Anda di halaman 1dari 18

A.

Etika dan Hukum Pelayanan Kesehatan


Pelayanan kesehatan adalah setiap upaya yang diselenggarakan sendiri atau
bersama-sama dalam suatu organisasi untuk memelihara dan meningkatkan
kesehatan, mencegah dan mengobati penyakit, serta memulihkan kesehatan
perorangan, kelompok ataupun masyarakat.
Pelayanan kesehatan pada dasarnya bertujuan untuk melaksanakan
pencegahan dan pengobatan terhadap penyakit, termasuk didalamnya pelayanan
medis yang dilaksanakan atas dasar hubungan individual antara dokter dengan pasien
yang membutuhkan penyembuhan. Dalam hubungan antara dokter dan pasien tersebut
terjadi transaksi terapeutik artinya masing-masing pihak mempunyai hak dan kewajiban.
Dokter berkewajiban memberikan pelayanan medis yang sebaik-baiknya bagi pasien.
Pelayanan media ini dapat berupa penegakan diagnosis dengan benar sesuai
prosedur, pemberian terapi, melakukan tindakan medik sesuai standar pelayanan
medik, serta memberikan tindakan wajar yang memang diperlukan untuk kesembuhan
pasiennya. Adanya upaya maksimal yang dilakukan dokter ini adalah bertujuan agar
pasien tersebut dapat memperoleh hak yang diharapkannya dari transaksi yaitu
kesembuhan ataupun pemulihan kesehatannya. Dalam pelayanan kesehatan terutama
di rumah sakit, sering timbul pelanggaran etik, penyebabnya tidak lain karena tidak
jelasnya hubungan kerja antara dokter dengan rumah sakit. Tidak ada suatu kontrak
atau perjanjian kerja yang jelas yang mengatur hak dan kewajiban masing-masing
pihak. Sementara iu, perkembangan teknologi kesehatan juga mempengaruhi
terjadinya pelanggaran etik, karena pemilihan teknologi kesehatan yang tidak di dahului
dengan pengkajian teknologi dan pengkajian ekonomi, akan memunculkan tindakan
yang tidak etis dengan membebankan biaya yang tidak wajar kepada pasien. Tindakan
penyalahgunaan teknologi dalam pelayanan kesehatan, dilakukan oleh dokter baik
pada saat berlangsungnya diagnosa maupun pada waktu berlangsungnya terapi
dengan memanfaatkan ketidaktahuan pasien. Misalnya, pasien yang seharusnya tidak
perlu diperiksa dengan alat atau teknologi kesehatan tertentu, namun karena alatnya
tersedia, pasien dipaksa menggunakan alat tersebut dalam pemeriksaan atau
pengobatan, sehingga pasien harus membayar lebih mahal.

1
Dalam pelayanan kesehatan tentu ada aturan-aturan yang berkaitan dengan
kesehatan yaitu bagaimana menghandle masalah-masalah itu tidak keluar dari etika
dan hukum agar apa yang dikerjakan tidak menimbulkan efek secara etika dan hukum
terhadap diri sendiri dan orang lain.Secara lebih luas, etika merupakan norma-norma,
nilai-nilai atau pola tingkah laku kelompok profesi tertentu dalam memberikan
pelayanan jasa kepada masyarakat. Pekerjaan profesi antara lain dokter, apoteker, ahli
kesehatan masyarakat, perawat, wartawan, hakim, pengacara, akuntan, dan lain-lain.
Etika maupun hukum dalam suatu masyarakat mempunyai tujuan yang sama,
yakni terciptanya kehidupan masyarakat yang tertib, aman dan damai. Oleh sebab itu,
semua masyarakat harus mematuhi etika dan hukum yang ada. Apabila tidak maka
bagi pelanggar etika sanksinya adalah ‘moral” sedangkan bagi para pelanggar hukum,
sanksinya adalah hukuman (pidana atau perdata).
Petugas kesehatan dalam melayani masyarakat, juga akan terkait pada etika
dan hukum, atau etika dan hukum kesehatan. Dalam pelayanan kesehatan masyarakat,
perilaku petugas kesehatan harus tunduk pada etika profesi (kode etik profesi) dan juga
tunduk pada ketentuan hukum, peraturan. Perudangan-undangan yang berlaku. Apabila
petugas kesehatan melanggar kode etik profesi akan memperoleh sanksi etika dari
organisasi profesinya, dan mungkin apabila juga melanggar ketentuan peraturan atau
perudangan-undangan, juga akan memperoleh sanksi hukum (pidana atau perdana).
Persoalan biaya pelayanan kesehatan di rumah sakit semangkin kompleks dan
krusial, karena pada saat otonomi daerah diberlakukan, rumah sakit tidak lagi sebagai
unit pelaksana teknis, tetapi rumah sakit menjadi lembaga teknis. Akibatnya,
masyarakat yang tergolong tidak mampu semangkin jauh dari jangkauan harapan untuk
memperoleh pelayanan kesehatan. Persoalan klasik yang dihadapi adalah menyangkut
masalah biaya pengobatan dan perawatan di rumah sakit yang kian tak terjangkau.
Etika berhubungan dengan moral orang. Hukum kesehatan merupakan aturan-
aturan dalam kesehatan. Di dalam pelayanan kesehatan tentu ada aturan-aturan yang
berkaitan dengan kesehatan yaitu bagaimana menghandle masalah-masalah itu tidak
keluar dari etika dan hukum agar apa yang dikerjakan tidak menimbulkan efek secara
etika dan hukum terhadap diri sendiri dan orang lain. Etik berasal dari bahasa Yunani

2
yaitu ethos yang artinya yang baik/yang layak. Yang baik / yang layak ini ukurannya
orang banyak.
Secara lebih luas, etika merupakan norma-norma, nilai-nilai atau pola tingkah
laku kelompok profesi tertentu dalam memberikan pelayanan jasa kepada masyarakat.
Pekerjaan profesi antara lain dokter, apoteker, ahli kesehatan masyarakat, perawat,
wartawan, hakim, pengacara, akuntan, dan lain-lain. Katanya, kedokteran adalah
profesi yang paling duluan menyusun etika.Yang mana etika kedokteran itu adalah
prinsip-prinsip moral atau azas-azas akhlak yang harus diterapkan oleh dokter dalam
hubungannya dengan pasien, sejawat, dan masyarakat umum. Sedangkan etika ahli
kesehatan masyarakat adalah bagaimana bertingkah laku dalam memberikan jasa
dalam pelayananya nanti.
Pengertian Hukum Kesehatan adalah semua ketentuan hukum yang
berhubungan langsung dengan pemeliharaan/pelayanan kesehatan. hal tersebut
menyangkut hak dan kewajiban menerima pelayanan kesehatan (baik perorangan dan
lapisan masyarakat) maupun dari penyelenggaraan pelayanan kesehatan dalam segala
aspeknya, organisasinya, sarana, standar pelayanan medik dan lain-lain. Sebagai
subjek hukum, pelaku di sektor kesehatan seperti dokter, dokter gigi, direktur RS,
kepala dinas kesehatan, kepala bidang, kepala Puskesmas selalu melakukan
perbuatan hukum. Perbuatan hukum yang dilakukan apabila bertentangan dengan
regulasi yang berlaku maka akan menimbulkan adanya sanksi hukum. Setiap subject
hokum di bidang kesehatan harus memahami mengenai hukum kesehatan. Kurangnya
pemahaman terhadap hukum kesehatan mengakibatkan sering terjebak dalam
perbuatan hukum yang dilakukannya.
Hermien Hadiati Koeswadji menyatakan pada asasnya hukum kesehatan
bertumpu pada hak atas pemeliharaan kesehatan sebagai hak dasar social (the right to
health care) yang ditopang oleh 2 (dua) hak dasar individual yang terdiri dari hak atas
informasi (the right to information) dan hak untuk menentukan nasib sendiri (the right of
self determination). Sejalan dengan hal tersebut Roscam Abing mentautkan hukum
kesehatan dengan hak untuk sehat dengan menyatakan bahwa hak atas pemeliharaan
kesehatan mencakup berbagai aspek yang merefleksikan pemberian perlindungan dan
pemberian fasilitas dalam pelaksanaannya. Untuk merealisasikan hak atas

3
pemeliharaan bisa juga mengandung pelaksanaan hak untuk hidup, hak atas privasi,
dan hak untuk memperoleh informasi. Demikian juga Leenen secara khusus,
menguraikan secara rinci tentang segala hak dasar manusia yang merupakan dasar
bagi hukum kesehatan.
Hukum kesehatan mencakup komponen-komponen yang berhubungan dengan
kesehatan, contohnya hukum pelayanan kesehatan terhadap keluarga miskin (Gakin).
Persamaan etika dan hukum :
 Alat untuk mengatur tertibnya hidup bermasyarakat
 Objeknya tingkah laku manusia
 Mengandung hak dan kewajiban anggota masyarakat agar tidak saling
merugikan.
 Menggugah kesadaran untuk bersikap manusiawi
 Sumbernya hasil pemikiran para pakar dan pengalaman senior
Etika kesehatan mencakup penilaian terhadap gejala kesehatan yang disetujui
atau ditolak dan suatu kerangka rekomendasi bagaimana bersikap/bertindak secara
pantas di dalam bidang kesehatan.
Kalangan profesi kesehatan harus bekerja sama dengan pasien dan keluarganya
dalam memberikan pelayanan kesehatan Landasan pembentukan perundang-undngan
pelayanan kesehatan (WB Van Der Mijn 1982)
 Kebutuhan akan pengaturan pemberian jasa keahlian
 Kebutuhan akan tingkat kualitas keahlian tertentu
 Kebutuhan akan keterarahan
 Kebutuhan akan pengendalian biaya
 Kebutuhan akan kebebasan warga masyarakat untuk menentukan
kepentingannya dan identifikasi kewajiban pemerintah
 Kebutuhan pasien akan perlindungan hokum
 Kebutuhan akan perlindungan hukum bagi para ahli
 Kebutuhan akan perlindungan hukum bagi pihak ketiga
 Kebutuhan akan perlindungan bagi kepentingan umum
Hubungan Hukum dan Pelayanan Kesehatan, Semakin meningkatnya peranan
hukum dalam pelayanan kesehatan antara lain disebabkan semakin meningkatnya

4
kebutuhan masyarakat akan pelayanan kesehatan, meningkatnya perhatian terhadap
hak yang dimiliki manusia untuk memperoleh pelayanan kesehatan, pertumbuhan yang
sangat cepat dibidang ilmu teknologi kedokteran dihubungkan dengan kemungkinan
penanganan secara lebih luas dan mendalam terhadap manusia, adanya spesialisasi
dan pembagian kerja yang telah membuat pelayanan kesehatan itu lebih merupakan
kerjasama dengan pertanggungjawaban di antara meningkatnya pembentukan lembaga
pelayanan kesehatan.
Dengan demikian, adanya gejala seperti itulah yang mendorong orang untuk berusaha
menemukan dasar yuridis bagi pelayanan kesehatan. Lagi pula, perbuatan yang
dilakukan oleh para pelaksana pelayanan kesehatan itu sebenarnya juga merupakan
perbuatan hukum yang mengakibatkan timbulnya hubungan hukum, walaupun hal
tersebut seringkali tidak disadari oleh para pelaksana pelayanan kesehatan pada saat
dilakukan perbuatan yang bersangkutan. Pelayanan kesehatan itu sebenarnya tidak
hanya meliputi kegiatan atau aktivitas profesional di bidang pelayanan kuratif dan
preventif untuk kepentingan perorangan, tetapi juga meliputi misalnya lembaga
pelayanannya, sistem kepengurusannya, pembiayaannya, pengelolaannya, tindakan
pencegahan umum dan penerangan.
Pemahaman tentang timbulnya hubungan hukum dalam pelayanan kesehatan
perorangan atau individual yang disebut pelayanan medik, dasar hukum hubungan
pelayanan medik, kedudukan hukum para pihak dalam pelayanan medik dan resiko
dalam pelayanan medik. Timbulnya hubungan hukum dalam pelayanan medik dapat
dipahami, jika pengertian pelayanan kesehatan, prinsip pemberian bantuan dalam
pelayanan kesehatan, tujuan pemberian pelayanan kesehatan dapat dipahami
Sebagai memberikan rasa sehat atau adanya penyembuhan bagi si pasien.
Dalam hal ini antara hubungan hukum yang terjadi antara pelayan kesehatan
didalamnya ada dokter dan tenaga Kesehatan lainnya yang berkompoten, sehingga
terciptanya hubungan hukum yang akan saling menguntungkan atau terjadi kerugian.
Pelayanan kesehatan masyarakat dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009
tentang Kesehatan dalam pasal 52 ayat (1) mengatakan bahwa Pelayanan Kesehatan
terdiri atas : Pelayanan kesehatan perseorangan ; dan Pelayanan kesehatan
masyarakat. Sangat jelas dalam undang-undang mengatur hal tersebut merujuk dari

5
pasal tersebut dalam pasal selanjutnya yaitu dalam pasal 53 ayat (2) lebih tegas juga
mengatakan bahwa “pelayanan kesehatan masyarakat ditujukan untuk memelihara dan
meningkatkan kesehatan serta mencegah penyakit suatu kelompok dan masyarakat”,
hal ini sangat jelas bahwa dalam keadaan bagaimanapun tenaga kesehatan harus
mendahulukan pertolongan dan keselamatan jiwa pasien. Pelayanan kesehatan
menurut Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 Seperti dalam penjelasan diatas bahwa
dalam memberikan pelayanan kesehatan baik itu perseorangan maupun masyarakat
sangat dijamin dalam Undang-Undang No. 36 Tahun 2009.
Pelayanan kesehatan adalah kegiatan dengan melakukan pendekatan promotif,
preventif, kuratif dan rehabilitatif. Dalam pelayanan kesehatan perseorangan sesuai
dengan pasal 30 ayat (1) adalah ditujukan untuk menyembuhkan penyakit dan
memulihkan kesehatan perseorangan dan keluarga. Sedangkan pelayanan kesehatan
masyarakat adalah ditujukan untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan serta
mencegah penyakit suatu kelompok dan masyarakat. Pelayanan kesehatan ini adalah
mendahulukan pertolongan keselamatan nyawa pasien dibandingkan kepentingan
lainnya. Penyelenggaraan pelayanan kesehatan dilaksanakan secara
bertanggungjawab, aman, bermutu serta merata dan nondiskriminatif, dalam hal ini
pemerintah sangat bertanggung jawab atas pelayanan kesehatan, serta menjamin
standar mutu pelayanan kesehatan. Dengan demikian sangat jelaslah bahwa dalam
pelaksanaan pelayanan kesehatan pemerintah sangat peduli dengan adanya
ketentuan-ketentuan yang berlaku menurut Undang-Undang No. 36 Tahun 2009
tentang Kesehatan maka hak-hak pasien sebagai penerima pelayanan kesehatan
tersebut dapat terlindungi.
Ruang lingkup hukum kesehatan meliputi sebagai berikut :
 Hukum Medis (Medical Law);
 Hukum Keperawatan (Nurse Law);
 Hukum Rumah Sakit (Hospital Law);
 Hukum Pencemaran Lingkungan (Environmental Law);
 Hukum Limbah (dari industri, rumah tangga, dsb);
 Hukum peralatan yang memakai X-ray (Cobalt, nuclear);

6
 Hukum Keselamatan Kerja; dan Peraturan-peraturan lainnya yang ada
kaitan langsung yang dapat mempengaruhi kesehatan manusia.
Hukum Kesehatan tidak terdapat dalam suatu bentuk peraturan khusus, tetapi
letaknya tercecer dalam berbagai peraturan dan perundang-undangan. Dapat
diketemukan di dalam pasal-pasal khusus yang ada kaitannya dengan bidang
kesehatan. Hukum Kesehatan merupakan suatu conglomeraat dari peraturan-peraturan
dari sumber yang berlainan (Peter Ippel : Tijdschrift voor Gezondheidsrecht No. 86/4,
1986, hal 218.)
Batasan Ruang Lingkup Hukum Kesehatan, Hukum Kesehatan adalah
penggabungan dari dua disiplin yang tertua, yaitu Hukum dan Medis. Kedua ilmu
bekerja sama dengan bidang medis tetap mempertahankan wilayah keilmuan masing-
masing. Di sini terletak kendala dalam perkembangan hukum medisnya. Karena Hukum
Medis adalah cabang dari ilmu hukum, maka sebagai suatu cabang harus memenuhi
prinsip-prinsip ilmu hukum. Disiplin medis merupakan komponen yang dibutuhkan oleh
Hukum Medis, disiplin medis berfungsi untuk mengisi bidang-bidang tertentu yang
diperlukan oleh hukum medis.

7
B. MALPRAKTEK DALAM PELAYANAN KSEHATAN
Beberapa tahun terakhir ini sering kita dengar dan dibahas tentang praktik
tenaga kesehatan baik itu dokter atau bidan yang melakukan pengguguran kandungan.
Sering juga kita dengar pasien yang menjadi cacat dan bahkan meninggal dunia
setelah ditangani oleh dokter atau petugas kesehatan yang lain. Kemudian polemik
yang muncul adalah bahwa petugas kesehatn melakukan malapraktik, melakukan
pengguguran, menyebabkan pasien cacat seumur hidup dan bahkan sampai meninggal
dunia. Oleh sebab itu, fenomena ini juga menunjukkan adanya kesadaran masyarakat,
terutama pasien tentang hak-haknya, atau hak-hak pasien.
                 Di negara-negara maju fenomena malapraktik dan kesadaran akan hak-hak
pasien ini memang sudah terjadi puluhan tahun yang lampau. Di Negara-negara
berkembang, terutama Indonesia baru kurang lebih dua dasa yang lampau. Sesuai
dengan ungkapan yang mengatakan lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali.
Artinya, meskipun terlambat lebih baik kita sadarkan kepada masyarakat tenttang
masalah malapraktik ini, dan juga tentang hak-hak pasien terhadap petugas kesehatan,
terutama tenaga medis.
                 Malapraktik, berasal dari kata “mala” artinya salah atau tidak semestinya,
sedangkan praktik adalah proses penanganan kasus (pasien) dari seorang profesional
yang sesuai dengan prosedur kerja yang telah ditentukan oleh kelompok profesinya.
Sehingga malapraktik dapat diartikan melakukan tindakan atau praktik yang salah atau
yang menyimpang dari ketentuan atau prosedur yang baku (benar). Dalam bidang
kesehatan, malapraktik adalah penyimpangan penanganan kasus atau masalah
kesehatan (termasuk penyakit) olehh petugas kesehatan, sehingga menyebabkan
dampak buruk bagi penderita atau pasien.
Melakukan kelalaian bagi petugas kesehatan dalam melakukan tugas atau
profesinya adalah sebenarnya tidak melanggar hukum atau kejahatan, kalau kelalaian
tersebut tidak sampai membawa kerugian atau cedera kepada orang lain dan orang itu
dapat menerimanya. Dalam hukum, prinsip ini disebut “De minimis noncurat lex” yang
artinya hukum tidak mencampuri hal-hal yang kecil atau “sepele”. Petugas yang
melakukan kelalaian yang seperti ini, meskipun tidak melanggar hukum, tetapi
melanggar etika. Namun demikian, apabila kelalaian seorang tenaga kesehatan

8
sehingga menyebabkan orang lain menderita kerugian atau cedera, cacat, atau
meninggal dunia berarti juga melanggar hukum, dan juga melanggar etika. Namun
demikian, apabila kelalaian seorang tenaga kesehatan sehingga menyebabkan orang
lain menderita kerugian, cedera atau cacat, dan sebagainya bagi orang lain
diklasifikasikan sebagai kelalaian berat atau “ culpa lata”, atau serius, dan disebut
tindakan kiminal. Kriteria yang digunakan apakah kelalaian berat adalah sebagai berikut
(Yusuf Hanafiah dan Amri Amir : 1998) :
 Bertentangan dengan hukum.
 Akibatnya dapat dibayangkan.
 Akibatnya dapat dihindarkan.
 Perbuatannya dapat dipersalahkan.
Apabila petugas kesehatan melanggar hukum kesehatan atau malapraktik,
maka dapat dikenakan sanksi. Untuk itu maka pihak masyarakat atau pasien dapat
menuntut penggantian kerugian atas kelalaian tersebut. Untuk itu, pihak penuntut atau
masyarakat yang ingin menuntut ganti rugi harus dapat membuktikan adanya empat
unsur di bawah ini :
 Adanya sebuah kewajiban bagi petugas kesehatan terhadap penderita
atau pasien, tetapi tidak dilakukan.
 Petugas kesehatan telah melanggar standar pelayanan kesehatan
(mediis) yang lazim digunakan.
 Penggugat atau penderita dan atau keluarganya telah menderita kerugian
yang dapat dimintakan ganti rugi.
 Secara jalas (fuktual) kerugian itu disebabkan oleh tindakan oleh tindakan
di bawah standar atau ketentuan profesi kesehatan/medis.
Malapraktik itu pasti melanggar hukum. Apabila petugas kesehatan tidak
melakukan sesuatu yang memenuhi unsur pidana, tetapi melakukan tindakan yang
bertentangan dengan etika profesi, maka yang bersangkutan melakukan malapraktik
etik. Untuk pelanggaran etik atau malapraktik etik yang bersangkutan tidak dikenakan
sanksi hukum atau pidana, tetapi sanksi etik saja. Dalam praktik kedokteran sering
pasien atau keluarga pasien sebagai penggugat tidak perlu membuktikan adanya
kelalaian bagi tergugat atau petugas kesehatan. Tetapi dengan fakta yang ditemukan,

9
sebenarnya sudah merupakan alat bukti. Misalnya, timbulnya komplikasi pascaoperasi
usus buntu terdapat kapas yang tertinggal dalam perut pasien, sehingga menimbulkan
komplikasi pascabedah. Dalam kasus ini tidak perlu dibuktikan adanya malapraktik
dalam operasi atau bedah.Jadi dapat disimpulkan bahwa kelalaian sebagai indikasi
malapraktik dapat dibedakan menjadi dua, yakni :
 Kelalaian dalam arti perdata, apabila kelalaian petugas kesehatan atau
medis tidak menyebabkan pelanggaran undang-undang. Artinya, akibat
dari kelalaian tersebut tidak menyebabkan orang cedera, cacat, atau
kematian. Pelanggaran perdata jelas sanksinya adalah etik yang diatur
oleh kode etik profesi. Perlu dijelaskan di sini setiap profesi mempunyai
Kode Etik Profesi. Profesi kesehatn sendiri juga terdiri dari berbagai
macam profesi, misalnya dokter, dokter gigi, bidan, perawat, kesehatan
masyarakat, sanitarian, dan sebagainya. Masing-masing profesi
kesehatan ini mempunyai perkumpulan atau ikatan profesi seperti IDI,
PDGI, IBI, IAKMI, HAKLI, dan sebagainya. Para organisasi profesi
semestinya mempunyai “Kode Etik” Profesi masing-masing. Setiap ada
pelanggaran Kode Etik Profesi dari setiap anggota profesi, maka masing-
masing organisasi profesi inilah yang akan menberikan sanksinya.
 Kelalaian dalam arti pidana, apabila kelalaian petugas kesehatan atau
medis tersebut mengakibatkan pelanggaran hukum atau undang-undang.
Artinya, akibat kelalaian petugas kesehatan tersebut mengakibatkan
orang lain atau pasien cedera, cacat, atau meninggal dunia. Sanksi
pelanggaran hukum jelas adalah pidana atau hukuman, yang ditentukan
oleh pengadilan, setelah melalui proses pengadilan yang terbuka.
Hukum itu mempunyai 3 pengertian, sebagai sarana mencapai keadilan, yang
kedua sebagai pengaturan dari penguasa yang mengatur perbuatan apa yang boleh
dilakukan, dilarang, siapa yang melakukan dan sanksi apa yang akan dijatuhkan
(hukum objektif). Dan yang ketiga hukum itu juga merupakan hak.oleh karenanya
penegakan hukum bukan hanya untuk medapatkan keadilan tapi juga hak bagi
masyarakat (korban).

10
Sehubungan dengan hal ini, adami chazawi juga menilai tidak semua malpraktik
medik masuk dalam ranah hukum pidana. Ada 3 syarat yang harus terpenuhi, yaitu
 Sikap bathin dokter (dalam hal ini ada kesengajaan/dolus atau culpa).
 Syarat dalam perlakuan medis yang meliputi perlakuan medis yang
menyimpang dari standar tenaga medis, standar prosedur operasional,
atau mengandung sifat melawan hukum oleh berbagai sebab antara lain
tanpa str atau sip, tidak sesuai kebutuhan medis pasien.
 Syarat akibat, yang berupa timbulnya kerugian bagi kesehatan tubuh yaitu
luka-luka (Pasal 90 KUHP) atau kehilangan nyawa pasien sehingga
menjadi unsure tindak pidana.
Selama ini dalam praktek tindak pidana yang dikaitkan dengan dugaan
malpraktik medik sangat terbatas. Untuk malpraktek medik yang dilakukan dengan
sikap bathin culpa hanya 2 pasal yang biasa diterapkan yaitu pasal 359 (jika
mengakibatkan kematian korban) dan pasal 360 (jika korban luka berat).
Pada tindak pidana aborsi criminalis (pasal 347 dan 348 kuhp). Hampir tidak
pernah jaksa menerapkan pasal penganiyaan (pasal 351-355 kuhp) untuk malpraktik
medik.Dalam setiap tindak pidana pasti terdapat unsure sifat melawan hukum baik yang
dicantumkan dengan tegas ataupun tidak. Secara umum sifat melawan hukum
malpraktik medik terletak pada dilanggarnya kepercayaan pasien dalam kontrak
teurapetik tadi.
Dari sudut hukum perdata, perlakuan medis oleh dokter didasari oleh suatu
ikatan atau hubungan inspanings verbintenis (perikatan usaha), berupa usaha untuk
melakukan pengobatan sebaik-baiknya sesuai dengan standar profesi, standar
prosedur operasional, kebiasaan umum yang wajar dalam dunia kedokteran tapi juga
memperhatikan kesusilaan dan kepatutan.perlakuan yang tidak benar akan menjadikan
suatu pelanggaran kewajinban (wan prestasi).
Ada perbedaan akibat kerugian oleh malpraktik perdata dengan malpraktik
pidana. Kerugian dalam malpraktik perdata lebih luas dari akibat malpraktik pidana.
Akibat malpraktik perdata termasuk perbuatan melawan hukum terdiri atas kerugian
materil dan idiil, bentuk kerugian ini tidak dicantumkan secara khusus dalam uu.

11
Berbeda dengan akibat malpraktik pidana, akibat yang dimaksud harus sesuai dengan
akibat yang menjadi unsure pasal tersebut.
Malpraktik kedokteran hanya terjadi pada tindak pidana materil (yang melarang
akibat yang timbul,dimana akibat menjadi syarat selesainya tindak pidana). Dalam
hubungannya dengan malpraktik medik pidana, kematian,luka berat, rasa sakit atau
luka yang mendatangkan penyakit atau yang menghambat tugas dan matapencaharian
merupakan unsure tindak pidana.
Jika dokter hanya melakukan tindakan yang bertentangan dengan etik
kedokteran maka ia hanya telah melakukan malpraktik etik. Untuk dapat menuntut
penggantian kerugian karena kelalaian maka penggugat harus dapat membuktikan
adanya suatu kewajibanbagi dokter terhadap pasien, dokter telah melanggar standar
pelayananan medik yang lazim dipergunakan, penggugat telah menderita kerugian
yang dapat dimintakan ganti ruginya.
Terkadang penggugat tidak perlu membuktikan adanya kelalaian tergugat.
Dalam hukum dikenal istilah res ipsa loquitur (the things speaks for itself), misalnya
dalam hal terdapatnya kain kasa yang tertinggal di rongga perut pasien sehingga
menimbulkan komplikasi pasca bedah. Dalam hal ini dokterlah yang harus
membuktikan tidak adanya kelalain pada dirinya.
Upaya pencegahan malpraktek, Dengan adanya kecenderungan masyarakat
untuk menggugat tenaga medis karena adanya malpraktek diharapkan tenaga dalam
menjalankan tugasnya selalu bertindak hati-hati, yakni:
 Tidak menjanjikan atau memberi garansi akan keberhasilan upayanya,
karena perjanjian berbentuk daya upaya (inspaning verbintenis) bukan
perjanjian akan berhasil (resultaat verbintenis).
 Sebelum melakukan intervensi agar selalu dilakukan informed consent.
 Mencatat semua tindakan yang dilakukan dalam rekam medis.
 Apabila terjadi keragu-raguan, konsultasikan kepada senior atau dokter.
 Memperlakukan pasien secara manusiawi dengan memperhatikan segala
kebutuhannya.
 Menjalin komunikasi yang baik dengan pasien, keluarga dan masyarakat
sekitarnya.

12
Upaya menghadapi tuntutan hokum, Apabila upaya kesehatan yang dilakukan
kepada pasien tidak memuaskan sehingga perawat menghadapi tuntutan hukum, maka
tenaga kesehatan seharusnyalah bersifat pasif dan pasien atau keluarganyalah yang
aktif membuktikan kelalaian tenaga kesehatan.
Apabila tuduhan kepada kesehatan merupakan criminal malpractice, maka
tenaga kesehatan dapat melakukan :
 Informal defence, dengan mengajukan bukti untuk menangkis/
menyangkal bahwa tuduhan yang diajukan tidak berdasar atau tidak
menunjuk pada doktrin-doktrin yang ada, misalnya perawat mengajukan
bukti bahwa yang terjadi bukan disengaja, akan tetapi merupakan risiko
medik (risk of treatment),atau mengajukan alasan bahwa dirinya tidak
mempunyai sikap batin (men rea)sebagaimana disyaratkan dalam
perumusan delik yang dituduhkan.
 Formal/legal defence, yakni melakukan pembelaan dengan mengajukan
atau menunjuk pada doktrin-doktrin hukum, yakni dengan menyangkal
tuntutan dengan cara menolak unsur-unsur pertanggung jawaban atau
melakukan pembelaan untuk membebaskan diri dari pertanggung
jawaban, dengan mengajukan bukti bahwa yang dilakukan adalah
pengaruh daya paksa. Berbicara mengenai pembelaan, ada baiknya
perawat menggunakan jasa penasehat hukum, sehingga yang sifatnya
teknis pembelaan diserahkan kepadanya. Pada perkara perdata dalam
tuduhan civil malpractice dimana perawat digugat membayar ganti rugi
sejumlah uang, yang dilakukan adalah mementahkan dalil-dalil
penggugat, karena dalam peradilan perdata, pihak yang mendalilkan
harus membuktikan di pengadilan, dengan perkataan lain pasien atau
pengacaranya harus membuktikan dalil sebagai dasar gugatan bahwa
tergugat (perawat) bertanggung jawab atas derita (damage) yang dialami
penggugat. Untuk membuktikan adanya civil malpractice tidaklah mudah,
utamanya tidak diketemukannya fakta yang dapat berbicara sendiri (res
ipsa loquitur), apalagi untuk membuktikan adanya tindakan
menterlantarkan kewajiban (dereliction of duty) dan adanya hubungan

13
langsung antara menterlantarkan kewajiban dengan adanya rusaknya
kesehatan (damage), sedangkan yang harus membuktikan adalah orang-
orang awam dibidang kesehatan dan hal inilah yang menguntungkan
tenaga perawatan.
Pembuktian Malpraktek dalam Pelayan kesehatan, Meningkatnya kesadaran
masyarakat akan hak-haknya merupakan salah satu indicator positif meningkatnya
kesadaran hukum dalam masyarakat. Sisi negatifnya adalah adanya kecenderungan
meningkatnya kasus tenaga kesehatan ataupun rumah sakit di somasi, diadukan atau
bahkan dituntut pasien yang akibatnya seringkali membekas bahkan mencekam para
tenaga kesehatan yang pada gilirannya akan mempengaruhi proses pelayanan
kesehatan tenaga kesehatan dibelakang hari. Secara psikologis hal ini patut dipahami
mengingat berabad-abad tenaga kesehatan telah menikmati kebebasan otonomi
paternalistik yang asimitris kedudukannya dan secara tiba-tiba didudukkan dalam
kesejajaran. Masalahnya tidak setiap upaya pelayanan kesehatan hasilnya selalu
memuaskan semua pihak terutama pasien, yang pada gilirannya dengan mudah
menimpakan beban kepada pasien bahwa telah terjadi malpraktek.
Apabila tenaga tenaga kesehatan didakwa telah melakukan kesalahan profesi,
hal ini bukanlah merupakan hal yang mudah bagi siapa saja yang tidak memahami
profesi kesehatan dalam membuktikan ada dan tidaknya kesalahan.
Dalam hal tenaga kesehatan didakwa telah melakukan ciminal malpractice,
harus dibuktikan apakah perbuatan tenaga kesehatan tersebut telah memenuhi unsur
tidak pidanya yakni :
 Apakah perbuatan (positif act atau negatif act) merupakan perbuatan yang
tercela
 Apakah perbuatan tersebut dilakukan dengan sikap batin (mens rea) yang
salah (sengaja, ceroboh atau adanya kealpaan). Selanjutnya apabila
tenaga perawatan dituduh telah melakukan kealpaan sehingga
mengakibatkan pasien meninggal dunia, menderita luka, maka yang harus
dibuktikan adalah adanya unsur perbuatan tercela (salah) yang dilakukan
dengan sikap batin berupa alpa atau kurang hati-hati ataupun kurang
praduga.

14
Asumsi masyarakat terhadap malpraktek, Maraknya malpraktek di indonesia
membuat masyarakat tidak percaya lagi pada pelayanan kesehatan di indonesia.
Ironisnya lagi, pihak kesehatan pun khawatir kalau para tenaga medis indonesia tidak
berani lagi melakukan tindakan medis karena takut berhadapan dengan hukum. Lagi-
lagi hal ini disebabkan karena kurangnya komunikasi yang baik antara tenaga medis
dan pasien. Tidak jarang seorang tenaga medis tidak memberitahukan sebab dan
akibat suatu tindakan medis. Pasien pun enggan berkomunikasi dengan tenaga medis
mengenai penyakitnya. Oleh karena itu, departemen kesehatan perlu mengadakan
penyuluhan atau sosialisasi kepada masyarakat tentang bagaimana kinerja seorang
tenaga medis.
Sekarang ini tuntutan professional terhadap profesi ini makin tinggi. Berita yang
menyudutkan serta tudingan bahwa dokter telah melakukan kesalahan dibidang medis
bermunculan. Di negara-negara maju yang lebih dulu mengenal istilah makpraktek
medis ini ternyata tuntutan terhadap tenaga medis yang melakukan ketidaklayakan
dalam praktek juga tidak surut. Biasanya yang menjadi sasaran terbesar adalah dokter
spesialis bedah (ortopedi, plastic dan syaraf), spesialis anestesi serta spesialis
kebidanan dan penyakit kandungan.
Di indonesia, fenomena ketidakpuasan pasien pada kinerja tenaga medis juga
berkembang. Pada awal januari tahun 2007 publik dikejutkan oleh demontrasi yang
dilakukan oleh para korban dugaan malpraktik medis ke polda metro jaya dengan
tuntutan agar polisi dapat mengusut terus sampai tuntas setiap kasus dugaan
malpraktek yang pernah dilaporkan masyarakat.
Tuntutan yang demikian dari masyarakat dapat dipahami mengingat sangat
sedikit jumlah kasus malpraktik medik yang diselesaikan di pengadilan. Apakah secara
hukum perdata, hukum pidana atau dengan hukum administrasi. Padahal media massa
nasional juga daerah berkali-kali melaporkan adanya dugaan malpraktik medik yang
dilakukan dokter tapi sering tidak berujung pada peyelesaian melalui sistem peradilan.
Salah satu dampak adanya malpraktek pada zaman sekarang ini (globalisasi)
saat ini kita hidup di jaman globalisasi, jaman yang penuh tantangan, jaman yang
penuh persaingan dimana terbukanya pintu bagi produk-produk asing maupun tenaga
kerja asing ke indonesia. Kalau kita kaitkan dengan dunia medis, ada manfaat yang

15
didapat, tetapi banyak pula kerugian yang ditimbulkan. Manfaatnya adalah seiring
mesuknya jaman globalisasi, maka tidak menutup kemungkinan akan kehadiran
peralatan pelayanan kesehatan yang canggih.
Hal ini memberikan peluang keberhasilan yang lebih besar dalam kesembuhan pasien.
Akan tetapi, banyak juga kerugian yang ditimbulkan. Masuknya peralatan canggih
tersebut memerlukan sumber daya manusia yang dapat mengoperasikannya serta
memperbaikinya kalau rusak. Yang menjadi sorotan disini adalah dalam hal
pengoperasiannya.
Coba kita analogikan terlebih dahulu, dengan masuknya peralatan-peralatan
canggih tersebut, maka mutu pelayanan kesehatan harus ditingkatkan. Namun, yang
terjadi saat ini adalah banyak tenaga medis yang melakukan kesalahan dalam
pengoperasian peralatan canggih tersebut sehingga menimbulkan malpraktek. Jelas
sekali bahwa ketergantungan pada peralatan pelayanan kesehatan ini dapat
menghambat pelayanan kesehatan. Untuk menindaklanjuti masalah ini, agar tidak
sampai terjadi malpraktek, perlu adanya penyuluhan kepada tenaga pelayanan
kesehatan mengenai masalah ini.
Kemudian, perlu adanya penyesuaian kurikulum pendidikan dengan
perkembangan teknologi. Satu hal yang lebih penting lagi adalah perlu adanya
kesadaran bagi para tenaga medis untuk terus belajar dan belajar agar dapat
meningkatkan kemampuannya dalam penggunaan peralatan canggih ini demi
mencegah terjadinya malpraktek. Hal ini dapat direalisasikan dengan adanya
penyuluhan yang disebutkan tadi. Selain pembahasan dari sisi peralatan tadi, juga perlu
dipikirkan masalah eksistensi dokter indonesia dalam menghadapi globalisasi. Seperti
yang disebutkan sebelumnya, di jaman globalisasi ini memberikan pintu terbuka bagi
tenaga kesehatan asing untuk masuk ke indonesia, begitu pula tenaga kesehatan
indonesia dapat bekerja diluar negeri dengan mudah. Namun, apabila tidak ada
tindakan untuk mempersiapkan hal ini, dapat menimbulkan kerugian bagi tenaga
kesehatan kita. Bayangkan saja, tidak menutup kemungkinan apabila seorang tenaga
medis yang kurang mempersiapkan dirinya untuk berkiprah di negeri orang,
dikarenakan ilmunya yang masih minim serta perbedaan kurikulum di negeri yang ia
tempati, terjadilah malpraktek.

16
Hal ini tidak saja mencoreng nama baik tenaga edis tersebut tersebut, tetapi juga
nama baik dunia kesehatan indonesia. Yang jelas, kami sangat berharap akan peran
dari pemerintah pada umumnya dan peran dari departemen kesehatan pada khususnya
untuk mempersiapkan tenaga kesehatan indonesia dalam menghadapi era globalisasi
saat ini.

17
REFERENSI
Notoatmodjo, Soekidjo. (2010). Etika dan Hukum Kesehatan. Jakarta : Rineka Cipta.
Ruhtiani, Maya. 2012. Perlindungan Hukum Pasien sebagai Konsumen Jasa dalam
Pelayanan Kesehatan di Rumah Sakit Umum Daerah Tasikmalaya. Fakultas
Hukum, Universitas Jenderal Soedirman. Purwokerto
Faudzan Akmal. 2014. Etika Hukum Kesehatan.
https://aklamfauzuladzim.wordpress.com/2014/06/04/etika-hukum-
kesehatan/. Diakses tanggal 26 Maret 2016
Sartika Ilham. 2012. Prinsip-prinsip Etika dan Hukum Kesehatan.
http://khosatika.blogspot.co.id/2012/04/v-behaviorurldefaultvmlo.html.
Diakses tanggal 26 Maret 2016
Zulkifli. 2013. Malpraktik dalam Dunia Kesehatan.
http://informasikesehatanbulukumba.blogspot.co.id/2013/11/malpraktik-
dalam-dunia-kesehatan_1808.html. Diakses tanggal 26 Maret 2016
Muhammad Jabir. 2008. Pembuktian Malpraktek dalam Pelyanan Kesehatan.
http://muhammadjabir.com/2008/10/30/pembuktian-malpraktek-dalam-
pelayanan-kesehatan/ . Diakses tanggal 26 Maret 2016.
Muchsin, Achmad. 2009. Perlindungan Hukum Terhadap Pasien Sebagai Konsumen
Jasa Pelayanan Kesehatan Dalam Transaksi Terapeutik. Jurnal Hukum Islam
(JHI) 7, (1), 31-45

18

Anda mungkin juga menyukai