Anda di halaman 1dari 6

Terima kasih Bapak/Ibu Dosen yang saya hormati atas pertanyaannya.

Saya Amar Ma’ruf NIM 043170973

Terkait pertanyaan tersebut dapat saya simpulkan sebagai berikut :

Rekan Mahasiswa, Anda diminta untuk menguraikan ketentuan sumber penghasilan berdasarkan UU
PPh Pasal 24 Ayat (3) dan Ayat (4) yang ditentukan dalam menghitung batas jumlah pajak yang boleh
dikreditkan!

Jawaban :

Sumber penghasilan yang ditentukan dalam menghitung batas jumlah pajak yang boleh diperhitungkan,
ditetapkan dalam Undang-Undang PPh Pasal 24 ayat (3) dan (4), yang berbunyi sebagai berikut:

(3) Dalam menghitung batas jumlah pajak yang boleh dikreditkan, sumber penghasilan ditentukan
sebagai berikut:

1. Penghasilan dari saham dan sekuritas lainnya serta keuntungan dari pengalihan saham dan
sekuritas lainnya adalah negara tempat badan yang menerbitkan saham atau sekuritas tersebut
didirikan atau bertempat kedudukan.
Berbeda dengan ketentuan lama yang secara eksplisit menyebut penghasilan yang berupa dividen,
ketentuan dalam UU No.10 Tahun 1994 mempunyai yurisdiksi dan jangkauan yang lebih luas, luwes, dan
dinamis dengan hanya menyebut penghasilan dari saham dan sekuritas lainnya. Apa yang dimaksud
dengan penghasilan dari saham dan sekuritas, undang-undang tidak merumuskan secara eksplisit.
Oleh karena itu, seseorang akan menunjuk pada pengertian umum dengan tetap memperhatikan
ketentuan perpajakan. Misalnya, Pasal 4 Ayat 1 (g) dan Penjelasannya yang berbunyi sebagai berikut:
(g) dividen, dengan nama dan dalam bentuk apa pun, termasuk dividen dari perusahaan asuransi
kepada pemegang polis, dan pembagian sisa hasil usaha koperasi;
Pada Pasal 4 Ayat 1(g) tersebut, dijelaskan dalam Undang-undang bahwa dividen merupakan bagian
laba yang diperoleh pemegang saham atau pemegang polis asuransi atau pembagian sisa hasil usaha
koperasi yang diperoleh anggota koperasi. Termasuk dalam pengertian dividen adalah
a. pembagian laba baik secara langsung ataupun tidak langsung, dengan nama dan dalam bentuk apa
pun;
b. pembayaran kembali karena likuidasi yang melebihi jumlah modal yang disetor;
c. pemberian saham bonus yang dilakukan tanpa penyetoran termasuk saham bonus yang berasal
dari
kapitalisasi agio saham;
d. pembagian laba dalam bentuk saham;
e. pencatatan tambahan modal yang dilakukan tanpa penyetoran;
f. jumlah yang melebihi jumlah setoran sahamnya yang diterima atau diperoleh pemegang saham
karena pembelian kembali saham-saham oleh perseroan yang bersangkutan;
g. pembayaran kembali seluruhnya atau sebagian dari modal yang disetorkan, jika dalam tahun-
tahun yang lampau diperoleh keuntungan, kecuali jika pembayaran kembali itu adalah akibat dari
pengecilan modal dasar (statuter) yang dilakukan secara sah;
h. pembayaran sehubungan dengan tanda-tanda laba, termasuk yang diterima sebagai penebusan
tanda-tanda laba tersebut;
i. bagian laba sehubungan dengan pemilikan obligasi;
j. bagian laba yang diterima oleh pemegang polis;
k. pembagian berupa sisa hasil usaha kepada anggota koperasi;
l. pengeluaran perusahaan untuk keperluan pribadi pemegang saham yang dibebankan sebagai biaya
perusahaan.
Dalam praktik sering dijumpai pembagian atau pembayaran dividen secara terselubung, misalnya
dalam hal pemegang saham yang telah menyetor penuh modalnya dan memberikan pinjaman
kepada perseroan dengan imbalan bunga yang melebihi kewajaran. Apabila terjadi hal yang demikian
maka selisih lebih antara bunga yang dibayarkan dan tingkat bunga yang berlaku di pasar, diperlakukan
sebagai dividen. Bagian bunga yang diperlakukan sebagai dividen tersebut tidak boleh dibebankan
sebagai biaya oleh perseroan yang bersangkutan.

2. Penghasilan berupa bunga, royalti, dan sewa sehubungan dengan penggunaan harta gerak adalah
negara tempat pihak yang membayar atau dibebani bunga, royalti, atau sewa tersebut bertempat
kedudukan atau berada.
Dalam menentukan letak sumber penghasilan yang berupa bunga (penghasilan dari peminjaman uang),
royalti (penghasilan dari intangibles atau hak atas kekayaan intelektual (HAKI) dan hak lainnya) dan sewa
(dari penggunaan harta bergerak), Pasal 24 Ayat 3 memakai dua kriteria (yang bersifat alternatif) yaitu
a. pendekatan pembayaran (paying-source approach), dan
b. pendekatan pembebanan biaya (cost bearing approach).
Pendekatan tersebut lebih menunjuk pada tersedianya dana atau tempat biaya bunga, royalti dan sewa
dibebankan sebagai pengurang penghasilan kena pajak rnemproduksi penghasilan bukan pada
tempat pemberian pinjaman atau pemanfaatan dana (pinjaman) untuk rnemproduksi penghasilan
(lokasi faktor produksi). Alternatif kriteria penentu negara tempat sumber penghasilan bunga dapat
menunjuk pada tempat domisili kreditor, tempat akta kredit ditandatangani, tempat pemanfaatan
pinjaman, atau tempat domisili debitur. Kriteria mana yang dipilih suatu negara untuk merumuskan
KTSP sangat tergantung pada kondisi ekonomi negara dimaksud. Negara pengekspor modal akan
memilih tempat domisili kreditor atau penandatanganan akta kredit, sedangkan negara pengimpor
modal seperti Indonesia akan melirik pada tempat domisili debitor, tempat pembayaran bunga atau
pembebanan bunga sebagai pengurang penghasilan kena pajak.

3. Penghasilan berupa sewa sehubungan dengan penggunaan harta tak gerak adalah negara tempat
harta tersebut terletak.
Sumber penghasilan berikutnya adalah sewa harta tidak gerak. Gunadi menyebutkan bahwa pendekatan
produksi atau situs harta tidak bergerak dimanfaatkan untuk menentukan letak sumber penghasilan
dari harta tidak bergerak. Terlepas dari status pembayar dan penanggung beban, sewa atas harta tidak
bergerak yang terletak di Indonesia dianggap bersumber di negara tersebut. Sebaliknya, sewa atas harta
tidak bergerak yang terletak di luar Indonesia dapat dianggap bersumber selain di negara tersebut dan
oleh karenanya atas pajak yang dibayar atas penghasilan dimaksud berhak atas KPLN.

4. Penghasilan berupa imbalan sehubungan dengan jasa, pekerjaan, dan kegiatan adalah negara
tempat pihak yang membayar atau dibebani imbalan tersebut bertempat kedudukan atau berada.
Selaras dengan ketentuan dalam Pasal 24 3(d), yang berbunyi:
(d). penghasilan berupa imbalan sehubungan dengan jasa, pekerjaan, dan kegiatan adalah negara
tempat pihak yang membayar atau dibebani imbalan tersebut bertempat kedudukan atau berada;
Dari bunyi Ayat 3(d) tersebut dijelaskan Gunadi bahwa tanpa memperhatikan tempat pelaksanaan jasa,
pekerjaan dan kegiatan, penghasilan dari jasa, dan sebagainya tersebut dianggap berasal dari Indonesia
apabila dibayar atau menjadi beban badan, orang pribadi atau BUT yang bertempat kedudukan atau
berada di negara tersebut. Dengan demikian, pajak atas penghasilan dari jasa, pekerjaan dan
kegiatan yang pembayarannya atau menjadi beban wajib pajak yang tidak bertempat kedudukan atau
tidak berada di Indonesia kiranya dapat rnemperoleh hak atas KPLN.
Jasa sehubungan dengan kekaryaan (atau pekerjaan) dapat diberikan dalam masa sekarang dan masa
lampau (purna bakti). Tempat sumber dari penghasilan yang berupa imbalan dari jasa, pekerjaan,
dan kegiatan ditentukan oleh tempat kedudukan badan atau keberadaan orang pribadi yang membayar
(penyedia imbalan) atau yang menanggung beban (mengurangkan dari penghasilan bruto) imbalan
tersebut. Sumber penghasilan dari jasa masa lampau (purna bakti), dianggap berada di tempat
sebagaimana ditentukan dalam menetapkan letak sumber penghasilan dari jasa masa kini.
Untuk keperluan pemberian KPLN, kiranya secara penalaran a contrario seseorang dapat mempunyai
simpulan bahwa imbalan dari jasa yang dibayarkan oleh atau menjadi beban pihak yang bertempat
kedudukan atau berada di Iuar Indonesia dianggap bersumber selain di negara tersebut.

5. Penghasilan bentuk usaha tetap adalah negara tempat bentuk usaha tetap tersebut menjalankan
usaha atau melakukan kegiatan.
Pasal 24 Ayat 3(e) UU PPh menentukan bahwa (sumber) penghasilan BUT adalah negara tempat BUT
menjalankan usaha atau melakukan kegiatan. Pires (1989) menyatakan bahwa tempat usaha
(establishment) merupakan tempat yang secara efektif dengan mana aktivitas usaha dapat dijalankan
dan dengan demikian laba usaha dapat dihasilkan (dari tempat usaha tersebut).
Pasal 24 Ayat 3(e) secara eksplisit menyatakan bahwa:
(e). penghasilan bentuk usaha tetap adalah negara tempat bentuk usaha tetap tersebut
menjalankan usaha atau melakukan kegiatan;
Dicontohkan oleh Gunadi kalau BUT di negara X mendapat penghasilan bunga dari negara Y maka
keberadaan BUT yang memungkinkan negara X untuk mengenakan pajak (residual) atas bunga dari
negara Y merupakan perwujudan dari sumber kedua (secondary source) dengan sumber pertama
(primary source) berapa adalah negara Y. Kondisi tersebut memberikan arti bahwa penghasilan yang
dapat diatribusikan kepada BUT dapat dikenakan pajak oleh negara tempat BUT tersebut terletak
walaupun penghasilan diperoleh dari luar negara dimaksud. Hak pemajakan tersebut, menurut Pires,
didasarkan pada asumsi bahwa tempat usaha merupakan manifestasi dari keberadaan sumber.

6. Penghasilan dari pengalihan sebagian atau seluruh hak penambangan atau tanda turut serta dalam
pembiayaan atau permodalan dalam perusahaan pertambangan adalah negara tempat lokasi
penambangan berada.

7. Keuntungan karena pengalihan harta tetap adalah negara tempat harta tetap berada.
Dari berbagai aspek, harta dapat meliputi harta bergerak dan tidak bergerak, bisnis dan pribadi, finansial
dan ril, berwujud dan tak berwujud. Sesuai dengan ketentuan pada Ayat (3), seseorang dapat sampai
pada simpulan bahwa tempat sumber keuntungan dari penjualan saham atau sekuritas adalah negara
tempat penerbit saham atau sekuritas bertempat kedudukan, keuntungan dari penjualan harta bergerak
dan hak atas kekayaan intelektual (intangible) ditentukan sama dengan sewa dan royalti.
Selanjutnya, keuntungan dari penjualan atau pengalihan harta tak bergerak, sesuai dengan Penjelasan
pasal 24 (4), berada di negara tempat harta tersebut terletak.

8. Keuntungan karena pengalihan harta yang menjadi bagian dari suatu bentuk usaha tetap adalah
negara tempat bentuk usaha tetap berada.

4) Penentuan sumber penghasilan selain penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
menggunakan prinsip yang sama dengan prinsip yang dimaksud pada ayat tersebut.
KTSP terdapat dalam Pasal 24 ayat (3) dan 24 ayat (4) UU PPh yang telah disebutkan di atas.
Ketentuan tersebut merupakan keberlanjutan aturan dari yurisdiksi sumber (source jurisdiction)
sebagaimana tersebut dalam Pasal 2(4). Untuk mengoperasionalkan yurisdiksi pemajakan terhadap
WPLN yang menerima atau memperoleh penghasilan dari sumber di Indonesia (selain melalui
BUT), Pasal 24 ayat (3) dan 24 ayat (4) menentukan kapan suatu penghasilan dapat dianggap
diperoleh dari sumber di negara tersebut.
Pasal 24 (3) dan 24 (4) disampaikan Gunadi, merupakan bagian integral dari ketentuan Pasal 24 yang
mengatur tentang pemberian keringanan pajak berganda internasional yang dapat terjadi sebagai
akibat pengenaan pajak Indonesia atas penghasilan yang diterima atau diperoleh WPDN dari sumber di
luar negeri. Penyediaan keringanan unilateral (sepihak) tersebut selaras dengan praktik
internasional karena sebagai negara domisili, Indonesia mengenakan pajak per basis global.
Sebagai pemegang hak pemajakan sekunder, pemajakan atas penghasilan global dari WPDN tersebut
merupakan penyebab terjadinya pajak berganda internasional (PBI). Sebagai penyebab timbulnya
PBI sudah selayaknya kalau Indonesia memberikan keringanan dalam bentuk kredit pajak. Namun,
kategori penghasilan yang dikenakan pajak kepada WPDN sangat luas (perhatikan definisi
penghasilan dalam Pasal 4(1)), sedang KTSP Pasal 24 ayat (3) hanya menyebut 5 (lima) kategori
penghasilan, seseorang dapat mempertanyakan beberapa hal seperti bagaimana penentuan
sumber dari penghasilan selain yang tercantum pada ayat tersebut, dan bagaimana penentuan
sumber atas penghasilan lainnya sebagaimana disebut dalam Pasal 4 ayat (1) UU PPh yang berhak atas
kredit pajak Pasal 24. Ketika bunyi Pasal 4 ayat tersebut adalah:
(1) Yang menjadi objek pajak adalah penghasilan yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis
yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar
Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang
bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apa pun.

Menurut pasal 24 ayat (4) UU PPh 1984 penentuan sumber dari penghasilan selain yang tersebut pada
pasal 24 ayat (3) dipergunakan prinsip yang sama dengan prinsip sebagaimana dimaksud pada pasal 24
ayat (3) tersebut. Sumber penghasilan dari kategori lainnya yaitu (Gunadi, 2007 : 77-79, yang telah
disesuaikan dengan ketentuan terbaru):

1. Keuntungan karena penjualan atau pengalihan harta


Penghasilan dari keuntungan karena penjualan atau pengalihan harta diatur dalam pasal 4(1) huruf d
yang menyatakan :
a. Keuntungan karena pengalihan harta kepada perseroan,persekutuan dan badan lainya sebagai
penganti saham/modal.
b. Keuntungan karena pengalihan harta kepada pemegang saham,sekutu, atau annggota perseroan
c. Keuntungan karena likuidasi, penggabungan, peleburan, pemecahan, pengambilalihan usaha, atau
reorganisasi dengan dama dalam bentuk apapun
d. Keuntungan karena pengambilalihan harta karena hibah, bantuan atau sumbangan, kecuali yang di
berikan kepada keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat dan badan keagamaan
e. Keuntungan karena penjualan atau pengalihan sebagian atau seluruh hak penambangan, tanda turut
serta dalam pembiayaan atau permodalan dalam perusahaan pertambangan.

2. Penambangan karena jaminan pengembalian utang


Penghasilan dari imbalan karena jaminan pengembalian utang diatur dalam pasal 4 (1) huruf f, yang di
sejajarkan dengan bunga termasuk premium, diskonto dan sesuai rumusann dalam pasal 23 (1) huruf (a)
angka 2. Seseorang dapat menentukan sumber penghasilan dari imbalan tersebut selaras dengan bunga,
yaitu tempat kedudukan si pembayar atau pihak penangung beban imbalan pengembalian utang.

3. Hadiah dari undian atau pekerjaan atau kegiatan dan penghargaan


Diatur dalam pasal 4 (1) huruf b dan sesuai rumusan dalam pasal 26 (1) huruf (e) dan pasal 23 (1) huruf
(a) angka 4 serta pasal 21 (1) huruf (e) bahwa untuk menentukan sumber penghasilan dari hadiah dan
penghargaan berlaku pendekatan pembayaran dan pembebanan biaya

4. Penerimaan kembali pajak yang telah di bebankan sebagai biaya


Diatur dalam pasal 4 (1) huruf e, dalam menentukan sumber pasal 24 (3) antara lain menggunakan
pendekatan pembayar atau penanggung beban dan sesuai dalam rumusan pasal 24(3)
sumberpenghasilan adalah Negara tempat pembayaran pengembalian atau pemberi penguran pajak.

5. Penerimaan atau perolehan pembayaran berkala


Diatur dalam pasal 4(1) huruf j dan sesuai rumusan dalam pasal 26 (1) huruf (f) pembayaran berkala
yang di berikan oleh WPDN akan di anggap sumber penghasilan di Indonesia.

6. Keuntungan karena pembebasan utang


Diatur dalam pasal 4 (1) huruf k dank arena penghasilan dari pembebanan utang umumnya tidak
dibayarkan tapi merupakan beban kreditur

7. Keuntungan karena selisih kurs


Diatur dalam pasal 4(1) huruf l yang menyatakan selisih lebih karena penilaian kembali aktiva
sebagaimana dimaksud dalam pasal 19 merupakan penghasilan.

8. Penghasilan di angkasa luar dan laut lepas


Globalisasi ekonomi tidak luput dan perkembangan kemajuan teknologi tidak luput dari pengakuan
penghasilan dari offshore activities baik di laut lepas maupun angkasa luar atau luar wilayah Indonesia.

9. Premi asuransi
Pasal 26 (2) menyatakan atas premi asuransi yang di bayarkan perusahaan luar negeri di potong 20%
dari perkiraan penghasilan neto.

10. Penghasilan dari selisih lebih karena penilaian kembali aktiva


Sesuai accretion concept of income dan pasal 19 (1) UU PPh 1984 menyatakan bahwa mentee keuangan
berwenang menetapkan peraturan tentang penilaian kembali aktiva dan factor peyesuaian apabila
terjadi ketidaksesuaian antara unsur-unsur biaya dan penghasilan karena perkembangan harga.
Penilaian kembali aktiva tetap perusahaan untuk tujuan perpajakan menyatakan sebagau berikut :
a. Wajib pajak dapat melakukan penilaian kembali aktiva tetap untuk tujuan perpajakan dengan
mendapatkan perlakuan khusus apabila permohonan penilaian kembali di ajukan kepada dirut pajak.
b. Perlakuan khusus pajak bersifat final :
1. 3% untuk permohonan yang diajukan sejak berlakunya menteri sampai dengan 31 desember 2015
2. 4% untuk permohonan yang di ajukan sejak 1 januari 2016 sampai 30 juni 2016
3. 6% untuk permohonan yang di ajukan sejak 1 juli 2016 sampai 31 desember 2016
c. Nilai aktova tetap hasil penilaian kembali merupakan nilai aktiva tetap yang di tetapkan oleh kantor
jasa public
d. Nilai aktiva tetap hasil perkiraan kembali oleh wajib pajak harus dilakukan penilaian kembali oleh
kantor jasa penilaian public atau ahli penilai paling lambat
– 31 desember 2016 yang dijakuan sampai dengan 31 desember 2015
– 30 juni 2017 yang diajukan sejak 1 januari 2016 sampai 30 juni 2016
– 31 desember 2017 yang di ajukan sejak 1 juli 2016 sampai 31 desember 2016

Sumber :

BUKU MATERI POKOK PAJA3332/MODUL 2

Anda mungkin juga menyukai