Anda di halaman 1dari 10

DOGMATIKA

Nama : Inra Banjarnahor


NIM : 18. 3321
Sem/kelas : Semester VI
Dosen pengampu : Pdt. Ricardo S Turnip, M. Th

Rumusan Masalah :
1. Pemahaman tentang Dogma dalam Perjalanannya (PL, PB, dan masa kini)

“Dogmatika” berasal dari bahasa Yunani “dogma”, jamaknya adalah dogmata, dan kata
kerja adalah dogmatizo, yang berarti sesuatu pendapat dan dalil suatu ajaran yang
mengumumkan sesuatu keputusan atau perintah. Pada awalnya kata dogma diartikan sebagai
pendapat dan pandangan oleh ajaran filsafat. Dalam arti luas dogma berarti keputusan atau apa
yang telah diputuskan. Dengan demikian dogma berarti sebuah keputusan, pengumuman dan lain
sebagainya.1

Sejarah dogma adalah suatu displin Sejarah Gereja secara umum yang objeknya adalah
dogma-dogma gereja. Dogma tersebut merupakan doktrin iman Kristen yang logis dan
dirumuskan atau di ekspresikan untuk tujuan ilmiah dan apologetik yang berisikan tentang
Tuhan, dunia, ketentuan-ketentuan yang dibuat oleh Tuhan untuk keselamatan manusia. Dogma
merupakan pengejaran penghayatan kebenaran yang dinyatakan oleh Alkitab atau kitab suci
dengan pengakuannya atas keselamatan yang telah dijanjikan-Nya.2 Dogma juga merupakan
suatu topik yang berkontribusi pada prolegomena teologis atau prinsip teologis. Muncul
pemahaman Protestan antara lain, bahan-bahan teologi yang menyatakan pemahamannya tentang
Allah membutuhkan prinsip-prinsip Ilahi atau jaminan ilahi dan meletakkan Alkitab sebagai
dasarnya.3

2. Dogma terhadap Apokaliptik


1
G. C. van Niftrik dan B. J. Boland, Dogmatika Masa Kini, Jakarta: BPK GM 2008, 11-12.
2
A. Harnack, History of Dogma Vol. 1, Berlin 1893, 12.
3
R. A. Muller, Post-Reformation Reformed Dogmatics Vol I: Prolegomena to Theology, Michigan: Baker Academic,
2006.

1
Dogmatika dapat dibatasi sebagai berikut:

4
Ilmu Teologi yang rnenyelidiki dan merurnuskan liai-ha! yang dinyatakan di dalam Kitab Suci
dan yang mencari kesatuan dari hal-hal tersebut

Dan batasan ¡ni kita dapat menarik kesimpulan tentang tiga ha:

a. Objek dogmatika.

Objek dogmatika bukannya dogma-dogma Gereja. Memang ada ranting Ilmu Teologi yang
hanya menyelidiki dogma-dogma gereja; menyelidiki, membandingkan, mencari sejarahnya dan
lain sebagainya. Ranting Ilmu Teologi ini namanya simbolik (symbolum — pengakuan. sahadat).
Objek dogmatika ialah Kitab Suci segenapnya. Dogma-dogma ialah rumusan-rumusan dan
pengertian pengertian yang pokok di dalam Kitab Sud. Tetapi di luar dogma-dogma. ¡si Suci
yang sudah diakui Gereja seperti objek kepercayaan anggotanya. Banyak ¡si Kitab Sud yang
belum atau tidak akan menjadi dogma. Isi ini harus disetidiki juga. Dogmatika mencari isi-isi mi
dan mencari juga kesatuan dan segenap pernyataan Kitab Suci. Mungkin dan buab penyelidikan
dogmatika ada yang diambil Gereja untuk dijadikan dogma, tetapi ini bukan maksud dogmatika
yang pertama-tama.

b. Kesatuan hal-hal yang dinyatakan Kitab Suci harus dicari.

Di dalam firman Tuhan tidak hanya terdapat hal-hal yang tidak berhubungan di antaranya tetapi
hal-hal ini mempunyai kesatuan. Tuhan adalah Mahaesa. maka segala pernyataannya juga tentu
merupakan suatu keselarasan, suatu kesatuan. Kalau kita tidak melihat kesatuan ini (sebab di
dalam Kitab Suci memang terdapat hal-hal yang kelihatannya sening bertentangan) maka
kesatuan harus dicari.

c. Hubungan dogmatika dengan etika adalah erat sekali, memang sebenamya dua hal ¡ni hanya
satu. Ada yang membedakan antara lain demikian: dogmatika membicarakan iman, etika
membicarakan hidup orang atau: dogma membicarakan kepercayaan sedangkan etika
membicarakan perintah Tuhan, atau: dogma menyelidiki pemyatn tentang hakikat Tuhan, etika
menyelidiki pernyataan tentang pekerjaan Tuhan.

4
Soedarmo, Ikthisar Dogmatika, 1965, BPK Gunung Mulia, Hal 7

2
Semua perbedaan ini, meski tampaknya selintas mengandung kebenaran, namun apabila ditinjau
lebih dalam temyata salah. Memang dogmatika dan etika tidak dapat dipisahkan. Dan sebab
Iama-kelamaan terlalu banyak yang harus dibicarakan di dalam dogmatika, maka orang
menceraikan sebagian dan dogmatika, disebut etika, yang dapat dikatakan sebagai berikut:
pelaksanaan pernyataan Kitab Sud di dalam sikap orang percaya terhadap din sendiri dan dunia
sekitamya.

Bagaimanakah dogmatika bekerja? Bagaimanakah cara dogmatika memenuhi tugasnya?

Di dalam membicarakan tugas dogmatika kita harus berpegang path tiga faktor:

a. Kitab Sud sebagai sumber, dan situ dogmatika menerima pemyataan pernyataan.

b. Sahadat, sebagai pautan bagi mereka yang mengusahakan dogmatika.

c. Keadaan orang yang menyelidiki.

Bagi dogmatika, ketiga faktor ini semua penting. Tetapi di smi pun kita harus menghindari
segala hal yang berlebih-lebihan (terlalu).

1). Kalau kita hanya berpegangan pada Kitab Sud saja maka kita mungkin ke dalam aliran
Biblisisme. Biblisisme tidak mungkin dipegang teguh, seperti juga subjektivisme hams ditolak.
Sebab: Pernyataan Tuhan sedemikian dalam dan luas hingga tak dapat diterima segenapnya oleh
seseorang. Barangsiapa tidak mau menerima pengalaman-pengalaman, buah-buah penyelidikan
orang lain dan abad- abad yang lampau hingga sekarang, ia dengan sukarela menjadi orang yang
miskin, sebab banyak dan kekayaan firman Tuhan dengan sukarela dibuang.

2). Paham-paham, yang menaruhkan tekanan tenlalu berat pada pengakuan Gereja, dapat disebut
tradisionalisme. Tradisionalisme menyesatkan dogma juga. Di smi pekerjaan dogmatika dibatasi
dan diikat oleh pengakuan Gereja, maka tidak dapat mencari kekayaan Kitab Suci seluas-
luasnya.

3
3. Mendialogkan Dogma sehingga bisa menjadi Relevansi Gereja

Gereja berfungsi untuk memberi kesaksian tentang kebenaran pernyataan Allah kepada
cara yang dapat dipakai gereja untuk melakukan pemberitaan, seperti: khotbah, katekisasi,
tulisan- manusia. Hal ini berkaitan dengan pernyataan Allah di dalam kedatangan Yesus Kristus.
Banyak tulisan, pendekatan sosial, seruan kepada pemerintah, dan lain sebagainya. Oleh karena
itu, tujuan gereja adalah untuk memberikan kesaksian tentang kebenaran Allah. Sehingga gereja
yang berkhotbah, memberitakan Injil, memberi kesaksian tentang Yesus Kristus, dan lain-lain
memerlukan usaha-usaha yang disebut sebagai dogmatika.5 Sedangkan dogma-dogma tersebut
harus diuji pada terang Alkitab dan diinterpretasikan dengan mengacu pada Alkitab. Konfesi-
konfesi dan dogma-dogma dimaksudkan sebagai suatu bimbingan dan arahan terhadap
pemahaman Alkitab dengan memberikan peringatan kepada konsepsi tertentu dan dengan pusat
amanat Alkitab. Luther memaparkan pemahamannya bahwa “saya tidak mengagungkan diri
saya di atas doktor-doktor dan konsili-konsili; saya mengagungkan Kristus di atas semua guru
dan konsili” dengan pengertian menempatkan konsili-konsili dibawah kewibawaan Kristus.6
Keadilan tampaknya adalah sebuah kebajikan Tuhan. Seperti pada Keluaran 33:19, Tuhan
berbicara kepada Musa “Tetapi Firman-Nya: Aku akan melewatkan segenap kegemilangan-Ku
dari depanmu dan menyerukan nama Tuhan di depanmu: Aku akan memberi kasih karunia
kepada siapa yang Kuberi kasih karunia dan mengasihani siapa yang Kukasihani”. Tuhan
memberikan belas kasih secara percuma-cuma dan menunjukkan kasih karunia dan belas
kasihan-Nya kepada mereka yang dikasihi-Nya atau umat yang percaya kepada-Nya.7

Gereja dapat membuat suatu konsepsi-konsepsi atau keputusan-keputusan dogma bukan


karena kekuatannya sendiri, melainkan dibawah bimbingan Roh Kudus. Namun hal ini tidak
memiliki syarat-syarat formal atau jaminan yang memang diketahui bahwa suatu gereja
dibimbing oleh roh Roh Kudus. Akan tetapi, orang Kristen tidak ada yang meragukan hal ini
atau setidaknya jemaat percaya bahwa dogmatis dibuat atas dasar bimbingan Roh Kudus.8

Pelayan Tuhan yang disebut sebagai pendeta adalah manusia biasa dan memiliki tenaga
yang terbatas. Oleh karena itu tidak dapat dikatakan bahwa seorang pendeta sudah benar (dengan

5
G. C. van Niftrik dan B. J. Boland, Dogmatika Masa Kini, 16-17.
6
B. Lohse, Pengantar Sejarah Dogma Kristen, 17-18.
7
Geerhardus Vos, Reformed Dogmatics Vol I: Theology Proper, 2014.
8
B. Lohse, Pengantar Sejarah Dogma Kristen, 19.

4
sendirinya) dalam membawakan firman Allah meskipun pendeta tersebut memakai ayat-ayat
Alkitab sebagai dasar dan pokok khotbahnya. Maka dogmatika berlaku dan mestilah dilakukan
terus-menerus didalam lingkungan gereja Kristen karena dogma menjaga, supaya apa yang telah
dinyatakan pendeta diatas mimbar tidak menyimpang dari jalan yang benar. Tetapi hal ini benar-
benar tidak ada jaminan bahwa seseorang tersebut telah mendengarkan firman Allah,
sesungguhnya hanya Roh Kudus yang dapat membuat manusia menjadi firman yang hendak
Tuhan sampaikan kepada jemaat-Nya. Sehingga dogmatika wajib dilakukan untuk melakukan
usaha yang kritis dengan menyelidiki apa yang diberitakan dan harus diberitakan di dunia ini.9

Pada sejarah perjalanan dogmatika, kesinambungan akan ajaran gereja dan sejarah
dogmanya tidak menutup kemungkinan bahwa pada kenyataannya dogma-dogma atau konfesi-
konfesi yang dihasilkan pada masa lampau boleh tidak menjadi relevan lagi, proses dimana
keputusan-keputusan dan pernyataan-pernyataan doktrinal menjadi tidak relevan tidak dapat
dihindari. Hal ini dapat dilihat karena situasi dimana seseorang tersebut hidup akan berubah-
ubah. Namun bukan berarti konfesi-konfesi atau keputusan-keputusan yang telah dibuat itu
menjadi tidak benar atau tidak sah. Karena dalam proses pembuatan dogma harus disertai oleh
Roh Kudus, hal ini dapat dibantah bila inkarnasi Firman Allah ditolak karena terdapat
kesejajaran antara inkarnasi Firman Allah dengan pertolongan Roh Kudus dalam merumuskan
konfesi-konfesi gereja. Allah bekerja dengan rahasia dan tidak menempatkan diri seperti dalam
penyelesaian yang diciptakan oleh manusia.10

Dogmatika telah memberikan kontribusi di dalam perjalanan iman jemaat. Tetapi dogma
menjadi tidak relevan diperlihatkan oleh karena pusat atau titik dasar selalu bergeser oleh karena
pertanyaan-pertanyaan dogmatis dalam tuntutan-tuntutan yang diletakkan ke atas orang-orang
Kristen, yang diminta bukanlah hanya sekedar penambahan atas kebenaran-kebenaran lama,
melainkan suatu peninjauan ulang terhadap seluruh kebenaran Kristen dengan terang yang baru.
Sehingga tugas para ahli dogmatika sesungguhnya adalah untuk memastikan bagaimana dogma-
dogma tersebut, didalam pengertian konfesi-konfesi atau konfesi-konfesi doktrinal, memperoleh
asal-usulnya dan kemudian mendiskusikan pertanyaan-pertanyaan bagaimana dan dalam

9
G. C. van Niftrik dan B. J. Boland, Dogmatika Masa Kini, 17.
10
B. Lohse, Pengantar Sejarah Dogma Kristen, 20.

5
pengertian yang bagaimana dogma-dogma tersebut pada zamannya yang telah memenuhi
fungsinya dalam menyatakan atau merujuk kepada Kristus.11

Dogmatika bukan berasal dari yang sesuatu yang dipelajari di luar kepala. Melakukan
dogmatika adalah terus-menerus melakukan atau menyelidiki serta memikirkan persoalan-
persoalan yang ada. Dogmatika haruslah tetap diusahakan dan dilakukan oleh gereja sebagai
suatu fungsi gereja dalam menanyakan pemberitaan tersebut apakah benar-benar Firman Allah.
Oleh karena itu dogmatika merupakan penyelidikan sendiri yang dilakukan oleh gereja mengenai
isi pemberitaannya. Melakukan dogmatika berarti berusaha bersungguh-sungguh untuk
melakukan pemberitaan yang benar, iman yang benar, dan menciptakan kehidupan Kristen yang
benar. Dogma tidak lahir dari pandangan-pandangan yang abstrak, teoritis, tetapi melalui usaha
yang praksis. Manusia atau pelayan Tuhan tidak akan pernah selesai untuk melakukan
dogmatika. Tetapi dogmatika tidak dapat dilihat sebagai suatu sistem yang sempurna, dan telah
menjadi milik kita. Dogma tidak dapat disusun membentuk satu buku yang sempurna, karena
suatu tata gereja tidak dapat disusun. Dogmatika merupakan usaha yang dogmatis dan
berlangsung secara terus menerus.12

Manusia menyelidiki kebenaran yang dinyatakan oleh Allah akan tetapi manusia juga
dapat keliru. Sehingga ukuran dogmatika dapat dilihat dan ditemukan didalam Alkitab. Segala
sesuatu yang diberitakan dan ditetapkan gereja bersumber dan harus diukur melalui Alkitab.
Alkitab berisikan kesaksian para nabi dan kedatangan Yesus Kristus. Sehingga titik dasarnya
adalah kebenaran yang dari pada Allah yakni: Yesus Kristus. Kebenaran tersebut bukanlah
pandangan atau ajaran abstrak yang diperoleh melalui perenungan yang dalam. Namun
kebenaran Allah terwujud melalui Yesus orang Nazaret. Yesus merupakan kebenaran Allah yang
sesungguhnya. Dialah Firman Allah yang sesungguhnya dan tidak hanya menjadi satu kitab yang
tersusun rapih, melainkan telah mendaging dan memiliki sebuah nama yaitu: Yesus Kristus.
Alkitab merupakan dasar dari segala sesuatu dalam ajaran agama Kristen. Alkitab sebagai
ukuran bagi dogmatika penting dijadikan sebagai titk-pangkal untuk dogmatika. Tetapi jika
dikatakan bahwa sampai kepada taraf yang sempurna atau selesai, manusia tidak akan sampai
kepada hal tersebut.13

11
B. Lohse, Pengantar Sejarah Dogma Kristen, 21-23.
12
G. C. van Niftrik dan B. J. Boland, Dogmatika Masa Kini, 18-19.
13
G. C. van Niftrik dan B. J. Boland, Dogmatika Masa Kini, 19-21.

6
Melalui pemberitaannya, gereja memerlukan dogma. Dogma bukan firman Allah, tetapi
hanya sebuah rumusan yang telah ditetapkan manusia. Dogmatik bertugas untuk menguji
dogmata gereja dengan persesuaiannya kepada Alkitab. Didalam dogmatik manusia akan
menyadari akan adanya suatu urutan tingkatan didalam kewibawaan rohani yang diakui. Alkitab
menjadi ukuran mutlak bagi dogmatika. Perumusan-perumusan dari rapat-rapat gereja dan
pengakuan-pengakuan iman yang didalamnya terdapat dogmata gereja memiliki kekuasaan dan
kewibawaan yang bersifat nisbi (relatif), antara lain kekuasaan di bawah Firman Allah.

Dogma-dogma bukanlah suatu kebenaran-kebenaran yang dinyatakan oleh Allah. Dogma


merupakan perumusan-perumusan yang dihasilkan oleh manusia yang berusaha untuk mencari
kebenaran. Kebenaran yang sungguh-sungguh dan sejati yang dinyatakan pada Yesus Kristus.
Sehingga Alkitab bukan merupakan “suatu himpunan kebenaran” melainkan kesaksian tentang
satu-satunya kebenaran tersebut. Hingga saat ini, dogmatika Kristen Protestan tidak dapat
menjadi sebuah sistem yang dianggap utuh dan sempurna dan tidak boleh dipandang sebagai
suatu ikhtiar-secara teratur tentang isi Alkitab yang kemudian hari dapat kemungkinan untuk
menggantikan posisi Alkitab. Dogmatika hanya bersifat sementara dan selalu berada di tengah
jalan. Dogmatika merupakan usaha yang dilakukan secara terus menerus, penyelidikan kritis
yang tidak akan pernah ada habisnya. Didalam dogmatika juga terkandung konfrontasi antara
pemberitaan gereja dengan pandangan-pandangan manusia, baik itu didalam maupun di luar
lingkungan Gereja Kristen. Oleh karena itu dogmatika haruslah sesuatu yang merupakan
“dogmatika masa kini”. 14

Upaya sistematis serupa sebetulnya nampak jelas pula pada karya Dieter Becker dalam
bukunya “pedoman dogmatika” yang telah memperhitungkan upaya-upaya kontekstualisasi,
dengan tetap memperhatikan pendasaran-pendasaran Alkitabiah dan sejarah dogma gereja masa
lampau. Dialog antara pokok-pokok itu dengan konteks sebetulnya memperlihatkan keseriusan
Becker dalam memberikan tanggapan dogmatis yang kontekstual. Sehingga dogma tidak hanya
berfungsi secara reproduktif-tradisional saja seperti yang dijelaskan sebelumnya. 15 Ada
beberapa metode yang membuat perlunya dogma ditekankan dalam pemberitaan gereja saat ini:
 Metode Deduktif: Metode ini seringpula disebut metode dogamtis, sebab bertolak dari
dogmata = aksioma-aksioma tertentu dan yang menarik kesimpulan-kesimpulan logis
14
G. C. van Niftrik dan B. J. Boland, Dogmatika Masa Kini, 26.
15
Berkhof, Hendrikus., Introduction to The Study of Dogmatics, 1988

7
dari dogmata tersebut. Metode ini merupakan metode dogmatik klasik. Metode ini
bertolak dari kepercayaan kepada Allah (teosentris) dan yang pada akhir zaman
berbicara kepada kita melalui perantaraan Anak-Nya (Ibrani 1:1), dan menurunkan dari
situ kebenaran-kebenaran yang kekal dan berlaku universal, yang mempunyai karakter
yang mutlak. Menurut Jongeneel, beberapa teolog seperti O. Weber juga W.
Pannenberg banyak berbicara mengenai pokok iman Kristen yang cukup menampakan
cara deduktif yaitu “dari atas” yaitu ajaran iman Kristen yang dimulai dari suatu
aksioma Allah (yang “dia atas”) dan menampakan diri dalam Yesus Kristus kepada
manusia “di bawah” yaitu bumi. Metode inipun nampak pula dalam buku dogmatika
yang dituliskan oleh R. Soedarmo dan Harun Hadiwijono. Struktur metode deduktif
digambarkannya demikian:
 Allah “di tempat yang maha tinggi” (Lukas 2:14) yaitu surga.
 Penyataan Allah dalam Yesus Kristus “pada akhir zaman ini (Ibrani 1:1),
di bumi.
 Iman Kristen sebagai reaksi orang percaya di bumi atas penyataan Allah
dalam Yesus Kristus.
 Pengakuan iman Kristen di hadapan hadiran Allah dan sesama manusia.
 Kemudian diturunkan kebenaran-kebenaran dalam bentuk dogmatik atau
ajaran iman Kristen.

 Metode Induktif: Metode ini bertolak belakang dengan metode deduktif. Metode ini
mendasarkan pekerjaan ilmian yang menyelidiki hal-hal yang khusus dan berdasarkan
itu berusaha untuk mencapai rumusan umum yang berlaku untuk semua hal yang
khusus dari pokok yang sama itu. Metode ini sebetulnya menjadi minat para ilmuan
bahwa para teolog modern yang beranggapan bahwa metode deduktif terlalu abstrak.
Sebab bukankan iman Kristen itu harus mengalami konkritisasi. Dan upaya ini hanya
bisa tercapai atau terjawab hanya apabila teologi sistematika (dogmatika) itu
dirumuskan “dari bawah” yaitu manusia “di bumi” dan bukan dari Allah yang “di atas”
atau “di surga”. Metode ini mendapat tanggapan positif dari Jongeneel sendiri, sebab
menurutnya dari situlah sebetulnya teologi itu dibangun. Teologi yang relevan adalah
teologi yang dari situasi masa kini, dimana kehidupan manusia sedalam-dalamnya

8
diselidiki, kemudian naik kepada perumusan-perumusan dan ucapan-ucapan teologis
yang berlaku umum. Teologi haruslah bergerak “dari bawah” sebab dari situlah manusia
menerima injil yang “kekal” itu dalam berbagai perumulan konteksnya yang mungkin
pula sangat beragam dan partikular.
 Metode Korelasi: Metode ini sebelutnya pertama kali diperkenalkan oleh Paul Tillich
yang mengembangkan tugas hermeneutik sebagai metode korelasi. Metode ini dimulai
dengan penggalian masalah pada situasi konkrit “dari bawah”. Metode ini
memperlihatkan sebuah upaya menerangkan isi kepercayaan (iman) Kristen melalui
masalah-masalah eksistensial yang rill dan mencari jawaban-jawaban teologis yang
saling berkaitan. Tillich menyimpulklan problematik analisis situasi demikian: akal budi
manusia keberadaan manusia eksistensi manusia kehidupan manusia sejarah manusia.
jawaban konkrit yang diberikan secara teologis dari Injil Yesus Kristus atas pertanyaan
masa kini itu diuraikan demikian: Wahyu Allah Kristus Roh Kudus Kerajaan Allah. Hal
ini memperlihatkan bahwa teologi ternyata menjadi teologi yang menjawab persoalan-
persoalan eksistensial manusia itu dalam situasi konkritnya. Inilah yang dimaksudkan
oleh Tillich sebagai sebuah upaya korelasi antara perhubungan injil yang “kekal”
dengan kehidupan “sementara” di bumi yang menunjukan sebuah perjuangan atau
perjumpaan yang tidak akan pernah selesai.
 Metode Integrasi: Bagi Jongeneel metode ini dapat diberikan dalam menggambarkan
bidang dogmatika. Oleh karena injil Yesus Kristus tidak selalu memberikan jawaban
yang konkrit atas pertanyaan-pertanyaan eksistensial manusia masa kini, sebagaimana
yang digambarkan dalam metode korelasi ala Tillich. Metode ini memiliki
keterhubungan demikian; dalam dogmatika atau ajaran iman Kristen itu
“diintegrasikan” unsur-unsur benar yang terdapat dalam, dan diperjuangkan baik oleh
ilmu, maupun filsafat ataupun agama-agama bukan Kristen. Unsur-unsur yang
dimaksudkan memang selalu berkaitan dengan aspek relatif iman Kristen itu sendiri
yang menyangkut ekspresi, interpretasi ataupun aplikasi yang tergambar dalam ajaran.
Sebab memang kalau menyangkut aspek mutlak yaitu inti sentral/Firman Tuhan, maka
akan timbul bahaya sinkritisme. Oleh karena itu tugas dogmatika adalah
“mengintegrasikan” injil Yesus Kristus ke dalam kehidupan manusia dan masyarakat
kita. Metode ini bergerak dalam dua arah, yaitu pengintegrasian kehidupan manusia dan

9
masyarakat kita ke dalam Firman Allah dan juga sebaliknya upaya pengintegrasian
Firman Allah itu ke dalam situasi aktual dan konkrit dalam kehidupan manusia dan
masyarakat, baik masa kini ataupun masa yang akan datang.

Pembagian metode ini sekaligus memperlihatkan dogmatika merupakan bidang


teologi yang berkembang dan dinamis dari masa ke masa. Sehingga tidak menjadi statis
atau tinggal dalam pertimbangan-pertimbangan historis yang kaku dan mutlak itu.
metode-metode ini sebetulnya tidaklah memperlihatkan bahwa perlunya mewajibkan
atau memutlakkan pemakaian salah satu model saja. Meskipun demikian, banyak teolog
termasuk kalangan gereja agaknya cenderung menjadikan model korelasi ataupun
model induktif sebagai upaya membangun teologi dogmatiknya. Namun itu bukan
berarti model ini menjadi lebih baik dari model-model dogmatika yang lainnya. Sebab
masih pula banyak gereja yang masih mempertahankan berbagai ragam model tersebut.
Saya sendiri lebih memilih metode korelasi dalam membangun dogmatika,
meskipun metode korelasi ala Tillich yang dimaksudkan adalah sebuah upaya korelasi
dengan mencari jawaban teologis terhadap persoalan-persoalan eksistensial yang
dihadapi manusia dan masyarakat pada konteks kekinian. Tetapi soal-soal eksistensial
sangat berhubungan sekali dengan filsafat. Tetapi paling tidak kita bisa memaklumi
pemikiran Tillich dalam konteks pengaruh pemikiran filsafat yang merajai dunia
pemikiran saat itu termasuk teologi. Model korelasi sebetulnya menampilkan sebuah
upaya dialog yang kritis dan juga transformatif dalam membangun teologi. Dengan
menggeserkan persoalan-persoalan eksistensial yang tidak hanya berurusan dengan
filsafat (seperti yang dimaksudkan Tillich) kepada keterbukaan untuk berdialog dengan
ilmu-ilmu lain yang seharusnya menjadi mitra dialog teologi akan benar-benar
menjadikan dogmatika sebagai upaya berteologi yang benar-benar kontekstual.

10

Anda mungkin juga menyukai