Dosen Pengampu :
Dr. Tine Yuliantini MM
Disusun Oleh :
Reza Rakha
43119010111
B. Rumusan Masalah
1. Menjelaskan perilaku organisasi
2. Menjelaskan organisasi dan individu
3. Mengidentifikasi dan menganalisis kelompok dalam oerganisasi
4. Mengidentifikasi dan menganalisis Kepemimpinan, Kekuasaan, dan Politik
5. Mengidentifikasikan dan menganalisis Konflik dan Negosiasi
6. Mengidentifikasikan dan menganalisis komitmen organisasi
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Perilaku organisasi
Manusia dalam memenuhi kebutuhannya tidak bisa berdiri sendiri. Agar kebutuhan itu
dapat terpenuhi maka manusia harus berorganisasi. Organisasi merupakan suatu alat
yang diperlukan dalam masyarakat untuk mencapai tujuan tertentu melalui suatu
tindakan yang harus dilakukan dengan kerjasama. Handayaningrat (1983) menyatakan
organisasi adalah suatu kelompok manusia yang saling kerjasama dan menyumbangkan
usahanya terhadap tercapainya suatu tujuan. Dengan kata lain, organisasi merupakan
sarana atau alat bagi orang-orang dalam bekerja sama untuk mencapai tujuan yang
diharapkan yang di dalamnya terdapat hubungan kerja yang saling berhubungan satu
sama lain.
Pada dasarnya di dalam suatu organisasi terdapat pola-pola hubungan yang saling
berkaitan satu sama lain dan setiap individu dalam organisasi tersebut yang ditunjukkan
dalam bentuk perilaku atau usahanya dalam proses pencapaian tujuan organisasi.
Perilaku menunjuk pada tanggapan atau reaksi individu terhadap rangsangan atau
lingkungan. Perilaku seseorang dalam suatu organisasi itu ditentukan oleh banyak
faktor. Adakalanya perilaku seseorang dipengaruhi oleh kemampuannya, ada pula
karena kebutuhannya dan ada juga karena dipengaruhi oleh pengharapan dan
lingkungannya. Oleh karena banyaknya faktor yang memengaruhi perilaku manusia,
sehingga seringkali sesuatu organisasi akan menghadapi kesulitan di dalam
menciptakan suatu keadaan yang memimpin ke arah tercapainya efektivitas pelaksanaan
kerja.
Untuk itu, dalam perilaku organisasi peran manajer atau pemimpin akan berpeluang
untuk membantu melihat manfaat dari keragaman akibat terjadinya perubahan yang
dinamis dalam diri manusia dan organisasi. Seperti yang dinyatakan Davis dan
Newstrom (1989) bahwa perilaku organisasi adalah bidang studi yang mempelajari
bagaimana manusia berperilaku dan bertindak dalam organisasi. Artinya, perilaku dan
tindakan manusia merupakan variabel utama yang memengaruhi perilaku sebuah
organisasi.
Dengan demikian, bidang studi perilaku organisasi, akan berupaya memahami
organisasi dari perspektif manusia sebagai titik sentralnya. Namun, karena manusia itu
sendiri sebagai objek studi dan bersifat multi perspektif, maka yang menjadi perhatian
dalam perilaku organisasi hanya aspek-aspek manusia yang relevan dan terkait dengan
organisasi. Kedudukan dan peranan manusia dalam organisasi, baik sebagai individu
maupun sebagai kelompok, dalam perilaku sebuah organisasi sangat bergantung pada
bagaimana manusia dalam organisasi tersebut berperilaku dan bertindak
Pengertian perilaku organisasi menurut para ahli, yaitu:
1. Robbins & Judge (2008) yaitu perilaku organisasi adalah bidang studi yang
menyelidiki pengaruh yang dimiliki oleh individu, kelompok dan struktur terhadap
perilaku dalam organisasi, yang bertujuan menerapkan ilmu pengetahuan guna
meningkatkan keefektifan suatu organisasi.
2. Thoha (2014) mengemukakan perilaku organisasi adalah suatu studi yang
menyangkut aspek-aspek tingkah laku manusia dalam suatu organisasi atau suatu
kelompok tertentu.
3. Handoko (2000) mengatakan perilaku organisasi (organization behavior) pada
hakekatnya mendasarkan kajiannya pada ilmu perilaku itu sendiri (akar ilmu psikologi),
yang dikembangkan dengan pusat perhatiannya pada tingkah laku manusia dalam
organisasi.
4. Mullins (2005) mengatakan perilaku organisasi sebagai studi dan pemahaman tentang
perilaku individu dan kelompok dan pola struktur untuk membantu meningkatkan
kinerja dan efektivitas organisasi.
5. George & Jones (2002) mengatakan perilaku organisasi adalah sebagai suatu studi
tentang berbagai faktor yang memengaruhi tindakan (act) individu dan kelompok dalam
organisasi serta bagaimana organisasi mengelola lingkungannya.
6. Gordon (2002) mengatakan bahwa perilaku organisasi adalah konsep-konsep dan
teori-teori yang dapat membantu orang memahami, menganalisis, dan menjelaskan
perilaku dalam organisasi.
7. Greenberg dan Baron (2003) mengatakan bahwa perilaku organisasi merupakan
bidang bersifat multi disiplin yang membahas perilaku organisasi sebagai proses
individu kelompok dan organisasional.
Berdasarkan pernyataan para ahli tersebut dapat disimpulkan bahwa perilaku organisasi
adalah suatu bidang studi terapan yang mempelajari tingkah laku manusia atau perilaku
manusia dalam suatu organisasi, baik manusia dalam kapasitasnya sebagai individu
maupun manusia sebagai kelompok, serta hubungan antara manusia dan variabel yang
releven dengan organisasi dalam rangka meningkatkan efektivitas organisasi. Sebagai
suatu bidang studi, perilaku organisasi mempelajari tiga determinan dalam organisasi,
yaitu individu/ perorangan, kelompok, dan struktur. Perilaku organisasi secara langsung
berhubungan dengan pengertian, ramalan dan pengendalian terhadap tingkah laku
orang-orang dalam suatu organisasi, dan bagaimana perilaku orang-orang tersebut
memengaruhi usaha-usaha pencapaian tujuan organisasi.
Sobirin (2015) mengatakan perilaku organisasi dapat dipahami melalui tiga level
analisis berbeda, yakni level individual, kelompok, dan organisasi. Cara memahami
perilaku organisasi seperti ini bisa diartikan bahwa setiap kejadian yang sama dalam
sebuah organisasi bisa dianalisis dengan cara berbeda bergantung pada level
analisisnya. Hal ini bisa diartikan pula bahwa setiap persoalan yang terjadi dalam
sebuah organisasi tidak selalu menuntut cara penyelesaian yang sama.
1. Definisi Kelompok
a. Kelompok formal.
b. Kelompok informal
adalah persekutuan yang tidak terstruktur secara formal dan tidak ditetapkan
secara organisasi. Terbentuk dalam suasana kerja karena kebutuhan kontak sosial.
Dari kelompok ini dapat terbentuk sub klasifikasi, yaitu kelompok komando dan
kelompok tugas.
1) Kelompok komandoditentukan oleh bagan organisasi, terdiri atas individu-
individu yang melapor langsung ke manajer tertentu. Misalnya, seorang
Kepala Sekolah Dasar dan 14 orang guru membentuk kelompok komando.
Contoh lainnya, seorang direktur audit dengan lima orang inspekturnya.
Kelompok informal memberikan jasa yang besar dalam pergaulan karena dapat
memenuhi kebutuhan sosial bagi para anggota. Akibat dari interaksi yang dihasilkan
dari berdekatannya tempat kerja atau interaksi tugas, beberapa karyawan sering
makan siang bersama, pulang kerja bersama, atau saling mengundang ke rumah
kediamannya. Para ahli sepakat bahwa hubungan kelompok seperti ini, walaupun
tercipta secara informal tetapi besar sekali pengaruhnya terhadap perilaku dan kinerja
mereka dalam organisasi.
Status, bergabung ke dalam kelompok yang dipandang penting oleh orang lain
memberikan pengakuan dan status bagi para anggotanya.
Harga Diri, kelompok bisa memberikan perasaan harga diri yang lebih baik
kepada anggotanya. Hal ini berarti bahwa selain memberitahu status kepada
mereka di luar kelompok, keanggotaan juga memberikan perasaan semakin
berharga ke dalam anggota itu sendiri.
Kekuasaan, apa yang tidak dapat dicapai secara individu seringkali menjadi
mungkin jika diraih melalui tindakan kelompok. Munculnya suatu kekuatan
karena jumlah orangnya banyak.
Pencapaian Sasaran, ada saatnya butuh lebih dari satu orang untuk
menyelesaikan tugas tertentu. Ada kebutuhan untuk mengumpulkan bakat,
pengetahuan, atau kekuasaan untuk menyelesaikan pekerjaan. Dalam kondisi
semacam ini, manajemen akan bergantung pada penggunaan kelompok formal.
2) Keributan (storming), tahapan ini adalah tahap konflik di dalam kelompok. Para
anggota menerima baik eksistensi kelompok, tetapi melawan batasan-batasan
yang diterapkan oleh kelompok terhadap individualitas. Selanjutnya akan terjadi
konflik mengenai siapa yang akan mengendalikan kelompok. Apabila tahapan ini
telah terlewati, terdapat hierarki yang jelas tentang kepemimpinan di dalam
kelompok itu.
3) Penormalan (norming), pada tahapan ini berkembang hubungan yang akrab dan
kelompok menunjukkan sifat kohesif (saling tarik menarik). Saat itu telah ada
rasa memiliki terhadap identitas kelompok dan persahabatan yang kuat. Pada
tahapan penormaan ini akan berakhir setelah terdapat kesesuaian harapan
bersama dalam organisasi, yang termasuk perilaku yang benar.
Pra tahap 1
◦
◦◦
◦◦
◦
◦◦
◦◦
Terdapat satu penafsiran dari para ahli bahwa efektivitas suatu kelompok akan
dicapai setelah melewati empat tahapan pertama. Pada hal-hal tertentu, tingkat
konflik yang tinggi justru akan menghasilkan kinerja yang tinggi, namun bisa juga
terjadi sebaliknya.
Hal lain yang perlu dipahami bahwa model lima tahap ini sama sekali
mengabaikan konteks organisasi. Artinya, beberapa orang yang terlibat dalam suatu
kelompok dapat langsung bekerja secara efektif tanpa harus melalui tahapan- tahapan
seperti yang diuraikan di atas. Hal ini mungkin terjadi, misalnya terhadap tiga orang
awak pesawat terbang yang sebelumnya sama sekali tidak saling kenal, tetapi begitu
bergabung dalam satu tim untuk menerbangkan pesawat terbang pertamakalinya,
mereka dapat bekerja kompak sesuai peran dan fungsi masing-masing. Alasannya,
walaupun mereka baru saling kenal, tidak perlu menyusun rencana, membagi peran,
menentukan dan mengalokasikan sumber daya, memecahkan konflik, dan
menentukan norma seperti yang diprediksi oleh model lima tahap. Ketiga orang
tersebut masing-masing telah memiliki tugas dan tanggungjawab sesuai dengan
posisinya, setelah melakukan komunikasi seperlunya pekerjaan pun berjalan dengan
baik.
b. Model Alternatif
1) Penentuan arah kelompok, merupakan kerangka pola prilaku dan asumsi di mana
kelompok akan melakukan pendekatan terhadap proyeknya muncul dalam
pertemuan pertama. Pola yang bertahan lama dapat muncul pada detik-detik
pertama usia kelompok yang bersangkutan.
2) Lemas tanpa energi (inersia), ini terjadi setelah arah kelompok terbentuk. Arah
kelompok ini seakan ”tertulis di atas batu”, sehingga kecil kemungkinan untuk
dikaji ulang selama separuh perjalanan usia kelompok itu. Pada masa inilah
terjadinya berdiam diri atau menjadi terkunci ke dalam arah tindakan yang tetap,
disebut lemas tanpa energi. Bahkan walaupun kelompok memperoleh wawasan
baru yang menantang pola dan asumsi awal, kelompok ini tidak mampu
bertindak berdasarkan wawasan baru tersebut.
3) Transisi/peralihan mengakhiri masa inersia, kelompok mengalami transisi pada
titik waktu tertentu, mengarah kepada perubahan.
4) Transisi mengawali perubahan besar, ditandai dengan perubahan yang
terkonsentrasi dengan menanggalkan pola-pola lama dan mengadopsi perspektif
baru.
5) Inersia mengikuti masa transisi, merupakan keseimbangan baru atau kurun waktu
inersia baru. Dalam fase ini kelompok menjalankan rencana yang diciptakan
selama periode transisi.
6) Pertemuan akhir kelompok ditandai dengan adanya ledakan-ledakan terakhir dari
kegiatan untuk menyelesaikan pekerjaanya.
Ada hal lain yang perlu diketahui, bahwa suatu kelompok kerja tidak berada
dalam isolasi, melainkan berada dalam suatu sistem yang lebih besar sehingga akan
dipengaruhi oleh kondisi eksternal. Misalnya, kelompok kerja di bagian distribusi
produksi harus hidup dalam aturan-aturan dan kebijakan yang dibuat oleh manajer
pemasaran. Oleh karena itu, suatu kelompok kerja dalam organisasi akan dipengaruhi
oleh kondisi eksternal menyangkut strategi keseluruhan organisasi, termasuk struktur
wewenang, peraturan formal, sumber daya, proses seleksi karyawan, evaluasi kinerja,
sistem imbalan, budaya, dan tataran kerja fisik.
a. Kemampuan
b. Karakteristik Kepribadian
Apabila ada pertanyaan tentang ciri kepribadian mana yang dapat meramalkan
kinerja kelompok? Jawabannya tidak ada satu pun, karena kinerja kelompok akan
bermakna apabila ciri-ciri tersebut digabungkan secara terintegrasi/terpadu.
Dengan kata lain, karakteristik kepribadian akan memberikan kontribusi positif
kepada kelompok apabila muncul bersama-sama, karena apabila hanya muncul
sebagian tidak bermakna apa-apa. Misalnya, pandai bergaul saja tidak cukup
apabila tidak diimbangi dengan inisiatif, keterbukaan, kohesifitas, dan kelenturan.
Atau, memiliki inisiatif tinggi tetapi tidak terbuka dan tidak pandai bergaul, tidak
akan menghasilkan kinerja yang bermakna.
4. Struktur Kelompok
a. Kepemimpinan Formal
Hampir setiap kelompok kerja memiliki pimpinan formal. Orang yang disebut
pimpinan umumnya memiliki jabatan seperti manajer unit, manajer bagian,
penyelia, mandor, pimpinan proyek, kepala satuan tugas, atau ketua komite.
b. Peran
Penyair, musisi, atau filosof mengatakan bahwa dunia ini panggung sandiwara.
Manusia yang berada di dalamnya hanyalah pemain. Dengan ilustrasi tersebut
dapat dipahami bahwa anggota kelompok adalah pemegang peran (aktor), yang
masing-masing memainkan peran tertentu. Adapun yang dimaksud dengan peran
adalah seperangkat prilaku yang diharapkan dari seseorang yang menduduki
posisi tertentu dalam unit sosial tertentu. Secara dramatis, akan tampak sederhana
apabila seseorang memilih salah satu peran kemudian memainkannya secara
teratur dan konsisten. Apabila individu memilih satu peran dan memainkannya
dengan baik, maka kelompok akan berjalan dengan baik dan teratur. Sayangnya,
banyak di antara kita yang memegang banyak peranan karena beberapa alasan,
akibatnya banyak peran yang kurang berfungsi sehingga mengganggu kepada
sistem keseluruhan, bahkan mungkin merusak.
c. Norma
Hampir semua kelompok memiliki norma. Misalnya, seseorang tidak berani
mengkritik majikan di depan umum. Atau, seorang pegolf tidak berbicara
sewaktu temanya mendorong bola ke arah lubang. Prilaku demikian muncul
karena menghormati norma. Norma adalah standar prilaku yang dapat diterima
dan digunakan bersama oleh para anggota kelompok. Bentuk norma di setiap
kelompok mungkin saja berbeda, karena karakter kelompok pun berbeda,
misalnya kelompok kerja, kelompok profesi, kelompok hoby tertentu, kelompok
komunitas, dan kelompok masyarakat. Walaupun berbeda pada umumnya semua
kelompok memiliki norma.
Berkenaan dengan norma, terdapat beberapa hal yang perlu diketahui, antara
lain :
3) Norma tata sosial, yaitu tata aturan yang mengatur interaksi sosial dalam
kelompok. Misalnya, dengan siapa anggota kelompok makan siang,
bagaimana persahabatan di dalam dan di luar kelompok pekerjaan, dan
bentuk lain semacam itu.
4) Norma alokasi sumber daya, yaitu aturan yang berkaitan dengan gaji,
pembagian pekerjaan yang sulit, alokasi alat atau peralatan baru.
d. Status
Status adalah posisi atau peringkat yang ditentukan secara sosial yang diberikan
kepada kelompok atau anggota kelompok lain. Dalam hirarki status kehidupan
tidak ada hal yang tidak berarti apa-apa, semuanya bermakna. Status merupakan
faktor penting dalam memahami prilaku manusia, karena status merupakan
motivasi yang penting dan memiliki konsekuensi-konsekuensi. Dengan adanya
status seseorang akan mengetahui dan meyakini statusnya sendiri dan memahami
persepsi orang lain terhadap dirinya.
Dalam memahami status terdapat beberapa hal yang perlu diketahui, yaitu:
1) Status dan norma. Status memiliki beberapa pengaruh yang menarik terhadap
kekuatan norma dan tekanan untuk penyesuaian.
2) Kesetaraan status. Penting bagi anggota untuk meyakini bahwa hirarki status
itu setara. Yang dimaksud setara adalah adanya imbalan yang diterima sesuai
dengan kontribusi mereka kepada organisasi.
3) Status dan Budaya. Dalam sebuah organisasi, dua hal ini memiliki hubungan
yang erat. Perbedaan budaya akan mempengaruhi status. Namun pentingnya
status bervariasi di antara berbagai budaya. Misalnya, Prancis memiliki
kesadaran yang tinggi tentang status. Di Amerika dan Asia status berasal dari
posisi keluarga dan peran formal dalam organisasi. Tetapi sekarang status
cenderung lebih ditentukan oleh prestasi daripada pangkat dan asal keluarga.
Dalam masyarakat Sunda, status berasal dari keluarga (Raden) dan pekerjaan
(sebagai PNS).
Dalam organisasi penting untuk dipahami, siapa dan apa yang menentukan
status apabila berinteraksi dengan orang-orang dari budaya yang berbeda
dengan budaya sendiri.
e. Komposisi.
Pada umumnya, setiap kelompok menuntut adanya anekaragam keterampilan dan
pengetahuan. Dengan demikian, sudah dapat dipastikan bahwa kelompok bersifat
heterogen, atau dibentuk oleh individu-individu yang tidak mirip. Kelompok
dengan karakteristik demikian lebih cenderung memiliki kemampuan yang
efektif, terutama pada kelompok dengan tugas-tugas yang menuntut kreativitas.
Namun dalam kenyataan tidak selalu sama dan serupa, karena efektivitas
kelompok tidak hanya ditentukan oleh komposisi individu yang beranekaragam.
Dalam hal tertentu, keanekaragaman kelompok amat berguna untuk mengerjakan
tugas yang membutuhkan aneka titik pandang. Tetapi bagi kelompok yang secara
budaya cenderung heterogen, akan menghadapi banyak kesulitan dalam saling
belajar bekerja guna memecahkan masalah, walaupun kesulitan tersebut pelan-
pelan akan menghilang seiring dengan berjalannya waktu. Dengan kata lain,
kelompok yang memiliki individu beranekaragam memerlukan waktu untuk
saling memahami sebelum tercipta kesepakatan.
Berkenaan dengan komposisi ini, terdapat istilah lain yang akan dijumpai dalam
organisasi, yaitu demografi kelompok. Yang dimaksud adalah sampai di tingkat
mana anggota kelompok berbagi atribut demografi bersama, seperti usia, jenis
kelamin, ras, tingkat pendidikan, atau lamanya mengabdi kepada organisasi dan
dampak atribut itu pada keluar masuknya karyawan. Jadi yang diperhatikan di
sini bukan pria atau wanitanya, bukan pula lama dan sebentarnya masa
pengabdian seseorang kepada organisasi, melainkan atribut individu dalam
hubungannya dengan atribut lain, atau dengan siapa ia bekerja.
f. Keterpaduan
Keterpaduan adalah suatu gambaran sampai tingkat mana para anggota tertarik
satu sama lain dan termotivasi untuk tetap di dalam kelompok. Keterpaduan di
dalam kelompok menduduki posisi penting karena berhubungan dengan
produktivitas.
5. Proses Kelompok
Di samping itu, terdapat satu hal lagi yang berpengaruh terhadap efektivitas
suatu kelompok, yaitu efek fasilitas sosial. Dalam hal ini, membaik atau
memburuknya kinerja sebagai respons atas kehadiran orang lain. Maka, efek ini tidak
sepenuhnya merupakan fenomena kelompok, situasi kelompok itu justru cenderung
memberikan kondisi untuk terjadinya fasilitas sosial. Hasil penelitian menunjukan
bahwa tugas-tugas rutin sederhana cenderung dipercepat dan dibuat lebih tepat oleh
kehadiran orang lain. Apabila pekerjaan itu lebih rumit dan memerlukan perhatian
yang lebih cermat, kemungkinan besar kehadiran orang lain mempunyai efek negatif
terhadap kinerja. Implikasinya, untuk mengurangi efek negatif dari kehadiran orang
lain (karyawan baru), penerapan program pelatihan dan pendidikan merupakan solusi
terbaik. Atau melatih orang lain untuk pekerjaan sulit akan mengurangi dampak
negatif dari efek fasilitas sosial.
pemimpin yang berhasil dan pemimpin yang yang gagal. Ralp Stogdill
mengidentifikasikan enam klasifikasi dari sistem kepemimpinan, yaitu
karakteristik fisik, latar belakang sosial, intlagensia, kepribadian,
karakteristik hubungan tugas, dan karakteristik sosial.
b. Teori Perilaku. Selama tahun1950an, ketidak puasan dengan
pendekatan teori sifat dengan kepemimpinan mendorong ilmuan
perilaku untuk memusatkan perhatiannya pada perilaku pemimpin
tentang apa yang diperbuat dan bagaimana ia melakukannya. Dasar
dari pendekatan gaya kepemimpinan diyakini bahwa pemimipin yang
efektif menggunakan gaya (style) tertentu mengarahkan individu atau
kelompok untuk mencapai tujuan tertentu. Berbeda dengan teori sifat,
pendekatan perilaku dipusatkan pada efektivitas pemimpin, bukan
pada penampilan dari pemimpin tersebut. Teori perilaku menekankan
pada dua gaya kepemimpinan yaitu gaya kepemimpinan beorientasi
tugas (task orientation) dan orientasi pada karyawan (employ
orientation). Orientasi tugas adalah perilaku pimpinan yang
menekankan bahwa tugas-tugas dilaksanakan dengan baik dengan
cara mengarahkan dan mengendalikan secara ketat bewahannya.
Orientasi Karyawan adalah perilaku pimpinan yang menekankan
pada memberikan motivasi kepada bawahan dalam melaksanakan
tugasnya dengan melibatkan bawahan dalam proses pengambilan
keputusan yang berkaitan dengan tugasnya, dan mengembangkan
hubungan yang bersahabat saling percaya mempercayai dan saling
menghormati diantara anggota kelompok.
c. Teori Situasional Selama akhir tahun 1960an, peneliti
menyadari keterbatasan dari pendekatan perilaku, maka
Sepintas lalu istilah kekuasaan merupakan sesuatu yang kurang disukai, karena
menggambarkan kesombongan, keserakahan, dan merusak. Oleh karena itu, orang
yang memiliki kekuasaan cenderung menyangkalnya, orang yang menginginkan
kekuasaan berusaha untuk tidak tampak memperjuangkannya, dan orang yang dengan
mudah memperoleh kekuasaan akan merahasiakan cara mendapatkannya.
1. Pengertian
2. Dasar-dasar Kekuasaan
Menurut Max Weber dalam Thoha (1992:3234), ”kekuasaan itu sebagai suatu
kemungkinan yang membuat seorang aktor di dalam suatu hubungan sosial berada
dalam suatu jabatan untuk melaksanakan keinginannya sendiri dan yang
menghilangkan halangan”. Sedangkan Walter R Nord (1987:675), kekuasaan adalah
”kemampuan untuk mempengaruhi aliran energi dan dana yang tersedia untuk
mencapai suatu tujuan yang berbeda secara jelas dari tujuan lainnya” Kekuasan
dipergunakan apabila tujuan-tujuan tersebut paling sedikit mengakibatkan perselisihan
satu sama lain. Kekuasaan yang dimiliki seseorang berasal dari salah satu dari dua
sumber yang lazim terjadi, yakni sumber formal atau sumber pribadi.
a. Kekuasaan formal,
1) Kekuasaan pakar (expert power), yaitu pengaruh yang dimiliki seseorang sebagai
akibat dari kepakaran atau keahlian, keterampilan istimewa, atau pengetahuan.
Saat ini, kepakaran ini telah menjadi sumber kekuasaan yang paling ampuh karena
dunia telah menjadi semakin berorientasi kepada teknologi. Pekerjaan semakin
dispesialisasikan, orang semakin tergantung pada pakar untuk mencapai sasaran
yang dituju. Misalnya, seorang dokter memiliki keahian yang makin spesial, maka
sebagian besar orang akan mengikuti nasihat dokter tersebut karena keahliannya.
Selain itu, masih terdapat contoh lain yang sering dirasakan dalam kehidupan
sehari- hari, antara lain keahlian di bidang komputer, akuntan, insinyur, psikolog,
ulama, paranormal, dan lain-lain.
c. Dalam hal riset tentang kepemimpinan dan kekuasaan, juga terdapat perbedaan.
Riset kepemimpinan berorientasi kepada pengambilan keputusan dan bersifat
individu. Sedangkan kekuasaan berfokus kepada taktik untuk memperoleh
kepatuhan bawahan. Di samping itu, riset tentang kekuasaan jauh melampaui
batas-batas individu, karena kekuasaan tidak hanya milik individu tetapi dapat juga
dimiliki oleh kelompok.
3. Taktik Kekuasaan
Taktik ini digunakan oleh para manajer menengah agar dapat dilakukan oleh
karyawan pelaksana. Tujuan taktik ini untuk mempelajari cara karyawan dalam
menterjemahkan dasar kekuasaan mereka ke dalam tindakan yang diinginkan.
Berdasarkan hasil penelitian para ahli, terdapat tujuh cara atau strategi yang paling
banyak digunakan, yaitu :
a. Nalar, menggunakan fakta dan data untuk membuat gagasan yang logis dan
rasional
b. Keramahan, bersikap rendah hati, atau menyanjung dan bersikap bersahabat
sebelum mengungkapkan permintaan.
c. Koalisi, mendapatkan dukungan orang lain dalam organisasi untuk mendukung
permintaan.
d. Tawar menawar, menggunakan perundingan melalui pertukaran manfaat atau
keuntungan.
e. Ketegasan, menggunakan pendekatan langsung secara tegas. Misalnya, permintaan
harus dipenuhi, peraturan harus dipatuhi.
f. Otoritas lebih tinggi, mendapatkan dukungan dari tingkat yang lebih tinggi dalam
organisasi untuk mendukung permintaan.
g. Sanksi, menggunakan imbalan dan hukuman sesuai dengan ketentuan yang berlaku
dalam organisasi. Misalnya, imbalan dalam bentuk kenaikan gaji atau promosi,
sedangkan sanksi dalam bentuk penilaian kinerja yang tidak memuaskan.
Oleh karena politik dalam organisasi lebih tampak sebagai tindakan, maka
dalam kajian ilmu perilaku organisasi istilah politik lebih dikenal dengan kata perilaku
politik. Menurut Robbins (2007:517) Perilaku politik adalah ”kegiatan-kegiatan yang
tidak disyaratkan sebagai bagian dari peran formal seseorang dalam organisasi, tetapi
yang mempengaruhi, atau berusaha mempengaruhi, distribusi keuntungan dan
kerugian di dalam organisasi tersebut”. Dalam prakteknya, perilaku politis menuntut
upaya penggunaan dasar-dasar kekuasaan seseorang.
Terdapat dua jenis perilaku politis dalam organisasi, yakni perilaku politis yang
sah dan perilaku politik yang tidak sah. Perilaku politis yang sah mengacu kepada
politik sehari- hari yang normal, misalnya dengan cara mengemukakan keluhan
kepada pembina atau atasan langsung, melalui rantai komando, membentuk koalisi,
merintangi kebijakan atau keputusan organisaai dengan tidak bertindak atau mematuhi
secara berlebihan aturan-aturan dan mengembangkan kontak di luar organisasi melalui
kegiatan profesional seseorang. Sedangkan perilaku politis yang tidak sah adalah
perilaku yang melanggar aturan organisasi, misalnya individu yang memainkan bola
keras, seperti sabotase, pengungkapan penyelewengan, protes simbolik seperti
mengenakan pakaian tidak ortodok atau pin protes, atau sekelompok karyawan secara
serentak tidak masuk dan menelepon menyatakan sakit.
Pada umumnya perilaku yang digunakan adalah yang sah, karena perilaku yang
tidak sah memiliki risiko tinggi, terutama akan kehilangan keanggotaan dalam
organisasi atau dipecat dengan tidak hormat. Di samping itu, penggunaan perilaku
politis yang tidak sah tidak memiliki akan kekuasaan yang cukup untuk menjamin
bahwa politik itu akan berhasil.
Maka, apabila timbul pertanyaan, mungkinkah dalam suatu organisasi bebas dari
politik dan kekuasaan? Jawabannya bisa ya bisa tidak. Jawaban ya mungkin diterima,
apabila setiap individu dalam organisasi tersebut memiliki sasaran dan kepentingan
yang sama. Sedangkan apabila tetap berlainan, politik dan kekuasaan tidak bisa
dihindari. Paktanya, setiap individu, di mana pun berada, tetap beragam atau berlainan.
Konflik berasal dari kata latin yaitu configere yang memiliki arti kata saling memukul
(Inayah, 2014). Konflik merupakan sebuah keadaan di mana seseorang atau kelompok
memiliki persepsi yang berbeda dengan pihak lain yang dapat memengaruhi secara negatif
dalam pencapaian kepentingan dan tujuan (Sritumini, 2005). Konflik juga dijelaskan sebagai
pertentangan atau ketidaksesuaian antara dua atau lebih anggota atau kelompok disebabkan
karena kedua belah pihak harus membagi sumber daya atau karena adanya perbedaan status,
nilai, persepsi, kepentingan, kebutuhan, dan tujuan (Wibowo and Mubarok, 2016) .
Jenis konflik di mana terdiri dari (a) Hubungan tugas yaitu penekanan konflik yang
terjadi atas isi dan sasaran pekerjaan; (b) Konflik hubungan yaitu konflik yang terjadi
berdasarkan pada hubungan interpersonal; dan (c) Konflik proses yaitu konflik yang terjadi
atas cara dalam melakukan pekerjaan.
Masih banyak orang beranggapan bahwa konflik bersifat negatif yang mengarah pada
perpecahan padahal konflik juga dapat bermanfaat bagi kemajuan organisasi. Pada umumnya
konflik yang muncul bersifat disfungsional atau menimbulkan dampak negatif seperti
menurunkan produktivitas, meningkatkan stress dan ketegangan antar individu dan kelompok,
namun demikian pengelolaan konflik dengan baik akan memberikan manfaat bagi
keberlangsungan organisasi.
Dalam perkembangannya ada terdapat tiga pandangan tentang konflik yang terjadi dalam
organisasi yaitu, (Supartha and Sintaasih, 2017) :
Konflik secara langsung maupun tidak langsung memberikan dampak pada organisasi.
Konflik terbagi atas dua berdasarkan manfaatnya yaitu konflik fungsional dan
disfungsional. Konflik yang bersifat fungsional mengakibatkan hal positif dan
bermanfaat. Konflik yang tidak funsional atau disfungsional mengakibatkan hal negatif
atau merugikan.
1. Fungsional
Konflik fungsional merupakan konflik yang bertujuan untuk mencapai tujuan
organisasi atau kelompok. Konflik dapat menjadi
sebuah penggerak untuk peningkatan kinerja organisasi. Beberapa hasil
fungsional dari konflik yaitu
a. Menggerakkan dan merangsang kreativitas.
b. Mendorong terjadinya inovasi.
c. Mendorong pencarian solusi.
d. Meningkatkan minat dan keingintauan.
e. Mendorong adanya evaluasi diri dan meningkatkan perubahan ke arah yang
lebih baik.
f. Meningkatkan prestasi.
Contoh adanya dua departemen dalam sebuah perusahaan yang
memperdebatkan cara yang paling efektif dalam meningkatan penjualan.
2. Disfungsional
Konflik yang menghalangi organisasi atau kelompok untuk mencapai tujuannya.
Disfungsional menjadi penghambat kinerja kelompok secara spesifik sehingga
menurunkan efektivitas organisasi. Konflik yang menguntungkan dapat berubah
menjadi konflik yang berbahaya. Hasil disfungsional konflik seperti :
a. Memunculkan ketidakpuasan.
b. Menghambat komunikasi.
c. Mengurangi kekompakan kelompok.
d. Adanya subordinasi tujuan kelompok yang dominan sehingga mengancam
keberlangsungan organisasi.
e. Menimbulkan sikap putus asa.
f. Saling menjatuhkan.
Karena batasan konflik fungsional dan disfungsional sering kali kabur maka untuk
menentukan apa yang menjadi konflik fungsional, seorang manajer perlu memahami
hasil positif dan negatif dari konflik. Seorang manajer perlu
mengelola konflik agar tetap berada pada batas-batas fungsional. Manajemen konflik
melibatkan pemeliharaan konflik pada tingkat yang berfungsi untuk kelompok. Jika
tingkat konflik disfungsional tinggi, manajer harus mengurangi konflik. Jika tingkat
konflik rendah secara disfungsional, manajer harus meningkatkan konflik (Champoux,
2011).
Proses Konflik
Untuk memahami konflik maka dapat dijelaskan dari proses konflik yang terdiri dari lima
tahapan yaitu tahapan satu potential opposition or incompatibility (potential pertentangan
atau ketidakcocokan), tahap dua cognition and personalization (kognisi dan
personalisasi), tahap tiga Intentions (maksud), tahap empat behavior (perilaku), dan tahap
lima outcomes (hasil)
Orientasi seseorang terhadap konflik dapat berubah saat bentuk konflik terungkap.
Perubahan tersebut dapat terjadi dengan memperhatikan kekuatan lawan. Orang yang
berorientasi pada dominasi menekan untuk memenangkan masalah penting, tetapi
dapat beralih ke orientasi kompromi. Perubahan tersebut dapat terjadi jika orang
tersebut merasa bahwa kekuatan dan potensi pihak lain untuk memenangkan konflik
lebih kuat. Orientasi kolaboratif dapat hasil yang baik ketika berhasil mengidentifikasi
dan memuaskan keinginan semua pihak yang berkonflik. Akibatnya mengurangi
kemungkinan konflik dimasa mendatang atas
masalah yang sama. Kolaboratif terhadap konflik menghasilkan manfaat jangka
panjang yang lebih positif bagi organisasi dari pada empat orientasi lainnya.
Manfaatnya mencakup keputusan berkualitas lebih baik, kepercayaan yang
meningkat, dan kepuasan yang meningkat dengan hasil dari tahapan konflik
4. Behavior (perilaku)
Tahapan keempat yaitu pernyataan, aksi dan reaksi yang dibuat masing-masing
pihak yang terlibat dalam konflik seperti membuat pernyataan, tindakan dan
reaksi balik. Dalam penyelesaian konflik diperlukan teknik-teknik untuk
menyelesaikan konflik yang disebut dengan manajemen konflik. Para manajer
dalam mengendalikan konflik menggunakan manajemen konflik sehingga
mampu menyelesaikan persoalan. Manajemen konflik merupakan penggunaan
teknik resolusi dan stimulasi untuk memperoleh level konflik yang diinginkan.
5. Outcomes (hasil)
Tahap kelima adalah konsekuensi yang dihasilkan dari konflik. Hasil dapat
bersifat fungsional maupun disfungsional. Hasil konflik bersifat fungsional
artinya bahwa hasil dari konflik yang berakibat perbaikan kinerja individu,
kelompok maupun orang lain. Konflik disfungsional artinya hasil konflik yang
berakibat hambatan bagi kinerja individu maupun kelompok lain.
Jenis Konflik dalam Organisasi
Konflik organisasi terjadi dibeberapa tingkatan dan muncul dalam bentuk yang berbeda.
Berbagai tingkatan dan jenis konflik seringkali memiliki sumber dan akar yang berbeda.
Memahami tingkat dan jenis konflik dapat membantu seseorang mendiagnosis konflik
dan mengelola konflik secara efektif (Supartha and Sintaasih, 2017).
1. Konflik Intrapersonal
Merupakan konflik yang dialami seseorang yang berhubungan dengan dirinya.
Konflik muncul karena:
a. Ancaman terhadap nilai-nilai dasar orang tersebut
b. Karena perasaan diperlakukan tidak adil oleh organisasi, atau dari berbagai
sumber sosialisasi dan kontradiktif
c. Karena seorang karyawan melihat tindakan dalam organisasi yang dia
anggap ilegal atau tidak etis
d. Karena adanya tekanan peran dan ekspektasi dari luar dirinya yang tidak
sesuai dengan keinginan dan harapannya
e. Karena tuntutan tugas yang melebihi kemampuannya.
2. Konflik Antarpersonal
Merupakan konflik yang terjadi antara dua orang atau lebih. Konflik antar
individu seperti antara pelanggan dengan penjualan. Konflik antar pribadi
biasanya terjadi karena berbagai alasan termasuk perbedaan pandangan
mendasar tentang apa yang harus dilakukan, upanya mendapatkan lebih banyak
sumber daya atau orientasi kerja dan waktu.
3. Konflik Antarkelompok
Merupakan konflik yang terjadi antara satu kelompok dengan kelompok lain
yang bersifat kolektif. Konflik dalam suatu kelompok kemungkinan besar akan
menjadi yang tertinggi selama tahap awal pengembangan kelompok ketika ada
perbedaan yang kuat di antara anggota. Konflik dapat dipengaruhi oleh
keinginan masing-masing kelompok untuk mengejar kepentingan kelompoknya
masing-masing. Konflik antar kelompok akan sangat mempegaruhi kinerja dari
organisasi beberapa faktor yang menyebabkan konflik antar kelompok antara
lain disebabkan karena :
a. Ketergantungan kerja, konflik yang muncul karena adanya ketergantungan
kerja antara bagian satu dengan bagian lain meliputi ketergantungan
kelompok yang tidak membutuhkan terakhir tetapi memengaruhi kesuksesan
organisasi. Ketergantungan dalam mengerjakan pekerjaan di mana
kelompok
pertama harus menyelesaikan tugas yang kemudian dapat dikerjakan
kelompok berikutnya, ketergantungan timbal balik yaitu ketergantungan
menjadi input bagi kelompok berikutnya.
b. Perbedaan tujuan, dalam organisasi adanya tugas, tujuan yang terspesialisasi
sehingga menimbulkan konflik prioritas.
c. Perbedaan persepsi berkaitan dengan perbedaan sikap, nilai antara anggota
kelompok.
d. Konflik yang muncul disebabkan adanya batasan tanggung jawab dan tujuan
yang tidak jelas
4. Konflik Intra Organisasi
Merupakan semua jenis konflik yang terjadi dalam suatu organisasi. Konflik
dapat terjadi antar unit baik secara struktural, fungsional maupun hubungan
vertikal dan horizontal dalam organisasi. Konflik hubungan secara vertikal
seperti hubungan manajer dengan bawahan, hubungan konflik secara horizontal
yaitu konflik yang terjadi antar departemen atau kelompok kerja. Contoh adanya
pengambilan keputusan yang tumpang tindih, adanya tuntutan kenaikan gaji
dikarenakan biaya hidup semakin tinggi.
5. Konflik Antar Organisasi
Merupakan konflik yang terjadi karena adanya saling ketergantungan antara
perusahaan dengan perusahaan lain. Contohnya adanya ketergantungan antara
perusahaan dengan pemasok, distributor maupun pelanggan.
Pengertian Negosiasi
Negosiasi diartikan sebagai suatu proses yang di dalamnya terdapat kesepakatan antara
dua belah pihak atau lebih dalam pertukaran barang atau jasa sehingga menghasilkan
kesepakatan kerjasama (Wijayati, 2009). Negosiasi muncul karena adanya perbedaan
pendapat antara kedua belah pihak sehingga perlu dilakukan kerjasama untuk mencapai
sebuah kesepakatan. Negosiasi diharapkan menghasilkan kesepakatan yang adil dan
masuk akal sehingga memuaskan kedua belah pihak (Sritumini, 2005).
Negosiasi diartikan sebagai proses tawar menawar antara pihak-pihak yang terlibat dalam
sebuah konflik, (Inayah, 2014). Dari beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa
negosiasi adalah upaya mencari jalan keluar atau mencari penyelesaian dari pihak-pihak
yang terlibat dalam konflik sehingga menghasilkan kesepakatan bersama.
Strategi Negosiasi
1. Negosiasi distributif
Negosiasi distributif merupakan perundingan bersama yang menghasilkan
capaian yang ditetapkan. Negosiasi distributif bersifat membagi sumber daya
yang jumlahnya tetap. Tujuan dari negeosiasi distributif adalah untuk
mendapatkan keuntungan sebanyak- banyaknya sehingga terdapat situasi
menang-kalah. Artinya apapun yang terjadi dalam negosiasi akan ada pihak
yang menang dan pihak yang kalah. Dalam negosiasi distributif adanya pihak
yang merasa lebih dari pihak lain dan memiliki kepentingan yang berbeda dan
memiliki hubungan kerjasama yang bersifat jangka pendek.
2. Negosiasi Integratif
Merupakan perundingan yang menghasilkan pemecahan bersama yang saling
menguntungkan yang mana kedua belah pihak merasa puas atas hasil negosiasi.
Negosiasi dengan satu atau lebih penyelesaian dapat menciptakan pemecahan
masing-masing sehingga masing-masing perunding mendapatkan keuntungan
dan kemenangan. Negosiasi ini menciptakan situasi menang-menang Negosiasi
integratif dapat menjaga hubungan jangka panjang dan mempermudah kerja
sama dimasa yang akan datang seperti negosiasi penjualan kredit
Model dari negosiasi memiliki lima langkah antara lain sebagai berikut :
Saat negosiasi berlangsung masing-masing pihak akan siap dengan pendirian mereka
dan siap untuk memberikan argumen-argumen terhadap keinginan pihak lawan
sehinga perlu adanya strategi agar kedua belah pihak mau menerima hasil keputusan
yang terbaik bagi kedua belah pihak atau menghasilkan nilai terendah yang dapat
diterima dari hasil perundingan.
Dalam negosiasi perlunya sikap dan suasana positif yang mendukung sehingga
menghasilkan kondisi yang baik. Ada beberapa sifat-sifat yang memengaruhi hasil
negosiasi seperti sifat kepribadian, perbedaan gender, perbedaan kultur.
Negosiasi tidak selamanya berlangsung antara kedua belah pihak. Dalam melakukan
negosiasi dapat juga melibatkan pihak ketiga sejak awal dilakukannya negosiasi. Proses
negosiasi yang rumit antar kedua belah pihak dapat dibantu dari pihak ketiga.
Terdapat tiga peranan dari pihak ketiga yaitu mediator, arbitrator dan konsiliator,
(Widiyanto, 2018).
1. Mediator (Penengah)
Mediator merupakan pihak ketiga yang bersifat netra yang berfungsi untuk
memfasilitasi penyelesaian negosiasi dengan menggunakan penalaran,
pembujukan, pemberian usulan dan saran alternatif sesuai dengan kapasitasnya
sebagai fasilitator. Mediator bekerja untuk membantu kedua belah pihak dan
memengaruhi bagaimana kedua belah pihak. Rekomendasi mediator tidak
memiliki kuasa yang mengikat dan pihak yang terlibat dapat tidak menggunakan
rekomendasi dari mediator.
2. Arbitrator (Wasit)
Arbitrator merupakan pihak ketiga yang selalu menghasilkan penyelesaian dan
memiliki wewenang memaksa agar terjadinya sebuah kesepakatan. Arbitrator
memiliki kewenangan untuk mendiktekan kesepakatan.
3. Konsiliator (Perujuk)
Konsiliator merupakan orang atau pihak ketiga yang dipercaya dan netral yang
bertugas untuk menjembatani proses komunikasi antar kedua belah pihak yang
bersitegang. Konsiliator tidak memiliki wewenang memengaruhi hasil
negosiasi.
4. Konsultasi
Konsultasi merupakan pihak ketiga yang memiliki kecakapan dalam
menyelesaikan persoalan, mampu memfasilitasi pemecahan masalah yang lebih
difokuskan pada hubungan antar pihak dibanding isu yang substantive.
F. Mengidentifikasikan dan menganalisis komitmen organisasi
Komitment organisasi adalah sebagai suatu keadaan dimana seseorang karyawan
memihak organisasi tertentu serta tujuan tujuan dan keinginannya untuk
mempertahankan keanggotaan dalam organisasi tersebut. Menurut Stephen P. Robbins
didefinisikan bahwa keterlibatan pekerjaaan yang tinggi berarti memihak pada
pekerjaan tertentu seseorang individu, sementara komitmen organisasional yang tinggi
berarti memihak organisasi yang merekrut individu tersebut. Dalam organisasi sekolah
guru merupakan tenaga profesional yang berhadapan langsung dengan siswa, maka guru
dalam menjalankan tugasnya sebagai pendidik mampu menjalankan kebijakan-
kebijakan dengan tujuan-tujuan tertentu dan mempunyai komitmen yang kuat terhadap
sekolah tempat dia bekerja.
KESIMPULAN
Dengan demikian, perilaku organisasi merupakan suatu bidang studi ilmu terapan
yang mengkaji hubungan antar manusia dalam organisasi, baik manusia sebagai
individu maupun sebagai anggota kelompok, serta hubungan antara manusia dan
organisasi. Artinya, bahwa perilaku organisasi bisa mendeskripsikan, menjelaskan,
memprediksi, dan dapat mengendalikan perilaku manusia dalam organisasi. Dengan
mempelajari perilaku organisasi, akan dapat membantu manajer mengidentifikasi
masalah yang dihadapi, menentukan bagaimana cara mengkoreksinya, dan mengetahui
bahwa perubahan-perubahan akan membuat suatu perbedaan, yakni dengan
menggunakan pendekatan keperilakuan, sehingga dengan pendekatan perilaku
organisasi akan dapat meningkatkan kualitas dan produktivitas pegawai dalam
organisasi. Para pemimpin akan memberikan wewenang kepada orang-orang yang ada
dalam organisasi untuk merancang dan mengimplementasikan program-program yang
membawa perubahan, meningkatkan layanan pelanggan dan membantu pegawai
menangani konflik dalam organisasi dan dalam kehidupan pegawai.
DAFTAR PUSTAKA
Https://Media.Neliti.Com/Media/Publications/159389-Id
Dr. Arifin Tahir, M.Si (2014). Buku Ajar Perilaku Organisasi. Yogyakarta: Deepublish.
Supartha, W.S, Sintaasih.D.K, (2017). Pengantar Perilaku Organisasi Teori, Kasus, Dan
Aplikasi Penelitian. Denpasar Timur: Cv. Setia Bakti
Sukarman Purba Dkk. (2020). Perilaku Organisasi. Medan: Yayasan Kita Menulis
Prof.Dr. H.A. Yunus.(2013). Perilaku Organisasi. Majalengka:Unit Penerbitan
Universitas Majalengka