Anda di halaman 1dari 10

Kolonialisme dan Aspek-aspek yang Mempengaruhi Tarekat di Dunia Islam

Abad ke-
18 dan Abad ke-19

Disusun Oleh :

Nama : Shofi Intan Pratiwi

NIM : 20021231

Prodi : Ilmu Tasawuf


Program Studi Ilmu Tasawuf

Sekolah Tinggi Agama Islam Sunan Pandanaran

Yogyakarta

2023

Pendahuluan

Tasawuf didasarkan pada delapan sifat yang dicontohkan oleh delapan


rasul :

kedermawanan Ibrahim, yang mengorbankan putranya; kepasrahan Ismail, yang


menyerahkan dirinya pada perintah Tuhan dan menyerahkan hidupnya; kesabaran
Ayub, yang sabar menahan penderitaan penyakit borok dan kecemburuan dari
Yang Maha Pemurah; perlambang Zakaria, yang menerima sabda Tuhan;
keterasingan Yahya, yang terasing di negerinya sendiri dan di tengah kaumnya
sendiri; perjalanan Ruhani Isa, yang meninggalkan benda duniawi sehingga ia
hanya menggunakan sebuah cangkir dan sebuah sisir bahkan cangkir itu
dibuangnya ketika melihat seseorang minum dengan telapak tangannya, dan
dibuang lupa sisirnya ketika dia melihat seseorang menyisir dengan jemarinya;
jubah wool Musa; dan kefakiran Muhammad, yang dianugerahi kunci segala harta
yang ada di muka bumi.

Namun, tidak berarti Tasawuf dan tarekat masa kini telah mengalami
penggusuran total dari berbagai tradisi lamanya. Ada aspek yang masih
dipertahankan, yaitu ajaran yang tidak bertentangan dengan syariat. Gejala
kesinambungan doktrin, disamping perubahannya, terjadi pada tarekat yang
muncul di masa-masa sesudahnya. Semua ini berakibat tidak saja pada perubahan
citra Tasawuf dan tarekat itu sendiri, tetapi juga butuh warna Islam secara
keseluruhan yang dipeluk kaum Muslim di kemudian hari. Seperti apa corak
perkembangan masing-masing sangat ditentukan oleh lingkungan tempat
keduanya tumbuh dan berkembang, serta menarik banyak pengikut.
Menggunakan metode secara analitis kritis, 1
dapat memahami dan
menjelaskan pengaruh neosufisme terhadap hubungan dan perubahan doktrin
tasawuf dan tarekat-tarekat baru yang timbul sejak Abad Pertengahan. Agar
diperoleh suatu gambaran yang jelas tentango kajian, terlebih dahulu dilakukan
survei Sosio historis untuk mengetahui latar belakang dan perkembangan doktrin
kelembagaan tasawuf hingga melahirkan apa yang sering dikenal sebagai
neosufisme berikut ciri-cirinya yang membedakan dengan tasawuf lama. Setelah
itu, akan ditinjau secara singkat perkembangan kelembagaan tarekat sebelum
dilanjutkan pembahasan mengenai reorientasi doktrin tasawuf dan munculnya
tarekat baru.

Pembahasan

A. Reorientasi Doktrin Tasawuf dan Munculnya Tarekat Baru

Doktrin tentang ajaran neosufisme yang mengejewantah dalam kehidupan


pribadipribadi ulama sufi serta para pendukungnya, dengan tegas menunjukkan
bahwa dalam tasawuf sama sekali tidak ada tempat bagi sikap yang pasif dan
penarikan diri (‘uzlah) dari berbagai macam masalah praktis duniawi. Dengan
tetap memegangi Al-Qur’an dan hadis neosufisme yang membedakan dirinya
dengan paradigma tasawuf awal yang sering menjerumuskan orang ke dalam
pasivitas, justru mudah menekankan aktivisme. Melalui tokoh-tokohnya,
neosufisme menghimbau kaum Muslim sedemikian rupa agar aktif memenuhi
kewajiban duniawi, yang seakan-akan menjadi maqam tersendiri sehingga dilalui
dalam rangka mencapai kemajuan dalam perjalanan mistis. Sufi yang sebenarnya
bukanlah sufi yang mengaliensikan diri dari masyarakat, melainkan sufi yang
menyeru kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran, membantu dan
membebaskan mereka mencegah kemungkaran, membantu mereka yang tertindas,
yang dapat melakukan ta’awun (tolong-menolong) dengan muslim lain demi

1 Mastuhu dan Deded Ridwan (ed.), Tradisi Baru Penelitian Agama Islam
Tinjauan Antardisiplin Ilmu (Bandung: Nuansa, 1998) h. 41-60
kemajuan masyarakat. Dalam kasus ulama sufi Melayu abad ke-17, sifat aktifisme
jelas sangat kelihatan, yang ekspresinya tidak terlalu jauh dengan yang
diperlihatkan tokoh-tokoh tarekat pembaru.

Akhir abad ke-18 gerakan pembaruan tarekat, muncul di Indonesia daerah


Minangkabau di kalangan tarekat Syaththariyah, yang sangat merosot coraknya,
karena adanya percampuran dengan kepercayaan-kepercayaan lokal, yang
berlanjut hingga munculnya tarekat baru Qadiriyah Naqsabandiyah yang
dipelopori oleh ulama sufi asal Indonesia yang bertempat tinggal di Makkah,
Syaikh Ahmad Khatib al-Sambasi. Namun, gerakan pembaruan tarekat baru
mendapatkan momentumnya yang luar biasa dengan munculnya beberapa tarekat
baru, seperti Tijaniyah, Idrisiyah dan Sanusiyah di beberapa kawasan tertentu,
terutama di Afrika di abada ke -18 dan awal abad ke-19. Neosufisme yang
mendukung aktifitasme hidup di duniawi, tanpa mengorbankan pemenuhan
disiplin spiritualnya, ciri yang sama menandai tarekat baru.

Setelah terjadinya rekonsiliasi antara kalangan tasawuf dengan ulama


ortodoks, berakibat yang semakin mendekatnya tasawuf dalam pangkuan syariat.
Kalangan tarekat Naqsyabandiyah India, misalnya muncul gerakan al-
Mujaddidiyah dalam ajaran Ahmad alSirhindi, yang menolak ajaran wahdat al-
wujud Ibn Arabi dan mengembalikan tarekat ke pangkuan syariat, pengaruhnya
merembes hingga ke luar India dan mendominasi Hijaz di abad ke 18. Gerakan ini
semakin penting di abad ke-19 tampilannya Maulana Khalid, kemudian muncul
tarekat Naqsyabandiyah-Khalidiyah agar mendukung supremasi syariat dan
aktivitasme dalam kehidupan kaum muslim.2

B. Terbentuknya Kelembagaan Tarekat

Berbicara tentang perkembangan tarekat di Indonesia tentu tidak akan bisa


lepas dari agama Islam. Islam berasal dari jazirah Arab dibawa oleh Rasulullah,
kemudian diteruskan masa Khulafa Ar-Rasyidin ini mengalami perkembangan

2Martin van Bruinessen, Tarekat Naqsyabandiyah di Indonesia (Bandung:


Mizan, 1998). Hlm. 87-89
yang pesat. Penyebarluasan Islam ini bergerak ke seluruh penjuru dunia. Islam
datang membawa rahmat bagi seluruh umat manusia.
Tarekat dalam pengertian ini merupakan jalan yang harus ditempuh atau diikuti
seorang, lewat mana sejumlah maqamat dan ahwal harus dilampaui untuk sampai
kepada tujuan akhir, yaitu ma’rifat dengan Tuhan. Inilah fase kala mana istilah
tarekat menunjukkan arti aslinya, sebagai sebuah metode atau jalan spiritual yang
harus ditempuh seseorang salik untuk sampai kepada yang Maha Benar (Tuhan).
Singkatnya, tarekat dalam pengertian ini berkonotasi individual dimana kehidupan
sufistik menjadi ciri utamanya.

Sejak masa pembentukan, pergerakan dan penyebaran tarekat lincah


sekali dan bisa memasuki hampir semua lini kehidupan kaum Muslim. Di
kalangan penguasa para sufi biasa mendapat perlindungan dan perlakukan khusus,
dan bahkan bisa memasuki jaringan-jaringan khusus. Dengan ulama ortodoks,
mereka bisa bekerja sama sehingga memudahkan syariat terintegrasi dengannya.
Di kawasan perbatasan Afrika Utara, Asia Tengah, dan India tarekat bisa
bergabung dengan para pejuang Islam, sehingga dapat berperan penting dalam
proses islamisasi. Di masyarakat bawah pengaruhnya lebih hebat lagi. Di sini,
pelayanan guru-guru sufi tidak hanya berbentuk pemberian bimbingan spiritual,
tetapi mencakup juga perlindungan dan pelayanan sosial bersifat konkrit bagi
siapa saja yang memerlukan, termasuk pembebasan mereka yang sedang ditahan
para penguasa. Tempat tinggal mereka, zawiyah, selain terbuka untuk umum,
biasa digunakan para musafir dan pedagang sebagai tempat menginap, si miskin
memeroleh bantuan, dan orang-orang sakit mendapatkan perawatan. Qqqq Dalam
situasi ketidakberdayaan menyeluruh, tarekat yang secara rohani menawarkan
keakraban sosial tanpa pilih kasih, sangat mudah menjadikan dirinya alternatif
bagi afiliasi sosial secara menyeluruh. Terlebih lagi sejak mendapat restu dari
ulama ortodoks, tarekat bisa menjadi semacam “rumah;”besar” yang hangat, yang
bisa memberi tempat perlindungan jasmani ruhani kepada siapa saja yang
memasukinya.
Dalam keadaan seperti ini, tidak tertutup kemungkinan terjadinya
kompromi antara yang ideal dan yang praktis dari tarekat-tarekat dengan
kepercayaan umum lokal. Kecenderungan massa Muslim seperti ini pada
gilirannya mendorong terbaginya Islam ke dalam berbagai varian keagamaan,
yang bertentangan dengan semangat universalisme yang diperjuangkan ulama
ortodoks. Hingga abad ke-12, universalisme Islam tersebut relatif terjaga ketika
semuanya masih berada di bawah dominasi ulama ortodoks. Tetapi, pada abad-
abad sesudahnya, ketika gelombang islamisasi lewat tarekat dan tasawuf terus
mengalami peningkatan secara massif, pada saat bersamaan, Islam “yang
sebenarnya”semakin tenggelam, atau setidaknya mengalami tekanan. Masuknya
elemen-elemen pra atau non Islam ke dalam tarekat-tarekat di Mesir, Asia Tengah,
Eropa Timur dan Indonesia, dapat dijadikan contoh

Semua ini menggiring para pengikut tarekat atau tasawuf ke arah


pandangan dan kebiasaan hidup yang sekarang sering diistilahkan dengan
khurafat, tahayul dan bid‘ah, yang sebenarnya tidak dikehendaki oleh guru-guru
guru sufi pendiri tarekat serta ajaran Islam sendiri. Kata Lapidus, kecenderungan
kultus wali sufi dalam kehidupan tarekat dan tasawuf terkait dengan teori wilayat-
nya al-Hakim al-Tirmidzi (w. 898 H), yang menyatakan bahwa seorang sufi
adalah wali, yang lewat pencapaian spiritualnya mampu menegakkan tatanan
hidup di bumi, dan karena kekeramatan yang diberikan Tuhan kepadanya dapat
menjadi perantara bagi orang-orang awam dalam berhubungan dengan Tuhan.

Dalam kondisi massa Muslim semakin mengalami kemerosotan segi


kepercayaan dan amaliah dalam hidup ketarekatan sehari-hari, mudah dimengerti
mengapa selalu muncul gerakan-gerakan dari dalam tarekat sendiri, yang berusaha
memurnikan kembali ajaranajarannya dari berbagai penyimpangan yang
dibawanya.
C. Dampak Penetrasi Barat

Adanya intervensi Barat ke Dunia Islam yang telah dimulai sebelum abad
ke sembilan belas, tentunya, mempunyai efek tersendiri, khusunya di bidang
politik dan ekonomi. Hal ini dapat dilihat dengan adanya disintegrasi politik,
seperti yang terjadi dalam kekuasaan Usmani, baik karena melepaskan diri
menjadi independen maupun karena jatuh ke dalam koloni atau protektorat Barat,
seperti telah dipaparkan sebelumnya. Di samping itu, ada daerah‐daerah yang
tidak dijajah secara langsung, seperti Iran Turki, dan Arabia. Walaupun kontrol
politik dengan tidak langsung jelas terlihat di sana. Ini, barangkali yang
dimaksudkan Hodgson bahwa dominasi Barat atas Dunia Islam lebih sering dalam
bentuk tidak langsung dari pada yang langsung.

Di samping politik, tampak pula di bidang ekonomi. Dalam hal ini Lapidus
menyatakan bahwa penetrasi kapitalis membawa kepada meningkatnya
perdagangan eksploratif, mendorong adanya produksi bahan‐bahan mentah, dan
merosotnya industri lokal. Keadaan ini, tentunya, secara umum menurunkan
perdagangan umat Islam. Kendatipun demikian, ada aspek‐aspek lain yang dapat
dikatakan memberi keuntungan kepada Islam, seperti terbukanya kesempatan
kerja bagi yang terpelajar dan terlatih, adanya peluang di bidang perdagangan
dengan Eropa, dan yang lebih jelas lagi, adanya perkembangan komunikasi.

Sedangkan segi‐segi lain yang merupakan dampak dari penetrasi Barat di


Dunia Islam adalah munculnya gagasan‐gagasan baru seperti nasionalisme di
bidang politik, yang sempat mencekam raja‐raja yang sedang berkuasa secara
absolut ketika itu, dan rasionalisme dalam pemikiran, yang sempat mendesak
faham‐faham keagamaan tradisional yang telah dianggap baku di masyarakat
Islam.
D. Respon Umat Islam

Setelah mengetahui penetrasi Barat di Dunia Islam berikut efek yang


mengikutinya, ada baiknya apabila sedikit dipaparkan tentang respon umat Islam
dalam menjawab tantangan yang ada. Dalam hal ini Voll mencoba untuk
mengangkat tiga style. Dari sikap tokohtokoh Islam pada abad ke sembilan belas
ini. Pertama adalah adaptationist terhadap Barat; Muhammad Ali di mesir dan
Mahmud II di kerajaan Usmani merupakan contoh terbaik dari kalangan ini.
Mereka berupaya untuk membangun kekuatan militer yang modern dan struktur
administrasi berdasarkan sumber yang diperoleh dari Barat.

Bentuk kedua dari respon umat Islam saat itu adalah reaksi militan
terhadap ekspansi Barat walaupun kemudian diadakan orientasi baru. Salah satu
contohnya adalah India yang pada pertengahan pertama abad ke sembilan belas
bercorak melawan dan menyerukan jihad seperti yang dilakukan oleh kalangan
Mujahiddin. Akan tetapi pada masa berikutnya terutama setelah pemberontakan
pada tahun 1857, diadakan orientasi baru seperti yang dilakukan oleh Sayyid
Ahmad Khan (1817‐1908).

Selanjutnya, model yang lain dari solusi tokoh‐tokoh Islam untuk


menjawab tantangan Barat adalah mengambil bentuk tradisional dan tidak banyak
mengadakan modernisasi, seperti di Saudi Arabia oleh Husen bin Ali (1852‐1911)
yang berupaya untuk menjadi penguasa yang otonom, kalau tidak independen,
dari kerajaan Usmani. Oleh karena itu, ia mengadakan pemberontakan melawan
Sultan dengan bantuan Inggris. Kemudian Husen mencoba untuk menggunakan
gelar raja dari negara‐negara Arab dan titel itu diklaim sebagai khalifah.

Demikianlah gambaran sekilas tentang potret dunia Islam pada abad ke


sembilan belas yang secara “keseluruhan” berada dalam penetrasi Barat dan
merupakan tantangan utama bagi Islam untuk menentukan sebuah pilihan apakah
akan bangkit dan menyamakan kedudukan ataukah tetap tertinggal dan hanya
mengikuti kemauan Barat saja sehingga berada dalam era kolonialisme baik
secara langsung maupun tidak langsung.3

Kesimpulan

Walau kecenderungannya terhadap doktrin Ibn Arabi tidak goyah, tasawuf


senantiasa menempatkan doktrinnya dalam kerangka ortodoks, karena
kesetiaannya pada syariat. Di lapangan tarekat, pengaruh neosufisme lebih hebat
lagi. Pengembalian tarekat kepada ajaran sumber asli al-Qur’an dan Sunnah
menjadikannya terbebaskan dari sifat-sifatnya yang tidak islami.Seperti halnya
tasawuf, tarekat-tarekat baru juga memandang dunia lebih positif, bahkan
cenderung bercorak aktivisme radikal bila kepentingan spiritualitas khususnya dan
misi dakwah Islamiyah umumnya terganggu. Tidak bisa dimungkiri, kemunculan
tasawuf dan tarekat-tarekat baru, dengan bentuk organisasinya yang trans-
nasional, besar jasanya dalam turut menentukan corak puritanisme keberagamaan
kaum Muslim pada umumnya serta sikap optimisme mereka dalam memandang
dunia. Pembaruan doktrin dan watak yang dibawa gerakan neosufisme telah
membawa tasawuf dan tarekat baru, tidak seperti yang citrakan banyak orang
selama ini, mampu memainkan banyak peran duniawi, namun fungsi dan
kehadiran utama mereka tetap sebagai kendaraan pendekatan diri dengan Tuhan
dan menjalankan misi dakwah Islam.

Kemunculan neosufisme abad ke-7 H/14 M sangat besar pengaruhnya


terhadap perkembangan corak tasawuf dan tarekattarekat baru di dunia Islam pada
abad-abad sesudahnya. Di lapangan tasawuf, neosufisme telah mendorongnya
agar melakukan semacam “purifikasi” doktrin agar tidak terkontaminasi dengan
unsur-unsur non Islam, serta tetap bertahan di jalur syariat. Neosufisme
memberikan arah yang tidak putus-putusnya agar tasawuf senantiasa tetap berada
dalam bimbingan syariat, dan syariat harus tetap menjadi bagian tidak terpisahkan
dari doktrin tasawuf. Dorongan ini secara perlahan menjadikan tasawuf semakin
3 Phillip K. Hitti, History of the Arabs (London: Macmillan, tth)
memperlemah dukungannya untuk mempertahankan doktrin emanasi Tuhan atas
makhluknya, digantikan dengan doktrin transendensi.

DAFTAR PUSTAKA

Mastuhu dan Deded Ridwan (ed.), Tradisi Baru Penelitian Agama Islam Tinjauan

Antardisiplin Ilmu, Bandung: Nuansa, 1998

Martin van Bruinessen, Tarekat Naqsyabandiyah di Indonesia (Bandung: Mizan,


1998)

Phillip K. Hitti, History of the Arabs (London: Macmillan, tth)

Anda mungkin juga menyukai