Anda di halaman 1dari 13

PERTEMUAN 12

METODE PENDEKATAN HUKUM PERSELISIHAN

A. IDENTITAS MATA KULIAH

1. PROGRAM STUDI : ILMU HUKUM

2. NAMA MATA KULIAH : HUKUM ANTAR TATA HUKUM

3. JUMLAH SKS : 2 SKS

4. MATA KULIAH PRASYARAT :

5. DESKRIPSI MATA KULIAH :

Mata Kuliah ini membahas tentang HATAH INTERN dan HATAH EXTERN
(Hukum Perdata Internasional), beserta dengan masing-masing kasus dan
penyelesainnya baik dalam maupun HATAH INTERN maupun Hukum Perdata
Internasional (HPI) / HATAH EXTERN.

6. CAPAIAN PEMBELAJARAN :

Setelah mahasiswa mempelajari mata kuliah HATAH, diharapkan dapat memahami


perumusan HATAH INTERN beserta bagian-bagaiannya, memahami HPI bererta
kasus-kasusnya, dan bagaimana cara memahami dalam penyelesaian kasus-kasus
yang berkaitan dengan HATAH INTERN dan HPI (Hukum Perdata Internasional).

7. PENYUSUN : DADANG GANDHI. S.H.,M.H.

1
B. KATA PENGANTAR

Setiap mahasiswa Program Studi S1 Ilmu Hukum sebelum menyelesaikan


pendidikan S1 wajib menyelesaikan tugas penyusunan skripsi salah satu mata kuliah pada
Program Studi S1 Ilmu Hukum yaitu Hukum Antar Tata Hukum (HATAH) dan Mata
Kuliah HATAH ini merupakan salah satu makalah wajib yang diberikan atau diajarkan
pada mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Pamulang pada semester ganjil yaitu
semester V (Lima).

Mata Kuliah HATAH ini pembagiannya terdiri atas HATAH INTERN yang
berlaku secara intern dilingkungan hukum di Indonesia beserta contoh-contoh kasusnya
dan HATAH EXTERN atau lebih dikenal sebagai Hukum Perdata Internaisonal (HPI)
beserta contoh-contoh kasus-kasusnya dan HPI ini sebenarnya merupakan hukum
nasionalnya masing-masing Negara karena adanya titik pertalian antara hukum
nasionalnya masing-masing warga Negara ( ) dinamakan HPI. Semoga mahasiswa dapat
memahami Mata Kuliah Hukum Antar Tata Hukum ini.

Terima Kasih

Tangerang Selatan

Penyusun

Dadang Gandhi. S.H.,M.H.

2
C. DAFTAR ISI

a. Identitas Mata Kuliah

b. Kata Pengantar

c. Daftar Isi

d. Pertemuan 12 : Metode Pendekatan Hukum Perselisihan

a) Tujuan Pembelajaran
b) Uraian Materi
c) Latihan Soal/Tugas
d) Daftar Pustaka

3
PERTEMUAN 12
METODE PENDEKATAN HUKUM PERSELISIHAN

A. TUJUAN PEMBELAJARAN

Dalam bab ini akan dijelaskan mengenai Metode Pendekatan dalam Hukum Perselisihan, baik
dalam titik taut primer maupun dalam titik taut sekunder, sehingga mahasiswa mampu:

1. Memahami dan menjelaskan bagaimana proses penyelesaian perkara HATAH dengan


menggunakan metode pendekatan hukum perselisihan.
2. Menjelaskan prosedur penyelesaian perkara terkait dengan hukum prselisihan bidang HPI.

A. URAIAN MATERI

Sebagaimana telah disinggung pada materi sebelumnnya, fungsi hukum perselisihan pada
dasarnya menentukan hukum yang seharusnya diterapkan untuk menyelesaikan masalah hukum
yang melibatkan lebih dari satu asas, kaidah, atau peraturan hukum. Penentuan hukum yang
seharusnya berlaku ini tentu harus dilakukan dengan menggunakan cara yang tepat dan standar
sehingga setiap orang yang akan menyelesaikan kasus-kasus hukum perselisihan memiliki cara
yang terukur, pasti, dan prediktabel.

Metode penyelesaian perkara-perkara hukum perselisihan memiliki beberapa pranata Hukum


yang luas, khususnya:

4
 Titik-titik taut (connecting factors, aanknopingspunten, Aanknupungspunten);
 Kualifikasi (qualification, characterization, qualificatie, characterization).

Untuk lebih jelasnya, metode penyelesaian perkara-perkara hukum perselisihan tersebut akan
dibahas berikut ini.

1. Titik Taut

Titi taut adalah “faktor-faktor atau fakta-fakta khusus di dalam suatu peristiwa hukum atau
persoalan hukum yang menunjukkan pertalian khusus dengan sistem aturan atau sistem hukum
tertentu”. Di dalam suatu peristiwa hukum, senantiasa akan dapat dijumpai adanya fakta (-fakta)
penting yang membentuk pertalian/pertautan antara persoalan yang dihadapi dengan suatu aturan
di dalam sistem hukum tertentu.

Contoh:

a. A, seorang wanita berkewarganegaraan Belanda, berusia 25 tahun, tidak menikah.


b. A adalah ahli waris dari orang tua yang kaya raya sehingga ia memiliki asset baik dalam
bentuk uang kas, emas murni, perusahaan, dan benda tetap.
c. Asset berupa benda tetap terletak di Indonesia, Suriname, dan Curacao.
d. A berniat untuk menjual seluruh aset benda tetapnya.

Pada contoh diatas, fakta-fakta menunjukkan bahwa kewarganegaraan A adalah Belanda, benda
tetap yang diwarisinya di Indonesia, Suriname dan Curacao. Fakta-fakta tersebut merupakan
titik-titik taut, yang mengkaitkan perkara dengan tempat-tempat tersebut, dan pada gilirannya
mengakibatkan timbulnya kemungkinan bahwa hukum Belanda, Indonesia, Suriname, Curacao
menjadi relevan untuk dipertimbangkan sebagai hukum yang berlaku dalam menyelesaikan
perkara perwarisan yang bersangkutan.

Di lain pihak, fakta bahwa A telah berusia 25 tahun dan belum menikah adalah fakta hukum
yang penting dalam perkara tersebut sebagai fakta-fakta yang dapat menentukan status
kecakapan A dalam melakukan perbuatan hukum. Demikian juga fakta ke-2 dan ke-4 diatas
merupakan fakta-fakta hukum yang penting.Namun, fakta-fakta tersebut bukanlah merupakan
titik taut dalam pengertian hukum perselisihan karena tidak mengaitkan kasus tersebut pada
suatu sistem aturan atau sistem hukum tersebut.

5
Hukum perselisihan membedakan pengertian titik taut ini ke dalam titik taut primer dan titik taut
sekunder.

a. Titik taut primer (disebut juga sebagai titik taut pembeda)

Sudargo Gautama memaknai titik taut primer ini sebagai “hal-hal yang merupakan tanda
adanya persoalan hukum antargolongan. Pengertian ini tidak hanya dapat diterapkan di dalam
hukum antargolongan, tetapi juga pada bidang-bidang hukum perselisihan pada umumnya.Titik
taut primer adalah fakta yang membedakan kasus yang dihadapi tersebut dari kasus yang
sepenuhnya tunduk pada satu aturan/sistem aturan/sistem hukum dan karena itu
menunjukkan bahwa kasus tersebut adalah kasus hukum perselisihan.Ciri yang
membedakan adalah bahwa dengan adanya titik taut tersebut, kita mengetahui terlibatnya lebih
dari satu aturan hukum atau sistem hukum di dalam perkara tersebut.

kembali pada contoh di atas, setelah menyadari keterlibatan lebih dari satu sistem hukum di
dalam perkara tersebut karena adanya perbedaan sistem hukum dari pihak yang memiliki
kekayaan (Belanda) dengan hukum dari letak benda-benda tetap yang dimiliki orang tersebut
(Indonesia, Suriname, Curacao), maka titik taut perimer dalam perkara ini adalah perbedaan
sistem hukum yang berlaku terhadap pemilik benda dengan sistem hukum yang berlaku
terhadap benda tetap.

Perhatikan juga beberapa contoh berikut:

 Seandainya seorang wanita Belanda pada tahun 1912 akan menikah dengan seorang laki-
laki Cina, maka perbedaan golongan penduduk dari para pihak tersebut merupakan
titik taut primer dari perkara (yang wanita adalah golongan Eropa yang tunduk pada hukum
perdata Barat, sedangkan yang laki-laki adalah golongan Cina, yang tunduk pada hukum
adat Cina).
 Seorang penduduk Kotamadya Tegal sedang bepergian ke Kabupaten Tegal dan buang air
(kencing) sembarangan di wilayah Kabupaten Tegal. Berdasarkan Perda yang berlaku di
Kabupaten Tegal, orang itu dapat dikenai denda sebesar Rp. 100.000,00. Perbedaan asal
usul dari pelaku dan tempat terjadinya pelanggaran merupakan titik taut primer dalam
perkara ini.

6
 B sedang mengajukan permohonan penerbitan izin membuat bangunan (IMB) di Kota
Berawan. B telah memenuhi semua persyaratan pendaftaran IMB sesuai Perda Kota
Berawan Nomor 15 tahun 2002 yang berlaku pada saat permohonan diajukan. Ketika
permohonan izin tersebut sedang dalam proses penerbitan pada instansi yang berwenang,
ternyata Pemerintah Daerah Kota Berawan menerbitkan sebuah peraturan daerah yang
baru, yang mensyaratkan dimasukkannya daftar riwayat tanah sebagai salah satu dokumen
perizinan. Syarat tersebut tidak ada di dalam Perda 15/2002. Pebedaan hukum yang
berlaku antara saat pengajuan permohonan IMB dan pada saat permohonan harus
diputuskan merupakan titik taut primer dari perkara ini.
b. Titik taut sekunder (disebut juga titik taut penentu)

Titik taut sekunder adalah fakta yang digunakan untuk menentukan hukum apa atau hukum mana
yang seharusnya diberlakukan terhadap perkara yang melibatkan lebih dari satu sistem hukum/
kaidah hukum/ peraturan. Yang dianggap sebagai titik taut sekunder dalam hukum perselisihan
adalah faktor-faktor penentu, seperti:

1) Pilihan hukum yang secara tegas dinyatakan oleh para pihak di dalam perjanjian. Titik taut
ini hanya diakui di bidang hukum kekayaan dan perikatan.
2) Pilihan hukum yang disimpulkan oleh hakim/ pilihan hukum secara diam-diam (tidak
tegas). Hal ini dapat disimpulkan dari:
 Bentuk dan isi perjanjian yang dipilih para pihak (misalnya, WN Indonesia membuat
perjanjian trust (yang hanya dikenal di dalam hukum Inggris) dengan orang Inggris,
dapat disimpulkan bahwa dia tunduk pada/ memilih hukum Inggris secara diam-
diam).
 Suasana/ lingkungan/ milieu/ tempat terjadinya perbuatan hukum (misalnya, orang
Belanda membeli padi secara langsung kepada seorang petani di Ciwidey, dapat
dianggap dia memasuki milieu bumiputera dan tunduk pada Hukum Adat Sunda).
 Kedudukan salah satu pihak yang lebih penting/ lebih dominan/ lenih menentukan
[misalnya seorang bumiputera membuka rekening bank (lembaga perbankan pada
masa Hindia Belanda hanya dikenal di dalam hukum perdata Barat), maka dapat
disimpulkan bahwa dia tunduk secara diam-diam pada hukum perdata Barat)].

7
3) Pembebanan hukum atau pilihan hukum yang diperintahkan/ diwajibkan pemberlakuannya
oleh negara/ penguasa melalui perundang-undangan, yang mengakibatkan berlakunya
suatu sistem hukum tertentu terhadap seseorang yang seharusnya tidak terikat pada sistem
hukum tersebut. Pembebanan hukum ini banyak dilakukan pada masa pemerintahan Hindia
Belanda, di masa pemerintah adakalanya mewajibkan orang bumiputera atau Timur Asing
yang seharusnya tunduk pada hukum adat, untuk tunduk dan terikat pada aturan-aturan
hukum perdata Barat. Misalnya, Stbl. 1924 No. 556 dan 557 yang mengakibatkan
berlakunya hukum perdata Barat atas golongan penduduk Timur Asing (dengan beberapa
pengecualian).
4) Fakta-fakta khusus yang oleh kaidah/ asas hukum perselisihan negara tersebut ditetapkan
sebagai titik taut terpenting untuk menentukan hukum yang berlaku dalam masalah hukum
perselisihan tertentu.

Contoh :

Pasal 56 (1) UU 1/1974 tentang Perkawinan menetapkan menentukan bahwa:

“Perkawinan di luar negeri antara dua orang warga negara Indonesia atau seorang
warga negara Indonesia dengan warga negara asing adalah sah bilamana dilakukan
menurut hukum yang berlaku di negara di mana perkawinan itu dilangsungkandan
bagi warga negara Indonesia tidak melanggar ketentuan undang-undang ini.”

Berkaitan dengan keabsahan dari perkawinan itu sendiri, tampak bahwa Undang-Undang
Perkawinan ini menggunakan asas lex loci solutionis.Berarti pula, tempat dari dilaksanakannya
peresmian perkawinan merupakan titik taut sekunder (titik taut penentu) yang harus digunakan
dalam menetapkan keabsahan perkawinan antara WNI dan WNA atau antar-WNI yang
dilakukan di luar negeri.Artinya, hukum yang seharusnya berlaku untuk menentukan keabsahan
perkawinan adalah hukum dari tempat perkawinan diresmikan.

2. Kualifikasi

Kualifikasi adalah proses yang dilaksanakan dengan tujuan untuk mendefinisikan persoalan/
masalah hukum yang terbit dari perkara yang dihadapi, serta menetapkan kategori yuridis, dari
masalah hukum tersebut.

8
Dalam prosesnya, apabila orang menghadapi suatu perkara, berdasarkan fakta-fakta yang relevan
di dalam perkara tersebut ia harus dapat mendefinisikan/ merumuskan persoalan hukum yang
sedang dihadapi (kualifikasi fakta). Dalam melaksanakan kualifikasi fakta, orang harus juga
memilih dan memilah fakta-fakta apa saja yang dianggap relevan dan memiliki akibat hukum
tertentu terhadap perkara. Setelah kualifikasi fakta, orang harus memasukkan peristiwa hukum
yang didefinisikan tadi ke dalam kategori yuridis tertentu. Jadi, dalam kualifikasi hukum orang
menentukan peristiwa hukum atau hubungan hukum apa yang dihadapi sebagai perkara,
berdasarkan kategori yang dikenal di dalam sebuah sistem hukum tertentu.

Contoh :

Perkara: C, seorang wanita warga negara Belanda yang belum menikah dan tidak kaya berniat
untuk menikah dengan D, seorang saudagar pedagang hasil bumi pria penduduk Hindia Belanda
dari golongan Timur Asing Cina yang kaya raya. Perkawinan dilaksanakan pada tahun 1926 di
Batavia.

Kualifikasi faktanya:

Fakta yang relevan, C adalah wanita warga negara Belanda, D adalah pria Timur Asing Cina,
pernikahan pada tahun 1926 di Batavia.Fakta tersebut relevan karena memiliki akibat hukum.

 Fakta tahun 1926 terjadi di Batavia: menentukan tentang hukum apa yang berlaku pada
waktu itu di tempat itu.
 Fakta perkawinan: melibatkan lembaga dalam hukum keluarga yang menimbulkan
hubungan dan akibat hukum bagi pihak-pihak yang terikat di dalamnya.
 Fakta C berkewarganegaraan Belanda: untuk menunjukkan hukum yang berlaku bagi
orang tersebut.
 Fakta D golongan penduduk Cina: untuk menunjukkan hukum yang berlaku bagi orang
tersebut.

Fakta bahwa C bukan seorang kaya tidaklah relevan dalam perkara ini karena tidak ada akibat
Hukum yang dapat terbit dari fakta tersebut. Demikian juga fakta bahwa D adalah seorang yang
kaya raya, dalam perkara ini tidak berakibat hukum apa pun. Dengan demikian, fakta-fakta yang
tidak relevan ini dapat diabaikan pada saat proses kualifikasi dijalani.

9
Kesimpulan atau hasil dari proses kualifikasi fakta dan kualifikasi hukum akan bergantung pada
sumber-sumber hukum yang terkait pada perkara tersebut dan pemahaman terhadap sumber-
sumber hukum yang seharusnya digunakan dalam proses kualifikasi tersebut akan sangat
menentukan ketepatan hasil kualifikasi. Selanjutnya, dari fakta-fakta yang dianggap relevan di
atas, orang dapat memahami mereka sebagai satu kesatuan dan berdasarkan pemahaman itu
kemudian menentukan apa kategori yuridis dari fakta-fakta tersebut dengan memerhatikan isi
perundang-undangan yang ada. Dalam contoh perkara di atas, fakta-fakta tersebut, misalnya
dapat dikategorikan/ dikualifikasikan sebagai peristiwa perkawinan antargolongan.

3. Prosedur Penyelesaian Perkara

Beberapa tahap penting yang harus dilalui untuk menentukan cara penyelesaian perkara hukum
perselisihan dapat digambarkan secara singkat sebagai berikut (bagian ini hanya memberikan
gambaran singkat tentang bagaimana langkah umum yang harus dilakukan, bukan memberikan
penjabaran yang bersifat komprehensif):

a. Menyusun kasus posisi dari perkara


Langkah awal dari penyelesaian perkara dilakukan dengan menyusun kasus posisi dari
perkara tersebut.Artinya, kita harus mengumpulkan semua fakta dan informasi yang
relevan. Pada saat fakta-fakta dalam rangka merumuskan kasus posisi inilah orang akan
memilih dan memilah fakta dan informasi yang relevan (melakukan kualifikasi fakta) dan
menyusunnya ke dalam suatu urutan yang sistematik.
b. Menentukan ada/tidaknya peristiwa hukmu perselisihan
Berdasarkan kasus posisi tersebut orang kemudian harus menentukan apakah di antara
kasus tersebut terdapat fakta-fakta yang mempertautkan perkara dengan lebih dari satu
sistem hukum/ kaidah hukum/ peraturan (“mencari titik-titik taut primer”).Jika perkara
tersebut ternyata memiliki titi taut primer, barulah terbit kebutuhan untuk menyelesaikan
perkara tersebut dengan menggunakan metode pendekatan dan metode Hukum
Perselisihan.
c. Menentukan masalah hukum utama yang muncul dalam perkara
Biasanya penentuan masalah hukum ini dilakukan dengan menentukan hal-hal, seperti
pokok gugatan/ permohonan, pokok yang diperuangkan/dipersengketakan oleh para pihak,
hubungan hukum yang mengikat para pihak, dan seterusnya. Dari penentuan masalah

10
hukum utama ini, anda akan dapat menemukan/ menyimpulkan apa yang merupakan
kualifikasi hukum dari perkara tersebut. Aktivitas ini merupakan satu rangkaian aktivitas
yang tidak perlu diperdebatkan mana yang harus dilakukan terlebih dahulu, apakah
menentukan masalah utama dari perkara ataukah menentukan kualifikasi hukum dari
perkara.
d. Menentukan titik taut sekunder dari perkara
Dari perkara yang anda hadapi, harus dicari apa yang merupakan fakta penentu untuk
menunjuk hukum yang seharusnya menyelesaikan perkara. Titik taut sekunder tersebut
dapat ditemukan di dalam asas hukum atau kaidah hukum yang termuat di dalam sumber
hukum yang terkait dengan perkara.Sebagai contoh, seorang wanita di Indonesia menikah
dengan laki-laki singapura.Perkawinan dilaksanakan di London (Inggris) pada tanggal 12
April 2011.Dalam situasi ini kita menghadapi kasus yang dapat dikualifikasikan sebagai
“perkawinan yang dilakukan di luar negeri, yang salah satu pihaknya adalah WNI”.Secara
lebih singkat, kasus seperti ini sering dikualifikasikan sebagai “perkawinan di luar negeri”.
Pertanyaan hukum/ masalah hukum yang paling pokok dalam perkara ini adalah “dapatkah
perkawinan yang dilakukan di luar negeri dianggap sebagai perkawinan yang sah di
Indonesia?” untuk menjawab pertanyaan ini masalah ini, kita harus memerhatikan isi dari
Pasal 56 ayat (1) UU Perkawinan yang telah menjadi contoh sebelumnya. Sekali lagi disitir
di sini rumusan pasal tersebut:
“Perkawinan di luar negeri antara dua orang warganegara Indonesia atau seorang
warganegara Indonesia dengan warga negara Asing adalah sah bilamana dilakukan
menurut hukum yang berlaku di negara dimana perkawinan itu dilangsungkan dan
bagi warga negara Indonesia tidak melanggar ketentuan Undang-Undang ini.”

Ayat (1) ini memuat dua hal:

 Pertama, berkaitan dengan keabsahan dari perkawinan, undang-undang perkawinan


ini menentukan tempat dari dilaksanakannya perkawinan merupakan titik taut
sekunder dari keabsahan perkawinan antara WNI dan WN Singapura. Peraturan ini
menggunakan asas lex loci solutionis. Artinya, hukum yang seharusnya berlaku
untuk menentukan keabsahan perkawinan adalah hukum dari tempat perkawinan
dilaksanakan, yang dalam hal ini di Singapura. Berarti, apabila perkawinan tersebut

11
dilaksanakan secara sah berdasarkan hukum Singapura, perkawina tersebut akan
dianggap terpenuhi keabsahan pelaksanaannya.
 Kedua, berkaitan dengan syarat materiil perkawinan yang harus dipenuhi oleh pihak
WNI yang melakukan perkawinan di luar negeri (masalah status/ kewenangan
seseorang dalam melakukan perkawinan di luar negeri). Undang-undang perkawinan
ternyata mengatur bahwa WNI tersebut tidak boleh melanggar isi ketentuan syarat
materiil dalam undang-undang perkawinan. Peraturan ini menundukkan WNI
tersebut pada hukum Indonesia sekalipun perkawinan dilakukan di luar negeri (dalam
hal ini di Singapura). Berarti titik taut sekunder dari masalah syarat materiil
perkawinan didasarkan pada lex patriae (hukum dari tempat WNI tersebut
berkewarganegaraan). Dengan demikian, apakah wanita Indonesia tersebut dianggap
telah cakap untuk melakukan perkawinan, telah memenuhi semua syarat materiil dan
procedural agar perkawinan itu dapat dilaksanakan, harus diatur dengan hukum
Indonesia (Undang-Undang Perkawinan).
e. Penyelesaian kasus

Langkah terakhir dalam tahap penyelesaian sengketa ini adalah dengan menentukan
apakah perkawinan ini sah atau tidak (berarti kita harus menelusuri hukum Singapura,
mencari apa syarat pelaksanaan perkawinan di Singapura, dan menentukan apakah pihak
wanita Indonesianya telah memenuhi syarat materiil untuk melaksanakan perkawinan,
maka kita harus menggunakan hukum Indonesia untuk menentukan apakah syarat tersebut
telah terpenuhi sehingga dapat menentukan apakah wanita Indonesia tersebut telah berhak
untuk menikah.

B. SOAL LATIHAN/ TUGAS


1. Bagaimana menurut pendapat saudara ciri-ciri bahwa suatu kasus dalam HATAH itu
dapat diselesaikan menurut HPI Indonesia, coba berikan contoh kasusnya.
2. Apaperbedaan prinsip antara titik taut primer dengan titik taut sekunder, sehingga suatu
kasus di bidang HPIdapat diselesaikan menurut lex fori hukum sang hakim.

D. DAFTARPUSTAKA

12
Hardjowahono. Dasar-dasar HukumPerdata Internasional. Edisi Kelima. Citra Aditya Bukti,
Bandung.2013.

13

Anda mungkin juga menyukai