Anda di halaman 1dari 26

NASKAH TUTORIAL

TEORI LEGISLASI DALAM PEMBENTUKAN


PERATURAN DAERAH

PENYUSUN
I NENGAH SUANTRA, S.H., M.H.
MADE NURMAWATI, S.H., M.H.

UNIVERSITAS UDAYANA
FAKULTAS HUKUM
DENPASAR
2016
IDENTITAS MATA KULIAH

Program Studi : Sarjana (S1) Ilmu Hukum, Fakultas Hukum


Universitas Udayana.

Nama mata kuliah/Kode : Klinik Perancangan Produk Hukum Daerah/


NAK612.

Jumlah SKS : 2

Pengajar : 1. I Nengah Suantra, S.H., M.H.


2. Made Nurmawati, S.H., M.H.

Capaian Pembelajaran:
Pada akhir perkuliahan teori legislasi dalam pembentukan produk
hukum daerah, mahasiswa memahami teori-teori yang relevan dan sangat
penting untuk pembentukan produk hukum daerah, sehingga dengan rasa
tanggung jawab, jujur dan demokratis mampu menerapkan teori-teori tersebut
dalam pembentukan produk hukum daerah.

Mata Kuliah Prasyarat: Tidak ada

Deskripsi Mata Kuliah


Mata kuliah Klinik Perancangan Produk Hukum Daerah mencakup
aspek-aspek teoritis dan praktis dalam penyusunan produk hukum daerah
yang diawali dengan pemahaman mengenai konsep Clinical Legal Education
(CLE), klinik hukum, perbedaan klinik hukum dengan mata kuliah praktek
lainnya, serta model pelaksanaan klinik hukum lainnya. Mata kuliah ini
dimulai dengan memberikan pengetahuan mengenai dasar-dasar
Pembentukan Produk Hukum Daerah. Setelah itu akan dilanjutkan dengan
materi Perancangan Keputusan Kepala Daerah dan Keputusan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), Perancangan Peraturan Kepala Daerah
(Perkada) dan Perancangan Peraturan Daerah (Perda).
Proses pembelajaran klinik perancangan produk hukum daerah
menggunakan metode pengajar CLE yang terdiri atas planning component,
experiential component, reflection dan evaluation component. Pendekatan yang
dipergunakan adalah teoritik dan praktik. Pendekatan teoritik meliputi: teori
sistem hukum perundang-undangan / legal system; teori penjenjangan norma
hukum, stufenbau theory; gelding theory; good legistation theory; ROCCIPI;

2
teori momentum; teori kewenangan; dan ketentuan peraturan perundang-
undangan yang terkait. Pendekatan praktik meliputi: teknik penyusunan
naskah akademik, teknik penyusunan keputusan Kepala Daerah dan
keputusan DPRD, teknik penyusunan Peraturan Kepala Daerah dan teknik
penyusunan Peraturan Daerah. Pelaksanaan kuliah bekerjasama dengan mitra
yang telah dijalin oleh FH UNUD selama ini, yakni Pemerintah Derah se-
Provinsi Bali.

PENDAHULUAN

1. Bahan ajar Teori Legislasi dalam Pembentukan Produk Hukum Daerah


mencakup materi pengertian dan ruang lingkup produk hukum daerah,
jenis-jenis teori legislasi dalam pembentukan produk hukum daerah.
2. Capaian pembelajaran yang diharapkan dari bahan ajar ini adalah
mahasiswa memahami teori-teori yang relevan dan sangat penting untuk
pembentukan produk hukum daerah, sehingga dengan rasa tanggung
jawab, jujur dan demokratis mampu menerapkan teori-teori tersebut dalam
pembentukan produk hukum daerah.
3. Mahasiswa akan lebih mudah memahami materi bahan ajar ini apabila
mahasiswa telah memiliki capapain pembelajaran atas bahan kajian dalam
Hukum Perundang-undangan dan Perancangan Peraturan Perundang-
undangan.
4. Capaian pembelajaran atas bahan ajar ini sangat bermanfaat bagi
mahasiswa, secara teoritis maupun praktis. Manfaat teoritis bagi
mahasiswa adalah mahasiswa memiliki pengembangan wawasan
pengetahuan teoritis dalam pembentukan produk hukum daerah dan
kemampuan menguraikan konsep-konsep teori legislasi. Sedangkan
manfaat praktis bagi mahasiswa yaitu mahasiswa memiliki kemampuan
menerapkan teori-teori legislasi dalam pembentukan produk hukum
daerah.
5. Sistematika penyajian atas bahan ajar ini adalah sebagai berikut:
a. Pengertian dan ruang lingkup produkhukum daerah;
b. Teori sistem hukum dalam pembentukan produk hukum daerah;
c. Teori penjenjangan norma hukum;
d. Teori pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik;
e. Teori ROCCIPI;
f. Teori momentum.

3
6. Petunjuk Belajar:
a. Mahasiswa melakukan self study, yakni melakukan penelusuran sumber
belajar yang sudah dicantumkan dan digunakan dalam bahan ajar ini
atau pun sumber belajar lain yang relevan.
b. Membaca bahan ajar ini dan melakukan pengayaan berdasarkan hasil
bacaan dari sumber belajar.
c. Membuat rangkuman atas bahan ajar ini dan mencatat hasil membaca
sumber belajar.
d. Berdiskusi – bertanya kepada dosen yang memberikan kuliah atas
substansi yang dianggap belum jelas dalam bahan ajar ini.
e. Membentuk kelompok kecil yang terdiri dari paling banyak 10 orang dan
berdiskusi di dalam kelompok serta membuat laporan hasil diskusi.

PENYAJIAN MATERI

Pengertian Produk Hukum Daerah

Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 menentukan dengan tegas bahwa Indonesia
merupakan Negara Hukum. Hal ini mengandung konsekuensi bahwa segala
tindakan pemerintah maupun masyarakat harus berdasarkan hukum. Dalam
mengatur kehidupan masyarakat produk hukum yang dapat dihasilkan
adalah produk hukum nasional maupun produk hukum daerah.
Pembentukan peraturan perundang-undangan (legal drafting) adalah
merupakan istilah yang lazim dipakai. Kamus Besar Bahasa Indonesia1
menjelaskan kata “legal” berarti sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan atau (berarti) hukum. Kata “draft” dalam Kamus Inggris-
Indonesia2, diartikan sebagai “konsep”, dengan penambahan kata “ing”, maka
“drafting” berarti “pengonsepan”, “perancangan”. Jadi “legal drafting” adalah
pengonsepan hukum atau perancangan hukum yang berarti “cara
penyusunan rancangan peraturan sesuai tuntutan teori, asas dan kaidah
perancangan peraturan perundang-undangan”3

1Sulchan syahid, 2000, Kamus Besar Bahasa Indonsia, hlm. 651.


2John M.Echolls dan Hasan Shadily, 2000, Kamus Inggris-Indonesia, hlm.196.
3Supardan Modeong dan Zudan Arif Fakrulloh, 2005, Legal Drafting Berporos Hukum

Humanis Partisipatoris, PT.Perca, Jakarta, hlm.13.

4
Burkhardt Krems4, menyatakan bahwa pembentukan peraturan
perundang-undangan (Staatliche Rechtssetzung) meliputi dua hal pokok yaitu
kegiatan menentukan isi peraturan (inhalt der regeling) di satu pihak, dan
kegiatan yang menyangkut pemenuhan bentuk peraturan (form der regeling).
Pembentukan peraturan perundang-undangan merupakan kegiatan
interdisipliner. T. Koopman menyatakan fungsi pembentukan peraturan
perundang-undangan itu semakin terasa diperlukan kehadirannya, karena di
dalam negara yang berdasarkan atas hukum modern (verzorgingsstaat),5
tujuan utama pembentukan undang-undang bukan lagi menciptakan
kodifikasi bagi nilai-nilai dan norma-norma kehidupan yang sudah mengendap
dalam masyarakat melainkan menciptakan modifikasi atau perubahan dalam
kehidupan masyarakat.
Pasal 1 angka 1 UU No. 12 Tahun 2011 menentukan bahwa
pembentukan peraturan perundang-undangan adalah pembuatan peraturan
perundang-undangan yang mencakup tahapan perencanaan, penyusunan,
pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan pengundangan. Sedangkan
yang dimaksud dengan pembentukan produk hukum daerah adalah
pembuatan peraturan perundang-undangan daerah yang mencakup tahapan
perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan,
pengundangan , dan penyebarluasan.6 Dengan demikian, kata “pembentukan”
berarti “proses, perbuatan, cara membentuk.”7 Itu menunjukkan bahwa, kata
pembentukan memiliki makna yang luas, tidak sekedar berkaitan dengan hal-
hal yang bersifat teknis, melainkan juga mencakup aspek substansial.
Pasal 1 angka 2 UU No. 12 Tahun 2011 menentukan bahwa yang
dimaksud dengan peraturan perundang-undangan adalah peraturan tertulis
yang memuat norma hukum yang mengikat secara umum dan dibentuk atau
ditetapkan oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang melalui
prosedur yang ditetapkan dalam Peraturan Perundang-undangan. Dari difinisi
tersebut maka suatu peraturan baru dapat disebut sebagai peraturan
perundang-undangan jika:
a. merupakan keputusan tertulis,

4A.Hamid.S.Attamimi, “Peranan Keputusan Presiden RI Dalam Penyelenggaraan


Pemerintahan Negara”, Disertasi Doktor UI (Jakarta: 1990), hlm.317.
5Mahendra Putra Kurnia, 2007, et all, Pedoman Naskah Akademis Perda Partisipatif,
Kreasi Total Media, Jogyakarta, hal.5.
6 Lihat ketentuan Pasal 1 angka 15 Permendagri No.1 Tahun 2014 tentang Pembentukan

Produk Hukum Daerah.


7 Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar

Bahasa Indonesia, Edisi Kedua, (Jakarta: Balai Pustaka, 1995), hlm. 119.

5
b. memuat norma hukum;
c. mengikat umum;
d. dibentuk oleh pejabat yang berwenang; dan
e. dengan prosedur yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan.
Sedangkan yang dimaksud dengan produk hukum daerah adalah Produk
hukum yang berbentuk peraturan meliputi peraturan daerah (Perda) atau
nama lainnya, Peraturan Kepala Daerah (Perkada), Peraturan Bersama Kepala
Daerah (PB KDH), Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Peraturan
DPRD) dan berbentuk keputusan meliputi keputusan kepala daerah,
keputusan DPRD, keputusan pimpinan DPRD dan keputusan badan
kehormatan DPRD.8

Ruang Lingkup Produk Hukum Daerah

Produk Hukum daerah menurut Pasal 2 Peraturan Menteri Dalam Negeri


No. 80 Tahun 2015 tentang Pembentukan Produk Hukum Daerah berbentuk
peraturan dan penetapan. Pasal 3 menentukan bahwa produk hukum daerah
yang berbentuk peraturan terdiri dari :
a. Peraturan daerah (Perda) atau nama lainnya;
b. Peraturan Kepala Daerah (Perkada);
c. Peraturan Bersama Kepala Daerah (PB KDH); dan
d. Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD).
Perda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf a, terdiri dari perda
propinsi dan perda kabupaten/kota (Pasal 4 ayat 1). Sedangkan Perkada
terdiri dari Peraturan Gubernur, Peraturan Bupati, Peraturan Walikota (Pasal
6 Permendagri No.80 Tahun 2015). PB KDH sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 3 huruf c terdiri atas: peraturan bersama gubernur, Peraturan bersama
bupati, dan Peraturan bersama walikota. Peraturan DPRD sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 huruf d terdiri atas: Peraturan DPRD Provinsi,
Peraturan DPRD kabupaten, dan Peraturan DPRD kota.
Produk hukum daerah yang bersifat penetapan menurut ketentuan
Pasal 9 Permendagri No. 80 Tahun 2015 berbentuk: Keputusan Kepala
Daerah; Keputusan DPRD; Keputusan Pimpinan DPRD; dan Keputusan Badan
Kehormatan DPRD.

Lihat ketentuan Pasal 1 angka 19 dan Pasal 2 Permendagri No.80 Tahun 2015 tentang
8

Pembentukan Produk Hukum Daerah.

6
Teori Sistem Hukum Perundang-undangan
Menurut Mochtar Kusumaatmaja, pengertian hukum tidak hanya
memandang hukum sebagai suatu perangkat kaidah dan asas-asas yang
mengatur kehidupan manusia dalam masyarakat, tetapi juga harus mencakup
lembaga (institution) dan proses (process) yang diperlukan untuk mewujudkan
hukum itu dalam kenyataan.9 Dengan demikian maka komponen sistem
hukum terdiri dari; 1. asas-asas dan kaedah; 2. Kelembagaan hukum; dan 3.
proses-proses perwujudan kaidah hukum.
Dalam prespektif pembentukan peraturan perundang-undangan, suatu
sistem hukum terdiri dari sub-sub sistem yaitu lembaga pembentuk (Law
Making Institutions ), lembaga-lembaga pelaksana (Implementing Institutions),
dan pihak y ang akan terkena atau yang dituju oleh peraturan tersebut (Rule
Occupants). Sedangkan menurut Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN),
sistem hukum terdiri dari elemen-elemen sebagai berikut:
1. Materi hukum (tatanan hukum) yang di dalamnya terdiri dari:
a. perencanaan hukum;
b. pembentukan hukum;
c. penelitian hukum;
d. pengembangan hukum.
Untuk membentuk materi hukum harus diperhatikan politik hukum yang
telah ditetapkan, yang dapat berbeda dari waktu kewaktu karena adanya
kepentingan dan kebutuhan.
2. Aparatur hukum, yaitu mereka yang memiliki tugas dan fungsi
penyuluhan hukum, penerapan hukum, penegakan hukum dan pelayanan
hukum;
3. Sarana dan prasarana hukum yang meliputi hal-hal yang bersifat fisik;

9 Mochtar Kusuma Atmaja,1986, Hukum dan Masyarakat dan Pembinaan Hukum Nasional,
Lembaga penelitian Hukum dan Kriminologi Fakultas Hukum Universitas Pajajaran, Bandung,
hal.15.

7
4. Budaya hukum yang dianut oleh warga masyarakat termasuk para
pejabatnya; dan
5. Pendidikan hukum.10
Memandang hukum sebagai suatu sistem juga dikemukakan oleh Kess
Schut sebagaimana dikemukakan oleh J.J.H.Brugink yang menyatakan bahwa
sistem hukum terdiri dari tiga unsure yang saling berkaitan yakni unsure idiil,
unsure operasional dan unsure actual.11 Unsur idiil terdiri atas aturan-aturan,
kaidah-kaidah dan asas-asas. Unsur inilah yang oleh para yuris disebut
dengan “sistem hukum”. Unsur operasional terdiri dari keseluruhan organisasi
dan lembaga-lembaga, yang didirikan dalam suatu sistem hukum. Sedangkan
unsure actual adalah putusan-putusan dan perbuatan kongkrit yang
berkaitan dengan sistem makna dari hukum, baik dari pengembanan jabatan
maupun dari warga masyarakat, yang di dalamnya terdapat sistim hukum
tersebut. Dengan demikian maka sistem hukum dapat dipahami mempunya
arti sempit dan luas. Dalam arti sempit mencakup unsur idiil, sedangkan
dalam arti luas mencakup unsur idiil, operasional dan aktual. Sistem hukum
dalam arti sempit disebut pula dengan sistem hukum positip, yang terdiri dari
peraturan perundang-undangan, yurisprodensi, hukum adat dan hukum
kebiasaan. Apabila sistem hukum idiil tersebut dituangkan dalam bentuk
tertulis oleh pejabat yang berwenang di bidang perundang-undangan maka
disebut dengan sistem hukum perundang-undangan.
Menurut HS Natabaya, yang dimaksud dengan system peraturan
perundang-undangan Indonesia adalah sebagai suatu rangkaian unsur–unsur
hukum tertulis yang saling terkait, pengaruh mempengaruhi, dan terpadu
yang tidak dapat dipisahkan satu sama lainnya, yang terdiri dari atas; asas-
asas, pembentuk dan pembentukannya, jenis, hierarki, fungsi,

10
Satya Arianto, 2003, Hak Asasi manusia Dalam Transisi Politik di Indonesia, Pusat Studi Hukum Tata
Negara FHUI, hal.131-132.
11
J.J.H.Brugink,1996, Refleksi Tentang Hukum, Citra Adity Bakti, Bandung, hal.140

8
pengundangan, penyebarluasan, penegakan dan pengujiannya yang dilandasi
oleh falsafah Pancasila dan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945.12

Teori Penjenjangan Norma Hukum


Teori tata urutan norma hukum adalah teori yang dikemukakan oleh
Hans Kelsen, dimana menurutnya bahwa suatu norma hukum itu valid karena
dibuat dengan cara yang ditentukan oleh suatu norma hukum yang lain, dan
norma hukum yang lain itu menjadi landasan validitas dari norma hukum
yang disebut pertama, dan menurutnya suatu tatanan hukum, terutama
tatanan hukum yang dipersonifikasikan dalam bentuk Negara bukanlah
sistem norma yang satu dan lain hanya dikoordinasikan, yang berdiri sejajar
dan sederajat, melainkan suatu tatanan urutan norma-norma dari tingkatan-
tingkatan yang berbeda. Pembentukan norma yang satu- yakni norma yang
lebih rendah – ditentukan oleh norma yang lebih tinggi lagi, yang
pembentukannya ditentukan oleh norma yang lebih tinggi lagi, dan bahwa
regressus (rangkaian proses pembentukan hukum) ini diakhiri oleh suatu
norma dasar tertinggi, yang menjadi dasar tertinggi dari validitas keseluruhan
tatanan hukum, membentuk suatu kesatuan tatanan hukum.13
Dengan demikian maka menurut Hans Kelsen dalam teorinya yang
disebut dengan “Stufenbau des Recht” atau hierarchi hukum, bahwa norma
hukum itu berjenjang-jenjang dan berlapis-lapis dalam suatu hierarchi atau
tata susunan, dimana sustu norma yang lebih rendah berlaku,bersumber, dan
berdasar pada norma yang lebih tinggi, norma yang lebih tinggi berlaku,
bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi lagi, demikian

12
HS.Natabaya, Sistem Peraturan Perundang-Undangan Indonesia,(Jakarta: Konstitusi Press dan
Tatanusa,2008),hlm.32-33.
13
Hans Kelsen, Teori Umum Tentang Hukum dan Negara, diterjemahkan oleh Raisul Multtagen dari buku Hans
Kelsen General Theory of Law and State, (Bandung: Penerbit Nusa Media dan Penerbit Nuansa, 2006), hlm.179.

9
seterusnya sampai pada suatu norma yang tidak dapat ditelusuri lebih lanjut
yaitu norma dasar (Grundnorm).14
Dalam sistem hukum Indonesia dan dikaitkan dengan jenis dan hierarki
peraturan perundang-undangan di Indonesia, maka UUD Tahun 1945 harus
menjadi acuan dalam penyelenggaraan pemerintahan Negara termasuk
pemerintahan desa dan dalam mengatur kehidupan warga negaranya. Tatanan
hukum yang menjadi bingkai dari norma-norma hukum tersusun dalam
sebuah system hukum, dimana norma-norma tersebut tidak boleh
mengesampingkan atau bertentangan dengan norma hukum lainnya.
Dengan demikian sebagai sebuah Negara hukum, sistem hukumnya
harus tersusun dalam suatu tata norma hukum secara hierarchis dan tidak
boleh saling bertentangan baik secara vertical maupun horizontal. Tata urutan
norma hukum di Indonesia diatur dalam UU No.12 Tahun 2011. Dalam UU
No.12 Tahun 2011 akan tampak bahwa peraturan perundang-undangan di
Indonesia terdiri dari; 1). peraturan perundang-undangan yang berada
didalam hierarki, dan 2) peraturan perundang-undangan di luar hierarki.
Peraturan perundang-undangan yang berada di dalam hierarki adalah apa
yang ditentukan dalam Pasal 7 ayat (1) UU No.12 Tahun 2011, sedangkan
yang diluar hierarki sebagaimana ditentukan dalam Pasal 8 ayat (1) UU No.12
Tahun 2011.
Peraturan perundang-undangan dalam hierarki ditentukan dalam Pasal
7 ayat (1) UU No.12 Tahun 2011, yang menyebutkan bahwa :
(1) Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan terdiri atas:
a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
c. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
d. Peraturan Pemerintah;

14
Maria Farida Indrati Soprapto, Ilmu Perundang-undangan Dasar-Dasar dan Pembentukannya, (Jogyakarta:
Kanisius, 1998), hlm.25.

10
e. Peraturan Presiden;
f. Peraturan Daerah Provinsi; dan
g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
Kekuatan hukum dari peraturan perundang-undangan adalah sesuai dengan
hierarchinya, dimana UUD Tahun 1945 adalah merupakan peraturan yang
tertinggi didalam sistem hukum Indonesia dan menjadi dasar bagi peraturan
perundang-undangan di bawahnya. Jika suatu peraturan perundang-
undangan yang di bawah bertentangan dengan peraturan perundang-
undangan di atasnya, atau dibuat bukan oleh pejabat yang berwenang maka
mengakibatkan peraturan tersebut batal demi hukum atau dapat dibatalkan.
Dari rumusan Pasal 7 ayat (1) tersebut tampak bahwa, Perda
merupakan salah satu jenis peraturan perundang-undangan yang secara
hierarkis berada di bahwah Peraturan Presiden. Keberadaan Perda ditentukan
oleh peraturan perundang-undangan yang ada di atasnya. Karena itu, dalam
pembentukan Perda, sesuai dengan teori Hans Kelsen, supaya mengacu pada
peraturan perundang-undangan yang lain di atasnya, sehingga Perda tersebut
memperoleh landasan legitimasi yuridis, keabsahan dan keefektifan
berlakunya. Aktualisasi teori penjenjangan norma hukum tersebut yaitu pada
bagian ”Mengingat” Ranperda. Di situ dicantumkan peraturan perundang-
undangan yang dijadikan landasan yuridis (dasar hukum) pembentukan
Ranperda, baik landasan yuridis formal maupun landasan yuridis material.
Peraturan perundang-undangan tersebut disusun secara hirarkhis sesuai
dengan jenis, tahun pengundangan, dan nomornya.
Sedangkan peraturan perundang-undangan diluar hirarchi ditentukan
dalam Pasal 8 UU No.12 Tahun 2011 yang menyebutkan bahwa :
(1) Jenis Peraturan Perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 7 ayat (1) mencakup peraturan yang ditetapkan oleh Majelis
Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan
Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa

11
Keuangan, Komisi Yudisial, Bank Indonesia, Menteri, badan, lembaga, atau
komisi yang setingkat yang dibentuk dengan Undang-Undang atau
Pemerintah atas perintah Undang-Undang, Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat.
(2) Peraturan Perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat
sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih
tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan.
Validitas suatu peraturan perundang-undangan salah satunya
ditentukan oleh kewenangan yang dimiliki oleh institusi atau pejabat didalam
membentuk peraturan perundang-undangan. Kewenangan dalam
pembentukan peraturan perundang-undangan diperoleh dari kewenangan
Atribusi maupun kewenangan Delegasi.
Kewenangan atribusi (atributie van wetbevoegdheid atau delegation of
legislation) di dalam pembentukan peraturan perundang-undangan adalah
pemberian kewenangan kepada badan atau lembaga atau pejabat (ambt)
negara yang diberikan oleh pembentuk UUD ataupun pembentuk UU ( original
power of legislation) . Dalam hal ini terjadi pembentukan wewenang baru
untuk dan atas nama yang diberi wewenang tersebut.15
Kewenangan Delegasi (delegatie van wetbevoegdheid) Adalah suatu
penyerahan atau pelimpahan kewenangan (pembentukan PPU) dari badan
atau lembaga atau pejabat (delegans) kepada penerima (delegetaris). Sebagai
pihak yang mendapatkan kewenangan, delegetaris akan melaksanakannya
berdasarkan tanggungjawabnya sendiri. 16 Dalam delegasi kewenangan yang

15
I Gede Pantja Astawa dan Suprin Na’a, Op Cit, hlm.53
16
___, Buku Pegangan Perancangan Peraturan Perundang-undangan,2005, Direktur Jendral Peraturan
Perundang-undangan diterjemahkan dari buku I.C Van der Vlies, Handboek Wetgeving, alih bahasa oleh Linus
Doludjawa, hlm.80

12
diserahkan atau dilimpahkan tersebut sudah ada pada delegans , sehingga
tidak ada penciptaan kewenangan baru. 17Syarat dari delegasi adalah:18
 Tidak boleh ada delegasi mengenai hal-hal yang secara tegas/yang karena
sifatnya harus diatur dalam PPU tertentu.
 Tidak boleh ada delegasi pengaturan yang bersifat umum.
 Setiap ketentuan delegasi pengaturan harus menyebut dengan tegas
bentuk PPU delegasi.

Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang Baik.


Peraturan perundang-undangan yang baik (good legislation) sangat
diperlukan dalam penyelenggaraan pemerintahan baik ditingkat pusat
maupun di daerah, karena akan dapat menunjang pemerintahan dan
pembangunan sehingga akan lebih memungkinkan tercapainya tujuan-tujuan
negara sebagaimana diamanatkan dalam konstitusi.
Untuk dapat membuat peraturan perundang-undangan yang baik
diperlukan adanya/dimilikinya pengetahuan tentang perundang-undangan,
antara lain berkaitan dengan bentuk/jenis, materi muatan yang akan diatur
serta bagaimana materi tersebut dituangkan dalam peraturan perundang-
undangan secara singkat, jelas dan mudah dipahami serta sistimatis sehingga
peraturan tersebut ditaati dan dapat dilaksanakan.
Dalam membentuk peraturan perundang-undangan termasuk perda,
dalam kaitannya dengan keberlakuan norma menurut I Gede Pantja Astawa
dan Suprin Na’a, maka harus memenuhi tiga landasan yakni: landasan
berlaku secara Filosofis, landasan berlaku secara sosiologis dan landasan
berlaku secara yuridis.19 Landasan berlaku secara filosofis adalah bahwa
rumusan atau norma-normanya mendapatkan pembenaran (rechtvaardiging)
apabila dikaji secara filosofis, atau dapat dikatakan bahwa perundang-
17
Rasjidi Rangga widjaya, 2008, Pengantar Ilmu Perundang-undangan, Mandar Maju, Bandung, hlm.16
18
I Gede Pantja Astawa dan Suprin Na’a, Op Cit, hlm.54-55
19
Made Pantja Astawa dan Suprin Na’a, Dinamika Hukum dan Ilmu Perundang-undangan di Indonesia,
(Bandung, Alumni,2008) hlm.78

13
undangan harus mencerminkan sistem nilai dari masyarakat yang
bersangkutan yuridis adalah suatu peraturan perundang-undangan harus
memenuhi syarat-syarat pembentukannya dan berdasarkan pada hukum
yang lebih tinggi. Landasan keberlakuan secara sosiologis (sociologische
grondslag) adalah, bahwa peraturan perundang-undangan harus
mencerminkan kenyataan yang hidup dalam masyarakat termasuk pula
kecendrungan dan harapan-harapan masyarakat. Sedangkan landasan
keberlakuan secara yuridis (juridische grondslag) adalah suatu peraturan
perundang-undangan harus memenuhi syarat-syarat pembentukannya dan
berdasarkan pada hukum yang lebih tinggi.
Selain itu yang perlu diperhatikan pula dalam penyusunan peraturan
perundang-undangan adalah Bahasa dalam peraturan perundang-undangan.
Pada prinsipnya bahwa semua produk hukum yang dihasilkan harus dapat
dikomunikasikan secara efektif kepada masyarakat yang menjadi sasarannya.
Jika suatu peraturan perundang-undangan tidak dapat ditransformasikan
dengan baik kepada masyarakat, maka hal ini jelas akan berdampak kepada
kepada ketaatan maupun kepatuhan masyarakat itu sendiri. Demikian halnya
dengan Peraturan daerah , yang mengatur kehidupan masyarakat suatu
daerah, maka harus dapat dipahami dan dimengerti oleh masyarakat daerah
yang bersangkutan, sehingga hal-hal yang diatur dapat dilaksanakan.
Bahasa yang dipergunakan dalam penyusunan peraturan perundang-
undangan harus lugas dalam arti kalimatnya harus tegas, jelas, dan
pengertiannya mudah ditangkap oleh semua orang, tidak berbelit-belit, serta
kalimat yang dirumuskan tidak menimbulkan multitafsir bagi yang membaca.
Demikian pula dalam perumusannya harus sinkron antara norma yang satu
dengan norma yang lainnya. Bahasa peraturan perundang-undangan harus
tunduk kepada kaidah tata bahasa Indonesia, baik dalam pembentukan kata,
penyusunan kalimat, teknik penulisan maupun pengejaannya.20

14
Hal lainnya yang perlu diperhatikan dalam pembentukan Perda adalah
jangan sampai mengabaikan asas-asas umum hukum, terutama asas-asas
perundang-undangan. P.W. Brower menunjukkan beberapa asas, seperti Lex
Superior Legi Inferior, Lex Specialis derogat Legi Generalis, dan Lex Posterior
Derogat Legi Priori.21 Sementara itu, Purnadi Purbacaraka22 menyatakan
beberapa asas, selain yang sudah disebutkan oleh Brower, yaitu:
a. Perundang-undangan tidak berlaku surut, perundang-undangan yang
dibuat oleh pejabat yang lebih tinggi mempunyai kedudukan lebih tinggi
pula.
b. Perundang-undangan tidak boleh diganggu gugat.
c. Perundang-undangan sebagai sarana untuk semaksimal mungkin dapat
mencapai kesejahteraan spiritual dan material bagi masyarakat maupun
individu, melalui pembaharuan dan pelestarian.
d. Keberlakuan perundang-undangan diumumkan.
Asas-asas tersebut harus diperhatikan dalam pembentukkan Perda agar tidak
terjadi konflik norma, baik secara vertikal maupun horizontal dalam Perda
yang dibentuk.
UU No. 12 Tahun 2011 menentukan adanya asas pembentukan (Pasal 5)
dan asas materi muatan peraturan perundang-undangan (Pasal 6). Selain itu,
ada tiga landasan dalam pembentukan segala peraturan, yaitu: landasan
filosofis, landasan yuridis, dan landasan politis.23 Asas-asas dan ketiga
landasan tersebut diformulasikan ke dalam bagian Pembukaan dan Batang
Tubuh Perda yang dibentuk.

20
Supardan Madeong, Zudan Arif Fakhrulloh, 2005, Legal Drafting Berporos Hukum Humanis
Partisipatoris, (Jakarta: PT.Perca) hlm.50
21
Yohanes Usfunan, Op.Cit. 26.
22 Purnadi Purbacaraka; 1986, Penggarapan Disiplin Hukum dan Filsafat Hukum Bagi

Pendidikan Hukum, Cetakan pertama, C.V. Rajawali, Jakarta, hlm. 35-36.

23Solly
Lubis; 1989, Landasan dan Teknik Perundang-undangan, Cetakan Ketiga, Penerbit
Mandar Maju, Bandung, hlm. 6-9.

15
Menurut Leon Fuller ada 8 kriteria hukum yang baik yaitu:24
1. Hukum harus dituruti semua orang, termasuk oleh penguasa negara;
2. Hukum harus dipublikasikan;
3. Hukum harus berlaku ke depan, bukan berlaku surut;
4. Kaidah hukum harus ditulis secara jelas, sehingga dapat diketahui dan
diterapkan secara benar;
5. Hukum harus menghindari diri dari kontradiksi-kontradiksi;
6. Hukum jangan mewajibkan sesuatu yang tidak mungkin dipenuhi;
7. Hukum harus bersifat konstan sehingga ada kepastian hukum. Tetapi
hukum harus juga diubah jika situasi politik dan sosial telah berubah;
8. Tindakan para aparat pemerintah dan penegak hukum haruslah konsisten
dengan hukum yang berlaku.
Peraturan perundang-undangan yang baik merupakan pondasi Negara Hukum
yang akan menjamin hak-hak warga negra, membatasi kekuasaan penguasa,
menjamin kepastian dan keadilan hukum untuk mewujudkan kesejahteraan
sosial bagi seluruh rakyat.
Sedangkan untuk membentuk keputusan yang baik, menurut ketentuan
Pasal 97 UU No. 12 Tahun 2011 menentukan bahwa : Teknik penyusunan
dan/atau bentuk yang diatur dalam Undang-Undang ini berlaku secara
mutatis mutandis bagi teknik penyusunan dan/atau bentuk Keputusan
Presiden, Keputusan Pimpinan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Keputusan
Pimpinan DPR, Keputusan Pimpinan DPD, Keputusan Ketua Mahkamah
Agung, Keputusan Ketua Mahkamah Konstitusi, Keputusan Ketua Komisi
Yudisial, Keputusan Kepala Badan Pemeriksa Keuangan, Keputusan Gubernur
Bank Indonesia, Keputusan Menteri, Keputusan Kepala Badan, Keputusan
Kepala Lembaga, atau Keputusan Ketua Komisi yang setingkat, Keputusan
Pimpinan DPRD Provinsi, Keputusan Gubernur, Keputusan Pimpinan DPRD

24Hamzah Halim dan Kemal Redindo Syahrul Putera, Cara Praktis Menyusun dan
Merancang Peraturan Daerah ( Suatu Kajian Teoritis dan Praktis Disertai Manual) Konsepsi
Teoritis Menuju Artikulasi Emperis, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2009), hlm.34.

16
kabupaten/Kota, Keputusan Bupati/Walikota, Keputusan Kepala Desa atau
yang setingkat.
Dengan demikian maka jelas bahwa dalam membentuk keputusan yang
baik pada dasarnya adalah sama dengan membentuk peraturan perundang-
undangan sebagaimana diatur dalam UUNo.12 Tahun 2011, dan khusus
untuk produk hukum daerah juga berdasarkan Permendagri No.1 Tahun
2014 tentang Produk Hukum Daerah.
Selain itu di dalam merancang peraturan perundang-undangan yang
baik dapat menggunakan metode ROCIPPI (Rule, Oportunity, Capacity,
Comication, Interest, Proces, Ideologi),yang merupakan pemecahan masalah
dalam merancang peraturan perundang-undangan yang baik

ROCCIPI
ROCCIPI merupakan suatu metode pemecahan masalah dalam
merancang peraturan perundang-undangan yang baik. Dalam teks asli
ROCCIPI merupakan singkatan dari Rule, Opportunity, Capacity,
Communication, Interest, Process, dan Idiology.25 Dengan pendekatan ini
diupayakan untuk mendapatkan penjelasan dari berbagai masalah yang saling
berkaitan, dalam merubah perilaku yang diharapkan dari pihak yang terkena
peraturan, untuk dipecahkan dalam pembentukan peraturan perundang-
undangan.
Fungsi ROCIPPI yakni dari persepektif normative, berfungsi sebagai
justifikasi teoritik konseptual yakni justifikasi konstitusional, dan justifikasi
yuridis dengan pendekatan deduktif. Dalam justifikasi teoritik konseptual
artinya sebelum perancangan peraturan perundang-undangan dilakukan
terlebih dahulu penelusuran teori-teori, asas-asas hukum umum yang yang

25
Yohanes Usfunan, “Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Yang Baik
Menciptakan Pemerintahan yang Bersih dan Demokratis”, Orasi Ilmiah – Pidato Pengukuhan
Jabatan Guru Besar Tetap dalam Bidang Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas
Udayana, (Denpasar: Universitas Udayana, 1 Mei 2004), hlm. 25. Lihat pula Ann Seidman dkk,
Op. Cit. hlm. 117-121.

17
digunankan sebagai dasar pembenar. Justifikasi konstutusional yuridis dalam
kaitannya dengan fungsi ROCIPPI yaitu untuk menghindari kemungkinan
terjadinya konflik norma hukum antara peraturan perundang-undangan yang
dibuat dengan peraturan diatasnya, maupun antara peraturan perundang-
undangan yang satu dengan yang lainnya.
Rule (peraturan) maksudnya bahwa produk hukum yang dibentuk
supaya jelas mengenai dasar hukum pembentukan, kaitannya dengan produk
hukum yang lain, kewenangan membentuk dan melaksanakan, hak dan
kewajiban, prosedur, pengawasan dan koordinasi serta sanksinya. Produk
hukum supaya diformulasikan dengan kata-kata yang jelas – tidak rancu,
tidak menimbulkan perilaku bermasalah. Oportunity (kesempatan) maksudnya
bahwa produk hukum yasng dibentuk memungkinkan subyek norma
berperilaku sebagaimana diperintahkan oleh produk hukum tersebut.
Sebaliknya, jangan sampai membuka peluang pelanggaran hukum dan
penyalahgunaan wewenang. Capacity (kemampuan), produk hukum yang
dibentuk harus mampu mengidentifikasi perilaku bermasalah dan menangani
penyebab-penyebab perilaku bermasalah tersebut sehingga bisa
mengendalikan perilaku bermasalah menjadi perilaku taat hukum. Produk
hukum yang dibentuk jangan sampai memberikan celah timbulnya korupsi,
kolusi, dan nepotisme. Communication (komunikasi) maksudnya bahwa
produk hukum yang dibentuk harus dikomunikasikan kepada pelaku peran
(rule accupants), sebaba tidak ada orang yang secara sadar mematuhi suatu
produk hukum kecuali bila dia mengetahuinya. Ketidaktahuan seseorang
terhadap suatu produk hukum dapat menjelaskan adanya perilaku
bermaslah. Interest (kepentingan) artinya bahwa produk hukum yang dibentuk
harus akomodatif – mengacu pada harapan atau pandangan pelaku peran
tentang akibat dan manfaat bagi mereka. Produk hukum memuat ketentuan
sanksi dan penghargaan sebagai motivator bagi pelaku peran untuk berlaku
sesuai dengan ketentuan-ketentuan produk hukum. Process (proses), produk

18
hukum yang dibentuk harus memuat prosedur yang jelas mengenai
bagaimana pelaku peran memutuskan untuk mematuhi atau tidak suatu
produk hukum. Idiology (idiologi) merupakan nilai, sikap, kepentingan yang
harus diakomodasi dalam produk hukum sebagai motivasi untuk berperilaku
sesuai dengan produk hukum yang ada.
Dalam pembentukan Perda, semua katagori ROCCIPI tersebut harus
diperiksa dengan cermat dan teliti dalam kaitannya dengan tiga komponen
sistem hukum tersebut di atas. Misalnya mengenai peraturan (rule),
pembentukan Perda supaya mengacu pada peraturan perundang-udangan
yang lebih tinggi dan Perda terkait di daerah yang bersangkutan maupun
Perda Provinsi. Perda-perda yang bermasalah pun perlu dicermati agar tidak
mengulangi lagi membuat Perda bermasalah. Dalam hal ini sangat penting
untuk dipastikan mengenai kewenangan merancang Perda dan kewenangan
melaksanakan Perda tersebut. Formulasi norma-norma di dalam Batang
Tubuh dari Perda yang dirancang supaya jelas, mudah dipahami, serta tidak
interpretable dan debateble.

Teori Momentum
Dalam pembentukan Perda sangat relevan untuk digunakan teori
momentum sebagai metode pemecahan perilaku bermasalah yang akan
diubah melalui pengaturan dengan Perda. Meuwissen mengemukakan bahwa
dalam pembentukan peraturan perundang-undangan mencakup dua momen
sentral yaitu momen politik-idiil dan momen teknikal.26 Momen politik-idiil
berkaitan dengan isi peraturan perundang-undangan yang dibentuk.
Pembentukan peraturan perundang-undangan merupakan tindakan politik,
tujuan dan hasil proses politik. Namun, sesungguhnya bukan sekedar hasil
kristalisasi konstelasi politik, melainkan juga memiliki aspek normatif. Momen
idiil mengimplikasikan bahwa asas-asas hukum (ide hukum, cita hukum)

Arief Sidharta; 2007, Meuwissen Tentang Pengembanan Hukum, Ilmu Hukum, Teori
26

Hukum, dan Filsafat Hukum, Cetakan Pertama,(Bandung; PT Refika Aditama), hlm. 10.

19
seharusnya direalisasikan. Dengan demikian, politik dan hukum saling
berkorelasi secara erat dalam pembentukan peraturan perundang-undangan.
Sedangkan momen teknikal berkaitan dengan kemampuan merumuskan
pemahaman-pemahaman ke dalam naskah-naskah normatif yang konkret.
Dalam pembentukan Perda, teori momentum tersebut tidak dapat
diabaikan. Khusus dalam teknik penyusunan Perda diperlukan tidak hanya
paham-paham politik, tetapi juga kemampuan – keterampilan merumuskan
paham-paham tersebut ke dalam naskah-naskah normatif yang konkret.

PENUTUP

Rangkuman
Produk hukum daerah adalah Produk hukum yang berbentuk peraturan
dan keputusan. Produk hukum daerah yang berbentuk peraturan meliputi
peraturan daerah (Perda) atau nama lainnya, Peraturan Kepala Daerah
(Perkada), Peraturan Bersama Kepala Daerah (PB KDH), Peraturan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah (Peraturan DPRD). Sedangkan yang berbentuk
keputusan meliputi keputusan kepala daerah, keputusan DPRD, keputusan
pimpinan DPRD dan keputusan badan kehormatan DPRD.
Dalam prespektif pembentukan peraturan perundang-undangan, teori
sistem hukum menunjukkan bahwa suatu sistem hukum pada prinsipnya
terdiri dari sub-sub sistem yaitu lembaga pembentuk (Law Making
Institutions), lembaga-lembaga pelaksana (Implementing Institutions), dan pihak
yang akan terkena atau yang dituju oleh peraturan tersebut (Rule Occupants).
Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) menegaskan bahwa sistem hukum
terdiri dari unsure-unsur, yaitu: materi hukum (tatanan hukum), aparatur
hukum, sarana dan prasarana hukum, budaya hukum yang dianut oleh warga
masyarakat termasuk para pejabatnya, dan Pendidikan hukum.

20
Teori penjenjangan norma hukum menerangkan bahwa berbagai norma
hukum dalam negara ditata secara bersusun tangga. Validitas suatu norma
hukum ditentukan oleh suatu norma hukum yang berada di atasnya.
Pembentukan norma yang lebih rendah ditentukan oleh norma yang lebih
tinggi lagi dan rangkaian proses pembentukan hukum ini diakhiri oleh suatu
norma dasar tertinggi, yang menjadi dasar tertinggi dari validitas keseluruhan
tatanan hukum, membentuk suatu kesatuan tatanan hukum.
Pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik (good
legislation) menghendaki adanya pengetahuan tentang perundang-undangan,
antara lain berkaitan dengan bentuk/jenis, materi muatan yang akan diatur
serta bagaimana materi tersebut dituangkan dalam peraturan perundang-
undangan secara singkat, jelas dan mudah dipahami serta sistimatis sehingga
peraturan tersebut ditaati dan dapat dilaksanakan.
Inti metode pemecahan masalah ROCCIPI dalam pembentukan
peraturan perundang-undangan adalah dalam rangka perubahan masyarakat
yang demokratis yang berdasarkan pada asas-asas kepemerintahan yang baik
(good governance). ROCCIPPI, yang terdiri 7 kategori, yakni: Rule (Peraturan),
Opportunity (Kesempatan), Capacity (Kemampuan), Communication
(Komunikasi), Interest (Kepentingan), Process (Prosese), dan Ideology (Ideologi).
Kategri-kategori ini dapat dipilah menjadi dua kelompok faktor penyebab,
yakni faktor obyektif (yaong meliputi: Rule, Opportunity, Capacity,
Communication, dan Process) dan faktor subyektif yang meliputi: Interest dan
Ideology.
Teori momentum menegaskan bahwa pembentukan peraturan
perundang-undangan mencakup dua momen sentral yaitu momen politik-idiil
dan momen teknikal. Momen politik-idiil berkaitan dengan isi peraturan
perundang-undangan yang dibentuk, sedangkan momen teknikal berkaitan
dengan kemampuan merumuskan pemahaman-pemahaman ke dalam naskah-
naskah normatif yang konkret.

21
Latihan/Tugas
Soal latihan diadakan untuk mengetahui capaian pembelajaran. Karena
itu, mahasiswa wajib mengerjakan tugas-tugas latihan, sebagai berikut:
a. Teori Legislasi apa yang dapat digunakan untuk melakukan identifikasi
masalah dan mencari penyebab timbulnya masalah?
b. Bagaimana cara menggunakan Teori Legislasi itu untuk melakukan
identifikasi masalah dan mencari penyebab timbulnya masalah?

Problem Task

1.301 ORANG DI JAKARTA JADI KORBAN TABRAK LARI, 134 TEWAS

Liputan6.com, Jakarta - Sejak Januari hingga Oktober 2016, sebanyak 1.301


orang lebih jadi korban tabrak lari di Jakarta. Sebanyak 134 orang di
antaranya meninggal dunia. Meski mengalami penurunan 9 persen, namun
tindakan tabrak lari ini sangat merugikan korbannya. Padahal, menurut
Kepala Sub Direktorat Pembinaan dan Penegakan Hukum (Subdit Gakkum)
Polda Metro Jaya AKBP Budiyanto, tabrak lari merupakan tindak pidana
kejahatan umum dengan ancaman 3 tahun penjara. "Itu tindak pidana
kejahatan yang diatur dalam Pasal 312 UU No 22 Tahun 2009 tentang Lalu
Lintas dan Angkutan Jalan yang diancam 3 tahun penjara dan denda Rp 75
juta," jelas Budiyanto kepada Liputan6.com, Jakarta, Minggu (23/10/2016).
Budiyanto menerangkan, pada 2015 lalu korban tabrak lari berjumlah
1.437 orang. Pada 2016, 1.301 orang di Jakarta masih jadi korban tabrak lari.
Dari 1.301 orang yang jadi korban tabrak lari itu, 134 orang di antaranya
meninggal dunia, 475 orang mengalami luka berat, dan 764 orang mengalami
luka ringan. Hal ini, jelas Budiyanto, disebabkan masyarakat yang masih saja
mengabaikan keselamatan dalam berkendara, baik itu untuk diri sendiri
ataupun orang lain. Seharusnya, jika mengalami tabrakan dalam Undang-
Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan pada
Pasal 312 mengamanatkan, pengguna jalan yang menabrak harus
menghentikan kendaraannya, menolong korban, dan melapor pada kantor
polisi terdekat. Namun sayangnya, amanat undang-undang itu hanya tertulis
saja. Sebab, Budiyanto menemukan beberapa faktor yang membuat pelaku
tabrak lari tetap membiarkan korbannya menggelepar di jalanan. "Mereka tak
tahu harus berbuat apa dan ingin lepas dari tanggung jawab hukum," ucap
Budiyanto.
Sumber: http://news.liputan6.com/read/2633461/1301-orang-di-jakarta-
jadi-korban-tabrak-lari-134-tewas.

22
Petunjuk: kerjakan tugas di atas dengan menggunakan teori system hukum,
teori ROCCIPI, dan teori momentum.

BAHAN BACAAN

Arief Sidharta; 2007, Meuwissen Tentang Pengembanan Hukum, Ilmu Hukum,


Teori Hukum, dan Filsafat Hukum, Cetakan Pertama, PT Refika Aditama,
Bandung.

A.Hamid. S.Attamimi,1990, “Peranan Keputusan Presiden RI Dalam


Penyelenggaraan Pemerintahan Negara”, Disertasi Doktor UI, Jakarta.

Hamzah Halim dan Kemal Redindo Syahrul Putera, 2009, Cara Praktis
Menyusun dan Merancang Peraturan Daerah ( Suatu Kajian Teoritis dan
Praktis Disertai Manual) Konsepsi Teoritis Menuju Artikulasi Emperis,
Kencana Prenada Media Group, Jakarta.

Hans Kelsen, 2006, Teori Umum Tentang Hukum dan Negara, diterjemahkan
oleh Raisul Multtagen dari buku Hans Kelsen General Theory of Law and
State, Penerbit Nusa Media dan Penerbit Nuansa, Bandung.

HS.Natabaya, 2008, Sistem Peraturan Perundang-Undangan Indonesia,


Jakarta: Konstitusi Press dan Tatanusa.

I Gede Pantja Astawa dan Suprin Na’a, Buku Pegangan Perancangan Peraturan
Perundang-undangan, 2005, Direktur Jendral Peraturan Perundang-
undangan diterjemahkan dari buku I.C Van der Vlies, Handboek
Wetgeving, alih bahasa oleh Linus Doludjawa.

_______, Dinamika Hukum dan Ilmu Perundang-undangan di Indonesia,


(Bandung, Alumni,2008

J.J.H. Brugink,1996, Refleksi Tentang Hukum, Citra Adity Bakti, Bandung.

John M.Echolls dan Hasan Shadily, 2000, Kamus Inggris-Indonesia.

Mahendra Putra Kurnia, 2007, et all, Pedoman Naskah Akademis Perda


Partisipatif, Kreasi Total Media, Jogyakarta.

Maria Farida Indrati Soprapto, 1998, Ilmu Perundang-undangan Dasar-Dasar


dan Pembentukannya, Kanisius, Jogyakarta.

23
Mochtar Kusuma Atmaja,1986, Hukum dan Masyarakat dan Pembinaan
Hukum Nasional, Lembaga penelitian Hukum dan Kriminologi Fakultas
Hukum Universitas Pajajaran, Bandung.

Purnadi Purbacaraka; 1986, Penggarapan Disiplin Hukum dan Filsafat Hukum


Bagi Pendidikan Hukum, Cetakan pertama, C.V. Rajawali, Jakarta.

Rasjidi Rangga widjaya, 2008, Pengantar Ilmu Perundang-undangan, Mandar


Maju, Bandung.

Satya Arianto, 2003, Hak Asasi manusia Dalam Transisi Politik di Indonesia,
Pusat Studi Hukum Tata Negara FHUI.

Solly Lubis; 1989, Landasan dan Teknik Perundang-undangan, Cetakan Ketiga,


Penerbit Mandar Maju, Bandung.

Sulchan syahid, 2000, Kamus Besar Bahasa Indonsia.

Supardan Modeong dan Zudan Arif Fakrulloh, 2005, Legal Drafting Berporos
Hukum Humanis Partisipatoris, PT.Perca, Jakarta.

Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, 1995,


Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Kedua, Balai Pustaka, Jakarta.

Yohanes Usfunan, 1 Mei 2004, “Pembentukan Peraturan Perundang-undangan


Yang Baik Menciptakan Pemerintahan yang Bersih dan Demokratis”,
Orasi Ilmiah – Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap dalam Bidang
Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Udayana, Universitas
Udayana, Denpasar.

24
RENCANA PEMBELAJARAN SEMESTER

PERTEMUAN 3

Fakultas/Program Studi : Hukum/ Sarjana Ilmu Hukum


Nama Mata Kuliah : Perancangan Peraturan Perundang-undangan
Kode Mata Kuliah : BNK 6210
Semester : VI
SKS : 2 SKS
Status Mata Kuliah : Wajib
Mata Kuliah Prasyarat : Hukum Perundang-undangan

Capaian Pembelajaran
Setelah melaksanakan tutorial, mahasiswa memahami teori pembentukan peraturan
perundang-undangan (teori legislasi).
Indikator Capaian

Mahasiswa mampu menguraikan:


1. teori sistem hukum;
2. teori penjenjangan norma;
3. teori pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik;
4. teori legislasi ROCCIPI; dan
5. teori momentum.

Materi Pokok
Teori pembentukan peraturan perundang-undangan (teori legislasi).

Metode Pembelajaran
1. Pendekatan: Stundent Centered Learning (SCL).
2. Metode: Problem Based Learning (PBL).
3. Tenik: tutorial.

Media, Alat dan Sumber Belajar


1. Power point presentation.
2. LCD, White Board, Spidol, Audio Visual.
3. Bahan bacaan/pustaka.

Tahapan Kegiatan Pembelajaran

25
Kegiatan Deskripsi Kegiatan Pembelajaran Alokasi
Waktu
Pendahuluan 1. Dosen mengkondisikan mahasiswa untuk siap melakukan 15 menit
tutorial dan menjelaskan RPS.
2. Memberikan penjelasan pelaksanaan tutorial mengenai
teori pembentukan peraturan perundang-undangan (teori
legislasi).
3. Memfasilitasi pembentukan kelompok diskusi untuk
tutorial.
Kegiatan Inti 1. Dosen melalui media pembelajaran LCD mendeskripsikan 65 menit
mengenai teori pembentukan peraturan perundang-
undangan (teori legislasi).
2. Mahasiswa dengan rasa ingin tahu, tangung jawab dan
jujur berdiskusi yang dipimpin oleh discussion leader dan
dicatat oleh note taker mengenai teori pembentukan
peraturan perundang-undangan (teori legislasi).
3. Mahasiswa menyusun laporan hasil tutorial dan
mengumpulkan pada akhir waktu tutorial.
Penutup 1. Dosen bersama mahasiswa secara bertanggung jawab dan 20 menit
logis menyimpulkan proses dan hasil pembelajaran.
2. Dosen memberikan penguatan, evaluasi, dan tugas untuk
mempelajari lebih mendalam teori pembentukan peraturan
perundang-undangan (teori legislasi).

Evaluasi Soft Skills


No Aspek yang Dinilai 3 2 1 Keterangan
1 Kejujuran
2 Tanggung jawab
3 Disiplin
4 Kreativitas
5 Berkomunikasi

Penyusun:
I Nengah Suantra, S.H., M.H. dan Made Nurmawati, S.H., M.H.

26

Anda mungkin juga menyukai