Anda di halaman 1dari 22

MAKALAH

TASAWUF DAN TAREKAT DI TURKI


Disusun untuk memenuhi tugas
Mata Kuliah : Tasawuf dan Tarekat di Dunia Islam
Dosen Pengampu : Dra. Sri Mulyati, MA.

Disusun Oleh :
Miftahul Janah 11190380000001
Taqiyuddin Muhammad Robbany 11190380000003

JURUSAN ILMU TASAWUF

FAKULTAS USHULUDDIN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

2021
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Tasawuf merupakan salah satu cabang ilmu keislaman yang lebih menekankan pada dimensi
atau aspek spiritual dalam Islam. Tasawuf adalah ilmu yang mulia karena berkaitan dengan
ma`rifah kepada Allah Ta`ala dan mahabbah kepada-Nya. Dan tasawuf adalah ilmu yang
paling utama secara mutlak. Lahirnya tasawuf bersamaan dengan timbulnya agama Islam itu
sendiri, maka dari itu ilmu tasawuf tidak lepas dari pengaruh Al-Qur`an dan hadits. Inti untuk
mencapai tasawuf adalah beriman kepada Allah, menyerahkan diri kepada-Nya,
mengamalkan amalan yang sholeh dan menjauhi serta meninggalkan semua larangan-
larangan Allah.

Dalam dunia tasawuf metode atau cara untuk menemukan jalan menuju makrifat sudah
populer dengan berbagai tarekatnya masing-masing. Dan tarekat atau jalan ini tergantung
kepada guru spiritual yang akan memberikan nasihat-nasihat dan pelajarannya bagi salik
dalam menempuh jalan tasawuf (suluk). Karena metodenya berbeda, sehingga pemikiran,
pengalaman dan hasil dari pengalaman itupun berbeda pula antara sufi yang satu dengan yang
lainnya. Ajaran tarekat adalah salah satu pokok ajaran yamg ada dalam tasawuf. Ilmu tarekat
sama sekali tidak dapat dipisahkan dengan ilmu tasawuf dan tidak mungkin dipisahkan dari
kehidupan orang-orang sufi. Orang sufi adalah orang yang menerapkan ajaran tasawuf. Dan
tarekat itu sendiri adalah tingkatan ajaran pokok dari tasawuf itu.

Turki adalah salah satu tempat tasawuf bersejarah. Negeri asal tokoh sufi legendaris
Jalaluddin Rumi ini menyimpan begitu banyak cerita menarik. Mulai dari letaknya yang
berada di benua Asia sekaligus Eropa hingga sejarah kejayaan Islam di masa Kekaisaran
Utsmaniyah pada abad pertengahan. Turki dikenal pula dengan ikonnya yang mendunia,
yakni Hagia Sophia. Mesjid paling terkenal di Istanbul yang dahulunya merupakan Gereja
Katedral dari masa Byzantium di abad ke 6. Selama 900 tahun menjadi gereja terpenting
dalam agama Kristen, akhirnya pada abad ke 15 Sultan Mehmet II merebut Kota
Konstantinopel yang kemudian menjadi Istanbul dan mengubah gereja tersebut menjadi
Mesjid Hagia Sophia. 

B. Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalah yang akan dibahas dalam makalah ini adalah:
1. Sejarah Perkembangan Islam dan Tasawuf di Turki
2. Sejarah Perkembangan Tarekat di Turki
3. Tokoh-Tokoh Sufi di Turki
BAB II

PEMBAHASAN

1. Sejarah Perkembangan Islam dan Tasawuf di Turki

Mendengar kata 'Sufi' yang langsung terbayang adalah Turki. Negeri asal tokoh sufi
legendaris Jalaluddin Rumi ini menyimpan begitu banyak cerita menarik. Di kota Konya,
tokoh sufi Jalaluddin Rumi menyebarkan ajaran cintanya. Berbagai manuskrip Arab dari
masa lampau menyebutnya sebagai Quniya. Kota yang dimaksud saat ini lebih dikenal
dengan nama Konya. Inilah salah satu kota tertua yang masih dihuni di dunia. Riwayat
sejarahnya merentang sejak zaman tiga ribu tahun sebelum Masehi (SM).

Mulai dari letaknya yang berada di benua Asia sekaligus Eropa hingga sejarah kejayaan
Islam di masa Kekaisaran Utsmaniyah pada abad pertengahan. Turki dikenal pula dengan
ikonnya yang mendunia, yakni Hagia Sophia. Mesjid paling terkenal di Istanbul yang
dahulunya merupakan Gereja Katedral dari masa Byzantium di abad ke 6. Selama 900 tahun
menjadi gereja terpenting dalam agama Kristen, akhirnya pada abad ke 15 Sultan Mehmet II
merebut Kota Konstantinopel yang kemudian menjadi Istanbul dan mengubah gereja tersebut
menjadi Mesjid Hagia Sophia.1

Republik Turki adalah sebuah negara di kawasan Eurasia. Wilayahnya terbentang dari
Semenanjung Anatolia di Asia Barat Daya hingga daerah Balkan di Eropa Tenggara. Turki
berbatasan dengan Laut Hitam di sebelah utara; Bulgaria di sebelah barat laut; Yunani dan
Laut Aegea di sebelah barat; Georgia di timur laut; Armenia, Azerbaijan, dan Iran di sebelah
timur; Irak dan Suriah di tenggara; dan Laut Mediterania di sebelah selatan. Laut Marmara
yang merupakan bagian dari Turki digunakan untuk menandai batas wilayah benua Eropa dan
benua Asia, sehingga Turki dikenal sebagai negara transkontinental.

Bangsa Turki mulai bermigrasi ke daerah yang dinamakan Turki pada abad ke-11. Proses
migrasi ini semakin dipercepat setelah kemenangan Seljuk melawan Kekaisaran Bizantium
pada pertempuran Manzikert. Beberapa Beylik (Emirat Turki) dan Kesultanan Seljuk Rûm
memerintah Anatolia sampai dengan invasi Kekaisaran Mongol. Mulai abad ke-13, beylik-
beylik Ottoman menyatukan Anatolia dan membentuk kekaisaran yang daerahnya merambah
sebagian besar Eropa Tenggara, Asia Barat, dan Afrika Utara. Setelah Kekaisaran
Utsmaniyah runtuh setelah kalah pada Perang Dunia I, sebagian wilayahnya diduduki oleh

1
https://travel.dream.co.id/community/menyusuri-sejarah-di-negeri-para-sufi-151007r.html
para Sekutu yang memenangi Perang Dunia I. Mustafa Kemal Atatürk kemudian
mengorganisasikan gerakan perlawanan melawan Sekutu. Pada tahun 1923, gerakan
perlawanan ini berhasil mendirikan Republik Turki Modern dengan Atatürk menjabat sebagai
presiden pertamanya.

Ibu kota Turki berada di Ankara namun kota terbesar di negara ini adalah Istanbul.
Disebabkan oleh lokasinya yang strategis di persilangan dua benua, budaya Turki merupakan
campuran budaya Timur dan Barat yang unik yang sering diperkenalkan sebagai jembatan
antara dua peradaban. Dengan adanya kawasan yang kuat dari Adriatik ke Tiongkok dalam
jalur darat di antara Rusia dan India, Turki telah memperoleh kepentingan strategis yang
bertambah pesat.2

Turki adalah sebuah republik konstitusional yang demokratis, sekuler, dan bersatu. Turki
telah berangsur-angsur bergabung dengan Barat sementara di saat yang sama menjalin
hubungan dengan dunia Timur. Negara ini merupakan salah satu anggota pendiri PBB,
Organisasi Konferensi Islam (OKI), OECD, dan OSCE, serta negara anggota Dewan Eropa
sejak tahun 1949, dan NATO sejak tahun 1952. Sejak tahun 2005, Turki adalah satu-satunya
negara Islam pertama yang berunding menyertai Uni Eropa, setelah merupakan anggota
koalisi sejak tahun 1963. Turki juga merupakan anggota negara industri G20 yang
mempertemukan 20 buah ekonomi yang terbesar di dunia.

Perkembangan Tasawuf di Turki

Bagi masyarakat Ottoman, tasawuf merupakan denyut nadi keagamaan. Muslim Ottoman
membangun kesalehan individu dengan mengikuti salah satu tarekat. Fenomena ini dapat
ditemui secara merata di hampir semua wilayah Kesultanan Ottoman, dari Anatolia hingga
Balkan. Pada era Ottoman, sosok ulama selalu identik sebagai tokoh tasawuf. Pemikiran
tasawuf menjadi bagian dari kultur masyarakat. Meski begitu, menariknya, sejumlah orang
menganggap diri mereka sebagai penganut tasawuf kendati tidak mengikuti salah satu tarekat.

Ada beragam aliran tarekat di Kesultanan Ottoman. Salah satu tarekat yang paling menonjol
adalah tarekat Naqshabandîyah. Sosok terpenting gerakan Naqshabandîyah di Kesultanan
Ottoman adalah Mawlânâ Khâlid (meninggal 1827). Di bawah Khâlid, tarekat ini tidak
menjauhkan diri dari keramaian dunia. Mereka justru berusaha mempengaruhi orang-orang
yang ada di pusat kekuasaan untuk mengikuti ajaran Islam. Hubungan antara penguasa
Ottoman dan pemimpin Naqshabandîyah terjalin dengan baik. Menjaga supremasi sharî‘ah di
2
https://id.wikipedia.org/wiki/Turki
tengah masyarakat merupakan misi utama tarekat ini. Jika sharî‘ah sudah tegak, maka
kebaikan di masyarakat dapat dibenahi, begitu juga perilaku para pemimpin dan jajaran di
bawahnya. Kesalehan seorang Muslim dapat dijaga melalui kesalehan para pemimpinnya.
Pandangan ini kemudian diturunkan kepada generasi Naqshabandîyah berikutnya. Memasuki
abad kesembilanbelas, negara-negara Eropa menjalin hubungan diplomatik dan perdagangan
dengan Kesultanan Ottoman. Di saat terjadi kontak dengan bangsa Eropa tersebut,
masyarakat Ottoman melihat bangsa Barat telah mencapai kemajuan dalam ilmu pengetahuan
dan teknologi. Sementara sejumlah kesultanan Islam justru terlihat melemah, antara lain:
Kesultanan Ottoman di Turki, Kerajaan Safavid di Iran dan Kerajaan Mughal di India.
Bahkan Kesultanan Ottoman diibaratkan seperti “orang jompo” yang sudah kehilangan
energi. Kultur keilmuan di dunia Islam tidak lagi bergairah.

Para sarjana Muslim masa itu sudah merasa puas dengan hanya memberi komentar (sharh})
atau meringkas (talkhîs}) karya-karya terdahulu. Mereka tidak memberi sumbangan
pengetahuan baru (contribution to knowledge). Praktik perdukunan marak terjadi di tengah
masyarakat dengan tokoh-tokoh sufi sebagai dukunnya. Tasawuf menjadikan masyarakat
Muslim sama sekali tidak rasional. Tarekat terjebak hanya menjadi ritual keagamaan yang
penuh dengan takhayul. Kondisi buruk ini diyakini berasal dari satu muara, ajaran tasawuf.
Kondisi ini memaksa para tokoh-tokoh tasawuf di Kesultanan Ottoman untuk segera
melakukan reformasi. Akan tetapi, berbeda dari rekan-rekan mereka di dunia Arab, tokoh-
tokoh Muslim Ottoman pada abad kesembilan belas tidak semata-mata mengajak kembali
kepada “Islam murni” dan mengikuti secara utuh al-salâf als}âlih}, tetapi melihat
kemunduran dunia Islam disebabkan oleh lemahnya ilmu pengetahuan dan kurangnya
manajemen modern pada organisasi tarekat, terutama pada pengelolaan zâwîyah. Mereka
meyakini, pembaruan dalam tubuh tarekat mutlak diperlukan. Zâwîyah harus diatur dengan
menggunakan manajemen modern seperti monitoring dan evaluasi, pendirian lembaga
pengawas dan seterusnya. Pengelolaan zâwîyah diawasi oleh tim inspektor dari negara.

Diharapkan cara ini akan merubah wajah tarekat menjadi lebih efektif. Semangat
pengorganisiran ini muncul seiring proyek restrukturisasi Ottoman terhadap madrasah. Pada
tahun 1826 pasukan elite negara, Janissary memberontak. Sebagai reaksi, Sultan Mahmud II
membubarkan pasukan Janissary dan membatasi gerak tarekat Bektashi yang dianut personil
pasukan elite ini. Sultan mengeluarkan dekrit pada tahun 1836, berisi tentang keharusan
setiap penganut tarekat Bektashi untuk memakai pakaian khusus yang menandai ciri khas
tarekat tersebut. Dekrit ini secara perlahan berdampak pada tarekat lain. Seiring dengan
perjalanan waktu, praktik tasawuf dan tata etikanya berubah. Identitas setiap tarekat dan
penganutnya akhirnya harus tercatat secara detil dalam administrasi negara, begitu juga
pakaian yang dikenakan masingmasing tarekat. Pada tahun 1908, kelompok Turki Muda
melakukan oposisi terhadap Sultan Abdulhamid II. Mereka menuntut pemberlakuankonstitusi
yang menjamin kebebasan berpolitik seluruh penduduk Kesultanan Ottoman. Sikap
kelompok tarekat terpecah, beberapa tarekat mendukung Sultan, sementara sebagian besar
lainnya mendukung penerapan konstitusi 1908 dan gerakan Turki Muda. Penentangan
terhadap Sultan dan pemberian dukungan terhadap konstitusi 1908 dari kelompok tarekat ini
disebabkan karena Abdulhamid II mengekang kelompok tarekat yang selama ini menguasai
daerah pedalaman Turki.

Apalagi Abdulhamid II membuang sejumlah tokoh tarekat ke pengasingan. Bahkan tokoh-


tokoh Naqshabandîyah—sebuah tarekat yang dikenal mendukung Abdulhamid saat melawan
Turki Muda—ikut dibuang. Sekembali dari pembuangan, tokoh-tokoh Naqshabandîyah
tersebut—salah satunya Shaykh Safvet, seorang shaykh mursyid tarekat—berbalik
mendukung gerakan konstitusi dan menyokong Turki Muda, dan menentang Sultan
Abdulhamid. Kelak pada saat Shaykh Safvet menjabat sebagai anggota dewan, pada tahun
1924 ia mendukung penghapusan khalifah dan pengusiran seluruh keluarga dinasti Ottoman
dari Turki.3 Shaykh Safvet adalah salah satu mursyid tarekat yang aktif sebagai editor
majalah Tasawuf dan ketua Meclis-i Mesayih (organisasi perkumpulan mursyid tarekat).
Pada tahun 1923 Republik Turki resmi berdiri. Pada awalnya, Kemal Ataturk tidak memusuhi
tarekat. Ia justru bekerjasama dengan kelompok tarekat dalam memobilisasi massa untuk
mendukung program kerja pemerintahannya. Pada tanggal 3 Maret 1924, penguasa sekuler
menghapus Kementerian Syariah dan Waqaf, lalu mendirikan Kementerian Urusan Agama.
Kementerian Syariah dan Waqaf hanya berumur empat tahun terhitung sejak berdiri pada
tahun 1920.

Kementerian ini dibubarkan segera setelah diketahui Shaykh al-Islam bersekongkol dengan
pasukan Barat menentang gerakan nasionalis. Semenjak Kementerian Urusan Agama berdiri,
segala urusan tentang pengangkatan dan pemberhentian imam, khatib, penceramah, muazzin,
shaykh mursyid dan pengelola zâwîyah diatur oleh negara. Shaykh mursyid dianggap sebagai
pegawai pemerintah. Mereka digaji oleh negara. Tradisi ini merupakan kelanjutan dari tradisi
Kesultanan Ottoman sebelumnya. Namun pengakuan negara terhadap shaykh mursyid dan
zâwîyah tidak berumur panjang. Perubahan penting terjadi sejak Shaykh Said al-Kurdi
3
Tasawuf Tanpa Tarekat: Pengalaman Turki dan Indonesia
melancarkan pemberontakan terhadap pemerintah ultra-sekuler Kemal Ataturk pada tanggal
6-7 Maret 1925. Shaykh Sa‘îd al-Kurdî adalah tokoh tarekat Naqshabandîyah dari wilayah
Kurdi. Pemberontakan ini dipicu oleh pembubaran khalifah. Kemal marah dan bereaksi keras.
Ia menggunakan pendekatan tangan besi. Pasukan Said dibombardir oleh pasukan Kemal.
Pasukan Sa‘îd dipukul mundur. Semua orang yang terlibat dalam pemberontakan ini
ditangkap. Sa‘îd dihukum mati. Kemarahan Kemal berlanjut, ia berencana menutup zâwîyah
dan melarang tarekat. Pada bulan September 1925 pemerintah Kemal mengajukan undang-
undang penutupan zâwîyah. Usulan ini menjadi perdebatan sengit di Parlemen.30 Akhirnya,
pada tanggal 30 November 1925 secara resmi negara menghapus zâwîyah dan melarang
tarekat. Panggilan seperti shaykh, hoca dan baba yang selama ini diperuntukkan bagi tokoh-
tokoh tasawuf dilarang. Pakaian jubah dan imamah tidak diperbolehkan kecuali oleh pejabat
seperti imam dan mufti yang sedang bertugas.

Zâwîyah yang memiliki masjid, dirubah menjadi hanya sebagai masjid. Zâwîyah yang tidak
difungsikan sebagai masjid diubah menjadi sekolah. Zâwîyah yang tidak berfungsi sama
sekali, akan dilelang. Hasil penjualan dimasukkan ke dalam kas negara untuk pendidikan
nasional. Pelarangan tersebut—menurut hemat penulis—berangkat dari ketakutan Kemal
bahwa tarekat diyakini bisa menggerakkan massa dan mempunyai kekuatan untuk menentang
rezim penguasa Republik Turki yang baru berdiri seperti terlihat dalam pemberontakan Sa‘îd
di atas. Padahal sebelum pelarangan Kemal dikeluarkan, tarekat memainkan peran penting
dalam kehidupan sosial, politik dan ekonomi Kesultanan Ottoman. Pertimbangan lain,
kelompok nasionalis meyakini bahwa ajaran tasawuf, tarekat dan zâwîyah berisi penuh
dengan takhayul, menghambat kemajuan dan menghalangi masyarakat untuk menjadi
rasional. Persoalan takhayul dan tidak rasional ini menjadi perdebatan sengit di era akhir
Kesultanan Ottoman. Di tengah atmosfer sekuler dan represi negara Turki seperti di atas,
tarekat mengalami transformasi. Berbeda dari negara-negara Arab, Turki memiliki cara
tersendiri dalam menghadapi rezim sekuler Kemal. Masyarakat Turki tidak menggunakan
cara kekerasan model Salafi, Wahabi maupun al-Ikhwân al-Muslimûn dalam menyikapi
berdirinya Republik Turki yang sekuler menyusul keruntuhan Kesultanan Ottoman.

Masyarakat Turki tidak menyokong model revolusi negara-negara Arab. Turki berhasil
menjawab problem sekularisme Kemalis dengan menggunakan pendekatan tasawuf yang
telah berabad-abad mengakar dalam masyarakat Turki, baik melalui jalur kultural maupun
jalur politik. Setelah pemberontakan Sa‘îd gagal melawan pemerintah sekuler yang kemudian
dilanjutkan dengan pelarangan tarekat, Naqshabandîyah merubah strategi. Tarekat ini
memutuskan untuk mengundurkan diri dari panggung politik. Mereka menghilang dari arena
publik. Semua praktik tasawufnya dikerjakan secara sembunyisembunyi. Aktivitasnya
dipindah ke masjid. Mereka “membungkus” diri sebagai jemaah masjid. Semua aktivitas ini
dapat berlangsung dengan tenang, karena Naqshabandîyah—terutama cabang Khâlidî—
mampu memolakan zikir agar tidak tampak dari luar dan tidak terlembaga sebagai ritual
keagamaan. Meskipun tidak ada data statistik yang bisa dijadikan pegangan untuk melihat
seberapa banyak penduduk Turki yang ikut tarekat, namun tarekat di Turki masih
menjalankan fungsinya secara “sembunyi-sembunyi”, terutama tarekat Naqshabandîyah
cabang Khâlidî. Tarekat ini memainkan peran penting dalam transformasi negara Turki dari
negara yang ultra-sekuler menjadi negara yang proIslam pada tahun 1950-an, dan kembali
memberi warna pada politik nasional sejak era multi-partai hingga saat ini. Naqshabandîyah
menyumbang kader-kader terbaik dalam dunia politik seperti Necmettin Erbakan dan
Erdoğan. Meskipun secara resmi tarekat masih dilarang, dan baru mengalami kelonggaran
pada tahun 1980-an, sejumlah tarekat berani tampil ke permukaan dan memperoleh pengikut
yang lebih banyak dibanding masa sebelumnya. Agar dianggap resmi, tarekat tersebut
mengadopsi bentuk organisasi yang dapat diterima negara seperti yayasan atau asosiasi
kultural. Hakan Yavuz menangkap, tarekat Naqshabandîyah selanjutnya menjadi dasar
kemunculan empat gerakan Islam di Turki sejak tahun 1970-an. Salah satunya adalah gerakan
Nurcu. Nurcu adalah gerakan Islam yang didirikan oleh Badî‘ al-Zamân Sa‘îd al-Nursî.

2. Sejarah Perkembangan Tarekat di Turki

Lahirnya tarekat tidak terlepas dari keberadaan tasawuf secara umum, terutama peralihan
tasawuf yang bersifat personil kepada tarekat sebagai suatu organisasi, yang merupakan
perkembangan, pengamalan serta perluasan ajaran tasawuf. Kajian tentang tarekat sendiri
tidak mungkin dilakukan tanpa kajian tasawuf. Dalam masyarakat Turki, agama mempunyai
peran besar bagi lapangan sosial dan juga politik. Masyarakat digolongkan berdasarkan
agama, dan kerajaan sendiri sangat terikat dengan syariat sehingga fatwa ulama menjadi
hukum yang berlaku. Oleh karena itu, ajaran-ajaran thorikot berkembang dan juga mengalami
kemajuan di Turki Usmani. Para Mufti menjadi pejabat tertinggi dalam urusan agama dan
beliau mempunyai wewenang dalam memberi fatwa resmi terhadap problem keagamaan yang
terjadi dalam masyarakat Turki. Kemunculan tarekat pada masa Turki Usmani juga tidak
terlepas dari kerajaan Saljuk yang sebelumnya berkuasa. Pada masa Saljuk, tarekat diberikan
kebebasan untuk melakukan kegiatannya dan pemerintah menyediakan sejumlah sekolahan,
tempat pertemuan, dan sejumlah wakaf kepada thariqat.
Beberapa Tarekat yang berkembang di Turki sebenarnya terdapat banyak, tarekat yang
berkembang di Turki, seperti Mawlawiyah, Bektesiyah, Naqsyabandiyah, khalwatiyah, dan
lainnya, namun pemateri disini akan sedikit memaparkan tarekat yang menjadi tarekat yang
fenomenal di Turki yaitu, yang pertama:

Tarekat Mawlawiyah

Tarekat Maulawiyah mula-mula diperkenalkan oleh murid-murid Jalaluddin Rumi. Bukan


Jalaluddin Rumi sendiri yang menamai tarekat tersebut melainkan murid-muridnya setelah
Jalaluddin Rumi wafat. Nama Maulawiyah berasal dari kata Maulana yang dinisbahkan
kepada Maulana Jalaluddin Rumi yang berarti Guru Kami. Berdasarkan periwayatan yang
disepakati oleh para sejarawan, tarekat Maulawiyah lahir sejak terjalinnya persahabatan
antara Jalaluddin Rumi dengan gurunya, yakni Syamsuddin At-Tabriz. Sedangkan dalam
sumber lain menyebutkan bahwa tarekat Maulawiyah didirikan 15 tahun terakhir hidup
Jalaluddin Rumi atau sekitar tahun 1258 M. Kecintaan Jalaluddin Rumi kepada musik
disebutkan dalam banyak hikayat. Jalaluddin Rumi berpendapat bahwa Sama’ (musik)
merupakan makanan bagi para pecinta karena didalamnya terdapat fantasi ketenangan jiwa.
Dengan mendengarkan musik, mereka merasakan adanya kekuatan besar yang terkumpul dan
terbentuk dalam imajinasi. Api cinta akan semakin menguat dan meningkat dengan adanya
iringan musik.

Selanjutnya terkait tarian sufi Jalaluddin Rumi mengibaratkan gerak putar tarian para darwis
seperti pembuat anggur yang menginjak buah anggur sehingga tercipta anggur rohani. Sama’
menurutnya adalah makanan rohani seperti zikir yang di dalamnya manusia berputar
mengitari pusat gaya berat rohani, yaitu Tuhan. Gambaran Umum Tarekat Maulawiyah di
Konya Tahun 1258-1273 M. Konya merupakan kota tertua di Turki yang terus dihuni dan
dikenal sebagai ikonium di zaman Romawi. Iconim atau Iconium merupakan ibu kota
Kesultnanan Seljuk Rum. Terletak di Asia kecil. Konya merupakan pusat kebudayaan,
setelah Baghdad dihancurkan tentara Mongol, yang menjadi tempat pertemuan kebudayaan
Barat dan Timur, serta pertemuan bermacam agama. Sebagai kota tempat pengajian, Konya
memang menarik banyak kaum terpelajar. Konya juga disebut Koniah, Konieh, Konia, dan
Qunia. Konya merupakan kota penting dalam kekaisaran Roma. Keindahan Konya menjadi
latar belakang yang nyaris sempurna bagi aktivitas dan pencapaian spiritual Jalaluddin Rumi.
Sistem pendidikan Konya memberi peluang bagi Jalaluddin Rumi dan ayahnya untuk
mengajarkan Islam. Di Konya, Jalaluddin Rumi menjadi pembicara yang sangat terkenal dan
berpengaruh. Di Konya juga, Jalaluddin Rumi mendirikan sebuah tarekat yang yang terkenal
dengan nama Maulawiyah.

Tarekat Maulawiyah mula-mula diperkenalkan oleh murid-murid Jalaluddin Rumi. Bukan


Jalaluddin Rumi sendiri yang menamai tarekat tersebut melainkan murid-muridnya setelah
Jalaluddin Rumi wafat. Nama Maulawiyah berasal dari kata Maulana yang dinisbahkan
kepada Maulana Jalaluddin Rumi yang berarti Guru Kami. Karena, murid-murid Jalaluddin
Rumi biasa memanggil gurunya dengan sebutan Maulana. Oleh karena itu, tarekat
Maulawiyah merupakan tarekat guru kami, yang disandarkan kepada pendirinya yakni
Maulana Jalaluddin Rumi. Setelah Syamsuddin At-Tabrizi menghilang dan dikabarkan wafat
pada 1247 M, maka Jalaluddin Rumi mengembangkan tarekat Maulawiyah dengan salah satu
murid sekaligus sahabatnya, yakni Salahuddin Zarkub. Ia merupakan seorang pandai emas.
Jalaluddin Rumi mulai menemukan sosok pengganti Syamsuddin At-Tabriz, ketika ia sedang
mengunjungi tempat Salahuddin Zarkub yang sedang bekerja menempa emas. Dari tiap bunyi
tempaan pukulan besi yang dilakukan Salahuddin

Zarkub di atas lempengan emas itulah Jalaluddin Rumi seperti mendengar suara Allah, Allah,
Allah. Bunyi itu seakan-akan suatu irama yang keras, yang secara spontan mengajaknya
berputar-putar menari seperti gasing sama halnya dengan yang Jalaluddin Rumi lakukan
dengan Syamsuddin At-Tabrizi.22 Karena, sejak Syamsuddin At-Tabriz pergi, Jalaluddin
Rumi tidak bisa hidup tanpa pendamping, yang Jalaluddin Rumi butuhkan untuk
mengekspresikan rasa cintanya yang mendalam kepada gurunya itu. Oleh karena itu,
Jalaluddin Rumi menjadikan Shalahuddin Zarqub untuk menjadi partner (khalifah), kepada
siapa ia mengalamatkan syair-syairnya yang indah. Begitulah Jalaluddin Rumi
mengungkapkan syair-syair cinta (yang kemudian dihimpun menjadi Diwan-i Syams-i
Tabriz). Pada masa Jalaluddin Rumi, tarekat Maulawiyah hanya baru tumbuh di Konya.
Ajarannya pun belum meluas. Awalnya, pengikutnya hanya sahabat dan murid di
madrasahnya. Kemudian, semakin hari pengikutnya bertambah banyak. Pada tahun 1258 M
atau abad ke-13 M, belum ada istilah Tarekat Maulawiyah seperti yang dikenal sekarang ini.
Yang dikenal adalah tarian Sama’. Tarian Sama’ merupakan tarian spiritual yang dipercaya
sebagai ekspresi kecintaan pada Ilahi yang memunculkan gerakan-gerakan yang eksotik
dengan iringan musik dan nyanyiannyanyian sufi.

Tarekat Bektasyiah
Pada mulanya, Bektasyiyah merupakan tarekat hasil dari perkembangan Tarekat Yasawiyah
yang didirikan oleh Ahmad al-Yasawi yang wafat pada 562 H. Tarekat Bektasyiyah ini
didirikan oleh Hajji Bektasyi pada 1338 M, beliau ke Anatolia pada abad XIII M dari
Khurasan, ia wafat pada 738 H/1338 M. Pengikut tarekat ini lebih dikenal sebagai pengikut
tarekat sufi. Tarekat ini mengandung berbagai percampuran keyakinan dan peribadatan yang
didalamnya termasuk unsur Syiah, Kristen, bahkan Budha. Tarekat Bektasyiyah ini
berkembang pesat saat pemerintahan Khedive Ismail, kira-kira pada abad ke-17 dan ke-18 M.

Dalam Tarekat Bektasyiyah memiliki tradisi seperti adanya tingkatan-tingkatan dari yang
tinggi hingga terendah. Misalkan seperti tingkat termasuk golongan guru, sedangkan yang
rendah ibaratkan murid. Hubungan antara tarekat Bektasyiyah dengan tentara Jenisseri begitu
erat, karena banyaknya anggota tentara yang mengikuti aliran ini maka mereka disebut
dengan tentara Bektasyi. Tarekat Bektasyiyah ini identik dengan Jenisseri dimulai pada abad
XV, pemimpin Bektasyi tinggal di dekat barak orang Jenisseri. Tidak jarang mereka
memberikan pengarahan serta pembinaan rohani kepada tentara Jenisseri.

Hacurnya tarekat Bektasyiyah pada Juni 1826, Sultan Mahmud II (1808-1839) sengaja
memancing sebuah insiden yang membuat pasukan Jenisseri seolah-olah akan melakukan
pemberontakan. Kejadian tersebut dijadikan alasan untuk membubarkan pasukan Jenisseri.
Markas mereka yang ada di Aksaray dibombadir, yang mana banyak pasukan yang berada
didalamnya. Pasukan Jenisseri hampir semua mati terbunuh dan tertangkap atas kejadian
tersebut. Dengan demikian tarekat sufi Bektasyi dibubarkan pula.Namun perlu dipahami
Ketika merunut bagian Kekhalifahan ' Utsmaniyyah yang menjadi cikal bakal Republik Turki
saat ini, kita harus melihat rangkaian sejarah politik pada abad Sejarah ini bisa dibedakan
menjadi tiga periode utama. Pertama, masa kekuasaan Sultan Mahmud II (1808-29) yang
ditandai dengan konsentrasi kekuatan pada figur sultan itu sendiri, melalui tekanan militer,
administratif, hukum dan agama yang mengimbangi otoritasnya. Lalu, dari tahun 1839
hingga 1876, adalah era Reorganisasi (Tanzimat) ketika dikeluarkannya peraturan baru untuk
Eropanisasi, khususnya dalam bidang pen-didikan dan kebebasan sipil. Yang terakhir adalah
periode pemerin-tahan Sultan Abd al-Hamid menerapkan Islam (1876 - 19) ), yang patut
dicatat karena secara otoriter dan absolut untuk membenarkan penolakan terhadap keabsahan
konstitusi.

Pada tahun 1925, Republik Turki yang baru berdiri secara resmi menutup semua pondokan
sufi, melarang seluruh gelar sufi dan se mua kegiatan yang berhubungan dengan tarekat.
Dalam praktiknya, kegiatan sufi tetap berlanjut hingga kini, meskipun tak resmi. Sifat tidak
resmi inilah yang menjadikan penelitian sangat sulit. Dalam tahun-tahun terakhir, pertemuan-
pertemuan sufi telah dilakukan di depan umum, tanpa campur tangan pihak berwenang. Para
anggota pemerintah dan politisi lain diketahui telah berhubungan erat dengan tarekat
Naqsyabandiyah.

3. Tokoh-Tokoh Sufi di Turki


A. Maulana Jalaluddin Rumi

Jalaluddin Rumi lahir di Balkh, Afghanistan, pada tanggal 6 Rabiul Awwal 604 H bertepatan
dengan 30 September 1207 M. Nama lengkapnya Maulana Jalaluddin Muhammad.
Sedangkan menurut Prof. Dr. Hamka, nama lengkapnya ialah Jalaluddin Muhammad bin
Muhammad bin Husin al-Khatibi al-Bakri. Nama ArRumi dikenakan sebagai takhallus
(julukan) karena dia menghabiskan sebagian besar hidupnya di Konya, Turki, yang masih
merupakan wilayah kekaisaran Byzantium disebut Romawi Timur. Sehingga ia dikenal
sebagai Jalaluddin Rumi atau Rumi saja. Jalaluddin Rumi lahir dari keluarga terhormat.
Ibunya merupakan anggota kerajaan Khawarizm, bernama Mu’mina Khatun. Dari garis
keturunan ibunya, Jalaluddin Rumi merupakan keturunan sepupu, sahabat, dan menantu Nabi
Muhammad SAW., Ali bin Abi Thalib yang merupakan khalifah Islam keempat. Sedangkan
ayahnya bernama Muhammad atau lebih dikenal dengan nama Bahauddin Walad, seorang
tokoh ulama dan guru besar di negerinya.

Karena keilmuwannya yang sangat besar, Bahauddin Walad digelari dengan ‘Sultanul
Ulama’. Menurut catatan, nasab ayahnya sampai pada Sayyidina Abu Bakar Ash-Shiddiq ra.
Pada usia 18 tahun Jalaluddin Rumi menikah dengan Jawhar Khatun, putri Lala Syarif Al-
Din. Pada tahun 1229 M, lahir putra kedua Jalaluddin Rumi yang diberi nama Alauddin.
Putra keduanya bernama Sultan Walad. Pada awal 1231 M, Jalaluddin Rumi menggantikan
posisi ayahnya sebagai penerusnya dan mengajar di madrasahnya. Jalaluddin Rumi menikah
lagi dengan Kira Khatun setelah beberapa tahun istri pertamanya meninggal. Kira Khatun
menghadiahkan dua anak kepada Jalaluddin Rumi, satu anak laki-laki dan satu anak
perempuan. Anak perempuan tersebut bernama Malika Khaitun sedangkan anak laki-laki
bernama Alim Muzaffar Al-Chelebi. Adapun pendidikan Jalaluddin Rumi diperoleh dari
guru-gurunya yaitu diantaranya Bahauddin Walad, Burhanuddin At-Tirmidzi, dan
Syamsudidn At-Tabriz. Banyaknya pembacaan buku yang dilakukan Jalaluddin Rumi
menyebabkan berkembangnya pengetahuan Jalaluddin Rumi dalam bidang sastra. Sebagai
penyair atau sastrawan, Jalaluddin Rumi melahirkan banyak karya yang fenomenal. Diantara
karya tersebut diantaranya Diwan Syamsi Tabriz, Matsnawi Ma’nawi, Ruba’iyat, Kitab Fihi
Ma Fihi, Makatib, Majalis Sab’ah, dan Majmu’ah min Ar-Rasa’il. Di penghujung tahun 1273
M, usia Jalaluddin Rumi memasuki 66 tahun. Jalaluddin Rumi wafat pada tanggal 5 Jumadil
Akhir 672 H atau 17 Desember 1273 M menjelang maghrib. Jalaluddin Rumi dimakamkan di
Konya, yang saat itu masih berada di bawah kekuasaan Dinasti Saljuk dan dimakamkan di
samping makam ayahnya.

B. Said Nursi

Jika kita mengikuti pendapat Serif Mardin, dikatakan bahwa Badî‘al-Zamân Sa‘îd al-Nursî
lahir di tengah keluarga penganut tasawuf. Ayahnya adalah pengikut tarekat Naqshabandîyah.
Warna pemikiran tasawuf al-Nursî dibentuk oleh lingkungan dan tradisi Naqshabandîyah.
Berbeda dari Mardin, Zeynep A. Kuru dan Ahmet T. Kuru berpendapat bahwa warna tasawuf
dalam pemikiran Nursi tidak semata-mata dipengaruhi Naqshabandîyah, tetapi dipengaruhi
oleh beragam tokoh sufi, seperti Shaykh ‘Abd al-Qâdir al-Jîlânî (meninggal 1166), Jalâl al-
Dîn al-Rûmî (meninggal 1273), Bahâ’ al-Dîn al-Naqshabandîyah (meninggal 1390), Ahmad
Sirhindi (meninggal 1624) dan Khâlid al-Baghdâdî (meninggal 1827). Al-Nursî mengutip
pendapat tokoh-tokoh sufi tersebut dalam tulisannya.

Bahkan saat mengalami kegoncangan batin menjelang perubahan dari fase “Old Said”
menjadi “New Said”, al-Nursî menemukan obat penyembuh dari buku karangan ‘Abd al-
Qâdir al-Jîlânî dan Ahmad Sirhindi. Meski begitu, al-Nursî menyatakan dengan tegas bahwa
ia bukan pengikut salah satu tarekat. Mursyid utama yang ia anut—tandas alNursî—bukanlah
tokoh-tokoh sufi di atas, tetapi hanyalah al-Qur’ân. Jika pandangan konvensioal mengatakan
bahwa jalan menuju hakikat haruslah melalui tarekat, al-Nursî justru mengatakan: jalan
menuju hakikat cukup melalui al-Qur’ân dan mengikuti perilaku Nabi Muhammad.
Karakteristik ini bisa dipakai untuk menggambarkan model tasawuf yang dianut al-Nursî,
yaitu bertasawuf tanpa tarekat. Pertanyaan yang muncul, meskipun al-Nursî bertasawuf,
mengapa ia meminggirkan tarekat? Untuk menjawab pertanyaan ini ada baiknya kita melihat
konteks sejarah yang melingkupinya.

Pertama, al-Nursî hidup di era di mana sedang berlangsung perdebatan sengit yang cenderung
menghakimi tarekat sebagai sumber kemunduran Islam. Kedua, al-Nursî tumbuh di tengah
suasana politik yang tidak menguntungkan, di mana Kemal melarang tarekat dan zâwîyah.
Ketiga, al-Nursî tumbuh di era saat Kesultanan Ottoman sedang gencar mengadopsi sains.
Bersamaan proses pembaruan di Kesultanan tersebut, kaum intelektual pengikut filsafat
materialisme menyerang keras ajaran Islam. Mereka menggugat sendi-sendi keimanan
agama. Al-Nursî melihat filsafat materialisme menjadi ancaman serius bagi keberadaan iman.
Serangan materialisme ini hanya dapat dipatahkan oleh pendekatan agama yang rasional,
bukan sekadar olah rasa seperti tarekat. Barangkali, al-Nursî meninggalkan tarekat agar
terbebas dari represi yang dilakukan rezim Kemalis.

Meski begitu, tokoh pendiri gerakan Nurcu ini beserta pengikutnya mengalami penindasan.
Bagi penguasa Republik Turki masa itu, tarekat dan gerakan Nurcu dianggap ancaman bagi
keberlangsungan pemerintahan sekuler. Jika kalangan tarekat ditindas karena tarekat
merupakan institusi yang terlarang, sedangkan Nurcu ditindas atas tuduhan sedang
membentuk tarekat. Al-Nursî mengalami represi politik di tangan rezim Kemalis, beberapa
kali ia dipenjara dan dibuang. Akibat represi tersebut, pengikut al-Nursî—dalam batas
tertentu—menarik diri dari ruang publik meskipun mereka masih tetap menjalin hubungan
dengan alNursî, menyebarkan karya Nursi Risale-i Nur dan membuat jaringan luas pembaca
buku ini secara diam-diam. Aktivitas tersembunyi ini pada tahap selanjutnya menjadi sebuah
gerakan sosial yang dikenal dengan istilah “Gerakan Nurcu”. Menjawab kelompok yang
menyatakan “barangsiapa yang tidak memiliki guru spiritual dalam bertasawuf, maka
gurunya adalah setan”, al-Nursî menegaskan bahwa guru yang bisa dipakai adalah dengan
menjadikan buku Risale-i Nur sebagai guru dan petunjuk spiritual. Nurs menyatakan, kita
adalah murid-murid Risale-i Nur. Ia sendiri mengakui bahwa dirinya adalah murid dari
Risale-i Nur. Ia mendorong para pengikutnya untuk selalu berpegang teguh pada Risale-i
Nur. Hingga saat ini, pengikut Nurcu menganggap Risale-i Nursebagai pegangan hidup.
Pusat dari gerakan ini kemudian bukan lagi sosok al-Nursî, tetapi buku Risale-i Nur.

Karena itu Hakan Yavuz menyebut kelompok al-Nursî (Nurcu) sebagai komunitas yang
berbasis tekstual (Textual Communities). Buku Risale-i Nur menjadi dasar kekokohan
gerakan Nurcu. Sesungguhnya al-Nursî tidak meninggalkan tasawuf sama sekali. Hanya saja,
ia tidak mengambil tarekat sebagai sebuah lembaga. Ia hanya mengambil nilai spiritualnya
saja. Meskipun tidak menganut salah satu tarekat, al-Nursî tetap mengapresiasi ajaran
tasawuf selama masih dalam koridor al-Qur’ân dan Sunnah Nabi. Sebagai sosok yang
menjunjung tinggi sharî‘ah, mengutamakan al-Qur’ân dan menjadikan Nabi sebagai role
model, maka al-Nursî dapat dimasukkan ke dalam kategori pengikut “tarekat
Muhammadiyah”. Seperti disebut di muka, mengikuti “tarekat Muhammadiyah” dapat
dikatakan sebagai bertasawuf tanpa tarekat. Setelah al-Nursî mangkat, gerakan Nurcu
terfragmentasi menjadi sejumlah cabang gerakan. Salah satu cabang Nurcu adalah Gülen
Movement yang didirikan oleh Fethullah Gülen.4

C. Fathullah Gülen

Sejumlah ilmuwan menyebut Fathullah Gülen adalah seorang penganut tasawuf. Greg Barton
menyatakan bahwa hampir semua aspek pemikiran Gülen dipengaruhi oleh ajaran tasawuf
yang menekankan pada kebersihan niat dan kejernihan hati. Elizabeth Ozdalga menegaskan
bahwa tradisi tarekat Naqshabandîyah merupakan rujukan utama pemikiran Gülen.
Sedangkan Kim menyatakan bahwa tasawuf Gülen lebih banyak diwarnai oleh Said Nursi.

Hal senada juga diutarakan Saritoprak yang menyatakan bahwa Nursi memberi pengaruh
besar pada Gülen. Persamaan yang tampak pada Nursi dan Gülen adalah bahwa keduanya
menerima tasawuf, namun keduanya sama-sama menyingkirkan tarekat. Di mata Gülen,
tasawuf berbeda dengan tarekat; tasawuf adalah inti ajaran Islam, sedangkan tarekat
merupakan produk sejarah. Bentuk tasawuf Gülen, bukan dengan mengamalkan ritual salah
satu tarekat, tetapi mengamalkan cara hidup Nabi Muhammad. Gülen menganggap Nabi
adalah sosok sempurna yang patut dicontoh. Konsep Gülen ini—menurut hemat penulis—
tidak berbeda dari konsep “tarekat Muhammadiyah” seperti pembahasan sebelumnya. Gülen
tidak memisahkan tasawuf dari sharî‘ah. Tasawuf tidak boleh bertentangan dengan fiqh.
Tasawuf dan fiqh merupakan dua sisi mata uang, sisi yang satu merupakan pelengkap bagi
sisi yang lain. Tarekat sebagai tangga kedua setelah sharî‘ah dalam perjalanan spiritual
menuju hakikat—sebagaimana diyakini umat Islam selama ini—menurut Gülen, merupakan
pembagian tahapan yang tidak tepat. Dari konsep tersebut seakan muncul kesan bahwa
sharî‘ah (fiqh) dan hakikat (tasawuf) sebagai dua anak tangga yang terpisah. Seseorang bisa
menapaki jalan sharî‘ah kemudian langsung menuju hakikat, tanpa melalui tarekat. Bahkan
seseorang bisa menapaki jalan spiritual menuju hakikat tanpa bantuan seorang guru spiritual.
Satu-satunya penuntun jalan dalam menapaki laku spiritual, demikian kesimpulan Gülen,
hanyalah al-Qur’ân dan sunnah Nabi.Gülen melihat bahwa tasawuf adalah inti dari ajaran
Islam dengan posisi tasawuf sebagai isi, sementara sharî‘ah sebagai bungkus. Menciptakan
harmoni antara isi dan bungkus—atau antara tasawuf dan fiqh—merupakan hal penting bagi
seorang Muslim. Orang yang mementingkan aspek luar (bungkus), tanpa memperhatikan
aspek isi, berujung pada skripturalisme kering. Bagi Gülen, tasawuf merupakan jawaban bagi
kebutuhan manusia modern yang sedang mengalami kekeringan. Gülen memunculkan

4
Tasawuf Tanpa Tarekat: Pengalaman Turki dan Indonesia
kembali tasawuf di tengah masyarakat modern dengan penyesuaian seperlunya, di antaranya
bertasawuf tanpa mengikuti ritual salah satu tarekat.

Tasawuf bagi Gülen tidak sekadar urusan spiritualitas, tetapi juga persoalan kehidupan sosial.
Ia membalikkan gambaran tasawuf yang selama ini dipahami sebagai penyebab kemunduran
Islam, melahirkan sikap pasif, dan mengisolasi diri dari pentas dunia, menjadi laku
spiritualitas yang meleburkan diri dalam kehidupan sosial dan berperan aktif di tengah
masyarakat. Untuk mendukung pendapat tersebut Gülen mengambil contoh kehidupan Nabi
Muhammad, terutama cerita Nabi Muhammad yang turun kembali ke bumi dan bergumul
lagi dengan kehidupan umatnya meski sudah bertemu Tuhan dalam mi’raj. Nabi Muhammad
dan para sahabat, demikian ungkap Gülen, tidak menjauhkan diri dari kehidupan sosial.
Justru mereka terlibat langsung dalam pergumulan masyarakat.

Lanjut Gülen, kesalehan tasawuf harus memantul dalam kehidupan bermasyarakat.


Transformasi kesalehan tidak berhenti pada diri sendiri tetapi juga pada transformasi sosial.
Tasawuf sosial ini mengharuskan seorang pengamal tasawuf yang telah mencapai kenikmatan
spiritual untuk menjaga keteraturan sosial dan perdamaian dunia. Setelah mencapai
kenikmatan spiritual dan kembali lagi di tengah masyarakat, tugas berikutnya adalah
mempertahan kesadaran tentang keberadaan Tuhan di tengah hiruk-pikuk masyarakat.
Kesadaran spiritual diuji ketika seseorang berada di tengah masyarakat. Ia dituntut untuk
selalu memperharui kesadaran spiritual tersebut melalui kerja sosial dan perenungan
(tafakkur). Dari sini jelas terlihat bahwa tasawuf Gülen tidak memisahkan kehidupan akhirat
dari kehidupan dunia. Tasawuf harus terlibat aktif di tengah masyarakat, bahkan
berpartisipasi di setiap detik dan denyut kehidupan dunia, meski ia sedang mempersiapkan
diri untuk kehidupan akhirat. Menurut Gülen, kesalehan tasawuf harus berwujud pada
pengabdian kepada masyarakat. Puncak dari tasawuf tidak hanya berhenti pada dirinya
sendiri, tapi termanifestasi dalam kehidupan bermasyarakat. Sebagai bentuk tanggung jawab
atas perputaran kehidupan di muka bumi ini, dalam kacamata Gülen, seorang Muslim harus
menegakkan perdamaian. Caranya? Dengan toleransi dan dialog antar-iman. Gagasan Gülen
tentang toleransi ini mengacu ajaran tasawuf yang berwajah inklusif dan penuh cinta. Untuk
itu ia mendorong terciptanya ruang dialog antar-iman dengan berlandaskan ajaran dasar
tasawuf tersebut.

Pendekatan ini di kemudian hari, terutama pasca serangan WTC 11 September 2001,
berfungsi sebagai penghubung kultural antara Barat dan Timur untuk mencapai
kesepahaman. Karena itu pendekatan Gülen ini menjadi solusi alternatif untuk problem
kemanusiaan. Tasawuf, menurut Gülen, merupakan obat penyembuh untuk problem
kemanusiaan di era kontemporer. Problem mendasar di era kontemporer adalah hilangnya
humanisme dengan maraknya propaganda kebencian dan permusuhan. Jalan satu-satunya
untuk mengatasi problem kemanusiaan ini, menurut Gülen, adalah dengan menghidupkan
kembali cinta dan toleransi. Cinta bisa hadir kembali dengan menghadirkan kembali tasawuf.
Selain itu, hanya dengan tasawauf inilah spiritualitas dapat kembali dibangkitkan. Dengan
tasawuf ini pula manusia dapat mengekang syahwat kebinatangan yang ada pada setiap
manusia agar bisa dikendalikan sehingga tidak menjadi penyebab konflik antar-sesama.
Pandangan Gülen di atas merupakan hasil dari refleksi dan penafsiran Gülen terhadap Islam
yang berhadapan dengan era kontemporer. Islam bisa hidup damai di era kontemporer dan
kosmopolitan karena Gülen berpandangan bahwa Islam adalah agama yang mengajarkan
cinta kasih, rasa sayang, toleransi dan saling memaafkan. Jadi, tasawuf Gülen
memperlihatkan warna penting, di mana satu kaki berpijak pada tradisi tasawuf, sementara
kaki lainnya menjejakkan diri pada dunia kontemporer.

Pendekatan Gülen ini menghadirkan pendekatan yang unik.60 Satu hal yang cukup menarik,
Gülen tidak mencomot tradisi tasawuf secara utuh, namun justru ia mengambil tasawuf yang
dianggap perlu dan menyesuaikannya dengan dunia kontemporer. Karena itu, untuk
menjawab kebutuhan spiritualitas dunia kontemporer ia menawarkan tasawuf tanpa tarekat;
merubah kesalehan personal menjadi kesalehan sosial; dan merangkul humanisme. Penulis
melihat, harapan Asghar Ali Engineer di muka dapat diwujudkan melalui pemikiran tasawuf
Gülen ini.5

Tambahan Tanya Jawab

Afsan Nurrizki : Mengapa Rumi menindikasikan tarekatnya itu menjadikan musik dan tarian
sebagai cara untuk mendekatkan diri pada Allah atau dzikir dengan tarian dan lagu dalam
tarekat tersebut?

Jawaban : semua tarekat mempunyai ciri khas nya masing-masing, nah dalam tarekat yang
dijalani Jalaludin Rumi seperti itu caranya untuk lebih mendekatkan diri dengan Tuhan.
Tarekat ini di bagian Barat lebih dikenal dengan sebutan Whirling Dervishes (Para Darwis
yang Berputar-putar), musik dan tarian ini juga diiringi dengan mereka melantunkan zikir
kepada Allah sampai Jika mengutip pendapat Rumi bahwa musik merupakan makanan bagi

5
Tasawuf Tanpa Tarekat: Pengalaman Turki dan Indonesia
para pecinta karena didalamnya terdapat fantasi ketenangan jiwa. Dengan mendengarkan
musik, mereka merasakan adanya kekuatan besar yang terkumpul dan terbentuk dalam
imajinasi. Api cinta akan semakin menguat dan meningkat dengan adanya iringan musik
mencapai tingkatan Fana. arena pada dasarnya dalam jiwa manusia terdapat hati yang rindu
akan Tuhannya, dan karena jalan memenuhi rindu ini tak mudah dan kadang hati ini sudah
terlalu gelap, maka salah satu yang dapat memudahkan adalah dengan tenangnya hati dan
salah satu cara untuk hati ini dapat tenang adalah dengan musik makanya dapat kita pahami
kalau banyak orang yang yang yang dengan musik hatinya dapat tenang dan hal ini tak hanya
berlaku untuk orang-orang yang Islam saja namun juga orang-orang yang non Islam sehingga
ajaran Rumi ini ini lewat musik dapat diterima oleh semua kalangan dengan hati yang lapang.
Kemudian tak hanya di situ saja terkait dengan irama irama musik yang kemudian diserap
oleh agama Islam yang kemudian dalam prakteknya menjadi sarana dakwah seperti kita lihat
wali songo yang menggunakan syair kemudian praktek shalawat kepada nabi yang kemudian
banyak menggunakan nada-nada yang indah sehingga banyak menyentuh hati umat manusia.

Afsan Nurrizki :

Apa tingkatan fana dalam filosofi rumi itu sama dengan sufi lainnya?

Jawaban : Sebenarnya terkait fana itu sepertinya tiap sufi meskipun memiliki jalan menuju
fananya kepada Allah sendiri-sendiri namun para sufi tersebut memiliki pemahaman yang
sama akan fana Fillah jadi ketika seseorang itu sudah fana' sudah hancur Ke-dirian-nya maka
jadilah ia menganggap dirinya itu tiada dan yang ada itu hanya Allah jadi sebenarnya pada
fana ini bukanlah sebuah tingkatan filosofis tapi fana disini ini menjadi kondisi hati misalnya
saja ketika seseorang dipenuhi oleh rasa cinta sebagaimana yang diterapkan oleh Rumi yang
dapat menyebabkan keterpisahan antara manusia sebagai cinta yakni pencipta dan Tuhan
sebagai kekasih karena cinta membara hanya terjadi ketika ada keterpisahan yang jauh antara
sang pencinta dan yang dicintai dan dari cinta ini pula seseorang dapat fana. Pengalaman
spiritual pada dasarnya adalah subyektif, walaupun kondisi fana dialami oleh orang yg sama
dalam saat dan tempat yg berbeda, maka nuansanya pun berbeda. Walaupun begitu kesamaan
yg relatif akan selalu dapat diambil benang merahnya sekalipun situasi fana yg dialami oleh
spiritualist lintas agama. (The variety of religious experience). Artinya orang yg taat dalam
agamanya adalah orang yang relatif terbaik spiritualitasnya di lingkungannya. Sedikit
mengutip ungkapan Rumi yang sedikit mengungkapkan fana' pada kitab Fihi ma Fihi, dalam
pembahasan melebur dalam cahaya, Rumi berkata, "Sebaiknya kau selalu merasa lemah
setiap saat. Meski dalam kondisi kuat, sebaiknya kau melihat dirimu lemah. Sebab, di atas
kekuatanmu ada kekuatan yang lebih be sar. Kau selalu berada di bawah kehendak Allah.
Dirimu tidak terbagi dua yang kuat di satu sisi dan lemah di sisi lain. Perhati kanlah selalu
kekuatan Allah dan yakinilah bahwa dirimu lemah selamanya, tanpa tangan dan kaki, lunglai
dan selalu membu tuhkan. Bagaimana manusia yang lemah ini tidak merendahkan dirinya,
sementara ia melihat macan, singa, buaya dan lain-lain tunduk di hadapan Allah? Alam raya
lemah dan tunduk di ba wah hukum-hukum-Nya. Dialah Raja Agung. Cahaya-Nya tidak
seperti cahaya matahari dan rembulan. Di hadirat-Nya, sesuatu akan seperti adanya. Jika
cahaya Allah bersinar tanpa hijab, la ngit, bumi, matahari, dan rembulan akan sirna. Tidak
ada yang mampu bertahan selain diri-Nya.

Muhammad Fajri : Apakah di Turki saat ini masih terdapat tarekat, dan bagaimana tarekat
tersebut apakah berkembang pesat atau tidak?

Jawaban : Seperti diketahui Turki lebih erat dengan tarekat Naqsabandiyah dan bisa kita
ketahui pula bahwa tarekat tersebut masih ada hingga sekarang. Jadi, bisa dipastikan di Turki
tarekat ini masih berjalan.
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Mendengar kata 'Sufi' yang langsung terbayang adalah Turki. Negeri asal tokoh sufi
legendaris Jalaluddin Rumi ini menyimpan begitu banyak cerita menarik. Di kota Konya,
tokoh sufi Jalaluddin Rumi menyebarkan ajaran cintanya. Berbagai manuskrip Arab dari
masa lampau menyebutnya sebagai Quniya. Kota yang dimaksud saat ini lebih dikenal
dengan nama Konya. Inilah salah satu kota tertua yang masih dihuni di dunia. Riwayat
sejarahnya merentang sejak zaman tiga ribu tahun sebelum Masehi (SM). Bagi masyarakat
Ottoman, tasawuf merupakan denyut nadi keagamaan. Muslim Ottoman membangun
kesalehan individu dengan mengikuti salah satu tarekat. Fenomena ini dapat ditemui secara
merata di hampir semua wilayah Kesultanan Ottoman, dari Anatolia hingga Balkan. Pada era
Ottoman, sosok ulama selalu identik sebagai tokoh tasawuf. Pemikiran tasawuf menjadi
bagian dari kultur masyarakat. Meski begitu, menariknya, sejumlah orang menganggap diri
mereka sebagai penganut tasawuf kendati tidak mengikuti salah satu tarekat. Beberapa
Tarekat yang berkembang di Turki sebenarnya terdapat banyak, tarekat yang berkembang di
Turki, seperti Mawlawiyah, Bektesiyah, Naqsyabandiyah, khalwatiyah, dan lainnya. Tokoh
sufi paling terkenal disana adalah Jalaluddin Rumi, ada jufa seorang yang bertasawuf tanpa
tarekat yaitu Said Nursi dan Fathullah Gulen.

B. Saran

Makalah ini kurang lebihnya tidak luput dari segala perbuatan penulis, apabila ada kesalahan
dalam penulisan mohon dimaklumi. Semoga ini bisa menjadi referensi untuk pembahasan
Tasawuf dan Tarekat di Turki.
DAFTAR PUSTAKA
https://travel.dream.co.id/community/menyusuri-sejarah-di-negeri-para-sufi-151007r.html
https://id.wikipedia.org/wiki/Turki
Tasawuf Tanpa Tarekat: Pengalaman Turki dan Indonesia

Anda mungkin juga menyukai