Anda di halaman 1dari 15

ARSITEKTUR VERNAKULAR

‘Arsitektur Sulawesi’

DOSEN : ANDRI A. AMABI ST.,MT


MAHASISWA : PRICO ENJELINA NATTY
NIM :1906090013
KELAS : A

UNIVERSITAS NUSA CENDANA


FAKULTAS SAINS DAN TEKNIK
JURUSAN ARSITEKTUR
SEMESTER 5
2021

1
KATA PENGANTAR

Pertama-tama saya mengucapkan puji dan syukur kepada Tuhan yang Maha
Esa yang telah memberkati saya, sehingga laporan ini dapat diselesaikan. saya juga
ingin mengucapkan terima kasih bagi seluruh pihak yang telah membantu saya dalam
pembuatan laporan ini dan berbagai sumber yang telah saya pakai sebagai data dan
fakta pada laporan ini.

Saya mengakui bahwa saya adalah manusia yang mempunyai keterbatasan


dalam berbagai hal. Oleh karena itu tidak ada hal yang dapat diselesaikan dengan
sangat sempurna. Begitu pula dengan laporan ini yang telah saya selesaikan. Tidak
semua hal dapat saya deskripsikan dengan sempurna dalam laporan ini. saya
melakukannya semaksimal mungkin dengan kemampuan yang saya miliki.

Maka dari itu, saya bersedia menerima kritik dan saran dari pembaca yang
budiman. saya akan menerima semua kritik dan saran tersebut sebagai batu loncatan
yang dapat memperbaiki laporan saya di masa datang.

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.....................................................................................................................2

DAFTAR ISI................................................................................................................................... 3

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang...................................................................................................................4

1.2 Rumusan Masalah............................................................................................................ 4

1.3 Tujuan................................................................................................................................. 4

BAB II PEMBAHASAN

2.1 Sosial Budaya pada Arsitektur Rumah Tambi...................................................................5

2.2 Pola Tata Tapak pada Arsitektur Rumah Tambi …………………………………..…...7

2.3 Ruang dalam Arsitektur Rumah Tambi …………………………………..………..…….8

2.4 Struktur dan Konstruksi pada Arsitektur Rumah Tambi ……..……………………….11

BAB III PENUTUP

3.1 Kesimpulan…………………………………………………………………………..…14

DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………………………..15

3
BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Rumah Tambi merupakan rumah adat suku Lore yang tinggal di Lembah Bada,
Kecamatan Lore Selatan, Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah. Lembah Bada
terletak di daerah pedalaman. Berdasarkan Mahmud (1986), Lembah Bada
terletak di dataran tinggi yang kaya akan jenis kayunya. Tanaman yang hidup di
Lembah Bada, antara lain; Kayu hitam, kayu lunak, cengkeh, kopi, damar, rotan,
kayu manis, enau, bambu, sagu, dan kelapa. Sungai yang mengalir di Lembah
Bada antara lain; Sungai Lariang, Sungai Molawa, Sungai Malei; dan Sungai
Rampi yang banyak dimanfaatkan untuk persawahan penduduk.

1.2 Rumusan Masalah

1. Bagaimana sosial budaya pada arsitektur rumah Tambi?


2. Bagaimana pola tata tapak pada arsitektur rumah Tambi?
3. Bagaimana ruang arsitektur pada rumah Tambi?
4. Bagaimana struktur dan konstruksi pada arsitektur rumah Tambi?

1.3 Tujuan

Untuk membahas lebih mendalam mengenai arsitektur Sulawesi, khusnya rumah


Tambi mulai dari sosial budaya, pola tata tapak, ruang arsitektur, serta struktur
dan konstruksi pada arsitektur rumah Tambi.

4
BAB II

PEMBAHASAN
2.1 Sosial Budaya pada Arsitektur Rumah Tambi

Suku Lore menganut paham patrilineal. Penduduk yang keluar dari Lembah
Bada hanya pria dewasa, dengan alasan mencari pekerjaan, sedangkan
kalangan wanita tetap tinggal di kampung. Hal ini mengakibatkan ada beberapa
desa yang penduduk wanitanya lebih banyak daripada penduduk pria. Dalam hal
pendidikan, pria lebih tinggi pendidikannya. Sedangkan kalangan wanita
terkendala masalah budaya untuk melanjutkan pendidikan.

Suku Lore merupakan suku yang mampu memenuhi kebtuhan hidupnya sendiri.
Seorang laki-laki dianggap dewasa jika ia telah memiliki kemampuan/ketrampilan
untuk menghasilkan kebutuhan sandang (membuat pakaian), pangan (bercocok
tanam), dan papan (membangun tambi). Jika seorang lelaki dewasa belum
mampu melakukan ketiganya, maka dianggap aib. Suku Lore mengenal
stratifikasi sosial, sebagai berikut:

1. Tuana (raja), adalah keturunan bangsawan, penduduk asli, yang


mempunyai wibawa dan kekuasaan.
2. Kabilaha, adalah golongan yang masih merupakan keturunan dari tuana.
Golongan ini terpandang karena keberanian dan kesaktiannya.
3. Tuana Maroa, adalah orang baik-baik, golongan ini adalah yang paling
banyak dalam masyarakat. Mereka berhak mengikuti upacara adat dan
mengeluarkan pendapat kepada raja. Mereka adalah orang bebas; tidak
bertuan kepada raja dan tidak diperintah oleh raja.
4. Hawik (budak), yaitu golongan yang paling rendah. Mereka menjadi hawik
karena kalah peperangan atau melakukan tindakan kriminal.

5
Suku Lore tidak mengenal pernikahan antar kasta, kecuali antar kasta Tuana
dan Kabilaha. Jika pria dari kasta Tuana akan menikahi kasta dibawahnya akan
dikenakan givu (denda), yaitu 5-7 ekor kerbau jika akan menikah dengan Tuana
Maroa, dan puluhan ekor kerbau jika menikah dengan Hawik. Pihak pria Tuana
Maroa dilarang menikah dengan Tuana. Jika pria dari Hawik ingin menikahi
wanita dari Tuana Maroa, akan diusir dari desa.

Dalam hal kepercayaan, sebelum mengenal agama kristen protestan yang saat
ini menjadi mayoritas, mereka mengenal kepercayaan animisme bernama
Khalaik. Khalaik adalah kepercayaan pada dewa-dewa, makhluk halus, kekuatan
gaib, dan sejenisnya. Masyarakat percaya, dengan motapa (bertapa) dapat

6
memperoleh kesaktian dari kekuatan gaib. Ada lapia (pantangan) pada
masyarakat Lore berupa tidak boleh menyebutkan nama tempat tinggal makhluk
halus, misalnya gunung, gua, dan sungai. Masyarakat juga dilarang berteriak-
triak dan bermain di dekat tempat tinggal makhluk gaib agar tidak diganggu. Oleh
karena itu, suku Lore melakukan upacara adat dengan memberikan sesajian
dan membaca mantra agar makhluk gaib tidak mengganggu mereka.

Menurut masyarakat, anditu (setan) berjalan pada saat terbenamnya matahari.


Jika ada orang yang bertemu anditu, akan terkena penyakit narumpa, yaitu
terkena angin jahat. Untuk menyembuhkannya dukun desa akan memberikan
daun daun dan kulit kayu. Kepercayaan ini masih dipegang oleh suku Lore
walaupun saat ini mereka sudah beragama, yaitu Kristen Protestan (mayoritas)
dan Islam (minoritas). Kerukunan antara umat beragama pada suku Lore sangat
baik. Kesenian suku Suku Lore merupakan tarian, yaitu tari Raego, Dengki, dan
Kaberoo yang ditarikan dengan mengenakan pakaian adat suku Lore (gambar
3.2) dan hanya dengan satu jenis lagu saja. Hal yang membedakan ketiganya
adalah syairnya yang disesuaikan dengan kondisi baik saat panen, pernikahan,
penyambutan tamu, maupun kedukaan. Tarian ini merupakan sarana rekreasi
bagi

2.2 Pola Tata Tapak pada Arsitektur Rumah Tambi

Permukiman penduduk mengikuti aliran sungai, karena air dari sungai menjadi
sumber kebutuhan primer penduduk. Pola perkampungan penduduk warga
mengelompok padat, agar memudahkan komunikasi antar warga. Sarana dan
prasarana warga diletakkan di lokasi yang mudah dijangkau oleh warga.
Keberadaan Rumah Tambi mulai banyak ditinggalkan oleh warga yang lebih
memilih rumah dengan struktur beton bertulang. Lokasi perkuburan terdapat di
tempat yang dianggap tandus atau kurang subur.

7
Dalam pembangunan tambi, pemilik dibebaskan untuk memilih lokasi tambinya,
namun umumnya seorang ayah akan meminta anak-anaknya untuk tinggal
berdekatan dengannya. Keberadaan Gampiri menjadi satu kesatuan dengan
tambi. Tidak ada tambi tanpa gampiri, sehingga lokasinya selalu berdekatan
dengan tambi. Duhunga (tempat musyawarah), diletakkan dekat dengan Tambi
milik Tuana Manile. Sedangkan Tambi ponemba (rumah ibadah) didirikan dekat
dengan masyarakat beragama kristen banyak tinggal serta mudah dijangkau
oleh jemaat lainnya.

2.3 Ruang dalam Arsitektur Rumah Tambi

Rumah adat tambi merupakan rumah dengan struktur panggung. Di bagian


bawah rumah, dia atas balok yang terbuat dari batang pohon eboni utuh,
ditempatkan hiasan berupa kepala kerbau di sekeliling rumah. Untuk memasuki
rumah, perlu menggunakan dua buah tangga yang terbuat dari kayu utuh yang
dipotong sedemikian rupa sehingga menjadi anak tangga. Dinding dan atapnya
menjadi satu kesatuan. Bentuk bangunannya berupa prisma dengan bukaan
berupa pintu di bagian depan rumah, dua jendela di bagian belakan rumah, serta
ventilasi pada tumpukan atap di bagian depan dan belakang bangunan. Material
penutup atap rumah tambi adalah sirap.

8
Massa rumah tambi berbentuk prisma, sehingga tampak depannya berbentuk
segi tiga. Tampak keempat sisi rumah Tambi dapat dilihat pada gambar. Tampak
rumah Tambi secara umum simetris. Keasimetrisan hanya ditemukan pada
peletakan pintu masuk rumah yang berada di sisi kanan bangunan. Jendela yang
berada pada bagian belakang rumah juga diletakkan secara simetris di bagian
kanan dan kiri fasade.

Bagian dalam rumah berbentuk persegi panjang tanpa sekat. Di sekeliling


dindingnya dibuat level yang lebih tinggi dari lantai bangunan yang disebut
dengan Asari. Pada bagian asari, penghuni menggunakan nunu (alas yang
terbuat dari kulit kayu) untuk tidur. Asari ini berfungsi sebagai tempat istirahat
maupun penyimpanan. Sedangkan lobana berfungsi sebagai tempat beraktivitas
sehari-hari maupun menerima tamu. Di bagian tengah ruangan terdapat Rapu
yang berfungsi sebagai dapur maupun sebagai sumber penghangat ruangan,
megingat tempat hidup suku Lore yang terletak di pegunungan. Namun, pada
replika rumah tambi di TMII, bagian rapu hanya difungsikan sebagai rak
penyimpanan saja. Pembagian ruang Asari, lobana, dan rapu.

9
Pada bagian eksterior rumah tambi ditemukan ragam hias berupa tanduk kerbau
yang diletakkan di atas balok-balok pondasi. Tanduk kerbau ini diletakkan di tiap
sisi rumah; depan samping, dan belakang serta menunjukkan strata sosial
pemilik rumah. Tidak ditemukan ukiran pada bagian eksterior rumah. Bubungan
atap juga polos tanpa ornamen.

10
Pada bagian interior rumah ditemukan beberapa hiasan/patung-patung kecil
berbentuk stilisasi dari manusia, hewan dan genetalia. Tanduk kerbau yang
dijumpai pada bagian eksterior rumah tambi juga ditemukan pada bagian dalam
rumah, yang terpasang pada bagian kolom kayu.

2.4 Struktur dan Konstruksi pada Arsitektur Rumah Tambi

Pondasi rumah tambi menggunakan umpak dari batu alam sebagai pondasi. Dia
atas umpak tersebut, disusun balok balok kayu berbentuk penampang bulat.
Struktur ruangan utamanya menggunakan material kayu. Konstruksi kayu yang
ditemui pada rumah Tambi di TMII sama seperti struktur kayu pada bangunan
kayu modern.

11
Menurut Said (2012), Rumah Tambi merupakan rumah di atas tiang yang terbuat
dari kayu bonati . Bentuk rumah ini segi empat dan atapnya berbentuk piramida
terbuat dari daun rumbia atau ijuk. Ukurannya tergantung dari kemampuan
masing-masing pemiliknya. Pintu rumah berbentuk empat persegi yang
menghadap ke depan. Tangga rumah terbuat dari kayu keras yang bulat dan
ditakik. Jumlah anak tangga antara 3-5 buah, tergantung dari tinggi rendahnya
rumah tersebut.

Pada Rumah adat tambi tidak terdapat dinding luar hanya atap yang di fungsikan
sebagai dinding sebagai penutup bangunan. Namun pada bagian dalam
bangunan terdapat dinding sebagai pembatas ruang berupa sekat ruang
contohnya tempat tidur (asari), dan dinding tempat penyimpanan barang-barang

12
berharga (pu’ono). Kemudian tangga yang di gunakan pada rumah adat tambi
menggunakan material kayu dopi berbentuk bulat dengan kemiringan ±50–60
derajat.

Desain rumah tambi belum cukup efektif dalam merespon iklim dataran tinggi
tropis, karena belum mampu memodifikasi iklim luar menjadi kondisi yang
nyaman didalam bangunan (karena keterbatasan elemen-elemen Rumah Tambi
dalam memodifikasi kondisi temperatur yang cenderung rendah).

13
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Rumah tambi adalah produk kebudayaan suku Lore di Lembah Bada yang
merepresentasikan faktor fisik maupun non fisik yang saling mempengaruhi satu
sama lain dalam kebudayaan mereka. Faktor fisik yang berpengaruh pada
arsitektur Suku Lore antara lain adalah:

 Iklim, walaupun pada awalnya arsitektur tambi kurang resposif terhadap


iklim, namun sedikit demi sedikit terjadi perkembangan dengan
menambahkan elemen bukaan bangunan untuk mencapai kenyamanan
thermal penghuni.
 Sumber Daya (material), bangunan tambu, duhunga, dan buho
sepenuhnya dibangun dengan material lokal yang tersedia di alam sekitar.

Sedangkan faktor non fisik yang mempengaruhi adalah kondisi sosial budaya,
yaitu;

 Mata pencaharian suku Lore adalah pertanian, hal ini tercermin dalam
bangunan rumah mereka yang selalu harus dilengkapi dengan buho.
Tidak ada tambi tanpa buho, yang melambangkan kesejahteraan pemilik
rumah.
 Kepercayaan/agama khalaik banyak mempengaruhi arsitektur suku Lore.
Perpindahan dari kepercayaan Khalaik menjadi kristen protestan
membawa dampak yang signifikan pada arsitektur suku Lore.

14
DAFTAR PUSTAKA

file:///C:/Users/HAWLET_PACKARD/Downloads/Arsitektur%20Suku%20Lore.pdf

15

Anda mungkin juga menyukai