Anda di halaman 1dari 11

LAPORAN PRAKTIKUM

PAKAN DAN NUTRISI RUMINANSIA


“IN VITRO 1 (KBK dan KBO)”

Oleh :
NAMA : TSANIYAH FADHILAH SUKRESNA
NIM : D1A019135
KELOMPOK : 1C
ASISTEN : LUTFITA SARI

LABORATORIUM ILMU NUTRISI DAN MAKANAN TERNAK


FAKULTAS PETERNAKAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
PURWOKERTO
2021
I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Pakan merupakan kebutuhan ternak untuk mencukupi nutrisi yang dibutuhkan
ternak. Pakan ternak terdiri dari dua bahan baik hijauan maupun konsentrat dengan
perbandingan yang bermacam-macam berdasarkan kebutuhan produksi peternak.
Pemberian pakan dengan jumlah banyak tidak menjadikan ternak sebagai ternak yang
berkualitas baik bahkan bisa kurang.
Peningkatan nilai kecernaan pakan akan diikuti dengan peningkatan produktivitas
ternak. Peningkatan produktivitas ternak ruminansia berhubungan erat dengan
penggunaan dan ketersediaan pakan hijauan yang kontinu untuk memenuhi kebutuhan
hidup pokok, pertumbuhan dan produksi ternak ruminansia. Pakan hijauan merupakan
pakan sumber serat yang berasal dari tanaman berupa rumput, dedaunan dan
leguminosa yang dipanen untuk diberikan pada ternak. Nilai kecernaan pakan
berhubungan erat dengan kandungan nutrien dalam bahan pakan, sehingga semakin
tinggi kandungan senyawa organik kompleks (karbohidrat, lemak, protein dan komponen
serat) dalam bahan pakan biasanya kecernaannya akan semakin meningkat. Menilai
bahan pakan terutama hijauan berdasarkan tingkat kecernaan ternak dapat dilakukan
menggunakan percobaan in vitro.
Pengujian yang bisa dilakukan salah satunya adalah uji kecernaan menggunakan
teknik in vitro untuk menentukan kualitas pakan yang diuji apakah dapat dimanfaatkan
oleh ternak dengan meniru kondisi seolah-olah di dalam rumen ternak yang sebenarnya.
Hasil uji kecernaan tersebut bisa digunakan sebagai parameter awal dari ketersediaan
nutrisi dalam pakan lengkap. Praktikum ini dilaksanakan untuk mengetahui kebutuhan
pakan ternak dan mengetahui cara menghitung konsumsi pakan ternak khususnya pada
ruminansia.

1.2 Tujuan
1. Mahasiswa/i mampu mengevaluasi kualitas bahan pakan ternak ruminansia
berdasarkan nilai kecernaan bahan kering dan organik.

1.3 Waktu dan Tempat


Praktikum “In Vitro 1 (KBK dan KBO)” dilaksanakan pada Senin, 20 September 2021
pukul 14.50 s/d selesai secara daring melalui platform whatsapp dan google classroom.
II. MATERI DAN CARA KERJA

2.1 Materi

2.1.1 Alat
1. Shaker waterbath (penangas air bergoyang)
2. Sentrifuge
3. Glasswool
4. Cawan porselin tidak berpori dan cawan porselen berpori
5. Oven (105o C)
6. Tanur listrik (600o C)
7. Timbangan analitik
2.1.2 Bahan
1. Cairan rumen (sumber inokulum)
Pengambilan cairan rumen dilakukan dengan cara :
- Isi termos dengan air mendidih, sampai lokasi air isi termos dibuang (agar suhu dalam
termos, tetap hangat ± 39oC)
- Cairan rumen disaring dengan 4 lapis kain blacu dan masukkan ke dalam termos
2. Gas CO2
3. Larutan McDougalls pH 6,8 tersusun dari:
- 5,94 g NaHCO3
- 4,2 g Na2HPO4.7. H2O (2,7896 g Na2HPO4.2. H2O)
- 0,342 g KCl
- 0,2830 g MgSO4.7.H2O
- 0,024 g CaCl2
4. Larutan HgCl2 jenuh
5. Larutan pepsin HCL 0,5%

2.2 Cara Kerja

2.2.1 Percobaan Fermentatif

18 tabung disiapkan dan 2 gram BK dimasukkan masing-masing ke dalam tabung,


kemudian diberi label dan diisolasi.

24 ml larutan McDougalls ditambahkan, lalu dialiri CO2 kemudian ditutup.


16 ml cairan rumen ditambahkan, lalu dialiri CO2 kemudian tabung ditutup.



Diinkubasi selama 24 jam di shakerwaterbath dn digoyangkan dengan percepatan 60-
70 rpm dengan suhu 39°C dan dalam suasana anaerob.

Setelah 24 jam ditambahkan 2 tetes H2SO4 pekat.

9 substrat atau tabung disaring pada cawan porselin berpori yang telah dilapisi
glaswool.

Kemudian hasil residunya digunakan untuk degradasi BK dan supernatannya digunakan
untuk mengukur VFA dan N-NH3.
2.2.2 Percobaan Hidrolitis
9 substrat atau tabung dari percobaan fermentatif yang belum disaring ditambhkan 4
ml pepsin HCl 0,5%.

Diinkubasi selama 24 jam dengan suhu 38-39°C dalam suasana aerob.


Disaring pada cawan berpori yang telah dilapisi glaswool.



Supernatannya dibuang, kemudian residu dikeringkan dalam oven dengan suhu 105°C
seama 8 jam, lalu catat bahan keringnya.

Sebelum ditanur dimasukkan ke dalam desikator untuk didinginkan ± 30 menit
menggunakan capit.

Hasil oven ditanur dengan suhu 600°C selama 4-6 jam, kemudian dicatat bahan
organiknya.

Setelah ditanur, dioven dengan suhu 105°C selama 30 menit di desikator.

Selama 1 jam, lalu dicatat kembali bahan organiknya.

Rumus:
BK asal−( BK residu−BK residu blanko)
%KBK = × 100 %
BK asal
BO asal−(BO residu−BO residu blanko)
%KBO= ×100 %
BO asal
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1 Hasil

3.1.1 Kecernaan Bahan Kering (KBK)


BK asal−( BK residu−BK residu blanko )
%KBK = × 100 %
BK asal
2,042−( 1,016−0,422 )
%KBK = ×100 %=70,91 %
2,042
3.1.2 Kecernaan Bahan Organik (KBO)
BO asal−( BO residu−BO residu blanko )
%KBO= ×100 %
BO asal
1,823−( 0,738−1,823)
%KBO= ×100 %=82,45 %
1,823
3.2 Pembahasan
3.2.1 Kecernaan Bahan Kering (KBK)
Metode dalam percobaan kecernaan pakan dibagi menjadi tiga, yaitu in vitro, in
vivo dan in sacco. In vitro merupakan metode percobaan yang dilakukan di luar tubuh
dengan menyediakan lingkungan seperti ternak hidup. In Vivo adalah metode percobaan
kecernaan yang dilakuan pada ternak hidup secara langsung. Hal tersebut sesuai dengan
penjelasan Anggorodi (1994) dalam Wulandari, dkk. (2013) bahwa pengukuran kecernaan
adalah suatu usaha untuk menentukan jumlah nutrien yang diserap dalam saluran
pencernaan. Pengukuran kecernaan dapat dilakukan dengan dua cara yaitu in vivo dan in
vitro. Pengukuran kecernaan secara in vivo adalah pengukuran menggunakan hewan
percobaan, sedangkan pengukuran kecernaan secara in vitro dengan meniru proses
pencernaan yang terjadi dalam saluran pencernaan ternak. Pengukuran kecernaan secara
in vivo dapat dilakukan dengan cara total koleksi, selain itu juga dapat menggunakan
indikator. In Sacco merupakan metode gabungan antara in vitro dan in vivo yakni dengan
menggunakan nylon bag pada sapi berfistula (sapi yang dilubangi pada bagian kiri).
Analisis dengan metode in vitro dinilai lebih menguntungkan dibanding analisis
menggunakan metode in vivo. Keuntungan dari proses in vitro yaitu dapat menggunakan
banyak sampel, dapat mengamati secara langsung, mudah dilakukan, lebih murah, dan
efisien. Hal tersebut sejalan dengan pendapat Tiven (2012) bahwa penelitian secara in
vitro pada ternak ruminansia relatif lebih banyak diminati karena relatif murah dan dapat
dilakukan berulang-ulang dengan menggunakan ternak percobaan yang sama. Percobaan
yang dilakukan pada ternak ruminansia secara langsung sangat membutuhkan waktu,
biaya dan tenaga yang besar, yang mendorong para peneliti untuk menciptakan teknik
yang lebih mudah dalam mengevaluasi bahan pakan pada ternak ruminansia.
Kecernaan bahan kering memiliki prinsip yaitu mengukur kecernaan dengan
anggapan bahwa proses pencernaan telah berjalan sempurna selama 24 jam pencernaan
fermentatif dan 24 jam pencernaan hidrolitis. Suparwi, dkk (2017) menjelaskan bahwa
proses pencernaan fermentatif dilakukan oleh mikroba rumen dan dilanjutkan dengan
proses pencernaan hidrolitik. Proses pencernaan bahan kering sangat membutuhkan
protein pakan sebagai sumber nutrien esensial bagi ternak dan ketersediaannya yang
cukup dapat meningkatkan pertumbuhan dan aktivitas mikroba, sehingga proses
pencernaan meningkat.
Metode yang digunakan pada pengukuran Kecernaan Bahan Kering (KBK) dan
Kecernaan Bahan Organik (KBO) ialah Tilley dan Terry (1963). Kecernaan bahan kering
adalah salah satu indikator untuk menentukan kualitas ransum. Kecernaan bahan kering
yangsSemakin tinggi akan meningkatkan pula nutrisi yang dapat dimanfaatkan ternak
untuk pertumbuhannya. Hal tersebut sejalan dengan pendapat Riswandi, dkk (2015)
bahwa kecernaan bahan kering pada ruminansia menunjukkan tingginya zat makanan
yang dapat dicerna oleh mikroba dan enzim pencernaan pada rumen. Semakin tinggi
persentase kecernaan bahan kering suatu bahan pakan, menunjukkan bahwa semakin
tinggi pula kualitas bahan pakan tersebut.
Hasil perhitungan kecernaan bahan kering pakan dari rumput gajah yaitu sebesar
70,91%. Angka tersebut menandakan bahwa nilai kecernaan rumput gajah tinggi. Hal
tersebut ditambahkan oleh penjelasan Tilman et al. (1991) dalam Novianti, dkk. (2014)
bahwa kisaran normal bahan kering yaitu 50.7%-59.7%. Menurut Novianti, dkk. (2014),
faktor-faktor yang mempengaruhi kecernaan bahan kering, yaitu jumlah ransum yang
dikonsumsi, laju perjalanan makanan di dalam saluran pencernaan dan jenis kandungan
gizi yang terkandung dalam ransum tersebut. Faktor-faktor lain yang
mempengaruhi nilai kecernaan bahan kering ransum adalah tingkat proporsi bahan
pakan dalam ransum, komposisi kimia, tingkat protein ransum, persentase lemak
dan mineral
3.2.2 Kecernaan Bahan Organik (KBO)
Bahan organik adalah bahan yang hilang pada saat pembakaran. Nutrien yang
terkandung dalam bahan organik merupakan komponen penyusun bahan kering.
Kecernaan bahan organik perlu diketahui untuk mengetahui nutrien yang terkandung
dalam bahan pakan selain pada bahan kering. Hal ini sesuai dengan pendapat
Marhaeniyanto dan Susanti (2018) bahwa kecernaan bahan kering merupakan gambaran
nutrisi yang dapat dicerna oleh mikroba, sedangkan kecernaan bahan organik adalah
gambaran ketersediaan nutrien dari pakan yang menunjukkan nutrien dapat dicerna oleh
ternak.
Hasil perhitungan kecernaan bahan organik pakan dari rumput gajah yaitu sebesar
82,45%. Angka tersebut menandakan bahwa nilai kecernaan rumput gajah tinggi. Hal
tersebut sesuai dengan penjelasan Hambakodu, dkk. (2019) bahwa Nilai kecernaan bahan
kering sebesar 59% - 62,81% dan kecernaan bahan organik sebesar 57,11% - 63,85 %.
Nutrien pakan yang sama menyebabkan nilai kecernaan bahan kering dan bahan organik
tidak berbeda dan sebaliknya.
Nilai kecernaan bahan kering pada percobaan ini lebih rendah dibandingkan dengan
nilai kecernaan bahan organik. Hal tersebut dikarenakan pada bahan organik tidak
mengandung abu, sedangkan pada bahan kering masih terdapat kandungan abu. Hal
tersebut sesuai dengan Nugroho, dkk (2016) bahwa bahan kering mempunyai komposisi
kimia yang sama dengan bahan organik ditambah abu. Akibatnya jumlah konsumsi bahan
kering akan berpengaruh terhadap jumlah konsumsi bahan organik.
Hubungan antara Kecernaan Bahan Kering dan Kecernaan Bahan Organik akan
berkorelasi positif. Hal tersebut sesuai dengan penjelasan Sutardi (1990) bahwa
peningkatan kecernaan bahan organik sejalan dengan peningkatan kecernaan bahan
kering sehingga faktor– faktor yang mempengaruhi tinggi rendahnya bahan kering akan
mempengaruhi tinggi rendahnya bahan organik. Tingkat kecernaan zat makanan dapat
menentukan kualitas dari ransum tersebut, karena bagian yang dicerna dihitung dari
selisih antara kandungan zat dalam ransum yang dimakan dengan zat makanan yang
keluar atau berada dalam feses.
IV. PENUTUP
4.1 Kesimpulan
1. Hasil perhitungan kecernaan bahan kering pakan dari rumput gajah yaitu sebesar
70,91% dan menunjukkan bahwa kencernaannya tergolong tinggi.
2. Hasil perhitungan kecernaan bahan organik pakan dari rumput gajah yaitu sebesar
82,45% dan menunjukkan bahwa kencernaannya tergolong tinggi.
DAFTAR PUSTAKA

Hambakodu, M., E. Pangestu, & J. Achmadi. 2019. Substitusi rumput gajah dengan
rumput laut coklat (Sargassum polycys-tum) terhadap produk metabolisme rumen
dan kecernaan nutrien secara in vitro. Jurnal Ilmu-Ilmu Peternakan. 29(1): 37-45.
Marhaeniyanto, E., dan S. Susanti. 2018. Fermentabilitas ruminal secara in vitro
suplementasi tepung daun gamal, kelor, randu dan sengon dalam konsentrat hijau.
Jurnal Ilmu-Ilmu Peternakan. 28(3): 213 – 223
Novianti, J., Purwanto, B. P., & Atabany, A. 2014. Efisiensi produksi susu dan kecernaan
rumput gajah (Pennisetum purpureum) pada sapi perah FH dengan pemberian
ukuran potongan yang berbeda. Jurnal Ilmu Produksi dan Teknologi Hasil
Peternakan. 2(1): 243-250.
Nugroho, Alden Imawan, Muhtarudin dan Yusuf Widodo. 2016. Pengaruh Penambahan
Jenis Bahan Pakan Sumber Protein pada Ransum Berbasis Hijauan Kelapa Sawit
terhadap Kecernaan Bahan Kering dan Bahan Organik pada Kelinci Lokal Jantan.
Jurnal Ilmiah Peternakan Terpadu. 4 (3): 195-198.
Riswandi, Muhakka, dan M. Lehan. 2015 Evaluasi Nilai Kecernaan Secara In Vitro Ransum
Ternak Sapi Bali yang Disuplementasi dengan Probiotik Bioplus. J. Peternakan
Sriwijaya. 4 (1): 35-46.
Suparwi, Djoko Santoso dan Muhamad Samsi. 2017. Kecernaan Bahan Kering dan Bahan
Organik, Kadar Amonia dan VFA Totalin Vitro Suplemen Pakan Domba.
Pengembangan Sumber Daya Perdesaan dan Kearifan Lokal Berkelanjutan VII.
Tiven, Nafly Comilo. 2012. Keuntungan Metode Pengambilan Cairan Rumen
Menggunakan Trokar dari Aspek Kesejahteraan Ternak. WARTAZOA. 22 (4): 194-
201.
Wulandari, K. Y., V. D. Y. B. Ismadi, & T. Tristiarti. 2013. Kecernaan Serat Kasar dan Energi
Metabolis pada Ayam Kedu Umur 24 Minggu yang diberi Ransum dengan Berbagai
Level Protein Kasar dan Serat Kasar. Animal Agriculture Journal. 2(1): 9-17.

Anda mungkin juga menyukai