System pengetahuan
Agar dapat meneruskan dan menjaga adat serta budaya mereka, anak anak yang
terdapat dalam satu keluarga dibagi menjadi dua, separuh dari anak anak itu boleh untuk
bersekolah sedangkan yang lain tidak diperkenankan. Hal tersebut dilakukan agar mereka dapat
meneruskan adat mereka. Aturan pendidikan bagi anak-anak suku Boti bertujuan agar tercipta
keseimbangan antara kehidupan masa sekarang dengan kehidupan berdasarkan adat dan tradisi
yang sudah diwariskan oleh leluhur mereka. Sekolah yang ada di desa Boti tidak memaksakan
anak-anak dari boti dalam harus mengikut agama yang ada di Boti luar karena sekolah
mengajar untuk moral yang baik. Tetapi saat disekolah anak anak mengikuti berdoa mengikuti
agama Kristen namun ketika di Sonaf anak anak diajarkan sesuai dengan kepercayaan yang
dianut.
Religius
Suku Boti dikenal sangat memegang teguh keyakinan dan kepercayaan mereka yang
disebut Halaika, khususnya Boti Dalam. Mereka percaya pada dua penguasa alam yaitu Uis
Pah dan Uis Neno. Uis Neno ma Uis Pah mengajarkan masyarakat untuk menjaga hubungan
baik antara manusia dan dewa, manusia dan manusia lainnya, serta manusia dan alam.
Keyakinan ini membutuhkan menjaga alam dan saling memperhatikan. Suku Boti Luar sudah
menganut agama Kristen Protestan dan Katolik.
Bahasa
Banyak kaum sesepuh Boti yang tidak lancar bahkan tidak bisa berbahasa Indonesia.
Sehari-hari mereka menggunakan bahasa daerah Dawan. Namun demikian, bahasa bukan
halangan bagi warga Boti untuk menyambut tamu-tamu mereka yang datang ke desa mereka.
Bahasa Dawan merupakan bahasa terbesar di daratan pulau Timor, Provinsi Nusa Tenggara
Timur (NTT). Selain itu, bahasa Dawan atau U’ab Meto adalah salah satu dari 72 bahasa daerah
yang tersisa di NTT. Bahasa Dawan digunakan oleh masyarakat yang mendiami wilayah Timor
Barat, terutama di Kabupaten Timor Tengah Selatan, Timor Tengah Utara, dan kota Kupang.
Sistem Kemasyarakatan
Suku Boti dalam memliki Jumlah penduduk sekitar 77 kepala keluarga yang dipimpin
oleh seorang raja yang bernama Usif Nama Benu. Dalam kehidupan sehari-hari ada pembagian
tugas yang jelas antara kaum lelaki dan perempuan. Para lelaki bertugas mengurusi
permasalahan di luar rumah, seperti berkebun, dan berburu. Sementara urusan rumah tangga,
diserahkan kepada kaum perempuan. Meskipun pembagian peran ini biasa dijumpai dalam
sistem kekerabatan, ada satu hal yang membuat warga Boti agak berbeda, mereka menganut
monogami atau hanya beristri satu. Seorang lelaki Boti yang sudah menikah, dilarang
memotong rambutnya. Sehingga bila rambut mereka semakin panjang, mereka akan
menggelungnya seperti konde.
Mata Pencaharian
Suku Boti sangat menghargai dan menghormati alam karena mereka menyadari bahwa
kehidupannya sangat bergantung pada alam. Mata pencaharian mereka sangat bergantung pada
alam seperti bercocok tanam dan beternak. Namun hasil dari bercocok tanam dan beternak itu
biasanya untuk dimakan sendiri oleh Masyarakat di suku boti dalam dan tidak ada yang dijual.
Aturan adat kedua yang terbilang unik yaitu sanksi terhadap tindak pencurian. Suku
Boti menjunjung tinggi ajaran agama bahwa kejahatan tidak boleh dibalas dengan
kejahatan, sehingga sebagai contoh jika seseorang melakukan pencurian pada ternak
atau hasil kebun tetangganya, maka tetua-tetua adat akan berembuk dan menambahkan
jenis barang yang dicuri oleh pelanggar (jika si pencuri mengambil ayam, maka tua adat
akan menambahkan ayam berkali ganda kepada pencuri tersebut). Aturan adat ini
diterapkan karena mereka beranggapan, pencuri adalah orang yang tidak mampu.
• Neon Ai (Hari Api). Hari yang diartikan sebagai hari yang terang dan cerah.
Tetapi perlu berhati-hati dengan penggunaan api, sebab jika tidak dapat
mendatangkan malapetaka berupa kebakaran.
• Neon Masikat (Hari Berebutan). Hari ini merupakan kesempatan bagi warga
untuk memanfaatkannya secara efisien dan efektif dalam berkomunikasi dan
beraktifitas baik dengan sesama maupun lingkungan alam. Hari ini juga
merupakan kesempatan untuk meraih sukses dalam hidup.
• Neon Uis Pah ma Uis Neno (Hari Dewa Bumi dan Dewa Langit). Hari ini
merupakan hari yang diperuntukan bagi semua makhluk hidup untuk
memuliakan Pencipta dan Pemelihara hidup serta pemangku dan pemberi
kesuburan. (Amoet Apakaet, Afafat ma Amnaifat; Manikin ma Oe',tene he
Namlia ma Nasbeb).
2. Arsitektur
Perkampungan Suku Boti dapat diketahui dua jenis bangunan yang dominan dalam
corak perkampungan masyarakat di Pulau Timor pada umumnya dan Boti pada
khusunya, yaitu Ume Khubu dan Lopo Ume Khubu (rumah bulat) diperuntukan sebagai
tempat beristirahat dan tidur, sedangkan Lopo digunakan sebagai tempat bersantai
maupun tempat pertemuan (biasanya untuk membahas upacara adat/keagamaan oleh
ketua suku dengan anggota masyarakat).
Kesenian
Salah satu hasil seni yang paling tersohor dari desa Boti adalah kain tenunnya yang
punya warna dan motif yang sangat cantik. Masyarakat Suku Boti biasanya
menggunakan selimut dan sarung yang ditenun sendiri dengan bahan dasar kapas yang
dibuat menjadi benang dengan alat alat sederhana. Lalu benang tersebut di rendam
dengan pewarna alami dari alam. Lalu benang disusun sedemikian rupa di alat tenun.
Maka itu dapat disimpulkan bahwa Masyarakat Suku Boti sudah bisa bertahan
hidup hingga saat ini di pulau timor yang merupakan lahan kering. Hal itu dapat
dilihat bagaimana mereka sangat hormat kepada alam dan juga mata
pencahariannya.