Anda di halaman 1dari 215

LAPORAN KOMPREHENSIF

DISUSUN OLEH:
INGGRIA
1701145

JURUSAN S1 TEKNIK PERMINYAKAN


SEKOLAH TINGGI TEKNOLOGI MINYAK DAN GAS BUMI
BALIKPAPAN
2020
TEKNIK RESERVOIR

Reservoir merupakan suatu tempat terakumulasinya fluida hidrokarbon,


gas dan air. Proses akumulasi minyak bumi di bawah permukaan haruslah
memenuhi beberapa syarat, yang merupakan unsur-unsur suatu reservoir minyak
bumi. Unsur-unsur yang menyusun reservoir adalah sebagai berikut :
1. Batuan reservoir, sebagai wadah yang diisi dan dijenuhi oleh minyak
bumi, gas bumi atau keduanya. Biasanya batuan reservoir berupa lapisan
batuan yang porous dan permeable.
2. Lapisan penutup (cap rock), yaitu suatu lapisan batuan yang bersifat
impermeable, yang terdapat pada bagian atas suatu reservoir, sehingga
berfungsi sebagai penyekat fluida reservoir.
3. Perangkap reservoir (reservoir trap), merupakan suatu unsur pembentuk
reservoir yang mempunyai bentuk sedemikian rupa sehingga lapisan
beserta penutupnya merupakan bentuk konkav ke bawah dan dan
menyebabkan minyak dan gas bumi berada dibagian teratas reservoir.

Karakteristik suatu reservoir sangat dipengaruhi oleh karakteristik batuan


penyusunnya, fluida reservoir yang menempatinya dan kondisi reservoir itu
sendiri, yang satu sama lain akan saling berkaitan

1.1. Karakteristik Batuan Reservoir


Batuan adalah kumpulan dari mineral-mineral, sedangkan suatu mineral
dibentuk dari beberapa ikatan kimia. Komposisi kimia dan jenis mineral yang
menyusunnya akan menentukan jenis batuan yang terbentuk.
Batuan reservoir umumnya terdiri dari batuan sedimen, yang berupa
batupasir dan karbonat (sedimen klastik) serta batuan shale (sedimen non-
klastik) atau kadang-kadang volkanik. Masing-masing batuan tersebut
mempunyai komposisi kimia yang berbeda, demikian juga dengan sifat fisiknya.
Komponen penyusun batuan serta macam batuannya dapat dilihat pada Gambar
1.1.

Sandstone
100 %

Limy Shaly
Sandstone Sandstone

Sandy Sandy
Limestone Shale

Limestone Shaly Limy


Shale
100 % Limestone Shale 100 %

Gambar 1.1. Diagram Komponen Penyusun Batuan

Mineral merupakan zat-zat yang tersusun dari komposissi kimia tertentu


yang dinyatakan dalam bentuk rumus-rumus dimana menunjukkan macam unsur-
unsur serta jumlahnya yang terdapat dalam mineral tersebut.

1.1.1. Komposisi Kimia Batuan Reservoir


Unsur-unsur atau atom-atom penyusun batuan reservoir perlu diketahui,
karena jenis dan jumlah atom-atom tersebut akan menentukan sifat-sifat dari
mineral yang terbentuk, baik sifat-sifat fisik maupun sifat-sifat kimiawinya.

a. Batuan Pasir
Batupasir (sandstone) merupakan batuan yang paling sering
dijumpai di lapangan, 60 % daripada semua batuan reservoar adalah
batupasir. Batupasir merupakan hasil dari proses sedimentasi mekanik,
yaitu berasal dari proses pelapukan dan disintegrasi, yang kemudian
tertransportasi serta mengalami proses kompaksi dan pengendapan.
b. Batuan Karbonat
Batuan karbonat yang dimaksud dalam bahasan ini adalah
limestone, dolomite, dan yang bersifat diantara keduanya. Limestone
adalah istilah yang biasa dipakai untuk kelompok batuan yang
mengandung paling sedikit 80 % calciumcarbonate atau magnesium. Pada
limestone fraksi disusun terutama oleh mineral calcite, sedangkan pada
dolomite mineral penyusun utamanya adalah mineral dolomite.
Dolomit adalah jenis batuan yang merupakan variasi dari limestone yang
mengandung unsur karbonat lebih besar dari 50%.

c. Batuan Shale
Batuan shale mempunyai butir yang halus dan mempunyai
permeabilitas yang mendekati nol (impermeable). Batuan ini dapat
menjadi batuan reservoir bila mengalami perekahan dan pelarutan.
Komposisi dasar shale adalah mineral clay. Tipe clay yang sering terdapat
dalam formasi hidrokarbon, yaitu : Montmorillonite, Illite dan Kaolinite.

1.1.2. Sifat Fisik Batuan Reservoir


Sifat-sifat batuan yang menjadi perhatian dalam setiap kegiatan eksploitasi
minyak dan gas bumi, diantaranya adalah porositas, permeabilitas absolut,
permeabilitas relative, tekanan kapiler, dan saturasi fluida. Porositas dan saturasi
fluida digunakan dalam perhitungan cadangan gas dan minyak. Permeabilitas
digunakan untuk memperkirakan kemampuan fluida mengalir di reservoir.
Tekanan kapiler digunakan untuk mengidentifikasi zona-zona di reservoir dan
untuk memperkirakan permeabilitas relatif.
a. Porositas
Porositas () menggambarkan persantase dari total ruang pori
batuan yang tersedia untuk ditempati oleh suatu fluida reservoir yaitu
minyak, gas dan air. Besar-kecilnya porositas suatu batuan akan
menentukan kapasitas penyimpanan fluida reservoir. Secara matematis
porositas dapat dinyatakan sebagai :
Vb -Vg Vp …………...………………...(1-1)
j= x100% = x100%
Vb Vb

Keterangan :
 = Porositas, %
Vb = volume batuan total (bulk volume), cm3
Vg = volume padatan batuan total (volume grain), cm3
Vp = volume ruang pori-pori batuan, cm3

Porositas batuan reservoir dapat diklasifikasikan menjadi dua, yaitu :


 Porositas absolut, adalah perbandingan antara volume pori total
terhadap volume batuan total yang dinyatakan dalam persen, atau
secara matematik dapat ditulis sesuai persamaan sebagai berikut :
volume pori total
  100%
bulk volume …………………………(1-2)

 Porositas efektif, adalah perbandingan antara volume pori-pori


yang saling berhubungan terhadap volume batuan total (bulk
volume) yang dinyatakan dalam persen.
volume pori yang berhubunga n
  100%
bulk volume …………(1-3)

Connec ted or
Effec tive
Porosity
Total
Porosity

Isolated or
Non-Effec tive
Porosity

Gambar 1.2.Skema Perbandingan Porositas Efektif, Non-Efektif dan


Porositas Absolut Batuan
Berdasarkan waktu dan cara terjadinya, maka porositas dapat juga
diklasifikasikan menjadi dua, yaitu :
 Porositas primer, yaitu porositas yang terbentuk pada waktu yang
bersamaan dengan proses pengendapan berlangsung.
 Porositas sekunder, yaitu porositas batuan yang terbentuk setelah
proses pengendapan.

Tipe batuan sedimen atau reservoir yang mempunyai porositas


primer adalah batuan konglomerat, batupasir, dan batu gamping.
Porositas sekunder dapat diklasifikasikan menjadi tiga golongan,
yaitu :
 Porositas larutan, adalah ruang pori-pori yang terbentuk karena
adanya proses pelarutan batuan.
 Rekahan, celah, kekar, yaitu ruang pori-pori yang terbentuk karena
adanya kerusakan struktur batuan sebagai akibat dari variasi beban,
seperti : lipatan, sesar, atau patahan. Porositas tipe ini sulit untuk
dievaluasi atau ditentukan secara kuantitatip karena bentuknya
tidak teratur.
 Dolomitisasi, dalam proses ini batu gamping (CaCO3)
ditransformasikan menjadi dolomite (CaMg(CO3)2) atau
berdasarkan reaksi kimia berikut :
2CaCO3 + MgCl3 CaMg(CO3)2 + CaCl2

Besar-kecilnya porositas dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu


 Ukuran dan Bentuk Butir
Ukuran butir tidak mempengaruhi porositas total dari seluruh
batuan, tetapi mempengaruhi besar kecilnya pori-pori antar butir.
Sedangkan bentuk butir didasarkan pada bentuk penyudutan
(ketajaman) dari pinggir butir. Sebagai standar dipakai bentuk bola,
jika bentuk butiran mendekati bola maka porositas batuan akan
lebih meningkat dibandingkan bentuk yang menyudut.
 Distribusi dan Penyusunan Butiran
Distribusi maksudnya penyebaran dari berbagai macam besar butir
yang tergantung pada proses sedimentasi dari batuan. Umumnya,
jika batuan tersebut diendapkan oleh arus kuat maka besar butir
akan sama besar. Sedangkan susunan adalah pengaturan butir saat
batuan diendapkan.

90 o
o
90
90 o

a. Cubic (porosity = 47,6 %)

90 o
90 o

90 o

b. Rhombohedral (porosity = 25,96 %)

Gambar 1.3.Pengaruh Susunan Butir Terhadap Porositas

 Derajat Sementasi dan Kompaksi


Kompaksi batuan akan menyebabkan makin mengecilnya pori
batuan akibat adanya penekanan susunan batuan menjadi rapat.
Sedangkan sementasi pada batuan akan menutup pori-pori batuan
tersebut.Adapun gambaran dari berbagai faktor tersebut di atas
dapat dibuktikan dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Nanz
dengan Alat yang digunakan sieve analysis sebagaimana yang
terlihat pada gambar berikut :
Gambar 1.4.Distribusi Kumulatif Ukuran Butiran dari Graywacke
a). Batu pasir b). Shalysand

Berikut ini adalah ukuran porositas yang sering digunakan


sebagai pegangan di lapangan:

Tabel 1.1. Ukuran Porositas di Lapangan

Porositas (%) Kualitas


0–5 Jelek sekali
5 – 10 Jelek
10 – 15 Sedang
15 – 20 Baik
> 20 Sangat bagus

b. Permeabilitas
Permeabilitas didefinisikan sebagai ukuran suatu ruang pori batuan
yang dapat dialiri atau dilewati fluida. Definisi kuantitatif permeabilitas
pertama-tama dikembangkan oleh Henry Darcy (1856) dalam hubungan
empiris dengan bentuk differensial sebagai berikut :
k dP
v x
 dL ……………………………...….(1-4)
Keterangan :
v = kecepatan aliran, cm/sec
 = viskositas fluida yang mengalir, cp
dP/dL = gradien tekanan dalam arah aliran, atm/cm
k = permeabilitas media berpori, darcy

Tanda negatif pada Persamaan diatas menunjukkan bahwa bila


tekanan bertambah dalam satu arah, maka arah alirannya berlawanan
dengan arah pertambahan tekanan tersebut.
Asumsi-asumsi yang digunakan dalam Persamaan diatasadalah:
1. Alirannya mantap (steady state),
2. Fluida yang mengalir satu fasa,
3. Viskositas fluida yang mengalir konstan,
4. Kondisi aliran isothermal, dan
5. Formasinya homogen dan arah alirannya horizontal.
6. Fluidanya incompressible.

Dasar penentuan permeabilitas batuan adalah hasil percobaan yang


dilakukan oleh Henry Darcy. Dalam percobaan ini, Henry Darcy
menggunakan batupasir tidak kompak yang dialiri air, seperti terlihat pada
gambar 2.6. Batupasir silindris yang porous ini 100% dijenuhi cairan
dengan viskositas , dengan luas penampang A, dan panjangnya L.
Kemudian dengan memberikan tekanan masuk P 1 pada salah satu
ujungnya maka terjadi aliran dengan laju sebesar Q, sedangkan P 2 adalah
tekanan keluar. Dari percobaan dapat ditunjukkan bahwa Q..L/A.(P1-P2)
adalah konstan dan akan sama dengan harga permeabilitas batuan yang
tidak tergantung dari cairan, perbedaan tekanan dan dimensi batuan yang
digunakan. Dengan mengatur laju Q sedemikian rupa sehingga tidak
terjadi aliran turbulen, maka diperoleh harga permeabilitas absolut batuan.
Gambar 1.5. Diagram Percobaan Pengukuran Permeabilitas

Berdasarkan jumlah fasa yang mengalir dalam batuan reservoir,


permeabilitas dibedakan menjadi tiga, yaitu :
 Permeabilitas absolut, adalah yaitu dimana fluida yang mengalir
melalui media berpori tersebut hanya satu fasa, misalnya hanya
minyak atau gas saja.
 Permeabilitas efektif, yaitu permeabilitas batuan dimana fluida
yang mengalir lebih dari satu fasa, misalnya minyak dan air, air dan
gas, gas dan minyak atau ketiga-tiganya.
 Permeabilitas relatif, merupakan perbandingan antara permeabilitas
efektif dengan permeabilitas absolut.

Satuan permeabilitas dalam percobaan ini adalah :

Q (cm 3 / sec) .  (centipoise ) . L (cm)


k (darcy) 
A (sq.cm) . (P1  P2 ) (atm) …………(1-5)

Pada prakteknya di reservoir, jarang sekali terjadi aliran satu fasa,


akan tetapi dua atau bahkan tiga fasa. Oleh karena itu dikembangkan pula
konsep mengenai permeabilitas efektif dan permeabilitas relatif. Harga
permeabilitas efektif dinyatakan sebagai k o, kg, kw, dimana masing-masing
untuk minyak, gas, dan air. Sedangkan permeabilitas relatif untuk masing-
masing fluida reservoir dinyatakan dengan persamaan sebagai berikut :
k kg k
k ro  o , k rg  , k rw  w .
k k k

Sedangkan besarnya harga permeabilitas efektif untuk minyak dan


air dinyatakan dengan persamaan :
Qo . o . L
ko 
A . (P1  P2 ) …………………………………(1-7)
Qw . w . L
kw 
A . (P1  P2 ) …………………………………(1-8)

Harga-harga ko dan kw pada Persamaan diatas jika diplot terhadap


So dan Sw akan diperoleh hubungan seperti yang ditunjukkan pada
Gambar berikut ini :

Grafik1.1. Kurva Permeabilitas Efektif Untuk Sistem Minyak dan Air

1 1
Effective Permeab ility to Water, k w

Effective Permeab ility to Oil, k o

0 0
0 Oil Saturation, So 1
1 Water Sa turation, Sw 0

Gambar diatas menunjukkanbahwa ko pada Sw = 0 dan pada So =


1 akan sama dengan k absolut, demikian juga untuk harga k absolutnya
(titik A dan B) . Ada tiga hal penting untuk kurva permeabilitas efektif
sistem minyak-air (Gambar 2.9.) , yaitu :
 ko akan turun dengan cepat jika Sw bertambah dari nol, demikian
juga kw akan turun dengan cepat jika Sw berkurang dari satu,
sehingga dapat dikatakan untuk So yang kecil akan mengurangi laju
aliran minyak karena ko-nya yang kecil, demikian pula untuk air.
 ko akan turun menjadi nol, dimana masih ada saturasi minyak
dalam batuan (titik C) atau disebut Residual Oil Saturation (S or),
demikian juga untuk air yaitu (Swr).

Grafik 1.2.. Kurva krelatif Sistem Air-Minyak

c. Saturasi Fluida
Saturasi fluida batuan didefinisikan sebagai perbandingan antara
volume pori-pori batuan yang ditempati oleh suatu fluida tertentu dengan
volume pori-pori total pada suatu batuan berpori. Dalam batuan reservoir
minyak umumnya terdapat lebih dari satu macam fluida. Secara
matematis, besarnya saturasi untuk masing-masing fluida dituliskan dalam
persamaan berikut :

 Saturasi minyak (So) adalah :


volume pori  pori yang diisi oleh min yak
So 
volume pori  pori total …………(1-9)

 Saturasi air (Sw) adalah :


volume pori  pori yang diisi oleh air
Sw 
volume pori  pori total ………..(1-10)
 Saturasi gas (Sg) adalah :
volume pori  pori yang diisi oleh gas
Sg 
volume pori  pori total ………..(1-11)

Jika pori-pori batuan diisi oleh gas-minyak-air maka berlaku hubungan :


Sg + So + Sw = 1 ………………………………..(1-12)
Sedangkan jika pori-pori batuan hanya terisi minyak dan air, maka :
So + Sw = 1 ………………………………..(1-13)

Terdapat tiga hal yang penting mengenai saturasi fluida, yaitu:


1. Saturasi fluida akan bervariasi dari satu tempat ke tempat lain
dalam reservoir, saturasi air cenderung untuk lebih besar dalam
bagian batuan yang kurang porous. Bagian struktur reservoir yang
lebih rendah relatif akan mempunyai S w yang tinggi dan Sg yang
relatif rendah. Demikian juga untuk bagian atas dari struktur
reservoir berlaku sebaliknya.
2. Saturasi fluida akan bervariasi dengan kumulatif produksi minyak.
Jika minyak diproduksikan maka tempatnya di reservoir akan
digantikan oleh air dan atau gas bebas, sehingga pada lapangan
yang memproduksikan minyak, saturasi fluida berubah secara
kontinyu.
3. Saturasi minyak dan saturasi gas sering dinyatakan dalam istilah
pori–pori yang diisi oleh hidrokarbon.

d. Wettabilitas
Wettabilitas didefinisikan sebagai suatu kemampuan batuan untuk
dibasahi oleh fasa fluida, jika diberikan dua fluida yang tak saling campur
(immisible). Pada bidang antar muka cairan dengan benda padat terjadi
gaya tarik-menarik antara cairan dengan benda padat (gaya adhesi), yang
merupakan faktor dari tegangan permukaan antara fluida dan batuan. Pada
umumnya reservoir bersifat water wet, sehingga air cenderung untuk
melekat pada permukaan batuan sedangkan minyak akan terletak diantara
fasa air. Jadi minyak tidak mempunyai gaya tarik-menarik dengan batuan
dan akan lebih mudah mengalir.

e. Tekanan Kapiler
Tekanan kapiler (Pc) didefinisikan sebagai perbedaan tekanan yang
ada antara permukaan dua fluida yang tidak tercampur (cairan-cairan atau
cairan-gas) sebagai akibat dari terjadinya pertemuan permukaan yang
memisahkan kedua fluida tersebut. Perbedaan tekanan dua fluida ini
adalah perbedaan tekanan antara fluida “non-wetting fasa” (Pnw) dengan
fluida “wetting fasa” (Pw).
Pc = Pnw – Pw ………………………………..(1-14)
Dimana:
Pc = Tekanan kapiler, dyne/cm2
Pnw = Tekanan non wetting fasa, dyne/cm2
Pw = Tekanan wetting fasa, dyne/cm2

Grafik 1.3. Grafik h (Pc) Vs Water Saturation

Ukuran pori-pori batuan sering dihubungkan dengan besaran


permeabilitas. Batuan reservoir dengan permeabilitas yang besar akan
mempunyai tekanan kapiler yang rendah dan ketebalan zona transisi yang
tipis daripada reservoir dengan permeabilitas yang rendah, seperti terlihat
pada Grafik 1.4.
Grafik 1.4. Pengaruh Permeabilitas terhadap Tekanan Kapiler

Reservoir minyak yang mempunyai API gravity rendah maka


kontak minyak-air akan mempunyai zona transisi yang panjang (fluida
yang berbeda). Dapat dilihat pada Grafik 1.5. di bawah ini.

Grafik 1.5. Pengaruh API Gravity Minyak terhadap Tekanan Kapiler


f. Kompressibilitas
Kompressibilitas merupakan fraksional perubahan volume terhadap
perubahan tekanan. Batuan yang berada pada kedalaman tertentu akan
mengalami dua macam tekanan, yaitu:

a) Internal Stress, yang berasal dari desakan fluida yang terkandung


di dalam pori-pori batuan (tekanan hidrostatik fluida formasi).
b) Eksternal Stress, yang berasal dari pembebanan batuan yang ada
diatasnya (tekanan overburden).

1.2. Karakteristik Fluida Reservoir


Karakteristik fluida reservoir ditinjau dari komposisi kimia dan sifat
fisiknya. Mengetahui sifat-sifat dari fluida hidrokarbon untuk memperkirakan
cadangan akumulasi hidrokarbon, menentukan laju aliran minyak atau gas dari
reservoir menuju dasar sumur, mengontrol gerakan fluida dalam reservoir dan
lain-lain.

1.2.1. Komposisi Kimia Fluida Reservoir


Fluida reservoir terdiri dari hidrokarbon dan air formasi. Hidrokarbon
terbentuk di alam, dapat berupa gas, zat cair ataupun zat padat tergantung kepada
komposisinya yang khusus serta tekanan dan temperatur yang mempengaruhinya.
Sedangkan air formasi merupakan air yang dijumpai bersama-sama dengan
endapan minyak.
Sedangkan hidrokarbon sendiri, selain mengandung hidrogen (H) dan
karbon (C) juga mengandung unsur-unsur senyawa lain, terutama belerang,
nitrogen dan oksigen.
Berdasarkan jenis rantai ikatannya dibagi menjadi dua golongan, yaitu :
1. Golongan Asiklik (Parafin)
Hidrokarbon jenis ini mempunyai rantai ikatan antar atom yang
terbuka, terdiri dari hidrokarbon jenuh dan hidrokarbon tak
jenuh.Golongan asiklis atau alifat disebut juga alkan atau parafin.
Golongan asilklis dapat dibagi menjadi dua golongan, yaitu golongan
hidrokarbon jenuh dan tak jenuh.
 Golongan Hidrokarbon Jenuh
Seri homolog dari hidrokarbon ini mempunyairumus umum
CnH2n+2 dan mempunyai ciri dimana atom-atom karbon diatur
menurut rantai terbuka dan masing-masing atom dihubungkan oleh
ikatan tunggal, dimana tiap-tiap valensi dari satu atom C
berhubungan dengan atom C disebelahnya.

 Golongan Hidrokarbon Tak Jenuh


Hidrokarbon ada yang mempunyai ikatan rangkap dua ataupun
rangkap tiga (triple), yang digunakan untuk mengikat dua atom C
yang berdekatan. Oleh karena itu, valensi yang semula tersedia
untuk mengikat atom hidrokarbon telah digunakan untuk mengikat
atom C yang berdekatan, dengan cara ikatan rangkap dua yang
mengikat dua atom C, maka hidrokarbon seperti ini disebut
hidrokarbon tak jenuh atau disebut juga sebagai keluarga alkena
(Inggris : alkene). Rumus umum seri diolefin adalah CnH2n-2.
Senyawa hidrokarbon tak jenuh juga ada yang mempunyai ikatan
rangkap tiga, yang sering disebut sebagai seri asetilen. Rumus
umumnya adalah CnH2n-2,

2. Golongan Siklik
Sedangkan hidrokarbon golongan siklik mempunyai rantai tertutup
(susunan cincin). Golongan ini terdiri dari naftena dan aromatik. Golongan
siklis dibagi menjadi dua golongan, yaitu golongan naftena dan golongan
aromatik.
 Golongan Naftena
Golongan naftena sering disebut golongan sikloparafin, atau
golongan sikloalkana, yang mempunyai nrumus umum C nH2n..
Golongan ini dicirikan oleh adanya atom C yang diatur menurut
rantai tertutup (berbentuk cincin) dan masing-masing atom
dihubungkan dengan ikatan tunggal.

 Golongan Aromatik
Pada deret ini hanya terdiri dari benzena dan senyawa-senyawa
hidrokarbon lainnya yang mengandung benzena. Rumus umum dari
golongan ini adalah CnH2n-6, dimana cincin benzena merupakan
bentuk segi enam dengan tiga ikatan tunggal dan tiga ikatan
rangkap dua secara berselang-seling.

1.2.1.2.Komposisi Kimia Non-Hidrokarbon


Selain mengandung unsur hidrogen dan karbon (HC), pada minyak bumi
juga terdapat komposisi unsur belerang, nitrogen, oksigen serta unsur lain dengan
prosentase yang sedikit.
1. Senyawa Belerang
Kadar belerang dalam minyak bumi bervariasi antara 4 % sampai
6% beratnya. Kandungan minyak bumi yang terdapat di Indonesia
merupakan minyak bumi yang mempunyai kadar belerang relatif rendah,
yaitu rata-rata 1%. Distribusi belerang dalam fraksi-fraksi minyak bumi
akan bertambah sesuai dengan bertambahnya berat fraksi.

2. Senyawa Oksigen
Kadar oksigen dalam minyak bumi bervariasi antara 1 % sampai 2
% beratnya. Peningkatan kadar oksigen dalam minyak bumi dapat terjadi
karena kontak minyak bumi dan udara. Hal ini disebabkan adanya proses
oksidasi minyak bumi dengan oksigen dari udara.

3. Senyawa Nitrogen
Kadar nitrogen dalam minyak bumi pada umumnya rendah dan
bervariasi pada kisaran 0,1 % sampai 2 % beratnya. Senyawa nitrogen
terdapat dalam semua fraksi minyak bumi, dengan konsentrasi yang
semakin tinggi pada fraksi-fraksi yang mempunyai titik didih yang lebih
tinggi. Senyawa nitrogen yang sering terdapat dalam minyak bumi antara
lain adalah piridin, qinoloin, indol dan karbosol.

1.2.1. Sifat Fisik Fluida Reservoir


Fluida reservoir terdiri dari fluida hidrokarbon dan air formasi.
Hidrokarbon sendiri terdiri dari fasa cair (minyak bumi) maupun fasa gas, yang
tergantung pada kondisi (tekanan dan temperatur) reservoir yang ditempati.
Perubahan kondisi reservoir akan mengakibatkan perubahan fasa serta sifat fisik
fluida reservoir.

1.2.2.1.Sifat Fisik Minyak

1. Densitas Minyak
Densitas didefinisikan sebagai perbandingan berat massa suatu
substansi dengan volume dari unit tersebut, sehingga densitas minyak (o)
merupakan perbandingan antara berat minyak (lb) terhadap volume
minyak (cuft). Densitas minyak biasanya dinyatakan dalam specific
gravity minyak (o), yang didefinisikan sebagai perbandingan densitas
minyak terhadap densitas air, yang secara matematis, dituliskan :
o
o 
w ………………………………………..(1-15)

Keterangan :
o = specific gravity minyak
o = densitas minyak, lb/cuft
w = densitas air, lb/cuft
Industri perminyakan seringkali menyatakan specific
gravityminyak dalam satuan oAPI. Hubungan antara SG minyak dengan
0
API dapat dirumuskan sebagai berikut :
141,5
o
API =  131,5
o ………………………………..(1-16)

Harga-harga untuk beberapa jenis minyak :

a) Minyak ringan (light crude)  300API


b) Minyak sedang 20 – 300API
c) Minyak berat 10 - 200API

2. Faktor Volume Formasi Minyak


Faktor volume formasi minyak (Bo) didefinisikan sebagai volume
minyak dalam barrel pada kondisi standar yang ditempati oleh satu stock
tank barrel minyak termasuk gas yang terlarut. Atau dengan kata lain
sebagai perbandingan antara volume minyak termasuk gas yang terlarut
pada kondisi reservoir dengan volume minyak pada kondisi standard (14,7
psi, 60 F). Satuan yang digunakan adalah bbl/stb. Perhitungan Bo secara
empiris (Standing) dinyatakan dengan persamaan :
Bo = 0.972 + (0.000147 . F 1.175) ………………..(1-17)
 g 
F  R s .   1.25 T

 o  ………………………..(1-18)
Keterangan :
Rs = kelarutan gas dalam minyak, scf/stb
o = specific gravity minyak, lb/cuft
g = specific gravity gas, lb/cuft
T = temperatur, oF.

Perubahan Bo terhadap tekanan untuk minyak mentah jenuh


ditunjukkan oleh Grafik 1.6. Tekanan reservoir awal adalah Pi dan harga
awal faktor volume formasi adalah B oi. Dengan turunnya tekanan reservoir
dibawah tekanan buble point, maka gas akan keluar dan Bo akan turun.

Grafik 1.6. Hubungan antara Tekanan dan Faktor Volume Formasi Minyak (Bo)

Formation - Volume Fac tor, Bo


Bob

Pb
1
0 Reservoir pressure, psia

Terdapat dua hal penting dari grafik diatas, yaitu :


a. Jika kondisi tekanan reservoir berada diatas Pb, maka Bo akan naik
dengan berkurangnya tekanan sampai mencapai Pb, sehingga
volume sistem cairan bertambah sebagai akibat terjadinya
pengembangan minyak.
b. Setelah P b dicapai, maka harga Bo akan turun dengan berkurangnya
tekanan, disebabkan karena semakin banyak gas yang dibebaskan.

3. Kelarutan Gas dalam Minyak


Kelarutan gas (Rs) adalah banyaknya SCF gas yang terlarut dalam
satu STB minyak pada kondisi standar 14,7 psi dan 60 F, ketika minyak
dan gas masih berada dalam tekanan dan temperatur reservoir.

………..(1-19)

Pada grafik hubungan antara tekanan dan kelarutan gas dalam


minyak (Rs), bila temperatur dianggap tetap maka Rs akan naik bila
tekanan naik, kecuali jika tekanan gelembung telah terlewati, maka harga
Rs akan konstan untuk minyak tidak jenuh.

Grafik 1.7. Hubungan antara Tekanan dan Kelarutan Gas dalam Minyak

Ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi kelarutan gas


dalam minyak, diantaranya adalah sebagai berikut:
 Tekanan Reservoir
Bila temperatur dianggap tetap maka Rs akan naik bila tekanan
naik, kecuali jika tekanan gelembung telah terlewati, maka harga
Rs akan konstan untuk minyak tidak jenuh.
 Temperatur Reservoir
Jika tekanan dianggap tetap maka Rs akan turun jika temperatur
naik.
 Komposisi Minyak
Pada temperatur dan tekanan tertentu Rs akan naik dengan
turunnya berat jenis minyak atau naiknya 0API.

4. Kompressibilitas Minyak
Kompressibilitas minyak didefinisikan sebagai perubahan volume
minyak akibat adanya perubahan tekanan, secara matematis dapat
dituliskan sebagai berikut:
1  V 
Co    
V  P  ………………………………..(1-20)

Kompressibilitas minyak dibagi menjadi dua berdasarkan kondisi


kejenuhannya, yaitu :
a. Kompressibilitas minyak tak jenuh (undersaturated oil)
Besarnya harga kompressibilitas minyak tak jenuh ini tergantung
dari berat jenis, tekanan, dan temperatur. Dapat dinyatakan dengan
persamaan sebagai berikut:
C pr
Co 
Ppc
………………………………..(1-21)
dimana :
Co = kompressibilitas minyak, psi-1
Cpr = pseudo reduced compressibility
Ppc = pseudo critical pressure, psi

Untuk menentukan harga Cpr dilakukan dengan menggunakan


grafik 1.8. Sebelumnya menentukan harga Tpr dan Ppr dahulu, yaitu
:
T
T pr 
T pc
………………………………..(1-22)
P
Ppr 
Ppc
………………………………..(1-23)
dimana :
P = tekanan waktu pengukuran, psia
Ppc = tekanan kritik semu, psia
T = temperatur waktu pengukuran, oF
Tpc = temperatur kritik semu, oF

b. Kompressibilitas minyak jenuh (saturated oil)


Harga kompressibilitas minyak jenuh umumnya lebih besar
dibandingkan harga kompressibilitas minyak tak jenuh. Penentuan
harga kompressibilitas ini dengan persamaan sebagai berikut :
1 dRs  dBo 
Co   Bg  
Bo dP  dRs  .……………………….(1-24)
Grafik 1.8. Grafik Hubungan C pr vs Ppr dan Tpr untuk Minyak

5. Viskositas Minyak
Viskositas didefinisikan sebagai ketahanan internal suatu fluida
untuk mengalir. Bila tekanan reservoir mula-mula lebih besar dari tekanan
gelembung (bubble point pressure), maka penurunan tekanan akan
memperkecil viskositasminyak (μo). Setelah mencapai Pb, penurunan
tekanan selanjutnya akan menaikkan harga viskositasminyak (μo) dan
dengan semakin naiknya temperatur reservoir akan menurunkan harga
viskositasminyak (μo). Hubungan antara tekanan dan viskositasminyak
dapat dilihat pada Grafik 1.9.
Grafik 1.9. Hubungan antara Tekanan dan Viskositas Minyak

Secara matematis, besarnya viskositas dapat dinyatakan dengan persamaan


F y
 
A v ………………………………..(1-25)
Keterangan :
 = viskositas, gr/(cm.sec)
F = shear stress
A = luas bidang paralel terhadap aliran, cm2
y / v = gradient kecepatan, cm/(sec.cm).

1.2.2.2. Sifat Fisik Gas


1. Densitas Gas
Densitas atau berat jenis gas didefinisikan sebagai perbandingan
antara rapatan gas tersebut dengan rapatan suatu gas standar. Biasanya
yang digunakan sebagai gas standar adalah udara kering. Secara matematis
berat jenis gas dirumuskan sebagai berikut :
o
BJ gas 
u ……...………………………………...(1-26)
2. Faktor Volume Formasi Gas
Faktor volume formasi gas (Bg) didefinisikan sebagai besarnya
perbandingan volume gas pada kondisi tekanan dan temperatur reservoir
dengan volume gas pada kondisi standar (60 F, 14,7 psia). Pada faktor
volume formasi ini berlaku hukum Boyle - Gay Lussac. Bila satu standar
cubic feet ditempatkan dalam reservoir dengan tekanan P r dan temperatur
Tr, maka rumus - rumus gas dapat digunakan untuk mendapatkan
hubungan antara kedua keadaan dari gas tersebut, yaitu :
P1 V1 P V
 r r
Z r Tr Z r Tr ……………….……………….(1-27)

Untuk harga P1 dan T1 dalam keadaan standar, maka diperoleh :


Z r Tr
Vr  0.0283 cuft
Pr ………………………………..(1-28)

Untuk keadaan standar, maka Vr (cuft) harus dibagi dengan 1 scf


untuk mendapatkan volume standar. Jadi faktor volume formasi gas (B g)
adalah :
Z r Tr
Bg  0.0283 cuft / scf
Pr ………………………..(1-29)

Dalam satuan bbl / scf, besarnya Bg adalah :


Z r Tr
Bg  0.00504 bbl / scf
Pr ………………………..(1-30)

3. Kompresibilitas Gas
Kompresibilitas gas didefinisikan sebagai perubahan volume gas
yang disebabkan oleh adanya perubahan tekanan yang mempengaruhinya.
Kompresibilitas gas didapat dengan persamaan :
C pr
Cg 
Ppc
………………………………………..(1-31)
Keterangan :
Cg = kompresibilitas gas, psia -1
Cpr = pseudo reduced kompresibilitas, psia -1 ,
Cpc = pseudocritical pressure, psia

4. Viskositas Gas
Viskositas merupakan ukuran tahanan gas terhadap aliran.
Viskositas gas hidrokarbon umumnya lebih rendah daripada viskositas gas
non hidrokarbon. Viskositas gas akan berbanding lurus dengan temperatur
dan berbanding terbalik dengan berat molekulnya. Jadi bila berat
molekulnya bertambah besar, maka viskositasnya akan mengecil,
sedangkan bila temperaturnya naik, maka viskositasnya akan semakin
besar.
Dalam viskositas sifat-sifat gas akan berlawanan dengan cairan.
Untuk gas sempurna, viskositasnya tidak tergantung pada tekanan. Bila
tekanannya dinaikkan, maka gas sempurna akan berubah menjadi gas tidak
sempurna dan sifat-sifatnya akan mendekati sifat-sifat cairan. Bila
komposisi campuran gas alam diketahui, maka viskositasnya dapat
diketahui dengan menggunakan persamaan :

g 
 YM gi i i
0,5

Y M i i
0,5
………………………………..(1-32)
Keterangan :
g = viskositas gas campuran pada tekanan atmosfer
gi = viskositas gas murni
Yi = fraksi mpl gas murni
Mi = berat molekul gas murni

Grafik 1.10. Viskositas Gas pada Tekanan Atmosfir


5. Faktor Deviasi Gas
Penyelesaian masalah aliran gas, baik di reservoir, tubing, dan pipa
produksi membutuhkan hubungan yang menerangkan tekanan, volume,
dan temperatur. Untuk gas yang ideal hubungan tersebut dinyatakan oleh
persamaan keadaan :
P.V=n.R.T ………………………………………..(1-33)
dimana :
P = tekanan, psia
V = volume, scf
n = jumlah mol, lb-mol
T = temperatur, oR
R = konstanta gas = 10.73 , cuft/lb-mol

Gas yang bersifat sebagai gas nyata / real gas tidak memenuhi
persamaan diatas, tetapi memberi penyimpangan sebesar z (faktor deviasi),
sehingga persamaan diatas menjadi :
P.V=z.n.R.T ………………………………………..(1-34)

Grafik 1.11. Faktor Kompressibilitas untuk Natural Gas


Penentuan harga z dari suatu gas alam dapat dilakukan melalui
pengukuran langsung, menggunakan korelasi Standing dan Katz, dan
menggunakan “equation of state”. Dengan diketahuinya harga P pc dan Tpc,
maka harga Pr dan Tr dapat dihitung. Untuk menentukan harga z (deviation
faktor), Katz dan Standing telah membuat korelasi berupa grafik : z = f
(Pr,Tr) dapat dilihat pada gambar 2.33. Grafik tersebut memberikan hasil
yang memuaskan bila gas tidak mengandung CO2 dan H2S. Untuk gas
yang mengandung kedua unsur tersebut perlu dilakukan korelasi untuk
harga Ppc dan Tpc dahulu sebelum menghitung Pr dan Tr.

1.2.2.3.Sifat Fisik Air Formasi


1. Densitas Air Formasi
Densitas air formasi dinyatakan dalam massa per volume, specific
volume yang dinyatakan dalam volume per satuan massa dan specific
gravity, yaitu densitas air formasi pada suatu kondisi tertentu yaitu pada
tekanan 14,7 psi dan temperatur 60 F. Beberapa satuan yang umum
digunakan untuk menyatakan sifat-sifat air murni pada kondisi standard
adalah sebagai berikut : 0,999010 gr/cc ; 8,334 lb/gal; 62,34 lb/cuft; 350
lb/bbl (US); 0,01604 cuft/lb. Dari besaran-besaran satuan tersebut dapat
dibuat suatu hubungan sebagai berikut :
w 1 0,01604
w = = = 0,01604  w =
62,34 62,34 v w vw ..(1-35)
Keterangan :
w = specific gravity air formasi
w = density, lb/cuft
vw = specific volume, cuft/lb
62,3 = densitas air murni pada kondisi standart

2. Faktor Volume Formasi Air Formasi


Faktor volume air formasi (B w) menunjukkan perubahan volume
air formasi dari kondisi reservoir ke kondisi permukaan. Faktor volume
formasi air formasi ini dipengaruhi oleh tekanan dan temperatur, yang
berkaitan dengan pembebasan gas dan air dengan turunnya tekanan,
pengembangan air dengan turunnya tekanan dan penyusutan air dengan
turunnya temperatur. Harga faktor volume formasi air-formasi dapat
ditentukan dengan menggunakan persamaan sebagai berikut:

Bw = (1 + Vwp)(1 + Vwt) ………………………..(1-36)


Keterangan :
Bw = faktor volume air formasi, bbl/bbl
Vwt = penurunan volume sebagai akibat penurunan suhu, oF
Vwp = penurunan volume selama penurunan tekanan, psi
3. Kelarutan Gas dalam Air Formasi
Standing dan Dodson telah menentukan kelarutan gas dalam air
formasi sebagai fungsi dari tekanan dan temperatur. Mereka menggunakan
gas dengan berat jenis 0,655 dan mengukur kelarutan gas ini dalam air
murni serta dua contoh air asin.

4. Kompressibilitas Air Formasi


Kompresibilitas air formasi didefinisikan sebagai perubahan
volume yang disebabkan oleh adanya perubahan tekanan yang
mempengaruhinya. Besarnya kompressibilitas air murni (Cpw) tergantung
pada tekanan, temperatur dan kadar gas terlarut dalam air murni. Secara
matematik, besarnya kompressibilitas air murni dapat ditulis sebagai
berikut :
1  V 
C wp    
V  P  T ………………………………..(1-37)
Keterangan :
Cwp = kompressibilitas air murni, psi –1
V = volume air murni, bbl
V; P = perubahan volume (bbl) dan tekanan (psi) air murni

5. Viskositas Air Formasi


Besarnya viskositas air formasi (w) tergantung pada tekanan,
temperatur dan salinitas yang dikandung air formasi tersebut. Viskositas
air murni pada tekanan atmosfir dan pada tekanan 7100 psia serta
viskositas air pada kadar garam 6% pada tekanan atmosfir.

1.3. Kondisi Reservoir


Kondisi reservoir meliputi tekanan reservoir dan temperatur reservoir,
yang ternyata sangat berpengaruh terhadap sifat fisik batuan maupun fluida
reservoir. Kondisi reservoir berhubungan dengan kedalamaan reservoir. Sehingga
untuk reservoir yang berbeda, kondisinya juga akan berbeda tergantung
kedalamannya, pada umumnya bersifat linier walaupun sering terjadi
penyimpangan.

1.3.l. Tekanan Reservoir


Adanya tekanan reservoir yang disebabkan oleh gradien kedalaman, maka
akan menyebabkan terjadinya aliran fluida di dalam formasi ke dalam lubang
sumur yang mempunyai tekanan relatif rendah. Besarnya tekanan reservoir ini
akan berkurang dengan adanya kegiatan produksi. Tekanan reservoir pada
prinsipnya berasal dari
1. Pendesakan oleh ekspansi gas (tudung gas) pada gas cap drive reservoir,
tenaga ini disebut dengan body force.
2. Pendesakan oleh air formasi yang diakibatkan adanya beban formasi
diatasnya (overburden).
3. Pengembangan gas berupa gas bebas pada reservoir solution gas drive
dimana perbedaannya dengan reservoir gas cap drive dimana gas yang
terjadi tidak terperangkap tetapi merata sepanjang pori - pori reservoir.
4. Timbulnya tekanan akibat adanya gaya kapiler yang besarnya dipengaruhi
oleh tegangan permukaan dan sifat kebasahan batuan.

Ada dua hal yang berlawanan yang perlu diperhatikan, yaitu pada suatu
interval tertentu tekanan akan naik hingga stabil, tetapi dengan bertambahnya
waktu maka tekanan akan turun kembali. Hal ini disebabkan karena adanya
gangguan atau karena pengaruh interferensi sumur disekitarnya yang sedang
berproduksi, sehingga tekanan tersebut tidak stabil. Dengan alasan tersebut maka
tekanan dasar sumur biasanya diukur dalam interval waktu tertentu, kemudian
tekanan yang didapat dari hasil pengukuran diplot dan diekstrapolasikan untuk
mendapatkan tekanan static dari sumur tersebut.
Setelah akumulasi hidrokarbon didapat, maka salah satu tes yang harus
dilakukan adalah tes untuk menentukan tekanan reservoir, yaitu tekanan awal
formasi, tekanan statik sumur, tekanan alir dasar sumur, dan gradien tekanan
formasi. Data tekanan tersebut akan berguna didalam menentukan produktivitas
formasi produktif serta metode produksi yang akan digunakan, sehingga dapat
diperoleh recovery hidrokarbon yang optimum tanpa mengakibatkan kerusakan
fonnasi.
Tekanan awal reservoir adalah tekanan reservoir pada saat pertama kali
ditemukan. Tekanan dasar sumur pada sumur yang sedang berproduksi disebut
tekanan aliran (flowing) sumur. Kemudian jika sumur tersebut ditutup maka
selang waktu tertentu akan didapat tekanan statik sumur.

1.3.2.1.Tekanan Hidrostatis
Tekanan Hidrostatis merupakan suatu tekanan yang timbul akibat adanya
fluida yang mengisi pori-pori batuan, desakan oleh ekspansi gas, dan desakan oleh
gas yang membebaskan diri dari larutan akibat penurunan tekanan selama proses
produksi berlangsung. Secara empiris dapat dituliskan sebagai berikut :
F
Ph 
A ………………………………………………..(1-38)
Ph  0.052  D ………………………………………………..(1-39)
Keterangan :
Ph = tekanan, psi
F = gaya bekerja pada daerah satuan luas yang bersangkutan, lb
A = luas permukaan yang menerima gaya, inch2
γ = densitas fluida rata-rata, lb/gallon
D = tinggi kolam fluida, ft

1.3.1.2.Tekanan Overburden
Tekanan overburden adalah tekanan yang diderita oleh formasi akibat
berat batuan diatasnya. Persamaan yang dapat digunakan untuk menentukan
besarnya tekanan overburden adalah :
P0 = G0 x D ………………………………………………..(1-40)
Gmb  Gfl
P0 =  D1   ma   fl
A ………………………..(1-41)
Keterangan :
Po = Tekanan overburden, psi
Go = Gradien tekaanan overburden, psi/ft (umumnya sebesar 1 psi/ft)
D = Kedalaman vertikal formasi, ft
Gmb = Berat matrik batuan formasi, lb
Gfl = Berat fluida yang terkandung dalam pori-pori batuan, lb
A = Luas lapisan, in2
 = Porositas, fraksi
ma = Densitas matriks batuan, lb/cuft
fl = Densitas fluida, lb/cuft

Besarnya gradien tekanan overburden yang normal biasanya dianggap


sebesar 1 psi/ft, yaitu diambil dengan menganggap berat jenis batuan rata-rata 2,3
dari berat jenis air. Sedangkan besarnya gradien tekanan air adalah 0,433 psi/ft
maka gradien tekanan overburden sebesar 2,3 x 0,433 psi/ft = 1 psi/ft.
Pertambahan tekanan tiap feet kedalaman disebut gradien tekanan. Data-data
tekanan reservoir, umumnya digunakan dalam hal-hal sebagai berikut :
1. Menentukan karakteristik reservoir, terutama yang menyangkut hubungan
antara jumlah produksi dengan penurunan tekanan reservoir.
2. Bila digabungkan dengan data produksi, sifat-sifat fisik batuan dan fluida
reservoir, akan bermanfaat dalam penaksiran gas atau oil in place dan
recovery untuk berbagai jenis mekanisme pendorongan.
3. Memperkirakan hubungan antar sumur-sumur yang letaknya berdekatan
dan bagaimana sistemnya.

1.3.1.3.Tekanan Rekah
Tekanan rekah adalah tekanan hidrostatis maksimum yang dapat ditahan
oleh formasi tanpa menyebabkan terjadinya pecah formasi tersebut. Besarnya
gadien tekanan rekah dipengaruhi oleh tekanan overburden, tekanan formasi, dan
kondisi kekuatan batuan. Selain hasil log gradien tekanan rekah dapat ditentukan
dengan memakai prinsip “leak of test” yaitu memberikan tekanan sedikit-sedikit
sedemikian rupa sampai terlihat tanda-tanda formasi akan pecah, dengan
ditunjukkan kenaikan tekanan terus-menerus dan tiba-tiba menurun drastis.
Penentuan tekanan rekah dapat digunakan perhitungan diantaranya :
Pf 1  Pob 2 P 
   
D 3  D D ………………………………………..(1-42)
Keterangan :
Pf = tekanan rekah, psi
Pob = tekanan overburden, psi
P = tekanan formasi, psi
D = kedalaman, ft

1.3.1.4.Tekanan Normal
Tekanan formasi normal adalah suatu tekanan formasi dimana tekanan
hidrostatik fluida formasi dalam keadaan normal sama dengan tekanan kolom
cairan yang ada dalam dasar formasi sampai permukaan.
Gradien tekanan berhubungan dengan lingkungan pengendapan geologi.
Karena pada umumnya sedimen diendapakan pada lingkungan air garam, maka
banyak tempat di dunia ini mempunyai gradien tekanan antara 0,433 psi/ft sampai
0,465 psi/ft. Jadi formasi yang mempunyai gradien tekanan formasi antara 0,433
psi/ft samapi 0,465 psi/ft merupakan tekanan normal.

1.3.1.5.Tekanan Subnormal
Tekanan formasi subnormal adalah formasi yang mempunyai gradien
tekanan dibawah 0,433 psi/ft. Tekanan subnormal diakibatkan adanya rekahan-
rekahan batuan, atau adanya penekanan batuan dan isinya oleh gaya pada kerak
bumi.
1.3.1.6.Tekanan Abnormal
Tekanan abnormal adalah tekanan formasi yang mempunyai gradien
tekanan lebih besar dari harga 0,465 psi/ft. Tekanan abnormal tidak mempunyai
komunikasi tekanan secara bebas sehingga tekanannya tidak akan cepat
terdistribusi dan kembali menuju tekanan normalnya. Tekanan abnormal berkaitan
dengan sekat (seal) terbentuk dalam suatu periode sedimentasi, kompaksi atau
tersekatnya fluida didalam suatu lapisan yang dibatasi oleh lapisan yang
permeabilitasnya sangat rendah.
Pada proses kompaksi normal, mengecilnya volume pori akibat dari
pertambahan berat beban diatasnya dapat mengakibatkan fluida yang ada didalam
pori terdorong keluar dan mengalir ke segala arah menuju formasi di sekitarnya.
Berat batuan diatasnya akan ditahan oleh partikel-partikel sedimen. Kompaksi
normal umumnya menghasilkan suatu gradient tekanan formasi yang normal.
Kompaksi abnormal akan terjadi jika pertambahan berat beban diatasnya
tidak menyebabkan berkurangnya ruang pori. Ruang pori tidak mengecil karena
fluida didalamnya tidak bisa terdorong keluar. Tersumbatnya fluida didalam ruang
pori disebabkan karena formasi itu terperangkap didalam formasi lain yang
menyebabkan permeabilitas sangat kecil.

1.3.2. Temperatur Reservoir


Berdasarkan anggapan bahwa inti bumi berisi magma yang sangat panas,
maka dengan bertambahnya kedalaman temperaturnya akan naik. Besar kecilnya
kenaikan temperatur ini akan tergantung pada gradient temperaturnya yang biasa
disebut sebagai gradient geothermis. Besaran gradient geothermis ini bervariasi
dari satu tempat ke tempat lain, dimana harga rata-ratanya adalah 2°F/100 ft.
Gradient geothermis yang tertinggi adalah 4°F/100 ft, sedangkan yang terendah
adalah 0.5 °F/100 ft. Variasi yang kecil dari gradient geothermis ini disebabkan
oleh sifat konduktivitas thermal beberapa jenis batuan. Besarnya gradien
geotermal dari suatu daerah dapat dicari dengan menggunakan persamaan:
Tformasi - Tstandard
Gradien geothermal =
Kedalalama n Formasi ………………..(1-43)
Harga gradien geotermal berkisar antara 1.11° sampai 2"F/100 ft. Seperti
diketahui temperatur sangat berpengaruh terhadap sifat-sifat fisik fluida reservoir
Hubungan temperatur terhadap kedalaman dapat dinyatakan sebagai berikut :
Td= Ta + Gt x D ………………………………………..(1-44)
Keterangan :
Td = Temperatur reservoir pada kedalaman D ft, °F
Ta = Temperatur pada permukaan, °F
Gt = Gradien temperatur, °F
D = Kedalaman, ratusan ft.

Pengukuran temperatur formasi dilakukan setelah completion dan


temperatur formasi ini dapat dianggap konstan selama kehidupan reservoir,
kecuali bila dilakukan proses stimulasi.

1.4. Jenis-Jenis Reservoir


Jenis-jenis reservoir dapat dikelompokkan menjadi tiga yaitu : berdasarkan
perangkap reservoir, fasa fluida, dan mekanisme pendorong.

1.4.1. Berdasarkan Perangkap Reservoir


Jenis reservoir berdasarkan perangkap reservoir dapat dibagi menjadi tiga,
yaitu perangkap struktur, perangkap stratigrafi, dan perangkap kombinasi struktur
dan stratigrafi.
 Perangkap Struktur
Unsur perangkap yang membentuk lapisan penyekat dalam lapisan
reservoir sehingga dapat menangkap minyak, disebabkan gejala tektonik
atau struktur, misalnya pelipatan dan patahan. Sebetulnya kedua unsur ini
merupakan unsur utama dalam pembentukan perangkap. Perangkap
struktur sendiri terbagi menjadi dua, yaitu perangkap lipatan (anticlinal
traps) dan juga perangkap patahan (fault traps).
1. Perangkap Lipatan
Perangkap yang disebabkan perlipatan merupakan perangkap
utama. Perangkap lipatan disebabkan oleh struktur perlipatan
(folding) dan biasanya berbentuk antiklin. Dalam menilai suatu
perangkap lipatan, yang perlu diperhatikan adalah volume tutupan
(closure) pada perangkap bersangkutan. Volume tutupan suatu
perangkap adalah volume maksimum tempat atau wadah yang bisa
diisi oleh fluida hidrokarbon.

2. Perangkap Patahan
Perangkap patahan adalah perangkap yang terbentuk oleh peristiwa
patahan pada batuan porous dan permeabel yang berada di bawah
lapisan tidak permeabel. Suatu patahan (faulting) dapat berfungsi
sebagai unsur penyekat akumulasi hidrokarban agar tidak
bermigrasi ke mana-mana dan dapat juga sebagai media bagi
minyak untuk bermigrasi.

 Perangkap Stratigrafi
Prinsip perangkap stratigrafi ialah minyak dan gas terjebak dalam
perjalanannya ke atas, terhalang dari segala arah terutama dari bagian atas
dan pinggir, karena batuan reservoir menghilang atau berubah fasies
menjadi batuan lain atau batuan yang karakteristik reservoir menghilang
sehingga merupakan penghalang permeabilitasnya.

 Perangkap Kombinasi
Perangkap reservoir kebanyakan merupakan kombinasi perangkap
struktur dan perangkap stratigrafi dimana setiap unsur struktur merupakan
faktor bersama dalam membatasi bergeraknya minyak dan gas.
1.4.2. Berdasarkan Fasa Fluida Hidrokarbon
Fasa merupakan bagian dari zat yang mempunyai sifat yang nyata, yang
memiliki sifat-sifat fisika dan kimia secara seragam dalam keseluruhan. Fasa yang
penting yang terdapat dalam produksi hidrokarbon adalah fasa cair (minyak atau
kondensat) dan fasa gas (gas alam). Diagram fasa adalah diagram tekanan dan
temperatur yang merupakan fungsi komposisi akumulasi hidrokarbon pada suatu
reservoir. Grafik 1.12. memperlihatkan diagram fasa untuk suatu fluida reservoir.

Grafik 1.12. Diagram Fasa P&T Suatu Fluida Reservoir

Daerah di dalam lengkungan garis bubble point (Pb) dan garis dew point
(titik embun) adalah merupakan daerah dua fasa dan grafik-grafik lengkung di
dalamnya menunjukkan volume total cairan hidrokarbon. Daerah di luar
lengkungan garis titik embun (pada temperatur di atas temperatur embun) sistem
berada dalam keadaan satu fasa (fasa gas), sedangkan daerah di atas lengkungan
garis titik gelembung (pada tekanan di atas Pb) sistem terdiri dari satu fasa yaitu
fasa cair (minyak).
Diagram P – T tersebut dapat menunjukkan suatu perubahan fasa, apabila
tekanan dan temperatur berubah / salah satunya yang berubah. Pada awalnya
setiap akumulasi hidrokarbon mempunyai diagram fasa sendiri-sendiri sesuai
dengan komposisi dan akumulasi hidrokarbonnya. Bila kondisi P dan T reservoir
ditunjukkan oleh titik A, menunjukkan bahwa reservoir dalam keadaan satu fasa
yaitu gas. Temperatur reservoir lebih besar dari cricondentherm, sehingga jika
reservoir ini diproduksikan, maka akan terjadi penurunan tekanan disepanjang
garis A-A1 dan tidak terjadi perubahan fasa. Hal ini berlaku bagi semua
akumulasi dengan komposisi sama. Dengan demikian hanya gas saja yang
terproduksi dan disebut dry gas.
Bila selama proses produksi terjadi perubahan temperatur, seperti
ditunjukkan oleh garis lintasan A-A2 maka fluida yang terproduksi di permukaan
merupakan fasa cair dan gas meskipun mempunyai komposisi sama, dimana fasa
cair yang terproduksi di permukaan berasal dari gas di reservoir, dan fluida
produksinya di sebut dengan gas basah atau wet gas.
Bila temperatur reservoir terletak diantara temperatur kritik dan
cricondentherm serta tekanan terletak diatas tekanan titik embun (dew point)
seperti ditunjukkan oleh titik B pada Grafik 1.12.. di atas, reservoirnya disebut
reservoir condensate. Pada kondisi ini, penurunan tekanan dengan temperatur
tetap, sejumlah gas akan mengembun pada titik B1 dan jumlah cairan akan
bertambah sampai batas 10% total cairan hidrokarbon, yaitu titik B2. Selanjutnya
penurunan berikutnya tidak akan menambah jumlah cairan, akan tetapi sebaliknya
justru terjadi penguapan dari cairan yang ada sampai pada tekanan B3, yang
mengakibatkan GOR di permukaan menurun.
Bila kondisi tekanan dan temperatur reservoir ditunjukkan oleh titik C
pada Gambar 2.51., reservoirnya hanya terisi fluida satu fasa yaitu fasa cair,
karena semua gas yang telah ada telah terlarut dalam fasa cair (minyak) sehingga
tidak ada gas bebas yang kontak dengan minyak. Tipe ini disebut reservoir titik
gelembung, dengan turunnya tekanan akibat produksi, tekanan titik gelembung
akan dicapai yaitu titik C1. Pada titik ini mulai timbul gas untuk pertama kalinya
dan penurunan tekanan selanjutnya akan menambah jumlah dari gas bebas,
sehingga permeabilitas efektif minyak akan berkurang dan gas yang terproduksi
semakin besar.
Bila kondisi tekanan dan temperatur reservoir di dalam garis lengkung titik
gelembung dan titik embun, yaitu dalam daerah dua fasa seperti yang dinyatakan
oleh titik D (Gambar 2.51.), fasa-fasa dalam reservoir terdiri dari fasa cair
(minyak) yang berada di bawah fasa gas yang umumnya disebut tudung gas atau
gas cap.
Berdasarkan gambar tersebut di atas kondisi awal, reservoir dapat berupa:
 Reservoir minyak
 Reservoir gas
 Reservoir condensate

Reservoir gas mempunyai temperatur awal di atas cricondentherm. Pada


kondisi awal ini reservoir hanya terdiri dari satu fasa. Apabila gas tersebut
diproduksikan dari reservoir ke permukaan pada tekanan dan temperatur yang
semakin berkurang sepanjang A-A1, maka fluidanya tetap satu fasa yaitu fasa gas,
baik di reservoir maupun di permukaan. Gas ini biasanya disebut gas kering atau
dry gas.

1.4.2.1.Reservoir Minyak
Reservoir minyak dibagi menjadi dua bagian besar, yaitu reservoir minyak
jenuh dan resevoir minyak tak jenuh.
1. Reservoir Minyak Jenuh
Reservoir minyak jenuh adalah reservoir dimana cairan (minyak)
dan gas terdapat bersama-sama dalam keseimbangan. Keadaan ini bisa
terjadi pada P dan T reservoir terdapat dibawah garis gelembung (lihat titik
B pada Grafik 1.12.). Titik awal dari tekanan reservoir berada dibawah
titik Pbnya, sehingga fluida reservoir ada dua fasa yaitu fasa gas dan
minyak (sebagai fasa cair). Penurunan Pres akan merubah harga GOR
produksi sebagai akibat terbebaskannya gas dari larutan.
Dari beberapa ciri-ciri reservoir minyak yang dapat disebutkan
sebagai ciri-ciri dari reservoir minyak jenuh, adalah sebagai berikut:
a. Tekanan awal reservoir lebih kecil dari tekanan gelembung dan
temperatur reservoir lebih rendah dari temperatur kritisnya.
b. Fluida reservoir berupa dua fasa, zona gas berada diatas zona
minyak, zona gas tersebut biasanya disebut gas cap.
c. Specific gravity minyak bervariasi antara 0,75 sampai dengan 1,01.
d. Reservoir jenis ini tidak mempunyai energi pengembangan cairan
tetapi energinya terkumpul pada gas yang terlarut ditambah energi
gas capnya sendiri.

2. Reservoir Minyak Tak Jenuh


Reservoir minyak dikatakan tak jenuh apabila dalam reservoir
hanya mengandung satu macam fasa saja yaitu cairan (minyak). Keadaan
ini dapat terjadi bila tekanan reservoirnya lebih tinggi dari tekanan
gelembungnya, seperti terlihat pada Gambar 2.52. yaitu titik D. Pada
reservoir tak jenuh cenderung mengandung komponen berat yang relatif
lebih banyak dibandingkan dengan reservoir minyak jenuh sehingga hasil
yang diperoleh di permukaan berlainan. Ciri-ciri khas reservoir minyak tak
jenuh adalah:
 Pada kondisi mula-mula tidak ada kontak langsung antara zona
minyak dengan fasa gas bebas, dengan kata lain gas cap tidak
terbentuk.
 Selama penurunan tekanan awal sampai tekanan saturasi (Pb)
faktor volume formasi minyak akan naik sedang kekentalannya
akan turun.
 Umumnya temperatur reservoir kurang dari 150 °F, specific gravity
kurang dari 35° API.

Beberapa istilah yang sering digunakan adalah sebagai berikut:


a. Low shrinkage oil dan high shrinkage oil.
Merupakan suatu istilah yang dipakai untuk minyak hasil produksi,
dimana pada low shrinkage oil akan mempunyai kandungan
komposisi hidrokarbon ringan lebih sedikit di bandingkan dengan
pada high shrinkage oil.
b. Black oil
Black Oil terdiri dari variasi rantai hidrokarbon termasuk molekul-
molekul yang besar, berat dan tidak mudah menguap (nonvolatile).
Diagram fasa-nya mencakup rentang temperatur yang luas.
Diagram fasa dari black oil secara umum ditunjukkan pada grafik
1.13. Garis pada lengkungan fasa mewakili volume cairan yang
konstan, diukur sebagai persentase dari volume total. Garis-garis
ini disebut iso-vol atau garis kualitas. Garis vertikal 1-2-3
menandakan penurunan tekanan pada temperatur konstan yang
terjadi di reservoir selama produksi. Tekanan dan temperatur
separator yang terletak di permukaan juga ditandai. Ketika tekanan
reservoir berada pada garis 1-2, minyak dikatakan dalam keadaan
tak jenuh (undersaturated) karena minyak dapat melarutkan banyak
gas pada kondisi ini. Jika tekanan reservoir berada pada titik - 2,
minyak berada pada titik gelembungnya dan dikatakan dalam
keadaan jenuh (saturated).
Minyak mengandung sebanyak mungkin larutan gas yang dapat
dikandungnya. Penurunan tekanan akan membebaskan sebagian
gas terlarut untuk membentuk fasa gas bebas dalam reservoir. Saat
tekanan reservoir menurun mengikuti garis 2-3, gas tambahan
mengembang di dalam reservoir. Volume gas dalam persentase
adalah seratus dikurangi persentase cairan. Sebenarnya minyak
dalam keadaan jenuh di sepanjang garis 2-3. Titik gelembung (titik
- 2) merupakan kasus istimewa dari saturasi dimana muncul
gelembung gas untuk pertama kali.
Grafik 1.13. Diagram Fasa dari Black Oil

Gas tambahan yang mengembang dari minyak bergerak dari


reservoir ke permukaan. Hal ini menyebabkan penyusutan pada
minyak. Walaupun demikian, kondisi separator yang berada pada
lengkungan fasa menunjukkan bahwa jumlah cairan yang relatif
cukup besar sampai di permukaan. Apabila diproduksikan maka
minyak berat ini biasanya menghasilkan gas oil ratio permukaan
sebesar 500 scf/stb dengan gravity 30oAPI atau lebih. Cairan
produksi biasanya berwarna hitam dan lebih pekat lagi.

c. Volatil oil
Volatile oil mengandung relatif lebih sedikit molekul-molekul berat
dan lebih banyak intermediates (yaitu etana sampai heksana)
dibanding black oil. Diagram fasa dari volatile oil secara umum
ditunjukkan pada grafik 1.14..
Grafik 1.14. Diagram Fasa dari Volatile Oil

Rentang harga temperatur yang tercakup lebih kecil daripada black


oil. Temperatur kritik-nya jauh lebih kecil daripada black oil,
bahkan mendekati temperatur reservoir. Iso-vol-nya juga tidak
seragam jaraknya, tetapi cenderung melengkung ke atas di depan
garis titik gelembung. Garis vertikal menunjukkan jalur penurunan
tekanan pada temperatur konstan selama produksi. Harap
diperhatikan bahwa penurunan yang kecil pada tekanan di bawah
titik gelembung, titik-2, menyebabkan bebasnya sejumlah besar gas
di reservoir. Suatu volatile oil dapat menjadi gas sebesar 50% di
reservoir pada tekanan hanya beberapa ratus psi di bawah tekanan
gelembung. Iso-vol dengan persentase cairan jauh lebih kecil
melintasi kondisi separator. Oleh karena itu disebut volatile oil
(minyak yang mudah menguap). Apabila diproduksikan maka
minyak ringan ini biasanya menghasilkan gas oil.

1.4.2.2. Reservoir Kondensat


Reservoir kondesat ini sekitar 25 % fluida produksi tetap sebagai cairan di
permukaan. Cairan yang diproduksikan dari campuran hidrokarbon ini disebut gas
kondensat. Gas kondensat mengandung senyawa-senyawa hidrokarbon berat lebih
sedikit daripada senyawa-senyawa ringannya, dan mengandung senyawa-senyawa
hidrokarbon ringan relatif lebih banyak daripada minyak ringan, sehingga
temperatur kritik fluidanya lebih kecil dari temperatur kritik minyak ringan.
Ciri-ciri reservoir gas kondensat, antara lain :
1. Temperatur reservoir lebih besar dari temperatur kritik, tetapi lebih kecil
dari temperatur krikondenterm fluida hidrokarbonnya.
2. Fluida hidrokarbon yang keluar dari separator terdiri atas ± 25 % mol
cairan dan ± 75 % mol gas.
3. Cairan hidrokarbon dari separator mempunyai gravity ± 60 0API.
4. GOR produksi dapat mencapai ± 70,000 scf/stb.
5. Warna cairan yang terproduksi adalah terang atau jernih seperti air.

Grafik 1.15. Diagram Fasa dari Gas Kondensat

Berdasarkan Grafik 1.15. di atas dapat dijelaskan bahwa pada titik A’,
reservoir hanya terdiri dari satu fasa dan dengan turunnya tekanan reservoir
selama produksi berlangsung, terjadi kondensasi retrograde dalam reservoir. Pada
titik A (titik embun), cairan mulai terbentuk dan dengan turunnya tekanan dari
titik B ke titik C, jumlah cairan dalam reservoir bertambah. Pada titik C ini masih
terdapat cairan yang bisa terjadi. Penurunan selanjutnya menyebabkan cairan
menguap.
1.4.2.3.Reservoir Gas
Berdasarkan fasa fluidanya, reservoir gas terbagi menjadi reservoir gas
kering (dry gas), reservoir gas basah (wet gas) dan retrograde gas.
1. Reservoir Gas Kering (Dry Gas)
Suatu reservoir gas kering akan mengandung fraksi ringan seperti
methana dan ethana dalam jumlah banyak serta sedikit fraksi yang lebih
berat. Pada Gambar 2.56. ditunjukkan bahwa baik kondisi separator
maupun kondisi reservoirnya akan tetap pada daerah fasa tunggal. Untuk
reservoir gas kering ini tidak akan dijumpai adanya hidrokarbon cair akibat
adanya proses penurunan tekanan dan temperatur, baik pada kondisi di
permukaan maupun di reservoir. Istilah kering disini diartikan bebas dari
hidrokarbon cair kecuali air formasi. Ciri-ciri khas reservoir gas kering
adalah :
 Pada kondisi reservoir awal, temperaturnya selalu berada di atas
cricondenterm.
 Gas deviation factor (z) bervariasi antara 0,7 sampai 1,20; harga
1,0 menyatakan gas ideal.
 Sifat-sifat gas kering yang terpenting adalah faktor volume formasi
gas, gravity gas, kekentalan gas dan kompresibilitas gas.
 Gas kering ini berbeda dengan gas basah ataupun gas kondensat,
terutama dalam kandungan komponen cairnya.
Grafik 1.16. Diagram Fasa Dari Dry Gas
2. Reservoir Gas Basah (Wet Gas)
Secara Normal reservoir gas basah akan mengandung komponen
(fraksi) berat lebih besar dibandingkan reservoir gas kering sehingga akan
menghasilkan diagram fasa yang lebih besar dan menggeser titik kritis
pada temperatur yang lebih tinggi, seperti ditunjukkan pada Gambar 2.57.
Dari gambar tersebut terlihat bahwa fluida yang mengisi reservoir gas
basah pada setiap saat akan berbentuk fasa tunggal. Pada kondisi separator,
reservoir gas basah ini akan ditunjukkan oleh adanya daerah dua fasa
dimana cairan yang dihasilkan merupakan hasil kondensasi yang terjadi di
separator.
Perlu diperhatikan bahwa didalam reservoir gas basah tidak akan
terjadi kondensasi retrograde isothermal selama proses penurunan tekanan,
cairan yang terbentuk dalam separator dalam jumlah yang sedikit dan
komponen berat yang terdapat dalam campuran relatif kecil. Dalam
reservoir gas basah biasanya ditunjukkan oleh GOR antara 6000 sampai
10000 cuft/bbl dengan derajat gravity lebih besar dari 600 API.

Grafik 1.17. Diagram Fasa Dari Wet Gas


2. Reservoir Retrograde Gas
Diagram fasa untuk retrograde gas lebih kecil daripada untuk
minyak dan titik kritik-nya berada jauh di arah bawah dari lengkungan.
Perubahan tersebut merupakan akibat dari kandungan retrograde gas yang
terdiri dari lebih sedikit hidrokarbon berat daripada minyak. Diagram fasa
dari retrograde gas memiliki temperatur kritik lebih kecil dari temperatur
reservoir dan cricondentherm lebih besar daripada temperatur reservoir.

Grafik 1.18. Diagram Fasa dari Retrograde Gas

Seperti terlihat pada Grafik 1.18., awalnya retrograde gas merupakan fasa
gas di reservoir, titik - 1. Bersamaan dengan menurunnya tekanan
reservoir, retrograde gas memberikan titik embun, titik-2. Dengan
menurunnya tekanan, cairan mengembun dari gas untuk membentuk cairan
bebas di reservoir. Cairan ini sebagian tidak mengalir dan tidak dapat
diproduksi. Jalur tekanan reservoir pada diagram fasa (Grafik 1.18.)
menunjukkan bahwa pada beberapa tekanan yang rendah cairan mulai
mengembun. Hal ini terjadi di laboratorium; walaupun demikian, ada
kemungkinan hal ini tidak terjadi secara luas di reservoir karena selama
produksi keseluruhan komposisi dari fluida reservoir berubah.
1.4.3. Berdasarkan Mekanisme Pendorong
Mekanisme pendorong adalah tenaga yang dimiliki oleh reservoir secara
alamiah yang digunakan untuk mendorong minyak selama produksi ke
permukaan. Proses pendorongan akan terjadi bila energi produksinya lebih besar
dari seluruh energi yang hilang selama aliran fluida reservoir menuju lubang bor.
Sumber energi alamiah yang digunakan untuk memindahkan minyak dan
gas dari reservoir ke lubang sumur meliputi energi gravitasi minyak yang bekerja
jarak vertikal dari kolom produktifnya, energi penekanan akibat dari pembebasan
gas yang terlarut dalam minyak atau air, energi sebagai akibat kompresi dari
minyak dan air dalam daerah produksi dari reservoirnya, energi kompresi air yang
berada di sekeliling zona produksi, energi yang berasal dari pengaruh tekanan
kapiler serta energi yang berasal dari kompresi batuannya sendiri. Berdasarkan
pengaruh yang paling dominan dari setiap sumber energi diatas, maka mekanisme
pendorong reservoir yang utama adalah water drive, gas cap drive, solution gas
drive, segregation drive, dan combination drive.

1.4.3.1.Water Drive Reservoir


Untuk reservoir jenis water drive ini, energi pendesakan yang mendorong
minyak untuk mengalir adalah berasal dari air yang terperangkap bersama-sama
dengan minyak pada batuan reservoirnya.
Apabila dilihat dari terbentuknya batuan reservoir water drive, maka air
merupakan fluida pertama yang menempati pori-pori reservoir. Tetapi dengan
adanya migrasi minyak bumi maka air yang berada disana tersingkir dan
digantikan oleh minyak. Dengan demikian karena volume minyak ini terbatas,
maka bila dibandingkan dengan volume air yang merupakan fluida pendesaknya
akan jauh lebih kecil (Gambar 1.6.).
Gas oil ratio untuk reservoir jenis ini relatif lebih konstan jika
dibandingkan dengan reservoir jenis lainnya. Hal ini disebabkan karena tekanan
reservoir relatif akan konstan karena dikontrol terus oleh pendesakan air yang
hampir tidak mengalami penurunan.
Ditinjau dari cara pendesakannya Water Drive ini dibedakan menjadi 3
macam, yaitu :
 Edge Water Drive, dimana pendesakan air sejajar dengan bidang
perlapisan.
 Bottom Water Drive, dimana arah gerakan bidang batas dari air-minyak
memotong arah bidang perlapisannya, dan tebal lapisan yang mengandung
minyak relatif lebih kecil dibandingkan dengan aquifernya. Untuk jenis
bottom water drive pendesakannya oleh air dari bawah zona minyak.
 Kombinasi Edge Water Drive dengan Bottom Drive

Gambar 1.6. Water Drive Reservoir

Produksi air pada awal produksi sedikit, tetapi apabila permukaan air telah
mencapai lubang bor maka mulai mengalami kenaikan produksi yang semakin
lama semakin besar secara kontinyu sampai sumur tersebut di tinggalkan karena
produksi minyaknya tidak ekonomis lagi (Grafik 1.19.).
Untuk reservoir dengan jenis pendesakan water drive maka bagian minyak
yang terproduksi akan lebih besar jika dibandingkan dengan jenis pendesakan
lainnya, yaitu antara 35 - 75% dari volume minyak yang ada. Sehingga minyak
sisa (residual oil) yang masih tertinggal didalam reservoir akan lebih sedikit.
Dapat disimpulkan suatu reservoir dengan tenaga pendorong air ini
mempunyai kelakuan seperti dibawah ini :
 Penurunan tekanan reservoir terlihat agak lambat.
 GOR rendah dan relatif konstan
 WOR naik dengan cepat dan kontinyu
 Recovery-nya cukup tinggi yaitu sekitar 35 - 75%

Grafik1.19. Karakteristik Tekanan, PI, dan GOR


Pada Water Drive Reservoir

1.4.3.2.Gas Cap Drive Reservoir


Dalam beberapa tempat dimana terakumulasinya minyak bumi, kadang-
kadang pada kondisi reservoirnya komponen-komponen ringan dan menengah
dari minyak bumi tersebut membentuk suatu fasa gas. Gas bebas ini kemudian
melepaskan diri dari minyaknya dan menempati bagian atas dari reservoir itu
membentuk suatu tudung. Hal ini bisa merupakan suatu energi pendesak untuk
mendorong minyak bumi dari reservoir ke lubang sumur dan mengangkatnya ke
permukaan. Bila reservoir ini dikelilingi suatu batuan yang merupakan perangkap,
maka energi ilmiah yang menggerakkan minyak ini berasal dari dua sumber, yaitu
ekspansi gas cap dan ekspansi gas yang terlarut lalu melepaskan diri.
Mekanisme yang terjadi pada gas cap reservoir ini adalah minyak pertama
kali diproduksikan, permukaan antara minyak dan gas akan turun, gas cap akan
berkembang ke bawah selama produksi berlangsung. Untuk jenis reservoir ini,
umumnya tekanan reservoir akan lebih konstan jika dibandingkan dengan solution
gas drive. Hal ini disebabkan bila volume gas cap drive telah demikian besar,
maka tekanan minyak akan jadi berkurang dan gas yang terlarut dalam minyak
akan melepaskan diri menuju ke gas cap, dengan demikian minyak akan
bertambah ringan, encer, dan mudah untuk mengalir menuju lubang bor
(Gambar1.7.).
Kenaikan gas oil ratio juga sejalan dengan pergerakan permukaan ke
bawah, air hampir-hampir tidak diproduksikan sama sekali. Karena tekanan
reservoir relatip kecil penurunannya, juga minyak berada di dalam reservoirnya
akan terus semakin ringan dan mengalir dengan baik, maka untuk reservoir jenis
ini akan mempunyai umur dan recovery sekitar 20 - 40 %, yang lebih besar jika
dibandingkan dengan jenis solution gas drive. Sehingga residu oil yang masih
tertinggal di dalam reservoir ketika lapangan ini ditutup adalah lebih kecil jika
dibandingkan dengan jenis solution gas drive (Grafik 1.20.).
Dapat disimpulkan suatu reservoir dengan tenaga pendorong gas ini
mempunyai kelakuan seperti dibawah ini :
 Tekanan reservoir akan turun dengan lambat dan berlangsung secara
kontinyu
 GOR akan meningkat terus
 Produksi air diabaikan
 Perolehan minyak dapat mencapai 20 - 40 % dari total cadangan awal
dalam reservoir (initial oil in place).

Gambar 1.7.Gas Cap Drive Reservoir


Grafik1.20. Karakteristik Tekanan, PI, dan GOR
Pada Gas Cap Drive Reservoir

1.4.3.3.Solution Gas Drive Reservoir


Reservoir jenis ini disebut solution gas drive, depletion gas drive, atau
internal gas drive, disebabkan oleh karena energi pendesak minyaknya adalah
terutama dari perubahan fasa pada hidrokarbon-hidrokarbon ringannya yang
semula merupakan fasa cair menjadi gas. Kemudian gas yang terbentuk ini ikut
mendesak minyak ke sumur produksinya pada saat penurunan tekanan reservoir
karena produksi tersebut (Gambar 1.8.).
Setelah sumur selesai dibor menembus reservoir dan produksi minyak
dimulai, maka akan terjadi suatu penurunan tekanan di sekitar lubang bor.
Penurunan tekanan ini akan menyebabkan fluida mengalir dari reservoir menuju
lubang bor melalui pori-pori batuan. Penurunan tekanan disekitar sumur bor akan
menimbulkan terjadinya fasa gas. Pada saat awal, karena saturasi gas tersebut
masih kecil (belum membentuk fasa yang kontinyu), maka gas tersebut
terperangkap pada ruang antar butiran reservoirnya, tetapi setelah tekanan
reservoir tersebut cukup kecil dan gas sudah terbentuk banyak atau dapat bergerak
maka gas tersebut turut serta terproduksi ke permukaan (Gambar 1.8.).
Gas akan mengalir lebih cepat dibandingkan dengan minyak karena gas
mempunyai viskositas yang lebih kecil, lebih ringan darn umumnya tidak
mempunyai kebasahan gas pada batuarn reservoirnya. Bila gas mulai mengalir,
maka penurunan tekanan akan cepat dan gas yang terbentuk juga akan semakin
banyak. Hal ini mengakibatkan gas oil ratio (GOR) naik sampai pada suatu
tekanan tertentu dimana minyak dan gas sudah tidak mengalir lagi.

Gambar 1.8. Solution Gas Drive Reservoir

Grafik 1.21. Karakteristik Tekanan, PI, dan GOR Pada Solution Gas Drive Reservoir

Pada awal produksi, karena gas yang dibebaskan dari minyak masih
terperangkap pada sela-sela pori batuan, maka gas oil ratio produksi akan lebih
kecil jika dibandingkan dengan gas oil ratio reservoir. Gas oil ratio produksi akan
bertambah besar bila gas pada saluran pori-pori tersebut mulai bisa mengalir, hal
ini terus-menerus berlangsung hingga tekanan reservoir menjadi rendah. Bila
tekanan telah cukup rendah maka gas oil ratio akan menjadi berkurang sebab
volume gas di dalam reservoir tinggal sedikit. Dalam hal ini gas oil produksi dan
gas oil ratio reservoir harganya hampir sama. Pada Grafik 1.21. memperlihatkan
karakteristik tekanan dan GOP pada reservoir depletion drive.
Air yang diproduksikan dari reservoir ini sangat sedikit bahkan hampir-
hampir tidak ada. Hal ini karena reservoir jenis ini sifatnya terisolir, sehingga
meskipun terdapat connate water tetapi hampir-hampir tidak dapat diproduksi atau
ikut terproduksi bersama minyak.
Recovery yang mungkin diperoleh sekitar 5 - 30 %. Dengan demikian
untuk reservoir jenis ini pada tahap teknik produksi primernya akan meninggalkan
residual oil yang cukup besar. Sehingga bila sisa minyak ini akan diproduksikan
juga, maka perlu dipergunakan suatu energi tertentu ke dalam suatu reservoir
untuk mempengaruhi tekanan atau sifat fisik sistem fluida reservoirnya, sehingga
dengan demikian diharapkan sisa minyak yang tertinggi dapat diperkecil.
Dapat disimpulkan suatu reservoir solution gas drive mempunyai kelakuan
seperti dibawah ini :
 Tekanan reservoir turun dengan cepat dan berlangsung secara kontinyu.
 Perbandingan gas-minyak (GOR) mula-mula cukup rendah, kemudian naik
sampai maksimum dan turun dengan tajam.
 Efisiensi perolehan minyak berkisar 5 - 30 %
 Produksi air dianggap tidak ada.

1.4.3.4.Segregation Drive Reservoir


Segregation drive reservoir atau gravity drainage merupakan energi
pendorong minyak bumi yang berasal dari kecenderungan gas, minyak, dan air
membuat suatu keadaan yang sesuai dengan massa jenisnya (karena gaya
gravitasi).
Gravity drainage mempunyai peranan yang penting dalam memproduksi
minyak dari suatu reservoir. Sebagai contoh bila kondisinya cocok, maka recovery
dari solution gas drive reservoir bisa ditingkatkan dengan adanya gravity drainage
ini. Demikian pula dengan reservoir-reservoir yang mempunyai energi pendorong
lainnya.
Seandainya dalam reservoir itu terdapat tudung gas primer (primary gas
cap) maka tudung gas ini akan mengembang sebagai proses gravity drainage
tersebut. Reservoir yang tidak mempunyai tudung gas primer segera akan
mengadakan penentuan tudung gas sekunder (secondary gas cap).
Pada awal dari reservoir ini, gas oil ratio dari sumur-sumur yang terletak
pada struktur yang lebih tinggi akan cepat meningkat sehingga diperlukan suatu
program penutupan sumur-sumur tersebut. Diharapkan dengan adanya program
ini perolehannya minyaknya dapat mencapai maksimum.
Besarnya gravity drainage dipengaruhi oleh gravity minyak, permeabilitas
zona produktif, dan juga dari kemiringan dari formasinya. Faktor-faktor
kombinasi seperti misalnya, viskositas rendah, specific gravity rendah, mengalir
pada atau sepanjang zona dengan permeabilitas tinggi dengan kemiringan lapisan
cukup curam, ini semuanya akan menyebabkan perbesaran dalam pergerakan
minyak dalam struktur lapisannya (Gambar 1.9.).

Gambar 1.9.Gravitational Segregation Drive Reservoir

Dalam reservoir gravity drainage perembesan airnya kecil atau hampir


tidak ada produksi air. Laju penurunan tekanan tergantung pada jumlah gas yang
ada. Jika produksi semata-mata hanya karena gas gravitasi, maka penurunan
tekanan dengan berjalannya produksi akan cepat. Hal ini disebabkan karena gas
yang terbebaskan dari larutannya terproduksi pada sumur struktur sehingga
tekanan cepat akan habis.
Recovery yang mungkin diperoleh dari jenis reservoir gravity drainage ini
sangat bervariasi. Bila gravity drainage baik, atau bila laju produksi dibatasi untuk
mendapatkan keuntungan maksimal dari gaya gravity drainage ini maka recovery
yang didapat akan tinggi. Pernah tercatat bahwa recovery dari gravity drainage ini
melebihi 80% dari cadangan awal (IOIP). Pada reservoir dimana bekerja juga
solution gas drive ternyata recovery-nya menjadi lebih kecil (Grafik 1.22.).
Dapat disimpulkan suatu reservoir jenis ini mempunyai kelakuan :
 Penurunan tekanan relatif cepat
 GOR naik dengan cepat hingga maksimum kemudian turun secara
kontinyu
 Produksi air sangat kecil bahkan diabaikan
 Recovery sekitar 20 - 60 %

Grafik 1.22. Karakteristik Tekanan, PI, dan GOR PadaGravitational Segregation


Drive Reservoir

1.4.3.5.Combination Drive Reservoir


Sebelumnya telah dijelaskan bahwa reservoir minyak dapat dibagi dalam
beberapa jenis sesuai dengan jenis energi pendorongnya. Tidak jarang dalam
keadaan sebenarnya energi-energi pendorong ini bekerja bersamaan dan simultan.
Bila demikian, maka energi pendorong yang bekerja pada reservoir itu merupakan
kombinasi beberapa energi pendorong, sehingga dikenal dengan nama
combination drive reservoir.
Kombinasi yang umum dijumpai adalah antara gas cap drive dengan water
drive. Sehingga sifat-sifat reservoirnya jadi lebih kompleks jika dibandingkan
dengan energi pendorong tunggal (Gambar 1.10.).
Untuk reservoir minyak jenis ini, maka gas yang terdapat pada gas cap
akan mendesak kedalam formasi minyak, demikian pula dengan air yang berada
pada bagian bawah dari reservoir tersebut. Pada saat produksi minyak tidak
sempat berubah fasa menjadi gas sebab tekanan reservoir masih cukup tinggi
karena dikontrol oleh tekanan gas dari atas dan air dari bawah. Dengan demikian
peristiwa depletion untuk reservoir jenis ini dikatakan tidak ada, sehingga minyak
yang masih tersisa di dalam reservoir semakin kecil karena recovery minyaknya
tinggi dan efesiensi produksinya lebih tinggi.
Gambar 1.23. merupakan salah satu contoh kelakuan dari combination
drive dengan water drive yang lemah dan tidak ada tudung gas pada reservoirnya.
Gas oil ratio yang konstan pada awal produksi dimungkinkan bahwa tekanan
reservoir masih di atas tekanan jenuh. Di bawah tekanan jenuh, gas akan bebas
sehingga gas oil ratio akan naik.
Dapat disimpulkan suatu reservoir jenis ini mempunyai kelakuan seperti
dibawah ini :
 Penurunan tekanan relatif cukup cepat
 WOR akan naik secara perlahan
 Jika ada gas cap maka sumur-sumur yang terletak di struktur atas dari
reservoir tersebut akan mengalami peningkatan GOR dengan cepat.
 Faktor perolehan dari combination drive adalah lebih besar dibandingkan
dengan solution gas drive tetapi lebih kecil jika dibandingkan dengan gas
cap dan water drive.
Gambar 1.10. Combination Drive Reservoir

Grafik 1.23. Karakteristik Tekanan, PI, WOR, dan GOR Pada


Combination Drive Reservoir

1.5. Penentuan Cadangan


Cadangan adalah kuantitas (jumlah volume) minyak dan gas yang dapat
diperoleh atau diproduksikan secara komersial. Cadangan dapat ditindak lanjuti
untuk dihitung apabila telah memenuhi beberapa kriteria, antara lain adalah :
1. Telah diketemukan (discovered)
2. Dapat diambil (recoverable)
3. Memenuhi syarat komersialitas (commercial)
4. Adanya sejumlah volume yang tersisa (remaining).

Apabila telah terjadi produksi, maka cadangan terbukti sering disebut


“estimed remaining reserves” atau cadangan terbukti yang tertinggal. Jumlah
produksi dan cadangan terbukti yang tertinggal disebut “estimated ultimate
recovery” atau cadangan ultimate, sedangkan jumlah total minyak didalam
reservoir disebut sebagai “Initial Oil In Place” (IOIP), hanya sebagian IOIP yang
bisa diproduksikan sehingga menjadi cadangan terbukti.

EUR = CUM + ERR


dimana :
EUR : Estimed Ultimate Recovery atau cadangan ultimate
CUM : Cummulatif Production
ERR : Estimated Remaining Reserves atau cadangan terbukti tertinggal
IOIP = N : Initial Oil In Place atau Jumlah minyak didalam reservoir dan bukan
jumlah yang dapat diproduksikan
RF : Recovery Factor adalah presentase dari IOIP yang dapat
diproduksikan (RF = Cadangan Terbukti/IOIP)

Sebelum memasuki pokok materi yang akan dibahas, untuk lebih


memudahkan dalam pemahamannya, maka perlu mengetahui beberapa istilah
yang sering digunakan dalam menentukan cadangan atau pada umumnya dipakai
dalam Teknik Reservoir. Istilah tersebut meliputi pengertian cadangan, remaining
recoverable reserve, serta recovery factor.
 Cadangan atau reserve, merupakan jumlah hidrokarbon yangditemukan
dalam batuan reservoir dan hidrokarbon yang diproduksikan. Jumlah
minyak yang dapat diproduksi sampai batas ekonominya disebut Ultimate
Recovery. Jumlah minyak yang ada dalam reservoir pada keadaan awal
sebelum reservoir tersebut diproduksi disebut Original Oil In Place
(OOIP).
 Remaining Recoverable Reserve, yaitu jumlah hidrokarbonyang tersisa,
yang masih memungkinkan untuk dapat diproduksikan sampai batas
ekonominya.
 Recovery Factor, merupakan angka perbandingan antarahidrokarbon yang
dapat diproduksikan dengan jumlah minyak mula-mula dalam reservoir.
Recovery factor dipengaruhi oleh mekanisme pendorong, sifat fisik batuan
dan fluida reservoir tersebut.

Pada bagian ini akan dibahas dua hal pokok yang berhubungan dengan
cadangan, yaitu metode yang digunakan untuk memperkirakan besarnya
cadangan. Berdasarkan pada urutan proses eksplorasi reservoir dan untuk
memudahkan pemahaman, metode yang dapat digunakan dalam perhitungan
cadangan reservoir adalah sebagai berikut:
 Metode Volumetrik
 Metode Material Balance
 Metode Decline Curve

1.5.1. Metode Volumetrik


Perkiraan cadangan hidrokarbon dengan menggunakan metoda volumetrik
merupakan salah satu metoda yang paling sederhana, dimana dilakukan sebelum
tahap pengembangan dan data-data yang dibutuhkan juga belum banyak, hanya
data-data geologi serta sebagian data-data batuan dan fluida reservoir.
Persamaan untuk menghitung initial oil in place adalah :

………………………………………..(1-45)
Sedangkan untuk initial gas in place adalah :

………………………….(1-46)

Dengan melihat persamaan di atas, maka data-data yang dibutuhkan untuk


melakukan perkiraan cadangan adalah Vb, ϕ, Swi, Boi, dan Bgi. Data sifat-sifat
fisik batuan dan fluida reservoir diperoleh dari hasil laboratorium, sedangkan
untuk menentukan Vb diperlukan data-data geologi yang representatif.
Untuk menghitung bulk volume, harus dibuat peta isopach terlebih dahulu.
Peta isopach yaitu suatu peta yang menggambarkan garis-garis yang
menghubungkan titik-titik yang mempunyai ketebalan yang sama dari lapisan
produktif, seperti pada

Gambar 1.11.Peta Isopach Reservoir

Perhitungan volume batuan reservoir dengan menggunakan peta isopach


dibedakan menjadi dua persamaan, yaitu :
 Persamaan pyramidal.
 Persamaan trapezoidal.
a. Metoda Trapezoidal
Persyaratan utama dalam melakukan perhitungan dengan metoda
ini adalah perbandingan antara luas garis kontur yang berurutan harus
lebih besar dari 0.5. Secara matematik, persamaannya dapat ditulis sebagai
berikut :
h
Vb = 2 (An + An+1) ………………………………..(1-47)

(Vb = volume batuan, acre-ft; An = luas yang dibatasi garis kontur isopach
terendah, acre; An+1 = luas yang dibatasi garis kontur isopach diatasnya,
acre; h = interval antara garis kontur isopach, ft).

b. Metoda Pyramidal
Persyaratan utama metoda ini adalah perbandingan antara luas garis
kontur yang berurutan harus kurang atau sama dengan 0.5. Persamaannya
adalah :

Vb = 3 (An + An+1 + √𝐴𝑛 + 𝐴𝑛+1 ) ………………………..(1-48)

1.5.2. Metoda Material Balance


Metoda material balance dapat digunakan untuk memperkirakan besar
cadangan reservoir, dimana data-data produksi yang diperoleh sudah cukup
banyak. Prinsip dari metoda material balance ini didasarkan pada prinsip
kesetimbangan volumetrik yang menyatakan bahwa, apabila volume suatu
reservoir konstan, maka jumlah aljabar dari perubahan-perubahan volume minyak,
gas bebas dan air dalam reservoir harus sama dengan nol.
Persamaan umum material balance untuk menghitung cadangan adalah
sebagai berikut:
𝑁𝑝 +[𝐵𝑡 +(𝑅𝑝 − 𝑅𝑠𝑖 )]−(𝑊𝑒 − 𝑊𝑝 𝐵𝑤 )
N= 𝑚𝐵𝑡𝑖 ………………………..(1-49)
𝐵𝑡 − 𝐵𝑡𝑖 + (𝐵𝑔− 𝐵𝑔𝑖 )
𝐵𝑔𝑖
(Np = kumulatif produksi; B = faktor volume formasi; Rp = gas oil ratio,
SCF/STB; Rsi = kelarutan gas dalam minyak pada tekanan awal, SCF/STB; We =
water influx; WpBw = produksi air; subscript: t = total, i = pada tekanan awal).
Persamaan umum material balance tersebut diatas, akan berubah
tergantung dari jenis mekanisme pendorong dari reservoirnya, dengan ketentuan
sebagai berikut:
 Solution Gas Drive reservoir, m = 0, Wp = 0, We = 0.
 Water Drive reservoir, m = 0.
 Gas Cap Drive reservoir, We = 0.
 Combination Drive reservoir berlaku persamaan umum.

1.5.3. Metode Decline Curve


Secara alamiah, laju produksi akan mengalami penurunan sejalan dengan
waktu. Decline curve merupakan suatu metoda yang menggambarkan penurunan
kondisi reservoir dan produksinya terhadap waktu. Pada prinsipnya, metoda
decline curve adalah membuat grafik hubungan antara laju produksi terhadap
waktu atau laju produksi terhadap produksi kumulatif, seperti yang terlihat pada
gmbar dibawah ini.

Grafik 1.24. Kurva Umum Decline Curve

Bentuk kurva penurunan laju produksi dapat dibagi menjadi tiga, yaitu :
 Exponential decline,
 Hyperbolic decline dan
 Harmonic decline.
a. Exponential Decline Curve
Bentuk decline curve ini mempunyai harga laju penurunan
produksi per satuan waktu sebanding dengan laju produksinya. Persamaan
dasar dari exponential decline curve adalah sebagai berikut:
𝑞
𝑑( )
𝑑𝑞/𝑑𝑡
-b = ………………………………………..(1-50)
𝑑𝑡

Integrasikan persamaan di atas, maka diperoleh:

𝑞
- (bt + a) = 𝑑𝑞/𝑑𝑡 ………………………………………..(1-51)

(a = decline rate; b = konstanta yang merupakan selisih antara decline rate


pada selang periode).
Untuk exponential decline, besarnya penurunan (decline rate) adalah
konstan, sehingga harga b = 0, dan persamaan diatas menjadi:
𝑞
- a = 𝑑𝑞/𝑑𝑡 ………………………………………..(1-52)

Dengan mengintegrasikan persamaan tersebut, dimana qi adalah laju


produksi mula-mula dan qt adalah laju produksi pada saat t, maka secara
matematik dapat dibuat hubungan sebagai berikut:
………………………………………………………….
qt = qie-t/a (1-53)

Harga Np (produksi kumulatif) diperoleh dengan menggunakan persamaan


berikut:
𝑡
Np = ∫0 𝑞𝑡 𝑑𝑡 ………………………………………..(1-54)

Dengan mensubstitusikan Persamaan (1-53) ke dalam Persamaan(1-


54)diperoleh persamaan berikut:
Np = a(qi – qt) ………………………………………..(1-55)
b. Hyperbolic Decline Curve
Besarnya laju penurunan (decline rate) pada hyperbolic decline
tidak konstan, melainkan selalu berubah, dimana besarnya laju penurunan
akan menunjukkan suatu deret hitung dan harga b akan berkisar antara 0
(nol) hingga 1 (satu). Dengan cara yang sama dengan eksponential decline
curve, persamaan produksi kumulatif adalah:
𝑞𝑏 𝑎
𝑖
Np = 1−𝑏 (𝑞𝑖 1−𝑏 − 𝑞𝑡1−𝑏 ) ………………………………..(1-56)

c. Harmonic Decline Curve


Pada harmonic decline, penurunan laju produksi per satuan waktu
berbanding lurus terhadap laju produksinya. Bentuk kurva harmonic
decline merupakan bentuk khusus dari hyperbolic decline, yaitu untuk
harga b = 1. Jadi persamaan laju produksi kumulatifnya adalah sebagai
berikut:
𝑞
Np = aqi ln 𝑞𝑖 ……………………………………….(1-57)
𝑡

1.5.4. Simulasi Reservoir


Pengertian kata simulasi adalah proses pemanfaatan model buatan yang
dibuat untuk mewakili karakteristik reservoir, dengan tujuan untuk mempelajari,
mengetahui ataupun memperkirakan kelakuan dan kinerja aliran fluida pada
reservoir tersebut. Terdapat beberapa macam metode yang dapat digunakan dalam
pembuatan tiruan sistem tersebut, yang biasa disebut sebagai model. Jenis model
yang dapat digunakan pada simulasi adalah model analog, model fisik, dan model
matematik.
Secara umum simulasi reservoir digunakan sebagai acuan dalam
perencanaan manajemen reservoir, antara lain sebagai berikut:
 Memperkirakan kinerja reservoir pada berbagai tahapan dan metode
produksi yang diterapkan:
- Sembur alam
- Pressure maintenance
- Reservoir energy maintenance (secondary recovery)
- Enhanced oil recovery (EOR)
 Mempelajari pengaruh laju alir terhadap perolehan minyak dengan
menentukan laju alir maksimum (maximum efficient rate, MER).
 Menentukan jumlah dan lokasi sumur untuk mendapatkan perolehan
minyak yang optimum.
 Menentukan pola sumur injeksi dan produksi untuk mengoptimalkan pola
penyapuan.
 Memperhitungkan adanya indikasi coning dalam menentukan interval
komplesi yang optimum serta pemilihan jenis sumur, vertikal, atau
horizontal.

1.5.4.1.Jenis Simulasi
Jenis simulasi secara garis besar dibedakan menjadi 3, antara lain:
 Black Oil Simulation
Black oil simulation digunakan untuk kondisi isothermal, aliran
simultan dari minyak, gas, dan air yang berhubungan dengan viskositas,
gaya gravitasi dan gaya kapiler. Komposisi fasa dianggap konstan walau
kelarutan gas dalam minyak dan air ikut diperhitungkan. Hasil studi ini
biasanya digunakan untuk studi injeksi air dan juga untuk peramalan.
 Thermal Simulasi
Simulasi jenis ini digunakan untuk studi aliran fluida, perpindahan
panas maupun reaksi kimia. Biasanya digunakan untuk studi injeksi uap
panas dan pada proses perolehan minyak tahap lanjut (in situ combution).
 Compotional Simulasi
Simulasi reservoir ini digunakan untuk berbagai komposisi fasa
hidrokarbon yang berubah terhadap tekanan. Biasanya simulasi ini
digunakan untuk studi perilaku reservoir yang berisi volatile oil dan gas
condensat.
1.6. Uji Sumur
Tujuan utama dari suatu pengujian sumur hidrokarbon, atau yang telah
dikenal luas dengan sebutan “Well Testing”, yaitu untuk menentukan kemampuan
suatu lapisan atau formasi untuk berproduksi. Wellbore storage merupakan
lubang sumur yang tersi fluida, dimana tekanan pengukuran belum mencerminkan
tekanan reservoir tetapi menentukan tekana kondisi lubang sumur. Apabila
pengujian ini dirancang secara baik dan memadai, kemudian hasilnya dianalisa
secara tepat, maka akan banyak sekali informasi-informasi yang sangat berharga
akan didapatkan seperti:
 Permeabilitas efektif fluida
 Kerusakan atau perbaikan formasi disekeliling lubang bor yang diuji.
 Tekanan reservoir
 Batas suatu reservoir
 Bentuk radius pengurasan
 Keheterogenan suatu lapisan

Jenis uji sumur yang biasa digunakan antara lain adalah:


 Drill steam test (DST),
 Uji tekanan (pressure test),
 Analisa PVT, dan
 Uji produksi (production test)

a. Drill Steam Test (DST)


Drill steam test merupakan uji sumur yang digunakan untuk
memastikan apakah suatu formasi dapat dikategorikan sebagai formasi
produktif atau tidak. Dilihat dari hasil analisa cutting dan logging. Pada
drill steam test ini menggunakan rangkaian peralatan DST disambungkan
dengan rangkaian drill string kemudian diturunkan sampai zona test.
b. Uji Tekanan (Pressure Test)
Uji tekanan menggunakan prinsip pengukuran perubahan tekanan
terhadap waktu selama periode penutupan atau pada periode pengaliran.
Penutupan sumur dimaksudkan untuk mendapatkan keeimbangan tekanan
dieluruh reservoir, peridoe pengaliran sebelum atau sesudah periode
penutupan dengan laju konstan. Parameter yang diukur adalah tekanan
static (Pws), tekanan aliran dasar sumur (Pwf), tekanan awal reservoir (Pi),
skin factor (S), permeabilitas rata-rata (k), volume pengurasan (Vd) dan
radius pengursan (re).
Metode uji tekanan pada sumur minyak yang umum digunakan ada
dua macam, yaitu:
 Pressure Build-Up Test
Uji build-up tekanan adalah suatu teknik pengujian tekanan
transien yang paling sering digunakan. Build-Up test sering
digunakan untuk menstabilkan rate dan stabil pressure. Pada
dasarnya, pengujian ini dilakukan pertama-tama dengan
memproduksi sumur selama suatu selang waktu tertentu dengan
laju aliran yang tetap, kemudian menutup sumur tersebut. PBU
dapat dilakukan saat periode pengeboran maupun selama periode
produksi. Asumsi dalam pengujian pressure Build-Up Test:
a. Sumur ditutup tepat di depan perforasi.
b. Tidak ada aliran masuk kedalam sumur.
c. Fluida didalam reservoir mengair menuju sekeliling sumur
sampai tekanan diseluruh reservoir sama.
 Pressure Draw-down Test
Pressure drawdown testing adalah suatu pengujian yang
dilaksanakan dengan jalan membuka sumur dan mempertahankan
laju produksi tetap selama pengujian berlangsung. Sebagai syarat
awal, sebelum pembukaan sumur tersebut, tekanan hendaknya
seragam diseluruh reservoir yaitu dengan menutup sumur
sementara waktu agar dicapai keseragaman tekanan reservoirnya.
Pengujian pressure drawdown biasanya digunakan pada sumur:
a. Sumur baru
b. Sumur lama yang telah ditutup sekian lama sekian lama
hingga dicapai keseragaman tekanan reservoir.
Metode uji tekanan pada sumur gas yang umum digunakan ada tiga
macam, yaitu:
 Back Pressure
 Isochronal Test
 Modified Isochronal Test
BAB II
TEKNIK PEMBORAN

Operasi pemboran merupakan pekerjaan yang membutuhkan biaya besar


atau padat modal, menggunakan teknologi tinggi dan beresiko tinggi. Para
personel yang bekerja pada operasi pemboran harus mempunyai pengetahuan
yang baik juga tentang keselamatan kerja. Sehingga operasi pemboran dapat
berjalan lancar, dan kecelakaan kerja dapat dihindari.
Pemboran adalah usaha secara teknis membuat lubang dengan aman
sampai menembus lapisan formasi yang kaya akan minyak atau gas dengan
diameter dan kedalaman yang sudah ditentukan. Lubang tersebut kemudian
dilapisi dengan casing dan disemen, dengan maksud untuk menghubungkan
lapisan formasi tersebut dengan permukaan bumi yang memungkinkan
penambangan minyak atau gas secara komersial. Secara umum tujuan membuat
lubang bor adalah untuk membuktikan bahwa adanya minyak atau gas dalam
suatu reservoir yang ditembus serta sarana mengalirkan minyak atau gas dari
reservoir ke permukaan bumi. Dalam pembuatan lubang untuk mencapai
kedalaman tertentu tersebut, yang harus diperhatikan adalah mempertahankan
ukuran diameter lubang. Pekerjaan terpenting yang lain adalah membawa serpihan
batuan (cutting) ke permukaan. Dalam dunia perminyakan kegiatan pemboran
sangat kompleks, dimana dalam kegiatan pemboran mempunyai dua buah
parameter yaitu :

a. Parameter Tidak Dapat Diubah


Parameter ini tidak dapat diubah dalam kegiatan pemboran karena
berhubungan dengan kondisi fisik dari lokasi pemboran tersebut, sehingga
kita harus menyesuaikan. Parameter ini meliputi :
 Kondisi formasi, yang meliputi tekanan dan temperature suatu
formasi.
 Sifat dan jenis formasi
b. Parameter Yang Dapat Diubah
Dimana parameter ini dapat diubah–ubah sesuai dengan formasinya
atau sesuai dengan keefektifan kegiatan pemboran. Parameter ini meliputi :
 Rate of Penetration.
 Weight on Bit.

Kegiatan pemboran dalam dunia perminyakan meliputi :


 Penambahan kedalaman.
 Mempertahankan diameter lubang bor.
 Mengangkat hasil pemboran ke permukaan.

Dalam pemboran yang harus benar–benar diperhatikan adalah efisiensinya,


karena hal tersebut menyangkut faktor pembiayaan. Didalam pemboran terdapat
macam-macam pemboran, antara lain yaitu : Pemboran eksplorasi (wild cat),
Pemboran deliniasi, dan Pemboran pengembangan (infill drilling).
Untuk mendapatkan efisiensi yang besar dan hasil yang optimum, perlu
adanya perencanaan yang sangat matang dan cermat dalam suatu kegiatan
pemboran. Perencanaan yang dimaksud meliputi perencanaan peralatan pemboran
yang akan digunakan, perencanaan sistem lumpur dan hidrolikanya, perencanaan
casing, perencanaan penyemenan dan lain sebagainya.

2.1. Perencanaan Peralatan Pemboran


Pada kegiatan pemboran peralatan pemboran (drilling Rig) dibagi menjadi
beberapa bagian sistem yaitu sebagai berikut:
1. Power System (Sistem Tenaga)
2. Hoisting System (Sistem Angkat)
3. Rotating System (Sistem Putar)
4. Circulating System (Sistem Sirkulasi)
5. BOP System (Sistem Pencegah Sembur Liar)
2.1.1. Sistem Tenaga (Power System)
Sistem tenaga dalam operasi pemboran terdiri dari power suplay
equipment, yang dihasilkan oleh mesin – mesin besar yang biasa dikenal dengan
nama “prime mover” dan distribution equipment yang berfungsi untuk
meneruskan tenaga yang diperlukan untuk mendukung jalannya kegiatan
pemboran. Hampir sebagian besar daya yang tersedia pada rig dikonsumsi oleh
hoisting system dan circulating system. Untungnya, hoisting dan circulating
system memerlukan daya tidak secara bersamaan, sehingga mesin yang sama
dapat menyediakan daya untuk kedua sistem tersebut. Total daya yang umum
diperlukan dalam sebuah rig dari 1000 sampai 3000 Hp.
Rig modern sumber penggeraknya biasanya berasal dari internal-
combustion diesel-engine dan secara umum diklasifikasikan menjadi :
1. Diesel-electric type
2. Direct-drive type
Tergantung dari metoda yang digunakan untuk mentransmisikan daya
tersebut ke berbagai sistem dalam rig.
Gambar 2.1. Sistem Tenaga

2.1.2. Sistem Angkat (Hoisting System)


Sistem angkat (hoisting system) merupakan salah satu komponen utama
dari peralatan pemboran. Fungsi utama sistem ini adalah memberikan ruang kerja
yang cukup untuk pengangkatan dan penurunan rangkaian pipa bor dan peralatan
lainnya. Sistem angkat terdiri dari dua bagian utama, yaitu :
1. Supporting Structure
Supporting structure adalah konstruksi menara yang ditempatkan
diatas titik bor. Fungsi utamanya adalah untuk menyangga peralatan –
peralatan pemboran dan juga memberi ruang yang cukup bagi operasi
pemboran. Supporting strucure terdiri dari drilling tower (derrick atau
mast), sub structure dan rig floor. Drilling tower atau biasa disebut menara
pemboran dibagi menjadi tiga jenis, yaitu :
a. Conventional atau standart derrick
b. Portable Skid Mast.
c. Mobile atau trailer mounted type mast.

Menara tipe standar (derrick) tidak dapat didirikan dalam satu unit,
akan tetapi pendiriannya disambung bagian demi bagian. Menara jenis ini
banyak digunakan pada pemboran sumur dalam dimana membutuhkan
lantai yang luas untuk tempat pipa – pipa pemboran. Untuk memindahkan
derrick ini harus dilepas satu persatu bagian kemudian dirangkai kembali
di suatu tempat yang telah ditentukan letaknya. Menara tipe portable posisi
berdirinya dari bagian yang dikaitkan satu dengan lainnya dengan
menggunakan las maupun scrup. Tipe ini dapat juga didirikan dengan cara
ditahan oleh telescoping dan diperkuat oleh tali–tali yang ditambatkan
secara tersebar. Dibandingkan tipe derrick, tipe menara ini lebih murah,
mudah dan cepat dalam pendiriannya, transportnya murah, tetapi dalam
penggunaannya terbatas pada pemboran yang tidak terlalu dalam.
Menurut API menara yang terbuat dari besi baja tercantum dalam
standar 4A dan menara kayu tercantum standar 4B. Sedangkan untuk tipe
mast termasuk dalam 4D. Ukuran menara pemboran yang penting ialah
kapasitas, tinggi, luas lantai dan tinggi lantai bor. Ukuran kekuatan derrick
dibagi berdasarkan dua jenis pembebanan, yaitu :
a. CompressiveLoad
b. WindLoad

Sedangkan compressive load dapat dihitung dari jumlah berat yang


diderita hook ditambah dengan jumlah berat menara itu sendiri (yang
diderita oleh kaki – kaki pada substructure).
Gambar 2.2. Menara Bor Standar Derrick

Gambar 2.3. Standart Rig (a) dan Portable Rig (b)


escoping
mast
hydrolic
ram

drawwork

engine

Stand In

Packed

Gambar.2.4 Mobile / Trailer Mounted Type Mast

2. Hoisting system
Peralatan pengangkatan terdiri dari :
a. Drawwork
Drawwork merupakan otak dari derrick, karena melalui drawwork,
seorang driller melakukan dan mengatur operasi pemboran.
Drawwork juga merupakan rumah atau tempat dari gulungan
drilling line. Desain daripada drawwork tergantung dari beban yang
harus dilayani, biasanya didisain dengan horse power (Hp) dan
kedalaman pemboran, dimana kedalamannya harus disesuaikan
dengan drillpipe-nya.

Gambar 2.5. Skema Instalasi Drawwork


b. Overhead tools
Overhead tool merupakan rangkaian sekumpulan peralatan yang
terdiri dari crown block, traveling block, hook dan elevator.
c. Drilling line
Drilling line terdiri dari reveed drilling line, dead line, dead line
anchor dan storage and suplay. Drillingline digunakan untuk
menahan (menarik) beban pada hook. Drillingline terbuat dari baja
dan merupakan kumpulan kawat baja yang kecil dan diatur
sedemikian rupa hingga merupakan suatu lilitan. Lilitan ini terdiri
dari enam kumpulan dan satu bagian tengah yang disebut “core”
dan terbuat dari berbagai macam bahan seperti plastic dan textile.

crown block
water table

drilling lines

travelling block
latch for
elevator link

safety latch
for hook

Hook

Gambar 2.6. Over-head Tools

fast line

reeved
drilling line

dead line
anchor

supply reel
(storage)

Gambar 2.7. Drilling Line


Gambar 2.8. Sistem Pengangkatan

2.1.3. Sistem Putar (Rotary System)


Fungsi utama dari sistem putar (rotary system) adalah untuk memutar
rangkaian pipa bor dan juga memberikan beratan di atas pahat untuk membor
suatu formasi. Rotarysystem terdiri dari tiga sub komponen, yaitu :
1. Rotaryassembly
Peralatan putar berfungsi untuk :
a. Memutar rangkaian pipa bor selama operasi pemboran
berlangsung.
b. Menggantungkan rangkaian pipa bor yaitu dengan slip yang
dipasang (dimasukkan) pada rotary table ketika disambung atau
melepas bagian-bagian drill pipe.

Peralatan putar ditempatkan pada lantai bor di bawah crownblock diatas


lubang, terdiri dari :
a. Meja putar (rotary table).
b. Top drive.
c. Masterbushing
d. Kelly bushing.
e. Rotary slip.
2. Rangkaian pipa pemboran.
Rangkaian pipa bor menghubungkan antara swivel dan mata bor, berfungsi
untuk :
a. Menaik turunkan mata bor.
b. Memberikan beban diatas pahat untuk penembusan (penetration).
c. Meneruskan putaran ke mata bor dan
d. Menyalurkan fluida pemboran yang bertekanan ke mata bor.

Rangkaian pipa bor, meliputi :


a. Swivel.
b. Kelly.
c. Drill Pipe.
d. HWDP.
e. Drill Collar.

3. Mata bor atau bit.


Mata bor merupakan peralatan yang langsung menyentuh formasi,
berfungsi untuk menghancurkan dan menembus formasi, dengan cara
memberi beban pada mata bor. Jenis-jenis mata bor terdiri dari :
a. Drag Bit
b. Roller-cone Bit
c. Diamond Bit

Sistem putar yang digunakan pada pemboran minyak terbagi menjadi dua,
yaitu :
1. Sistem Putaran Konvensional (menggunakan rotary table).
Digerakkan oleh power yang sama, yang digunakan pada sistem
angkat. Bisa digunakan bersama-sama atau sendiri-sendiri. Pada sistem
konvensional ini memerlukan alat yang disebut Kelly.
2. Sistem Putar Modern (Top Drive)
Merupakan sistem putar tetapi sudah tidak menggunakan rotary
table (meja putar) tetapi sudah mempunyai mesin penggerak sendiri yang
terpisah dengan sistem angkat. Pada sistem putar terdapat pipa putar yang
mentransmisikan putaran dari meja putar ke bit / pahat.

Kelly

Penampang
Kelly

Master Bushing

Gambar 2.9. Skema Rotary Table Dengan Master Bushing

Gambar 2.10. Skema Sistem Putar Dengan Rotary Table


Gambar 2.11. Skema Sistem Putar Dengan Top Drive

2.1.4. Sistem Sirkulasi


Sistem sirkulasi terdiri dari empat sub-komponen utama, yaitu :
1. Fluida Pemboran.
Fluida pemboran adalah merupakan suatu campuran cairan (liquid)
dari beberapa komponen yang terdiri dari : air (tawar atau asin), minyak,
tanah liat (clay), bahan-bahan kimia (chemical additif), gas, udara, busa
maupun detergen. Dilapangan fluida pemboran dikenal sebagai ” lumpur ”.
Dalam penentuan komposisinya ditentukan oleh kondisi lubang bor dan
jenis formasi yang di tembus mata bor. Ada dua hal penting dalam
penentuan komposisi lumpur pemboran, yaitu :
a. Semakin ringan dan encer suatu lumpur pemboran, semakin besar
laju penembusan.
b. Semakin berat dan kental suatu lumpur pemboran, semakin mudah
untuk mengontrol kondisi di bawah permukaan, seperti masuknya
fluida formasi bertekanan tinggi (dikenal sebagai ” kick ”). Bila
keadaan ini tidak dapat diatasi akan menyebabkan terjadinya
semburan liar (blowout).
2. Tempat Persiapan
Ditempatkan pada sistem sirkulasi dimulai yaitu dekat pompa
Lumpur. Tempat persiapan meliputi :
a. Mud house.
b. Steel mud pits / tanks.
c. Mixing hopper.
d. Chemical mixing barrel.
e. Bulk mud storage bins.
f. Water tanks.
g. Reserve pit.

3. Peralatan Sirkulasi.
Peralatan sirkulasi merupakan komponen utama dalam system
sirkulasi, turun kerangkaian pipa bor dan naik ke annulus membawa
serbuk bor kepermukaan menuju conditioning area sebelum kembali ke
mud pits untuk sirkulasi kembali. Peralatan sirkulasi terdiri dari beberapa
komponen khusus :
a. Mud pit
b. Mud pump.
c. Pump dischangeandreturn lines.
d. Stand pipe.
e. Rotary house.

4. Conditioning Area.
Ditempatkan dekat rig. Area ini terdiri dari peralatan-perlatan
khusus yang digunakan untuk “clean up“ Lumpur pemboran setelah keluar
dari lubang bor. Fungsi utama peralatan-peralatan ini adalah untuk
membersihkan Lumpur bor dari serbuk bor (cutting) dan gas-gas yang
terbawa. Ada dua metode pokok untuk memisahkan cutting dan gas.
Pertama yaitu menggunakan prinsip gravitasi, dimana Lumpur dialirkan
melalui shale shaker dan setling tanks. Kedua yaitu secara mekanik,
dimana peralatan-peralatan khusus yang dipasang pada mud pits dapat
memisahkan Lumpur dan gas. Peralatannya terdiri dari :
a. Settling tanks : merupakan bak terbuat dari baja digunakan untuk
menampung lumpur bor selama conditioning.
b. Reserve pits : merupakan kolam besar yang digunakan untuk
menmpung cutting dari dalam lubang bor dan kadang-kadang untuk
menampung kelebihan lumpur bor.
c. Mud-gas separator : merupakan suatu peralatan yang memisahkan
gas yang terlarut dalam lumpur bor dalam jumlah besar.
d. Shale shaker : merupakan peralatan yang memisahkan cuttings
yang besar dari lumpur bor.
e. Desander : merupakan peralatan yang memisahkan butir-butir pasir
dari lumpur.
f. Desilter : merupakan peralatan yang memisahkan partikel-partikel
cutting yang berukuran paling halus dari lumpur.
g. Degasser : merupakan peralatan yang secara kontinyu memisahkan
gas terlarut dari lumpur.

Gambar 3.12. Sistem Sirkulasi


2.1.5. Sistem Pencegah Semburan Liar (BOP System)
Sistem pencegahan sembur liar (blow out preventer) dipasang untuk
menahan tekanan dari lubang bor. Peralatan ini disediakan pada operasi pemboran
karena peramalan tekanan tidak selalu memungkinkan.Apabila formasi
mempunyai tekanan yang besar dan kolom lumpur tidak dapat mengimbanginya
maka akan terjadi “kick”, yaitu intrusi fluida formasi yang bertekanan tinggi yang
masuk ke dalam lubang bor. Kick yang tidak terkendali dapat mengakibatkan
terjadinya blow out. Jadi blowout selalu diawali dengan adanya kick.
Blow Out Preventer (BOP) system berfungsi untuk menutup ruang annular
antara drillpipe dan casing bila terjadi gejala kick. Sistem peralatan ini bekerja
secara pneumatic (biasanya dipakai dengan menggunakan udara dan gas) dan
secara mekanik.BOP sistem terdiri dari BOP stack, accumulator dan
supportingsystem. BOP stack terdiri dari rangkaian annular preventer, pipe ram
preventer, drilling spools, blind ram preventer dan casing head. Kesemuanya ini
disetkan pada surface casing. Sedangkan tipe dan ukurannya disesuaikan dengan
kondisi tekanan lubang bor dan disesuaikan dengan ke ekonomiannya.
1. BOP Stack dan Accumulator.
Ditempatkan pada kepala casing atau kepala sumur langsung di
bawah rotary table pada lantai bor. BOP stack meliputi :
a. Annular preventer.
Ditempatkan paling atas dari susunan BOP stack. Annular
preventer berisi rubber packing element yang dapat menutup
lubang annulus baik lubang dalam keadaan kosong ataupun ada
rangkaian pipa bor.
b. Pipe ram preventer.
Digunakan untuk menutup lubang annulus baik lubang pada waktu
rangkaian pipa bor berada pada lubang bor.
c. Drilling spool.
Terletak diantara preventers (pada casing head). Berfungsi sebagai
tempat pemasangan choke line (yang mensirkulasikan “kick”
keluar dari lubang bor). Ram preventer pada sisa-sisanya
mempunyai “cutlets” yang digunakan untuk maksud yang sama.
d. Blind ram preventer.
Digunakan untuk menutup lubang bor pada waktu rangkaian pipa
bor tidak berada pada lubang bor.
e. Casing head.
Merupakan alat tambahan pada bagian atas casing yang berfungsi
sebagai pondasi BOP stack.

Accumulator biasanya ditempatkan agak jauh dari rig dengan


pertimbangan keselamatan, fungsi utamanya adalah menutup dengan cepat
valve BOP stack pada saat terjadi bahaya. Bekerja dengan ” high pressure
hydroulis ”.

2. Supporting Sistem,
meliputi :
a. Choke manifold
Choke manifold merupakan suatu kumpulan fitting dengan
beberapa outlet yang dikendalikan secara manual dan atau
otomatis. Bekerja pada BOP stack dengan ”high pressure line”,
disebut ”choke line”. Bila dihidupkan, choke manifold membantu
menjaga back pressure dalam lubang bor untuk mencegah
terjadinya intrusi fluida formasi. Lumpur bor dapat dialirkan dari
BOP stack ke sejumlah valve (yang membatasi aliran dan langsung
ke reserve pits), mud-gas separator atau mud conditioning area
back pressure dijaga sampai lubang bor dapat di kontrol kembali.

b. Kill line.
Kill line bekerja pada BOP stack biasanya berlawanan, berlangsung
dengan choke manifold dan choke line. Lumpur berat dipompakan
melalui kill line ke dalam Lumpur bor sampai tekanan hidrostatik
Lumpur dapat mengimbangi tekanan formasi.

Gambar 3.13. Skema Penampang BOP

2.1.6. Macam-Macam Rig Pemboran


Rig pengeboran bisa berada di atas tanah (on shore) atau di atas laut/lepas
pantai (off shore) tergantung kebutuhan pemakaianya. Walaupun rig lepas pantai
dapat melakukan pengeboran hingga ke dasar laut untuk mencari mineral-mineral,
teknologi dan keekonomian tambang bawah laut belum dapat dilakukan secara
komersial. Jenis-jenis rig pengeboran ada beberapa diantaranya, yaitu:

Gambar 2.14 Rig Pengeboran


1. Land Rig
Merupakan rig yang beroperasi di daratan dan dibedakan atas rig
besar dan rig kecil. Pada rig kecil biasanya hanya digunakan untuk
pekerjaan sederhana seperti Well Service atau Work Over. Sementara itu,
untuk rig besar bisa digunakan untuk operasi pemboran, baik secara
vertikal maupun directional. Rig darat ini sendiri dirancang secara portable
sehingga dapat dengan mudah untuk dilakukan pembongkaran dan
pemasangannya dan akan dibawa menggunakan truk. Untuk wilayah yang
sulit terjangkau, dapat menggunakan heliportable.

Gambar 2.15 Land Rig

2. Swamp Barge Rig


Merupakan jenis rig laut yang hanya pada kedalaman maksimum 7
meter. Dan sangat sering dipakai pada daerah rawa-rawa dan delta sungai.
Rig jenis ini dilakukan dengan cara memobilisasi rig ke dalam sumur,
kemudian ditenggelamkan dengan cara mengisi Ballast Tanksnya dengan
air. Pada rig jenis ini, proses pengeboran dilakukan setelah rig duduk
didasar dan Spud Cannya tertancap didasar laut.
Gambar 2.16 Swamp Barge Rig

3. Jackup Rig
Rig jenis ini menggunakan platform yang dapat mengapung dengan
menggunakan tiga atau empat kakinya. Kaki-kaki pada rig ini dapat
dinaikan dan diturunkan, sehingga untuk pengoperasiannya semua kakinya
harus diturunkan hingga ke dasar laut. Kemudian, badan dari rig ini
diangkat hingga di atas permukaan air dan memiliki bentuk seperti
platform. Untuk melakukan perpindahan tempat, semua kakinya harus
dinaikan dan badan rignya akan mengapung dan ditarik menggunakan
kapal. Pada operasi pengeboran menggunakan rig jenis ini dapat mencapai
kedalaman lima hingga 200 meter.

Gambar 2.17. Jack Up Rig


4. Semi-submersible Rig
Jenis rig yang sering disebut “semis” ini merupakan model rig yang
mengapung (Flooded atau Ballasted) yang menggunakan Hullatau
semacam kaki. Rig ini dapat didirikan dengan menggunakan tali mooring
dan jangkar agar posisinya tetap diatas permukaan laut. Dengan
menggunakanThruster (semacam baling-baling) yang berada
disekelilingnya, dan Ballast Control System, sistem ini dijalalankan
dengan menggunakan komputer sehingga rig ini mampu mengatur
posisinya secara dinamis dan pada level diatas air sesuai keinginan. Rig ini
sering dipakai jika Jackup Rig tidak mampu menjangkau permukaan dasar
laut. Karena jenis rig ini sangat stabil, maka rig ini sering dipakai pada
lokasi yang berombak besar dan memiliki cuaca buruk, dan pada
kedalaman 90 hingga 750 meter.

Gambar 2.18 Semi-Submersible Rig

5. Drill Ship
Merupakan jenis rig yang bersifat mobile dan diletakan di atas
kapal laut, sehingga sangat cocok untuk pengeboran di laut dalam (dengan
kedalaman lebih dari 2800 meter). Pada kapal ini, didirikan menara dan
bagian bawahnya terbuka ke laut (Moon Pool). Dengan sistem Thruster
yang dikendalikan dengan komputer, dapat memungkinkan sistem ini
dapat mengendalikan posisi kapalnya. Memiliki daya muat yang lebih
banyak sehingga sering dipakai pada daerah terpencil maupun jauh dari
daratan.

Gambar 2.19. Drill Ship

2.2 Lumpur Pemboran


Peranan Lumpur Pemboran adalah salah satu faktor penunjang dalam
pemboran baik pemboran eksplorasi maupun pengembangan. Kontrol terhadap
sifat fisiknya merupakan pekerjaan yang rutin sewaktu operasi pemboran untuk
memperkecil kemungkinan terjadinya hole problem.

2.2.1. Fungsi Lumpur Pemboran


Pemilihan sistem lumpur berkenaan dengan sifat – sifat lumpur yang
cocok dengan penanggulangan problem yang ditemui dalam pemboran. Dalam
hal ini lumpur yang diharapkan dapat memenuhi fungsi – fungsi sebagai berikut :
 Sebagai Media Pengangkatan Cutting
 Membentuk mud cake yang tipis dan licin
 Menahan cutting saat sirkulasi berhenti
 Mendinginkan dan melumasi bit serta rangkaian pipa
 Media logging
 Mengimbangi tekanan formasi
 Membersihkan dasar lubang bor
 Media informasi
 Mencegah gugurnya dinding lubang bor

2.2.2. Jenis – Jenis Lumpur Pemboran


Penentuan jenis lumpur bor dalam suatu pemboran harus disesuaikan
dengan kebutuhan tergantung dari keadaan formasinya. Jenis lumpur yang tidak
sesuai akan menyebabkan problem pemboran. Dibawah ini akan diberikan
beberapa jenis lumpur pemboran berdasarkan fasa fluidanya, yaitu :
1. Water Base Mud
Bila bahan dasar dari lumpur adalah air maka lumpur tersebut
disebut dengan water base mud. Air yang digunakan dapat berupa air
tawar maupun air asin. Lumpur yang mempunyai bahan dasar air tawar
disebut fresh water mud, dan bila bahan dasarnya air asin disebut salt
waterbase mud.
a. Fresh Water Mud
Fresh Water Mud yaitu lumpur yang fasa cairnya adalah air tawar
dengan kadar garam yang kecil (kurang dari 10.000 ppm = 1 %
berat garam), dapat dibedakan menjadi beberapa jenis antara lain :
 Spud mud
Spud Mud digunakan untuk formasi bagian atas konduktor
casing. Fungsi utamanya mengangkat cutting dan membuka
lubang di permukaan (formasi atas). Volume yang
diperlukan biasanya sedikit dan dapat dibuat dari air dan
bentonite (yield 100 bbl/ton) atau lempung (clay) air tawar
yang lain menaikkan viskositas dan gel strength pada zona-
zona loss. Kadang-kadang perlu lost circulation material,
tetapi densitasnya harus kecil.

 Natural mud
Natural Mud dibentuk dari pecahan-pecahan cutting dari
fasa cair. Sifat-sifatnya bervariasi tergantung dari formasi
yang dibor. Umumnya tipe lumpur yang digunakan untuk
pemboran yang cepat seperti pemboran pada surface casing
(permukaan). Dengan bertambahnya kedalaman pemboran,
sifat-sifat lumpur yang lebih baik diperlukan dan natural
mud ini ditreated dengan zat-zat kimia dan additif-additif
koloidal. Beratnya sekitar 9.1 – 10.2 ppg.

 Bentonite – treated mud


Adalah lumpur yang dibuat dari campuran bentonite, clay
dan air. Lumpur ini banyak digunakan dalam pemboran
untuk menembus formasi yang bertekanan tinggi. Bentonite
adalah material yang paling umum digunakan untuk
membuat koloidal inorgis untuk mengurangi filtration loss
dan mengurangi tebal mud cake. Bentonite juga menaikkan
viskositas dan gel strength dan gel yang mana dapat
dikontrol dengan thiner.

b. Salt Water Mud


Lumpur ini digunakan terutama untuk pemboran garam massif (salt
dome) atau salt stringer (lapisan-lapisan formasi garam) dan
kadang kadang bila ada aliran garam yang dibor. Filtrat lossnya
besar dan mud cake-nya tebal bila tidak ditambahkan organic
colloid pH lumpur di bawah 8, karena itu perlu preservatif untuk
menahan fermentasi starch. jika salt mud-nya mempunyai pH yang
lebih tinggi, fermentasi terhalang oleh basa. Suspensi padatan sukar
dicapai karena flukolasi oleh clay. Suspensi ini bisa diperbaiki
dengan penggunaan attapulgite sebagai pengganti bentonite.

2. Emulsion Mud
Lumpur jenis ini terbagi menjadi 2 yaitu : Oil in water emulsion
mud dan Water in oil emulsion mud.
a. Oil In Water Emulsion Mud
Pada lumpur ini minyak merupakan fasa tersebar (emulsi) dan air
sebagai fasa kontinyu. Sebagai dasar dapat digunakan baik fresh
maupun salt water mud. Sifat-sifat fisik yang dipengaruhi
emulsifikasi hanyalah berat lumpur, volume filtrat, tebal mud cake
dan pelumasan. Segera setelah emulsifikasi, filtration loss
berkurang. Keuntungannya adalah bit bisa tahan lama, penetrasi
rate naik, pengurangan korosi pada drill string, perbaikan pada
sifat-sifat lumpur (viskositas dan tekanan pompa boleh/dapat
dikurangi), water loss turun, mud cake tipis dan mengurangi balling
(terlapisnya alat oleh padatan lumpur) pada drill string. Viskositas
dan gel strength lebih mudah dikontrol bila emulsifier juga
bertindak sebagai thinner. Umumnya oil in water emulsion mud
dapat bereaksi dengan penambahan zat dan adanya kontaminasi
seperti juga lumpur aslinya.
Suatu keungulan lainnya adalah bahwa karena bau serta
fluorensinya lain dengan crude oil (mungkin yang berasal dari
formasi), maka ini berguna untuk pengamatan cutting oleh geolog
dalam menentukan adanya minyak di pemboran tersebut. Adanya
karet-karet yang rusak dapat juga dicegah dengan penggunaan karet
sintetis.
Lumpur demikian mempunyai tendensi untuk foaming yang bisa
dipecahkan dengan penambahan surface active agent tertentu.
Maintenance lumpur ini biasanya seperti pada salt mud biasa
kecuali perlunya menambah emulsifier, minyak dan surface active
deformer (anti foam).
b. Water In Oil Emlsion Mud
Lumpur jenis ini berbahan dasar bentonite + 40 % air + 50 % solar
atau menggunakan crude oil + emulsifier + additive.

3. Oil Base Mud


Lumpur ini mengandung minyak sebagai fasa kontinyu. Komposisi
diatur agar kadar airnya rendah (3 – 5%) volume. Reaktif lumpur ini tidak
sensitive terhadap kontaminan. Tetapi air adalah kontaminan karena
memberi efek negatif bagi kestabilan lumpur ini. Untuk mengontrol
viskositas, menaikkan gel strength, mengurangi efek kontaminasi air dan
mengurangi filtrate loss, perlu ditambahkan zat-zat kimia. Faedah oil in
base mud didasarkan pada kenyataan bahwa filtratnya adalah minyak
karena itu tidak akan menghidratkan shale atau clay yang sensitive baik
terhadap formasi biasa maupun formasi produktif (jadi juga untuk
completion mud). Kegunaan terbesar adalah pada saat komplesi dari work
over sumur. Kegunaan lain adalah untuk melepaskan drillpipe yang
terjepit, sehingga mempermudah pemasangan casing dan liner. Oil base
mud ini harus ditempatkan pada suatu tangki besi untuk menghindarkan
kontaminasi air, rig harus dipersiapkan agar tidak kotor dan bahaya api
berkurang. Oil base emulsion dan lumpur oil base mempunyai minyak
sebagai fasa kontinyu dan air sebagai fasa terbesar. Umumnya oil base
mud, yaitu filtratnya minyak dan karena itu tidak menghidratkan shale atau
clay yang sensitive. Perbedaan utamanya dengan oil base mud adalah
bahwa air ditambahkan sebagai tambahan yang berguna (bukan
kontaminan). Air yang teremulsi dapat antara 15 – 50 % volume,
tergantung densitas dan temperatur yang diinginkan (dihadapi dalam
pemboran). Karena air merupakan bagian dari lumpur ini, maka lumpur ini
mempunyai sifat-sifat lain dari oil base mud, yaitu dapat mengurangi
bahaya api, toleran pada air, dan pengontrolan flow properties-nya dapat
seperti pada water base mud.

4. Gaseous Drilling Fluid


Digunakan untuk daerah-daerah dengan formasi keras dan kering.
Dengan gas atau udara dipompakan pada annulus, salurannya tidak boleh
bocor. Keuntungan cara ini adalah penetration rate lebih besar, tetapi
adanya formasi air dapat menyebabkan bit balling (bit dilapisi cutting atau
padatan-padatan) yang mana merugikan. Juga tekanan formasi yang besar
tidak membenarkan digunakannya cara ini. Penggunaan natural gas
membutuhkan pengawasan yang ketat pada bahaya api. Lumpur ini juga
baik untuk completion pada zone-zone dengan tekanan rendah. Suatu cara
pertengahan antara lain lumpur cair dengan gas adalah aerated mud
drilling dimana sejumlah besar udara (lebih dari 95%) ditekan pada
sirkulasi lumpur untuk memperendah tekanan hidrostatik (untuk zona lost
circulation), mempercepat pemboran dan mengurangi biaya pemboran.

2.2.3. Sifat Fisik Lumpur Pemboran


Komposisi dari Lumpur bor akan menentukan sifat-sifat serta performance
dari lumpur itu sendiri. Sistem pengontrolannya harus dikoreksi terhadap formasi
selama operasi pemboran berlangsung, hal ini dimaksudkan agar Lumpur bor
bekerja sesuai dengan harapan.

Gambar 2.20. 1. Mud Balanced. 2. Fann VG Meter. 3. Filter Press. Peralatan yang
digunakan di laboratorium untuk mengetahui sifat fisik Lumpur Pemboran
1. Densitas
Densitas atau berat jenis, didefinisikan sebagai berat lumpur per
satuan volume total lumpur. Densitas ini menyebabkan kemungkinan
untuk membantu dalam pengaturan tekanan-tekanan di lubang subsurface
formasi, sehingga dalam operasi pemboran densitas lumpur ini harus selalu
dikontrol terhadap kondisi formasinya agar diperoleh kelakuan lumpur
yang sesuai dengan fungsi yang diharapkan terhadap formasi yang dibor.
Densitas lumpur yang relatif berat bagi suatu formasi kemungkinan akan
menyebabkan terjadinya lostcirculation, sebaliknya jika densitas lumpur
relatif kecil dapat menyebabkan terjadinya blow out. Pengontrolan
densitas lumpur dapat dilakukan dengan menambahkan zat-zat aditif, yang
bersifat menaikkan maupun menurunkan densitas lumpur. Additif yang
biasa digunakan untuk memperbesar harga densitas antara lain :

Tabel 2.1. SG Additif

Additif SG
Barite 4.3
Limestone 3.0
Galena 7.0
Bijih Besi 7.0

Sedangkan untuk memperkecil atau mengurangi densitas lumpur


bor, pada umumnya dipakai additif seperti :
a. Air
b. Minyak

Cara lain untuk memperkecil densitas adalah dengan jalan


mengurangi kadar padatan di permukaan. Permukaan densitas lumpur
dapat dilakukan dengan satu sirkulasi dan viskositasnya harus kecil, karena
dengan penambahan berat lumpur terjadi kenaikan viskositas. Densitas
lumpur bor akan dipengaruhi oleh temperatur, densitas akan turun jika
temperatur naik. Besarnya densitas lumpur akan menentukan tekanan
hidrostatik dari kolom lumpur.

2. Viskositas
Viskositas adalah sifat fisik yang mengontrol besarnya shear stress
akibat adanya pergeseran antar lapisan fluida. Viskositas dapat pula
didefinisikan sebagai perbandingan antara shear stress (tekanan penggeser)
dan shear rate (laju penggeseran). Untuk cairan yang termasuk Newtonian
seperti air, perbandingan shear rate dengan shear stress ini sebanding dan
konstan (grafik 2.1.), sedangkan lumpur pemboran adalah termasuk cairan
Non-newtonian dimana perbandingan shear stress dengan shear rate tidak
konstan, disebut viskositas semu (apparent viscosity) serta memberikan
hubungan variasi yang luas. Tujuan dari pengenalan viskositas lumpur ini
adalah untuk :
a. Mengontrol tekanan sirkulasi yang hilang di annulus
b. Memberikan kapasitas daya angkat yang memadai.
c. Membantu mengontrol swab-pressure dan surge pressure.

Grafik 2.1. Shear Stress vs Shear Rate Untuk Fluida Newtonian


Grafik 2.2. Shear Stress vs Shear Rate Untuk Fluida Non-Newtonian

 Penentuan Harga Shear Stress dan Shear Rate


Harga Shear stress dan Shear Rate yang masing-masing dinyatakan
dalam bentuk penyimpangan skala penunjuk (Dial Reading) dan
rpm motor pada Fann VG meter, harus diubah menjadi shear stress
dan shear rate dalam satuan dyne/cm2 dan detik-1 agar diperoleh
harga satuan viskositas dalam satuan cp.Persamaannya sebagai
berikut :
 = 5,007 x C …………………………………………(2-1)
 = 1,704 x RPM …………………………………………(2-2)

Dimana :
Penentuan Harga Viskositas Nyata (Apparent Viscosity)
 = shear stress, dyne/cm2
 = shear rate, detik-1
C = dial reading, derajat
RPM = revolution per minute dari rotor

Untuk setiap harga shear rate dihitung berdasarkan hubungan :



Va = x100 …………………………………………(2-3)

(300 x C)
Va = …………………………………………(2-4)
RPM

 Penentuan Plastic Viscosity dan Yield Point


Untuk menentukan Plastic Viscosity (VP) dan Yield Point (YP)
dalam suatu lapangan, digunakan persamaan bingham plastic
sebagai berikut :
 600   300
Vp = ………………………………………...(2-5)
 600   300

Dengan menggunakan sebelumnyadidapatkan :


VP = C600 – C300 …………………………………………(2-6)
YP = C600 – VP …………………………………………(2-7)
dimana :
Vp = plastic viscosity,cp
Yp = yield point Bingham, lb/100 ft2
C600 = dial reading pada 600 rpm, derajat
C300 = dial reading pada 300 rpm, derajat

Viskositas yang terlalu tinggi akan menyebabkan :


a. Penetration rate turun.
b. Pressure loss tinggi terlalu banyak gesekan.
c. Pressure surges yang berhubungan dengan Lost circulation dan
swabbing yang berhubungan dengan blow out.
d. Sukar melepaskan gas dan cutting dari lumpur dipermukaan.

Viskositas yang terlalu rendah menyebabkan :


a. Pengangkatan cutting tidak baik.
b. Material-material pemberat lumpur diendapkan.
Untuk mengencerkan lumpur dapat dilakukan dengan pengenceran
dengan air atau dengan penambahan thinner (zat-zat kimia), sedangkan
penambahan viskositas dapat dilakukan dengan penambahan zat-zat
padat/bentonite pada water base mud dan air atau asphalt pada oil base
mud.

3. Gel Strength
Pada saat lumpur bersirkulasi yang berperan adalah viskositas.
Sedangkan diwaktu sirkulasi berhenti yang memegang peranan adalah gel
strength. Lumpur akan mengagar atau menjadi gel apabila tidak terjadi
sirkulasi, hal ini disebabkan oleh gaya tarik-menarik antara partikel-
partikel padatan lumpur. Gaya mengagar inilah yang disebut gel strength.
Di waktu lumpur berhenti melakukan sirkulasi, lumpur harus mempunyai
gel strength yang dapat menahan cutting dan material pemberat lumpur
agar jangan turun. Akan tetapi kalau gel strength terlalu tinggi akan
menyebabkan terlalu berat kerja pompa lumpur pemboran untuk memulai
sirkulas. Walaupun pompa mempunyai daya yang kuat, pompa tidak boleh
memompakan lumpur dengan daya yang besar, karena formasi bisa pecah.
Misalnya sirkulasi berhenti untuk penggantian bit. Agar formasi tidak
pecah di dasar lubang bor, maka sirkulasi dilakukan dengan secara
bertahap, dan sebelum melakukan sirkulasi, rotary table diputar terlebih
dahulu untuk memecah gel.
Gel strength dapat diklasifikasikan menjadi dua macam, yaitu
progressive gel dan fragile gel. Tipe yang pertama adalah tipe gel strength
yang pada mulanya rendah tetapi semakin tinggi dengan bertambahnya
waktu, gel strengthnya meningkat terus menerus sampai mencapai angka
tertinggi. Hal ini sering terjadi pada lumpur yang mempunyai kadar
padatan yang tinggi. Tipe ini tidak diharapkan, karena akan mendatangkan
banyak kesulitan dalam operasi pemboran, seperti : diperlukan tekanan
pompa yang besar untuk memulai sirkulasi kembali . Tipe yang kedua
adalah tipe gel strength yang pada kondisi awalnya relatif sudah tinggi dan
hanya mengalami kenaikkan yang sangat sedikit saja seiring dengan
bertambahnya waktu. Tipe ini hanya memerlukan tenaga pompa yang
tidak begitu besar untuk memulai sirkulasi, sehingga penghematan tenaga
dan optimasi pemboran diharapkan dapat terpenuhi. Untuk melihat
perbedaan dari kedua gaya tersebut diatas (antara prosesivegel dan fragile
gel) dapat ditunjukkan pada Gambar berikut ini :

Gambar 2.21. Perbedaan Tipe Progresive Gel dan Fragile Gel

4. Yield Point
Titik keliatan (yield point) adalah sifat mengagar yang
menunjukkan besarnya tekanan minimal yang yang harus diberikan kapada
fluida agar fluida tersebut dapat bergerak. Tekanan ini akibat dari gaya
tarik-menarik antara partikel-partikel di dalam lumpur. Titik keliatan
adalah parameter fluida dinamik, sedangkan sifat menggagar (gel strength)
adalah parameter fluida static.
Titik keliatan (yield Point) di lapangan disebutkan dalam satuan
lb/100ft2, dan diukur dengan fann VG meter. Harga YP pada Fann VG
meter adalah pembacaan skala pada putaran 300 rpm dikurangi harga PV.
Harga biasa digunakan antara 3 sampai 15 lb/ft 2. Untuk fluida Newtonian
harga YP adalah nol. Kenaikan Yp yang berlebihan adalah akibat flukolasi
YP yang tinggi baik untuk pembersihan lubang, tetapi akan menimbulkan
kehilangan tekanan yang besar.
5. Filtration Loss
Filtration loss adalah kehilangan sebagian dari fasa cair (filtrat)
lumpur masuk kedalam formasi permeabel. Pengukurannya dilakukan
dengan standar filter press, dimana lumpur ditempatkan pada silinder yang
dasarnya dipasang kertas saring, dan bagian atas tabung diberikan tekanan
udara/gas. Selanjutnya volume filtrat lumpur dan tebal mud cake dicatat.
API filtration rate (statik) adalah volume (cc) filtrat/30 menit pada tekanan
100 psig. Ketebalan mud cake biasanya diukur dalam satuan 1/32 inch.
Filtration loss yang terlalu besar berpengaruh jelek terhadap formasi
maupun lumpurnya sendiri, karena dapat menyebabkan terjadinya
formation damage (pengurangan permeabilitas efektif terhadap minyak /
gas) dan lumpur akan kehilangan banyak cairan. Mud cake sebaiknya tipis
agar tidak memperkecil lubang bor (pressure loss akan naik, pressure
surges/swabbing akan membesar).

2.2.4. Komposisi Lumpur Pemboran


Secara umum lumpur pemboran terdiri dari 3 komponen atau fasa
pembentuk sebagai berikut :
1. Fasa cair (air atau minyak)
Fasa cair Lumpur pemboran pada umumnya dapat berupa air,
minyak, atau campuran air dan minyak. Air dapat dikelompokkan menjadi
dua, yaitu air tawar dan air asin. Air asin juga dapat dikelompokkan
menjadi dua, yaitu air asin tidak jenuh dan air asin jenuh. Sekitar 75%
Lumpur pemboran menggunakan air karena mudah didapat, murah,
mudah dikontrol jika terdapat padatan-padatan (solid content) dan
merupakan fluida yang paling baik sebagai media penilaian formasi. Istilah
oil-base muds digunakan jika kandungan minyaknya lebih besar dari 95%.
Sedangkan emulsion muds mempunyai komposisi minyak 50-70%
(sebagai fasa kontinyu) dan air 30-50% (sebagai fasa diskontinyu).
2. Fasa padat (reactive solids dan inert solids)
a. Reactive Solid
Reactive solid atau fasa padatan yang bereaksi dengan
sekelilingnya membentuk koloid yang merupakan suspensi yang
reaktif terdispersi dalam fasa kontinyu (sifat koloid lumpur yang
merupakan lembaran clay yang berukuran 10-20 Amstrong dan
terdispersi dalam fasa kontinyu air). Dalam hal ini clay akan
menghisap fasa cair air dan memperbaiki lumpur dengan
meningkatkan densitas, viskositas, gel strength serta mengurangi
fluid loss. Mud engineer biasanya membagi clay yang digunakan
untuk lumpur menjadi tiga, yaitu : montmorillonite, kaolinite dan
illite. Montmorillonite yang paling sering digunakan karena
kemampuannya yang mudah swelling menghasilkan clay yang
homogenous bercampur dengan fresh water. Dalam literature
pemboran manual, montmorillonite direferensikan dengan
bentonite, karena bentonite identik dengan clay montmorillonite.
Montmorillonite merupakan material berbentuk seperti plat atau
lempengan tipis dengan ukuran partikelnya lebih kecil dari 0,1
mikron. Semakin kecil ukuran partikelnya, maka semakin luas
bidang kontak antara partikel solid dengan media cairannya,
sehingga interconnected properties (sifat saling berhubungan)
dengan medianya besar, maka reaktifitasnya menjadi lebih tinggi
terhadap fasa cair lumpur pemboran. Seperti yang dijelaskan oleh
Roger, bentonite merupakan koloid yang sangat reaktif yang
mempengaruhi sifat fisik dan kimiawi lumpur pemboran.
Sedangkan clay attapulgite, yang dapat swelling dalam air asin,
biasanya digunakan dalam kondisi lumpur salt water. Clay yang
merupakan reactive solid dapat didefinisikan sebagai padatan yang
diameternya kurang lebih 2 mikron yang mampu menyerap air
sehingga mempunyai kemampuan swelling. Kemampuan swelling
ini dipengaruhi oleh gaya differensial yang bekerja pada partikel
clay, yang merupakan hasil dari gaya tolak-menolak antara ion-ion
sejenis dan gaya tarik-menarik antara ion-ion tak sejenis di
permukaan plat clay.

b. Inert Solid
Non-reactive solid merupakan zat padat yang tidak bereaksi (inert
solid). Non-reactive solid meliputi padatan-padatan dengan berat
jenis rendah (low-gravity) dan berat jenis tinggi (high-gravity).
Padatan low gravity meliputi : pasir, chert, limestone, dan
dolomite, berbagai macam shale, dan campuran dari berbagai
macam mineral. Padatan-padatan ini berasal dari formasi yang
dibor dan terbawa oleh lumpur, dan biasannya mempunnyai ukuran
yang lebih besar dari 15 mikron, dan bersifat abrasif, sehingga
dapat merusak peralatan sirkulasi lumpur, seperti liner pompa, oleh
karena padatan tersebut harus segera dibuang. Menurut Klasifikasi
API, pasir adalah setiap padatan yang berukuran lebih besar dari 74
mikron; meskipun demikian setiap padatan yang berukuran lebih
kecil dari pasir juga dapat merusak peralatan.

3. Fasa Kimia (additive)


Didalam lumpur pemboran selain terdiri atas komponen pokok
lumpur, maka ada material tambahan yang berfungsi mengontrol dan
memperbaiki sifat-sifat lumpur agar sesuai dengan keadaan formasi yang
dihadapi selama operasi pemboran. Berikut ini akan disebutkan beberapa
bahan kimia tersebut, yaitu untuk tujuan : menaikkan berat jenis lumpur,
menaikkan viskositas, menurunkan viskositas, menurunkan filtration loss
dan lain-lain.
Tabel 2.2. Additif Lumpur Pemboran

Additif Fungsi Additif Nama

1. Barite
Weighting Agent
Menaikkan Densitas 2. Galena
(Material Pemberat)
3. Kalsium Karbonat
1. Wyoming Bentonite
Pengental Menaikkan Viskositas
2. Attapulgite
1. Kalsium Ligno Sulfat
Pengencer Menurunkan Viskositas
2. Fosfat
Menurunkan Filtration CMC
Fluid Loss Reducer
Loss
Mengatasi Loss 1. Milmica
Lost Circulation Material
Circulation 2. Kwik Seal
Corrosion Control Mengontrol korosi NO2
PH Adjuster Mengontrol PH NaOH
Mempercepat 1. Fluxit
Flucoolant
Pengendapan Serbuk Bor 2. Baroflac
1. Mogco Mul
Fas Kimia Untuk Emulsi 2. Trimulsi
Emulsifier
Minyak dan Air 3. Atlasol
4. Imco-Ceox

Mengangkat cutting ke Melapisi dinding sumur Menembus fluida formasi


permukaan dengan Mud Cake dalam lubang bor

Membersihkan lubang bor dengan Mendinginkan bit dan


tenaga hidrolik pada bit rangkaian pipa bor
Gambar 2.22. Beberapa Fungsi Lumpur Pemboran

2.3 Well Control


Pemboran sumur merupakan suatu kegiatan yang menghabiskan biaya
yang sangat besar dan berteknologi tinggi, serta memiliki resiko yang besar.
Resiko yang terbesar adalah ketika sumur yang kita bor tidak terdapat apa-apa
(Dry hole), meskipun secara teknis pemboran berjalan lancar. Namun resiko yang
sangat membahayakan adalah ketika ada aliran fluida yang tidak terkontrol selama
proses pemboran berlangsung. Aliran ini akan terjadi jika tekanan pori dari
formasi (tekanan formasi) yang dibor lebih besar daripada tekanan hidrostatik
(tekanan lubang bor) yang diberikan oleh kolom lumpur di lubang sumur. Penting
bahwa tekanan lubang bor, yang disebabkan oleh kolom fluida, harus melebihi
tekanan formasi selama proses pemboran. Jika tekanan formasi lebih besar
daripada tekanan lubang sumur maka akan terjadi influx dari fluida formasi (kick)
masuk ke lubang sumur. Jika tidak ada aksi yang dilakukan untuk menghentikan
influx dari fluida formasi, kemudian semua lumpur akan terdorong keluar dari
lubang bor dan fluida formasi akan mengalir tak terkendali di permukaan. Ini
disebut Blowout. Aliran dari fluida formasi ini ke permukan dicegah oleh sistem
kontrol sekunder. Kontrol sekunder dicapai dengan menutup sumur pada
permukaan dengan valves, yang disebut dengan Blowout Preventer.
Mengontrol tekanan formasi, salah satunya dengan memastikan bahwa
tekanan lubang bor lebih besar daripada tekanan formasi (kontrol primer) atau
dengan menutup BOP valves di permukaan (kontrol sekunder), umumnya disebut
dengan menjaga tekanan sumur dibawah kontrol atau simpelnya disebut well
control.

2.3.1. Sebab Terjadinya Kick


Kick adalah suatu kejadian dimana fluida formasi masuk ke dalam lubang
bor karena tekanan formasi lebih besar daripada tekanan lubang bor. Dalam
melakukan pemboran, maka tekanan hidrostatik lumpur harus lebih besar daripada
tekanan formasi supaya tidak terjadi kick. Adapun sebab-sebab tekanan
hidrostaik lumpur tidak dapat mengimbangi tekanan formasi adalah :
1. Berat jenis Lumpur pemboran turun.
Dalam hal ini tekanan hidrotatis lumpur lebih kecil daripada
tekanan formasi.
Ph = 0.052 x D x w …………………………………………(2-8)

dimana:
Ph = tekanan hidrotatis lumpur, psi
D = kedalaman lubang bor, ft
w = berat lumpur, lbs/gal

Berat jenis lumpur turun diakibatkan bercampurnya fluida formasi


dengan lumpur bor. Masuknya fluida formasi ke dalam lubang bor akan
menyebabkan berat lumpur turun. Masuknya fluida lumpur pemboran
dapat disebabkan karena:
a. Swabbing Effect.
Swab effect terjadi apabila pencabutan rangkaian peralatan
pemboran terlalu cepat, sehingga antara rangkaian peralatan
pemboran dan dinding lubang bor akan sepeti piston. Ruang
dibawah pahat yang ditinggalkan oleh drill string menjadi kosong
dan fluida formasi akan terhisap ke dalam lubang sumur.

b. Menembus formasi gas.


Pada waktu menembus formasi gas, cutting yang dihasilkan
mengandung gas, walaupun pada mulanya tekanan hidrostatik
lumpur dapat menahan gas supaya tidak masuk ke dalam lubang
sumur, tetapi gas dapat masuk ke dalam lubang bersama cutting.
Gas keluar dari cutting masuk ke dalam lumpur, makin lama gas
makin banyak sehingga dapat menurunkan berat jenis dari lumpur
bor. Kalau hal ini terjadi, maka tekanan hidrostatik lumpur tidak
dapat lagi membendung masuknya gas ke dalam sumur secara lebih
besar.

2. Tinggi kolom lumpur turun


Bila formasi pecah atau ada rekahan-rekahan pada lapisan di dalam
lubang, maka lumpur bor akan masuk ke dalam lapisan yang pecah atau
rekah-rekah tersebut. Akibat turunnya tinggi kolom di annulus tersebut,
maka tekanan hidrostatik lumpur juga akan turun pula. Adapun yang
menyebabkan lumpur bor masuk ke dalam formasi yaitu:
a. Squeeze effect
Jika sewaktu menurunkan rangkaian peralatan pemboran (drill
string) terlalu cepat, maka lumpur yang berada di bawah rangkaian
(bit) terlambat naik ke annulus diatas bit. Ini menyebabkan lumpur
di bawah bit tertekan ke formasi, karena kondisi antara rangkaian
bor dengan lubang bor seperti sebuah piston. Squeeze effect dapat
mengakibatkan pecahnya formasi dan lumpur bor akan masuk ke
dalam formasi.
b. Berat jenis lumpur yang tinggi
Karena berat jenis lumpur yang digunakan tinggi, maka tekanan
hidrostatik lumpur menjadi besar. Bila menemui lapisan yang
tekanan rekahnya kecil, maka formasi akan rekah sehingga lumpur
dapat masuk ke dalam formasi.
c. Viskositas lumpur yang tinggi
Bila viskositas lumpur tinggi, maka disaat sirkulasi pressure loss di
annulus cukup tinggi. Hal ini dapat mengakibatkan formasi pecah
bila formasinya tidak kuat.
d. Gel strength lumpur yang tinggi
Gel strength sangat penting disaat tidak ada sirkulasi, karena dapat
menahan cutting dan menjaga material pembawa lumpur tidak
menumpuk di dasar lubang. Jika gel strength terlalu tinggi, ketika
memulai sirkulasi kembali setelah berhenti memerlukan tenaga
pompa yang cukup besar. Bila formasi tidak sanggup menahan
tekanan pompa yang besar, maka formasi akan pecah.
e. Pemompaan yang mengejut
Pemompaan yang mengejut akan dapat menyebabkan formasi
pecah, bila formasi tidak kuat. Disaat bit menembus formasi yang
telah rekah akibat pemompaan yang mengejut, maka lumpur akan
mengisi rekahan dan celah tersebut, sehingga jika lumpur masuk ke
formasi cukup besar, permukaan lumpur di annulus akan turun dan
selanjutnya tekanan hidrostatik akan turun.

3. Hilang lumpur
Hilang lumpur pada saat tertentu terlalu besar, sehingga permukaan
lumpur dalam lubang bor turun, dan tekanan hidrotatis lumpur dapat
menjadi lebih kecil daripada tekanan formasi. Hilang lumpur ini dapat
terjadi karena porositas formasi terlalu besar, formasi yang bergua
(cavernous), mungkin pula karena ada rekahan di dalam formasi.

4. Abnormal pressure.
Adakalanya pemboran menembus formasi dengan tekanan sangat
tinggi, dan melebihi tekanan hidrotatis lumpur. Hal ini disebabkan karena
adanya kompaksi sediment yang tidak komplit, patahan, dan kubah garam.

2.3.2. Indikasi Adanya Kick


Jika kick terjadi dan tidak dideteksi, mungkin akan berkembang menjadi
blowout. Kru pemboran harus waspada dan mengetahui tanda bahaya bahwa
indikasi influx terjadi dibawah dari lubang bor. Untuk mengetahui apa saja yang
terjadi di lubang bor, kru pemboran bergatung pada indikator-indikator yang ada
di permukaan. Indikator dipermukaan mungkin benar mengindikasi adanya kick
namun juga kadang salah, tetapi kru pemboran tetap bersiap-siap mencegah
terjadinya kick. Beberapa indikasi terjadinya kick:
a. Laju alir meningkat
b. Volume Pit Meningkat
c. Adanya aliran ketika pompa dihentikan
d. Adanya penambahan volume ketika trip
e. Drilling break
f. Gas cut mud

2.3.3. Metode Penanggulangan Well Kick


Apabila terjadi kick, maka well killing adalah cara penangulangannya.
Adapun hal-hal yang perlu dilakukan bila terjadi kick adalah sebagai berikut :
1. Bila terjadi saat pemboran berlangsung :
a. Menghentikan pompa.
b. Mengangkat kelly di atas BOP.
c. Menutup BOP dengan semua choke terbuka (menghindarkan
adanya shock karena tekanan).
d. Menutup choke perlahan (bila tekanan permukaan memungkinkan).
e. Mencatat Pdp dan Pann.
f. Mencatat kenaikan lumpur di permukaan.
g. Menyiapkan untuk sirkulasi.
2. Bila terjadi selama pengangkatan pipa :
a. Memasang full opening valve di drill string, lalu tutup.
b. Memasang back pressure valve.
c. Membuka full opening valve.
d. Menutup BOP dengan choke terbuka.
e. Menutup choke perlahan, bila tekanan memungkinkan.
f. Mencatat Pdp dan Pann dan kenaikan lumpur.
g. Stripping dan kemudian siap untuk sirkulasi.

Setelah diketahui bahwa terjadi kick sumur harus segera ditutup. Setelah
semua persiapan cukup maka tahap selanjutnya adalah mematikan sumur. Pada
proses mematikan sumur ini dipakai prinsip bahwa tekanan pada dasar lubang bor
harus konstan. Dalam hal ini tekanan pada dasar lubang sumur sama dengan
tekanan formasi. Ada pula pendapat dipakai tekanan tambahan S (overbalance)
antara 100 – 150 psi terhadap formasi, Pada Pbh = Pf + S. dalam pembicaraan ini
selanjutnya dipakai Pbh = Pf. Dalam proses mematikan sumur ini diambil
beberapa asumsi :
 Pressure drop di annulus dianggap terlalu kecil dibandingkan dengan
pressure drop di dalam pipa bor, dan perubahan presure drop di annulus
juga dianggap terlalu kecil dan diabaikan.
 Lubang bor dianggap dalam keadaan baik, tidak runtuh atau membesar.

Untuk menaikkan berat jenis lumpur yang akan digunakan untuk


menanggulangi kick ada berbagai macam metode, antara lain :
1. Metode Driller
Cara ini sering disebut pula sebagai “Two-Circulation Method”.
Sirkulasi ke-1 : keluarkan cairan kick dari dalam lubang bor dengan
lumpur lama.
Sirkulasi ke-2 :lubang bor dianggap dalam keadaan baik, tidak runtuh atau
membesar.
Profil tekanan pada pipa bor pada casing dan drill pipe bahwa
tekanan pada drill pipe harus dijaga agar tetap konstan. Hal ini dapat
diperoleh dengan mengatur choke. Sementara itu cairan kick harus diberi
kesempatan untuk mengembang agar tekanan pada dasar lubang tidak
terlalu besar. Tetapi pengembangan cairan kick berarti pengurangan
volume lumpur, yang juga berarti pengurangan tekanan hidrostatis lumpur,
yang juga berarti kenaikan tekanan pada casing.
Pbh = Phl + Phi + Pc …………………………………(2-9)

dimana:
Pbh = tekanan pada dasar lubang.
Phl = tekanan hidrostatis lumpur.
Phi = tekanan hidrostatis cairan kick.
Pc = tekanan pada casing/choke manifold.
Untuk perhitungan dalam mematikan kick ini biasa dipakai “kill
work sheat”, yang merupakan rincian pola pemompaan terutama pada
tahap 1.

Gambar 2.23. Profil Tekanan Casing dan Drillpipe Pada Drillers Method

2. Wait and Weight Method


Cara ini sering juga disebut “One-Circulation Method” atau juga
“Engineer’s Method”. Intinya adalah :
a. “Wait” atau tunggu, selama membuat lumpur berat.
b. Sirkulasikan cairan kick keluar dari lubang bor dengan lumpur
berat.

Dalam hal ini perlu dicatat, bahwa tekanan di annulus berkurang


dibanding dengan driller’s method karena pada tahap kedua lumpur berat
telah masuk ke dalam annulus.
Gambar 2.24. Profil Tekanan Casing dan Drillpipe Pada Wait and Weight Method

3. Metode Concurent
Cara ketiga adalah Metode Concurent. Dalam hal ini pemompaan
dilakukan dengan memompakan lumpur lama, tetapi sambil memompakan
lumpur tersebut, lumpur diperberat. Cara ini lebih cepat, tetapi ada dua
kegiatan yang harus dikerjakan pada saat bersamaan ialah dengan
memompakan lumpur dengan pola tertentu dan memperberat lumpur. Dua
pekerjaan ini dalam kenyataannya sulit dikerjakan secara bersamaan.

4. Cara Kombinasi
Ada cara lain yang pada dasarnya adalah gabungan atau variasi dari
cara-cara tersebut di atas. Misalnya, wait and weight method, dimana
harus menambah berat lumpur sekaligus, maka penambahan dilakukan
secara bertahap, sehingga pada sirkulasi yang pertama cairan kick
dikeluarkan dari dalam lubang bor dengan lumpur berat, tetapi sebelum
seberat yang diperlukan untuk mematikan sumur.

2.4. Casing
Setelah suatu pemboran mencapai kedalaman tertentu maka
kedalam sumur perlu dipasang casing yang kemudian disusul dengan
proses penyemenan. Casing merupakan suatu pipa baja yang intinya
berfungsi untuk menjaga stabilitas lubang bor.
2.4.1. Fungsi Casing
Secara umum fungsi dari casing adalah sebagai berikut :
a. Mencegah runtuhnya lubang bor atau caving`
b. Mencegah kontaminasi air tawar oleh lumpur pemboran
c. Menutup zona bertekanan abnormal dan zone lost
d. Membuat diameter sumur tetap
e. Mencegah hubungan langsung antar formasi
f. Tempat kedudukan BOP dan peralatan produksi

2.4.2. Klasifikasi Casing


Berdasarkan fungsinya casing dapat diklasifikasikan menjadi conductor
casing, surface casing, intermediate casingdan liner casing.
1. Conductor Casing
Casing ini dipasang pada kedalaman dekat dengan permukaan
sumur, dengan kata lain pada kedalaman yang dangkal, dimana biasanya
pada kedalaman ini formasi rapuh. Dengan kata lain casing jenis ini
dipasang untuk melindungi lubang bor dari kemungkinan runtuh dan juga
berfungsi untuk menjaga kemungkinan terjadinya kontaminasi air tanah
oleh zat kimia pada lumpur pemboran.

2. Surface Casing
Casing ini berfungsi untuk menjaga formasi supaya tidak runtuh.
Setelah conductor casing dipasang, maka pemboran dilanjutkan dan
formasi lubang bor terbuka, dimana kalau terlalu panjang akan cenderung
runtuh, maka diambil patokan bahwa lubang terbuka maksimal harus dua
per tiga dari kedalaman lubang bor dan kemuidian dipasang surface casing
ini. Pada surface casing ini juga, pertama kali dipasangkan peralatan
pencegah semburan liar (BOP). Hal ini karena mengingat bahwa semakin
dalam tekanan formasi akan dikhawatirkan terjadi kick.

3. Intermediate Casing
Casing ini berfungsi untuk menutup formasi yang membahayakan
operasi selanjutnya. Dimana formasi yang membahayakan tersebut antara
lain adalah formasi yang bertekanan tinggi, formasi yang dapat
menyebabkan lost circulation, formasi yang mudah runtuh dan lain-lain.
Suatu sumur dapat mempunyai lebih dari satu intermediate casing,
tergantung kondisi dari sumur yang bersangkutan.

4. Production Casing
Casing ini dipasang dari permukaan sampai ke formasi produktif.
Kalau selubung ini dipasang sampai puncak formasi produktif,
komplesi/penyelesaian sumurnya disebut open hole completion, sedangkan
apabila menembus lapisan produktif kemudian disemen dan diperforasi,
disebut dengan perforated competion.

5. Liner
Liner pada pokoknya mempunyai fungsi yang sama dengan
production casing tetapi tidak dipasang hingga ke permukaan. Salah satu
alasan mengapa dipergunakan liner adalah alasan biaya, karena lebih
pendek maka harganya lebih murah.

2.5. Semen Pemboran


Penyemenan merupakan salah satu kegiatan utama dalam operasi
pemboran yang dilakukan setelah pemboran berakhir dengan tujuan merekatkan
casing dengan formasi.

2.5.1. Fungsi Penyemenan


Cementing atau penyemenan adalah proses pendorongan bubur semen ke
dalam casing dan naik ke annulus yang kemudian didiamkan sampai semen
tersebut mengeras hingga mempunyai sifat melekat baik terhadap casing maupun
formasi. Fungsi semen pemboran dalam suatu pemboran dari sumur adalah :
1. Melindungi casing / liner dari tekanan yang datang dari bagian luar casing
yang dapat menimbulkan collapse.
2. Mencegah adanya migrasi fluida yang tidak diinginkan dari satu formasi
ke formasi lain.
3. Melindungi casing terhadap pengaruh cairan formasi yang bersifat korosif.
4. Mengurangi kemungkinan terjadinya semburan liar atau blow out melalui
annulus, melindungi casing terhadap tekanan formasi.

Untuk memenuhi fungsi-fungsi tersebut di atas, maka semen pemboran


harus memenuhi beberapa syarat, yaitu :
1. Semen setelah ditempatkan harus mempunyai kekuatan atau strength yang
cukup besar dalam waktu tertentu.
2. Semen harus memberikan daya ikat casing dengan formasi yang cukup
atau baik.
3. Semen tidak boleh terkontaminasi dengan kotoran (cairan formasi)
maupun cairan pendorong semen.
4. Semen harus stabil atau tidak mudah berubah strength-nya setelah
beberapa waktu dari penempatannya.
5. Semen harus impermeable (permeabilitas nol).

2.5.2. Macam-macam Penyemenan


Prosedur untuk penyemenan dibagi menjadi dua, yaitu primary cementing
dan secondary cementing.
1. Primary Cementing
Primary cementing adalah proses penyemenan yang dilakukan
segera setelah casing dipasang. Di dalam primary cementing ini,
pertimbangan teknis dan ekonomis tidak dapat dikesampingkan. Tujuan
dari primary cementing adalah
a. Memisahkan lapisan yang akan diproduksi dengan lapisan – lapisan
yang lainnya.
b. Mencegah terjadinya aliran fluida (air, minyak atau gas) dari satu
lapisan ke lapisan yang lain.
c. Memberi kekuatan pada lapisan yang lemah.
d. Melindungi casing dari korosi.
e. Melindungi casing terhadap tekanan dari luar.
f. Memberi kekuatan pada casing.
g. Mencegah terjadinya blow out dari annulus.

Primary cementing yang buruk dapat menyebabkan semen gagal


mengisolasi zona – zona yang diinginkan. Kegagalan ini memberi
pengaruh – pengaruh :
a. Stimulasi yang tidak efektif.
b. Kesalahan dalam evaluasi reservoir.
c. Adanya hubungan dengan fluida yang tidak diinginkan.
d. Pengangkatan fluida yang berlebihan.
e. Akumulasi gas didalam annulus.

Tubing

Production
Packer

Production
Casing

Gas
Gas-Oil
Contact

Oil
Perforasi

Upper perforations must be squeezed


with cement to reduce gas flow

Gambar 2.25. Primary Cementing


Lost circulation
zone
Shallow, Shale Cement
Casing weaker Casing
Cement Casing
zones
Cement Water
sand
Heaving
shale Oil
Increased sand
Open Mud weight
hole required High
to control pressure
pressures zones

Melindungi formasi Mengisolasi formasi Melindungi daerah produksi


yang akan dibor yang bertekanan tinggi dari zona water-bearing sands

Gambar 2.26. Tujuan Primary Cementing

2. Secondary Cementing
Secondary cementing adalah penyemenan tahap kedua setelah
primary cementing dilaksanakan. Penyemenan tahap kedua ini bersifat
memperbaiki dan membantu penyemenan tahap pertama karena
penyemenannya kurang sempurna. Secondary cementing merupakan
proses pendorongan bubur semen dibawah suatu tekanan tertentu kedalam
ruang kosong, seperti perforasi, rekahan, celah dibelakang casing, maupun
zona yang porous. Operasi ini banyak dilakukan dalam pekerjaan komplesi
dan work over dengan tujuan :
1. Untuk mengontrol GOR tinggi, dengan membatasi zona minyak
dengan zona gas. GOR ini perlu dikontrol untuk memperbaiki
produksi minyak.
2. Untuk mengotrol produksi air atau gas yang berlebihan. Zona air
atau gas biasanya dapat di squeeze untuk memperkecil intrusi air
atau gas.
3. Memperbaiki kebocoran casing, semen dapat diselipkan melalui
lubang akibat korosi pada casing.
4. Untuk menyekat zona lost circulation.
5. Untuk mencegah migrasi fluida lain kedalam zona yang
diproduksikan (block squeezing).
6. Untuk mengisolasi zona-zona permanent completion. Hal ini lazim
dipraktekkan di beberapa area. Setelah suatu sumur dengan banyak
zona produksi, kemudian dipasangi pipa dan masing – masing zona
diisolasi dengan semen.
7. Untuk memperbaiki primary cementing, persoalan yang dihasilkan
adalah dari adanya channeling. Penyemenan yang tidak mencukupi
pada primary cementing seringkali dapat diatasi dengan secondary
cementing.
8. Untuk menutup perforasi lama, atau zona produksi pada open hole
completion.

2.5.3. Klasifikasi Semen Pemboran


Ada beberapa tipe/kelas dari semen pemboran, antara lain :
1. Kelas A : Digunakan dari permukaan sampai kedalaman 6000 ft (1830
meter) dengan temperatur hingga 800C dan tidak tahan terhadap sulfate.
Tersedia hanya dalam tipe Ordinary (O), digunakan pada kondisi normal.
(Setara dengan ASTM C-150 tipe I).
2. Kelas B : Digunakan dari permukaan sampai kedalaman 6000 ft (1830
meter) dan temperatur hingga 800C dengan kondisi formasi banyak
mengandung sulfate. Tersedia hanya dalam tipe Ordinary (O) dan
Moderate Sulfate Resistent (MSR). (Setara dengan ASTM C-150 tipe II).
3. Kelas C : Digunakan dari permukaan sampai kedalaman 6000 ft ft (1830
meter) dan temperatur hingga 800C pada kondisi dimana diperlukan
pengerasan yang cepat. Tersedia semen tipe Ordinary (O), Moderate
Sulfate Resistent (MSR) dan High Sulfate Resistent (HSR). (Setara dengan
ASTM C-150 tipe III).
4. Kelas D : Digunakan dari kedalaman 6000 ft (1830 meter) sampai 10.000
ft (3050 meter) dengan kondisi tekanan formasi dan temperatur agak tinggi
(antara 80 – 1300C). Tersedia semen tipe Moderate Sulfate Resistent
(MSR) dan High Sulfate Resistent (HSR).
5. Kelas E : Digunakan dari kedalaman 10.000 ft (3050 meter) sampai 14.000
ft (4270 meter) dengan kondisi temperatur (130 – 1450C) dan tekanan
formasi tinggi. Tersedia semen tipe Moderate Sulfate Resistent (MSR) dan
High Sulfate Resistent (HSR).
6. Kelas F : Digunakan dari kedalaman 10.000 ft (3050 meter) sampai 16.000
ft (4880 meter) dengan kondisi temperatur (130 – 1600C) dan tekanan
formasi yang sangat tinggi. Tersedia semen tipe Moderate Sulfate
Resistent (MSR) dan High Sulfate Resistent (HSR).
7. Kelas G : Digunakan sebagai semen dasar untuk penyemenan dengan
kedalaman dari permukaan sampai 8000 ft (2440 meter) dengan
temperatur hingga 900C. Bila ditambah dengan additif, maka semen kelas
G ini dapat digunakan pada tekanan dan temperatur yang lebih tinggi serta
kedalaman yang lebih. sebagai semen dasar dan jika diperlukan dapat
ditambah additif yang sesuai. Tersedia semen tipe Moderate Sulfate
Resistent (MSR) dan High Sulfate Resistent (HSR).
8. Kelas H : Digunakan sebagai semen dasar untuk penyemenan dengan
kedalaman dari permukaan sampai 8000 ft (2440 meter) dengan
temperatur hingga 950C. Tersedia semen tipe Moderate Sulfate Resistent
(MSR) dan High Sulfate Resistent (HSR).

Tabel 2.3. Klasifikasi Semen Berdasarkan API

Mixing Static
API Slurry Weight Well Depth
Water Temperatur
Classification (lb/gal) (ft)
(gal/sk) (0F)

A (portland) 5.2 15.6 0 to 6.000 80 to 170

B (portland) 5.2 15.6 0 to 6.000 80 to 170

C (high early) 6.3 14.8 0 to 6.000 80 to 170

D (retarded) 4.3 16.4 6.000 to 12.000 170 to 260

E (retarded) 4.3 16.4 6.000 to 14.000 170 to 290


10.000 to
F (retarded) 4.3 16.2 230 to 320
16.000

G (basic) 5.0 15.8 0 to 8.000 80 to 170

80 o

H (basic) 4.3 16.4 0 to 8.000 2


0
3

2.5.4. Komposisi dan Pembuatan Semen


Semen yang biasa dipergunakan dalam industri perminyakan adalah semen
Portland, dikembangkan oleh Joseph Aspdin tahun 1824. Disebut Portland
karena mula-mulanya bahannya didapat dari pulau Portland di Inggris. Semen
Portland ini termasuk semen hidrolis dalam arti akan mengeras bila bertemu atau
bercampur dengan air.Semen Portland mempunyai 4 komponen mineral utama,
yaitu :
1. Tricalcium Silicate
Tricalcium silicate (3CaO.SiO2) dinotasikan sebagai C3S, yang
dihasilkan dari kombinasi CaO dan SiO2. Komponen ini merupakan yang
terbanyak dalam semen Portland, sekitar 40 % - 50 %. Komponen C3S
pada semen memberikan strength yang terbesar pada awal pengerasan.

2. Dicalcium Silicate
Dicalcium silicate (2Cao.SiO2) dinotasikan sebagai C2S.
Komponen ini sangat penting dalam memberikan final strength semen.
Karena C2S ini menghidrasinya lambat maka tidak terpengaruh dalam
setting time semen, akan tetapi sangat menentukan dalam kekuatan semen
lanjut. Kadar C2S dalam semen tidak lebih dari 20 %.

3. Trilcalcium Aluminate
Tricalcium aluminate (3Cao. Al2O3) dinotasikan sebagai C3 A.
Walaupun kadarnya lebih kecil dari komponen silikat (sekitar 15 % untuk
high early strength cement dan sekitar 3 % untuk semen yang tahan
terhadap sulfat), namun berpengaruh pada rheologi suspensi semen dan
membantu proses pengerasan awal pada semen.

4. Tetracalcium Aluminoferrite
Tetracalcium aluminoferrite (4Cao.Al2O3.Fe2O3) dinotasikan
sebagai C4AF. Komponen ini hanya sedikit pengaruhnya pada strength
semen. API menjelaskan bahwa kadar C4AF ditambah dengan 2 kali kadar
C3A tidak boleh lebih dari 24 % untuk semen yang tahan terhadap
kandungan sulfat yang tinggi. Penambahan oksida besi yang berlebihan
akan menaikkan kadar C4AF dan menurunkan kadar C3A, dan berfungsi
menurunkan panas hasil reaksi / hidrasi C3S dan C2S.

2.5.5. Sifat Fisik Semen Pemboran


Bubur semen yang dibuat harus disesuaikan sifat-sifatnya dengan keadaan
formasi yang akan disemen. Sifat-sifat bubur semen yang dimaksud adalah
sebagai berikut :density, thickening time, strength, sifat filtrasi, permeabilitas
semen, kualitas perforasi, ketahanan korosi dan pengaruh tekanan serta
temperature.
1. Densitas
Penambahan air dan additif akan berpengaruh pada density bubur
semen. Pada umumnya density bubur semen dibuat lebih besar dari density
lumpur, hal ini mengingat bahwa kontaminasi lumpur akan meningkat
dengan density yang relatif sama. Penentuan density bubur semen
tergantung dari faktor berat jenis bubuk semen dan air. Density ini dapat
dihitung dengan menggunakan rumus :
Gbk  Gw  Ga
Dbs  ………………………………..(2-10)
Vbk  Vw  Va
dimana :
Dbs : Densitas suspensi semen, ppg.
Gbk : Berat bubuk semen, lb.
Gw : Berat air, lb.
Ga : Berat additif, lb.
Vbk : Volume bubuk semen, gal.
Vw : Volume air, gal.
Va : Volume additif, gal.

Densitas suspensi semen sangat berpengaruh terhadap tekanan


hidrostatis suspensi semen di dalam lubang sumur. Bila formasi tidak
sanggup menahan tekanan suspensi semen, maka akan menyebabkan
formasi pecah, sehingga terjadi lost circulation. Untuk mengurangi
densitas suspensi semen dapat ditambahkan clay, zat-zat kimia silikat jenis
jenis extender atau bahan-bahan yang dapat memperbesar volume suspensi
semen seperti pozzolan. Untuk memperbesar densitas suspensi semen
dapat ditambahkan pasir atau material-material pemberat ke dalam
suspensi semen seperti barite.

2. Thickening Time& Viskositas


Bubur semen harus tetap dalam keadaan cair agar dapat
dipompakan ke tempat dimana semen harus mengeras dalam waktu
tertentu. Thickening Time (pumpability) adalah waktu yang dibutuhkan
bubur semen untuk mencapai konsistensi 100 poise. Harga 100 poise ini
merupakan batas bubur semen masih dapat dipompakan. Dalam hidrasinya
semen makin lama makin mengeras dan naik viskositasnya. Viskositas
pada semen disebut konsistensi karena semen merupakan fluida yang Non-
Newtonian dan ini untuk membedakan terhadap istilah viskositas fluida
newtonian. Untuk memperpanjang atau memperpendek thickening time
adalah dengan menambahkan additif-additif ke bubur semen.
Umumnya thickening time adalah 3 – 3,5 jam untuk penyemenan
dengan kedalaman 6.000 – 18.000 ft.
Untuk memperpanjang thickening time perlu ditambahkan retarder
ke dalam suspensi semen, seperti kalsium lignosulfonat, carboxymethil
retarder cellulose dan senyawa-senyawa asam organik. Untuk
memperpendek thickening time dapat ditambahkan accelerator ke dalam
suspensi semen seperti kalsium klorida, sodium klorida, gypsum, sodium
silikat, air laut dan additif yang tergolong dispersant.
Bila semen mengeras di dalam casing merupakan problema yang
fatal bagi operasi pemboran selanjutnya. Waktu pemompaan (pumpability
time) yang maksimum umumnya disamakan dengan thickening time
dengan pertimbangan faktor keamanan. Waktu pemompaan yang
diperlukan dipengaruhi oleh tinggi kolom dan volume suspensi semen
yang harus dipompakan, kecepatan laju alir pemompaan dan temperatur
operasi sumur tersebut.

3. Filtration Loss
Filtration loss adalah peristiwa hilangnya cairan dalam suspensi
semen ke dalam formasi permeabel yang dilaluinya. Cairan atau umumnya
air yang masuk ini disebut dengan filtrat. Filtrat yang hilang tidak boleh
terlalu banyak, karena akan membuat suspensi semen kekurangan air yang
disebut dengan flash-set. Bila suspensi semen mengalami flash-set, maka
akibatnya akan sama jika air yang dicampurkan dalam bubur semen yang
jumlahnya lebih kecil dari kadar minimumnya. Akibatnya friksi pada
annulus akan naik, pressure loss naik dan tekanan bubur semen di annulus
juga naik. Bila hal ini terjadi, maka formasi akan rekah. Jadi dapat
disimpulkan, bila formasi yang akan dilalui bubur semen merupakan
formasi yang porous dan permeabel, maka perlu penambahan additif yang
sesuai sebelum bubur semen dipompakan.

4. Water Cement Ratio (WCR)


Water cement ratio adalah perbandingan antara volume air dan
semen yang dicampurkan untuk mendapatkan sifat-sifat bubur semen yang
diinginkan. Air yang dicampurkan tidak boleh terlalu banyak ataupun
kurang, karena akan mempengaruhi baik-buruknya ikatan semen nantinya.
Batasannya diberikan dalam bentuk kadar maksimum dan minimum air.
Kadar air minimum adalah jumlah air yang dicampurkan tanpa
menyebabkan konsistensi suspensi semen lebih dari 30 Uc. Bila air yang
ditambahkan lebih kecil dari kadar minimumnya maka akan menaikkan
densitas suspensi semen yang akan menimbulkan gesekan (friksi) yang
cukup besar di annulus sewaktu suspensi semen dipompakan yang
akhirnya akan menaikkan tekanan di annulus.

Tabel 2.4. Kandungan Air Normal Pada Suspensi Semen

PROPERTIS OF NEAT CEMENT SLURRIES

Slurry Weight Gallon Mixing Cuft Slurry Percent Mixing


Class
lb/gal water / sak sk. Cement water
A 15.6 5.2 1.18 46
B 15.6 5.2 1.18 46
C 15.8 6.32 1.32 56
D 16.46 4.29 1.05 38
G 15.8 4.97 1.15 44
H 16.46 4.29 1.05 38

5. Waiting On Cement (WOC)


Waiting on cement atau waktu menunggu pengerasan semen adalah
waktu yang dihitung saat menunggu pengerasan suspensi semen setelah
semen selesai ditempatkan. WOC ditentukan oleh faktor-faktor seperti
tekanan dan temperatur sumur, WCR, compressive strength dan additif-
additif yang dicampurkan ke dalam suspensi semen (seperti accelerator
atau retarder). WOC berdasarkan API adalah jika compressive strength
mencapai 1000 psi (7 Mpa).

6. Permeabilitas
Permeabilitas diukur pada semen yang mengeras dan bermakna
sama dengan permeabilitas pada batuan formasi yang berarti sebagai
kemampuan untuk mengalirkan fluida. Semakin besar permeabilitas semen
maka semakin banyak fluida yang dapat melalui semen tersebut dan begitu
pula sebaliknya.
Semen diinginkan tidak mempunyai permeabilitas. Karena jika
semen mempunyai permeabilitas besar akan menyebabkan terjadinya
kontak fluida antara formasi dengan annulus dan juga strength semen
berkurang. Permeabilitas semen dapat naik karena air yang dicampurkan
dalam bentuk bubur semen terlalu banyak. Tetapi permeabilitas semen
dapat juga meningkat karena terlalu berlebihan dalam penambahan additif.
Perhitungan permeabilitas dapat dilakukan dengan menggunakan
rumus darcy sebagai berikut :
Q    L ………………………………..(2-11)
K 
A  P

dimana :
K : Permeabilitas, mD.
Q : Laju alir, ml/s.
 : Viskositas, cp.
L : Panjang sampel, cm.
A : Luas permukaan sampel, cm2.
P : Perbedaan tekanan, psi.
Harga permeabilitas maksimum yang direkomendasikan oleh API
adalah tidak lebih dari 0,1 mD. Permeabilitas semen erat kaitannya dengan
kekuatan semen. Harga permeabilitas yang kecil akan menyebabkan harga
strength yang besar begitupun sebaliknya.

7. Compressive Strength & Shear Strength


Strength pada semen terbagi menjadi dua yaitu compressive
strength dan shear strength. Compressive strength didefinisikan sebagai
kekuatan semen dalam menahan tekanan-tekanan yang berasal dari
formasi maupun dari casing, sedangkan shear strength didefinisikan
sebagai kekuatan semen dalam menahan berat casing. Jadi compressive
strength menahan tekanan-tekanan dalam arah horisontal dan shear
strength menahan tekanan-tekanan pada arah vertikal.

2.5.6. Additif Penyemenan


Bermacam-macam semen telah dibuat orang untuk memenuhi kebutuhan
bermacam-macam kondisi sumur, seperti kedalaman, temperatur, tekanan dan ini
dapat diubah-ubah densitas dan thickening time-nya dalam batas-batas tertentu
dengan mengubah kadar air. Additif atau zat-zat tambahan adalah material-
material yang ditambahkan pada semen untuk memberikan variasi yang lebih luas
pada sifat-sifat bubur semen agar memenuhi persyaratan yang diinginkan. Additif
ini penting sekali dalam perencanaan bubur semen karena digunakan untuk :
1. Mempercepat atau memperlambat thickening time.
2. Memperbesar strength.
3. Menaikkan atau menurunkan density bubur semen.
4. Menaikkan volume bubur semen.
5. Mencegah lost circulation.
6. Mengurangi fluid loss.
7. Menaikkan sifat tahan lama (durability).
8. Mencegah kontaminasi gas pada semen.
9. Menekan biaya.

a. Accelelator
Adalah additif yang digunakan untuk mempercepat pengerasan
bubur semen. Penggunaan additif ini terutama untuk penyemenan pada
temperatur dan tekanan rendah (sumur yang dibor masih dangkal) yang
umumnya juga karena jarak untuk mencapai target tidak terlalu panjang.
Selain itu juga mempercepat naiknya strength semen dan mengimbangi
additif lain (seperti dispersant dan fluid loss control agent), agar tidak
tertunda proses pengerasan suspensi semennya. Contoh-contoh additif
yang berlaku sebagai accelerator yang umum digunakan adalah Calcium
Chloride, Sodium Chloride, Gypsum, Sodium Silicate dan Sea Water.

b. Retarder
Adalah additif yang digunakan untuk memperpanjang waktu
pengerasan. Hal ini biasanya dilakukan pada penyemenan sumur yang
dalam, dimana temperaturnya tinggi. Additif yang berfungsi sebagai
retarders antara lain : Lignosulfonate, Organic Acids, Modified
Lignosulfonate, Carboxy Methyl Hydroxy Ethyl Cellulose.

c. Extender
Merupakan additif yang digunakan untuk membuat volume bubur
semen menjadi lebih banyak dari setiap sak semenya, karena diperlukan
penambahan air. Dengan demikian extenders berfungsi sebagai additif
yang dapat mengurangi atau menurunkan density bubur semen. yang
termasuk extenders adalah : Bentonite-Attapulgite, Gilsonite,
Diatomaceous Earth, Perlite dan Pozzolans.

d. Weighting agents
Merupakan additif yang digunakan untuk memperbesar
densitybubur semen dan biasanya digunakan pada formasi yang
bertekanan tinggi yang berguna mengurangi kemungkinan terjadinya blow
out. yang termasuk dalam additif ini adalah : Hematite, Limenite, Barite
dan pasir.

e. Dispersant
Adalah additif yang berfungsi untuk mengurangi viskositas
suspensi semen. Pengurangan viskositas atau friksi terjadi karena
dispersant mempunyai kelakuan sebagai thinner (pengencer). Hal ini
menyebabkan suspensi semen menjadi encer, sehingga dapat mengalir
dengan aliran turbulensi walaupun dipompa dengan laju pemompaan yang
rendah. Additif yang dapat digunakan adalah Organic Acids,
Lignosulfonate, Plymers dan Sodium Chloride.

f. Fluid Loss Control Agents


Fluid loss control agent adalah additif yang berfungsi mencegah
hilangnya fasa liquid semen ke dalam formasi, sehingga terjaga kandungan
cairan pada suspensi semen. Additif yang termasuk ke dalam fluid loss
control agents diantaranya polymer, CMHEC dan Latex.

g. Loss Circulation Control Agents


Seperti halnya dengan sirkulasi lumpur pemboran pada sirkulasi
bubur semen pada penyemenan bisa juga terjadi kehilangan bubur semen.
Sehingga di sini perlu ditambahkan additif untuk menghindari hal tersebut.
Gilsonite dianggap material yang paling baik untuk itu, selain itu juga
dapat berfungsi sebagai extenders. Lost Circulation Materials lainnya :
Walnut Hulls, Cellophane Flakes dan Nylon Fibers.

Tabel 2.5. Additif Untuk Semen Loss Circulation

Nature of Water
Type Material Amount Used
Particles Required
Additif for Controlling Lost Circulation
2 gal / 50
Gilsonite Graded 1 to 50 lbm/sack
lbm
Granular Perlite Expanded 1/2 to 1 cuft/sack 4 gal/cuft
0.85 gal /
Walnut shells Graded 1 to 5 lbm/sack
50 lbm
2 gal / 50
Lamellted Coal Graded 1 to 10 lbm/sack
lbm
Cellophane Flake 1/8 to 2 lbm/sack None
Fibrous
Nylon Short-fibered 1/8 to 1/4 None
lbm/sack
Formulation of Material for Controlling Lost Circulation
4.8 gal /
Gypsum cement - -
100 lbm
5.0 gal /
Gypsum / portland cement - 10 to 20% gypsum
100 lbm
12 to 16
Semisolid Bentonite cement - 10 to 25% gel
gal/sack
or flash
(the silicate
setting
is mixed
with water
Cement + sodium silicate - -
before
adding
cement)
Quick
Bentonite / diesel oil - - -
gelling

h. Special Additive
Ada bermacam-macam additif lainnya yang dikelompokkan
sebagai specially additif, diantaranya adalah silika, mud kill, radioactive
tracers, fibers, antifoam agent.

Tabel 2.6. Additif Spesial Untuk Semen

Additif Recommended Quantity


Mud decontaminants 1.0% *
Silica flour 30 to 40% *
Radioactive tracers Variable
Dyes 0.1 to 1.0% *
Hydrazine 6 gal / 1.000 bbls mud
Fibers 0.125 to 0.5% *
Gypsum 4 to 10% *
* Percent by weight of cement

2.6. Masalah-Masalah Pemboran


Operasi Pemboran yang telah direncanakan dengan matang tidak selalu
berjalan dengan baik, terkadang dijumpai hambatan dalam operasi pemboran. Ada
beberapa problem yang menghambat operasi pemboran tersebut. Problem
pemboran dapat diklasifikasikan dalam empat bagian dasar, yaitu: Problem Shale,
Hilang Lumpur, Pipa Terjepit dan Well Kick

2.6.1. Shale Problem


Shale(serpih) adalah batuan sedimen yang terbentuk oleh deposisi dan
kompaksi sedimen untuk jangka waktu yang sangat lama. Serpih ini komposisi
utamanya adalah lempung (clay), lanau (silt), air dan sejumlah kecil quartz dan
feldspar. Berdasarkan kandungan airnya, serpih dapat berupa batuan yang kompak
atau batuan yang lunak dan tidak kompak, yang biasanya disebut serpih lempung
atau serpih lumpur. Serpih ini juga dapat berada dalam bentuk metamorphic
seperti slate, phylite, mica schist.
Dalam pemboran, ada dua jenis serpih yang biasa dijumpai, yaitu serpih
yang tidak kompak (sering disebut lempung) dan serpih yang kompak. Pemboran
yang menembus formasi shale akan menemui permasalahan, terutama pemboran
yang menembus formasi yang tidak kompak. Problem tersebut adalah runtuhnya
formasi shale ke dalam lubang bor. Formasi yang runtuh dapat menyebabkan:
lubang bor membesar, pipa bor terjepit, penyemenan yang kurang sempurna,
bertambahnya kebutuhan lumpur dan kesulitan logging. Gejala yang timbul yang
sering tampak bila sedang mengalami masalah shale:
1. Tekanan pompa naik
2. Serbuk bor bertambah
3. Air filtrasi bertambah banyak
4. Ada banyak endapan serbuk bor di dalam lubang bor
5. Terjadi gumpalan pada pahat (bit bailing)
6. Terjadi perubahan sifat-sifat lumpur, antara lain : berat lumpur bertambah,
viskositas lumpur naik, dan bertambahnya air tapisan.

 Sebab-Sebab Terjadinya Shale Problem


Penyebab masalah shale ini dapat dikelompokan dari segi lumpur
maupun dari segi drilling practice atau mekanis. Beberapa penyebab dari
kelompok mekanis antara lain:
1. Erosi, karena kecepatan lumpur di annulus yang terlalu tinggi.
2. Gesekan pipa bor terhadap dinding lubang bor.
3. Adanya penekanan (pressure surge) atau penyedotan (swabbing)
pada waktu cabut dan masuk pahat (tripping).
4. Adanya tekanan dari dalam formasi.
5. Adanya air filtrasi atau lumpur yang masuk ke dalam formasi.

 Usaha Untuk Menanggulangi Shale Problem


Problem shale, dalam hal ini adalah Sloughing shale berhubungan
langsung dengan adsorbsi air dari lumpur pemboran, maka perubahan
dalam jenis atau komposisi kimia lumpur akan memberikan pemecahan
untuk masalah ini. Penggunaan oil based mudtelah terbukti berhasil
mengurangi terjadinya sloughing shale. Keberhasilan ini berdasarkan fakta
bahwa fasa minyak memberikan adanya membran di sekitar lubang yang
mencegah adanya kontak antara air dan serpih. Fasa air pada oil based
mud dapat juga mempersiapkan sedemikian hingga konsentrasi garamnya
sesuai dengan lapisan yang ditembus. Dalam hal ini, gaya osmosis atau
dehidrasi sama dengan gaya hidrasi serpih dan tekanannya, yang
menyebabkan air mengalir diantara lumpur dan serpih adalah nol. Lumpur
potassium chloride polymer juga telah terbukti berhasil mencegah
terjadinya sloughing shale. Lumpur jenis ini mengurangi swelling serpih
yang diakibatkan penggantian ion sodium, Na+ (dengan kation exchange)
oleh ion potassium (K+) yang memungkinkan lembaran-lembaran lempung
menjadi terikat lebih kuat. Dispersi juga dikurangi sebagai akibat
diperbaikinya tepian serpih yang rusak oleh polymer. Jenis lumpur lain
yang terbukti berhasil untuk mengurangi masalah ini diantara lain adalah:
lime-mud, gyp-mud, calcium choride dan silicate mud, surfactant mud,
polymer mud, lignosulphonate mud dan lain-lain.Cara pencegahan yang
lain adalah dengan meminimalkan waktu dibiarkannya lubang yang
mengandung serpih dalam keadaan tidak dicasing. Sudut kemiringan
lubang harus dikurangi (diusahakan lurus) dan swab serta surge effect
harus dikurangi untuk menghindari terjadinya rekahan pada bagian lubang
terbuka.Kecepatan fluida yang tinggi di annulus harus dihindari untuk
mengurangi terjadinya erosi lubang dan sloughing shale secara mekanis.

2.6.2. Pipa Terjepit (Pipe Stuck)


Definisi pipa terjepit adalah keadaan dimana bagian dari pipa bor atau
setang bor (drill collar) terjepit (stuck) di dalam lubang bor. Dalam kenyataannya
operasi pemboran tidak selalu berjalan dengan lancar, seringkali pipa bor terjepit.
Penyebab terjepitnya rangkaian pipa bor pada sumur pemboran adalah karena
adanya differential sticking maupun mechanical sticking. Masalah pipa terjepit ini
biasanya diklasifikasikan sebagai berikut :
a. Differential Pipe Sticking
Jenis jepitan ini terjadi oleh karena beberapa faktor. Faktor-faktor
yang menyebabkan differential pipe sticking adalah :
1. Beda tekanan hidrostatik dari kolom lumpur melebihi tekanan dari
formasi yang permeable.
2. Luas kontak antara rangkaian pipa dasar lubang bor dengan dinding
lubang. Bertambahnya ukuran rangkaian pipa dasar akan
meningkatkan luas kontak. Meningkatnya ketebalan mud cake akan
meningkatkan luas kontak, jika luas kontak bertambah maka
semakin memperkuat jepitan karena beda tekanan ini juga
bertambah.
Gambar 2.30. Differential Pipe Sticking

b. Mechanical Sticking (Jepitan Mekanis)


Pipa dapat terjepit secara mekanis bila :
1. Keratan bor atau formasi yang mengalami sloughing menyumbat
annulus disekitar rangkaian bor.
2. Rangkaian bor diturunkan terlalu cepat sehingga menghantam
bridge atau tight spot atau dasar lubang.
3. Ditarik masuk ke dalam lubang kunci (key seat).
Metode yang biasanya dilakukan untuk membebaskan pipa yang
terjepit secara mekanis adalah dengan usaha menggerakkan pipa
baik diputar ataupun ditarik atau dengan mengaktifkan jar, apabila
rangkaian pipa dilengkapi dengan jar. Jika metode ini gagal,
biasanya disemprotkan fluida organik dan kemudian prosedur yang
telah disebutkan tadi diulangi.

c. Key Seating
Di dalam lubang yang mempunyai dog leg (perubahan sudut
kemiringan lubang secara mendadak dan berada pada formasi yang lunak,
tool joint drill pipe membuat lubang tambahan yang merupakan perluasan
dari lubang utama yang dibuat oleh bit.
Gambar 2.31.Perkembangan Key Seat

Penanggulangan Problem Pipa Terjepit :


a. Penanggulangan Differential Pipe Sticking
Walaupun sudah dicegah seperti cara-cara diatas, tetapi rangkaian
pipa bor tetap terjepit, maka ada beberapa metode yang dapat digunakan
untuk membebaskan rangkaian pipa yang terjepit tersebut. Beberapa
metode yang umum digunakan adalah sebagai berikut :
1. Pengurangan tekanan hidrostatik.
Metode yang biasanya dilakukan untuk mengurangi tekanan
hidrostatik lumpur adalah pipa-U (U-Tube). Rangkaian pipa bor
dengan annulus antara rangkaian dan formasi dianggap sebagai
pipa U, dengan bit sebagai penghubung. Ada dua kondisi pada saat
terjadinya differential sticking, yaitu :
 Tekanan formasi telah diketahui (contohnya pada sumur
pengembangan).
 Tekanan formasi belum diketahui (misalnya pada pemboran
eksplorasi).
Gambar 2.32. Konfigurasi Pipa U Sumur

Jika tekanan formasi telah diketahui, overbalance pressure


dapat dikurangi secara bertahap hingga mencapai tingkat
yang aman akan tetapi tekanan hidrostatik lumpur harus
selalu lebih besar daripada tekanan formasi. Tekanan
hidrostatik dapat dikurangi dengan cara memompakan
lumpur baru dengan densitas yang lebih rendah, atau
dengan memompakan sejumlah kecil fluida yang
mempunyai specific gravity (SG) rendah. Minyak solar
(diesel oil) adalah fluida yang biasanya digunakan karena
SG-nya rendah, akan tetapi air tawar atau asin (salline),
dapat juga digunakan untuk mengurangi tekanan
hidrostatik. Volume fluida dengan SG rendah ditentukan
dengan menghitung pengurangan tekanan hidrostatik yang
diperlukan dan kemudian mengkonversi hasil tersebut
menjadi tinggi dan volume minyak solar atau air.
Minyak solar kemudian dipompakan melalui rangkaian
sampai seluruh volumenya. Karena minyak solar
mempunyai gradien tekanan yang lebih rendah daripada
lumpur, maka tekanan total di dalam drill pipe akan menjadi
lebih kecil daripada tekanan total di annulus dan karena itu
akan ada tekanan balik menuju drill pipe.
Drill pipe kemudian dibiarkan untuk mendapatkan aliran
balik (back-flow) pada interval yang sama hingga seluruh
volume minyak solar keluar. Pada saat tersebut tinggi level
fluida di annulus telah turun sedemikan hingga tekanan
hidrostatik akan sama dengan atau sedikit lebih besar dari
pada tekanan formasi. Selama aliran balik ini, rangkaian bor
sebaiknya dicoba digerakkan terus menerus sampai pipa
yang terjepit bebas. Jika menggunakan jar pada rangkaian,
hendaknya jar diaktifkan untuk memberikan gaya tambahan
yang dapat membebaskan pipa. Jar ini hanya berguna jika
titik jepit berada di bawahnya.

2. Perendaman dengan fluida organik


Fluida organik biasanya disemprotkan sepanjang daerah jepitan
untuk mengurangi ketebalan mud cake dan faktor gesekan.
Campuran antara minyak solar dan surfactant adalah fluida yang
banyak digunakan karena kemampuannya untuk membasahi
sekeliling pipa yang terjepit dan karena itu menciptakan lapisan
tipis antara pipa dan mud cake. Hal ini menurunkan koefisien
gesek, dan pada akhirnya akan meningkatkan efektivitas usaha-
usaha mekanis untuk membebaskan pipa. Prosedur umum yang
dilakukan adalah memompakan fluida organik ke dalam drill pipe
dan secara berangsur-angsur memompakan sejumlah kecil fluida
organik tadi ke annulus sampai seluruh daerah terjepit dapat
terendam. Pipa sebaiknya diusahakan untuk bergerak secara terus
menerus selama operasi perendaman dengan fluida organik ini.
Keberhasilan operasi ini tergantung pada volume fluida organik
yang digunakan, karakteristik mud cake, besarnya gaya differential
dan penempatan fluida organik ini pada tempat yang tepat. Agar
efektif sejumlah 150 bbl fluida adalah volume minimum yang
sebaiknya disemprotkan. Fluida ini paling tidak didiamkan selama
8 jam untuk mendapatkan hasil yang optimum. Larutan organik
tertentu juga perlu ditambahkan ke dalam lumpur pemboran yang
digunakan untuk membor formasi batuan yang rawan terhadap
kemungkinan differential sticking. Penggunaan oil base mud akan
menghasilkan pengurangan tekanan hidrostatik lumpur dan bahan-
bahan pemberat (weighting material) dapat digunakan untuk
mengkompensasikan berkurangnya gradien tekanan. Hal ini sangat
penting pada sumur yang memungkinkan terjadinya kick.

3. Operasi back-off
Bila tidak ada metode seperti di atas yang berhasil membebaskan
pipa yang terjepit, maka operasi back-off adalah pilihan terakhir
yang dilakukan. Operasi back-off mencakup pelepasan bagian pipa
yang masih bebas dari dalam lubang. Hal ini secara efektif berarti
melepaskan rangkaian pemboran pada atau di atas daerah jepitan
dan pengangkatan bagian pipa yang masih bebas dari dalam
lubang. Bagian rangkaian pemboran yang masih tersisa (fish),
dapat diambil dengan menggunakan peralatan DST maupun
peralatan washover. Sebagai pilihannya adalah menutup lubang
(plug back) dan kemudian membelokannya (sidetrack). Teknik
pelaksanaan back-off dapat berupa mechanical back-off, back-off
shoot dan string off shoot.

b. Penanggulangan Mechanical Pipe Sticking


Metode yang biasanya dilakukan untuk membebaskan pipa yang
terjepit secara mekanis adalah dengan usaha menggerakkan pipa baik
diputar maupun ditarik atau dengan mengaktifkan jar, apabila rangkaian
pipa dilengkapi dengan jar. Jika metode ini gagal, biasanya disemprotkan
fluida organik dan kemudian prosedur yang telah disebutkan tadi diulangi.
Jika usaha tersebut belum berhasil, maka pipa haru dilepaskan dengan cara
back off.

c. Penanggulangan Key Seat


Untuk mengatasi key seat, lubang harus di-reaming dan jika
digunakan jar, maka dilakukan jar up (ke atas). Fluida organik dapat
disemprotkan untuk mengurangi gesekan sekitar key seat sehingga
memungkinkan dilakukannya usaha untuk menggerakkan pipa. Key seat
ini dapat dicegah dengan membor lubang lurus atau menghindari
perubahan mendadak sudut kemiringan atau sudut arah lubang pada sumur
berarah.

2.6.3. Hilang Lumpur (Lost Circulation)


Hilang lumpur adalah peristiwa hilangnya lumpur pemboran masuk ke
dalam formasi. Hilang lumpur ini merupakan problem lama di dalam pemboran,
yang meskipun telah banyak penelitian, tetapi masih banyak terjadi dimana-mana,
serta kedalaman yang berbeda-beda. Hilang lumpur tejadi karena dua faktor,
yakni : faktor mekanis dan faktor formasi.
a. Sebab-Sebab Lost Circulation
1. Faktor Mekanis
Hilang lumpur terjadi jika tekanan hidrostatik lumpur naik hingga
melebihi tekanan rekah formasi, yang akan mengakibatkan adanya
crack (rekahan) yang memungkinkan lumpur (fluida) mengalir ke
dalamnya. Hilang lumpur ini terjadi jika besar lubang pori lebih
besar daripada ukuran partikel lumpur pemboran. Pada prakteknya,
ukuran lubang pori yang didapat mengakibatkan terjadinya hilang
lumpur berada pada kisaran 0.1 - 1.00 mm. Pada lubang bagian
permukaan, hilang lumpur atau hilang sirkulasi dapat menyebabkan
washout yang besar, yang dapat menyebabkan rig pemboran yang
digunakan menjadi ambles. Laju penembusan yang tinggi akan
menghasilkan keratan bor yang banyak dan bila tidak terangkat
dengan cepat akan menyebabkan kenaikan densitas lumpur yang
pada akhirnya akan menaikkan tekanan hidrostatik.
Hilang lumpur juga terjadi sebagai akibat kenaikan tiba-tiba dari
tekanan hidrostatik lumpur yang disebabkan kenaikan berat lumpur
yang mendadak atau gerakan pipa. Penurunan pipa yang cepat akan
menyebabkan fluida memberikan tekanan tambahan (surging) pada
annulus.

2. Faktor Formasi
Ditinjau dari segi formasinya, maka hilang lumpur dapat
disebabkan oleh:
 Coarseley Permeable Formation
Contoh dari jenis formasi ini adalah pasir dan gravel.
Namun tidak semua jenis formasi ini menyerap lumpur.
Untuk dapat menyerap lumpur perlu keadaan, antara lain
tekanan hidrostatis lumpur harus lebih besar daripada
tekanan formasi, formasi harus permeabel, disamping ada
pengertian bahwa lumpur mampu masuk ke dalam formasi
bila diameter lubang atau pori-pori sedikitnya tiga kali lebih
besar dari diameter butiran atau partikel padat dari lumpur.
Jadi kalau lumpur sampai dapat masuk ke dalam formasi,
berarti lubang atau celah-celah cukup besar.

 Cavernous Formation
Hilang lumpur ke dalam reef, gravel ataupun formasi yang
mengandung banyak gua-gua sudah dapat diduga
sebelumnya. Gua-gua ini banyak terdapat pada formasi batu
kapur (limestone dan dolomite).

 Fissures, Fracture, Faults


Ini merupakan celah-celah atau rekahan dalam formasi. Bila
hilang lumpur tidak terjadi pada formasi permeabel ataupun
batuan kapur, biasanya ini terjadi karena celah-celah atau
retakan tersebut. Fracture ini dapat terjadi alamiah tetapi
dapat juga terjadi karena sebab-sebab mekanis (induced
fractures). Hal ini dapat terjadi misalnya karena penekanan
(pressure surge) pada waktu masuk pahat, ataupun kenaikan
tekanan karena drilling practice yang tidak benar, misalnya
tekanan pompa yang terlalu tinggi, lumpur terlalu kental,
gel strength terlalu besar. Dapat juga karena perlakuan yang
kurang sesuai, misalnya menjalankan pompa secara
mengejut, tekanan pompa yang terlalu tinggi, lumpur terlalu
kental, gel strength terlalu besar. Dapat juga karena
perlakuan yang kurang sesuai, misalnya menjalankan
pompa secara mengejut.

b. Penanggulangan Lost Circulation


Cara menanggulangi hilang lumpur ini sangat berbeda antar satu
dengan yang lain, tergantung dari sebab-sebab, sifat-sifat formasi dan lain
sebagainya. Hilang lumpur dapat ditanggulangi dengan teknik
penyumbatan atau dengan teknik penyemenan.
1. Teknik Penyumbatan
Dalam menghadapi hilang lumpur (lost circulation) ini dipakai
bahan penyumbat. Dimana bahan penyumbat dapat terdiri dari lost
circulationmaterial (LCM) serta bahan - bahan khusus. Lost
circulationmaterial dapat dibagi dalam 3 jenis, yaitu : material
fibrous (tipe serabut), material flakes (tipe keping-kepingan) dan
material granular (tipe butiran).
a. Material Fibrous
Material fibrous terdiri dari kapas kasar, serat rami, serat
kayu, leather flock, fiber seal dan chip seal. Material jenis
ini umumnya sedikit kaku dan cenderung memaksa masuk
ke dalam rekahan yang besar. Jika lumpur mengandung
konsentrasi yang cukup tinggi dari material fibrous,
kemudian dipompakan masuk ke dalam lubang bor, maka
timbul tahanan gesekan yang cukup besar akan berkembang
dan berfungsi sebagai penyumbat.aliran.

b. Material Flakes
Material flakes terdiri dari mika (halus dan kasar),
vermicullitedan kwik seal (kombinasi serabut dan keping -
kepingan). Material ini apabila disirkulasikan ke dalam
lubang bor akan terletak melintang lurus dimuka formasi,
dan selanjutnya akan menutup rekahan yang ada. Jika cukup
kuat dalam menahan tekanan kolom lumpur, maka material
ini akan membentuk filter cake yang luas dan kompak,
tetapi apabila tidak cukup kuat menahan tekanan kolom
lumpur, maka material ini akan terdorong masuk ke dalam
formasi.

c. Material Granular
Material granular terdiri dari nut shells, nut plug, tuff plug,
kulit kelapa sawit dan lain sebagainya. Dari hasil test
pengaruh konsentrasi lost circulation material terhadap
besarnya fracture yang berhasil disumbat (ditutup) seperti
yang dapat dilihat pada gambar berikut, maka material
granular adalah yang terbaik. Besarnya ukuran dari rekahan
yang dapat disumbat oleh material jenis granular adalah
lebih besar jika dibandingkan dari jenis lost circulation
material lainnya. Perlu diketahui bahwa dalam penggunaan
lost circulation material (LCM) ini dapat dikombinasikan
dari berbagai jenis dan ukurannya (dari yang lembut, sedang
dan kasar).

2. Teknik Penyemenan
Apabila pencegahan problem hilang lumpur ternyata tidak berhasil
maka untuk mengatasinya dapat kita lakukan dengan penyemenan.
Program penyemenan ini dapat dikerjakan disemua zona lost. Cara
mengatasi problem hilang lumpur dengan penyemenan menggunakan
prinsip keseimbangan kolom fluida.
BAB III
TEKNIK PRODUKSI

3.1. Productivity Index


Productivity Index (PI) secara umum didefinisikan sebagai perbandingan
laju produksi yang dihasilkan oleh suatu sumur pada suatu harga tekanan aliran
dasar sumur tertentu dengan perbedaan tekanan dasar sumur pada keadaan statis
(Ps) dan tekanan dasa sumur pada saat terjadi aliran (Pwf) yang secara matematis
dapat dituliskan sebagai berikut :
q
PI  J  …………………………………………………(3-1)
(Ps - Pwf)

dimana :
PI = J = Produktivity Index, bbl/hari/psi
q = laju produksi aliran total, bbl/hari
Ps = Tekanan statis reservoir, psi
Pwf = Tekanan dasar sumur waktu ada aliran, psi

Secara teoritis persamaan (3.1) dapat didekati oleh persamaan radial dari
darcy untuk fluida homogen, incompressible dan horizontal. Dengan demikian
untuk aliran minyak saja berlaku hubungan :
7.082 x 10-3 x k x h
PI  …………………………………………(3-2)
Bo x o x ln (re/rw)

7.082 x 10-3 h  ko kw 
PI     ………………………...………(3-3)
ln (re/rw)  o Bo w Bw 

dimana :
PI = productivity index, bbl/hari/psi
k = permeabilitas batuan, mD
kw = permeabilitas efektif terhadap sumur, mD
ko = permeabilitas efektif terhadap minyak, mD
o = viscositas minyak, cp
w = viscositas air, cp
Bo = faktor volume formasi minyak, bbl/STB
Bw = foktar volume formasi air, bbl/STB
re = jari-jari pengurasan sumur, ft
rw = jari-jari sumur, ft

Untuk membandingkan satu sumur dengan sumur yang lainnya pada suatu
lapangan terutama bila tebal lapisan produktifnya berbeda, maka digunakan
SpecificProductivityIndex (SPI) yang merupakan perbandingan antara
ProductivityIndex dengan ketebalan lapisan yang secara matematis dapat
dituliskan :
PI 7.082 x 10-3 x k
SPI  Js   …………………………………………(3-4)
h Bo x ln (re/rw)

Pada beberapa sumur harga Productivity Indek akan tetap konstan untuk
laju aliran yang bervariasi, tetapi pada sumur lainnya untuk laju aliran yang lebih
besar productivity index tidak lagi linier tetapi justru menurun, hal tersebut
disebabkan karena timbulnya aliran turbulensi sebagai akibat bertambahnya laju
produksi, berkurangnya laju produksi, berkurangnya permeabilitas terhadap
minyak oleh karena terbentuknya gas bebas sebagi akibat turunnya tekanan pada
lubang bor, kemudian dengan turunnya tekanan di bawah tekanan jenuh maka
viscositas akan bertambah (sebagai akibat terbebasnya gas dari larutan) dan atau
berkurangannya permeabilitas akibat adanya kompressibilitas batuan.
Dalam praktek di lapangan laju produksi minyak yang melewati batas
maksimum akan merugikan reservoir dikemudian hari, karena akan
mengakibatkan terjadinya water atau gas coning dan kerusakan formasi
(formation demage).
Berdasarkan pengalamannya, Kermitz E Brown (1967) telah mencoba
memberikan batasan terhadap besarnya produktivitas sumur, yaitu sebagai
berikut:
 PI rendah jika besarnya kurang dari 0,5
 PI sedang jika besarnya berkisar antara 0,5 sampai 1,5
 PI tinggi jika lebih dar 1,5

3.2. Inflow Performance Relationship


Inflow Performance Relationship (IPR) adalah suatu studi tentang
performance aliran fluida dari reservoir menuju lubang bor (sumur), dimana
performance ini akan tergantung kepada PI secara grafis.
Kurva IPR dapat berupa linier atau tidak tergantung pada jumlah fluida
yang mengalir. Untuk fulida satu fasa akan membentuk kurva yang linier dan
untuk fluida dua fasa kurva yang terbentuk akan lengkung (tidak linier), dan harga
PI tidak lagi merupakan harga yang konstan karena kemiringan garis IPR akan
berubah secara kontinyu untuk setiap harga Pwf.
Perhitungan kinerja aliran fluida dari formasi ke lubang sumur dapat
dikelompokkan berdasarkan kriteria sebagai berikut :
3.2.1. Aliran satu fasa
a. Dengan atau tanpa pengaruh skin
Persamaan Darcy
Dalam perhitungan kinerja aliran fluida dari formasi ke
lubang sumur dapat menggunakan persamaan sebagai berikut :

0.00708 𝐾𝑜 ℎ (𝑃−𝑃𝑤𝑓)
𝑞= 𝑟𝑒 …………………………………(3-5)
𝜇𝑜 𝐵𝑜 (𝑙𝑛( )−0.75+𝑆+𝑎′𝑞)
𝑟𝑤

b. Pengaruh lubang perforasi dan gravel pack


Persamaan Jonas, Blount dan Glase
Jonas mengembangkan persamaan dengan mengikut
sertakan pengaruh perforasi dengan memperhitungkan faktor skin
adalah sebagai berikut :
𝑞𝑜 𝜇𝑜 𝐵𝑜 𝑟𝑒 9.08𝑥10−13 𝛽(𝑞𝑜 𝐵𝑜 )2 𝛾𝑜
𝑃r − 𝑃𝑤𝑓 = (𝑙𝑛 (0.472 + 𝑆)) +
1.127𝑥10−3 (2𝜋)𝑘𝑜 ℎ 𝑟𝑤 (2𝜋ℎ)2 𝛾𝑤

.................................................................................................................. ……...(3-6)
3.2.2. Aliran dua fasa
a. Tanpa pengaruh skin
Persamaan Darcy dalam bentuk Pseudo-Steady State
Untuk aliram semi-mantap, dimana tidak ada aliran di batas
reservoir, maka persamaan darcy adalah sebagai berikut :
0.00708 𝐾𝑜 ℎ
𝑞= 𝑟𝑒 (𝑚(𝑃𝑟 − 𝑚(𝑃𝑤𝑓)) …………………(3-7)
(𝑙𝑛( )−0.5+𝑆)
𝑟𝑤

Persamaan Vogel
Untuk memudahkan perhitungan kinerja aliran fluida dua
fasa dari formasi ke lubang sumur, Vogel mengembangkan
persamaan sederhana. Adapun anggapan pada persamaan Vogel
yaitu :
1. Reservoir bertenaga dorong gas terlarut
2. Harga skin disekitar lubang sama dengan nol
3. Tekanan reservoir dibawah tekanan saturasi

Untuk memperoleh nilai laju produksi didapatkan persamaan


sebagai berikut :
𝑞𝑜 𝑃𝑤𝑓 𝑃𝑤𝑓 2
= 1 − 0.2 ( ) − 0.8 (( ) ) …………(3-8)
𝑞𝑜𝑚𝑎𝑥 𝑃𝑟 𝑃𝑟

Persamaan Vogel dikembangkan dalam memperhitungkan


kondisi dimana tekanan reservoir berada diatas tekanan saturasi.
Pada kondisi ini kurva IPR terdiri dari dua bagian yaitu Pwf > Pb
yang membentuk kurva linier dan Pwf < Pb yang membentuk
kurva tidak linier.Pada bagian kurva yang linier, maka persamaan
yang digunakan yaitu :
𝑞𝑜 = 𝐽 (𝑃𝑠 − 𝑃𝑤𝑓) …………….…………(3-9)

Pada bagian kurva yang tidak linier (Pwf < Pb), maka
persamaan yang digunakan yaitu, :
𝑃𝑤𝑓 𝑃𝑤𝑓 2
𝑞𝑜 = 𝑞𝑏 (𝑄𝑜𝑚𝑎𝑥 −𝑄𝑏 ) (1 − 0.2 ( ) 0.8 (( ) ))
𝑃𝑟 𝑃𝑟

………………………………………………………..(3-10)
dimana,
qb = laju alir oil pada tekanan saturasi
Pb = tekanan saturasi
Qb = J (Pb/1.8)
J = Index Productivity

b. Dengan pengaruh skin


Umumnya di sekitar lubang sumur terjadi kerusakan
formasi sehingga kondisi sekitar lubang sumur tidak sesuai dengan
kondisi sumur sebenarnya. Sehingga beberapa metode
dikembangkan, yaitu :
Persamaan Standing
Metode Standing merupakan modifikasi persamaan Vogel
berdasarkan kenyataan bahwa untuk sumur yang mengalami
kerusakan terjadi tambahan kehilangan tekanan di sekitar lubang
bor.Standing juga mengajukan grafik yang memperhitungkan suatu
kondisi dimana flowefficiency tidak sama dengan 0 (Gambar 3.2).
Flow efficiency merupakan perbandingan antara
productivityindexactual dengan ideal. Nilai FE < 1 apabila sumur
mengalami kerusakan, nilai FE > 1 apabila sumur mengalami
perbaikan sebagai hasil stimulasi, dan FE = 1 apabila sumur tidak
mengalami kerusakan.
𝐽𝑎𝑐𝑡𝑢𝑎𝑙 𝐼𝑑𝑒𝑎𝑙𝐷𝑟𝑎𝑤𝑑𝑜𝑤𝑛 𝑃𝑟−𝑃′𝑤𝑓
𝐹𝐸 = = 𝐴𝑐𝑡𝑢𝑎𝑙𝐷𝑟𝑎𝑤𝑑𝑜𝑤𝑛 = . ………..(3-11)
𝐽𝑖𝑑𝑒𝑎𝑙 𝑃𝑟−𝑃𝑤𝑓

𝑃′ 𝑤𝑓 = 𝑃𝑟 − 𝐹𝐸(𝑃𝑟 − 𝑃𝑤𝑓). ………..(3-12)

dimana,
P’wf = Pwf + ∆Pskin
0.47𝑟𝑒 0.47𝑟𝑒
𝐹𝐸 = 𝑙𝑛 / [𝑙𝑛 + 𝑆]. ………..(3-13)
𝑟𝑤 𝑟𝑤

Gambar 3.1. Pressure Profile of damage wells production ( Kermit Brown)

Pada Gambar 3.1., pada sumur yang tidak mengalami


kerusakan akan mengalir pada laju alir (q) pada flowing pressure
(p’wf) ketika sumur mengalami kerusakan seharusnya mengalir
pada tekanan yang lebih kecil (pwf) yang diproduksikan pada laju
alir yang sama.
∆Pskin merupakan perbandingan antara P’wf dan Pwf. Van
Everdingen telah menemukan persamaan perhitungan ∆Pskin,
yaitu :
𝑞𝜇
∆𝑃𝑠𝑘𝑖𝑛 = 𝑆 2𝜋𝐾ℎ . ………………………..(3-14)

Dari hubungan persamaan Vogel dan persamaan 3-12 maka


dapat dihitung laju produksi pada keadaan dua fasa dengan
memperhatikan nilai skin (per 3-15). Untuk laju alir maksimum
yang dihasilkan adalah laju produksi maksimum pada harga skin
sama dengan 0, dan untuk menghitung laju produksi maksimum
pada harga FE yang dimaksud, maka pada tekanan alir dasar sumur
sebenarnya yang sama dengan 0 di ubah menjadi tekanan alir dasar
sumur pada kondisi ideal.
𝑞𝑜 𝑃′𝑤𝑓 𝑃′𝑤𝑓 2
= 1 − 0.2 ( ) − 0.8 (( ) ). ………..(3-15)
𝑞𝑜𝑚𝑎𝑥 P𝑟 𝑃𝑟

atau
𝑞𝑜 𝑃𝑤𝑓 𝑃𝑤𝑓 2
= 1.8(𝐹𝐸) (1 − ) − 0.8(𝐹𝐸 2 ) (( ) ).
𝑞𝑜𝑚𝑎𝑥(𝐹𝐸=1) 𝑃𝑟 𝑃𝑟

……………………………………………………….(3-16)

Standing memodifikasi persamaan Vogel untuk digunakan


ketika FE tidak sama dengan 1 dan juga diterapkan pada
undersaturated reservoir. Dan didapatkan persamaan :
𝐽𝑃𝑏 𝑃𝑤𝑓 𝑃𝑤𝑓 2
𝑞𝑜 = 𝐽(𝑃𝑟 − 𝑃𝑏) + [1.8 (1 − ) − 0.8 ((1 − ) )]
1.8 𝑃𝑟 𝑃𝑟

………………………………………………………..(3-17)

Kelemahan dari metode Standing terhadap grafik IPR yang


dihasilkan, yaitu :
 Hampir lurus untuk FE < 1 meskipun kondisi aliran adalah
dua fasa.
 Berlawanan dengan definisi kinerja aliran fluida dari
formasi ke lubang sumur.
.
Gambar 3.2. IPR for Damage or Stimulated Well (H.Dale)

Persamaan Cauto
Couto memanipulasi persamaan Standing untuk kinerja
aliran fluida dari formasi ke lubang sumur, dengan cara mendefinisi
indeks produktivitas. Persamaan yang hasilkan adalah sebagai
berikut :

ℎ 𝑘𝑜
𝑞𝑜 = 0.00419 − ( 𝑟𝑒
)−( ) 𝑃𝑟(𝐹𝐸) (1 − 𝑅)(1.8 − 0.8(𝐹𝐸)(1 − 𝑅))
𝑙𝑛 (0.472 𝑟𝑤 ) 𝜇𝑜 𝐵𝑜

………………………………………..……………...……….(3-18)
dimana,
R = Pwf/Pr

c. Pengaruh faktor turbulensi dan skin


Persamaan Fetkovich
Fetkovich menganalisa hasil uji back-pressure yang
dilakukan di sumur-sumur minyak yang berproduksi dari berbagai
kondisi reservoir. Dari analisa ini disimpulkan bahwa kurva back
pressure di sumur minyak mengikuti kurva back pressure di sumur
gas, yaitu plot antara qo terhadap (Pr2 – Pwf2). Grafik IPR sumur
minyak dari uji back pressure dapat dinyatakan dalam bentuk
persamaan :
𝑞𝑜 = 𝐶 ((𝑃̅𝑟 2 − 𝑃𝑤𝑓 2 )𝑛 ) ………………..(3-19)

dimana,
C = flow coefficient,
n = 1/kemiringan

n merupakan faktor turbulensi, dimana nilai n mendekati 1


menandakan tidak terjadi turbulensi, dan nilai n lebih kecil dari 1
atau minimum 0.5 terjadi turbulensi. Nilai n dapat dicari dari grafik
log qo vs log (Pr2-Pwf2) dengan menentukan dua titik dan
dimasukan kedalam persamaan berikut :
𝑙𝑜𝑔 𝑞 −𝑙𝑜𝑔𝑞
𝑛 = 𝑙𝑜𝑔(𝑃2) 2−𝑙𝑜𝑔(𝑃12) ………………………..(3-20)
𝑟 2 𝑟 1

3.2.3. Aliran tiga fasa


a. Tanpa pengaruh skin
Persamaan Pudjo Sukarno
Metode ini digunakan untuk mengembangkan kurva IPR
gas-minyak. Adapun anggapan yang digunakan adalah :
 Faktor Skin sama dengan 0
 Gas, minyak dan air berada dalam satu lapisan dan mengalir
bersama-sama secara radial.

Pada metode ini parameter water cut merupakan parameter


tambahan dalam persamaan kurva IPR yang dikembangkan. Dan
didapatkan persamaan metode Pudjo Sukarno yaitu :
𝑞𝑜 𝑃𝑤𝑓 𝑃𝑤𝑓 2
𝑞𝑡𝑚𝑎𝑥
= 𝐴0 − 𝐴1 ( 𝑃𝑟
) − 𝐴2 (( 𝑃𝑟
) ) ………..(3-21)
Dimana,
A0, A1, A2 adalah konstanta persamaan yang harganya
berbeda untuk water cut berbeda. Hubungan konstatnta tersebut
dengan water cut didapatkan persamaan sebagai berikut :
𝐴𝑛 = 𝐶0 + 𝐶1 (𝑊𝑎𝑡𝑒𝑟𝑐𝑢𝑡 ) + 𝐶2 (𝑊𝑎𝑡𝑒𝑟𝐶𝑢𝑡 2 ) ..(3-22)

Tabel 3.1. Konstanta Cn untuk masing-masing An


An C0 C1 C2
A0 0.980321 -0.115661x10-1 0.17905x10-4
A1 -0.414360 0.392799x10-2 0.237075x10-5
A2 -0.564870 0.762080x10-2 -0.202079x10-4

3.2.4. Peramalan Inflow Performance Relationship


Metode peramalan IPR ini hanya berlaku pada kondisi aliran dua
fasa (minyak dan gas) atau tekanan reservoir lebih kecil dari tekanan
saturasi.
1. Faktor Skin sama dengan nol
Dalam kelompok ini ada metode Standing, dengan persamaan :
𝑃̅ ̅̅̅
𝑓(𝑃 )
𝑞𝑜(𝑚𝑎𝑥)𝐹 = 𝑞𝑜(𝑚𝑎𝑥)𝑃 − (𝑃̅𝑅𝐹𝑓(𝑃 𝑅𝐹
̅̅̅ ) ) ………………..(3-23)
𝑅𝑃 𝑅𝑃

𝑓𝑃̅𝑅𝐹 = (𝑘𝑟𝑜 /𝜇𝑜 𝐵𝑜 )𝐹 ………………………………..(3-24)


𝑓𝑃̅𝑅𝑃 = (𝑘𝑟𝑜 /𝜇𝑜 𝐵𝑜 )𝑃 ………………………………..(3-25)
𝑃𝑤𝑓 𝑃𝑤𝑓 2
𝑞𝑜(F) = 𝑞𝑜(𝑚𝑎𝑥)𝐹 [1 − 0.2 ( ) − 0.8 ( ) ] ………..(3-26)
𝑃𝑟 𝑃𝑟

Atau
𝐽 ∗𝐹 𝑃𝑅𝐹 𝑃𝑤𝑓 𝑃𝑤𝑓 2
𝑞𝑜(𝐹) = [1 − 0.2 ( ) − 0.8 ( ) ] ………..(3-27)
1.8 𝑃𝑟 𝑃𝑟

2. Faktor Skin tidak sama dengan nol


Dalam kelompok ini terdapat metode couto berdasarkan
pengembangan dari persamaan vogel dengan meramalkan tekanan
reservoir yang akan datang, metode Fetkovich berdasarkan
pengembangan empiris.
Metode Fetkovich
𝑃𝑅𝐹 𝑛
𝑞𝑜(𝐹) = 𝐽 (𝑃𝑟𝑓 2 − 𝑃𝑤𝑓) ………………………..(3-28)
𝑃𝑟𝑖

3.2.5. Inflow Performance Gas


Rawlins dan Schhellhardt mengembangkan persamaan empiris pada tahun
1935 yang sering disebut persamaan back pressure. Pada tes uji back pressure
diperoleh nilai Absolute Open Flow sumur. AOF adalah besarnya produksi sumur
pada tekanan atmosfir.
𝑞𝑠𝑐 = 𝐶 ((𝑃̅𝑟 2 − 𝑃𝑤𝑓 2 )𝑛 ) ………………………………..(3-29)

Selain persamaan diatas, Metode Jones dapat juga diterapkan pada


perhitungan inflow performance pada sumur gas. Metode ini dapat diterapkan
pada aliran turbulen dan laminer.
𝐴′ = 𝐴 + 𝐵 (𝐴𝑂𝐹) ………………………………………..(3-30)
dimana,
0.5
−𝐴+[𝐴2 +4𝐵𝑃̅ 𝑟 2]
𝐴𝑂𝐹 = ………………………………..(3-31)
2𝐵

3.3. Aliran Multifasa pada Pipa


Aliran multifasa pada pipa didefinisikan sebagai pergerakan dari gas bebas
dan liquid dalam pipa secara bersamaan. Pada kondisi ini gas dan liquid
diibaratakan sebagai campuran yang homogeneus, atau liquid mungkin berbentuk
slug dengan gas yang mendorongnya dari belakang. Masalah aliran multifasa
dapat dibedakan menjadi 4 kategori, yaitu :
1. Vertikal Multiphase flow
2. Horizontal Multiphase flow
3. Inclined Multiphase flow
4. Directional Multiphase flow
Dalam sistem sumur produksi, keempat persoalan aliran diatas dapat
ditemui dimana fluida multifasa dari reservoir masuk kelubang sumur dimana
aliran fluida reservoir dalam tubing dapat berupa aliran vertikal ataupun aliran
directional maupun incline kemudian fluida mengalir ke kepala sumur dan
dilanjutkan mengalir ke tanki pengumpul melalui pipa salur horizontal atau miring
sesuai permukaan tanah. Dalam sistem aliran tersebut akan ada kehilangan
tekanan dari fluida yang mengalir, banyaknya metode yang telah dikembangkan
untuk memperkirakan besarnya kehilangan tekanan aliran tersebut.
Dalam perhitungan kehilangan tekanan aliran fluida dalam pipa vertikal
dapat dihitung dengan korelasi Hagedorn dan Brown, Duns dan Ros, Orkiszewski,
Mukherjee dan Brill, Minami dan Brill.
Sedangkan perhitungan kehilangan tekanan aliran fluida dalam pipa
horizontal dapat dihitung dengan korelasi Dukler I , Dukler II, Eaton dan Beggs
dan Brill.

3.4. Sistem Analisa Nodal


Analisa nodal merupakan salah satu pendekatan sistem analisis untuk
menganalisa performa suatu sumur hidrokarbon berdasarkan kondisi sistem yang
ada pada sumur tersebut. Sistem produksi sumur terdiri atas sejumlah komponen-
komponen yang saling berinteraksi dimana performa masing-masing komponen
tersebut akan memberikan pengaruh terhadap performa sumur secara keseluruhan.
Tujuan utama analisa nodal adalah untuk mendapatkan laju produksi optimum
dari sumur minyak dengan melakukan evaluasi secara lengkap pada sistem sumur.
Pemilihan kombinasi komponen yang tepat pada sistem sumur tersebut akan
memberikan hasil optimal terhadap produksinya.
Nodal merupakan titik pertemuan antara 2 komponen, dimana titik
pertemuan tersebut secara fisik akan terjadi keseimbangan, dalam bentuk
keseimbangan massa ataupun keseimbangan tekanan. Hal ini berarti bahwa massa
fluida yang keluar dari suatu komponen akan sama dengan masa fluida yang
masuk ke dalam komponen berikutnya yang akan saling berhubungan atau teanan
di ujung suatu komponen akan sama dengan tekanan di ujung komponen lain yang
berhubungan.

Gambar 3.3. Gambar Sistem kehilangan tekanan di dalam sumur secara lengkap
(Brown, Kermit E., 1977)

Hal dasar yang diperlukan untuk analisa optimasi sumur dengan analisa
sistem nodal adalah Inflow Performance Relationship (IPR) sumur pada kondisi
terkini. Kemudian model dari komponen-komponen sumur dapat digunakan untuk
memprediksi performa sumur.
Dalam sistem sumur produksi dapat ditemukan 4 titik nodal, yaitu :
1. Titik nodal di dasar sumur
Titik nodal ini merupakan pertemuan antara komponen formasi
produktif/reservoir dengan komponen tubing apabila komplesi sumur
adalah open hole atau titik pertemuan antara komponen tubing dengan
komplesi apabila sumur diperforasi / dipasangi gravel pack.
2. Titik nodal di kepala sumur
Titik nodal ini merupakan titik pertemuan antara komponen tubing dan
komponen pipa salur dalam hal ini sumur tidak dilengkapi dengan jepitan
atau merupakan titik pertemuan antara komponen tubing dengan
komponen jepitan apabila sumur dilengkapi dengan jepitan.
3. Titik nodal di separator
Pada titik nodal ini mempertemukan komponen pipa salur dengan
komponen separator.
4. Titik nodal di “Upstream / Downstream” jepitan.
Sesuai dengan letak jepitan, titik nodal ini dapat merupakan pertemuan
antara komponen jepitan dengan komponen tubing, apabila jepitan
dipasang di tubing sebagai safety valve atau merupakan pertemuan antara
komponen tubing dipermukaan dengan komponen jepitan, apabila jepitan
dipasang di kepala sumur.

3.5. Permasalahan Produksi


Pada prinsipnya problem produksi yang mengakibatkan tidak optimumnya
produksi minyak di suatu sumur dapat dikelompokkan menjadi dua kelompok :
 Problem kepasiran
Sebab – sebab dari terproduksinya pasir berhubungan dengan :
- Tenaga pengerukan (drag force), yaitu tenaga yang terjadi oleh
aliran fluida dimana laju aliran dan visositasnya meningkat menjadi
lebih tinggi.
- Pengurangan kekuatan formasinya, hal ini sering dihubungkan
dengan produksi air, karena melarutkan material penyemen atau
pengurangan gaya kapiler dengan meningkatnya saturasi air.
- Penurunan tekanan reservoir, dengan penurunan ini akan
mengganggu sifat penyemenan antar batuan.

Ikut terproduksinya pasir pada operasi produksi menimbulkan


problem produksi. Problem produksi ini biasanya berhubungan dengan
formasi dangkal berumur tersier yang umumnya batupasir berjenis lepas-
lepas (unconsolidated sand) dengan sementasi antar butiran kurang kuat.
Hal ini berarti pekerjaan komplesi sumur menjadi perhatian kritis dalam
zona-zona kepasiran.
 Problem coning
Terproduksinya air atau gas yang berlebihan tidak hanya
menurunkan produksi minyak, tetapi juga dapat mengakibatkan sumur
ditutup atau ditinggalkan sebelum waktunya. Selain itu terproduksinya air
atau gas yang berlebihan akan menyebabkan proses pengolahan
selanjutnya menjadi lebih sulit.Terproduksinya air atau gas berlebihan
dapat disebabkan karena:
- Pergerakan air atau posisi batas air – minyak telah mencapai lubang
perforasi.
- Pergerakan gas atau batas gas – minyak telah mencapai lubang
perforasi.
- Terjadinya water fingering atau gas fingering

 Problem emulsi
Emulsi adalah campuran dua jenis cairan yang tidak dapat campur.
Dalam emulsi salah satu cairan dihamburkan dalam cairan lain berupa
butiran-butiran yang sangat kecil.
Emulsi kental memiliki jumlah oksigen droplet yang dihamburkan
dalam cairan lebih banyak dan emulsi encer adalah sebaliknya. Emulsi
semacam itu ditinjau dari viskositasnya. Sedang berdasarkan fasanya maka
emulsi dibagi menjadi dua yaitu :
- Air dalam emulsi minyak (water in oil emulsion) jika minyak
sebagai fasa eksternal dan air menjadi fasa internal.
- Minyak dalam emulsi air (oil in water emulsion) jika sebaliknya

 Problem scale
Endapan scale adalah endapan mineral yang terbentuk pada bidang
permukaan yang bersentuhan dengan air formasi sewaktu minyak
diproduksikan ke permukaan. Timbulnya endapan scale tergantung dari
komposisi air yang diproduksikan.Jika kelarutan ion terlampaui maka
komponen menjadiu terpisah dari larutan sebagai padatan, dan membentuk
endapan scale. Sebab-sebab terjadinya endapan scale antara lain :
- Air tak kompatibel
Air tak kompatibel adalah bercampurnya dua jenis air yang tak
dapat campur akibat adanya kandungan dan sifat kimia ion-ion air
formasi yang berbeda. Jika dua macam air ini bercampur maka
terjadi ion-ion yang berlainan sifat tersebut sehingga menyebabkan
terbentuknya zat baru tersusun atas kristal-kristal atau endapan
scale.
- Penurunan tekanan
Selama produksi terjadi penurunan tekanan reservoir akibat fluida
diproduksikan ke permukaan. Penurunan tekanan ini terjadi pada
formasi ke dasar sumur, ke permukaan dan dari kepala sumur ke
tangki penimbun. Adanya penurunan tekanan ini, maka gas CO 2
jadi terlepas dari ion-ion bikarbonat. Pelepasan CO2 menyebabkan
berubahnya kelarutan ion yang terkandung dalam air formasi
sehingga mempercepat terjadinya endapan scale.
- Perubahan temperatur
Sejalan dengan berubahnya temperatur (ada kenaikkan temperatur)
terjadi penguapan, sehingga terjadi perubahan kelarutan ion yang
menyebabkan terbentuknya endapan scale. Perubahan temperatur
ini disebabkan oleh penurunan tekanan .
- Faktor-faktor lainnya
Agitasi menyebabkan terjadinya turbulensi aliran, sehingga
endapan scale lebih cepat terbentuk. Semakin lama waktu kontak
semakin besar pula endapan scale yang terbentuk. Semakin besar
pH larutan mempercepat terbentuknya endapan scale.

 Problem Korosi
Problem korosi timbul akibat adanya air yang berasosiasi dengan
minyak dan gas pada saat diproduksikan ke permukaan. Air bersifat asam
atau garam, atau keduanya dan kecenderungan mengkorosi logam yang
disentuhnya. Besi umumnya mudah bersenyawa dengan sulfida dan
oksigen, sehingga korosi yang dihasilkan berupa feri oksida. Untuk itu
adanya anggapan bahwa korosi merupakan reaksi antara besi dengan
oksigen atau hidrogen sulfida sebagai berikut :
4 Fe+++ + 3 O2 2 Fe2O3 (karat)
Fe++ + H2S FeS + H2 (karat)

Besi tidak bisa bereaksi dengan oksigen kering atau hidrogen


sulfida kering pada temperatur biasa karena korosi hanya dapat terjadi jika
ada air.
Korosi sebenarnya merupakan proses elektrokimia yaitu proses
listrik yang terjadi setelah reaksi kimia dan disebabkan oleh kandungan
garam dan asam dalam air. Jika ada dua permukaan logam berbeda muatan
listrik maka terjadi aliran listrik melalui air. Korosi pada logam dapat
dapat disebabkan oleh beberapa hal, yaitu :
1. Pengaruh komposisi logam, dimana setiap logam yang berbeda
mempunyai kecenderungan yang berbeda terhadap korosi.
2. Pengaruh komposisi air, dimana pengkaratan oleh air akan
meningkat dengan naiknya konduktivitas. Disamping itu
pengkaratan oleh air juga akan meningkat dengan menurunnya pH
air.
3. Kelarutan gas, dimana oksigen, karbon dioksida atau hidrogen
sulfida yang terlarut didalam air akan menaikkan korosivitas secara
drastis. Gas yang terlarut adalah sebab utama problem korosi.

 Problem parafin
Terbentuknya endapan parafin dan aspal disebabkan oleh
perubahan kesetimbangan fluida reservoir akibat menurunnya kelarutan
lilin dalam minyak mentah. Pengendapan yang terjadi pada sumur
produksi dipengaruhi oleh kelarutan minyak mentah dan kandungan lilin
dalam minyak. Kristal-kristal lilin yang menjarum berhamburan dalam
minyak mentah saat berbentuk kristal-kristal tunggal. Bahan penginti
(nucleating agent) yang terdapat bersama-sama dengan kristal lilin dapat
memisahkan diri dari larutan minyak mentah dan membentuk endapan
dalam sumur produksi.
Penyebab utama terbentuknya endapan parafin dan aspal adalah
penurunan tekanan karena kelarutan lilin dalam minyak mentah menurun
saat menurunnya temperatur. Adanya gerakan ekspansi gas pada lubang
perforasi dan di dasar sumur dapat menyebabkan terjadinya pendinginan
atau penurunan temperatur sampai di bawah titik cair parafin, sehingga
timbul parafin dan aspal. Terlepasnya gas dan hidrokarbon ringan dari
minyak mentah bisa menyebabkan penurunnan kelarutan lilin, sehingga
terbentuk endapan parafin dan aspal. GOR yang tinggi dapat mempercepat
terbentuknya endapan parafin dan aspal.

3.6. Metode Produksi


3.6.1. Sembur Alam (Natural Flow)
Sembur alam adalah memproduksikan sumur produksi secara alamia
dengan kemanpuan pressure reservoir untuk mendorong fluidanya hingga ke
permukaan tanpa menggunakan alat bantuan. Hal ini karenakan pressure reservoir
yang masih manpu mendoron fluida ke permukaan dengan pressure pada reservoir
yang cukup tinggi. Sumur produksi akan terus di produksikan secara alamia
selama tekananya masih mampu dan masih ekonomis dalam segi ke
ekonomiannya.
Produksi ini memamfaatkan mekanisme pendorong pada reservoir, seperti
halnya dari gas-gas bebas maupun dari minyak itu sendiri, keduanya memiliki
tekanan, dimana pada kondisi tertentu tekanan tersebut dapat menaikkan fluida
dari dasar sumur ke permukaan melalui tubing tanpa memerlukan tenaga
(tekanan) bantuan yang berasal dari luar.
Untuk menjaga sumur-sumur produksi tetap berproduksi dalam jangka
waktu semburan yang agak lama, maka pada alat christmas tree dipasang choke
yang mempunyai diameter jauh lebih kecil dari pada diameter tubing.

3.6.2. Metoda Sembur Buatan


Pengangkatan buatan adalah merupakan suatu usaha untuk membantu
mengangkat fluida dari sumur produksi ke permukaan dengan jalan memberikan
energi mekanis dari luar. Metoda pengangkatan buatan yang umum digunakan
selama ini dalam metoda artificial lift adalah dengan menggunakan jenis peralatan
gas lift, pompa sucker rod, dan pompa sentrifugal (pompa reda) yang masing-
masing peralatan tersebut akan dijelaskan di bawah ini.

3.6.2.1.Gas Lift
Gas lift adalah suatu usaha pengangkatan fluida sumur dengan cara
menginjeksikan gas bertekanan tinggi (minimal 250 psi) sebagai media
pengangkat ke dalam kolom fluida melalui valve-valve yang dipasang pada tubing
dengan kedalaman dan spasi tertentu. Syarat-syarat suatu sumur yang harus
dipenuhi agar dapat diterapkan metoda gas lift antara lain :
1. Tersedianya gas yang memadai untuk injeksi, baik dari reservoir itu
sendiri maupun dari tempat lain.
2. Fluid level masih tinggi.

Pengangkatan fluida dengan cara gas lift didasarkan pada pengurangan


gradien tekanan fluida di dalam tubing, pengembangan dari gas yang diinjeksikan
serta pendorongan fluida oleh gas injeksi yang bertekanan tinggi. Ketiga faktor
dapat bekerja sendiri-sendiri atau merupakan kombinasi dari ketiganya.
Fluida yang berada di dalam annulus antara tubing dan casing ditekan
dengan gas injeksi, sehingga permukaan fluidanya akan turun di bawah valve,
selanjutnya valve ini (valve paling atas) akan membuka, sehingga gas injeksi akan
masuk ke dalam tubing. Dengan bercampurnya gas injeksi dengan fluida
reservoir, maka densitas minyak akan turun dan mengakibatkan gradien tekanan
minyak berkurang sehingga akan mempermudah fluida reservoir mengalir ke
permukaan.
Ada dua cara pengangkatan buatan dengan metode gas lift, yaitu
penginjeksian secara kontinyu (continuous flow gas lift) dan penginjeksian
terputus-putus (intermittent flow gas lift).
1. Continuous gas lift, yaitu gas diinjeksikan secara terus menerus ke dalam
annulus melalui valve yang dipasang pada tubing, maka gas akan masuk
ke dalam tubing. Metode ini digunakan pada sumur yang mempunyai
Productivity Index (PI) tinggi dan tekanan statis dasar sumur (Ps) tinggi,
relative terhadap kedalaman sumur, dimana PI tinggi besarnya adalah >
0.5 B/D/psi dan Ps tinggi artinya dapat mengangkat kolom cairan
minimum 70% dari kedalaman sumur. Pada tipe sumur ini, laju produksi
berkisar antara 200 – 20000 B/D, melalui ukuran tubing yang normal.
2. Intermittent gas lift, yaitu gas diinjeksikan secara terputus-putus pada
selang waktu tertentu, sehingga dengan demikian injeksi gas merupakan
suatu siklus dan diatur sesuai dengan laju fluida yang mengalir dari
formasi ke lubang sumur. Intermittent flow gas lift digunakan pada sumur-
sumur dengan volume fluida rendah atau sumur-sumur yang mempunyai
Productivity Index (PI) rendah dan Ps rendah, dimana PI rendah
mampunyai besar < 0.5 B/D/psi dan Ps rendah artinya kolom cairan yang
terangkat kurang dari 70%.

3.6.2.2.Pompa Sucker Rod


Sucker rod pump merupakan salah satu metoda pengangkatan buatan,
dimana untuk mengangkat minyak ke permukaan digunakan pompa dengan
tangkai pompa (rod). Pompa ini digunakan pada sumur-sumur dengan viskositas
rendah  medium, tidak ada problem kepasiran, GOR tinggi, sumur-sumur lurus
dan fluid level tinggi.
Prinsip kerja dari pompa sucker rod dapat dijelaskan sebagai berikut :
Gerak rotasi dari prime mover diubah menjadi gerak naik turun oleh pumping unit
terutama oleh sistem pitman crank assembly. Kemudian gerak angguk (naik
turun) ini oleh horse head dijadikan gerak lurus naik turun untuk menggerakkan
plunger. Instalasi pumping unit di permukaan dihubungkan dengan pompa yang
ada dalam sumur oleh sucker rod sehingga gerak lurus naik turun dari horse head
dipindahkan ke plunger pompa dan plunger bergerak naik turun dalam barrel
pompa.
Pada saat up-stroke, plunger bergerak ke atas, di bawah plunger terjadi
penurunan tekanan. Karena tekanan dasar sumur lebih besar dari tekanan dalam
pompa maka akibatnya standing valve terbuka dan minyak masuk ke dalam
pompa. Pada saat down-stroke, standing valve tertutup karena tekanan dari
minyak dalam barrel pompa, sedangkan pada bagian atasnya, yaitu traveling valve
terbuka oleh tekanan minyak akibat dari turunnya plunger, selanjutnya minyak
akan masuk ke dalam tubing. Proses ini dilakukan secara berulang-ulang sehingga
minyak akan sampai ke permukaan dan terus ke separator melalui flow line.

3.6.2.3.Electric Submersible Pump (ESP)


Electric submersible pump digunakan pada sumur-sumur yang dalam dan
dapat memberikan laju produksi yang besar. Selain untuk sumur produksi, ESP
juga dapat untuk proyek-proyek water flooding dan pressure maintenance, dimana
ESP dipasang pada sumur-sumur injeksi. Selain dari itu dapat juga digunakan
pada sumur-sumur yang tidak menggunakan tubing (tubingless completion) dan
produksi dilakukan melalui casing. Pada umumnya pompa jenis ini digunakan
pada sumur-sumur artificial lift dengan produksi besar dan GOR rendah.
Pada dasarnya electric submersible pump ini adalah merupakan pompa
sentrifugal bertingkat banyak, dimana poros dari pompa sentrifugal dihubungkan
langsung dengan penggerak. Motor penggerak ini menggunakan tenaga listrik,
sedangkan sumber listriknya diambil dari power plant, dimana tenaga listrik untuk
pompa disuplai dari switch board dan transformator di permukaan dengan
perantara kabel listrik yang di-clamp pada tubing dengan jarak 15 hingga 20 ft.
Setiap tingkat dari pompa sentrifugal terdiri dari impeller (bagian yang
berputar) dan diffuser (bagaian yang diam). Tenaga dalam bentuk tekanan didapat
dari cairan yang dipompakan disekitar impeller. Gerakan berputar impeller
mengakibatkan cairan ikut berputar, yaitu arah radial (akibat dari gaya sentrifugal)
dan arah tangensial.
Prinsip kerja Electric submersible pump adalah berdasarkan pada prinsip
kerja pompa sentrifugal dengan sumbu putarnya tegak lurus. Pompa sentrifugal
adalah motor hidrolik dengan jalan memutar cairan yang melalui impeller pompa,
cairan masuk ke dalam impeller pompa menuju poros pompa, dikumpulkan oleh
diffuser kemudian akan dilempar ke luar. Oleh impeller tenaga mekanis motor
dirubah menjadi tenaga hidrolik. Impeller terdiri dari dua piringan yang
didalamnya terdapat sudu-sudu, pada saat impeller diputar dengan kecepatan
sudut , cairan dalam impeller dilemparkan keluar dengan tenaga potensial dan
kinetik tertentu. Cairan yang ditampung dalam rumah pompa kemudian
dievaluasikan melalui diffuser, sebagian tenaga kinetik dirubah menjadi tenaga
potensial berupa tekanan. Karena cairan dilempar ke luar maka terjadi proses
penghisapan.

3.7. Enhanced Oil Recovery (EOR)


Enhanced Oil Recovery (EOR) adalah suatu mekanisme yang digunakan
pada tahapan tertiary recovery untuk meningkatkan produksi minyak setelah
tahapan primary dan secondary recovery. Perolehan Minyak Tahap Lanjut (EOR)
merupakan perolehan minyak dengan cara menginjeksikan suatu zat yang berasal
dari salah satu atau beberapa metode pengurasan yang menggunakan energi luar
reservoir. Jenis energi yang digunakan adalah salah satu atau gabungan dari energi
mekanik, energi kimia dan energi termik.
Perolehan minyak yang berasal dari injeksi tak tercampur, injeksi
tercampur, injeksi kimiawi dan injeksi thermal merupakan perolehan minyak
tahap lanjut, karena reservoir minyak memperoleh bantuan energi dari luar pada
semua metode tersebut. Jenis energi luar yang dipakai merupakan salah satu atau
gabungan dari energi mekanik, energi kimiawi dan energi thermal. Metode
Enhanced Oil Recovery (EOR) dapat digunakan pada awal produksi suatu
reservoir atau sebelum produksi secara alamiah yang ekonomis berakhir.
Konsep dasar dari metode EOR ini sendiri ada tiga macam, yaitu:
1. Primary Recovery
Primary recovery merupakan suatu metode produksi fluida reservoir yang
disebabkan oleh ekspansi dari gas atau liquid di dalam reservoir itu sendiri
atau oleh karena influx air dari aquifer.
2. Secondary Recovery
Secondary recovery merupakan suatu metode produksi fluida reservoir yang
disebabkan oleh injeksi fluida kedalam reservoir dengan menggunakan
fluida yang sama dengan fluida reservoir, apakah itu bagian produksi dari
reservoir bersangkutan atau reservoir lainnya, seperti water atau gas
injection.
3. Tertiary Recovery
Tertiary Recovery merupakan suatu metode produksi fluida reservoir yang
disebabkan oleh injeksi fluida atau hal lainnya ke dalam reservoir dimana
fluida yang diinjeksikan tersebut tidak sama dengan fluida reservoir, seperti
chemicals, steam atau solvent.

Secara garis besar ketiga recovery yang ada diatas dapat dikelompokkan
dalam bagian.

Gambar 3.1.Diagram Alir Metode-metode EOR untuk Peningkatan Recovery


Besarnya cadangan di seluruh dunia yang dapat digolongkan sebagai
cadangan yang tidak dapat diproduksikan dengan metode primer adalah sebesar
2.0 triliun barrel. Tahap produksi primer hanya dapat memproduksi 1/3 dari
OOIP, dimana 2/3 dari OOIP tidak dapat diproduksi dengan teknologi
konvensional.
Karena besarnya cadangan yang tersisa tersebut sehingga mendorong
dilakukan berbagai cara untuk meningkatkan perolehan minyak di reservoir
setelah tenaga pendorong alamiahnya berkurang. Penerapan teknologi EOR
diharapkan dapat memproduksi sekitar 20% - 30% dari cadangan minyak sisa
tersebut.
Dalam prakteknya, sekarang makin banyak digunakan metode EOR pada
awal kehidupan suatu reservoir, atau sebelum produksi secara alamiah yang
ekonomis berakhir. Karena itu harus dipastikan terlebih dahulu apakah penerapan
suatu metode EOR (Enhanced Oil Recovery), dapat dibayar oleh kelebihan
perolehan minyak.

3.7.1. Faktor Utama Yang Mempengaruhi Efektivitas EOR


Ada beberapa faktor penting yang mempengaruhi efektivitas EOR, antara
lain :
a. Kedalaman
Kedalaman reservoir merupakan faktor penting dalam menentukan
keberhasilan EOR dari segi teknik dan ekonomi. Dari segi ekonomi adalah
jika kedalaman reservoir kecil maka biaya pemboran juga akan kecil,
demikian pula jika dilakukan injeksi gas maka biaya kompresor juga akan
kecil.
b. Kemiringan
Faktor kemiringan mempunyai arti penting jika terdapat rapat massa antara
fluida pendesak dan fluida yang didesak cukup besar. Pengaruh
kemiringan tidak terlalu besar, jika kecepatan pendesakan besar.
c. Heterogenitas Reservoir
Heterogenitas atau Ketidakseragaman reservoir adalah variasi sifat fisik
dan kimia penyusun batuan dan fluida reservoar. Struktur reservoar
sesungguhnya sangat komplek, proses-proses geologi menyebabkan
ketidakseragaman batuan reservoar.

3.7.2. Metode-metode Enhanced Oil Recovery (EOR)


Ada beberapa macam metode yang digunakan dalam EOR, antara lain
sebagai berikut :
1. Injeksi Air (Water Flooding)
Injeksi air atau Water flooding merupakan metode perolehan tahap
kedua dengan menginjeksikan air ke dalam reservoir untuk mendapatkan
tambahan perolehan minyak yang bergerak dari reservoir menuju ke sumur
produksi setelah reservoir tersebut mendekati batas ekonomis produktif
melalui perolehan tahap pertama.
Proses penginjeksian air (water flooding) dari permukaan bumi ke
dalam reservoir minyak adalah didasarkan pada suatu kenyataan bahwa air
aquifer berperan sebagai pengisi atau pengganti minyak yang terproduksi,
disamping berperan sebagai media pendesak. Sedangkan pertimbangan
dilakukan water flooding adalah bahwa sebagian besar batuan reservoir
bersifat water wet (sifat kebasahan), sehingga fasa air lebih banyak
ditangkap oleh batuan akibatnya minyak akan terdesak dan bergerak
ketempat lain (permukaan sumur). Pertimbangan lain dilakukan injeksi air
adalah :
1. Saturasi minyak sisa (Sor) cukup besar
2. Recoverynya 30% _ 40% dari original oil in place (OOIP)
3. Air murah dan mudah diperoleh
4. Mudah menyebar ke seluruh reservoir dan kolom air memberikan
tekanan yang cukup besar dan efisiensi penyapuan yang cukup
tinggi.
5. Berat kolom air dalam sumur injeksi turut menekan, sehingga
cukup banyak mengurangi besarnya tekanan injeksi yang perlu
diberikan di permukaan, jika dibandingkan dengan injeksi gas, dari
segi berat air sangat menolong.
6. Efisiensi pendesakan air juga cukup baik, sehingga harga Sor
sesudah injeksi air = 30% cukup mudah didapat.

Pelaksanaan injeksi air membutuhkan persediaan air yang cukup


besar. Persediaan air dapat diperoleh dari air permukaan (danau, sungai,
laut) ataupun bawah permukaan. Syarat-syarat air untuk injeksi antara lain:
1. Tersedia dalam jumlah yang cukup selama masa injeksi
2. Tidak mengandung padatan-padatan yang tidak dapat larut
3. Stabil secara kimiawi dan tidak mudah bereaksi dengan elemen-
elemen yang terdapat dalam sistem injeksi dan reservoir.

2. Injeksi Gas
Prinsip proses injeksi gas tak tercampur dalam teknik produksi
lanjut sama dengan proses injeksi air (water flooding). Gas yang
diinjeksikan biasanya merupakan gas hidrokarbon. Injeksi gas dilakukan
jika terdapat sumber gas dalam jumlah yang besar dan cukup dekat
letaknya termasuk gas yang berasal dari ikutan produksi minyak. Injeksi
gas juga dapat dilakukan untuk menguras minyak yang tersembunyi pada
bagian atas reservoir yang terhalang oleh patahan atau kubah garam,
minyak ini sering disebut attic oil.
Beberapa alasan mendasar yang menyebabkan tidak efisiennya gas
sebagai fluida pendesak, antara lain:
1. Gas biasanya bersifat tidak membasahi batuan reservoir, sehingga
gas akan bergerak melalui pori-pori yang lebih besar dan bergerak
lebih cepat dari minyak. Gas yang diinjeksikan dapat mendesak gas
lebih banyak daripada minyak apabila terdapat saturasi gas awal
yang menempati pori-pori yang lebih besar.
2. Fluida gas mempunyai viskositas yang relatif jauh lebih kecil
daripada minyak, sehingga gas cenderung melewati minyak bukan
mendesaknya.
3. Fluida gas merupakan fluida non-wetting dan menempati pori-pori
yang lebih besar dimana aliran paling mudah terjadi, sehingga
permeabilitas relatif gas akan naik secara drastis dan permeabilitas
relatif minyak akan turun secara drastis. Mobilitas gas akan
bertambah seiring dengan bertambahnya permeabilitas relatif gas,
akibatnya masalah channeling semakin bertambah. Harga saturasi
minyak residual (Sor) akan cukup besar pada akhir proses
pendesakan gas.

3. CO2 Flooding
Injeksi gas CO2 atau sering juga disebut sebagai injeksi gas CO2
tercampur yaitu dengan menginjeksikan sejumlah gas CO2 ke dalam
reservoir dengan melalui sumur injeksi sehingga dapat diperoleh minyak
yang tertinggal.
Pelaksanaan screening untuk penginjeksian CO2 flooding
sebaiknya tidak dilakukan pada beberapa karakteristik reservoir seperti di
bawah ini:
 Jika viskositas minyak diatas 10 cp, maka injeksi CO2 tidak
disarankan untuk dilakukan.
 Hitung tekanan yang diperlukan untuk melarutkan CO2 kedalam
fluida minyak (hasil dari percobaan di lab).
 Tentukan tekanan maksimum yang dapat diterapkan pada reservoir
bersangkutan (Pmax = 0.6 x Kedalaman – 300 psi).
 Reservoir yang teridiri dari banyak fracture.
 Pada batuan yang memiliki permebility terlalu besar.
 Pada reservoir yang terlalu heterogen.
 Reservoir yang memiliki ukuran gas cap terlalu besar.
 Reservoir dengan strong bottom water drive.
Kelebihan Proses CO2
 Kelarutan dapat terjadi pada pressure yang relatif rendah.
 Pada kondisi gas terlarut akan menghasilkan efisiensi displacement
yang maksimal.
 Proses ini akan membantu menngkatkan perolehan untuk reservoir
dengan depletion drive.
 Jika dibandingkan dengan injeksi gas lainnya, proses ini lebih
unggul karena dapat menurunkan residual minyak (Sor).

Kerugian Proses CO2


 Proses ini mahal dalam transportasi
 Untuk kondisi tertentu, proses ini bisa memberikan efisiensi
pengurasan yang rendah sebagai efek gravity segregation.
 Meningkatnya korosi pada fasilitas permukaan dan sumur.
 Perlu penanganan khusus untuk proses recycling CO2 yang
diproduksikan.

4. Nitrogen/Flue Gas Flooding


Gas alam telah lama diinjeksikan ke dalam reservoir dengan hasil
yang memuaskan di seluruh dunia. Pada kebanyakan reservoir injeksi gas
alam dapat mempertahankan tekanan. Akan tetapi keterbatasan survei dan
biaya yang semakin meningkat membuat perlunya membuat suatu gas
alternatif. Gas yang tidak reaktif (inert gas) seperti N2 murni atau
campuran yang didominasi N2 dapat dijadikan alternatif pengganti gas
alam.

Kelebihan dari gas inert adalah :


 Keuntungan utama dari gas inert dibandingkan dengan gas alam
bahwa dari hasil pembakaran gas alam akan diperoleh gas hasil
pembakaran atau gas inert sebanyak 5 sampai 10 kali volume gas
alam yang dibakar.
 Jika tudung gas ada, injeksi gas ini akan mencegah terjadinya
perembesan minyak ke dalam zona tudung gas. Gas inert akan
lebih suka tinggal sebagai residu pada saat abandonment dari pada
gas alam.
 Injeksi gas akan menghasilkan perolehan lebih banyak jika
dibandingkan dengan pendesakan air, pada reservoir dengan
permeabilitas yang kecil.
 Realisasi penyediaan gas alam kemungkinan tidak akan stabil
karena harga dan persediaan gas alam dimasa datang akan
dikontrol oleh pemerintah. Peraturan seperti ini mungkin
membatasi atau melarang injeksi dengan gas alam.

Kekurangan dari gas inert adalah :


 Korosi mungkin merupakan kerugian yang sangat penting dalam
operasi yang memakai boiler dan atau gas sisa pembakaran untuk
pendesakan minyak secara tercampur.
 Adanya breakthrough (tembus gas) dari gas nitrogen yang
diinjeksikan pada sumur-sumur produksi

5. Thermal Flood
Injeksi thermal adalah salah satu metode EOR dengan cara
menginjeksikan energi panas ke dalam reservoir untuk mengurangi
viskositas minyak yang tinggi yang akan menurunkan mobilitas minyak
sehingga akan memperbaiki efisiensi pendesakan dan efisiensi penyapuan.
Thermal flood tipe Reservoirnya umumnya mengandung minyak dengan
API gravity 10 – 20, dengan viscositas pada temperatur reservoir 200 –
1000 cp. Meskipun pada beberapa kasus permeabilitasnya cukup besar,
tetapi energi reservoirnya tidak cukup untuk memproduksi minyak tersebut
karena viscositasnya yang sangat tinggi. Injeksi panas dapat dilakukan
dengan beberapa cara yaitu injeksi fluida panas (injeksi air panas dan
injeksi steam) dan in-situ combustion (pembakaran di tempat).

6. Steam Flood
Injeksi uap adalah menginjeksikan uap ke dalam reservoir minyak
untuk mengurangi viskositas yang tinggi supaya pendesakan minyak lebih
efektif, sehingga akan meningkatkan perolehan minyak. Uap diinjeksikan
secara terus-menerus melalui sumur injeksi dan minyak yang didesak akan
diproduksikan melalui sumur produksi yang berdekatan. Pengaruh panas
di dalam zona air panas pada produksi minyak adalah menurunnya
viskositas minyak, ekspansi thermal minyak dan saturasi minyak sisa serta
berubahnya permeabilitas relatif pada temperatur tinggi.
Mekanisme injeksi uap merupakan proses yang serupa dengan
pendesakan air. Suatu pola sumur yang baik dipilih dan uap diiinjeksikan
secara terus menerus melalui sumur injeksi dan minyak yang didesak dan
diproduksikan melalui sumur lain yang berdekatan. Uap yang diinjeksikan
akan membentuk suatu zona jenuh uap (steam saturated zone) disekitar
sumur injeksi.
Temperatur dari zona ini hampir sama dengan temperatur uap yang
diinjeksikan. Kemuadian uap bergerak menjauhi sumur, temperaturnya
berkurang secara kontinyu disebabkan oleh penurunan tekanan. Pada jarak
tertentu dari sumur (tergantung dari temperatur uap mula-mula dan laju
penurunan tekanan), uap akan mencair dan membentuk hot water bank.
Kelebihan dan Kerugian Injeksi Uap
Kelebihan dari Injeksi Uap adalah :
 Uap mempunyai kandungan panas yang lebih besar dari pada air,
sehingga efisiensi pendesakan lebih efektif.
 Recovery lebih besar dibandingkan dengan injeksi air panas untuk
jumlah input energi yang sama.
 Didalam formasi akan berbentuk zone steam dan zone air panas,
dimana masing-masing zone ini akan mempunyai peranan terhadap
proses pendesakan minyak ke sumur produksi.
 Efisiensi pendesakan sampai 60 % OOIP.

Kerugian dari Injeksi Uap adalah :


 Terjadinya kehilangan panas di seluruh transmisi, sehingga perlu
pemasangan isolasi pada pipa.
 Spasi sumur harus rapat, karena adanya panas yang hilang dalam
formasi.
 Terjadinya problem korosi, scale maupun emulsi.
 Karena adanya perbedaan gravitasi, formasi pada bagian atas akan
tersaturasi steam, sehingga efisiensi pendesakan pada formasi
bagian atas sangat baik. Oleh karena itu secara keseluruhan,
efisiensi pendesakan vertikalnya kurang baik.
 Kecenderungan terjadinya angket oil sangat besar, tergantung pada
faktor heterogenitas batuan.

7. In-Situ Combustion
In-situ combustion adalah proses pembakaran sebagian minyak
dalam reservoir untuk mendapatkan panas , dimana pembakaran dalam
reservoir dapat berlangsung bila terdapat cukup oksigen (O2) yang
diinjeksikan dari permukaan. Untuk memulai pembakaran dipakai minyak
pembakar yang dinyalakan dengan listrik, kemudian pembakaran
berlangsung terus dengan minyak reservoir dan injeksi O2 terus dilakukan,
sehingga pembakaran bergerak menuju sumur produksi. Temperatur
pembakaran dapat mencapai 600 – 1200 0F. Panas yang ditimbulkan
memberi efek penurunan viskositas, pengembangan dan destilasi minyak
dengan efek gas drive dan solvent extraction, semua ini akan
menyebabkan minyak terdesak ke sumur produksi. Penyalaan yang terjadi
di satu tempat di reservoir akan merambat ke arah dimana terdapat bahan
bakar yang telah tercampur dengan udara injeksi. Berdasarkan perambatan
pembakaran ini In-Situ Combustion dibagi dalam forward combustion dan
reverse combustion. Pemakaian in-situ combustion memakan biaya relatif
besar dibandingkan dengan metode lainnya
Mekanisme kerja diawali dengan penyalaan dan panas yang
dihasilkan akan merambat secara konduksi. Dengan tersedianya oksigen
yang cukup, crude oil sekitarnya akan ikut terbakar setelah temperatur
nyalanya tercapai. Bahan bakar untuk tahap lanjut bukan lagi crude oil
(hidrokarbon ringan sampai berat). Dengan naiknya temperatur, minyak
akan lebih mudah bergerak sehingga sebagian minyak terdesak akan
menjauhi zone pembakaran. Kelebihan dan Kekurangan In–Situ
Combustion :
Kelebihan In-Situ Combustion :
 Kecuali untuk minyak yang memberikan coke dalam jumlah
kurang dari 1 lb/cuft dan ketebalan reservoir 10 ft atau kurang,
pemanasan reservoir dengan menggunakan injeksi uap lebih murah
dibandingkan forward combustion.
 Untuk ketebalan, tekanan dan laju injeksi panas yang tertentu, salah
satu proses mungkin dapat lebih murah tergantung pada konsumsi
bahan bakar dan kedalaman reserevoir. Namun jika harga bahan
bakar meningkat, biaya pemanasan dengan menggunakan injeksi
uap menjadi lebih besar.
 Endapan coke yang semakin meningkat dapat membuat injeksi uap
lebih menguntungkan.
 Kehilangan panas di lubang sumur yang bertambah karena
bertambahnya kedalaman akan membuat forward combustion lebih
menguntungkan.
 Jika jarak yang harus dipanasi dalam reservoir bertambah,
pemanasan dengan menggunakan combustion lebih
menguntungkan.
 Jika ketebalan pasir berkurang dan tekanan bertambah, combustion
lebih menguntungkan dibandingkan injeksi uap.
 Jika laju injeksi berkurang, biaya injeksi uap menjadi relatif lebih
menguntungkan dibandingkan dengan udara.

Kekurangan In-Situ Combustion :


 In-situ combustion memiliki kecenderungan hanya menyapu
minyak bagian atas daerah minyak sehingga penyapuan vertikal
pada formasi yang sangat tebal biasanya buruk.
 Kebanyakan panas yang dihasilkan dari in-situ combustion tidak
digunakan dalam pemanasan minyak, sebaliknya digunakan untuk
memanaskan lapisan oil-bearing, interbedded shale dan tudung
serta dasar batuan.
 Minyak yang kental dan berat cocok untuk in-situ combustion
sebab memberikan bahan bakar yang diperlukan.
 Instalasi in-situ combustion memerlukan biaya investasi yang
besar. Akan tetapi instalasi permukaan mengkonsumsi bahan bakar
lebih sedikit dibandingkan peralatan air panas atau generator uap.

8. Hot Water Injection


Injeksi air panas merupakan salah satu metode thermal recovery
yang digunakan untuk reservoir yang mempunyai viscositas tinggi.
Metode ini juga banyak digunakan untuk reservoir-reservoir dangkal yang
mempunyai range viscositas antara 100 – 1000 cp. Injeksi air panas akan
mempengaruhi mobility ratio water drive dalam reservoir dan karena itu
akan menambah efisiensi recovery.
Mekanisme kerja pertama kali minyak akan di desak oleh air dingin
sebelum front panas sampai. Air panas akan mendingin lebih cepat dalam
jari-jari yang kecil (small fingers) sehingga panas berjalan lambat dalam
reservoir.
Ulah dini dari hot water drive lebih buruk daripada cold water
drive sebab hot water kurang viscous dibandingkan dengan cold water
tetapi hakekatnya masih mendorong minyak dingin. Berangsur-angsur
kemudian kehilangan panas dari hot water channels akan menambah
temperatur reservoir dengan cara konduksi. Hal ini akan mengurangi
viscositas minyak dan meningkatkan efek water drive.
Kelebihan injeksi air panas :
 Proses pendesakan panas sangat simpel dan dapat berfungsi sebagai
water flood.
 Design dan operasinya sebagian besar dapat menggunakan fasilitas
water flood.
 Efisiensi pendesakan lebih baik dari water flood conventional.

Kekurangan injeksi air panas :


 Air mempunyai kapasitas panas yang rendah dibanding steam.
 Perlu adanya treatment khusus untuk mengontrol korosi, problem
scale, swelling maupun problem emulsi.
 Pada sand yang tipis, sejumlah panas akan hilang pada overburden
dan underburden, hal ini akan menjadi kritis apabila formasi
underburden dan overburden berupa shale.
 Kehilangan panas cukup besar pada rate injeksi rendah dan formasi
sand yang tipis.

9. Chemical Flood
Injeksi kimia pada prinsipnya adalah menambahkan zat kimia
kedalam reservoir dengan jalan injeksi dan bertujuan untuk mengubah
sifat-sifat fisik/kimia fluida reservoir dengan fluida pendesak. Sasaran
utamanya adalah untuk mengurangi tekanan kapiler atau menaikkan
viscositas fluida pendesak agar dapat memperbaiki efisiensi pendesakan
(Ed) dan effisiensi penyapuan (Es).
Kondisi reservoir yang perlu diperhatikan pada proses kimia ini
adalah temperatur, jenis reservoir dan mekanisme pendorong reservoir.
Jenis reservoir disini menyangkut ada tidaknya tudung gas, sebab adanya
tudung gas dapat menyebabkan masuknya sebagian minyak yang terdesak
kedaerah yang mempunyai saturasi gas 100 % sehingga minyak
terperangkap.
Pada prinsipnya metoda pendesakan fluida kimia dibedakan atas
dua tujuan, tergantung fluida yang digunakan yaitu :
1. Memperbaiki mobilitas ratio antara fluida pendesak dengan fluida
reservoir (minyak), sehingga effisiensi penyapuan (Es) menjadi
besar.
2. Memperkecil dan mengurangi gaya-gaya antar permukaan dari
sistem batuan-fluida reservoir, sehingga effisiensi pendesakan (Ed)
meningkat.

Umumnya pendesakan kimia tidak dilakukan secara terpisah tetapi


merupakan suatu kombinasi pendesakan tertentu untuk mendapatkan
kondisi yang optimum. Jenis-jenis injeksi kimiawi yang akan dibicarakan
dalam sub bab ini adalah injeksi surfactant, injeksi polimer dan injeksi
alkaline.

10. Surfactant Flooding


Injeksi surfactant digunakan untuk menurunkan tegangan
antarmuka minyak-fluida injeksi supaya perolehan minyak meningkat.
Injeksi surfactant ini ditujukan untuk memproduksikan residual oil
yang ditinggalkan oleh water drive, dimana minyak yang terjebak oleh
tekanan kapiler, sehingga tidak dapat bergerak dapat dikeluarkan dengan
menginjeksikan larutan surfactan. Percampuran surfactant dengan minyak
membentuk emulsi yang akan mengurangi tekanan kapiler.
Setelah minyak dapat bergerak, maka diharapkan tidak ada lagi
minyak yang tertinggal. Pada surfactant flooding kita tidak perlu
menginjeksikan surfactant seterusnya, melainkan diikuti dengan fluida
pendesak lainnya, yaitu air yang dicampur dengan polimer untuk
meningkatkan efisiensi penyapuan dan akhirnya diinjeksikan air.
Pada dasarnya ada dua konsep yang telah dikembangkan dalam
penggunaan surfactant untuk meningkatkan perolehan minyak. Konsep
pertama adalah larutan yang mengandung surfactant dengan konsentrasi
rendah diinjeksikan. Surfactant dilarutkan di dalam air atau minyak dan
berada dalam jumlah yang setimbang dengan gumpalan-gumpalan
surfactant yang dikenal sebagai micelle. Sejumlah besar fluida (sekitar 15
– 60% atau lebih) diinjeksikan ke dalam reservoir untuk mengurangi
tegangan antarmuka antara minyak dan air, sehingga dapat meningkatkan
perolehan minyak.
Pada konsep kedua, larutan surfactant dengan konsentrasi yang
lebih tinggi diinjeksikan ke dalam reservoir dalam jumlah yang relatif
kecil (3 – 20% PV). Dalam hal ini, micelles yang terbentuk bisa berupa
dispersi stabil air di dalam hidrokarbon atau hidrokarbon di dalam air.
Mekanisme kerja larutan surfactant yang merupakan
microemulsion yang diinjeksikan ke dalam reservoir, mula-mula
bersinggungan dengan permukaan gelembung-gelembung minyak melalui
film air yang tipis, yang merupakan pembatas antara batuan reservoir dan
gelembung-gelembung minyak. Surfactant memulai perannya sebagai zat
aktif permukaan untuk menurunkan tegangan permukaan minyak-air.

Kelebihan Proses Injeksi Surfactant


 Proses ini memberikan efisiensi displacement dan sweep yang cukup
besar.
 Memiliki kemiripan dengan waterflooding.
 Efek gravity segregation umumnya diabaikan atau kecil sekali
pengaruhnya.
 Hampir dapat diterapkan pada semua kondisi reservoir.
Kekurangan Proses Injeksi Surfactant
 Harga bahan dasar kimia yang relatif mahal.
 Tidak mudah untuk melakukan prediksi oleh karena ketidakaturan
fasa yang tercampur dan ter-dispers, dan desain slug yang relatif
rumit.
11. Polymer Flooding
Injeksi polimer pada dasarnya merupakan injeksi air yang
disempurnakan. Penambahan polimer ke dalam air injeksi dimaksudkan
untuk memperbaiki sifat fluida pendesak, dengan harapan perolehan
minyaknya akan lebih besar. Injeksi polimer dapat meningkatkan
perolehan minyak yang cukup tinggi dibandingkan dengan injeksi air
konvensional. Akan tetapi mekanisme pendesakannya sangat kompleks
dan tidak dipahami seluruhnya.
Jika minyak reservoir lebih sukar bergerak dibandingkan dengan
air pendesak, maka air cenderung menerobos minyak, hal ini akan
menyebabkan air cepat terproduksi, sehingga effisiensi pendesakan dan
recovery minyak rendah. Pada kondisi reservoir seperti diatas, injeksi
polimer dapat digunakan. Polimer yang terlarut dalam air injeksi akan
mengentalkan air, mengurangi mobilitas air dan mencegah air menerobos
minyak.
Dengan adanya penambahan sejumlah polimer ke dalam air, akan
meningkatkan viskositas air sebagai fluida pendesak, sehingga mobilitas
air sendiri menjadi lebih kecil dari semula dengan demikian mekanisme
pendesakan menjadi lebih efektif.
Polimer ini berfungsi untuk meningkatkan efisiensi penyapuan dan
invasi, sehingga Sor yang terakumulasi dalam media pori yang lebih kecil
akan dapat lebih tersapu dan terdesak.
Dari jumlah projek yang dilakukan, polymer flooding adalah yang
terbanyak dan paling umum dilakukan. Alasan metoda ini banyak
diaplikasikan dikarenakan:
 Identik dengan waterflooding
 Teknik aplikasinya relatif sederhana
 Biaya yang diperlukan relatif kecil
 Recovery yang dapat diperoleh relatif besar.
Kelebihan Proses Injeksi polymer
 Efisiensi areal and vertikal sangat baik.
 Materialnya bersifat nontoxit dan tidak korosif.
 Proses yang dilakukan sangat mirip dengan waterflooding.
 Proses ini dapat menurunkan jumlah air terproduksi
(meminimalkan water handling).

Kekurangan Proses Injeksi Polymer


 Sifat polymer yang sangat mudah berubah oleh pengaruh zat kimia
lain ataupun bakteri.
 Diperlukan penanganan secara khusus untuk material
polyacrylamides.
 Jika menggunakan material polysaccharides diperlukan material
tambahan seperti filtration dan bactericides.
BAB IV
PENILAIAN FORMASI

Penilaian formasi adalah ilmu yang mempelajari tentang kondisi formasi


dari suatu lapangan terutama tentang karakteristik dan lithology batuan reservoir
terhadap ada tidaknya hidrokarbon. Penilaian formasi adalah serangkaian kegiatan
pencatatan atau pengukuran data tentang sifat fisik batuan dan fluida formasi yang
ditembus oleh lubang bor. Kegiatan ini dapat dilakukan saat pemboran dan setelah
pemboran.
Perolehan data penilaian formasi untuk identifikasi kerusakan formasi
dapat menggunakan metode Coring, dan Well Logging. Selain itu, metode
penilaian formasi juga berfungsi untuk mendapatkan tempat terakumulasinya
hidrokarbon, menentukan jenis reservoir, menilai potensial sumur serta untuk
mengetahui penyebab adanya gangguan pada sumur produksi.

4.1. Tujuan Penilaian Formasi


Secara umum logging dapat melakukan pengukuran parameter-parameter
berikut ini :
1. Porositas, baik primer maupun sekunder.
2. Permeabilitas.
3. Saturasi air dan kemampuan bergeraknya hidrokarbon.
4. Tipe hidrokarbon.
5. Lithologi.
6. Kemiringan formasi dan struktur.
7. Lingkungan sedimentasi.
8. Waktu tempuh (travel time) gelombang pada formasi.
4.2. Metode Penilaian Formasi
Secara keseluruhan jenis dari penilaian formasi dapat dirangkum seperti
terlihat pada tabel 4.1.

Tabel 4.1 Jenis dari Penilain Formasi


Formation Evaluation
Phase Activity
Methods
Exploration Define Structure Seismic Data, Gravity,Magnetics
Drilling Drill Well Mud Logging, Coring
Measurement While Drilling
Logging Log Well Openhole Logs
Primary Evaluation Log Analysis Sidewall Cores
Testing Wireline Formation Testing
Drillsteam Testing
Vertical Seismic Profile
Analysis Core Analysis Laboratory Studies
Feedback Refinement of Seismic Log-core Integration
Model
Log Analysis Log-seismic Integration
Exploitation Producing Hydrocarbons Material Balance Analysis
Secondary Production Logging Production Log Analysis
Recovery
Log-inject Log Flood Efficiency Analysis
Water or Gas Injection Micro-rock Property Analysis
Abandonment Economic Decisions
Berikut ini akan dijelaskan sekilas tentang teknik yang sering digunakan
dalam operasi penilaian formasi.

4.2.1. Coring dan Analisa Core


Analisa sampel batuan akan menghasilkan data dasar untuk mengevaluasi
kemampuan produktivitas reservoir. Cutting (sampel batuan pemboran)
merupakan contoh batuan yang relatif kecil. Oleh karena itu untuk mendapatkan
contoh batuan yang lebih besar dilakukan coring. Tujuan dari pengambilan
sampel core ini adalah untuk mengetahui sifat fisik dari batuan reservoir, yaitu
porositas, permeabilitas, kebasahan serta saturasi fluida yang terdapat dalam
batuan.

4.1.1. Coring
Coring adalah suatu usaha untuk mendapatkan contoh batuan (core)
dari formasi bawah permukaan, untuk dianalisa sifat fisik batuan secara
langsung. Metode dalam coring ada dua yaitu: Bottom hole coring dan
Side wall coring. Kedua metode coring tersebut, mempunyai prinsip
kerja yang berbeda, dan menghasilkan (hasil) analisa yang berbeda,
walaupun dilakukan pada kedalaman yang sama.

4.1.1.1. Bottom Hole Coring


Bottom Hole Coring yaitu cara pengambilan core yang dilakukan
pada waktu pemboran berlangsung. Pada metode Bottom Hole Coring
menggunakan jenis bit yang ditengahnya terbuka dan mempunyai jenis
pemotong bit berupa dougnot shope hole.
Pada saat pemboran berlangsung core ini akan menempati core
barrel yang berada diatas bit dan akan tetap akan berada disana sampai
diambil ke permukaan. Peralatan-peralatan yang termasuk dari bottom
hole coring adalah :
1. Conventional Coring
Metode ini menggunakan bit jenis khusus yang disebut
Conventional Rotary Core Drill. Pada saat bit bergerak ke bawah
menembus formasi maka core akan masuk kedalam Inner Core
Barrel dan core tidak akan bisa keluar lagi, karena core barrel
mempunyai roll dan ball bearing.
Pada pekerjaan ini untuk mendapatkan core yang baik maka
di usahakan beban bit dan kecepatan putar bit kecil. Core yang
terbawa tetap terlindungi dan mempunyai ukuran diameter 2 3/8” -
3 9/16”, dengan panjang 20 ft. Sehingga apabila menginginkan
core yang panjang maka dibutuhkan beberapa kali round trip.
Kelebihan dari conventional rotary drill core bit ini adalah
core yang dibawa kepermukaan tetap dalam keadaan terlindungi,
tetapi pada jenis ini data yang diperoleh kurang representatif
karena ukuranya yang lebih kecil jika dibandingkan dengan
menggunakan diamond bit, selain itu hanya dapat digunakan pada
lapisan-lapisan tertentu.
2. Diamond Coring
Perbedaan dengan conventional coring adalah pada bitnya
menggunakan jenis diamond bit. Diamond bit ini sangat cocok
untuk batuan sedimen yang keras, dan memberikan penetrasi rate
yang lebih besar serta tidak perlu menambah rotary speed untuk
memotong core. Core yang didapat bisa mencapai panjang 90 ft
dengan diameter 2 7/8”, hanya saja pada metode ini sangat mahal
dikarenakan harga dari peralatannya.
3. Wire Line Coring
Pengambilan core dilakukan dengan jalan menurunkan
peralatan semacam inner barrel kedalam drill pipe, kemudian core
yang telah didapatkan akan masuk kedalam inner barrel dan ditarik
ke permukaan dengan jalan menarik pull barrel dengan wire line.
Inner barrel yang terisi contoh batuan ditarik ke permukaan tanpa
harus menarik pipa bor, sehingga metode ini dapat menghemat
biaya dalam operasinya. Core yang diperoleh mempunyai diameter
1" sampai 23/16" dan panjangnya 10 sampai 20 feet.

4.1.1.2. Side Wall Coring


Pengambilan core yang dilakukan setelah operasi pemboran
berlangsung selesai atau pada waktu pemboran berhenti

4.1.2. Analisa Core


Dari hasil coring maka core yang didapat dapat dianalisa besaran-besaran
petrofisiknya di laboratorium. Didalam menganalisa suatu inti batuan atau core
terdapat dua prosedur. Adapun prosedur tersebut adalah sebagai berikut:
a. Analisa core rutin
Analisa ini umumnya berkisar tentang pengukuran porositas,
permeabilitas absolut, dan saturasi fluida.
b. Analisa core spesial
Analisa core spesial terbagi menjadi dua, yaitu:
 Pengukuran pada kondisi statis yang meliputi tekanan kapiler, sifat –
sifat listrik, kecepatan rambat suara, grain density, wettability, dan
kompresibilitas batuan.
 Pengukuran pada kondisi dinamis meliputi permeabilitas relatif,
thermal-recovery, gas residual, liquid permeabilitas (evaluasi
completion, work over dan injection fluid meliputi surfactant dan
polymer).

4.2.2. Mud Logging


Yaitu dengan mengamati, meneliti dan mencatat kondisi lumpur yang
disirkulasikan dalam pemboran dengan mengamati cutting hasil pemboran atau
kandungan hidrokarbon yang ikut terbawa aliran lumpur dengan menggunakan
beberapa jenis peralatan.
4.2.3. Measurement While Drilling (MWD)
Dewasa ini karakteristik formasi dapat diukur selama pemboran sedang
berlangsung (measurement while drilling, MWD). Alat ini biasanya digunakan
untuk pemboran sumur-sumur berarah atau miring, sehingga dapat mengurangi
operasi tripping dan dapat menghemat waktu pemboran.

4.2.4. Testing
Formation testing adalah salah satu cara untuk membuktikan ada tidaknya
hidrokarbon dalam formasi tersebut, bila terdapat aliran hidrokarbon pada saat
dilakukan drillstem test. Drillstem test (DST) menyediakan data tidak hanya
kandungan hidrokarbon namun juga memberikan data besarnya reservoir dan
kemampuan produksi suatu reservoir.

Gambar 4.1. Struktur Penilaian Formasi

4.3. Logging
Logging adalah kegiatan pengukuran/perekaman kondisi didalam sumur
dengan cara menurunkan suatu alat ke dasar lubang bor kemudian alat tersebut
dengan kecepatan tetap ditarik dan kemudian mencatat hasil pengukuran yang
berupa defleksi-defleksi pada suatu chart, atau disebut juga log. Untuk
mendapatkan data yang akurat, maka logging dilakukan beberapa kali perekaman
dengan kombinasi alat yang berbeda.

4.3.1. Logging While Drilling


Logging while drilling (LWD) merupakan suatu metode pengambilan data
log dimana logging dilakukan bersamaan dengan pemboran (Harsono,1997). Hal
ini dikarenakan alat logging tersebut ditempatkan di dalam drill collar. Pada
LWD, pengukuran dilakukan secara real time oleh measurement while drilling
(Harsono,1997).
Alat LWD terdiri dari tiga bagian yaitu: sensor logging bawah lubang bor,
sebuah sistem transmisi data, dan sebuah penghubung permukaan. Sensor logging
ditempatkan di belakang drill bit, tepatnya pada drill collars (lengan yang
berfungsi memperkuat drill string) dan aktif selama pemboran dilakukan
(Bateman,1985). Sinyal kemudian dikirim ke permukaan dalam format digital
melalui pulse telemetry melewati lumpur pemboran dan kemudian ditangkap oleh
receiver yang ada di permukaan (Harsono,1997). Sinyal tersebut lalu dikonversi
dan log tetap bergerak dengan pelan selama proses pemboran. Logging
berlangsung sangat lama sesudah pemboran dari beberapa menit hingga beberapa
jam tergantung pada kecepatan pemboran dan jarak antara bit dengan sensor di
bawah lubang bor (Harsono,1997).
Layanan yang saat ini disediakan oleh perusahaan penyedia jasa LWD
meliputi gamma ray, resistivity, densitas, neutron, survei lanjutan (misalnya
sonik). Tipe log tersebut sama (tapi tidak identik) dengan log sejenis yang
digunakan pada wireline logging. Secara umum, log LWD dapat digunakan sama
baiknya dengan log wireline logging dan dapat diinterpretasikan dengan cara yang
sama pula (Darling,2005). Meskipun demikian, karakteristik pembacaan dan
kualitas data kedua log tersebut sedikit berbeda.

4.3.2. Wireline Logging


Log adalah suatu grafik kedalaman (atau waktu), dari satu set data yang
menunjukkan parameter yang diukur secara berkesinambungan di dalam sebuah
sumur (Harsono, 1997). Log diperoleh dari operasi logging di sumur terbuka yang
umumnya dimulai dari kedalaman maksimum (total depth) sampai dengan sepatu
selubung (casing shoe). Kurva log mampu memberikan informasi tentang sifat-
sifat batuan dan cairan pada situasi dan kondisi yang sesungguhnya di dalam
sumur. Operasi logging yang baik memiliki interval yang tidak terlalu panjang
sehingga dapat di peroleh informasi yang lebih akurat dan menghindari
keterbukaan lapisan formasi yang terlalu lama terhadap sistem lumpur.
Prinsip dasar wireline log adalah mengukur parameter sifat-sifat fisik dari
suatu formasi pada setiap kedalaman secara kontinyu dari sumur pemboran.
Adapun sifat-sifat fisik yang diukur adalah potensial listrik batuan/kelistrikan,
tahanan jenis batuan, radioaktivitas, kecepatan rambat gelombang elastis,
kerapatan formasi (densitas), dan kemiringan lapisan batuan, serta kekompakan
formasi yang kesemuanya tercermin dari lubang bor. Secara kualitatif dengan data
sifat-sifat fisik tersebut kita dapat menentukan jenis litologi dan jenis fluida pada
formasi yang tertembus sumur. Sedangkan secara kuantitatif dapat memberikan
data-data untuk menentukan ketebalan, porositas, permeabilitas, kejenuhan fluida,
dan densitas hidrokarbon.

4.4. Jenis-Jenis Logging


Berdasarkan kemampuan, kegunaan, dan prinsip kerja maka jenis logging
ini dibagi menjadi log listrik, log radioaktif, log sonic, dan log caliper.

4.4.1. Log Listrik


Log listrik merupakan suatu plot antara sifat-sifat listrik lapisan yang
ditembus lubang bor dengan kedalaman. Sifat-sifat ini diukur dengan berbagai
variasi konfigurasi elektrode yang diturunkan ke dalam lubang bor. Untuk batuan
yang pori-porinya terisi mineral-mineral air asin atau clay maka akan
menghantarkan listrik dan mempunyai resistivity yang rendah dibandingkan
dengan pori-pori yang terisi minyak, gas maupun air tawar. Oleh karena itu
lumpur pemboran yang banyak mengandung garam akan bersifat konduktif dan
sebaliknya.
Untuk formasi clean sand yang mengandung air garam, tahanan
formasinya dapat dinyatakan dengan suatu faktor tahanan formasi (F), yang
dinyatakan dengan persamaan :
Ro = F x Rw ………………………………………………………. (4-1)
dimana :
F = faktor formasi
Ro = tahanan formasi dengan saturasi air formasi 100 %
Rw = tahanan air garam (air formasi)

Hubungan antara tahanan formasi, porositas dan faktor sementasi


dikemukakan oleh G.E. Archie dan Humble sebagai berikut :
Persamaan Archie :F = Ф-m ………………………………………(4-2)
Persamaan Humble :F = 0,62 x Ф-2,15……….……………….……..(4-3)
dimana :
m = faktor sementasi batuan
F = faktor formasi
Ф = porositas

Resistivity Index (I) adalah perbandingan antara tahanan listrik batuan


sebenarnya (Rt) dengan tahanan yang dijenuhi air formasi 100 % (Ro), yaitu
sesuai dengan persamaan berikut :
n
Rt 1
I  ……………………..……………….……………….(4-4)
Ro Sw
dimana :
n = eksponen saturasi, untuk batupasir besarnya sama dengan 2.

Untuk formasi clean sand, terdapat hubungan antara saturasi air formasi
(Sw), porositas (Ф), tahanan formasi sebenarnya (Rt), tahanan air formasi (Rw)
serta eksponen saturasi (n). Secara matematis hubungan ini dapat dinyatakan
sebagai berikut :

Ro n Rw  F n Rw    m
Sw  n   ………………………….… (4-5)
Rt Rt Rt
Pada umumnya log listrik dapat dibedakan menjadi dua jenis:
 Spontaneous Potensial Log (SP Log)
 Resistivity Log

4.4.1.1.Spontaneous Potensial Log


Kurva spontaneous potensial (SP) merupakan hasil pencatatan alat logging
karena adanya perbedaan potensial antara elektroda yang bergerak dalam lubang
sumur dengan elektroda tetap di permukaan terhadap kedalaman lubang sumur.
Sp log digunakan pada operasi openhole dengan lumpur yang bersifat
konduktif, tidak dapat digunakan pada cased hole, oil base mud dan lubang bor
yang kosong.
Bentuk defleksi positif ataupun negatif terjadi karena adanya perbedaan
salinitas antara kandungan dalam batuan dengan lumpur. Bentuk ini disebabkan
oleh karena adanya hubungan antara arus listrik dengan gaya-gaya
elektromagnetik (elektrokimia dan elektrokinetik) dalam batuan. Gambaran
skematis dari gejala SP pada formasi degan resistivity tinggi dapat dilihat pada
gambar 4.4.

Gambar 4.4. Gambaran Skematis dari Gejala SP pada Formasi dengan Resistivity Tinggi
(Adi Harsono:”Evaluasi Formasi dan Aplikasi Log”, Schlumberger, Edisi-8, Jakarta, 1 Mei
1997)

Jika pengaruh SP log melalui lapisan cukup tebal dan kondisinya


bersih dari clay, maka defleksi kurva SP akan mencapai maksimum.
Defleksi SP yang demikian disebut statik SP atau SSP, yang dapat
dituliskan dalam persamaan sebagai berikut:
Rmfeq
SSP   K c log ……………..………………………… (4-6)
Rweq

dimana :
SSP = statik spontaneous potensial, mv
Kc = konstanta lithologi batuan
= 61  0.133  T  , dalam oF

= 65  0.24  T  , dalam oC
Rmfeq = tahanan filtrat air lumpur, ohm-m
Rweq = tahanan air formasi, ohm-m

SP log berguna untuk mengidentifikasi lapisan-lapisan yang porous dan


permeabel, menentukan batas-batas lapisan, menentukan harga tahanan air
formasi (Rw) dan dapat juga untuk korelasi batuan dari beberapa sumur di
dekatnya.
Defleksi kurva SP selalu dibaca dari shale base line yang mana bentuk dan
besar defleksi tersebut dapat dipengaruhi oleh ketebalan lapisan batuan formasi,
tahanan lapisan batuan, tahanan shale dalam lapisan batuan, diameter lubang bor,
dan invasi air filtrat lumpur. Satuan ukuran dalam spontaneous potensial adalah
millivolt (mv).

4.4.1.2.Resistivity Log (Log Tahanan Jenis)


Resistivity log adalah suatu alat yang dapat mengukur tahanan batuan
formasi beserta isinya, yang mana tahanan ini tergantung pada porositas efektif,
salinitas air formasi, dan banyaknya hidrokarbon dalam pori-pori batuan.
a. Normal Log
Skema rangkaian dasar normal log dapat dilihat pada gambar 4.6,
dengan menganggap bahwa pengukurannya pada medium yang
mengelilingi elektrode-elektrode adalah homogen dengan tahanan batuan
sebesar R ohm-meter. Elektroda A dan B merupakan elektroda potensial ,
sedangkan M dan N merupakan elektroda arus. Setiap potensial (V)
ditransmisikan mengalir melingkar keluar melalui formasi den besarnya
potensial tersebut adalah:
Ri
V …………………….…………………………… (4-7)
4 ( AM )
dimana:
R = tahanan formasi, ohm-m
i = intensitas arus konstan dari elektroda A, Amp
AM = jarak antara elektroda A dan M, in
π = konstanta = 3.14
Jarak antara A ke M disebut spacing, dimana untuk normal log ini
terdiri dari dua spacing, yaitu:
 Short normal device, dengan spacing 16 inch.
 Long normal device, dengan spacing 64 inchi

Pemilihan spacing ini tergantung dari jarak penyelidikan yang


dikehendaki. Short normal device digunakan untuk mengukur resistivitas
pada zona terinvasi, sedang long normal device digunakan untuk
mengukur resistivitas formasi yang tidak terinvasi filtrat lumpur atau true
resistivity (Rt).

b. Lateral Log (Guard Log)


Tujuan log ini adalah untuk mengukur Rt, yaitu resistivity formasi
yang terinvasi. Alat ini terdiri dari dua elektrode arus A dan B serta dua
elektrode potensial M dan N. Jarak spasi M dan N adalah 32 inch, sedang
jarak A dan O adalah 18,8 inch. Titik O merupakan titik referensi dari
pengukuran terhadap kedalaman, sedangkan elektrode B diletakkan jauh
dipermukaan. Arus listrik yang konstan dialirkan melalui elektrode A,
sedangkan perbedaan potensial antara M dan N di tempatkan pada
permukaan lingkaran yang berpusat di titik A. Perbedaan potensial yang
dipindahkan ke elektrode M dan N adalah :
Ri  1 1 
V    ............................................................ (4-8)
4  AM AN 
Persamaan (4-8) diturunkan dengan anggapan bahwa formasinya
homogen dan lapisan cukup tebal. Apabila arus yang diberikan (i) konstan
maka besarnya potensial yang dicatat pada referensi O adalah sebanding
dengan besarnya resistivitas formasi (R) dengan syarat anggapan tersebut
dipenuhi dan pengaruh diameter lubang bor diabaikan.
Pada kenyataannya nilai resistivity yang dicatat oleh resistivity log
adalah resistivity semu bukan resistivity yang sebenarnya (Rt). Hal ini
disebabkan pengukuran dipengaruhi oleh diameter lubang bor (d),
ketebalan formasi (e), tahanan lumpur (Rm), diameter invasi air filtrat
Lumpur (Di), tahanan zone invaded (Ri) dan uninvaded (Rt), tahanan
lapisan batuan diatas dan dibawahnya (Rs). Pembacaan yang baik
didapatkan dalam lapisan tebal dengan resistivity relative tinggi. Log ini
digunakan secara optimal di dalam susunan sand dan shale yang tebal
dengan ketebalan dari 10 ft dan range resistivity optimum setara 1-500
ohm-m.

c. Induction Log
Pengukuran tahanan listrik menggunakan log resistivity
memerlukan lumpur yang konduktif sebagai penghantar arus dalam
formasi. Oleh sebab itu tidak satu pun peralatan pengukuran resistivity
diatas dapat digunakan pada kondisi lubang bor kosong, terisi minyak, gas,
oil base mud dan fresh water serta udara. Untuk mengatasi ini maka
dikembangkan peralatan terfokuskan yang dapat berfungsi dalam kondisi
tersebut.
Prinsip kerjanya adalah sebagai berikut, arus bolak-balik dengan
frekuensi tinggi (20000 cps) yang mempunyai intensitas konstan dialirkan
melalui transmitter coil yang ditempatkan pada insulating sehingga
menimbulkan arus induksi didalam formasi. Medan magnet ini akan
menimbulkan arus berputar yang akan menginduksi potensial dalam
receiver coil. Coil kedua ini ditempatkan pada mandrel yang sama dengan
jarak tertentu dari coil pertama. Besarnya signal yang dihasilkan receiver
akan diukur dan dicatat di permukaan yang besarnya tergantung pada
konduktivitas formasi yang terletak diantara kedua coil tersebut. Nilai
konduktifitas formasi (Cf) berbanding terbalik dengan nilai resistivity.
Tujuan utama dari induction log adalah menghasilkan suatu daerah
investigasi yang jauh didalam lapisan-lapisan tipis untuk menentukan
harga Rt. Induction log dapat diturunkan didalam semua jenis lumpur
dengan syarat sumur belum dicasing. Kondisi yang baik untuk operasi
induction log ini adalah menggunakan lumpur yang tidak banyak
mengandung garam (Rmf > Rw) serta pada formasi dengan Rt kurang dari
100 ohm-m tapi akan lebih baik lagi jika kurang dari 50 ohm-m. Induction
log ini mempunyai beberapa kelebihan dari log-log sebelumnya, antara
lain :
1. Batas lapisan dapat dideliniasikan dengan baik dan resistivity yang
diukur tidak dipengaruhi oleh batas tersebut.
2. Dalam fresh mud, pengukuran Rt hanya memerlukan koreksi yang
sederhana atau tidak memerlukan sama sekali.
3. Dapat dikombinasikan dengan SP log dan Kurva Normal sehingga
dapat melengkapi informasi yang diperoleh.

d. Laterolog (Guard Log)


Pengukuran dengan laterolog adalah untuk memperkecil pengaruh
lubang bor, lapisan yang berbatasan dan pengukuran lapisan yang tipis
serta kondisi lumpur yang konduktif atau salt mud.
Prinsip kerjanya adalah sebagai berikut (lihat gambar 4.9.), suatu
arus Io yang konstan dialirkan melalui elektrode Ao lewat elektrode A1
dan A2 dimana arus tersebut diatur secara otomatis oleh kontak pengontrol
sehingga dua pasang elektrode penerima M1M2 dan M’1M’2 mempunyai
potensial yang sama. Selisih potensial diukur diantara salah satu elektrode
penerima dengan electrode dipermukaan. Jika perbedaan antara potensial
pasangan M’1M’2 dan M1 M2 dibuat nol, maka tidak ada arus yang mengalir
dari Ao. Disini arus listrik dari Ao dipaksa mengalir horizontal kearah
formasi.
Ada beberapa jenis laterolog, yaitu jenis Laterolog 7, Laterolog 3,
dan Laterolog 8. Perbedaan dari ketiga jenis laterolog tersebut hanya
terdapat pada jumlah elektrodenya, dan ketebalan lapisan yang dideteksi
berbeda. Alat ini mengukur harga Rt terutama pada kondisi pengukuran Rt
dengan Induction Log mengalami kesulitan (banyak kesalahan). Laterolog
ini hanya dapat digunakan dalam jenis lumpur water base mud. Dianjurkan
pada kondisi Rt/Rm dan Rt/Rs besar (salt mud, resistivity tinggi yaitu lebih
besar dari 100 ohm-m) dan tidak berfungsi di dalam oil base mud, inverted
mud, lubang berisi gas, atau sumur sudah dicasing.

e. Micro Resistivity Log


Log ini dirancang untuk mengukur resistivity formasi pada flush
zone (Rxo) dan sebagai indikator lapisan porous permeable yang ditandai
oleh adanya mud cake. Hasil pembacaan Rxo dipengaruhi oleh tahanan
mud cake (Rmc) dan ketebalan mud cake (hmc). Ketebalan dari mud cake
dapat dideteksi dari besar kecilnya diameter lubang bor yang direkam oleh
caliper log. Alat microresistivity log yang sering digunakan, yaitu:
Microlog (ML), Microlaterolog (MLL), Proximity Log (PL),
MicroSpherical Focused Log (MSFL).

4.4.2. Log Radioaktif


Log radioaktif dapat digunakan pada sumur yang dicasing (cased hole)
maupun yang tidak dicasing (open hole). Keuntungan dari log radioaktif ini
dibandingkan dengan log listrik adalah tidak banyak dipengaruhi oleh keadaan
lubang bor dan jenis lumpur. Dari tujuan pengukuran, Log Radioaktif dapat
dibedakan menjadi: alat pengukur lithologi seperti Gamma Ray Log, alat
pengukur porositas seperti Neutron Log dan Density Log. Hasil pengukuran alat
porositas dapat digunakan pula untuk mengidentifikasi lithologi dengan hasil yang
memadai.

4.4.2.1.Gamma Ray Log


Prinsip pengukurannya adalah mendeteksi arus yang ditimbulkan oleh
ionisasi yang terjadi karena adanya interaksi sinar gamma dari formasi dengan gas
ideal yang terdapat didalam kamar ionisasi yang ditempatkan pada sonde.
Besarnya arus yang diberikan sebanding dengan intensitas sinar gamma yang
bersangkutan.
Didalam formasi hampir semua batuan sedimen mempunyai sifat
radioaktif yang tinggi, terutama terkonsentrasi pada mineral clay. Formasi yang
bersih (clean formasi) biasanya mengandung sifat radioaktif yang kecil, kecuali
lapisan tersebut mengandung mineral-mineral tertentu yang bersifat radioaktif
atau lapisan berisi air asin yang mengandung garam-garam potassium yang
terlarutkan (sangat jarang), sehingga harga sinar gamma akan tinggi.
Dengan adanya perbedaan sifat radioaktif dari setiap batuan, maka dapat
digunakan untuk membedakan jenis batuan yang terdapat pada suatu formasi.
Selain itu pada formasi shaly sand, sifat radioaktif ini dapat digunakan untuk
mengevaluasi kadar kandungan clay yang dapat berkaitan dengan penilaian
produktif suatu lapisan berdasarkan intrepretasi data logging. Besarnya volume
shale dihitung dengan menggunakan rumus berikut:
GRlog  GRmin
Vsh  …………………………..…………………... (4-9)
GRmax  GRmin
dimana :
GRlog = hasil pembacaan GR log pada lapisan yang bersangkutan
GRmax = hasil pembacaan GR log maksimal pada lapisan shale
GRmin = hasil pembacaan GR log maksimal pada lapisan non shale

Dengan pertimbangan adanya efek densitas formasi, maka untuk formasi


dengan kandungan satu mineral, gamma ray yang terbaca pada log adalah :
1  V1
GR  A1 ……………………………………………….…… (4-10)
b
dimana :
ρ1 = densitas dari mineral radioaktif
V1 = volume batuan mineral
A1 = faktor perimbangan radioaktif dari mineral
1V1
= konsentrasi berat dari mineral
b

Untuk formasi yang mengandung lebih dari satu mineral radioaktif, respon
GR adalah penjumlahan dari beberapa mineral tersebut dengan menggunakan
persamaan (4-11). Sedangkan untuk formasi dengan kandungan dua mineral
radioaktif, densitas dan kekuatannya berbeda, serta keberadaannya dalam jumlah
yang berbeda maka GR yang terbaca pada log adalah :
1V1 V
GR  A1  1 1 A1 ……..………………………………..…… (4-11)
b b
Persamaan (4-11) diatas dapat disamakan dengan mengalikan dengan ρb
sehingga persamaannya dapat ditulis menjadi :
GR = B1 V1 + B2 V2 ……………………………………………… (4-12)
dimana :
B1 = ρ1 A1
B2 = ρ2 A2

Secara khusus Gamma Ray Log berguna untuk identifikasi lapisan


permeabel disaat SP Log tidak berfungsi karena formasi yang resistif atau bila
kurva SP kehilangan karakternya (Rmf = Rw), atau ketika SP tidak dapat
merekam karena lumpur yang yang digunakan tidak konduktif (oil base mud). Hal
tersebut dapat dilihat pada gambar 3.10. Selain itu Gamma Ray Log juga dapat
digunakan untuk mendeteksi dan evaluasi terhadap mineral radioaktif (potassium
dan uranium), mendeteksi mineral tidak radioaktif (batubara), dan dapat juga
untuk korelasi antar sumur.

4.4.2.2.Neutron Log
Neutron Log direncanakan untuk menentukan porositas total batuan tanpa
melihat atau memandang apakah pori-pori diisi oleh hidrokarbon maupun air
formasi. Neutron terdapat didalam inti elemen, kecuali hidrokarbon. Neutron
merupakan partikel netral yang mempunyai massa sama dengan atom hidrogen.
Prinsip kerja dari neutron log adalah sebagai berikut, energi tinggi dari
neutron dipancarkan secara kontinyu dari sebuah sumber radioaktif yang
ditempatkan didalam sonde logging yang diletakkan pada jarak spacing pendek
sekitar 10-18 inch dari detektor gamma ray. Pada operasi logging, neutron
meninggalkan sumbernya dengan energi tinggi, tetapi dengan cepat akan
berkurang karena bertumbukan dengan inti-inti elemen didalam formasi.
Bila kerapatan didalam formasi cukup tinggi, yaitu mengandung air,
minyak dan gas atau didalam lapisan shale maka energi neutron akan diperlambat
pada jarak yang sangat dekat dengan sumber dan akibatnya hanya sedikit radiasi
sinar gamma yang direkam oleh detektor. Porositas dari neutron log (  N ) dalam
satuan limestone dapat dihitung dengan menggunakan persamaan dibawah ini:
 N  1.02   NLog   0.0425 .....…………………….……………..(4-13)

dimana:
 NLog = porositas terbaca pada kurva neutron log

Terdapat beberapa jenis neutron log yang dapat digunakan, yaitu:


 Thermal neutron log, digunakan secara optimal untuk formasi non shaly
yang mengandung liquid dengan porositas antara 1 % – 10 %.
 Sidewall neutron porosity log (SNP), yang mempunyai kondisi optimum
pada formasi non shaly yang mengandung liquid dengan porositas kurang
dari 30%.
 Compensated neutron log (CNL), merupakan pengembangan dari kedua
alat sebelumnya.

4.4.2.3.Density Log
Tujuan utama dari density log adalah menentukan porositas dengan
mengukur density bulk batuan, disamping itu dapat juga digunakan untuk
mendeteksi adanya hidrokarbon atau air, digunakan besama-sama dengan neutron
log, juga menentukan densitas hidrokarbon (ρh) dan membantu didalam evaluasi
lapisan shaly.
Prinsip kerja density log adalah dengan jalan memancarkan sinar gamma
dari sumber radiasi sinar gamma yang diletakkan pada dinding lubang bor. Pada
saat sinar gamma menembus batuan, sinar tersebut akan dipantulkan kembali,
yang kemudian akan ditangkap oleh detektor yang diletakkan diatas sumber
radiasi. Intensitas sinar gamma yang dipantulkan tergantung dari densitas batuan
formasi. Berkurangnya energi sinar gamma sesuai dengan persamaan:
No
ln    k  S ……………………………….............……………. (4-14)
Nt
dimana:
No = intensitas sumber energi
Nt = intensitas sinar gamma yang ditangkap detektor
ρ = densitas batuam formasi
k = konstanta
S = jarak yang ditembus sinar gamma

Kondisi penggunaan untuk density log adalah pada formasi dengan


densitas rendah dimana tidak ada pembatasan penggunaan lumpur bor tetapi tidak
dapat digunakan pada lubang bor yang sudah di casing. Kurva density log hanya
terpengaruh sedikit oleh salinitas maupun ukuran lubang bor. Kondisi optimum
dari density log adalah pada formasi unconsolidated sand dengan porositas 20 % -
40 %. Kondisi optimum ini akan diperoleh dengan baik apabila operasi penurunan
peralatan kedalam lubang bor dilakukan secara perlahan agar alat tetap menempel
pada dinding bor, sehingga pada rangkaian tersebut biasanya dilengkapi dengan
spring. Hubungan antara densitas batuan sebebnarnya dengan porositas dan
lithologi batuan dapat dinyatakan dalam persamaan berikut:
 ma   b
D  ……………….……………………….................. (4-15)
 ma   f
dimana:
ρb = densitas batuan (dari hasil pembacaan log), gr/cc
ρf = densitas fluida rata-rata, gr/cc
= 1 untuk fresh water, 1.1 untuk salt water
ρma = densitas matrik batuan (dapat dilihat pada tabel III-1),gr/cc
= porositas dari density log , fraksi

Adanya pengotoran clay dalam formasi akan mempengaruhi ketelitian,


oleh karena itu dalam pembacaan ρb perlu dikoreksi. Sehingga persamaan dapat
ditulis sebagai berikut:
 b   D . f  Vclay . clay  1   D  Vclay   ma …………………..(4-16)

dimana:
ρclay = densitas clay, gr/cc
Vclay = volume clay, %

4.4.3. Log Sonic


Sonic log digunakan untuk mengukur porositas, selain density log dan
neutron log dengan cara mengukur interval transite time (Δt), yaitu waktu yang
dibutuhkan oleh gelombang suara untuk merambat didalam batuan formasi sejauh
1 ft. Peralatan sonic log menggunakan sebuah transmitter (pemancar gelombang
suara) dan dua buah receiver (penerima). Jarak antar keduanya adalah 1 ft.
Interval transite time (Δt) suatu batuan formasi tergantung dari lithologi
dan porositasnya. Sehingga bila lithologinya diketahui maka tinggal tergantung
pada porositasnya. Pada tabel III-2. dapat dilihat beberapa harga transite time
matrik (Δtma) dengan berbagai lithologi.
Untuk menghitung porositas sonic dari pembacaan log Δt harus terdapat
hubungan antara transit time dengan porositas. Seorang sarjana teknik, Wyllie
mengajukan persamaan waktu rata-rata yang merupakan hubungan linier antara
waktu dan porositas. Persamaan tesebut dapat dilihat dibawah ini :
t log  t ma
S  ............................................................................. (4-17)
t f  t ma

dimana :
Δtlog = transite time yang dibaca dari log, μsec/ft
Δtf = transite time fluida, μsec/ft
= 189 μsec/ft untuk air dengan kecepatan 5300 ft/sec
Δtma = transite time matrik batuan (lihat table III-2), μsec/ft
ФS = porositas dari sonic log, fraksi

Kondisi optimum dari sonic log adalah bila digunakan di dalam batuan
formasi yang terkonsolidasi dengan baik dengan porositas antara 10 - 20 %.
Kelemahan sonic log adalah tidak dapat mendeteksi adanya porositas sekunder.
4.4.4. Log Caliper
Caliper log merupakan suatu kurva yang memberikan gambaran kondisi
(diameter) dan lithologi terhadap kedalaman lubang bor. Peralatan dasar caliper
log dapat dilihat pada gambar 4.13.
Manfaat caliper log sangat banyak, yang paling utama adalah untuk
menghitung volume lubang bor guna menentukan volume semen pada operasi
cementing, selain itu dapat berguna untuk pemilihan bagian gauge yang tepat
untuk setting packer (misalnya operasi DST), interpretasi log listrik akan
mengalami kesalahan apabila asumsi ukuran lubang bor sebanding dengan ukuran
pahat (bit) oleh karena itu perlu diketahui ukuran lubang bor dengan sebenarnya,
perhitungan kecepatan lumpur di annulus yang berhubungan dengan
pengangkatan cutting, untuk korelasi lithologi karena caliper log dapat
membedakan lapisan permeabel dengan lapisan consolidated.

4.5. Open Hole Logging


Open hole logging dipakai untuk mengetahui keadaan formasi di bawah
permukaan. Logging dilakukan sebelum dilakukannya pemasangan casing pada
lubang bor. Atribut formasi yang umum yang mungkin diketahui yaitu:
1. Kapasitas simpan (storage capacity) dan formasi, dimana normalnya
termasuk porositas dan kejenuhan fluida
2. Sifat dari fluida, termasuk densitas, gas oil ratio, API gravity, resistivitas
air dan salinity, suhu dan tekanan
3. Seting geologi, dimana termasuk kemiringan stratigrafi atau struktur,
karakteristik fasies, dan heterogenitas dan reservoir

4.6. Casing Hole Logging


Case hole logging merupakan proses logging yang dilakukan setelah
dilakukan pemasangan casing pada lubang bor. Terdapat beberapa alasan
mengapa case hole logging dilakukan:
a. Sebagai pengukuran tambahan dari pengukuran yang dilakukan pada open
hole. Sangatlah penting untuk melakukan pengukuran tambahan ini
dikarenakan kondisi sumur yang memungkinkan ketidakakuratan data
open hole, atau adanya pengukuran yang tak semestinya pada beberapa
zona saat open hole
b. Untuk memonitor perubahan yang terjadi pada formasi yang terjadi pada
saat terakhir casing telah dipasang. Selama masa hidup suatu sumur,
perubahan saturasi dari ruang pori oleh minyak, gas atau air dapat
dipengaruhi oleh adanya proses produksi. Ketika perubahan ini terjadi,
evaluasi dan sebab perubahan ini mungkin diperlukan untuk merancang
strategi recovery daripada hidrokarbon
c. Untuk menyediakan kedalaman referensi antara pengukuran open hole dan
case hole

4.7. Estimasi Resereve


Hasil akhir dari hasil analisa log adalah untuk menentukan reserve
hidrokarbon di reservoir. Pada sub bab ini akan dijelaskan secara matematis dan
filosofi dari estimasi reserve.

4.7.1. Perkiraan Oil-Gas In Place


Sebuah silinder mempunyai volume V dan porositas Φ serta saturasi air
Sw. maka :
BVHC = Φ (1 − Sw) ...………………………………………...(4-18)
dimana:
BVHC = bulk volume hidrocarbon
V = volume batuan total
Sw = saturasi air
Φ = porositas

Sedangkan kenyataan bentuk reservoir yang dimiliki adalah tidak


beraturan, maka untuk menentukan volume reservoir dengan menggunakan
persamaan :
OIP   h , A  1  S w dh dA
………………....…………………….(4-19)
dimana:
h = tebal lapisan reservoir yang produktif
A = luas reservoir

Bila harga h dalam feet dan A dalam acre, maka harga OIP dapat
dinyatakan dalam acre-ft. Bila dinyatakan dalam besaran volume dapat
dikonversikan dengan menggunakan faktor berikut ini :
1 foot = 7757.79 barrels/acre
1 meter = 10000 cubic meter/hectare

4.7.2. Perkiraan Reserve


Konversi dari OIP ke reserve yang dapat diambil (recoverable reserve)
tergantung dari dua buah data tambahan yaitu Recovery Factor (RF) dan
Formation Volume Factor (B). Kedua faktor tersebut tidak dapat ditentukan dari
pembacaan log.
RF tergantung pada jenis reservoir dan mekanisme pendorong. Sedangkan
B adalah fungsi dari sifat fisik hidrokarbon. Reserve ditentukan dengan
menggunakan persamaan:
 C h  1  S w 
N  A RF 
 b  .......................................................(4-20)

4.8. Interpretasi Log


Lapisan prospek dapat teridentifikasi degan melakukan interpretasi
logging. Interpretasi logging ini dibagi menjadi interpretasi kualitatif dan
interpretasi kuantitatif. Interpretasi kualitatif dilakukan untuk mengidentifikasi
lapisan porous permeabel dan ada tidaknya fluida. Sedangkan interpretasi
kuantitatif dilakukan untuk menentukan harga Vclay, Φ, Rfluida, Sw dan permeability
batuan.
4.8.1. Interpretasi Kualitatif
Interpretasi log kualitatif guna memperkirakan kemungkinan adanya
lapisan porous permeabel dan ada tidaknya fluida. Untuk memperoleh hasil yang
lebih akurat harus dilakukan pengamatan terhadap log yang kemudian satu sama
lainnya dibandingkan. Tujuan dari interpretasi kualitatif adalah identifikasi
lithologi dan fluida hidrokarbon yang meliputi identifikasi lapisan porous
permeabel, ketebalan dan batas lapisan, serta kandungan fluidanya.
Penentuan jenis batuan atau mineral didasarkan pada plot data berbagai log
porositas, seperti plot antara log density-neutron dan log sonic-neutron.
Sedangkan lapisan berpori dapat ditentukan berdasarkan pengamatan terhadap log
SP, log resitivity, log caliper, dan log gamma ray. Penentuan jenis lithologi,
apakah shale atau batupasir atau batu gamping ataupun merupakan seri pasir shale
didasarkan pada defleksi kurva SP, GR, resistivity, dan konduktivitynya. Adapun
fluida hidrokarbon dapat ditentukan pada pengamatan log induction dan FDC-
CNL dengan berdasarkan sifat air, minyak, atau gas.

4.8.1.1.Identifikasi Lapisan Porous Permeabel


Untuk identifikasi lapisan permeabel dapat diketahui dengan: defleksi SP,
separasi resistivity, separasi microlog, caliper log, dan gamma ray log. Adapun
masing-masing log diatas dapat diketahui sebagai berikut :
1. Defleksi SP : bilamana lumpur pemboran mempunyai perbedaan salinitas
dengan air formasi (terutama untuk lumpur air tawar), lapisan permeabel
umumnya ditunjukkan dengan adanya penambahan defleksi negatif
(kekiri) dari shale base line.
2. Separasi resistivity : adanya invasi dan lapisan permeabel sering
ditunjukkan dengan adanya separasi antara kurva resistivity investigasi
rendah.
3. Separasi microlog : proses invasi pada lapisan permeabel akan
mengakibatkan terjadinya mud cake pada dinding lubang bor. Dua kurva
pembacaan akibat adanya mud cake oleh microlog menimbulkan separasi
pada lapisan permeabel dapat dideteksi oleh adanya separasi positif (micro
inverse lebih kecil daripada micro normal).
4. Caliper log : dalam kondisi lubang bor yang baik umumnya caliper log
dapat digunakan untuk mendeteksi adanya ketebalan mud cake, sehingga
dapat memberikan pendeteksian lapisan permeabel.
5. Gamma Ray log : formasi mengandung unsur-unsur radioaktif akan
memancarkan radioaktif dimana intensitasnya akan terekam pada defleksi
kurva gamma ray log, pada umumnya defleksi kurva yang membesar
menunjukkan intensitas yang besar adalah lapisan shale/clay, sedangkan
defleksi menunjukkan intensitas radioaktif rendah menunjukkan lapisan
permeabel.

4.8.1.2.Identifikasi Ketebalan dan Batas Lapisan


Ketebalan lapisan batuan dibedakan atas dua, yaitu ketebalan kotor (gross
thickness) dan ketebalan bersih (net thickness). Ketebalan kotor (gross thickeness)
merupakan tebal lapisan yang dihitung dari puncak lapisan sampai dasar lapisan
dari suatu lapisan batuan. Sedangkan ketebalan bersih (net thickness) merupakan
tebal lapisan yang dihitung atas ketebalan dari bagian-bagian permeabel dalam
suatu lapisan.
Adapun penggunaan kedua jenis ketebalan tersebut juga mempunyai
tujuan yang berbeda, dimana pembuatan ketebalan kotor (gross isopach map)
adalah untuk mengetahui batas-batas penyebaran suatu lapisan batuan secara
menyeluruh, dimana pada umumnya digunakan untuk maksud-maksud kegiatan
eksplorasi. Sedangkan penggunaan ketebalan bersih adalah untuk maksud-maksud
perhitungan cadangan. Peta yang menggambarkan penyebaran ketebalan bersih
disebut peta “net sand isopach”.
Jenis log yang dapat digunakan untuk menentukan ketebalan lapisan
adalah: SP log, kurva resistivity, kurva microresistivity, dan gamma ray log.
Adapun dari defleksi kurva log – log tersebut:
1. SP log, yang terpenting dapat membedakan lapisan shale dan lapisan
permeabel.
2. Kurva resistivity, alat yang terbaik adalah laterolog dan induction log.
3. Kurva microresistivity, pada kondisi lumpur yang baik dapat memberikan
hasil penyebaran yang vertikal.
4. GR log, log ini dapat membedakan adanya shale dan lapisan bukan shale,
disamping itu dapat digunakan pada kondisi lubang bor telah dicasing,
biasanya dikombinasikan dengan neutron log.

4.8.2. Interpretasi Kuantitatif


Didalam analisa logging secara kuantitatif dimaksudkan untuk
menentukan lithologi batuan, tahanan jenis air formasi (R w), evaluasi shaliness,
harga porositas (Ф), saturasi air (Sw), dan permeabilitas (K).

Gambar 4.16. Skema Proses Interpretasi Kuantitatif

4.8.2.1.Data Sumur
Data sumur didapat dari pembacaan log dari gamma ray, resistivity,
density, neutron dan spontanius potensial.
4.8.2.2.Zonasi
Zonasi merupakan zona yang dipilih berdasarkan pengendapan pada
lapisan batuan. Zonasi ini dipilih melalui log gamma ray. Cara megetahuinya
adalah dari nilai gamma ray yang besar sampai nilai gamma ray yang kecil lalu
kembali pada nilai gamma ray yang besar, itu disebut sebagai satu kali
pengendapan. Dari sumur yang dilakukan logging dengan log gamma ray
didapatkan sebelas layer. Namun yang dinyatakan prospek hanya enam layer.
Pemilihan enam layer ini juga dipengaruhi oleh pengukuran dari log Resistivity
log, Density log dan Neutron log. Pada layer yang prospek memiliki Gamma Ray
log yang rendah dan Resistivity yang tinggi, dan pada Density log dan Neutron
Log terdapat crossover yang dapat diindikasikan mengandung Hidrocarbon.

4.8.2.3.Cut-Off
Cut off merupakan perpotongan yang dicari pada log Gamma ray. Log
untuk menentukan batas shalestone dan sandstone. Dimana jika nilai gamma ray
nya tinggi maka diindikasikan sebagai shalestone dengan warna hijau, dan jika
gamma ray bernilai rendah maka diindikasikan sebagai sandstone dengan warna
kuning. Pencarian cut off yaitu menjumlahkan nilai GR max dan GR min pada log
gamma ray lalu dibagi dengan dua.
𝐺𝑟𝑀𝑖𝑛+𝐺𝑟𝑀𝑎𝑥
𝐶𝑢𝑡𝑂𝑓𝑓 = ..........................................................(4-21)
2

4.8.2.4.V Shale
V shale perlu diketahui agar kita dapat mengetahui seberapa besar
kandungan shale yang terdapat pada batuan reservoir kita. Dimana nilai V Shale
ini mempengaruhi pada porositas kita, semakin besar V Shale maka porositas kita
semakin kecil.
Penentuan V Shale diawali dengan menentukan Gr Max dan Gr Min pada
lapisan kita, dimana setiap zona memiliki Gr Max dan Gr Min yang berbeda-beda.
Kemudian menentukan Gr dari batuan yang ingin kita ketahui V Shalenya.
Kemudian dihitung dengan persamaan:
𝐺𝑟−𝐺𝑟𝑚𝑖𝑛
𝑉𝑆ℎ𝑎𝑙𝑒 = ………………………………………(4-22)
𝐺𝑟𝑀𝑎𝑥−𝐺𝑟𝑀𝑖𝑛

4.8.2.5.Porositas
Porositas harus ketahui agar kita tahu seberapa besar kemampuan batuan
untuk menyimpan fluida. Pada log untuk menghitung porositas kita harus
menentukan nilai Log RHOB dan NPHI. Setelah kita menentukan nilai RHOB,
selanjutnya kita menghitung Ø Density dengan persamaan:
𝜌𝑚𝑎−𝑅𝐻𝑂𝐵
Ø 𝐷𝑒𝑛𝑠𝑖𝑡𝑦 = ………………………………………..(4-23)
𝜌𝑚𝑎−𝜌𝑓

Setelah mendapatkan Ø Density maka langkah selanjutnya adalah


mengoreksi nilai RHOB dengan persamaan :
𝑅𝐻𝑂𝐵𝐶𝑜𝑟𝑟 = ( Ø𝐷𝑒𝑛𝑠𝑖𝑡𝑦𝑥𝑁𝑃𝐻𝐼 ) + (𝑉𝑠ℎ𝑥𝑝𝑐 ) + ((1 − Ø𝐷𝑒𝑛𝑠𝑖𝑡𝑦 −
𝑉𝑠ℎ)𝑥𝜌𝑚𝑎) ………………………..….……....(4-24)

Lalu mengihitung kembali nilai ØDcorr dengan RHOB Corr dengan


persamaan :
(𝜌𝑚𝑎−𝑅𝐻𝑂𝐵𝑐𝑜𝑟𝑟)
Ø𝐷𝑐𝑜𝑟𝑟𝑅𝐻𝑂𝐵 = ……………………………(4-25)
(𝜌𝑚𝑎−𝜌𝑓)

Karena pada lapisan mengandung shale sehingga nilai perlu dikoreksi


dengan persamaan :
Ø𝐷𝐶o𝑟𝑟 = Ø𝐷𝐶𝑜𝑟𝑟𝑅𝐻𝑂𝐵 − (Ø𝐷𝑐𝑙𝑎𝑦𝑥𝑉𝑠ℎ)……………………..(4-26)

Untuk penentuan porositas neutron berdasarkan litologi dan kandungan


fluida maka nilai neutron dapat dicari dengan persamaan:

Øn = (1.02xNPHI)+0.0425 ………………………………………..…(4-27)
dimana :
NPHI = porositas yang terbaca pada kurva neutron log
0.0425 = koreksi terhadap limestone formation
Setelah didapatkan nilai porositas neutron kita perlu menghitung nilai
koreksi terhadap shale dimana volume shale itu didaptkan dari nilai gamma ray
log, maka besarnya nilai porositas neutron yang telah dikoreksi terhadap shale
dapat diketahui dengan menggunakan persamaan dibawah.

𝛷𝑁𝑐 = 𝑁𝑃𝐻𝐼 − (𝑉𝑠ℎ × 𝛷𝑁𝑠ℎ )…………………………………(4-28)


dimana:
𝑉𝑠ℎ = Volume shale (dari GR Log)
𝛷𝑁𝑠ℎ = Porositas yang terbaca pada kurva neutron pada lapisan shale

4.8.2.6. Saturasi Air


Saturasi air perlu diketahui untuk mengetahui pada zona interest berisi
minyak atau air, dengan mengetahui saturasi air maka bisa menentukan persentasi
air pada zona tersebut.

8.4.2.7.Permeability
Permeability batuan perlu diketahui agar kita tau seberapa besar
kemampuan batuan untuk mengalirkan fluida.
75 x Ø eff RHOB3 2
K eff = ( ) ……....……………………………….…....(4-38)
Sw irr

Apabila yang terdapat pada zona terpilih adalah gas maka persamaan yang
digungakan adalah

3

S w  250 x ………………………………………………….....(4-39)
Swirr
Dan apabilan zona terpilih merupakan minyak maka persamaan yang
digunakan adalah

3

S w  75 x ………………………………………………………(4-40)
Swirr
dimana:
k = permeabilitas, mD
SW = saturasi, fraksi
φ = porositas, fraksi
(Sw)irr = irreducible water saturation (SW diatas zone transisi)

C = konstanta tergantung density hidrokarbon


(C = 250 untuk gas)

Anda mungkin juga menyukai