Anda di halaman 1dari 6

Makalah tentang Filosofi Etika

Makalah ini Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah etika bisnis dan kelola
semester IV
Dosen : DR. LELY INDRIATI, SE., M.M
Disusun oleh :
Dimas Marsetyadi (1914190069)
Retha Shadanur Zizi (1914190076)
Susilowati (1914190073)
Tantri Novebi (1914190058)
M Ibnu Sudarman (1914190024)
Aditri Syifa Syahrani (1914190047)

S-1 Akuntansi
Fakultas Ekonomi & Bisnis
Universitas persada indonesia Y.A.I
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur penulis haturkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena
berkat rahmat dan bimbingan-Nya makalah ini dapat diselesaikan sesuai dengan rencana.
Makalah yang berjudul “FILOSOFI ETIKA ” Ini sebagai pemenuhan tugas dari Dosen
Pembina etika bisnis dan kelola .
Selama penyusunan makalah ini banyak kendala yang dihadapi, namun berkat
bimbingan serta bantuan dari berbagai pihak semua kendala tersebut dapat teratasi. Pada
kesempatan ini dengan ketulusan hati penulis, penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih
yang sebanyak-banyaknya kepada yang terhormat
Penulis merasa masih banyak kekurangan-kekurangan baik pada teknis penulisan
maupun materi, mengingat akan kemampuan yang dimiliki penulis. Untuk itu kritik dan saran
dari semua pihak sangat penulis harapkan demi penyempurnaan pembuatan makalah ini.
Semoga makalah ini dapat bermanfaat dan menjadi sumbangan pemikiran bagi pihak yang
membutuhkan, khususnya bagi penulis sehingga tujuan yang diharapkan dapat tercapai,
Amin.

Penulis
DAFTAR ISI
BAB I

A. Hak Asasi Manusia

1.1 Pengertian HAM

HAM berurusan dengan dua hal. Pertama, menyangkut hak dan kedua, mengenai manusia.
Untuk menghubungkan keduanya maka dalam perdebatan filosofis, HAM pertama-tama merupakan
bagian dari hak moral yang bersemayam dalam kemanusiaan seseorang. Hak moral adalah hak yang
didasarkan atas norma-norma dan nilai-nilai moral. Sehingga, sumber langsung HAM adalah
martabat luhur yang merupakan nilai yang melekat dalam diri setiap manusia. Karena itu, secara
harafiah, hak-hak asasi manusia berarti hak yang dimiliki seseorang semata-mata karena ia seorang
manusia (Donnelly dalam Ceunfin, 2004: 6).

Kesadaran akan pentingnya hak-hak semakin menguat seiring dengan kesadaran moral umat
manusia yang juga makin berkembang. Penghargaan dan pengakuan terhadap hak-hak,
berhubungan erat dengan penghayatan nilai-nilai, khususnya moral. Dalam hubungannya dengan
HAM, penghargaan tersebut merupakan suatu imperatif moral dan bukan soal belas kasih dan
keputusan pribadi (Ceunfin, 2004: xxi). Imperatif tersebut hadir ke permukaan sebagai kebajikan
manusia yang melahirkan keyakinan tentang adanya hak-hak dasar yang tidak boleh dilanggar.

Menurut Amartya Sen, hak asasi manusia dipandang terbaik dan secara mendasar hadir
sebagai komitmen dalam etika sosial yang dapat dibandingkan dengan – tapi sekaligus sangat
berbeda dari – penerimaan logika utilitarian yang diusung oleh Jeremy Bentham dan pendukungnya.
Sebagaimana prinsip etik lainnya, HAM dapat dan tentu saja dipersengketakan, tapi disana
tuntutannya adalah bahwa HAM akan tetap bertahan hidup dengan membuka diri dan
terinformasikan secara cermat dan jeli (Sen, dalam Andreassen dan Marks, 2006: 3). HAM dalam
pemikiran Sen berhubungan dengan dinamika dan perkembangan peradaban manusia yang
memberi isi bagi HAM. Isi tersebut (HAM) selanjutnya diuji dalam ruang publik untuk mengukur,
apakah klaim yang mengusung pembenarannya dapat dipertahankan secara etis.

• Prinsip 1: Bisnis harus mendukung dan menghormati perlindungan hak asasi manusia yang
dinyatakan secara internasional

• Prinsip 2: Memastikan bahwa mereka tidak terlibat dalam pelanggaran hak asasi manusia.

1.2 Prinsip – Prinsip HAM

The Vienna Declaration and Programme of Action, sebagai hasil dari Konferensi Dunia tentang HAM
tahun 1993, menegaskan bahwa semua HAM adalah universal dan tidak dapat diasingkan
(inalienable), tidak dapat dibagi (indivisible), saling berhubungan dan tergantung satu sama lain
(interdependent and interrelated). Prinsip-prinsip inilah yang umum dipakai dalam memandang
HAM yang sifatnya kumulatif dan serentak. Berikut ini, merupakan uraian singkat keempat prinsip
tersebut.

Pertama, HAM disebut universal. Diyakini bahwa semua orang dimana pun, dengan berbagai
bahasa dan bentuk ungkapannya memiliki HAM. Namun, ada keraguan terhadap nilai universalitas
tersebut karena landas pijak HAM yang berbeda-beda, misalnya, jika mengacu pada moral maka hak
moral bisa jamak dan saling bersaing satu sama lain (Dworkin dalam Ceunfin, 2004: 230). Disitu,
secara substantif sulit untuk menyebut HAM yang diklaim sekelompok orang sebagai sesuatu yang
universal. Menurut Sen, universalitas yang dimiliki HAM memang tergantung pada kemampuan
bertahan yang dia miliki dalam diskusi lintas batas pemegang hak.
Kedua, HAM tidak dapat diasingkan (inalienable). Disini, hak yang dimiliki setiap orang tidak dapat
dipindahkan atau diambilalih dari orang tersebut dalam berbagai situasi apa pun. Seseorang tidak
akan kehilangan hak-hak tersebut sebagaimana dia tidak akan pernah berhenti sebagai manusia.
Konsep ini merupakan warisan pemikiran hak koderati yang melihat bahwa hak asasi manusia ada,
terutama karena kodrat seseorang sebagai manusia, tidak tergantung pada afiliasi politik, ikatan
kultural, agama, atau relasi sosial apapun, karena manusia adalah martabat yang terberi (given),
sehingga unik dan tak tergantikan (Ceunfin, 2004: xxii).4 John Locke dalam Two Treatises of
Government (1688) menggunakan konsep hak kodrati untuk mendeskripsikan hak yang dimiliki
secara individual, lepas dari pengakuan politik yang diberikan oleh Negara.

Ketiga, HAM tidak dapat dibagi-bagi. Seseorang tidak bisa menyangkal HAM karena alasan prioritas
berdasarkan hierarki, bahwa ada HAM yang lebih penting dari yang lain. Tidak ada level dalam HAM
karena semuanya sama. Sifat HAM adalah mutlak. Makna yang paling kuat dan menarik perihal sifat
mutlak menurut Joel Feinberg adalah sifat sama sekali tidak terkecualikan, tidak saja dalam bingkai
suatu cakupan yang terbatas, tetapi juga keseluruhan cakupan itu sendiri yang tidak terbatas.
Misalnya, hak kebebasan bicara disebut mutlak dalam arti bila hak itu melindungi semua pembicara
tanpa kecuali (Joel Feinberg, dalam Ceunfin, 2004: 139). Seandainya hak berbicara itu pun dipakai
untuk menentang suatu regim pemerintahan yang sah, hak itu tidak akan kehilangan maknanya,
meskipun pelakunya dihukum berdasarkan undang-undang (Dworkin, dalam Ceunfin, 2004: 244-
245).

Keempat, HAM saling berhubungan dan tergantung satu sama lain. HAM merupakan bagian dari
kerangka kerja yang sifatnya saling melengkapi satu sama lain. Pemenuhan atas satu hak, secara
keseluruhan atau sebagian, seringkali tergantung pada pemenuhan yang lain. Sebagai contoh,
kemampuan untuk berpartisipasi dalam pemerintahan secara langsung dipengaruhi oleh hak
berekspresi, hak atas pendidikan dan bahkan hak untuk memperoleh hidup yang layak. Tiap hak
berkontribusi terhadap perwujudan martabat kemanusiaan seseorang, lewat pemenuhan kebutuhan
pengembangan fisik, psikis dan spiritual. Karena itu, tidak bisa diterima jika ada prioritas terhadap
hak yang satu, sembari melecehkan hak yang lain.

1.2 Utilitarianisme: Membuat Keputusan Berdasarkan Konsekuensi Etis

Utilitarianisme berakar pada filsafat sosial dan politik abad ke-18 dan 19, tetapi gagasan
intinya sama relevannya di abad ke-21. Wawasan mendasar utilitarianisme adalah bahwa hasil itu
penting, dan karenanya kita harus memutuskan apa yang harus dilakukan dengan
mempertimbangkan konsekuensi keseluruhan dari tindakan kita. Dalam pengertian ini,
utilitarianisme telah disebut sebagai pendekatan konsekuensialis terhadap etika dan kebijakan
sosial. Kita harus bertindak dengan cara yang menghasilkan konsekuensi yang lebih baik daripada
alternatif yang kita pertimbangkan.

Dalam konteks bisnis, tantangannya adalah menjawab dalam hal konsekuensi keuangan.
Keputusan yang tepat adalah keputusan yang menghasilkan pengembalian keuangan terbaik. Tetapi
jawaban ini akan menyamakan nilai etika menjadi nilai ekonomi dengan mengidentifikasi yang
terbaik secara etika sebagai yang terbaik secara ekonomi. Jawaban yang lebih berguna untuk
pertanyaan ini dapat diberikan dalam hal nilai-nilai etika yang dijelaskan dalam bab-bab sebelumnya.
“Konsekuensi yang lebih baik” adalah yang mempromosikan kesejahteraan manusia seperti
kebahagiaan, kesehatan, martabat, integritas, kebebasan, dan rasa hormat dari semua orang yang
terkena dampaknya. Dalam Utilitarianisme, keputusan yang mempromosikan nilai-nilai ini dalam
jumlah terbesar untuk jumlah orang terbesar adalah keputusan yang paling masuk akal dari sudut
pandang etika.
1.3 Teori Keutamaan (Virtue Theory)

Dalam teori-teori yang dibahas sebelumnya, baik buruknya perilaku manusia dipastikan
berdasarkan suatu prinsip atau norma. Dalam konteks utilitarisme, suatu perbuatan adalah baik, jika
membawa kesenangan sebesar-besarnya bagi jumlah orang terbanyak.Dalam rangka deontologi,
suatu perbuatan adalah baik, jika sesuai dengan prinsip “jangan mencuri”, misalnya.Menurut teori
hak, perbuatan adalah baik, jika sesuai dengan hak manusia.Teori-teori ini semua didasarkan atas
prinsip (rule-based).

Disamping teori-teori ini, mungkin lagi suatu pendekatan lain yang tidak menyoroti
perbuatan, tetapi memfokuskan pada seluruh manusia sebagai pelaku moral. Teori tipe terakhir ini
adalah teori keutamaan (virtue) yang memandang sikap atau akhlak seseorang. Dalam etika dewasa
ini terdapat minat khusus untuk teori keutamaan sebagai reaksi atas teori-teori etika sebelumnya
yang terlalu berat sebelah dalam mengukur perbuatan dengan prinsip atau norma. Namun demikian,
dalam sejarah etika teori keutamaan tidak merupakan sesuatu yang baru.Sebaliknya, teori ini
mempunyai suatu tradisi lama yang sudah dimulai pada waktu filsafat Yunani kuno.

Keutamaan bisa didefinisikan sebagai berikut : disposisi watak yang telah diperoleh
seseorang dan memungkinkan dia untuk bertingkah laku baik secara moral. Kebijaksanaan, misalnya,
merupakan suatu keutamaan yang membuat seseorang mengambil keputusan tepat dalam setiap
situasi. Keadilan adalah keutamaan lain yang membuat seseorang selalu memberikan kepada
sesama apa yang menjadi haknya. Kerendahan hati adalah keutamaan yang membuat seseorang
tidak menonjolkan diri, sekalipun situasi mengizinkan.Suka bekerja keras adalah keutamaan yang
membuat seseorang mengatasi kecenderungan spontan untuk bermalas-malasan.Ada banyak
keutamaan semacam ini.Seseorang adalah orang yang baik jika memiliki keutamaan.Hidup yang baik
adalah hidup menurut keutamaan (virtuous life).

Menurut pemikir Yunani (Aristoteles), hidup etis hanya mungkin dalam polis.Manusia adalah
“makhluk politik”, dalam arti tidak bisa dilepaskan dari polis atau komunitasnya.Dalam etika bisnis,
teori keutamaan belum banyak dimanfaatkan.Solomon membedakan keutamaan untuk pelaku bisnis
individual dan keutamaan pada taraf perusahaan. Di samping itu ia berbicara lagi tentang keadilan
sebagai keutamaan paling mendasar di bidang bisnisKetiga keutamaan lain bisa dibicarakan dengan
lebih singkat. Keutamaan kedua adalah fairness. Fairness adalah kesediaan untuk memberikan apa
yang wajar kepada semua orang dan dengan “wajar” dimaksudkan apa yang bisa disetujui oleh
semua pihak yang terlibat dalam suatu transaksi. Insider trading adalah contoh mengenai cara
berbisnis yang tidak fair. Dengan insider trading dimaksudkan menjual atau membeli saham
berdasarkan informasi “dari dalam” yang tidak tersedia bagi umum. Bursa efek sebagai institusi
justru mengandaikan semua orang yang bergiat disini mempunyai pengetahuan yang sama tentang
keadaan perusahaan yang mereka jualbelikan sahamnya. Orang yang bergerak atas dasar informasi
dari sumber tidak umum (jadi rahasia) tidak berlaku fair.

Kepercayaan (trust) juga merupakan keutamaan yang penting dalan konteks


bisnis.Kepercayaan harus ditempatkan dalam relasi timbal balik. Ada beberapa cara untuk
mengamankan kepercayaan. Salah satu cara adalah memberi garansi atau jaminan. Cara-cara itu
bisa menunjang kepercayaan antara pebisnis, tetapi hal itu hanya ada gunanya bila akhirnya
kepercayaan melekat pada si pebisnis itu sendiri.

Anda mungkin juga menyukai