Anda di halaman 1dari 11

TUGAS INDIVIDU MUTU DAN KEAMANAN PANGAN

Nama : Ayu Andani


NPM : 1906302075
Prodi : Teknologi Bioproses 2019
Kelas : Teknologi Pangan-02

1. Analisis Risiko Bahaya pada Kacang Atom dan Mitigasinya


1.1 Komposisi Kacang Atom (PT. Garuda Food)

Gambar.1 Garuda Kacang Atom Original


Sumber: https://garudafood.com/garuda
Kacang atom merupakan makanan ringan yang terbuat dari kacang tanah yang telah
disalut dengan adonan tepung tapioka. Komposisi kacang atom pada umumnya terdiri dari
tepung tapioka, kacang tanah, minyak nabati, bawang putih, gula, garam, penguat rasa
mononatrium glutamat, pemanis buatan berupa Asesulfam-K.
1.2 Proses Produksi Kacang Atom
1.2.1 Proses Persiapan Bahan Baku
Bahan-bahan yang digunakan dalam proses pembuatan kacang atom adalah ose,
tepung tapioka, larutan kanji, dan larutan gula. Larutan kanji yang digunakan
merupakan larutan yang sudah diberi bumbu sesuai dengan takaran
1.2.2 Proses Coating
Proses coating dilakukan dengan memasukkan ose ke dalam mesin molen lalu
melapisinya dengan tepung kanji yang telah dibumbui secara berulang hingga merata
dan ketebalan lapisan cukup
1.2.3 Pengayakan
Proses ini dilakukan dengan mesin pengayak yang telah dilengkapi 3 mesh lubang
dengan ukuran yang berbeda. Tujuan proses ini agar mendapatkan ose yang telah
dicoating dengan ukuran seragam
1.2.4 Penggorengan
Proses penggorengan menggunakan mesin deep fat fryer dengan suhu 145 oC -155 oC
selama 26 menit. Hasil dari proses penggorengan ialah kacang atom matang yang
berbentuk bulat, memiliki tekstur renyah, mengembang, berwarna putih dan kacang
yang ada di dalamnya juga sudah matang.
1.2.5 Pendinginan
Kacang atom matang yang telah mengalami proses penggorengan selanjutnya
didinginkan dengan menggunakan mesin pendingin yang menggunakan udara dengan
kecepatan konveyor 10,58 Hz selama 2 menit. Kemudian kacang atom disortasi
manual dengan mesin vibrator feeder
1.2.6 Pengayakan
Kacang atom kembali melalui proses pengayakan dengan mesin pengayakan yang
dilengkapi mesh ukuran 18 mm, 16 mm dan 13 mm agar mendapatkan kacang atom
matang dengan ukuran seragam.
1.2.7 Pengemasan
Setelah proses pengayakan kembali, kacang atom yang telah memenuhi standar
selanjutnya mengalami proses pengemasan. Ada 3 macam jenis kemasan yang
digunakan yaitu kemasan primer, kemasan sekunder, dan kemasan tersier. Kemasan
primer adalah kemasan yang mengalami kontak langsung dengan produk. Kemasan
sekunder adalah kemasan yang digunakan untuk melapisi kemasan primer. Kemasan
tersier yaitu kardus
1.2.8 Inspeksi dengan Mesin X-Ray
Setelah proses pengemasan, produk yang akan dipasarkan akan melewati mesin X-
Ray yang bertujuan untuk mengontrol kontaminasi logam yang terdapat dalam produk
yang dapat membahayakan keamanan pangan suatu produk
1.2.9 Pengiriman Produk Jadi
Produk yang sudah jadi dikirim ke gudang finish good, dengan prinsip pengiriman
barang FIFO (first in, first out).
1.3 CCP Proses Produksi Kacang Atom
Dalam prinsip HACCP terdapat prinsip untuk menetapkan titik kendali kritis (TKK).
Pada proses pembuatan kacang atom PT. Garudafood Putra Putri Jaya Divisi Coated
Peanuts terdapat beberapa titik kendali kritis yaitu pada proses persiapan bahan baku (CCP
1), penggorengan (CCP 2), dan penyinaran X-ray (CCP 3). Titik kritis ini ditetapkan
dengan maksud untuk mencegah, mengurangi atau meniadakan bahaya keamanan pangan
sampai batas yang diterima.
1.4 Analisis Risiko pada Proses Produksi Kacang Atom serta Mitigasinya
1.4.1 Persiapan Bahan Baku (CCP 1)
Sebagai penjamin keamanan pangan, setiap bahan baku yang digunakan dalam proses
pembuatan kacang atom di PT. Garudafood Putra Putri Jaya Divisi Coated Peanuts
disortasi untuk menjamin mutu dan kualitas bahan baku tersebut layak untuk
diproduksi dengan mengacu Standar Nasional Indonesia. Bahan baku yang digunakan
dalam proses pembuatan kacang atom adalah:
• Kacang Tanah/ Ose
Kacang tanah yang dipilih adalah kacang telah mengalami pengupasan kulit dan
memenuhi syarat SNI Kacang Tanah (01-3921- 1995). Selain dari segi
penampakan dan kadar air, ose juga harus memenuhi standar aflatoksin yang telah
ditetapkan oleh Peraturan Kepala Badan Pemeriksa Obat dan Makanan (BPOM)
Republik Indonesia nomor HK.00.05.1.4057 tentang Batas Maksimum
Aflatoksin dalam Produk Pangan yaitu kurang dari 20 ppb. Ose yang telah
memenuhi standar kemudian mengalami proses pembersihan agar benda asing,
seperti batu, tanah, kacang yang masih terdapat kulit, kayu, kulit terpisah.
Kemudian ose mengalami proses sortasi berdasarkan fisik bahan seperti warna,
ukuran, dan keutuhan dengan mesin khusus.
• Tepung Tapioka
Dalam proses pembuatan tepung tapioka dilakukan beberapa tahapan proses
seperti pencucian, pengupasan, pemarutan, ekstraksi, penyaringan halus,
separasi, pembasahan, dan pengeringan. Tepung tapioca yang baik terantum
dalam Standar Nasional Indonesia (SNI) tepung tapioka (3451 - 2011), yakni
berwarna putih, kandungan air yang rendah, mengandung banyak zat pati dan
sedikit serat.
• Minyak Goreng
Minyak goreng yang digunakan harus memenuhi Standar Nasional Indonesia
(SNI) yaitu SNI 01-0018-2006 tentang Refined Bleached Deorized (RBD) Palm
Olein.
• Bawang Putih
Bawang putih yang baik harus memenuhi SNI 01-3160-1992, yakni terdiri dari
suing bernas yang masih terbungkus kulit luar dan tidak berjamur.
• Garam
Garam yang biasanya digunakan harus memenuhi syarat SNI garam dapur (01-
3556-2000)
• Mononatrium Glutamat
Jumlah MSG yang digunakan harus mematuhi Peraturan Menteri Kesehatan
Republik Indonesia Nomor: 722/MENKES/PER/IX/88 yakni tidak melebihi
batas wajar yang diperlukan oleh tubuh.
• Gula
Gula yang digunakan harus mengacu kepada Standar Nasional Indonesia gula
kristal rafinasi (01-3140.2-2006).
• Asesulfam-K (BTP)
Salah satu pemanis buatan yang diizinkan di Indonesia dan sering ditambahkan
pada produk pangan adalah asesulfam-K (acesulfame potassium. Penggunaan
asesulfam-K harus mengacu pada Standar Nasional Indonesia tentang bahan
tambahan pangan pemanis buatan (SNI 01-6993-2004), yakni batas maksimum
sebesar 1000 mg/kg.
• Sukrosa
Dalam penggunaan sukrosa batas penggunaan sukrosa yang diizinkan diatur
dalam Standar Nasional Indonesia (SNI) tentang bahan tambahan pangan
pemanis buatan – (SNI 01-6993-2004), batas maksimum penggunaan sukrosa
kategori pangan makanan ringan siap santap adalah 1000 mg/kg.
• Bahan Kemasan
Kemasan adalah salah satu proses yang paling penting untuk menjaga kualitas
produk makanan selama masa penyimpanan, transportasi, dan penggunaan akhir.
Bahan kemas yang digunakan untuk mengemas kacang atom adalah plastik
polipropilen (PP) dan kardus. Adapun syarat batas maksimal migrasi polipropilen
terhadap fraksi n-heksana adalah 6,40% yang telah diatur pada peraturan BPOM
RI nomor HK.03.1.23.07.11.6664 tahun 2011.
1.4.2 Penggorengan (CCP 2)
Pada proses pembuatan kacang atom, proses penggorengan ditetapkan sebagai
titik kendali kritis karena penentuan besarnya suhu yang digunakan dalam proses
penggorengan menentukan keberadaan kontaminasi biologi seperti mikroorganisme,
kapang, khamir, dll. Contoh mikroorganisme yang terdapat dalam bahan baku adalah
Escherichia coli dan Bacillus. Bacillus merupakan mikroorganisme thermophilic yang
dapat tumbuh pada suhu 45- 70oC, sedangkan Escherichia coli mampu hidup dengan
baik pada suhu 60oC, tetapi tidak dapat hidup pada suhu >72oC. Sedangkan yeast dan
mold dapat tumbuh dengan baik pada rentang suhu antara 10 – 30oC, dapat mati pada
suhu 65oC selama 10 menit. Pada umumnya seluruh mikroorganisme dapat mati pada
suhu 100oC selama 30 menit. untuk mikroorganisme yang memiliki spora akan mati
pada suhu 100oC selama 24 jam.
Untuk memastikan seluruh kontaminan biologi mati, maka dipilih batas suhu
kritis penggorengan, yakni 152oC - 154 oC. Penentuan batas suhu kritis ini
menggunakan pedoman suhu sterilisasi menggunakan mesin autoclave dengan suhu
121oC selama 15 menit. Apabila dibawah suhu dan waktu ini, spora beberapa spesies
bakteri dapat bertahan dan mengkontaminasi produk hingga membahayakan
kesehatan konsumen. Berdasarkan tabel di bawah ini dapat diketahui bahwa
mikroorganisme yang ada pada bahan baku mati setelah dilakukan proses
penggorengan dengan prinsip sterilisasi.
Tabel. 1 Jumlah Mikroorganisme pada Bahan Baku (Nita Pranata,2017)
No Parameter Satuan Nilai
o
Sebelum Sterilisasi Autoclave (121 C, 15 menit)
Ose TPC Koloni/gram >2,5 x 105
Tepung TPC Koloni/gram 2,8 x 102
Formula TPC Koloni/gram >2,5 x 105
o
Setelah Sterilisasi Autoclave (121 C, 15 menit)
Ose steril TPC Koloni/gram <1,0 x 101
Tepung steril TPC Koloni/gram <1,0 x 101
Formula steril TPC Koloni/gram <1,0 x 101

1.4.3 Penyinaran X-ray (CCP 3)


Penggunaan mesin x-ray ini diharapkan dapat mengurangi bahaya kontaminasi fisik
agar produk aman dikonsumsi. Kontaminasi ini terjadi dari mesin dan peralatan yang ada,
seperti serpihan las, kawat, mur, paku dan lain-lain. Penyinaran X-ray dilakukan setiap
hari, kemudian direkap di akhir bulan setiap lini proses. Tujuan monitoring data ini adalah
sebagai salah satu perwujudan penerapan sistem HACCP yang digunakan untuk memantau
dan mengurangi bahaya keamanan pangan. Dari rekap data monitoring ini diharapkan bisa
mempermudah pengendalian bahaya dan bisa untuk meminimalisirnya. Selain itu untuk
mengurangi kontaminasi logam PT. Garudafood juga menjalankan sistem cleaning yang
dilakukan selama akhir periode sekali (seminggu sekali).
Tabel.2 Ringkasan HACCP Produksi Kacang Atom
Critical Control Analisis Resiko Bahaya dan Tindakan Mitigasinya
Point

Persiapan Bahan Bahaya biologis: mikroorganisme seperti E—coli dan Bacillus, khamir,
kapang dan mold dapat dicegah dengan mengadakan bahan baku dari
Baku (CCP 1)
pemasok yang menyertakan certificate of analysis (CoA), melakukan
proses pencucian, dan menguji bahan baku dengan acuan SNI
Bahaya kimia: umur simpan produk yang singkat karena mengalami
reaksi oksidasi oleh udara dapat dicegah dengan memilih bahan kemasan
polypropylene sesuai SNI dengan teknik pengemasan MAP
Bahaya fisik: terdapat batu, serpihan besi, kayu dan lain-lain pada bahan
baku dapat dicegah dengan proses sortasi menggunakan mesin combi,
destoner, sortex, helius, mesin pengayakan, dan sortasi manual.

Bahaya biologis: mikroorganisme dan sporanya yang masih


Penggorengan
mengkontaminasi bahan baku dapat dicegah dengan proses penggorengan
(CCP 2)
dengan prinsip sterilisasi menggunakan autoclave
Bahaya kimia: minyak untuk menggoreng tengik karena teroksidasi
dapat dicegah dengan mengatur suhu dan waktu penggorengan yang tepat
dan mengganti minyak secara berkala
Bahaya fisik: produk memiliki penampilan fisik yang buruk karena
terlalu hangus dapat dicegah dengan mengatur suhu dan waktu
penggorengan yang tepat dan melakukan kontrol suhu secara berkala

Penyinaran X-ray Bahaya fisik: produk jadi masih terkontaminasi serpihan kawat mesh,
mur, baut, kerak las dapat dicegah dengan penyinaran X-ray dan proses
(CCP 3)
cleaning alat operasi secara berkala

2. HACCP dan Kaitannya dengan Keamanan Pangan


2.1 Definisi HACCP
Hazard Analysis Critical Control Point (HACCP) adalah pendekatan sistematis dalam
sistem pengendalian berfokus pada sistem pencegahan bahaya biologi, kimia, fisik yang
diterapkan pada seluruh aspek makanan meliputi semua tahap mulai dari persiapan bahan
baku, proses produksi, distribusi dan penyimpanan hingga penggunaan produk (F.
Mamuaja, 2016).
2.2 Tujuan HACCP
Tujuan penerapan HACCP adalah untuk menghasilkan produk dengan mutu terbaik
dan aman bebas dari bahaya sehingga dapat dijadikan jaminan mutu suatu pangan. Adapun
tujuan khusus diterapkannya HACCP menurut Fardiaz (1996) adalah sebagai berikut:
1. Mengevaluasi cara memproduksi makanan guna mengetahui bahaya yang mungkin
timbul.
2. Memperbaiki cara memproduksi makanan dengan memberikan perhatian khusus
terhadap tahap-tahap proses yang dianggap kritis.
3. Memantau dan mengevaluasi cara-cara penanganan serta penerapan sanitasi dalam
memproduksi makanan.
4. Meningkatkan kesadaran dan pemahaman karyawan terhadap mutu dan keamanan
pangan.
5. Sebagai promosi perdagangan era pasar global yang memiliki daya saing
kompetitif.
2.3 Titik Pengendalian Kritis (CCP)
1. Titik Pengendalian Kritis 1 (CCP-1), adalah sebagai titik dimana bahaya dapat
dihilangkan
2. Titik Pengendalian Kritis 2 (CCP-2), adalah sebagai titik dimana bahaya dikurangi
2.4. Penerapan HACCP

a. Food Safety/Keamanan Pangan

Aspek–aspek dalam proses produksi yang dapat menyebabkan timbulnya penyakit


atau bahkan kematian. Masalah ini umumnya dihubungkan dengan masalah biologi,
kimia dan fisika.

b. Wholesomeness/Kebersihan

Karakteristik–karakteristik produk atau proses dalam kaitannya dengan kontaminasi


produk dan fasilitas sanitasi dan hygiene.

c. Economic Fraud/Pemalsuan

Tindakan-tindakan yang illegal atau penyelewengan yang dapat merugikan pembeli.


Tindakan ini mencakup diantaranya pemalsuan spesies (bahan baku), penggunaan
bahan tambahan pangan yang berlebihan, berat tidak sesuai dengan yang tercantum
pada label, overglazing dan jumlah komponen yang kurang seperti yang tertera pada
kemasan.
2.5 Prinsip dan Tahap Penerapan HACCP
• 5 Tahap HACCP (5 tahap pertama):
1. Menyusun tim HACCP
Tim mencangkup dari berbagai bidang seperti Teknik, produksi, sanitasi, penjamin
kualitas, mikrobiologi pangan, hingga pakar luar yang memiliki pengetahuan tentang
potensi bahaya biologi, kimia, fisik dalam proses maupun produk jika dibutuhkan. (F.
Mamuaja, 2016)
2. Menguraikan deskripsi produk hingga distribusi produk
Mengidentifikasi nama, komposisi, saran penggunaan, jenis kemasan, masa simpan,
lokasi penjualan produk, petunjuk yang diperlukan pada label, dan proses distribusi
produk (Surono, Sudibyo, & Waspodo, 2016)
3. Menguraikan cara penggunaan dan kriteria konsumen.
Mengidentifikasi sasaran konsumen dan penggunaan produk yang diharapkan
konsumen karena akan mempengaruhi tingkat CCP (Thaheer, 2005)
4. Menyusun Alur Proses Produksi
Membuat diagram alir proses dimulai dari penerimaan hingga penngiriman. Diagram
alir harus mencangkup rincian bahan mentah dan kemasan, kegiatan proses, kondisi
penyimpanan, profil suhu dan waktu, transfer dalam dan antar-area produksi,
gambaran desain dan perlengkapan. (Mortimore & Wallace, 2004)
5. Verifikasi/Konfirmasi
Alur Proses RKJM harus disetujui dan ditandatangani oleh pimpinan Manajemen
terutama (kebijakan mutu) dan manajer jaminan mutu. RKJM mencakup persyaratan
dasar GMP dan SSOP
• 7 prinsip HACCP (7 tahap Kedua):
1. Mengidentifikasi potensi bahaya
Mengevaluasi bahaya utama dalam makanan, seperti bahaya biologis yang terbentuk
akibat mikroorganisme pathogen yang mengkontaminasi makanan, bahaya kimia
yang timbul secara kimiawi melalui bahan baku, proses produksi, penyimpanan,
distribusi, hingga dampaknya ke konsumen, serta bahaya fisik yang dapat
mencelakakan konsumen karena makanan terkontaminasi benda asing yang
tajam/menyebabkan kerusakan gigi yang parah/membuat tersedak. (Mortimore &
Wallace, 2004)
2. Menentukan titik-titik pengendalian kritis (CCP)
Menentukan titik kendali kritis atau tahapan dalam prosedur pengolahan pangan
dengan bantuan decision tree. (Surono, Sudibyo, & Waspodo, 2016)
3. Menentukan batas kritis untuk masing-masing CCP
Batasan kritis yang efektif harus berdasarkan informasi yang telah terbukti, memuat
ukuran batasan kritis berupa kombinasi factor pada proses produksi berjalan, dan nilai
batas kritis harus memenuhi persyaratan peraturan pemerintah atau standar
perusahaan (Surono, Sudibyo, & Waspodo, 2016)
4. Menentukan suatu sistem pengawasan untuk masing-masing CCP
Harus berbasis ilmiah menggunakan peralatan yang telah dikalibrasi secara rutin dan
harus memuat unsur peralatan dan metode, penetapan frekuensi, manusia, dan
pencatatan. (Mortimore & Wallace, 2004)
5. Menentukan upaya – upaya perbaikan
Tindakan perbaikan harus mencangkup upaya sebagai berikut; menentukan
penempatan dan perlakuan khusus produk yang tidak memenuhi syarat, memperbaiki
penyebab kesalahan, memastikan tindakan perbaikan CCP terkendali, dan membuat
catatan seluruh tindakan perbaikan.
6. Menyusun proses verifikasi
Mencangkup dua kategori, yakni validasi untuk memastikan bahwa tindakan
rancangan HACCP dan keamanan pangan teridentifikasi dan verifikasi yaitu
memastikan bahwa seluruh HACCP telah dijalankan dengan benar dan CCP
terkendali. (Mortimore & Wallace, 2004)
7. Menyusun dokumentasi dan penyimpanan catatan
Jenis data yang akan disimpan meliputi rancangan HACCP, Riwayat perbaikan minor
pada rancangan HACCP, catatan pemantauan CCP, catatan produk , catatan pelatihan,
catatan audit, dan catatan kalibrasi. (Mortimore & Wallace, 2004)
2.6 Keterkaitan antara HACCP dan Keamanan Pangan
Faktor keamanan pangan berkaitan dengan tercemar tidaknya pangan oleh
mikrobiologis, logam berat, dan bahan kimia yang membahayakan kesehatan. Untuk
memproduksi pangan yang bermutu baik dan aman bagi kesehatan diperlukan penerapan
sistem jaminan mutu dan sistem manajemen lingkungan atau Good Manufacturing
Practices (GMP). Untuk menerapkan salah satu faktor GMP yakni pengendalian proses
maka diciptakan Hazard Analysis Critical Control Point” (HACCP) sebagai acuan atau
standar internasional untuk memproduksi makanan yang aman dan bermutu (F. Mamuaja,
2016). Penerapan HACCP bertujuan untuk memproduksi makanan yang aman dan
bermutu dimulai dari proses pengadaan bahan baku hingga produk di tangan konsumen.
HACCP diperlukan dalam menguji keamanan pangan karena bila menguji kualitas produk
akhir saja tidak cukup karena keterbatasan sampling, sehingga menyebabkan kesulitan
dalam menjamin keamanan pangan.

3. Lembaga Keamanan Pangan di Indonesia


Di Indonesia pengawasan mutu produk pangan telah diatur dan ditangani langsung
oleh Badan Pemeriksa Obat dan Makanan (BPOM) di bawah Departemen Kementrian
Kesehatan Republik Indonesia (F. Mamuaja, 2016). Dengan adanya BPOM sebagai
pengawas mutu akan menciptakan ketertiban dalam berproduksi dan transaksi
perdagangan. BPOM menjalankan fungsinya sebagai pengawas mutu dengan cara
membuat peraturan, menetapkan sistem standarisasi nasional, melakukan pengawasan
mutu secara nasional, dan melakukan tindakan hukum bagi yang melanggar. Saat ini
terdapat beberapa peraturan pemerintah yang berhubungan dengan pengawasan mutu
produk pangan antara lain:
• Peraturan Menteri Kesehatan RI No.329/Menkes/per/XII/76 tentang Produksi dan
Peredaran Makanan

• Peraturan Menteri Kesehatan RI No.79/Menkes/per/III/78 tentang Label dan


Periklanan

• Keputusan Menteri Kesehatan RI No.23/Menkes/SK/I/78 tentang Pedoman Cara


Produksi Yang Baik Untuk Makanan
• Peraturan Menteri Kesehatan RI No.453/Menkes/per/XI/83 tentang Bahan
Berbahaya
• Peraturan Menteri Kesehatan RI No.208/Menkes/per/IV/85 tentang Pemanis
Buatan
• Peraturan Menteri Kesehatan RI No.239/Menkes/per/V/85 tentang Satu Warna
tertentu Sebagai Bahan Berbahaya
• Peraturan Menteri Kesehatan No.722/Menkes/per/XI/88 tentang Bahan Makanan
• Keputusan Direktur Jenderal Pengawasan Obat Dan Makanan
No.02987/B/SK/XII/90 tentang Pendaftaran Bahan Makanan Tertentu
• Keputusan Direktur Jenderal Pengawasan Obat Dan Makanan
No.01415/B/SK/IV/91 tentang Tanda Khusus Pewarna Makanan
• Keputusan Direktur Jenderal Pengawasan Obat Dan Makanan
No.02240/B/SK/VII/91 tentang Pedoman Persyaratan Mutu Serta Label Dan
Periklanan Makanan
• Keputusan Direktur Jenderal Pengawasan Obat Dan Makanan.

REFERENSI:
F. Mamuaja, C. (2016). PENGAWASAN MUTU DAN KEAMANAN PANGAN (1st ed., pp. 167-
185). Manado: UNSRAT PRESS.
Fardiaz, S. (1996). Prinsip HACCP dalam Industri Pangan. Institus Pertanian Bogor
Mortimore, SE.; Wallace. CA. 2015. HACCP A Food Industry Briefing. Wiley Blackwel.
Nita Pranata, B. (2017). PENERAPAN HACCP (Hazard Analysis Critical Control Point)
PADA PROSES PRODUKSI KACANG ATOM DI PT. GARUDAFOOD PUTRA
PUTRI JAYA DIVISI COATED PEANUTS PATI. Retrieved 2 November 2021, from
https://core.ac.uk/download/pdf/94604058.pdf
Rina, A. (2008). Sistem Manajemen Mutu dan Keamanan Pangan pada Perusahaan Jasa Boga.
Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional. Vol. 2. No. 6.
Surono, I.S., Sudibyo, A., Waspodo, P. (2016). Pengantar Keamanan Pangan untuk Industri
Pangan. Yogyakarta: Deepublish.
Thaheer, H. (2005). Sistem Manajemen HACCP. Jakarta: Bumi Aksara
Widiastuti, S. (2017). Analisis Bahaya dan Kendali Titik Kritis (HACCP) Rendang (Studi
Kasus di Rumah Makan X Kecamatan Pamulang Kota Tanggerang Selatan). Retrieved 2
November 2021, from https://repository.uinjkt.ac.id.

Anda mungkin juga menyukai