allah,


menghampirinya minta tolong, mohon keberuntungan dan makanan,
kesembuhan dari penyakit, bebas dari perasaan bersalah dan kematian.
Baik Kristen maupun kafir melakukan semua itu.

Dalam penderitaannya manusia datang kepada Allah,


MenemukanNya miskin, tercela, tuna wisma dan tanpa makanan,
MelihatNya ditelan dosa, ketidakberdayaan dan kematian.
Kristen berdiri disamping Allah dalam penderitaanNya.(1)

Allah datang kepada manusia dalam penderitaan mereka


Mengeyangkan tubuh dan roh dengan roti dari padaNya
Mati untuk kristen dan kafir
Dan mengampuni baik kristen maupun kafir
(1) Dalam suratnya dari penjara tanggal 18 Juli 1944, dia menuliskan bahwa yang membedakan orang
Kristen dari orang lain adalah “Kristen berdiri di samping Allah dalam penderitaanNya”. Artinya:
“manusia dipanggil, ikut memikul penderitaan Allah di dunia yang tidak mengenalNya.” Dietrich
Bonhoeffer, Wiederstand und Ergebung, München, 1958, hlm. 244-247.

23
Pdt. Dr. Ir. Fridz P. Sihombing
Dosen STT HKBP Pematangsiantar
Jl. Sangnawaluh 6 Pematangsiantar
081397171080 / 06227007600

1. Kedatangan kerajaan Allah memperlihatkan krisis dan akhir agama


1.1. Dengan tema ini, PL dan PB menjadi gambar asli krisis dan akhir dari hekekat agama. Oleh karena
itu agama kristen harus dibangun diatas kesaksian kedatangan kerajaan Allah.
1.2. Dari ”pernyataan Allah dan penyangkalan (kritik) terhadap agama” Karl Barth memperlihatkan
dimana ”orang-orang saleh” dalam agama dan tradisi gereja telah mempertahankan atau
menjadikan kerajaan Allah milik mereka, ketika mereka mengidentikkan gereja atau kesalehan
dengan kerajaan Allah. Dalam hal ini Karl Barth menerima dan memberlakukan kritik terhadap
agama yang dilakukan oleh Ludwing Feuerbach terhadap agama kristen.
1.3. Bonhoeffer mempertajamkan kritik terhadap agama yang dilakukan oleh Karl Barth, tidak secara
umum tetapi lebih khusus terhadap kristen dan gereja. Bonhoeffer mengkritik, ketika dia bertanya
tentang ciri khas proses dan peristiwa kedatangan kerajaan Allah, ketika segala sesuatu
dibandingkan dengan jalan dan peristiwa kedatangan kerajaan Allah, sebagaimana digambarkan
oleh agama. Bonhoeffer sampai kepada kesimpulan, bahwa kedatangan kerajaan Allah
membongkar batas-batas agama, dan bahwa segala upaya yang mencoba memerangkap,
mempertahankan kerajaan Allah di dalam dunia keagamaan akan gagal dan pasti gagal.
Kedatangan kerajaan Allah tidak menyelamatkan diriNya dibawah kriteria suatu agama manapun.
Segala gambaran dan defenisi terhadap kerajaan Allah yang akan datang oleh agama akan
digagalkan dan dihancurkan. Inilah krisis dalam agama-agama.
1.4. Perubahan dan pembaharuan dunia bukanlah pekerjaan agama, melainkan semua itu merupakan
tindakan Allah di dalam Roh Kudus, dan oleh karena itu tindakan manusia yang telah dijadikan
subjek pembaharu. Untuk itu perlu memahami pekerjaan Roh Kudus dalam dogma III.
1.5. Melalui Roh Allah manusia dibebaskan, bertindak dan berpikir sebagai subjek sejarah yang
bekerja secara bersamaan dan spontan, sejalan dengan gerakan kerajaan Allah yang mengubahkan.
1.5.1. Roh Allah membebaskan. Bukan dalam dirinya sendiri, melainkan dalam kristus manusia
menemukan kebebasan dan kemerdekaan yang dinyatakan dalam Roh Allah (Mat. 5:44f).
1.5.2. Sebagaimana Allah bertindak demikianlah kristus, anak Allah, bertindak. Siapa yang
mengikutiNya dan bertindak dalam kekuatan kharisma Roh-Nya, maka dia termasuk
anak-anak Allah, anak-anak Bapa di surga.
1.5.3. Matius 11 : 27 ingin mengatakan:
1) Dalam kristus manusia menemukan kebebasan untuk hidup mengasihi secara tanpa
batas, yang dikerjakan oleh Roh Kudus. Dia memperbaharui subyektifitas manusia
yang dikuasai oleh ikatan-ikatan keduniawian yang ingin merusak dan
menghancurkan kehidupan, melalui Roh kemerdekaan.
2) Manusia yang cenderung merendahkan diri menjadi obyek sejarah, obyek kehancuran
dunia yang sudah mempunyai sistemnya sendiri, dibebaskan oleh Roh menjadi subjek
pelaku pembaharuan dunia.
3) Ketika manusia menjadi subjek pembaharu dunia maka manusia menjadi manusia
yang dipenuhi oleh Roh Allah, karena Allah sendri adalah subjek yang ingin dan
selalu hadir untuk memperbaharui dunia, melalui kehadiran Roh-Nya. Karl Marx
mengatakan bahwa orang kristen terlambat menyadari bahwa dirinya sudah menjadi
objek pengucilan dunia ketika mereka tidak lagi berlaku sebagai subjek pembaharu
dunia.
4) Sebagai subjek, manusia bukan lagi sebagai hamba (roma 6 : 17f ; 8 : 15 ; Gal 5:1)
”siapa yang tidak lagi mengkwatirkan dirinya sendiri, mempunyai perhatian dan
waktu bagi orang lain, tidak mampu mempertahankan kemerdekaan hanya untuk
dirinya sendiri, melainkan meneruskannya kepada orang lain. Itulah yang
dimaksudkan oleh kasih : menciptakan kebebasan atau kemerdekaan bagi sesama
manusia dan menjadikan dunia sebagai ruang kehidupan yang terbuka ” (Ernst
kasemann).

24
Pdt. Dr. Ir. Fridz P. Sihombing
Dosen STT HKBP Pematangsiantar
Jl. Sangnawaluh 6 Pematangsiantar
081397171080 / 06227007600

Pertemuan Ke-12
Dogmatika I

1.6. Roh Allah tidak hanya merupakan kekuatan yang mengubahkan dan bekerja di ”wilayah”
kekristenan, yang merupakan awal dan jaminan kerajaan Allah yang akan datang, tetapi juga
kekuatan atau kekuasaan yang menciptakan segala gerakan yang baik, logis dan menunjang
kehidupan dunia.
1.6.1. Roh Allah bekerja secara universal pada seluruh ciptaan karena Allah Israellah pemilik
seluruh ciptaan, dan yang telah memberikan jaminan akan masa depan seluruh ciptaan
ketika Dia memperkenalkan diriNya dengan namaNya.
1.6.2. Dimensi universal dari wilayah kerja Roh Allah diperlihatkan misalnya dari ungkapan Roh
kehidupan (Kejadian 6:17), Roh hikmat (Yes 11: 2), Roh keputusan pengadilan (Yes 4:4)
dan Roh keahlian (Keluaran 28:3). Sayangnya manusia memuji diri sendiri atas semua itu
(1 Kor 4:7).
1.6.3. Roh Allah adalah terang yang sesungguhnya, yang menerangi manusia, yang datang ke
dunia ini (Yoh 1:9). Jangkauan pekerjaan Roh yang keluar dari Allah Israel dan dari
Kristus sifatnya universal dan tanpa batas.
1.6.4. Calvin mengaitkan ajaran tentang Roh Kudus dengan ajaran tentang ciptaan. Calvin
memahami dalam Roh Kudus sebuah prinsip kehidupan dari Allah yang mengubahkan
dalam seluruh dunia ciptaan (Institutio II,2,15). Demikian juga pandangan Luther (WA
T5,367). Dengan pandangan ini sama sekali tidak dimaksudkan sebagai teologi naturalis.
Yang dimaksudkan adalah keterbukaan karya universal Roh Kudus dikaitkan dengan
pernyataan Allah di dalam Yesus Kristus yang mempunyai jangkauan universal. Sumber
segala hikmat dan kebenaran yang ditemukan secara universal dalam seluruh ciptaan
barulah dikenal dalam peristiwa pernyataan Allah di dalam Yesus Kristus.
1.6.5. Bagaimana menilai segala ungkapan, pernyataan, gagasan atau gerakan-gerakan yang baik
yang menunjang kehidupan, dan menurut iman kristen sesuai dengan kebenaran Yesus
Kristus, yang dengannya orang kristen perlu berjuang dan untuknya kita perlu melibatkan
diri?

2. Di dalam Kristus dualisme antara dunia dan “dunia atas” atau “sorga” ditiadakan dan wilayah
ketegangan antara manusia dan Allah diatasi.
2.1. Pada agama-agama umumnya dualismus antara dunia dan surga merupakan konstanta.
Pengalaman-pengalaman pada batas normal di pahami sebagai pengalaman transendeta. Otoritas
dunia yang kelihatan seperti orang tua atau bapak, pejabat Negara dll. Dipahami dari dunia yang
tidak kelihatan atau yang transendental.
2.2. Kedatangan kerajaan Allah, pemunculannya di dunia yang kelihatan ini, kehadirannya dalam
firman dan karya Yesus Kristus telah menghancurkan meniadakan dualismus di atas, sekali
untuk selama-lamanya.
2.3. Sehubungan dengan dualisme antara Allah dan manusia. Pembedaan tetap bisa dilakukan karena
dengan demikian maka Yesus akan memenuhi aksiom teologi ketika dia adalah Kristus.
2.4. Universalisme kekristenan yang dibangun di atas dasar kedatangan kerajaan Allah terjadi di
salib, dimana dalam salib Yesus menemukan semua orang dan dalam salib semua perbedaan
bahasa, ras, sosial dan budaya menjadi satu. Kerajaan Allah memasuki tempat sesungguhnya,
manusia sesunggunya, karena salib merupakan krisis bagi dunia dan agama (1 Kor 1: 18).
2.5. Jika bagi agama salib adalah krisis,maka itu juga berlaku bagi kristen dan Greja, yaitu bagi
pertobatan dari segala bentuk pemahaman yang dualismus.

25
Pdt. Dr. Ir. Fridz P. Sihombing
Dosen STT HKBP Pematangsiantar
Jl. Sangnawaluh 6 Pematangsiantar
081397171080 / 06227007600

Pertemuan Ke-13
Dogmatika I

Kritik Terhadap Agama


Berdasarkan Psikoanalitis

1. Pernyataan-pertanyaan Psikoanalitis memperhadapan agama kepada Pernyataan-pertanyaan baru.


Teologi harus memperhatikan secara kritis, apa yang dijelaskan oleh Psikoanalitis tentang iman kepada
Allah, perintah dan kesalahan.
1.1. Filsuf Ludwing Feurbach mengatakan bahwa Allah bukanlah sesuatu yang fisis atau kosmis,
melainkan sebuah hakekat yang psikologis. Kalimat Feurbach ini secara tepat memperlihatkan
tantangan yang sedang dihadapi oleh agama;
1.2. Bagi Sigmund Freud agama itu merupakan ilusi. Artinya, manusia akan mengikuti prinsip
“keinginan”, “harapan” atau “dambaan”. Agama dilihat sangat kekanak-kanakan. Dan oleh karena
Allah dipahami sebagai suatu proyeksi kuasa perlindungan dari seorang bapak yang dapat di
jelaskan secara psikologis. Allah sebagai bapa yang ditinggikan. Dialah bapa yang mengerti
kebutuhan manusia yang diproyeksikan sebagai anak-anak. Dengan demikian agama dipahami
sebagai penyakit syaraf yang menekan seluruh manusia secara universal.
1.3. Penelitian Psikoanalitis di buktikan di dalam mitologi. Inilah batas dari Psikoanalisis. Ada mitologi
Oedifuskompleks, dimana seorang anak laki-laki mengawini ibunya. Akhirnya pemahaman ini
dikembangkan secara paralel, yaitu fenomena adanya kecenderungan anak perempuan mencintai
bapaknya atau anak laki-laki mencintai ibunya.
1.4. Demikian juga adanya struktur roh yang dipahami dalam perkembangan yang dapat dikembalikan
kepada mitologi tua, dimana manusia telah membangun baginya gambaran-gambaran idea, dan
gambaran-gambaran ideal itu dilihat mengambil bentuk di dalam Allah yang mereka percayai.
Kategori-kategori teori Feurbach mencangkup teori-teori kuno yang muncul dalam mitoloigi kuno.
1.5. C.G. Jungs seorang psikoanalitis mengatakan bahwa pernyataan-pernyataan metafisis merupakan
pernyataan-pernyataan psikologis, dan oleh karena itu memiliki kualitas psikologi dari kekuasaan
Allah pencipta, roh membuat pernyataan-pernyataan Metafisis. Dari teori tersebut Jungs
memunculkan ajaranya yang unik: Dari lapisan-lapisan terdalam hal yang disadari muncul
Archetypen (berbagi jenis bahtera) dalam bentuk: gambar dan motif manifestasi- manifestasi
yang melampaui manusia.
Kalau konsep tentang Allah, sebagai pengalaman mula-mula,membangun dirinya sendiri di dalam
ketidak-sadaran muncul gambar dan motif, maka demikianlah konsep tersebut bekerja dalam
26
Pdt. Dr. Ir. Fridz P. Sihombing
Dosen STT HKBP Pematangsiantar
Jl. Sangnawaluh 6 Pematangsiantar
081397171080 / 06227007600

bentuk Archeptypen. Dari harta yang tersembunyi muncul aku, dan gagasan tentang Allah dan
setan juga gagasan tentang kekuasaan dan kekerasan. Dari gambaran inilah muncul dongeng dan
mithos, yang dari padanya akar-akar bayangan keagamaan keluar. Dengan demikian kita juga
menemukan dasar-dasar etik dalam agama-agama.

1.6. Kembali kepada teori Freud, sesuatu yang melampaui ”aku” mempunyai otoritas. Dari pengakuan
akan otoritas inilah muncul perasaan bersalah. (Biasanya orang merasa bersalah pada sesuatu yang
diatasnya).
1.7. Dari kritik psikologis terhadap agama beralih kepada kritik psikologis terhadap tradisi iman
kristen, gereja dan teologi. Apa artinya perhatian kritis teologi sehubungan dengan psikoanalisis?
Terhadap semua itu mungkin kritik psikoanalisis merupakan suatu metakritik, yaitu pertama-tama
kritik terhadap hipostasi (personifikasi). Lapisan-lapisan terdalam roh. Metakritik atau kritik
psikoanalisis akan membuat batas-batas kritis dapat dikenal.

Pertemuan Ke-14 : Ujian Akhir Semester

27

Anda mungkin juga menyukai