Anda di halaman 1dari 15

23.

CEKUNGAN JAWA TENGAH UTARA

23.1 REGIONAL

Nama Cekungan Polyhistory : Paleogene Cratonic Fracture, Neogen Back Arc Basin.
Klasifikasi Cekungan : Cekungan Sedimen Dengan Produksi Hidrokarbon.

23.1.1 Geometri Cekungan

Cekungan Jawa Tengah Utara di kenal juga dengan The North Serayu Through/Basin dan saat ini
terangkat menjadi daerah yang dikenal dengan North Serayu Range. Area ini memanjang ke arah
timur hingga Zona Randublatung dan Pematang Kendeng (Pematang Ridge), dan ke arah barat
menerus hingga Jalur Lipatan Bogor (Bogor Anticlinorium Belt).

Posisi geografis cekungan 108o 30’-110o 30’ BT dan 6o 10’ - 7o 20’ LS (Gambar 23.1). Luas area
cekungan 16.660 km2, dengan luas di daerah daratan sekitar 5.176 km2 dan di lepas pantai
luasnya sekitar 11.484 km2.

Penarikan batas cekungan berdasarkan data peta anomali gaya berat (Gambar 23.2) dan isopach.
Elemen tektonik berupa Karimun Jawa Platform membatasi daerah utara cekungan. Ketebalan
sedimen berdasarkan data isopach berkisar antara 2.000 – 4.500 m.

Pembentukan cekungan diyakini disebabkan oleh pengangkatan bagian selatan Jawa Tengah
(Bumiayu) akibat pergerakan pasangan sesar mendatar. Sesar mendatar ini yakni sesar mendatar
mengiri Sesar Muria-Kebumen dan sesar mendatar menganan Sesar Cilacap-Pamanukan. Akibat
pengangkatan ini, di daerah cekungan terjadi penurunan batuan dasara (depression) karena
isostasi.
Gambar 23.1 Lokasi Cekungan Jawa Tengah Utara dan kontur isopach.
Gambar 23.2 Peta anomali gaya berat (Pusat Survei Geologi, 2000).
23.2 TEKTONIK DAN STRUKTUR REGIONAL

Garis pantai utara dan selatan Jawa Tengah menyempit dan membentuk lekukan ke atas jika
dibandingkan dengan garis pantai Jawa Barat dan Jawa Timur. Pelekukan ini mungkin
berhubungan dengan tektonik ataupun struktur yang pertama kali dikemukakan oleh Situmorang
dkk (1976).

Dua buah sesar mendatar utama, yang disebut sebagai Sesar Muria-Kebumen dan Sesar
Pemanukan-Cilacap, yang memiliki arah dan pergeseran yang saling berlawanan satu sama lain,
diyakini menyebabkan penyempitan garis pantai Jawa Tengah dan menyebabkan banyak
perubahan geologi di Jawa Tengah (Satyana, 2007).

Pelekukan garis pantai Jawa Tengah ditengarai berhubungan dengan pengangkatan dan
tersingkapnya batuan mélange dan kompleks batuan dasar Lok Ulo – Karangsambung yang
berumur Pra-Tersier serta menghilangnya Zona Pegunungan Selatan di Jawa Tengah bagian
selatan.

Pulau Jawa berada di batas interaksi lempeng antara Lempeng Benua Eurasia dan Lempeng
Samudra Hindia, yang bertemu sejak Kapur. Oleh karenanya, batuan dasar di daerah Jawa terdiri
dari Lempeng Benua Eurasia dan intermediate accreted terrain (Jawa Barat paling selatan, Jawa
Tengah bagian selatan, dan Jawa Timur). Elemen tektonik utama yang dihasilkan dari pertemuan
dua lempeng tersebut antara lain palung subduksi, busur magmatik-volkanik, prisma akresi, dan
cekungan busur depan dan belakang. Batuan sedimen dan batuan volkanik diintrusi oleh
beberapa intrusi magmatik yang merupakan transisi antara batuan dasar benua di Jawa Barat dan
batuan dasar intermedier di Jawa Timur.

Pulunggono dan Martodjojo (1994), membagi arah struktur Pulau Jawa ke dalam 3 kelompok,
yakni Arah Meratus (baratdaya-timurlaut), Arah Sunda (utara-selatan), dan Arah Jawa (barat-
timur). Berdasarkan data anomali gaya berat (Untung, 1974; 1977; Untung dan Wiriosudarmo,
1975; Untung dan Hasegawa, 1975; Untung dan Sato, 1978), menemukan arah keempat yang
dinamakan Arah Sumatera (baratlaut-tenggara). Kehadiran struktur ini juga didukung oleh data
seismik yang ada (Pramono dkk., 1990; Gresko dkk., 1995; Ryacudu dan Bachtiar, 2000). Arah
struktur Sumatera ini hadir di daerah Jawa Barat dan menghilang di sebelah timur Jawa Tengah.
Sebaliknya Arah Meratus mendominasi pola struktur di utara Jawa Timur (Satyana dan Darwis,
2001) dan berkurang atau menghilang di sebelah barat Jawa Tengah. Hal ini diperkirakan karena
Jawa Tengah berada di daerah transisi struktur antara Arah Meratus dan Sumatera.

Umur pembentukan struktur-struktur tersebut yakni Kapur Akhir untuk Arah Meratus, Kapur
Akhir- Paleosen untuk Arah Sumatera, Eosen-Oligosen Akhir untuk Arah Sunda, dan Miosen
Awal adalah mula pembentukan Arah Jawa. Tipe struktur Arah Meratus, Sumatera, dan Sunda
umumnya berupa sesar normal dan sesar mendatar, sebaliknya struktur lipatan dan sesar naik/
anjakan terdapat pada Arah Jawa. Menurut Situmorang dkk (1976), Pola struktur yang ada di
Pulau Jawa berhubungan dengan kompresi utara-selatan akibat subduksi, serta mekanisme
pembentukan struktur berupa wrench tectonism dan mengikuti konsep wrench deformation dari
Moody and Hill (1956). Keempat arah struktur tersebut mewakili Orde I hingga Orde III konsep
wrench deformation (Gambar 23.3).
Gambar 23.3 Analisa struktur Jawa yang menggunakan strain ellipsoid kinematics (Satyana,
2005).

Dari Gambar 23.3 terlihat sesar utama adalah sesar mendatar mengiri Sesar Muria-Kebumen,
dan sesar mendatar menganan Cilacap-Pamanukan merupakan sesar pasangannya (antithetic
atau conjugate Riedel R’ shear). Komponen kompresional strain ellipsoid berarah utara-selatan
paralel dengan kompresi subduksi Lempeng Samudera Hindia di bawah Pulau Jawa. Kompresi
ini menghasilkan pola lipatan dan sesar naik/anjakan berarah barat-timur (Arah Jawa).
Komponen ekstensional strain elipsoid menghasilkan rifting ataupun rekahan ekstensional
berarah utara-selatan (Arah Sunda).

Implikasi geologi yang disebabkan oleh kedua sesar tersebut antara lain, komposisi batuan dasar
yang merupakan transisi dari granitic continental crust di Jawa Barat dan metasediment-accreted
crust di Jawa Timur (Satyana dan Darwis, 2001 dalam Satyana, 2005), pengangkatan daerah
Bumiayu-Lok Ulo dan tersingkapnya batuan dasar di sana, subsidence dan indentation Jawa
Tengah Utara (Gambar 23.4), subsidence Pegunungan Selatan Jawa dan pelekukan garis pantai
selatan Jawa Tengah, juga perubahan kelurusan Busur Gunung Api Jawa di Jawa Tengah.

Gambar 23.4 Skematik blok proses pengangkatan Jawa Tengah bagian selatan akibat dari
pergerakan pasangan sesar mendatar Muria-Kebumen dan Pamanukan-Cilacap (Satyana, 2005).

Penampang seismik utara-selatan (Gambar 23.5), menunjukkan adanya graben besar yang
membentuk cekungan. Terlihat pula adanya tinggian batuan dasar yang membatasi cekungan.
Sesar-sesar normal yang bertingkat-tingkat terbentuk di bagian sebelah utara cekungan, dan terus
menghilang hingga batas Karimun Jawa Arc.

Dalam penampang ini terlihat bahwa sesar-sesar normal tersebut teraktifkan kembali pada
pengendapan Formasi Cisubuh, ditandai dengan terpotongnya formasi batuan yang lebih tua dan
adanya penebalan di tengah cekungan dalam endapan Formasi Cisubuh (sedangkan tidak ada
penebalan pada endapan sebelumnya). Hadirnya dua formasi batugamping menunjukkan bahwa
terjasi dua fase berhenti/berkurangnya aktifitas tektonik di daerah tersebut.
Gambar 23.5 Penampang seismik Cekungan Jawa Tengah Utara dan sekitarnya (Anadarko, 2003)
23.3 STRATIGRAFI

Sejarah pengendapan sedimen di dalam cekungan diawali dengan pengendapan Lapisan


Worowari Silisiklastik yang berumur Eosen dan menutupi secara tidak selaras di atas Sikuen
Pra-Ngimbang. Lalu selanjutnya endapan ini ditutupi secara transgresif oleh endapan Miosen
Awal yang terdiri dari konglomerat kasar dan batupasir kuarsa dari Lapisan Lutut dan
batugamping terumbu yang dikenal sebagai Lapisan Sigugur. Selanjutnya terjadi subsiden
signifikan, yang ditandai dengan pengendapan sikuen turbidit tebal berumur Miosen Awal-
Tengah. Endapan ini terdiri atas batulempung napalan, batupasir kuarsa, dan batupasir tufaan
yang mengindikasikan adanya subsiden. Sikuen yang flysch-like series ini terdiri atas Lapisan
Merawu dan Penyatan di area tengah dan timur cekungan, serta Lapisan Pemali di daerah barat.

Analisa fosil Lapisan Pemali menunjukkan bahwa Lapisan Pemali tidak berumur Miosen Awal
atau tidak sebagai basal di Miosen Tengah, namun sebagai fasies laut dalam berumur Pliosen
Awal (Satyana dan Armandita, 2004). Lapisan Merawu dan Penyatan berkorelasi dengan
endapan yang mirip di Jawa Timur yakni Lapisan Kerek di Zona Kendeng dan Lapisan Rembang
di Zona Rembang. Pada Cekungan Bogor, Lapisan Merawu berkorelasi dengan endapan turbidit
Formasi Citarum dan Jatiluhur (Saguling). Di atas Lapisan Merawu diendapkan turbidit
volkaniklastik berumur Miosen Akhir dari Lapisan Halang.

Pengangkatan yang terjadi di daerah Jawa Tengah bagian selatan berdampak pada meningkatnya
kecepatan penurunan dasar cekungan. Peningkatan yang tiba-tiba dari orogenesa tidak hanya
diakibatkan oleh pergerakan gravitional sliding dari selatan ke utara, namun juga disebabkan
oleh bagian flank utara yang meluncur ke bawah ke bagian paling dalam cekungan.

Pada umur Mio-Pliosen, endapan gamping alas (basal) Seri Bodas terendapkan secara
transgressif dan tidak selaras di atas seri yang lebih tua. Kemudian penurunan cekungan dimulai,
yang volumetrik dianggap sebagai kompensasi pengangkatan kuat pada Mio-Pliosen di bagian
selatan Jawa Tengah.
Suksesi Mio-Pliosen mengisi cekungan, diawali dengan pengendapan endapan volkanik yang
berselingan dengan konglomerat, suksesi ini diakhiri dengan napal-lempung dan batupasir tufaan
dari Lapisan Kalibiuk. Seri volkanik dikenal sebagai Breksi Kumbang di bagian barat cekungan,
Seri Bodas di daerah tengah, dan Breksi Banyak di timur cekungan. Diatasnya terendapkan
secara selaras dan berurutan yakni batupasir tufaan dan napal Pliosen Awal Lapisan Cipluk.
Breksi volkanik Seri Bodas bagian bawah mengandung konglomerat polimik dengan fragmen
atau bongkah yang berasal dari daerah Lok-Ulo yang terangkat di daerah selatan. Breksi
Volkanik ini merupakan produk gunung api bawah laut yang masuk ke cekungan.

Pada umur Pliosen, sedimentasi laut dalam terus terendapkan di cekungan tersebut. Analisa
fasies di Brebes-Tegal-Pemalang, Jawa Tengah Utara (Sumardi dkk., 2001) mengungkapkan
bahwa kehadiran turbidit di daerah tersebut ekuivalen Formasi Cisubuh berumur Pliosen di area
pantai hingga ke utara, dan adanya indikasi sistem pengendapan yang merespons adanya jeda
antara paparan (shelfal) dan pengendapan di cekungan.

Setelah aktifitas volkanik di Miosen Awal, akumulasi batu gamping terumbu di atas Lapisan
Tapak ke barat dan Batugamping Kapung di sebelah timur. Suksesi pengendapan di dalam
cekungan mengindikasikan adanya pengangkatan yang dimulai pada Plio-Plistosen, karena
hanya terbentuk di sepanjang batas dari North Serayu Range. Endapannya terdiri atas Seri
Damar, Seri Ligung, dan Seri Kaliglagah-Mengger-Gintung. Periode pengangkatan ini seumur
dengan periode inversi yang terjadi di Cekungan Bogor.
Gambar 23.6 Stratigrafi regional Jawa Tengah (Sujanto dan Sumantri, 1977 op cit. Satyana dan
Armandita, 2004).
23.4 SISTEM PETROLEUM

Bemmelen (1949) melaporkan adanya rembesan minyak dan lapangan minyak yang ada di utara
Zona Serayu. Rembesan tersebut berada di daerah Karangkobar, Bawang dan Subah, Klantung
dan Sodjomerto, Klaiwaru, sebelah barat dari Gunung Ungaran (ditemukan banyak rembesan
minyak di sini), dan di sebelah timur Gunung Ungaran. Eksplorasi yang dilakukan Perusahaan
Minyak Belanda di dekat rembesan tersebut di awal 1900 tidak ada yang berhasil.

Meskipun begitu, pengeboran di daerah Klantung dan Sodjomerto berhasil, dan Lapangan Cipluk
pun ditemukan. Selama 35 tahun berproduksi, dengan produksi tahunan beberapa ratus ton, saat
ini lapangan tersebut telah ditinggalkan. Cebakan di lapangan ini dibentuk oleh antiklin yang
tersesarkan dengan reservoir berupa batupasir volkaniklastik dari Formasi Banyak berumur
Miosen Akhir. Minyaknya diyakini berasal dari batuserpih Lapisan Merawu atau batuserpih
berumur Eosen dari Lapisan Worowari (ekuivalen serpih Ngimbang Cekungan Jawa Timur
Utara), minyak tersebut mengisi cebakan melalui sesar sebagai jalur migrasinya. Perselingan
napal Lapisan Cipluk menyebabkan adanya tutupan vertikal ataupun lateral.

Salah satu Lapisan Pemali yang terbarat tersingkap di daerah Madja, sebelah barat Gunung
Ciremai di Cirebon, dilaporkan memiliki rembesan minyak aktif yang kurang terbiodegredasi
(Lunt dan Burgon, 2003 dalam Satyana dan Armandita, 2004).

Pergerakan gravitational sliding dari selatan ke utara di cekungan ini terjadi sebagai akibat
pengangkatan North Serayu Range selama Miosen Tengah-Akhir dan menghasilkan
pembentukan struktur. Formasi berumur Eosen - Miosen Akhir yang terdiri dari Lapisan
Worowari, Lutut, dan Sigugur, Merawu, dan lapisan non marine hingga laut dangkal serta
turbidites Lapisan Penyatan bawah terdeformasi menjadi toe thrust anticlines dan fault-
propagation folds.
23.4.1 Batuan Induk

Batuan induk Cekungan Jawa Tengah Utara, berasal dari serpih non-marin - laut dangkal Lapisan
Worowari dan batulempung napalan Lapisan Merawu. Kedua batuan ini terbukti sebagai batuan
induk hidrokarbon (minyak bumi) untuk Lapangan Cipluk.

23.4.2 Reservoir

Reservoir berupa batupasir kuarsa dan batupasir tufaan Lapisan Lutut dan Merawu, juga
batugamping terumbu Lapisan Sigugur.

23.4.3 Perangkap dan Migrasi

Hidrokarbon yang terbentuk dapat termigrasi hingga ke perangkap toe thrust anticlines yang
terbentuk di Lapisan Lutut dan Merawu atau gamping terumbu Lapisan Sigugur melalui
pensesaran toe thrust system.

23.4.4 Batuan Penyekat

Batuan penutup berupa serpih intraformasi di dalam Lapisan Merawu dan Penyatan.
DAFTAR PUSTAKA

Bemmelen, R.W. van, 1949, The Geology of Indonesia. Martinus Nijhoff, The Hague,
Netherlands.
Satyana, Awang H. dan Armandita, C., 2004, Deepwater Plays of Java, Indonesia: Regional
Evaluation on Opportunities and Risks, IPA-AAPG Deepwater and Frontier Symposium.
Satyana, Awang H., 2007, Central Java, Indonesia – A “Terra Incognita” In Petroleum
Exploration: New Considerations on the Tectonic Evolution and Petroleum
Implications, Indonesian Pet. Assoc., 31st Annual Convention Proceeding.
Sujanto, F.X., Sumantri, Yanto R., 1977, Preliminary Study on the Tertiary Depositional Patterns
of Java, Indonesian Pet. Assoc., 6th Annual Convention Proceeding.

Anda mungkin juga menyukai