Anda di halaman 1dari 6

A.

QS Hud ayat 88

‫ت َع لَ ٰى‬ ُ ‫ُخ الِ َف ُك ْم إِ ىَل ٰ َم ا أَ ْن َه‬


ُ ‫اك ْم َع ْن هُ ُك ْن‬ َ ‫َن أ‬
ْ ‫يد أ‬ ِ ‫ال يَ ا َق ْو ِم أَر أ َْي تُ ْم إِ ْن ۚ و َم ا أ‬
ُ ‫ُر‬ َ َ‫ق‬
َ َ
‫ت ۚ َو َم ا َت ْو فِ ِيق ي‬
ُ ‫اس تَ طَ ْع‬ ْ ِ‫يد إِ اَّل ا إْل‬
ْ ‫ص اَل َح َم ا‬ ِ ‫َب يِّنَ ٍة ِم ْن ر يِّب و ر َز قَ يِن ِم ْن هُ ِر ْز قً ا َح س نً ا ۚ إِ ْن أ‬
ُ ‫ُر‬ َ ََ َ
ِ ِ ِ ِ ِ
‫يب‬ ُ ‫إِ اَّل بِ اللَّه ۚ َع لَ ْي ه َت َو كَّ ْل‬
ُ ‫ت َو إ لَ ْي ه أُن‬
“Syu'aib berkata: "Hai kaumku, bagaimana pikiranmu jika aku mempunyai bukti yang nyata
dari Tuhanku dan dianugerahi-Nya aku dari pada-Nya rezeki yang baik (patutkah aku menyalahi
perintah-Nya)? Dan aku tidak berkehendak menyalahi kamu (dengan mengerjakan) apa yang aku
larang. Aku tidak bermaksud kecuali (mendatangkan) perbaikan selama aku masih berkesanggupan.
Dan tidak ada taufik bagiku melainkan dengan (pertolongan) Allah. Hanya kepada Allah aku
bertawakkal dan hanya kepada-Nya-lah aku kembali”. (QS Hud ayat 88)

Mendengar tuduhan mereka itu, dia yakni Nabi Syu’aib as. berkata, “Hai kaumku, bagaimana
pikiran kamu yakni beritahulah aku jika seandainya aku mempunyai bukti yang nyata dari Tuhan
pemelihara dan pembimbingku dan diamugrahi-Nya aku dari-Nya rezeki yang baik yakni kenabian,
patutkah aku menyalahi perintah-Nya? Dan aku tidak berkehendak menyalahi kamu lalu menuju
kepada apa yang aku larang kamu mengerjakannya yakni aku tidak melarang kamu melakukan
sesuatu lalu aku mengerjakan apa yang aku larang itu. Aku tidak bermaksud kecuali melakukan dan
mengundang hadirnya perbaikan selama aku berkesanggupan. Dan tidak ada taufik bagiku melaikan
dengan pertolongan Allah. Hanya kepada-Nya aku bertawakal yakni berserah diri setelah usaha
maksimal dan hanya kepadanya aku kembali.

Kata Bayyinah/bukti yang dimaksud oleh ayat ini boleh jadi dalam arti mukjizat, yakni suatu
peristiwa luar biasa yang ditantangkan kepada siapa yang tidak mempercayai seorang nabi yang di
utus kepadanya, dan yan ternyata bukti itu membungkam mereka. Boleh jadi bukti dimaksud adalah
keterangan lisan yang menjadi dalil dan bukti kebenaran yang membungkam lagi tidak dapat mereka
tolak.

Banyak ulama memahami kata Rizqan Hasanan/rizki yang baik dalam arti kenabian. Memang
rezeki, dari segi bahasa, pada mulanya hanya berarti pemberian untuk waktu tertentu. Kemudian arti
asal ini berkembang, sehingga rezeki antara lain diartikan sebagai pangan, pemenuhan kebutuhan,
gaji, hujan dan lain lain.

Namun demikian, beliau menamai kenabian yang dianugrahkan Allah kepadanya dengan rizki
yang baik. Hal tersebut untuk menghadapkan anugrah itu dengan harta yang disebut oleh kaumnya
sebagai wewenang penuh mereka untuk memperoleh dan membelanjakannya.
Disisi lain penyifatan rezeki dengan yang lain mengisyaratkan bahwa pada rizki yang tidak
baik. ini, antara lain, jika perolehannya tidak sesuai dengan tuntunan agama seperti, misalnya, melalui
pengurangan takaran yang dilakukan oleh kaum nabi Syu’aib AS itu.

Thabathab’i memahami penggalan pertama dari ucapan nabi Syu’aib AS, diatas dalam arti:
“beritahulah aku seandainya aku seorang rasul utusan Allah kepada kamu, dan aku secara khusus
dianugrahi-Nya wahyu, pengetahuan dan tuntunan syariat, serta dikukuhkan dengan bayyinah/bukti
yang membenarkan yang aku sampaikan, apakah aku seorang yang bodoh, lemah pikiran? atau
apakah tuntunan yang aku sampaikan kepicikan ? apakah itu kesewenangan dari aku atas diri kamu,
atau perampasan kebebasan kamu ? sungguh hanya Allah sendiri pemilik segala sesuatu. Kalian tidak
bebas bila dihadapkan kepada-Nya, bahkan kalian adalah hamba-hamba-Nya. Dia yang
memerintahkan kalian sesuai kebijaksanaanya. Dia pemilik ketetapan dan kepada-Nya saja kalian
akan kembali.

Thahir Ibnu Asyur berpendapat bahwa perandaian Nabi Syu’aib AS. Itu beliau maksudkan
bermakna: “Jika perandaianku itu benar maka apa yang dapat kamu lakukan untuk mendustakan
aku ?” atau : “ apakah kamu terdapat terhindar dari sangsi yang dapat dijatuhkan atas kamu ? “ini,
tulisannya, adalah peringatan kepada mereka atas asumsi - untuk mereka - bahwa kemungkinan
beliau benar. Karena itu, Nabi Syu’aib AS setelah peringatan itu seakan-akan melanjutkan,
“seharusnnya kamu, wahai kaumku, mempertimbangkan kemungkinan ini.” atau : “seharusnya kamu
mempelajari hakikat apa yang saya larang itu sehingga kamu mengetahui bahwa tuntunan tersebut
adalah untuk kemaslahatan kamu sendiri.”1

B. QS. Yusuf ayat 35

ِ ‫مُثَّ ب َد ا هَل م ِم ن ب ع ِد م ا ر أَو ا ا آْل ي‬


ٍ‫ات لَ يَ س ُج ُن نَّهُ َح ىَّت ٰ ِح ني‬
ْ َ ُ َ َ َْ ْ ُْ َ
“Kemudian timbul pikiran pada mereka setelah melihat tanda-tanda (kebenaran Yusuf)
bahwa mereka harus memenjarakannya sampai sesuatu waktu”. (QS. Yusuf ayat 35)

Bubar sudah para undangan, tapi pembicaraan menyangkut Yusuf AS dan sikap istri pejabat
itu tidak berakhir, bahkan makin meluas, karena kini yang terlibat sudah sangat banyak. sebagian
membicarakan ke-elokan Yusuf AS. dan budi luhurnya, sebagian menceritakan apa yang terjadi di
ruang makan saat menghadiri undangan, dan sebagian yang lain, terutama yang ingin memancing di
air keruh, membicarakan istri pejabat itu. Kini nama baik salah seorang pejabat telah mulai tercemar.
Ini bahkan dapat menggoyahkan wibawa pemerintah. Ini harus dihentikan, dan tentu saja itu tidak
sulit dilaksanakan pada satu masyarakat yang tidak berketuhanan yang maha Esa, apalagi dalam

1
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, Jakarta: lentera hati, 2002 hlm, 319.
masyarakat pejat atau dari penguasa yang hidup dalam keluarga yang melepaskan diri dari nilai-nilai
agama dan moral.

Sebenarnya sejak semula saat tertangkap basahnya istri pejabat itu didepan pintu, telah
terbukti kebenaran Yusuf AS. Tetapi mereka mengambil tindakan yang keliru untuk waktu yang
sedemikian lama sebagaimana dipahami dari kata “kemudian”. Dan kini mereka semakin sadar dan
nampak bagi mereka bahwa memang tepat jika Yusuf AS. dipenjarakan, apalagi setelah sebelum ini
mereka telah melihat tanda-tanda kebenaran Yusuf AS. dan melihat pula tanda-tanda dan nampak
buruk yang dapat di akibatkan membiarkannya tanpa dipenjara. Akhirnya lahir kesepakatan bahwa
mereka yakni suami wanita itu bersama rekan rekannya harus membersihkan nama baik keluarga
dengan memenjarakannya samp suatu waktu yakni sampai keadaan tenang dan pembicaraan tetang
persoalan itu mereda.2

C. QS Al-Muddasir 1-7

‫) َوال مَتْنُ ْن تَ ْستَكْثُِر‬٥( ‫الر ْجَز فَ ْاه ُج ْر‬ ِ


َ َ‫) َوثِياب‬٣( ‫ك فَ َكِّبْر‬
ُّ ‫) َو‬٤( ‫ك فَطَ ِّه ْر‬ َ َّ‫) َو َرب‬٢( ‫) قُ ْم فَأَنْذ ْر‬١( ‫يا أ َُّي َها الْ ُمدَّثُِّر‬

٧( ْ ‫اصرِب‬ ِ
ْ َ‫ك ف‬
َ ِّ‫) َولَرب‬٦(
Artinya:

1. Hai orang yang berkemul (berselimut)

2. Bangunlah, lalu berilah peringatan

3. Dan tuhanmu agungkanlah

4. Dan pakaianmu bersihkanlah

5. Dan perbuatan dosa tinggalkanlah

6. Dan janganlah kamu memberi (dengan maksud) memperoleh (balasan) yang lebih banyak.

7. Dan untuk (memenuhi perintah) tuhanmu, bersabarlah

Wahai orang yang berselimutkan pakaiannya karena takut dan kecut melihat malaikat ketika
permulaan turunnya wahyu, singsingkanlah lengan bajumu dan peringkatkan penduduk Mekah akan
siksaan pada hari yang besar, dan ajaklah mereka untuk mengetahui kebenaran agar mereka selamat
dari kengerian hari yang karenanya setiap yang manyusui meninggalkan susuannya.

2
Ibid, hlm. 436.
Seorang dai yang mengajak orang kepada Tuhannya Yang Maha Besar lagi Maha Tinggi
tidak akan dapat melakukan yang demikian kecuali jika dia berakhlak mulia dan mempunyai sifat-
sifat yang terpuji. Oleh karena itu, maka dia berfirman:

Agungkan Tuhanmu dan Pemilik segala urusanmu dengan beribadah kepada-Nya dan penuh
harap kepada-Nya, tanpa tuhan-tuhan dan serikat-serikat lainnya.

Semakna dengan ayat ini adalah firman-Nya (An-Nahl, 16:2)

Ibnu Abbas pernah ditanya tentang hal tersebut, maka jawabannya,” Janganlah engkau
mengenakannya untuk maksiat dan ingkar janji.” Kemudian katanya, “Tidakkah engkau mendengar
ucapan Gailan ibnu Maslamah As-Saqafi :

“Alhamdulillah,aku tidak mempunyai pakaian jahat yang kupakai dan tidak pula pakaian ingkar yang
puas rasanya.”

Orang-orang Arab mengatakan tentang seseorang yang ingkar janji dan tidak menepatinya,
bahwa dia kotor pakaian. Tetapi apabila dia menepati janji dan tidak ingkar, maka mereka
mengatakan bahwa dia bersih pakaian. Berkata pula Samual bin ‘Adiyah seorang Yahudi:

“Jika orang tidak menodai kehormatannya dengan cela, maka segala pakaian yang dikenakan itu
indah.”

Makna-makna yang demikian ini tetap dipergunakan di Mesir dan negeri-negeri lainnya.
Mereka mengatakan falaanun tahahiruz zail, apabila mereka hendak menyatakan bahwa si fulan tidak
bersentuhan dengan seorang perempuan asing sama sekali.

Sejumlah imam berpendapat bahwa yang dimaksud dengan tahaaratus siyaab, adalah mencuci
pakaian itu dengan air, apabila pakaian tersebut terkena najis. Pendapat yang demikian diriwayatkan
dari banyak sahabat dan tabi’in. Dan pendapat itu pula yang dipilih oleh Imam Syafii, sehingga ia
mewajibkan untuk mencuci najis dari pakaian musalli.

Pendapat Sosiolog tentang Hikmah Kebersihan Badan dan Pakaian

Telah jelas pula bagi orang-orang yang sibuk dengan pokok-pokok perundangan, dan para
ilmuan sosial Eropa, bahwa orang yang paling kotor tubuh dan pakaiannya adalah orang yang paling
banyak dosanya, dan orang yang paling bersih badan dan pakaiannya adalah orang yang paling jauh
dari dosa.

Oleh karena itu, maka mereka memerintahkan kepada orang-orang tahanan agar banyak
mandi dan membersihkan pakaian, sehingga mereka akan baik akhlaknya dan keluar dari penjara serta
lebih dekat kepada akhlak utama dari pada akhlak yang hina.
Berkata Profesor Bentham dalam bukunya Usuulut Tasyrii’ (The Prinsiples of Morals and
Legislation), “Sesungguhnya kebersihan yang banyak dalam agama Islam itu membawa para
pengikutnya kepada ketinggian akhlak dan keutamaan, apabila mereka menjalankan perintah-perintah
agama mereka dengan sebaik-baiknya.

Dari sini dapat diketahui rahasia firman-Nya:

Jauhilah maksiat dan doa yang dapat menyampaikan kepada azab di dunia dan akhirat. Karena jiwa
itu jika bersih dari maksiat dan do’a akan siap untuk berlapang kepada yang lain dan mau mendengar
dan rindu kepada apa yang diserukan oleh juru dakwah.

Berbagai Rintangan Kaum Penyeru Kebaikan

Biasanya seorang dai itu akan menghadapi dua rintangan :

 Tipuan, kebanggaan dan kebesaran, sehingga ia akan mengatakan, “ Akulah yang memberika
kepadamu banyak nikmat dan kebaikan.”

 Musuh-musuh. Mereka itu mengganggu dan menunggu-nunggu kesempatan yang buruk baginya,
serta mengikutinya disetiap tempat dan berkomplot untuk menghadapinya siang malam.

Itulah sebagian dari faktor-faktor terbesar yanga menghalangi para dai sehingga mereka
mundur ke belakang dan mengatakan, “ mengapa kita menghadapi kaum yang tidak mendengar kata-
kata kita.” Kita jauhi saja orang-orang itu, karena mereka tidak mengetahui nilai nikmat dan tidak
pula tahu berterima kasih kepada orang yang berbuat baik kepada mereka. Oleh karena itu, maka
Allah berfirman:

Janganlah engakau memberikan kepada sahabat-sahabatmu wahyu yang engkau beritahukan


dan sampaikan kepada mereka dengan mengharap engkau akan banyak memberikan hal itu kepada
mereka. Dan maknanya mungkin juga, “ Janganlah engkau merasa lemah untuk memperbanyak
ketaatan yang diperintahkan kepadamu sebelum ayat ini.”

Mungkin pula maksudnya seperti dikatakan oleh Ibnu Kisan:

“Janganlah engkau banyak menginginkan amal, sehingga engkau memandangnya dari dirimu. Akan
tetapi amalmu adalah pemberian dari Allah kepadamu, karena Dia telah menjadikan amal itu sebagai
jalan untuk beribadah kepada-Nya.”

Bersabarlah dalam taat dan ibadah kepada-Nya. Berkata Muqatil dan Mujahid, bersabarlah
dalam menghadapi gangguan orang yang menentangmu.
Sesudah menyelesaikan ptunjuk kepada rasul-Nya, dia menambahkan dengan ancaman
kepada orang-orang yang celaka. Firman-Nya:

Bersabarlah terhadap gangguan mereka, karena di hadapan mereka akan ada suatu yang sulit, yang
pada hari itu mereka merasakan akibat dari kekafiran dan gangguan mereka, yaitu ketika sangkakala
ditiup. Pada saat itulah engkau akan memperoleh balasan yang baik dan nikmat yang abadi.

Kemudian dia memperkuaat hal itu dengan firman-Nya:

Pada hari itu mereka menghadapi kesulitan yang tidak ada lagi kemudahan pada hari tersebut dan
sesudahnya. Ini bertentangan dengan kebiasaan yang berlaku, bahwa sesudah setiap kesulitan terdapat
kemudahan. Kesulitan pada hari itu bagi mereka ialah menghadapi hisab dan diberi kitab dari sebelah
kiri mereka, hitam muka mereka dan anggota badan mereka pun berbicara, sehingga mereka
dipermalukan dihadapan pimpinan para saksi.

Sedang orang-orang mukmin akan mendapatkan kemudahan pada hari itu, karena mereka
tidak direpotkan dengan hisab dan mereka berjalan dengan wajah yang berseri-seri. 3

3
Al-Maraghi, Tafsir al-maraghi, Semarang: CV Toha Putra, 1995, hlm, 220-224.

Anda mungkin juga menyukai