Anda di halaman 1dari 81

MANAJEMEN BAHAYA ERGONOMI DI FASYANKES

UNTUK MENCEGAH GANGGUAN MUSKULOSKELETAL


PADA PEKERJA

Pajar Haryatno, Ftr,M.Kes


A. Pengertian
1. Ergonomi
Beberapa pengertian dari ergonomi :
a. Menurut IEA (International Ergonomics Assosiation:
Ilmu yang mempelajari tentang anatomi, fisiologi, dan aspek
psikologi dari manusia di lingkungan kerja. Khususnya
berhubungan dengan efisiensi, kesehatan, keselamatan dan
kenyamanan karyawan di tempat kerja, di rumah dan di
tempat rekreasi.
b. Menurut ILO (International Labour Organization)
Penerapan ilmu biologi manusia sejalan dengan ilmu rekayasa
untuk mencapai penyesuaian antara pekerjaan dan manusia
secara optimal dengan tujuan agar bermanfaat demi effisiensi
dan kesejahteraan.
Ergonomi adalah ilmu yang mengupayakan adanya keserasian
antara manusia dengan mesin (kerja).
Ilmu yang mempelajari ukuran-ukuran pekerjaan (dalam arti luas).
Ilmu yang dapat mengatur pekerjaan sesuai dengan kemampuan
orang yang mengerjakan.
Ilmu yang mempelajari perilaku manusia dalam kaitannya
dengan pekerjaan.
Kesimpulan dari beberapa pengertian ergonomi di atas, maka
ergonomi mencakup 2 hal, yaitu :
Ilmu yang menghubungkan ilmu-ilmu teknik
dengan ilmu-ilmu humaniora.
Ergonomi mengupayakan adanya keserasian antara
manusia dengan peralatan kerja/mesin dan lingkungan kerja).
Dalam ilmu ergonomi, ukuran tubuh manusia/antropometri adalah
hal yang mendasar, setiap manusia memiliki ukuran tubuh yang
berbeda (tinggi, pendek, gemuk atau kurus, termasuk juga berbeda
panjang badannya, panjang lengannya atau ukuran genggaman jari
tangannnya).
Oleh karena itu maka dalam ergonomi berbagai peralatan kerja
yang digunakan harus dapat disesuaikan dengan masing-masing
orang/karyawan yang menggunakannya.
Dengan demikian ergonomi adalah :
Ilmu yang mempelajari manusia dan
pekerjaannya, serta bagaimana
merancang tugas, pekerjaan, peralatan
kerja, informasi, serta fasilitas di
lingkungan kerja sedemikian rupa agar
karyawan dapat bekerja secara aman,
nyaman, sehat, efektif, efisien &
produktif.
2. Ergonomi perkantoran (office ergonomic)

Ergonomi perkantoran adalah cabang ilmu ergonomi yang


khusus menangani lingkungan kerja kantor atau penggunaan
peralatan kerja kantor seperti kursi dan meja kerja, komputer,
telepon, serta berbagai perlengkapan kerja lainnya, termasuk
berbagai kebijakan di kantor yang di rancang untuk
meningkatkan efisiensi pekerjaan dan meningkatkan
kenyamanan kerja di dalam kantor.
Penerapan ergonomi perkantoran dapat dilakukan oleh pemilik
perusahaan dan pihak manajemen untuk mencegah atau
mengurangi risiko terjadinya cidera pada karyawan kantor.
Kegiatan utamanya adalah dengan cara menyesuaikan luas
ruang kerja dengan jumlah pekerja dan menyesuaikan
peralatan kerja kantor dengan tubuh ratarata pekerjanya.

Sebaliknya karyawan kantor pun harus menggunakan berbagai


peralatan kantor secara baik dan benar. Selain dapat mencegah
cidera, ergonomi perkantoran juga dapat meningkatkan
performa kerja dengan menghilangkan berbagai kendala yang
dihadapi karyawan dalam mencapai kinerja terbaik mereka,
sehingga akan tercipta kerja yang efektif, efisien dan
berproduktifitas maksimal.
Pada saat ini, ergonomi perkantoran lebih fokus pada pekerjaan
yang menggunakan komputer. Hal ini disebabkan karena
semakin banyaknya penggunaan komputer dalam perkantoran
modern dan juga berhubungan dengan makin banyak
terjadinya cidera akibat penggunaan komputer tersebut.

Sebuah contoh ergonomi perkantoran adalah mengenai tata


letak monitor ketika bekerja dan penataan serta penempatan
gambar pada tingkat iluminasi atau penerangan secara baik,
tepat dan wajar. Biasanya, pencahayaan atau sumber cahaya
yang menyebabkan bayangan di monitor akan menyebabkan
kelelahan mata atau sakit kepala sehingga akan memaksa tubuh
untuk bekerja dengan postur yang janggal.
3. Faktor Risiko Ergonomi perkantoran

Berbagai risiko cidera dan penyakit dapat timbul bila bekerja di


kantor dengan tidak ergonomis, antara lain:

a. Computer vision Syndrome (CVS)


Computer vision syndrome atau sindroma gangguan mata
akibat penggunaan komputer adalah rasa pegal pada mata
yang kita rasakan bila menggunakan komputer untuk waktu
yang lama.
Siapa saja yang menghabiskan waktu berjam-jam di depan
komputer, bisa merasakan efek pemakaian komputer dalam
waktu lama dengan gejala antara lain sebagai berikut:
(10) Mata pegal, (2) Pandangan kabur, (3) Mata kering, (4)
Sakit kepala, dan (5) Leher dan pundak sakit.
Gejala ini bersifat sementara, dan biasanya hilang sendiri, tetapi rasa tidak
nyaman yang muncul dapat diminimalkan dengan melakukan beberapa tindakan
sederhana berikut:
• Usahakan agar penerangan dalam ruangan membuat mata terasa nyaman, dan
tidak membuat silau layar komputer.
• Atur posisi layar komputer sedemikian rupa sehingga posisi kepala saat
bekerja terasa nyaman.
• Jangan lupa untuk mengambil jeda. Alihkan pandangan dari komputer selama
beberapa menit karena langkah ini dapat menjaga kesehatan mata. Tujuannya
kira-kira sama seperti beristirahat sejenak untuk melemaskan tangan dan
punggung.
• Kursi kerja harus nyaman. Kursi yang nyaman dan dilengkapi sandaran leher
dan punggung membantu kita mencegah rasa tegang pada leher dan pundak
yang umumnya berkaitan dengan computer vision syndrome.
b. Gangguan Otot Tulang Rangka Akibat Kerja (GOTRAK)
Kantor terlihat seperti sebuah tempat yang aman untuk
bekerja, namun cidera akibat gerakan berulang
(repetitive motion) dan nyeri tulang belakang adalah
penyakit yang biasa dialami oleh para karyawan yang
duduk lama berjam-jam di depan meja.
Apa yang terlihat seperti sebuah kantor biasa dapat
menjadi sebuah lingkungan kerja yang berbahaya apabila
kebijakan keselamatan kerja tidak diterapkan dan diikuti
oleh pekerja.
GOTRAK atau WMSDs (Work related Musculoskeletal
Disorders) adalah cidera musculoskeletal yang sering terjadi
pada karyawan kantor, dapat berupa keluhan-keluhan seperti
rasa tidak nyaman, rasa nyeri, lemah, pembengkakan, kaku,
serta kesemutan dan mati rasa pada beberapa bagian tubuh.
Jaringan tubuh yang dapat mengalami cidera meliputi otot,
tendon, ligamen dan jaringan saraf serta pembuluh darah.
GOTRAK yang biasa dialami oleh karyawan kantor yaitu hand
and wrist tendinitis, carpal tunnel syndrome, tennis/golfer
elbows (epicondilitis), neck strain, shoulders tendinitis and
bursitis, serta low back pain.
Berdasarkan penelitian, terjadinya GOTRAK pada karyawan kantor
sangat berhubungan dengan beberapa faktor risiko ergonomi berikut ini :
1) Postur Janggal (Awkward Postures)
2) Gerakan Berulang (Repetitive Movement)
3) Aktivitas Statis (Static Loading)
4) Kekuatan (Force)
5) Mechanical Contact Stress
1) Postur Janggal (Awkward Postures)
Postur janggal atau posisi tubuh yang tidak
ergonomis adalah postur tubuh yang tidak
netral/menjauh dari posisi anatomis, dimana
posisi sendi-sendi tidak lurus/membengkok
sehingga lebih memungkinkan terjadinya
cidera pada otot tulang rangka.
Contoh postur janggal yang biasa dilakukan
karyawan kantor adalah mengetik dengan
posisi pergelangan tangan yang bengkok;
mengetik dengan posisi leher menoleh ke
samping untuk melihat monitor; meraih
mouse lewat atas keyboard; mengetik dengan
posisi membungkuk karena membaca
dokumen yang diletakkan di atas meja;
mengetik sambil menjepit telepon diantara
pundak dan telinga; dan masih banyak lagi
postur janggal lainnya.
Postur Janggal (Awkward Postures)
2) Gerakan Berulang (Repetitive Movement)
Melakukan gerakan yang sama atau sejenis yang dilakukan berulang-ulang
tanpa diselingi dengan istirahat dapat menyebabkan kelelahan otot dan
kerusakan pada sendi dan jaringan disekitarnya yang memungkinkan
terjadinya cidera.
Contoh gerakan berulang yang biasa dilakukan oleh karyawan kantor adalah
mengetik, menggunakan mouse, sering menoleh untuk melihat monitor dan
dokumen secara bergantian pada saat mengetik, sering menggunakan
kalkulator, sering menulis dengan tangan, sering menggunakan hecter dan
semacamnya.
3) Aktivitas Statis (Static Loading)
Salah satu faktor risiko yang banyak terdapat pada karyawan kantor yaitu
aktivitas statis atau posisi badan yang menetap, dimana otot-otot harus terus
berkontraksi untuk menahan tubuh agar tetap berada pada satu posisi dalam
jangka waktu yang lama. Kondisi seperti ini menyebabkan ketegangan pada
otot dan akan mengurangi aliran darah ke area tubuh tersebut sehingga
memicu kerusakan jaringan dan menyebabkan cidera. Ketika dibutuhkan
pengerahan tenaga yang terus menerus berarti aktifitas statis tersebut telah
menanggung sebuah beban (force) dalam waktu tertentu.
Contoh aktivitas statis yang biasa dilakukan oleh karyawan kantor yaitu
posisi duduk bekerja di depan komputer dalam waktu lama, atau menahan
leher dalam posisi agak menunduk ketika membaca sebuah dokumen, atau
menahan tangan agar tetap mengambang diatas keyboard pada saat mengetik,
atau duduk tegak tanpa sandaran punggung, atau menjepit telepon antara
pundak dan telinga, dan sebagainya.
Contoh aktivitas statis atau posisi badan yang menetap
selama bekerja
4) Kekuatan (Force)
Beberapa pekerjaan kecil di kantor membutuhkan pengerahan tenaga yang
dilakukan oleh otot-otot yang sangat kecil, baik di jarijari maupun di tangan
dan karenanya dapat mengakibatkan kelelahan, bengkak, kram otot dan kram
ligamen.
Contoh aktivitas semacam ini yang biasa dilakukan karyawan kantor adalah
menggenggam mouse terlalu kuat lalu menggerakkan jari-jari tangan dalam
menggunakan mouse, menggunakan hecter, perforator, membawa dokumen
yang tebal atau mengangkat benda berat dengan satu tangan, dan lain
sebagainya.
5) Mechanical Contact Stress
Kondisi tertekannya lengan atau tangan dengan permukaan benda yang keras
ataupun yang lunak sekalipun yang menekan jaringan lunak otot, saraf atau
pembuluh darah, dapat menyebabkan kerusakan jaringan dan dalam jangka
panjang dapat menyebabkan cidera jaringan yang serius. Kondisi inilah yang
disebut dengan mechanical contact stress.
Contoh: meletakkan pergelangan tangan pada ujung meja ketika sedang
mengetik atau menggunakan mouse, meletakkan siku pada sandaran tangan
kursi yang keras atau pada permukaan meja, menggunakan gunting yang
menjepit pangkal ibu jari tangan, atau duduk di kursi yang sempit sehingga
ujung kursi menekan paha, dan lain semacamnya.
4. Prinsip Ergonomi untuk Mencegah GOTRAK/WMSD
Untuk mencegah terjadinya cidera musculoskeletal pada karyawan kantor,
maka semua pihak harus memperhatikan prinsip-prinsip ergonomi. Prinsip
ergonomi menurut Asosiasi Higiene Industri Amerika (American Industrial
Hygiene Association) adalah :
a. Lingkungan mempengaruhiperilaku pekerja
b. Mengurangi postur janggal
c. Meminimalisasi gerakan statis
d. Hindari kontak tekanan (Mechanical Contact Stress)
e. Beristirahat
f. Pendidikan dan pelatihan
a. Lingkungan mempengaruhi perilaku pekerja
Lingkungan mempengaruhi perilaku karyawan, ini merupakan prinsip
ergonomi yang langsung terlihat dalam proses penerapannya. Dengan kata
lain, sebuah area kerja yang dirancang dengan baik maka dalam jangka
waktu yang panjang akan menjamin bahwa orangorang bekerja dengan aman.
Dan sebaliknya, area kerja yang dirancang kurang baik bisa memberikan
dampak negatif.

Sebuah studi yang diterbitkan di dalam jurnal Occupational Medicine,


menyatakan bahwa para karyawan kantor yang sering mengeluhkan nyeri
yang berkaitan dengan gangguan otot rangka (Musculoskeletal diseases)
bukanlah disebabkan oleh pemakaian komputer yang sering, akan tetapi
karena disain area kerja mereka yang tidak ergonomis.
Dampak lingkungan terhadap kesehatan dan kenyamanan bahkan lebih jelas
dari sudut ekonomi, karena ruang kerja kantor tidak dibutuhkan besar dan luas
akan tetapi penataan lingkungan kerja yang nyaman sehingga memberikan
efek yang sehat dan luas.

International Fascility Management Association (IFMA) President dan Chief


Executive Officer, David J.J. Brady menambahkan bahwa untuk fasilitas
profesional, penyeimbangan kebutuhan dari karyawan terhadap ruang kerja,
perlu kreativitas-kreativitas yang cerdas dalam penataan lingkungannya,
walaupun dengan luas ruang yang kecil tapi memberikan kesan nyaman dan
sehat dalam bekerja.
b. Mengurangi postur janggal

Selain pergerakan adalah penting, demikian juga bermacam postur sering di


tampilkan dalam tugas sehari-hari. Postur netral, berarti melakukan aktivitas
dengan memerlukan otot minimal, untuk kesehatan dan kenyamanan.
Postur ekstrim sebaliknya, misalnya posisi lengan miring arah keluar atau
posisi pergelangan tangan, biar bagaimanapun harus dihindarkan.
Pemeliharaan simetri tubuh adalah sama pentingnya, terutama berkenaan
dengan tulang belakang. “Postur yang baik” untuk tulang belakang secara
umum bermakna pemeliharaan lengkungan tulang belakang secara alami
dan wajar. Duduk bengkok ke arah samping, memutar ke arah belakang
akan memberikan tekanan secara mekanis ke cakram tulang belakang,
ikatan sendi dan otot. Jenis pelintiran ini dari waktu ke waktu dapat
menjurus rusaknya semua struktur-struktur tulang belakang ini dan menjadi
sumber terjadinya nyeri yang mesti dipertimbangkan.
c. Meminimalisasi gerakan statis
Postur yang tetap saat bekerja tanpa adanya pergantian secara inheren
berbahaya. Menurut Marvin Dainoff, Direktur Pusat Riset Ergonomi (Center
for Ergonomic Research) pada Miami University Ohio, “Setiap postur yang
tetap tanpa pergantian, akan menghasilkan kelelahan otot. Oleh karena itu,
adalah penting bagi operator/pekerja untuk bergeser dan berganti posisi
dalam bekerja.” Perubahan posisi dalam bekerja amat sangat penting bagi
kesehatan.

Duduk dengan posisi kaki yang tak bergerak dalam waktu yang lama,
menyebabkan kaki bengkak dan berpotensi terjadinya pembentukan
gumpalan darah dalam pembuluh darah kaki dalam. Beberapa data
menyatakan bahwa kelumpuhan akibat duduk dalam waktu yang lama di
area kerja komputer, berkaitan dengan risiko Video DisplayTerminal (VDT)
yang tinggi. Jadi secara jelas, masalah pergerakan dalam sebuah pekerjaan
tidak hanya soal kenyamanan, tapi soal pemeliharaan kesehatan secara
menyeluruh.
d. Hindari kontak tekanan (Mechanical Contact Stress)
Tekanan yang difokuskan pada bagian-bagian yang spesifik tubuh adalah
sangat berbahaya dan di beberapa kasus dapat menyebabkan permasalahan
serius pada sistem sirkulasi dan syaraf. Menurut Occupational Safety and
Health Administration (OSHA), “Kontak tekanan biasanya mempengaruhi
jaringan lunak di jari tangan, telapak tangan, lengan bawah, paha, tulang
kering dan kaki. Kontak ini mungkin akan menghalangi aliran darah,
gerakan otot dan fungsi syaraf. Jaringan yang dimampatkan untuk periode
waktu yang lama mungkin akan rusak.

Masalah menjadi lebih buruk dengan pajanan berulang.” Tekanan-tekanan


seperti itu bisa dialirkan ke arah lengan dan pergelangan tangan melalui
kontak secara langsung, misalnya kontak keras dengan sisi meja, kursi dan
peralatan kerja lainnya. Demikian juga paha bagian bawah, tekanan akan
didapat dari tempat duduk yang keras dantempat duduk yangterlalu tinggi.
e. Beristirahat
Bila pekerjaan berulang, maka sangat penting menyediakan waktu untuk
istirahat sejenak diantara tugas reguler. Istirahat diantara waktu kerja regular
bisa dilakukan dengan cara latihan singkat atau peregangan otot, atau
mengerjakan tugas yang berbeda dalam beberapa menit. Dr. Hedge
menyatakan, “dengan beristirahat secara tepat, yang dikombinasikan dengan
latihan peregangan, operator komputer harus bisa menjaga kelangsungan
kerja dengan istirahat di jeda kerja dengan tepat. Dan di saat yang sama
meminimalisasi risiko cidera secara postural.” Sebagai tambahan, bahwa,
“Istirahat yang tepat dan waktu yang sesuai secara statistik akan
meningkatkan keakuratan.”
f. Pendidikan dan pelatihan
Bila semua yang diajarkan kemudian juga dikerjakan, maka seorang
karyawan yang telah dididik mengenai ergonomi di tempat kerja dan
mempraktikannya, dia lebih mungkin untuk tetap sehat. Karyawan bisa
menyusun ruang kerja mereka dengan memperhatikan faktor-faktor risiko
ergonomi di tempat kerja dan mengenali tanda-tanda peringatan cidera.
Pencegahan adalah ideal, penting untuk mengenali tanda-tanda peringatan dan
gejala-gejala GOTRAK secara dini.
Ketidaknyamanan yang meningkat dengan intensitas yang tinggi atau dalam
jangka waktu yang lama dapat menjadi tanda meningkatnya radang. Radang
ringan berpotensi menjadi berat bila tanda-tanda peringatan awal tidak
diketahui, dan timbul dalam jangka waktu lama, pada akhirnya radang ringan
berubah menjadi otot atau tendon yang rusak. Oleh karena itu melalui
pendidikan yang ditujukan untuk meningkatkan pengetahuan karyawan,
khususnya mendidik karyawan mengenai tanda-tanda peringatan secara dini
dan gejala-gejala GOTRAK, diharapkan karyawan dapat mengenali
permasalahan secara dini sebelum menjadi berat atau parah.
MANAJEMEN RISIKO K3 DI TEMPAT KERJA

A. LatarBelakang
Di setiap tempat kerja, selalu terdapat bahaya yang
berpotensi menyebabkan terjadinya penyakit akibat kerja
(PAK) dan/atau kecelakaan akibat kerja (KAK), bahkan
kematian.
ILO global  Setiap tahun terjadi > 2,3 juta kematian
akibat PAK & KAK. Selain itu, lebih dari 317 juta kasus
insiden telah terjadi di berbagai tempat kerja di dunia,
dengan kerugian sebesar 4% dari GDP (Gross Domestic
Product) Global yang disertai dengan tingginya angka hari
kerja hilang (ILO, 2014).
Di Inggris, selama tahun 2014-2015 sebanyak 1,2 juta
orang mengalami PAK dan 142 orang yang meninggal pada
saat bekerja, dengan total kerugiaan diperkirakan mencapai
GBP 14,3 milliar (HSE UK, 2016).
Di Indonesia, data dari Pusdatin Kemenkes RI tahun
2015 memperlihatkan bahwa jumlah kasus PAK & KAK
yang dilaporkan oleh Puskesmas pada tahun 2011-2014
masih kerap terjadi (Gambar 1). Hal ini
mengindikasikan bahwa masih perlu ditingkatkannya
usaha yang sistematis dalam pengendalian risiko
keselamatan dan kesehatan kerja (K3) di tempat kerja.
Fasilitas pelayanan kesehatan (fasyankes) merupakan alat
dan/atau tempat yang digunakan untuk menyelenggarakan
upaya pelayanan kesehatan, baik promotif, preventif,
kuratif maupun rehabilitatif yang dilakukan oleh
pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau masyarakat.
Selain memberikan pelayanan kepada pasien dan
pengunjung lainnya, fasyankes juga merupakan tempat
kerja bagi tenaga kesehatan, sumber daya manusia (SDM)
lainnya dan pemangku kepentingan lain seperti mahasiswa
magang, dosen, dan lain-lain (UU Kesehatan No.36, 2009)
Fasyankes memiliki keunikan dalam hal budaya kerja dan
risiko K3. Berdasarkan data statistik di Amerika Serikat
pada periode tahun 1989-2011, angka PAK & KAK di
rumah sakit hampir 2 kali lebih tinggi dari rata-rata pada
industri secara umum, sehingga risiko K3 di fasyankes
lebih tinggi dibandingkan sektor lain seperti konstruksi
dan manufaktur (OSHA, 2013).
Masalah kesehatan kerja yang paling sering muncul pada
pekerja di fasyankes secara berturut ialah; (1) gangguan
terkait muskuloskeletal (54%), (2) memar (11%), (3) sakit
tanpa alasan yang jelas (10%), (4) patah tulang (5%), (5)
luka berulang (3%), (6) terpotong atau tertusuk (3%), dan
(7) luka-luka lainnya (14%) (Bureau of Labor Statistics
USA, 2011).
Pekerja di fasyankes dihadapkan dengan berbagai risiko K3;
(1) risiko ergonomi (contohnya mengangkat dan
memindahkan pasien), (2) bahaya biologi (contohnya
kontak langsung dengan pasien yang infeksius seperti TB,
hepatitis, HIV/AIDS; (3) benda tajam seperti jarum,
gunting/pisau operasi; (4) pasien dengan gangguan
kejiwaan, (5) pekerjaan yang bersifat dinamis dan
terkadang tidak dapat diprediksi, (6) terpajan berbagai
macam bahaya lainnya seperti ergonomi perkantoran, food
safety, kualitas udara dalam ruangan, penanganan beban
manual, bahaya kimia (seperti etilen oksida, glutaraldehida),
bahaya fisik (seperti kebisingan, radiasi, jatuh dari
ketinggian), dan sebagainya (OSHA, 2012; OSHA, 2013;
WHO, 2016).
Hal di atas tidak sejalan dengan budaya kerja di fasyankes
yang lebih menekankan pada keselamatan dan kesehatan
pasien, sehingga aspek K3 terhadap pekerja cenderung
terabaikan. Kondisi tersebut terkadang belum disadari oleh
SDM yang ada di fasyankes. Dapat dikatakan pemahaman
SDM di fasyankes terhadap risiko K3 masih rendah dan
berakibat pada tingginya angka absen sakit, biaya asuransi,
tingkat kehilangan tenaga kerja yang handal dan tingginya
angka terjadinya gangguan kejiwaan (OSHA, 2013).
Kesehatan adalah hak seluruh warga negara Indonesia,
termasuk pekerja di fasyankes. Sebagai salah satu upaya
preventif, UU Kesehatan tersebut mengamanatkan
dilakukannya upaya pengelolaan risiko (manajemen risiko)
di fasyankes, sehingga potensi bahaya teridentifikasi dan
dapat dikendalikan serta menjadi dasar dalam penyusunan
program K3 di fasyankes.
Dengan terlaksananya upaya manajemen risiko K3 di
fasyankes maka kondisi tempat kerja yang sehat, aman dan
nyaman dapat tercapai, sehingga pekerja menjadi sehat,
selamat, bahagia serta produktif.
B. Tujuan Manajemen Risiko K3 di Fasyankes
Tujuan Umum :
Untuk meminimalkan risiko K3 yang ada di fasyankes
guna mencegah terjadinya PAK & KAK pada SDM
fasyankes dan insiden pada pasien, pendamping, dan
pengunjung.
B. Tujuan Manajemen Risiko K3 di Fasyankes
Tujuan Khusus :
1. Meningkatkan kemampuan dalam mempersiapkan pelaksanaan
manajemen risiko K3 di fasyankes;
2. Meningkatkan kemampuan dalam mengidentifikasi risiko K3 di
fasyankes;
3. Meningkatkan kemampuan menganalisis risiko K3 di fasyankes;
4. Meningkatkan kemampuan dalam melakukan pengendalian risiko
K3 difasyankes;
5. Meningkatkan kemampuan dalam melakukan komunikasi dan
partisipasi K3 di fasyankes;
6. Meningkatkan kemampuan dalam melakukan monitoring dan
evaluasi pengelolaan risiko K3 di fasyankes;
7. Melakukan perbaikan berkesinambungan terkait manajemen risiko;
8. Sebagai bahan perencanaan menyusun program K3 di fasyankes.
C. Pengertian terkait Manajemen Risiko K3
Fasilitas pelayanan kesehatan:
Suatu alat dan/atau tempat yang digunakan untuk
menyelenggarakan upaya pelayanan kesehatan, baik
promotif, preventif, kuratif maupun rehabilitatif yang
dilakukan oleh pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau
masyarakat (UU No. 36 tahun 2009).
Bahaya (hazard):
Apapun (peralatan, mesin, metode kerja, material, kondisi)
yang mempunyai potensi untuk menimbulkan kerugian
baik pada keselamatan maupun kesehatan.
C. Pengertian terkait Manajemen Risiko K3
Risiko:
Kemungkinan/peluang untuk terjadinya dampak pada
keselamatan dan kesehatan sebagai akibat adanya pajanan
bahaya.
Probabilitas:Kemungkinan terjadi atau tidak terjadinya
sesuatu.
Konsekuensi (Consequence/C):
Dampak yang ditimbulkan akibat pajanan bahaya seperti
penyakit akibat kerja, kecelakaan akibat kerja, bahkan
kematian.
C. Pengertian terkait Manajemen Risiko K3
Manajemen Risiko:
Upaya yang logis dan sistematis dalam mengendalikan
risiko.
Langkah-langkah Manajemen Risiko terdiri dari tahapan:
1. Persiapan/penetapan konteks,
2. Identifikasi risiko,
3. Analisis risiko,
4. Evaluasi risiko,
5. Pengendalian risiko,
6. Komunikasi dan partisipasi, serta
7. Pemantauan dan telaah ulang.
KONSEP MANAJEMEN RISIKO K3
DI FASYANKES

1. Fasyankes  tempat kerja dengan risiko K3 yang tinggi


sehingga diperlukan pelaksanaan upaya K3 agar pekerja
selamat dan sehat.
2. Inti pelaksanaan upaya K3 ialah manajemen risiko K3.
Manajemen risiko merupakan aktivitas yang sistematis,
terkoordinasi, dan tepat waktu dalam mengendalikan risiko.
3. Tujuan manajemen risiko K3 ialah untuk mengurangi dampak
negatif dari suatu risiko dari bahaya K3 di tempat kerja.
4. Untuk melaksanakan manajemen risiko di fasyankes maka
perlu dipahami tentang bahaya dan risiko K3 yang ada.
A. Bahaya & Risiko K3
Bahaya K3 :
Bahaya K3  bahaya yang dapat menimbulkan
ketidaknyamanan, menurunkan derajat kesehatan,
menyebabkan sakit/cedera bahkan kematian.
Secara umum, bahaya K3 dapat diklasifikasikan menjadi 5
kategori yaitu; (1) bahaya fisik, (2) bahaya kimia, (3)
bahaya biologi, (4) ergonomi dan (5) bahaya psikososial
(Gambar 2).
Kelima bahaya tersebut, dapat menimbulkan dampak, baik
terhadap kesehatan maupun terhadap keselamatan.
1. Bahaya Fisik
Bahaya fisik umumnya berasal dari:
a. Energi yang dilepaskan dari alat dan proses kerja, serta
berasal dari lingkungan (contoh: getaran, kebisingan,
iluminasi atau pencahayaan, iklim kerja, radiasi pengion
(sinar X, α, β, γ), dan radiasi non pengion (medan
magnet dan medan listrik, sinar UV, sinar infra merah,
dll).
b. Bahaya gravitasi (seperti jatuh dari ketinggian,
terpeleset, tersandung),
c. Mekanik (seperti benda bergerak, mesin potong),
d. Listrik, radiasi nuklir, dan gas bertekanan pun dapat
dikategorikan ke dalam bahaya fisik.
2. Bahaya Kimia
Bahaya kimia umumnya berasal dari:
Sifat alami/ kandungan yang terdapat dalam bahan kimia,
bersumber dari bahan yang dipakai dalam proses kerja,
udara ambien di area proses kerja, dan katalis proses
kimia di tempat kerja. Contoh bahaya kimia adalah gas
(CO, CO2, NOx, N2O, dll), uap (formaldehida, uap
merkuri, alkohol, benzene, toluen, xylene, dan cairan
kimia yang mudah menguap lainnya), serta partikulat
(asap, debu, fiber, fume, mist, fog).
Dampak Bahaya Kimia
Dampak kesehatan akibat bahan kimia dapat sangat luas
spektrumnya dari iritasi, sensitisasi, asfiksia, hingga
mutasi gen (mutagen) (Kurniawidjaja 2012).
Dampak terhadap keselamatan dari pajanan bahan kimia
dapat menyebabkan kebakaran, ledakan, korosi, dll.
Pekerja dapat terpajan bahaya kimia melalui inhalasi
(jalur pernapasan), ingesti (jalur pencernaan), injeksi,
kontak mata, dan kontak melalui kulit.
3. Bahaya Biologi
Bahaya biologi bersumber dari organisme &
mikroorganisme (seperti bakteri, jamur, algae, virus,
tanaman) dan binatang (seperti insect, lebah, ular, dll).
Bahaya biologi menyebabkan penyakit yang dapat
menular dari satu orang ke orang yang lain baik melalui
kontak langsung ataupun tidak langsung.
Pajanan bahaya biologi di lingkungan kerja juga dapat
terjadi ketika pekerja kontak dengan cell cultures, tanah,
tanam-tanaman, debu organik, makanan dan sampah serta
limbah.
Faktor yang dapat mempengaruhi rendah tingginya
risiko bahaya biologi ialah sistem pengaturan udara
(ventilasi), kelembaban, suhu, iluminasi alami dari
cahaya matahari, housekeeping, dan juga daya
tahan/kekebalan tubuh manusia.
4. Bahaya Ergonomi
Bahaya Ergonomi ialah bahaya yang disebabkan
ketidaksesuaian interaksi antara pekerja, peralatan,
lingkungan dan organisasi kerja (desain peralatan, tempat,
prosedur, dan postur kerja).
Ilmu Ergonomi mempelajari interaksi antara manusia,
pekerjaan, lingkungan, dan organisasi kerja yang memiliki
fokus ilmu untuk menyesuaikan pekerjaan serta alat kerja
dengan karakteristik (antropometri) dan keterbatasan fisik
manusia (NIOSH, 2014).
Ilmu ergonomi bertujuan untuk mencegah cedera dan
gangguan kesehatan akibat penggunaan otot berlebih (beban
kerja berlebih), postur janggal, maupun pekerjaan yang
berulang (NIOSH, 2014).
Hal ini dilakukan melalui mendesain pekerjaan, ruang kerja,
kontrol, tampilan alat atau mesin, pencahayaan, dan
peralatan kerja sesuai dengan kemampuan dan keterbatasan
fisik pekerja (NIOSH, 2014).
Dampak kesehatan yang paling sering ditimbulkan akibat
bahaya ergonomi adalah Gangguan Otot Tulang Rangka
Akibat Kerja (GOTRAK) (NIOSH, 2014).
Faktor risiko GOTRAK terkait ergonomi antara lain:
Postur dan pergerakan tubuh:
1. Postur statis (duduk/berdiri lama dengan posisi netral
tanpa membawa beban lebih dari empat jam)
2. Postur janggal (membungkuk, memutar, miring)
Penanganan beban manual (mengangkat, membawa,
menarik, dan mendorong),
Pekerjaan repetitif (dilakukan berulang-ulang dalam sekali
kerja),
Durasi kerja,
Berat beban objek.
5. Bahaya Psikososial
Menurut ILO (1986) bahaya psikososial adalah hasil
interaksi antara aspek desain kerja, organisasi dan
pengelolaan pekerjaan, kondisi sosial serta lingkungan
yang dapat mempengaruhi kesehatan pekerja melalui
persepsi dan pengalamannya (Leka & Jain, 2010). Pajanan
bahaya psikososial dapat mempengaruhi kesehatan dan
keselamatan pekerja serta kesehatan organisasi seperti
produktivitas perusahaan, kualitas produk dan jasa, dan
iklim kerja organisasi.
Bahaya psikososial secara umum berkaitan erat dengan
konteks kerja (contohnya gaji dan fasilitas kerja kurang,
hubungan keluarga tidak harmonis sehingga
mempengaruhi pekerjaan, hubungan interpersonal yang
tidak baik, komunikasi atasan-bawahan tidak baik, dan
lainnya) dan konten pekerjaan (beban kerja berlebih,
pekerjaan tidak sesuai dengan kemampuan pekerja, kerja
lembur, dan lainnya) (Kurniawidjaja, 2012).
• Gejala dari dampak kesehatan karena bahaya psikososial
beragam seperti perubahan perilaku (gangguan tidur,
kecenderungan konsumsi rokok dan minuman beralkohol,
isolasi diri), perubahan fisiologia (sakit maag, diare,
mudah sakit kepala dan lemas, gangguan organ seksual,
dan lainnya), perubahan mental (sulit konsentrasi, mudah
lupa, dan lainnya), serta perubahan psikologis (mudah
marah, tidak terarah, merasa kosong, dan lain-lain).
• Dampak kesehatan yang paling sering muncul umumnya
terkait gangguan kardiovaskuler dan syaraf.
6. Bahaya Lain Terkait K3
Bahaya lain terkait K3 yang berisiko menimbulkan
dampak negatif terhadap fasilitas, pelayanan, citra
fasyankes, dan lain-lain, seperti :
- Bencana alam: angin kencang, gempa bumi, tsunami,
banjir, gunung meletus, pergeseran tanah, kemarau.
- Bahaya teknologi: kegagalan listrik, kegagalan genset,
kegagalan IPAL, terhentinya pasokan air bersih,
kegagalan sistem sirkulasi udara, kegagalan gas medik.
6. Bahaya Lain Terkait K3
- Bahaya teknologi lainnya; kegagalan pembuangan
limbah padat, kegagalan fire detection, kegagalan fire
protection, kerusakan sistem informasi, kegagalan sistem
komunikasi, kelangkaan bahan bakar, kelangkaan logistik
bahan makanan, kegagalan Water Treatment Plant WTP),
korsleting/hubungan pendek arus listrik.
- Keamanan: penculikan anak, pencurian, perkelahian,
ancaman orang bersenjata, demonstrasi, ancaman bom,
penyalahgunaan limbah.
- Dan lain-lain
B. Pengendalian Risiko
Pengendalian risiko  tahapan terakhir dalam manajemen
risiko. Bila tingkat risiko belum dapat diterima, maka
risiko harus dikendalikan sampai kepada tingkat risiko
yang dapat diterima (tidak memiliki dampak kesehatan
dan keselamatan pada pekerja yang berarti).
Metode pengendalian dapat diterapkan berdasarkan
hierarki dan lokasi pengendalian.
Hierarki pengendalian merupakan upaya pengendalian mulai
dari efektivitas yang paling tinggi hingga rendah.

Gambar 4. Hierarki Pengendalian Risiko K3


Berikut penjelasan dari hierarki pengendalian terdiri dari:
Eliminasi
Eliminasi merupakan langkah pengendalian yang paling
baik untuk mengendalikan pajanan karena menghilangkan
bahaya dari tempat kerja. Namun, beberapa bahaya sulit
untuk benar-benar dihilangkan dari tempat kerja.
Substitusi
Subtitusi merupakan upaya penggantian bahan, alat atau
cara kerja dengan alternatif lain dengan tingkat bahaya
yang lebih rendah sehingga dapat menekan kemungkinan
terjadinya dampak yang serius. Contohnya mengganti
pelarut benzena menjadi toluen.
Berikut penjelasan dari hierarki pengendalian terdiri dari:
Pengendalian Teknik Pengendalian teknik merupakan
pengendalian rekayasa desain alat dan/atau tempat kerja
ataupun dengan mengganti alat dengan teknologi yang
lebih baik . Pengendalian risiko ini memberikan
perlindungan terhadap tempat kerja bukan hanya
perlindungan individu saja. Contohnya dengan melakukan
penyekatan pada ruang dengan tingkat bising yang tinggi.
Berikut penjelasan dari hierarki pengendalian terdiri dari:
Pengendalian Administratif Pengendalian administratif
berfungsi untuk membatasi pajanan pada pekerja.
Pengendalian administratif diimplementasikan bersamaan
dengan pengendalian yang lain sebagai pendukung.
Efektivitas pengendalian ini tidak setinggi eliminasi,
subtitusi, dan teknik dikarenakan pengendalian
administratif tidak membatasi jumlah pajanan namun
hanya mengurangi frekuensi pajanan saja. Contoh
pengendalian administratif ialah pelatihan pada pekerja,
penyusunan prosedur kerja bagi pekerja, pemberian izin
kerja, pengaturan terkait pemeliharaan alat.
Berikut penjelasan dari hierarki pengendalian terdiri dari:
Di fasyankes contoh pengendalian administratif yang
dapat dilakukan adalah pengaturan pembagian waktu kerja
bagi perawat, rotasi kerja petugas administrasi rumah sakit,
rotasi kerja bagi pekerja radiologi, pemakaian label pada
setiap bahan kimia, pengaturan peletakkan bahan kimia di
laboratorium, dan lainnya.
Berikut penjelasan dari hierarki pengendalian terdiri dari:
Alat Pelindung Diri Menurut Permenakertrans No
08/MEN/VII/2010, Alat Pelindung Diri (APD) adalah
suatu alat yang mempunyai kemapuan untuk melindungi
seseorang yang fungsinya mengisolasi sebagian atau
seluruh tubuh dari potensi bahaya di tempat kerja. Alat
pelindung diri tidak mengurangi pajanan dari sumbernya
hanya saja mengurangi jumlah pajanan yang masuk ke
dalam tubuh pekerja. Sifat dari alat pelindung diri ialah
eksklusif (hanya melindungi individu) dan spesifik (setiap
alat memiliki spesifikasi bahaya yang dapat dikendalikan).
Berikut penjelasan dari hierarki pengendalian terdiri dari:
Alat pelindung diri memerlukan pemeliharaan yang tepat
dan ada beberapa yang bersifat sekali pakai. Implementasi
alat pelindung diri seringkali menjadi komplementer dari
upaya pengendalian di atasnya dan/atau apabila
pengendalian di atasnya belum cukup efektif. Di bawah
ini terdapat gambar yang menunjukkan jenis-jenis alat
pelindung diri yang umum.
Gambar 6. Contoh APD di Ruang Operasi
Berdasarkan lokasinya, pengendalian risiko dapat dilakukan di
sumber, di media antara sumber dan pekerja, ataupun dilakukan
pada pekerja.
Metode yang dapat diterapkan berdasarkan lokasi
pengendaliannya dapat dilihat pada Tabel 11 berikut:
C. Komunikasi dan Konsultasi
Komunikasi dan konsultasi merupakan hal yang penting
pada setiap langkah atau tahapan dalam proses manejemen
risiko. Rencana komunikasi perlu dikembangkan baik
kepada pimpinan maupun kepada karyawan sejak tahapan
awal proses pengelolaan risiko.
Hal ini diperlukan karena persepsi risiko dapat bervariasi
pada setiap orang, karena perbedaan asumsi, konsep, isu-
isu, dan kepentingan tiap orang dalam tim.
Komunikasi dan konsultasi yang perlu menjadi perhatian termasuk:
1. Komunikasi pengelolaan risiko (pengelola K3 fasyankes) dengan pekerja yang
ada di fasyankes Komunikasi ini diperlukan untuk menyamakan persepsi tentang
bahaya dan risiko yang ada, matriks risiko, pengendalian, dan sebagainya. Semua
proses komunikasi ini harus tercatat, seperti daftar hadir rapat K3, daftar training
K3, dan sebagainya.
2. Komunikasi pekerja yang ada di fasyankes dengan pihak pengelola K3. Hal ini
bertujuan memastikan adanya temuan ataupun masalah K3 di lapangan dapat
segera diketahui oleh pengelola untuk ditindaklanjuti serta memastikan pekerja
dapat melakukan upaya K3 dengan nyaman.
3. Komunikasi internal tim K3 Hal ini bertujuan agar tercipta keharmonisan dalam
tim sehingga terhindar dari perbedaan-perbedaan persepsi terkait manajemen
risiko.
4. Komunikasi dan konsultasi dengan pihak eksternal. Hal ini dapat dibuktikan
dengan adanya studi banding (benchmark) dengan fasyankes lain yang telah
menerapkan K3, atau dengan ahli di bidang K3. Hal ini untuk memastikan bahwa
manajemen risiko yang sedang dijalankan tidak menyimpang dari
peraturan/ketetapan/standar yang ada serta adanya penilaian yang objektif sesuai
dengan sistem yang ideal.
Komunikasi internal tim K3 Hal ini bertujuan agar tercipta
keharmonisan dalam tim sehingga terhindar dari perbedaan-
perbedaan persepsi terkait manajemen risiko.
1. Komunikasi dan konsultasi dengan pihak eksternal. Hal ini
dapat dibuktikan dengan adanya studi banding (benchmark)
dengan fasyankes lain yang telah menerapkan K3, atau
dengan ahli di bidang K3. Hal ini untuk memastikan bahwa
manajemen risiko yang sedang dijalankan tidak menyimpang
dari peraturan/ketetapan/standar yang ada serta adanya
penilaian yang objektif sesuai dengan sistem yang ideal.
D. Pemantauan dan Telaah Ulang
Pemantauan selama pengendalian risiko berlangsung perlu
dilakukan untuk mengetahui perubahan-perubahan yang bisa
terjadi. Perubahan-perubahan tersebut kemudian perlu ditelaah
ulang untuk selanjutnya dilakukan perbaikanperbaikan. Pada
prinsipnya pemantauan dan telaah ulang perlu untuk dilakukan
untuk menjamin terlaksananya seluruh proses pengelolaan
risiko dengan optimal.
E. Manajemen Risiko Lain Terkait K3
Seperti halnya manajemen risiko K3, risiko lain yang terkait
K3 seperti bencana alam, kebakaran, keamanan, gangguan
terhadap citra fasyankes, dan lainnya perlu diidentifikasi,
dianalisis, dievaluasi, dan dikendalikan dengan menggunakan
formulir kerentanan bahaya (Hazard Vulnerability Assessment).
Komunikasi dan konsultasi serta pemantauan dan telaah ulang
pun harus dilakukan pada manajemen risiko lain ini.
Daftar Singkatan Terkait Manajemen Risiko K3
APD : Alat Pelindung Diri
AS/NZS : Australian Standard/New Zealand Standard
CO : Carbon Monoxide
CO2 : Carbon Dioxide
Fasyankes : Fasilitas Pelayanan Kesehatan
GBP : Great Britain Poundsterling
GDP : Gross Domestic Product
HIV/AIDS : Human Immunodeficiency Virus/
Acquired Immunodeficiency Syndrome
IGD : Instalasi gawat Darurat
ILO : International Labour Organization
ISO : International Organization for Standardization
K3 : Keselamatan dan Kesehatan Kerja
KAK : Kecelakaan Akibat Kerja
K : Konsekuensi
Daftar Singkatan Terkait Manajemen Risiko K3

NIOSH : The National Institute for Occupational Safety and Health


NO2 : Nitrogen Dioxide
N2O : Nitrous Oxide
OSHA : Occupational Safety and Health Administration
P : Probabilitas
P3K : Pertolongan Pertama Pada Kecelakaan
PAK : Penyakit Akibat Kerja
Permenakertrans: Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi
SDM : Sumber Daya Manusia
TB : Tuberculosis
UU : Undang-undang
WHO : World Health Organization
WTP : Water Treatment Plant

Anda mungkin juga menyukai