Anda di halaman 1dari 18

TUGAS

APLIKASI HACCP PADA INDUSTRI

“PENENTUAN CCP (CRITICAL CONTROL POINT) PADA TAHAPAN


PROSES PRODUKSI MIE INSTAN”

Disusun oleh:

Dina Puti Kartika

(NIM: 1411105071)

JURUSAN ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

UNIVERSITAS UDAYANA

BALI

2016
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Salah satu aspek penting yang dilihat oleh konsumen dalam membeli
atau mengonsumsi makanan adalah aspek keamanannya. Suatu makanan yang
memiliki tampilan menarik ataupun mempunyai rasa yang lezat akan memiliki
nilai yang kurang jika keamanannya diragukan. Meningkatnya pengetahuan
dan kesadaran konsumen untuk hidup sehat juga memberikan implikasi yang
signifikan pada dunia industri, terutama industri pangan. Industri pangan
dituntut untuk menghasilkan produk yang aman, bermutu dan mengandung
nutrisi yang baik. Maka dari itu, setiap industri pangan perlu mengaplikasikan
sistem jaminan keamanan pangan guna menghasilkan produk yang baik.

Sistem jaminan keamanan pangan yang telah dikembangkan dan


diakui oleh dunia industry pangan adalah system HACCP (Hazard Analysis
Critical Control Point). HACCP adalah system pengendalian yang dilakukan
pada titik-titik kendali kritis bahan atau tahapan proses untuk menentukan
komponen, kondisi atau tahapan proses yang harus mendapatkan perhatian
yang tepat untuk dapat menjamin bahwa produk yang dihasilkan aman dan
memenuhi persyaratan. Salah satu prinsip dari HACCP adalah menentukan
titik atau tahap prosedur operasional (Critical Control Point) yang dapat
dikendalikan untuk menghilangkan bahaya atau mengurangi kemungkinan
terjadi bahaya tersebut. CCP (Critical Control Point) berarti setiap tahapan di
dalan produksi pangan dan /atau pabrik yang meliputi sejak bahan baku yang
diterima, dan/atau diproduksi, panen, diangkut, formulasi, diolah, disimpan
dan lain sebagainya.

Salah satu industri pangan yang menerapkan sistem keamanan HACCP


adalah industri mie instan. Dimana dapat diketahui bahwa pengendalian mutu
pada proses pembuatan mie instan memerlukan penanganan yang sangat
kompleks agar dihasilkan produk akhir mi instan yang berkualitas baik.
Agribisnis menangani hasil pertanian yang selanjutnya diproses secara industri
untuk menghasilkan produk yang bermutu dan berkualitas dari bahan
bakunya. Peningkatan kualitas produk tidak lepas dari pengendalian dan
pengawasan agar dicapai produk yang sesuai standar mutu.

Industri mie instan diharapkan menerapkan sistem kemanan HACCP


sehingga produk yang dihasilkan memberikan kepuasan bagi konsumen dan
juga memberikan jaminan keamanan pangan. Produk akhir demikianlah yang
akan di pasarkan ke konsumen. Dalam paper ini akan ditentukan dimana CCP
(Critical Control Point) akan ditempatkan pada tahap produksi mie instan
untuk mengurangi resiko terjadinya bahaya.

1.2. Tujuan
1.2.1. Mengetahui tahapan proses produksi mie instan
1.2.2. Mengetahui kriteria bahan baku dan bahan tambahan pada produksi
mie instan
1.2.3. Menentukan CCP (Critical Control Point) pada tahapan proses
produksi mie instan
BAB II

PEMBAHASAN

2.1. Diagram alur produksi mie instan


Bumbu, minyak bumbu, etiket, karton

Larutan alkali
Gambar: Tahapan proses produksi Mie Instan

2.1. Identifikasi Bahan Baku

Tepung terigu yang digunakan untuk membuat mi instan adalah


tepung terigu yang memiliki kadar protein tinggi yaitu 8-12%. Hal ini
bertujuan agar mie yang dihasilkan berkualitas baik. Kandungan protein
total dalam gandum 7-8% lebih kurang 80% penyusun protein adalah
fraksi gluten yang merupakan pembentuk struktur kerangka. Berikut Tabel
Syarat Mutu Tepung Terigu berdasarkan SNI 01-3751-1995:
Colling (suhu <32°C waktu 318-322 detik)

Packing
Roll-sh
Mie instan

Steaming (suhu 90-100°C, tekanan 0.25-0.4

Cutting & folding

Frying (suhu 100-150°C waktu 70-77 detik)

Pengendalian mutu kualitas terigu dilakukan sebelum bahan baku


diterima dari supplier yang meliputi analisa fisik dan kimia. Analisa fisik
meliputi, kebersihan sak, jahitan tidak terbuka atau bekas dibuka, tidak
basah, tidak tercemar barang lain, kode produksi, label, berat. Bila pada
analisa fisik terdapat kemasan bocor, jahitan sak sudah dibuka, kode
produksi tidak ada maka pihak prusahaan menoleransi adanya
penyimpangan dari tepug terigu tersebut jika penyimpangan lebih dari 5
kemasan maka tepung terigu ditolak oleh perusahaan. Sedangkan untuk
analisa kimia meliputi, kadar air, kadar gluten.

2.2. Identifikasi Bahan Tambahan

 Tepung Tapioka
Tepung tapioka digunakan sebagai bahan tambahan untuk
pensubtitusi tepung terigu. Pengendalian mutu tepung tapioka dianalisa
secara fisik dan kimia, secara fisik diamati warna dan secara kimia
dengan pengujian kadar abu.

 Minyak Goreng
Minyak yang digunakan harus memenuhi standar untuk kadar FFA
pada saat minyak goreng adalah 0,075%. Minyak juga mangalami
perlakuan steam sebelum minyak goreng dialirkan ke tangki
penyimpanan karena minyak yang datang masih dalam bentuk beku.
Minyak goreng disteam di dalam tangki yaitu dengan mengalirkan uap
panas ke dalam tangki tersebut sampai minyak goreng mencair.
Kemudian minyak goreng dialirkan ke mixer untuk dilakukan
penambahan bahan antioksidan (TBHQ). Setelah tercampur minyak
goreng dialirkan ke tangki penyimpanan.
Proses pengendalian mutu pada industri mie instan meliputi
pemeriksaan yang dilakukan selama proses berlangsung, dengan
mengambil sample dari tangki penyimpanan. Sample minyak goreng
yang diambil dianalisa kadar free fatty acid (FFA). Pengendalian mutu
secara organoleptik yaitu cairan kuning berbau normal dan tidak tercemar
benda asing.
 Garam dapur
Garam dapur juga digunakan sebagai pembuatan larutan alkali
dengan ditambahkan ingredient lain seperti pewarna. Larutan alkali ini
akan memberikan karateristik rasa aroma, warna kuning dan kekukuhan
serta keelastisan tekstur mi. Untuk proses produksi dipilih garam yang
bersih, kenampakannya berwarna putih, butiran garamnya halus sehingga
mudah terlarut, garam tersebut agar tetap terjaga kebersihannya maka
perlu penyimpanan yang baik yaitu ditempatkan diruangan terpisah dari
ruang produksi, agar tidak terkontaminasi dengan air maupun kotoran
yang dapat menyebabkan garam tersebut menjadi rusak.
 Zat pewarna
Zat pewarna kuning sengaja ditambahkan dalam pembuatan mi yang
digunakan untuk memperbaiki mutu dan penampilan mi sehingga sesuai
dengan minat warna mi pada umumnya. Zat pewarna yang digunakan
dalam pembuatan mi biasanya mengunakan Tartazine CI 19140.
Tartazine CI 19140 merupakan pewarna makanan yang barbentuk tepung
dengan warna kuning jinga yang digunakan sebagai pewarna sintetik
pada proses pembuatan mi. Tartazine CI 19140 mudah larut dalam air
dengan kelarutan yang dihasilkan adalah warna kuning keemasan.
(Winarno, 1984)
Pengunaan zat pewarna di Indonesia hingga saat ini diatur dalam SK
Menteri Kesehatan RI tanggal 22 Oktober 1973 No. 11332/A/SK/73.
Adapun jenis Pewarna Makanan Dan Minuman Sintetik Yang Diijinkan
Di Indonesia yaitu :
Sumber: Direktor Pengawasan Makanan dan Minuman

 Bumbu dan minyak bumbu


Sistem pengendalian mutu bahan adalah untuk menjaga kualitas
bahan agar tetap baik dan tidak rusak kualitasnya, selama masa simpan
sampai dengan bahan digunakan dalam proses produksi.
Pengendalian mutu yang dilakukan terhadap bumbu, minyak
bumbu dan saus dilakukan dengan penilaian kemasan, berat
bersih/pieces (gram), berat kotor/karton (kg), jumlah isi/karton, umur
warna, bau dan rasa, penampakan, bebas dari benda asing.
Pengendalian mutu secara kimia dilakukan dengan menentukan kadar
air (bumbu dan cabe). Pemeriksaan ini dilakukan di laboratorium
Quality Control.
 Air
Pengendalian mutu air meliputi analisa pH, kesadahan, total
padatan, dan analisa logam berat. Analisa-analisa ini dilakukan secara
rutin. Penilaian analisa organoleptik yaitu warna, rasa, bau dan tidak
adanya cemaran.

2.3. Proses Produksi Mie Instan dan Pengendalian

1) Pengayakan

Pada proses pengayakan, bahan baku tepung terigu akan diayak


menggunakan mesin Screw Conveyor. Tujuan dari pengayakan ini adalah
untuk mencegah kontaminasi fisik (kerikil, benang, dll). Pengendalian
yang dilakukan pada tahap ini adalah dengan uji indrawi berdasarkan
warna pada tepung serta pengamatan keberadaan cemaran benda asing
pada bahan melalui proses pengayakan.
2) Mixing
Pada proses pengolahan mi instan yaitu pada tahap mixing
digunakan bahan penunjang berupa larutan alkali yang berfungsi
melarutkan tepung terigu dan tapioka untuk diubah menjadi gumpalan-
gumpalan adonan. Alkali ini dapat menghidrasi gluten dari molekul-
molekul pati yang sangat menentukan tekstur mi.
Selama proses mixing terjadi hidrasi air dan tepung, dimana posisi
air merata diseluruh tepung. Air tersebut menyebabkan serat-serat gluten
ditarik dan terbungkus dalam pati, sehinga adonan menjadi lunak dan
halus serta elastis. Selama pembentukan adonan terjadi reaksi-reaksi antara
alkali dengan air yang menghasilkan CO2 sehinga akan membentuk antara
granula pati yang menyebabkan adonan menjadi lebih ringan, lunak dan
produk yang dihasilkan menjadi elastis (Nita sari, 2003)
Proses mixing ini sangat penting karena merupakan proses yang
pertama kali dilakukan sehinga sangat menentukan hasil akhir yang
didapat dan saling berpengaruh pada proses selanjutnya. Maka dari itu,
tahap Mixing merupakan salah satu Critical Control Point (CCP) dimana
pada tahap ini perlu dilakukan pengendalian untuk mengurangi resiko
bahaya. Hal-hal yang perlu diperhatikan antara lain komposisi adonan,
waktu homogenitas, warna, jumlah larutan alkali dan air yang
ditambahkan, adanya cemaran logam, pemeriksaan GMP dan sanitasi pada
pipa/bak alkali dan kadar air adonan.
Disamping itu, hal lain yang mempengaruhi proses mixing adalah:
 Jumlah air alkali yang digunakan
Setiap pembuatan air alkali dibutuhkan air sebanyak 1500
liter yang dapat digunakan untuk 20 kali mixing. Air alkali yang
akan digunakan selalu dilakukan pemeriksaan seperti dilakukan
uji Bobot jenis, viskositas, dan pH.
Air akan meneterasi ke dalam partikel zat pati, semakin
banyak yang terpenetrasi hingga mendekati titik maksimal
kapasitas penyerapan air maka akan semakin baik. Sehingga akan
membantu mempersiapkan proses gelatinisasi yang optimal pada
partikel pati.
 Waktu mixing
Proses mixing yang terlalu cepat akan mengurangi
homogenitas adonan dan pengembangan partikel pati tidak dapat
maksimal. Dan sebaliknya jika terlalu lama akan menyebabkan
adonan yang dihasilkan mempunyai suhu yang tinggi. Suhu
adonan yang tinggi disebakan adanya gesekan yang terjadi antara
adonan dengan baling-baling.
 Temperatur adonan
Jika suhu adonan lebih tinggi dari standar misalnya
suhunya diatas 40 0C maka adonan cenderung lembek dan
lengket. Hal tersebut disebabkan karena naiknya reaksi enzimatis
sehingga merusak gluten dan pati pada terigu.
Apabila pada tahap mixing, adonan yang dihasilkan tidak
sesuai dengan standart (lembek atau keras) maka adonan tersebut
tidak diturunkan ke tabung feeder untuk proses berikutnya, tetapi
adonan tersebut diambil dan sedikit demi sedikit ditambahkan
pada proses mixing adonan mi berikutnya.
3) Roll sheeting

Proses roll sheeting adalah proses saat pengepresan adonan diubah


menjadi lembaran-lembaran. Proses yamg terjadi saat pengepresan adalah
gluten ditarik kesatu arah sehingga seratnya menjadi sejajar. Dengan serat
gluten yang sejajar, akan mengakibatkan kehalusan dan keelastisan mi,
selain itu serat yang halus dan searah akan menghasilkan mi yang elastis,
kenyal dan halus (Astawan, 1999)

Pengendalian pada proses pengepresan yaitu ukuran ketebalan


lempengan mi 1,5 mm. Semakin tipis ketebalanya maka akan terbentuk
lempengan yang halus, homogen dan tidak putus (Astawan, 1999)

Pengendalian mutu pada pembentukan lembaran mi yang sesuai


standar harus benar-benar diperhatikan agar mi yang dihasilkan
mempunyai tekstur yang baik. Salah satunya dengan cara pengaturan celah
roller dan kecepatan putaran roller agar lembaran yang dihasilkan
memiliki ketebalan yang sesuai standar dan lembaran mi tidak terlalu
tegang maupun kendor.
Faktor-faktor yang berpengaruh pada pengendalian proses ini yaitu :
 Keregangan roll sheet
Lembaran adonan akan mengalami keregangan pada saat di
press dan terjadi relaksasi pada saat keluar dari roll press. Hal ini
menyebabkan permukaan lembaran adonan menjadi halus dan
bersifat kenyal. Agar peregangan dan relaksasi berlangsung baik
maka jarak atau keregangan roll press diatur sedemikian rupa
sehingga merata diseluruh permukaan roll dan seimbang antara
pasangan roll belakang sampai depan.
 Kebersihan
Kotoran yang timbul dan mengendap akan mengganggu
kelancaran lembaran adonan, untaian maupun pembentukan
gelombang mi. Endapan kotoran berasal dari kontaminan maupun
adonan yang mengering Pengendalian mutu adanya cemaran
dapat dilakukan dengan uji indrawi.
4) Slitting

Pada proses slitiing adonan-adonan yang telah menjadi lembaran-


lembaran tipis selanjutnya akan dibentuk oleh mesin slitiing menjadi
untaian-untaian yang bergelombang. Pembentukan gelombang hanya
melalui weaving conveyor. Pengendalian mutu pada proses slitiing yang
dilakukan berupa penilaian jumlah masing-masing untaian rata-rata 83
untaian, penilaian ketebalan mi mengunakan thickness gauge, penilaian
kerapian gelombang dan penilaian kerapatan gelombang yang stabil.

5) Steaming

Steaming adalah proses pengukusan untaian mi yang keluar dari


slitter secara continue dengan mengunakan steam (uap air panas). Tujuan
proses tersebut adalah untuk memasak mi mentah menjadi mi masak
dengan sifat fisik tetap.

Pada tahap steaming ini, terjadi perubahan secara fisik yakni


terjadinya gelatinisasi dan koagulasi gluten sehinga ikatan menjadi keras
dan kuat, mi menjadi kenyal serta mi tidak menyerap minyak terlalu
banyak dan lembut (Astawan, 2003).
Pada tahap ini perlu dilakukan pengendalian sehingga tahap ini
merupakan Critical Control Point. Pengendalian yang dilakukan pada
proses steam adalah penilaian pada suhu yang digunakan, waktu steam,
tekanan yang digunakan, warna mi dari hasil perlakuan steam dan adanya
cemaran.

6) Shaping-folding

Pengendalian mutu pada mi hasil shaping-folding dilakukan untuk


menstabilkan kualitas produk dengan penilaian kecepatan potongan mi,
kerapatan tumpukan mi, berat mi dan adanya cemaran. Penilaian
kecepatan potongan mi dilakukan dengan cara pengaturan kecepatan pisau
dan kecepatan conveyor yang digunakan. Pengecekan kecepatan alat cutter
dan folding sangat mempengaruhi dari mi yang dihasilkan. Karena apabila
pelipatan mi tidak sama panjang maka mi akan direject, maka sebelum alat
akan digunakan untuk proses produksi staff QC harus melakukan
penyetelan alat. Penilaian kerapatan tumpukan mi dapat dilakukan dengan
pengaturan kesesuaian alat yang digunakan. Untuk mengetahui apakah
berat mi basah sesuai standar atau tidak bagian staff QC selalu melakukan
penimbangan berat mi secara acak. Penilaian terhadap adanya cemaran
dapat dilakukan denga uji indrawi.

7) Penggorengan (Frying)
Proses pengorengan merupakan proses pemberian sejumlah panas
kepada suatu bahan dengan media berupa minyak atau lemak. Dalam
proses pengorengan terjadi transfer panas dan transfer massa yang
menyebabkan adanya perubahan sifat fisikawi, kimiawi dan mikrobiologi.
Proses pengorengan pada mi instan ini bertujuan untuk mengawetkan mi
secara alami dengan cara mengurangi kadar air dalam minyak, kadar air
menurun dari 30 % menjadi 3 %. Suhu minyak yang tinggi akan
meyebabkan air menguap dengan cepat dan membentuk pori-pori halus
yang dapat mempercepat proses rehidrasi (penyerapan air pada waktu
dimasak). Dengan proses ini mi dapat bertahan selama 8 bulan dengan
tidak ada perubahan warna dan bau.
Tahapan proses ini merupakan Critical Control Point dimana
engendalian mutu pada proses frying dilakukan dengan penilaian waktu,
suhu, level minyak goreng dan adanya cemaran. Selain itu pengendalian
juga dilakukan pada sisa minyak goreng yang dihasilkan. Jika dalam
proses pengorengan pada akhir produksi masih ada sisa minyak goreng di
frying dengan kadar FFA > 0,24% yang disimpan di tangki daily, maka
minyak goring disebut minyak lama. Minyak goreng ini dapat
dipergunakan kembali sebagai bahan campuran minyak goreng untuk
proses produksi baik pada awal produksi maupun selama proses
berlangsung.
8) Cooling

Tahap pendinginan dilakukan untuk melepaskan sisa panas dari


produk hasil proses frying dan membuat tekstur mi menjadi keras
(Astawan, 1999).

Proses Quality Control dapat dilakukan dengan cara inspect mi,


test mi dan grading mi dengan mengunakan statistik data yang tepat
sebagai pembanding antara yang baik dengan yang tidak baik untuk
dipisahkan dan mengetahui mana yang diterima (accept) dan mana yang
ditolak (reject) dengan ketentuan yang diinginkan.

Tahap ini merupakan Critical Control Point karena pada tahap ini
pengendalian mutu dilakukan dengan penilaian suhu pendingin, waktu
yang digunakan, kondisi gelombang mi dan struktur mesin pendingin.
Penilaian suhu yang digunakan dalam proses pendinginan mengunakan
suhu yang telah disesuaikan dengan kondisi/struktur mesin pendingin yang
telah ditentukan. Pengendalian mutu secara organoleptik dapat dilakukan
dengan penilaian warna mi, bentuk mi, adanya cemaran dan kondisi
gelombang mi yang talah terjaga mulai dari proses pembentukan
gelombang mi, sehingga pengendalian mutu terhadap pendingin dilakukan
secara periodik melalui pengamatan 2 jam setiap shift. Pengendalian mutu
pada proses pendingin juga dilakukan dengan pengambilan sampel untuk
dianalisis secara kimia melalui analisa kadar air dan FFA.
9) Packing

Pada proses pengemasan mi dilakukan pada suhu 450C, dalam proses


ini mi di beri kelengkapan bumbu, minyak bumbu, solid ingredient untuk
mi rebus dan saus, kecap untuk mi goreng.

Tahap ini merupakan Critical Control Point dimana pengendalian mutu


pada tahap ini meliputi keadaan kemasan yang utuh dan tertutup rapat,
laminasi kemasan kuat, suhu sealer, tercantum kode produksi yang benar
dan kode kadaluwarsa, bumbu dan minyak bumbu tidak terlaminasi pada
sealer, kelengkapan bumbu tidak kurang dan berat setiap kemasan sesuai
dengan standar yang ditetapkan. Tahap ini sangat penting karena jika tidak
dilakukan pengendalian, produk akan menjadi tidak tahan lama dan rusak
ketika sampai di tangan konsumen.

10) Cartoning

Setelah dilakukan pengemasan primer, mi kemudian dilakukan


pengemasan skunder dengan mengunakan karton. Pengendalian mutu
pengemasan sekunder dilakukan dengan monitoring kekuatan lakban yang
digunakan.

Berikut gambar diagram alir proses dan pengendalian tiap tahapnya:

Tepung terigu dan Tapioka

Cek Homogenitas
Mixing
Cek Kadar air

Cek Untaian dan tebal untaian


Roll Sheeting & Slitting

Steaming Cek Suhu

Cek Kematangan
Cutting & Folding
Cek Berat basah
Cek Tebal basah

Frying Cek Suhu

Cek Kadar air

Cooling
Cek Berat kering
Cek Suhu

Cek Kebocoran
Packing
Cek Kode Produksi
Cek kelengkapan produk
2.4. Potensi bahaya, Titik kritis (CCP) dan Pengendalian
Secara keseluruhan, potensi bahaya, titik kritis (CCP) dan
pengendalian pada proses produksi mie instan dapat dilihat pada tabel
dibawah ini:
BAB III
KESIMPULAN

3.1. Proses produksi Mie Instan dilakukan melalui 10 tahap yaitu (1) Pengayakan,
(2) Mixing, (3) Roll Sheeting, (4) Slitting, (5) Steaming, (6) Shaping-folding,
(7) Penggorengan (Frying), (8) Cooling, (9) Packing, dan (10) Cartoning.
3.2. Bahan baku yang digunakan untuk membuat mie instan adalah tepung terigu
yang mempunyai kadar protein tinggi yaitu 8-12% atau jenis terigu hard flour
dimana mempunyai kadar protein 12-13%. Pengendalian mutu kualitas terigu
dilakukan sebelum bahan baku diterima meliputi analisa fisik dan kimia.
3.3. Bahan tambahan yang digunakan untuk membuat mie instan adalah tepung
tapioka, minyak goreng, garam dapur, zat pewarna, bumbu dan minyak bumbu,
dan air. Masing-masing bahan tambahan harus dipastikan memenuhi standar
mutu dan bebas dari cemaran fisik, kimia, ataupun biologis.
3.4. Dari 10 tahap proses produksi yang ada, disetiap prosesnya dilakukan
pengendalian mutu untuk mengurangi resiko bahaya terutama pada tahap
pengayakan, mixing, slitting, steaming, shaping-folding, frying, cooling dan
packing. Secara garis besar dapat disimpulkan bahwa titik kritis (Critical
Control Point) ada pada tahap penerimaan bahan baku, penyimpanan,
penyiapan alat sampai pada tahap packing.
DAFTAR PUSTAKA

Astawan Made, 1999. Membuat mie dan Bihun. Penebar Swadaya. Jakarta
Fardiaz, s. 1996. Aplikasi HACCP dalam Industri Pangan. Jurusan Teknologi
Pangan dan Gizi. Institut Pertanian Bogor. Bogor
Jumiati, Tri. 2009. Laporan Magang di PT. Indofood Sukses Makmur Tbk.
Semarang Jawa Tengah (Pengendalian Mutu Mi Instan). Surakarta:
Universitas Sebelas Maret press.
eprints.uns.ac.id/8364/0/102901709200908141
Winarno, F.G., 1997. Kimia Pangan dan Gizi. Gamedia Pustaka Utama, Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai