Anda di halaman 1dari 33

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Penerjemahan merupakan usaha penyampaian pesan dari bahasa sumber

yang ditransformasikan ke dalam bahasa sasaran sehingga dapat dimengerti oleh

masyarakat bahasa sasaran. Lebih lanjut Nida (1969: 12-18) penerjemahan berarti

menyampaikan kembali maksud atau isi pesan dalam bahasa sumber dan produk

yang dihasilkan wajar, sejajar dan sepadan dengan bahasa sasaran.

Ilmu penerjemahan memainkan peranan penting dalam setiap segi

kehidupan di era modern ini. Menerjemahkan pada dasarnya adalah mengubah

suatu bentuk menjadi bentuk lain, ‘bentuk’ yang dimaksud adalah bahasa baik

verbal maupun non-verbal. Sebuah terjemahan tidak dengan mudah dapat

diproduksi menjadi sama dengan aslinya karena adanya perbedaan budaya dan

struktur bahasa di setiap bahasa. Maka dari itu, penerjemahan dapat menjembatani

perbedaan antara dua bahasa yang berbeda, yakni bahasa Indonesia dan bahasa

Inggris yang di mana keduanya memiliki aturan-aturan kebahasaan yang berbeda.

Dengan kata lain, ilmu penerjemahan pada dasarnya mengatasi perbedaan yang

ada antara bentuk bahasa satu dengan bahasa lainnya (Catford, 1974:20).

Seorang penerjemah harus mengetahui bahwa dalam menerjemahkan

bukan hanya masalah pengertian atau makna yang perlu diperhatikan, namun juga

bentuk bahasa untuk mendapatkan pengertian dan makna yang sebanding serta

dapat dimengerti oleh penikmatnya. Terjemahan yang baik merupakan terjemahan

1
yang tidak terdengar seperti hasil penerjemahan, akan tetapi pesannya dapat

disampaikan dengan benar atau dapat dipertahankan meskipun terjadi perubahan

struktur atau bentuk (kata, frasa, klausa, kalimat, paragraf) (Basneet, 2005:24).

Sehingga sebagai seorang penerjemah, diharapkan tidak hanya bertumpu pada

satu sumber saja, melainkan juga menggunakan berbagai wawasan yang

dimilikinya. Hal ini bertujuan untuk menghasilkan terjemahan yang baik dan teks

tersebut tidak akan terasa seperti hasil terjemahan jika dibaca oleh orang lain. 

Banyak karya terjemahan di era sekarang ini. Contoh karya-karya yang

diproduksi dalam bahasa sumber (bahasa Inggris) tersebut telah banyak

diterjemahkan dalam bahasa sasaran (bahasa Indonesia). Salah satu lahan

produktif dari penerjemahan yang banyak kita jumpai di dunia hiburan saat ini

adalah film. Film, terutama film asing telah menjadi sarana hiburan yang menarik

sekaligus menjadi wahana edukasi bagi sebagian besar masyarakat. Selain

merupakan suatu bentuk karya seni yang menghibur, film juga bermanfaat dalam

memberikan informasi, pengetahuan, dan pembelajaran dari seluruh penjuru

dunia. Keberadaan film sangat ditunjang dengan adanya penerjemahan.

Banyaknya film-film asing yang masuk ke negara Indonesia dan agar film

tersebut dapat dinikmati oleh masyarakat, jelas dibutuhkan alih bahasa dengan

menambahkan teks terjemahan atau biasa disebut dengan subtitle di setiap adegan

atau dialog film tersebut. Metode subtliting sering digunakan pada sebuah film

asing yang di diputar pada layar lebar atau bioskop dan di distribusikan melalui

hasil produksi CD dan DVD. Menurut Shutleworth & Cowie (1997: 161)

subtitling adalah proses dibubuhinya teks pada film secara sinkron pada sebuah

2
film, acara televisi atau opera. Diperkuat dengan yang dipaparkan oleh Kester dan

Fennema, (1989: 9) subtitle sebagai sarana yang tepat dalam penerjemahan film.

Dalam proses penerjemahan, terutama dengan metode subtliting,

penerjemah sering kali menjumpai beberapa persoalan, sebagaimana tidak

menemukannya padanan kata antar bahasa sumber dengan bahasa sasaran,

sehingga menjumpai kesulitan dalam menyampaikan pesan yang terkandung

dalam bahasa sumber. Terbatasnya jumlah karakter teks yang ditampilkan di

bawah layar film dan agar tidak mengganggu adegan film. Banyak sekali yang

menjadi pertimbangkan dalam menerjemahkan film asing melalui teks tersebut.

Oleh karena itu teknik penerjemahan diperlukan untuk memecahkan berbagai

persoalan tersebut. Teknik penerjemahan memiliki lima karakteristik, yaitu: 1)

memengaruhi hasil terjemahan, 2) diklasifikasikan dengan perbandingan pada teks

Bsu, 3) berada pada tataran mikro, 4) tidak saling berkaitan tetapi berdasarkan

konteks tertentu, dan 5) bersifat fungsional (Hoed, 2006:56).

Menurut Molina dan Albir (2002:12), teknik penerjemahan ialah cara yang

digunakan untuk mengalihkan pesan dari bahasa sumber ke bahasa sasaran,

diterapkan pada tataran kata, frasa, klausa maupun kalimat. Selain itu,

Penggunaan teknik penerjemahan akan membantu penerjemah dalam menentukan

bentuk dan struktur kata, frasa, klausa, serta kalimat terjemahannya. Selain, itu

penerjemah juga akan terbantu dalam menentukan padanan yang paling tepat di

dalam bahasa sasaran. penggunaan teknik penerjemahan tidak hanya akan

menghasilkan terjemahan yang akurat tetapi juga berterima dan mudah dibaca

oleh pembaca teks sasaran.

3
Sehubungan dengan jenis-jenis penerjemahan pada film yang telah

dipaparkan di atas, penulis tertarik untuk menjadikan subtitle pada film Toy Story

3 sebagai objek penelitian dalam tesis ini. Salah satu aspek yang menarik untuk

dijadikan bahan kajian dalam penerjemahan subtitle film adalah bentuk- bentuk

tindak tutur atau yang dikenal sebagai speech act. Salah satu kategori tindak tutur

yang akan dipilih dalam penelitian ini adalah imperatif. Kalimat imperatif adalah

kalimat yang berfungsi untuk memerintahkan lawan bicara untuk melakukan apa

yang diminta atau diinginkan oleh pembicara. Banyak hal yang harus diperhatikan

dalam menyampaikan kalimat imperatif ini, termasuk pada siapa kalimat imperatif

digunakan, dalam situasi yang bagaimana kalimat imperatif digunakan,

bagaimana hubungan antara pembicara dan lawan bicara pada saat kalimat

imperatif digunakan dan bagaimana respon lawan bicara terhadap kalimat

imperatif yang disampaikan kepadanya (Verhaar, 2008: 126-127).

Film Toy Story 3 merupakan sebuah film animasi menggunakan gambar

yang dibuat oleh komputer (Computer-generated imagery/CGI). Film yang dibuat

oleh Pixar Animation Studios untuk Walt Disney Picture dan dirilis pada 18 Juni

2010. Film merupakan sekuel ke 3 dari serial Toy Story 1 dan Toy Story 2 yang

disutradarai oleh Lee Unkrich, editor dari dua film pertama dan co-sutradara Toy

Story 2, yang ditulis oleh Michael Arndt, sedangkan Unkrich menulis cerita

bersama dengan John Lasseter dan Andrew Stanton, masing-masing sutradara dan

penulis bersama dari dua film pertama. Toy Story 3 menghasilkan $ 415 juta di

Amerika Utara dan $ 652 juta di negara lain dengan total $ 1,067 miliar di seluruh

dunia, menghasilkan lebih banyak pendapatan dan terlaris dalam seri Toy Story

4
daripada dua film seri sebelumnya jika digabungkan. Toy Story 3 juga berhasil

menempati sebagai film Pixar terlaris kedua tertinggi hingga tahun 2019 (di

belakang Incredibles 2), dan film terlaris ke-15 tertinggi yang didistribusikan oleh

Disney.

Penyampaian makna imperatif tidak terlepas dari pola konstruksi. Dalam

berbagai pola, pendengar atau pronomina persona kedua sering tidak disebutkan

secara formatif karena dalam konteks tuturan sudah dapat dipahami dengan jelas

arah tuturannya (Downes, 1998: 77). Begitu juga konstruksi imperatif yang

terdapat pada Toy Story 3. Pada konstruksi imperatif Toy Story 3 terdapat

beberapa data yang misalnya konstruksi tersebut berbentuk interogatif atau

kalimat yang berisi pertanyaan dan berfungsi untuk menanyakan suatu hal kepada

orang lain, Namun makna pada kalimat tersebut berupa imperatif.

BSu : Buzz! Mind if I squeeze in next to ya?


BSa : Buzz! Boleh aku menyempil di sampingmu?

Pada tuturan di atas, bentuk kalimat BSa berupa kalimat interogatif, yaitu

pertanyaan kepada Buzz apakah Jessie boleh duduk di sampingnya. Namun dalam

makna dari tuturan tersebut bersifat imperatif. Artinya kalimat perintah yang

bermaksud meminta atau memerintah seseorang untuk melakukan sesuatu. Dalam

hal ini Jessie meminta untuk berada di sebelah Buzz tanpa menunggu persetujuan

dari Buzz. Selain contoh di atas, di dalam film Toy Story 3 juga terdapat

konstruksi imperatif di mana tuturan berbentuk deklaratif, namun makna yang

disampaikan adalah imperatif.

BSu : Buzz, I'm late, so rest.


BSa : Buzz, Saya terlambat, jadi istirahatlah.

5
Tuturan pada kalimat BSa berupa kalimat deklaratif, yaitu kalimat yang

bertujuan untuk memberi informasi atau berita kepada orang lain. Dalam hal ini,

Buzz memberikan info kepada Woody bahwa ia terlambat datang rapat. Namun di

dalam pola konstruksi deklaratif tersebut terdapat makna imperatif yang bertujuan

memerintah. Perintah tersebut adalah Buzz meminta Woody untuk istirahat. Pada

kalimat imperatif, tidak semuanya kalimat yang ditunjukkan berupa teks asli yang

maknanya sama dengan teks aslinya, Namun makna dapat berubah sesuai dengan

maksud yang ingin disampaikan kepada penulis kepada pembaca.

Subtitle film Toy Story 3 ini menarik untuk diteliti karena dalam dialog

film ini sangat banyak ditemukan kalimat imperatif yang di mana dapat berbagai

macam masalah kesepadanan dan penghilangan terjemahan.

BSu : You got a lot to look forward to, folks”


BSa : Kalian harus menatap ke depan. Anak-anak suka mainan baru.

Sumber: (Film Toy Story 3, 22.48)

Tuturan tersebut merupakan kalimat imperatif yang diucapkan Latso.

Lotso menyuruh para mainan untuk move-on. Pada hasil terjemahan “You got a

lot to look forward to, folks.” diterjemahkan menjadi Kalian harus menatap ke

6
depan. Anak-anak suka mainan baru. Pada terjemahan di atas, penerjemah

menggunakan teknik lazim yang merupakan teknik penerjemahan untuk

menggunakan istilah atau ungkapan yang sudah lazim (berdasarkan kamus atau

penggunaan sehari-hari) dan teknik kreasi diskursif untuk menampilkan

kesepadanan sementara dalam BSa yang terkadang keluar dari konteks. Teknik ini

dilakukan penerjemah untuk menarik pembaca sasaran.

BSu : Barbie, come with me. Live in my dream house!”


BSa : Ikutlah aku, tinggal di rumah impianku!
Sumber: (Film Toy Story 3, 24.52)

Tuturan tersebut termasuk dalam teknik penerjemahan reduksi. Teknik

penerjemahan reduksi adalah teknik menerjemahkan dengan cara memadatkan

informasi di bahasa sumber ke bahasa sasaran. Penerjemah menggunakan teknik

ini karena terbatasnya maksimal karakter yang menjadi ketentuan subtliting.

Penghilangan “Barbie” dalam hal ini dihilangkan karena dalam adegan film

tersebut sudah menunjukkan bahwa Ken meminta Barbie untuk ikut pergi

dengannya sehingga tidak menghilangkan pesan yang ada.

Terkait hasil beberapa penemuan di atas, penulis akan memfokuskan

penelitian ini pada teknik penerjemahan kalimat imperatif dalam subtitle film toy

7
story 3. Selain itu, klasifikasi kalimat imperatif yang digunakan merujuk pada

model konstruksi dan pengungkapan makna imperatif (Baryadi, 1988).

1.2 RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan fenomena di atas, permasalahan yang dianalisis dalam

penelitian ini adalah

1. Bagaimana bentuk konstruksi dan makna imperatif yang ada pada subtiltle

film Toy Story 3?

2. Teknik penerjemahan apa yang digunakan penerjemah dalam

menerjemahkan bentuk konstruksi dan makna imperatif dalam subtitle film

Toy Story 3?

1.3 TUJUAN PENELITIAN

Sesuai dengan rumusan masalah yang dipaparkan di atas, penulis memiliki

tujuan untuk mendapatkan informasi yang mendalam tentang:

1. Bentuk konstruksi dan strategi pengungkapan makna kalimat imperatif

2. Teknik penerjemahan kalimat imperatif dalam subtitle film Toy Story 3

1.4 MANFAAT PENELITIAN

Peneliti mengharapkan agar penelitian ini bermanfaat secara teoretis dan

praktis.

1. Manfaat Teoretis

a. Memberikan pengertian dan pemahaman yang lebih mendalam

mengenai bentuk konstruksi dan strategi pengungkapan makna kalimat

imperatif, teknik penerjemahan yang digunakan oleh penerjemah dalam

menerjemahkan suatu satuan terjemahan.

8
b. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi tambahan atau penegasan untuk

teori yang telah ada.

c. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan yang berharga

berupa hasil penelitian mengenai teknik penerjemahan kalimat imperatif

dalam subtitle film bentuk kalimat imperatif yang ada pada subtiltle film

toy story.

2. Manfaat Praktis

a. Masukan bagi penerjemah mengenai masalah dalam penerjemahan

teks sumber sebuah film ke dalam teks sasaran sebuah film.

Penerjemah dapat memanfaatkan hasil penelitian untuk meningkatkan

kualitas terjemahan susastra, khususnya film.

b. Stimulus bagi peneliti lain untuk melakukan penelitian sejenis.

1.5 TINJAUAN PUSTAKA

Berdasarkan beberapa penelitian terdahulu yang mempunyai karakteristik

yang relatif sama dalam hal tema kajian, meskipun berbeda dalam hal kriteria

subjek, jumlah dan posisi variabel penelitian atau metode analisis yang digunakan.

Berikut dihadirkan beberapa penelitian yang relevan.

Ifoni Ludji (2017) dalam penelitian yang berjudul “ Translation of English

Imperative Sentences in Procedural Texts into Indonesian”. Hasil penelitian

menunjukkan bahwa jenis kalimat perintah bahasa Inggris yang digunakan dalam

teks prosedural dan terjemahan bahasa Indonesianya dalam buku psikologi yang

berjudul "What I Wish I Knew at Eighteen” pada umumnya menggunakan tiga tipe

kalimat perintah seperti, kalimat perintah negatif, kalimat permintaan, dan kalimat

9
perintah positif. Selain itu, terdapat juga empat macam prosedur penerjemahan

yang digunakan yaitu prosedur peminjaman, modulasi, transposisi dan literal.

Selanjutnya, prosedur penerjemahan tersebut diterapkan berdasarkan faktor

semantik, sintaksis dan faktor budaya.

Nurul Fadhilah Awalita (2014) dalam penelitian yang berjudul “A

Translation Analysis of Imperative Sentences ond Quality Level in the Movie

Avatar: The Last Airbender (A Politenessapproach)”. Hasil penelitian

menunjukkan delapan Teknik dari data kalimat imperatif pada Film Avatar: The

Last Airbender. Secara Literal (54 Data Atau 66,7%), Modulasi (5 Data Atau

6,2%), Kompensasi (5 Data Atau 6,2%), Partikularisasi (5 Data Atau 6,2%),

Menetapkan Setara (5 Data Atau 6,2%), Generalisasi (2 Data Atau 2,4%),

Amplifikasi Linguistik (1 Data Atau 1,2%), Dan Kompresi Linguistik (5 Data

Atau 6,2%).

Agustina Aloojaha (2018) dalam penelitian yang berjudul “The Impact of

Translation Techniques on Shifting Meaning of Ordering Speech Act”. Dari

temuan dari kalimat imperatif. Ditemukan 15 jenis teknik penerjemahan yang

digunakan dalam menerjemahkan, yaitu, didirikan setara, variasi, penambahan,

implisit, eksplisit, adaptasi, modulasi, pinjaman murni, generalisasi,

partikularisasi, transposisi, reduksi, parafrase, penciptaan diskursif, dan pinjaman

dinaturalisasi. Hasilnya menunjukkan bahwa teknik terjemahan yang

menyebabkan makna pergeseran dari tindakan ucapan memesan adalah

penambahan, pengurangan, dan penciptaan diskursif.

10
Tulisyana Ajeng Dwi Safitri (2017) dalam penelitian yang berjudul

Translation Analysis of Imperative Sentences in Unilever Product LABELS.

Analisis teknik penerjemahan menunjukkan bahwa ada 11 teknik digunakan oleh

penerjemah untuk menerjemahkan kalimat-kalimat penting dalam produk

Unilever label, yaitu a) ditetapkan setara: (298 data atau 69,30%), b) amplifikasi:

(41 data atau 9,53%), c) reduksi: (38 data atau 8,84%), d) modulasi: (11 data atau

2,56%), e) generalisasi: (10 data atau 2,32%), f) transposisi: (10 data atau 2,32%),

g) partikularisasi: (8 data atau 1,87%), h) pinjaman: (7 data atau 1,63%), i)

pembuatan diskursif: (3 data atau 0,70%), j) variasi: (3 data atau 0,70%), dan k)

adaptasi: (1 data atau 0,23%).

Zakkaki (2016) Analisis Kalimat Imperatif dan Kualitas Terjemahannya

dalam Subtitle Film Kungfu Panda 1.Ditemukan bahwa dalam subtitle film

Kungfu Panda I bahwa jenis-jenis imperative sentence yang terdapat dalam film

tersebut adalah: (1) Infinitif tanpa to , sebanyak 74 (88,09%), (2) bentuk ingkar

dengan menggunakan do not + infinitif + unsur pelengkap sebanyak 9 (10,71%)

(3) jenis kalimat imperative sentence “imperatif + tag question” sebanyak

1(1,19%).

Berdasarkan beberapa penelitian yang telah disebutkan di atas terdapat

persamaan namun juga terdapat perbedaan, persamaan di mana membahas tentang

teknik penerjemahan namun dengan subjek penelitian yang berbeda dan di analisa

dengan teknik yang berbeda pula, lalu mengkaji lebih dalam lagi dalam

mengklasifikasikan Bentuk konstruksi dan strategi pengungkapan makna kalimat

imperatif yang ditemukan dalam dialog teks film.

11
1.6 KERANGKA TEORI

1.6.1 PENERJEMAHAN

Penerjemahan adalah sebuah proses pengalihan bahasa pada suatu teks

dari bahasa sumber (BSu) ke bahasa sasaran (BSa) yang berupa teks atau tulisan.

Pernyataan ini senada dengan Newmark (1981: 7) yang mendefenisikan bahwa

penerjemahan adalah suatu upaya mengalihkan pesan yang tertulis dalam bahasa

sumber (BSu) ke dalam bahasa Sasaran (BSa) dengan mengutamakan

kesepadanan makna. Sebuah naskah terjemahan dari BSu ke BSa dapat mencapai

kesepadanan makna sangat dipengaruhi oleh kemampuan penerjemah dalam

memahami teks sumber (TSu) dan menyampaikan makna yang ada dalam teks

sasaran (TSa). Hasil penerjemahan ke TSa sangat ditentukan oleh kemampuan tata

bahasa (grammatical skill), keterampilan membaca (reading skill) dan analisa

wacana (discourse analysis) yang dimiliki penerjemah. Apabila penerjemah

memiliki ketiga kemampuan tersebut maka akan mempengaruhi kualitas

terjemahan yang dihasilkan demikian juga sebaliknya apabila penerjemah tidak

memiliki ketiga kemampuan tersebut maka akan berpengaruh besar dalam kualitas

hasil terjemahan.

Lebih spesifik, Larson (1984: 3) menegaskan bahwa pengalihan tersebut

hanya mengubah bentuk bahasa dari BSu ke BSa, sementara makna yang terdapat

pada BSu harus dipertahankan. Pernyataan ini menegaskan bahwa dalam

penerjemahan, struktur kalimat yang digunakan dalam BSa boleh saja berbeda

dengan BSu sepanjang keduanya menyampaikan makna yang sama. Dengan kata

lain, seseorang yang membaca suatu teks terjemahan akan sampai kepada

12
pemahaman yang sama ketika membaca teks tersebut baik dalam BSu maupun

dalam Bsa. Proses pengalihan makna dalam penerjemahan dapat diilustrasikan

seperti yang terdapat pada Bagan 1.

Bagan 1. Proses penerjemahan (Larson, 1984: 4)

Bagan 1. menjelaskan bahwa penerjemahan harus dimulai dari

penemuan makna yang terdapat pada BSu. Selanjutnya, makna tersebut

diungkapkan kembali dengan menggunakan ungkapan yang berterima dalam

BSa. Dengan demikian, ungkapan yang disampaikan dalam BSa inilah yang

disebut dengan produk terjemahan.

Setidaknya dalam sebuah proses penerjemahan mencakup 3 aspek: (a)

analisa; (b) transfer; (c) restrukturisasi (Venuti, 2000: 4-8).

1) Analisa

Pada fase ini penerjemah memerlukan analisa yang komprehensif

mengenai bahasa sumber tersebut. Fase ini bertujuan untuk meng kategorisasikan

ide secara umum dari bahasa sumber dan mengidentifikasi masalah yang mungkin

muncul dikarenakan perbedaan pola tata bahasa antara bahasa sumber dan bahasa

sasaran. Menurut Sutopo & Candraningrum (2001: 10).

13
“The translator should pay attention on the title, paragraph used,
clause, idioms, collocations, proverbs and the like. The translator
has to try to get the meaning of the very difficult vocabulary, strange
words, and correlation of each sentence grammatically. The
translator also looks for the meaning of the words in lexical,
grammatical, situational, textual or contextual meaning. In this step,
the translator should pay attention on semantics, morphology,
syntactic or phonemics, and point of view attentively. Usually, the
translator uses the field-notes for doing this process”.

“Penerjemah harus memperhatikan judul, paragraf yang digunakan,


klausa, idiom, kolokasi, peribahasa dan sejenisnya. Penerjemah
harus mencoba untuk mendapatkan arti dari kosakata yang sangat
sulit, kata-kata aneh, dan korelasi dari setiap kalimat secara tata
bahasa. Penerjemah juga mencari arti kata-kata dalam makna
leksikal, gramatikal, situasional, tekstual atau kontekstual. Pada
langkah ini, penerjemah harus memperhatikan semantik, morfologi,
sintaksis atau fonemik, dan sudut pandang dengan penuh perhatian.
Biasanya, penerjemah menggunakan catatan lapangan untuk
melakukan proses ini”.

Oleh karena itu, penerjemah, dalam fase ini, perlu mencermati terlebih

dahulu setiap tuturan yang diucapkan oleh penutur, yang dalam hal ini adalah

karakter dalam film tersebut.

2) Transfer

Pada fase ini, penerjemah yang telah memahami keseluruhan pesan yang

ada pada bahasa sumber dapat mentransfer pesan (Sutopo & Candraningrum,

2001: 29) tersebut ke dalam bahasa sasaran. Dalam memproses pesan, seorang

penerjemah perlu memiliki pengetahuan yang mendalam terhadap makna yang

sepadan. Maka, penerjemah dapat memindahkan pesan dalam bentuk tuturan dari

karakter dalam film tersebut ke dalam tuturan dalam bahasa sasaran.

3) Restrukturisasi

Proses terakhir dapat disebut sebagai restrukturisasi. Setelah penerjemah

menganalisis dan memindahkan makna dari bahasa sumber ke dalam bahasa

14
sasaran, maka penerjemah perlu terlebih dahulu untuk merestrukturisasi

terjemahan tersebut sebelum menyelesaikan tugasnya untuk menerjemahkan. Hal

ini dimaksudkan untuk membuat hasil terjemahan tersebut wajar sesuai dengan

kaidah pada bahasa sasaran. Dalam kaitannya dengan proses penerjemahan

subtitle, penerjemah perlu melakukan restrukturisasi dalam terjemahan film

tersebut. Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam proses restrukturisasi

ini, salah satunya adalah penerjemah perlu mempertimbangkan tingkat

keberterimaan suatu naskah terjemahan.

Oleh karena hal-hal tersebut, selama proses penerjemahan, seorang

penerjemah diharapkan dapat mengerti makna dari keseluruhan teks dalam bahasa

sumber dengan baik, karena pemahaman ini sangat dibutuhkan untuk mencapai

hasil terjemahan yang memiliki tingkat keberterimaan, akurasi serta kesepadanan

yang tinggi (Nababan, Nuraeni & Sumardiono, 2011: 12).

1.6.2 FILM DAN AUDIOVISUAL TRANSLATION

Menurut Herdian (2010: 1) ia berpendapat bahwa secara literal, film atau

bisa disebut dengan sinema merupakan cinematographie yang berasal dari kata

cinema (gerak), tho atau phytos (cahaya), dan graphie atau grahpe (tulisan,

gambar, citra). Film merupakan gambaran teatrikal yang secara khusus diproduksi

untuk ditayangkan di gedung bioskop atau televisi (Effendy, 2000: 201). Hal di

atas selaras dengan pernyataan Widodo (2006: 196) film adalah sarana

menyampaikan pesan kepada khalayak melalui sebuah cerita. Film juga

merupakan suatu karya atau alat bagi para seniman dan insan perfilman dalam

15
rangka mengutarakan dan dituangkannya sebuah gagasan, khayalan, ide cerita

bahkan bisa juga berdasar kejadian nyata yang ditemukan.

Sepaham dengan hal tersebut, Trianton (2013: 2) menjelaskan bahwa film

adalah media komunal, perpaduan dari berbagai teknologi dan unsur-unsur

kesenian baik secara rupa, teater, sastra, arsitektur dan musik.

Terdapat unsur penting dalam sebuah film, dari beberapa unsur yang telah

dikemukakan oleh Herdian (2010: 2) unsur yang sangat penting perannya

tersebut adalah teks cerita film (skenario), terutama ketika suatu film ditayangkan

kepada masyarakat yang menggunakan bahasa yang berbeda dengan bahasa asal

film tersebut. Sebuah film yang berasal dari Negara lain di mana teks filmnya

ditulis dalam bahasa asing membutuhkan penerjemahan, maka otomatis teks film

tersebut akan diterjemahkan ke dalam bahasa sasaran di mana film itu akan

ditayangkan. Menurut Hoed (2006: 107-108) penerjemahan teks cerita film

tersebut terbagi atas dua jenis yakni penerjemahan teks cerita film dalam bentuk

sulih suara (dubbing) atau penerjemahan film dalam bentuk teks (subtitling).

O’Connel (2007: 169) menjelaskan bahwa subtitling didefinisikan sebagai

pelengkap soundtrack film dengan menambahkan teks. Sama halnya dengan

pendapat menurut Safar (2011: 6) bahwa subtitle adalah proses transfer suatu

bahasa Asing ke dalam bahasa sasaran (suatu bahasa Nasional) melalui teknik

penerjemahan, yang biasanya dilakukan pada media audio visual berupa (film,

dokumentasi, fiksi atau animasi).

Menerjemahkan dialog film dengan membubuhkan subtitle tidaklah

mudah, adanya beberapa aturan dalam hal tersebut yang harus diperhatikan,

16
misalnya saja jumlah karakter yang dibatasi maksimal 35 karakter dan terdiri dari

2 baris saja per satu kali tayang subtitle. Hal tersebut juga diperkuat dengan apa

yang telah diutarakan oleh Carroll dan Ivarsson (1998: 45) tentang adanya

beberapa aturan dalam melakukan penerjemahan subtitle film. Aturan tersebut

antara lain:

1. Penerjemah harus selalu melakukan pemadanan sesuai dengan yang

tercantum pada subtitle film.

2. Penerjemahan film harus benar-benar dilakukan dengan memadankan

maksud yang hendak disampaikan film dan budaya yang dikandung oleh

film. dan jika perlu memperhatikan gambar, mimik dan tingkah laku, dan

juga latar film.

3. Kalimat-kalimat yang merupakan dialog harus berkesinambungan, artinya

jika ada kalimat dalam film yang jika diterjemahkan akan mengganggu

kesinambungan teks maka sebaiknya kalimat tersebut tidak diterjemahkan

namun membiarkan pembaca menyaksikan sendiri apa yang terjadi pada

mungkin pada gambar dalam film.

4. Register bahasa teks film sumber harus sesuai dengan register teks film

sasaran.

5. Tata bahasa dan sistematika penulisan dalam subtitle film sasaran tidak

boleh ada yang salah (misalnya kala verba, huruf besar, kecil cetak miring,

tanda baca dsb).

17
6. Durasi pemunculan subtitle film harus sesuai dengan kecepatan membaca

penonton, artinya jangan terlalu cepat atau jangan terlalu lama dan harus

mengikuti perubahan gambar dalam film.

7. Penempatan subtitle film harus sesuai dengan ritme pergerakan film.

Berdasarkan hal di atas, dapat diketahui bahwa subtitle film yang baik

adalah subtitle yang mengandung padanan aspek kebahasaan, budaya, dan situasi

visual dan alur cerita yang merepresentasikan secara tepat dan benar sesuai

dengan film aslinya namun terasa alami atau lazim dalam bahasa sasaran.

1.6.3 KESEPADANAN

Kesepadanan makna merupakan masalah umum yang ada dalam

penerjemahan. Tidak ada dua bahasa yang memiliki padanan makna yang sama

persis untuk setiap unit bahasanya. Setiap penerjemah akan selalu melalui tahapan

situasi yang di mana mengharuskannya untuk mempunyai kemampuan

menganalisis suatu teks bahasa sumber lalu mengalihkan pesan dan mencari

padanan yang paling dekat dalam bahasa sumber. Berikut jenis padanan dalam

terdapat dalam suatu teks seperti yang diungkapkan oleh Baker (1992: 17-20).

1. Padanan pada Tataran Kata

Sebagai unit terkecil dari bahasa yang mempunyai makna, kata merupakan

titik awal kajian dalam rangka memahami keseluruhan makna dalam suatu teks

bahasa sumber. Baker menyebutkan ada 11 jenis ketidak sepadanan makna pada

tataran kata, yaitu (a) konsep khusus, (b) konsep BSu tidak tersedia dalam BSa,

(c) konsep BSu yang sangat kompleks secara semantik, (d) perbedaan persepsi

BSu dan BSa terhadap suatu konsep, (e) BSa tidak mempunyai unsur atasan, (f)

18
BSa tidak mempunyai unsur bawahan atau hiponim, (g) perbedaan persepsi BSu

dan BSa terhadap konsep interpersonal dan fisik, (h) perbedaan dalam hal makna

ekspresif, (i) perbedaan bentuk kata, (j) perbedaan dalam hal tujuan, dan (k)

perbedaan tingkat penggunaan bentuk-bentuk tertentu.

2. Padanan di atas Tataran Kata

Tataran di atas kata adalah frasa, kalimat, dan paragraf. Suatu kata

seringnya memiliki kecenderungan untuk berkolokasi dengan kata lain sehingga

menghasilkan frasa. Sering kali penerjemah berhadapan dengan ungkapan

idiomatik pada suatu teks. Maka dari itu ia perlu menguasai strategi untuk

mengidentifikasikan dan menginterpretasikan ungkapan idiomatik dalam bahasa

sumber dengan tepat untuk memperoleh padanan yang tepat dan paling dekat

dalam bahasa sasaran.

3. Padanan Gramatikal

Seringnya padanan gramatikal dikaitkan dengan tata bahasa yang dibagi

menjadi dua dimensi, yaitu dimensi morfologis dan dimensi sintaksis. Sama

halnya dengan kata maupun frasa, tidak ada satu bahasa yang memiliki padanan

gramatikal yang sama persis dengan bahasa lain. Bahasa Inggris, misalnya,

mempunyai perubahan bentuk tunggal atau jamak yang akan mempengaruhi

bentuk kata baik dalam tataran frasa, klausa, ataupun kalimat. Sedangkan bahasa

Indonesia juga membedakan konsep tunggal atau jamak, namun tidak secara

morfologis.

Selanjutnya, pemertahanan makna yang dimaksud dalam penerjemahan

dapat disebut juga dengan usaha untuk mempertahankan kesepadanan makna

19
dan fungsi yang terdapat dalam BSu dan BSa (Bell, 1991: 19; Munday, 2001:

36; Newmark, 1988: 28; Venuti 2000: 5). Kesepadanan, menurut Venuti (2000:

5), dapat dipahami sebagai keakuratan, kecukupan, kebenaran, keterhubungan,

dan ketepatan makna yang terdapat dalam BSu dan BSa. Meskipun demikian,

dalam penerjemahan tidak ada kesepadanan makna penuh atau utuh yang

terdapat dalam BSu dan BSa (Jakobson, 2000: 114). Hal tersebut dapat

dikatakan bahwa penerjemahan merupakan proses mencari kesepadanan makna

yang terdapat pada dua bahasa yang berbeda.

Larson (1984: 17) menyatakan bahwa ketika seorang penerjemah ingin

menerjemahkan sebuah teks bahasa, maka tujuan utamanya adalah berusaha

memadankan makna teks yang terdapat pada BSa ke dalam bentuk yang lebih

alami pada BSa. Hal ini menyebabkan penerjemahan memiliki keterkaitan

terhadap leksikon, struktur tata bahasa, situasi komunikasi dan konteks budaya

teks BSu yang dianalisis guna menemukan makna sepadan.

Menurut pandangan Kotler (1995: 192) padanan sebagai proses yang

dibatasi oleh pengaruh perbedaan bahasa, non-bahasa serta lingkungan/situasi

antara BSu dan BSa dan juga peran kondisi sejarah – budaya yang menjadi

konteks terciptanya teks dan terjemahannya sekaligus kondisi ketika dua teks itu

sampai ke pembaca. Relasi-relasi yang sepadan (ekuivalen) bersifat relatif

terhadap ikatan ganda pertama pada teks sumber, dan kedua pada situasi

komunikasi bagi pihak penerima. Satuan-satuan teks sumber dilihat dari

kerangka-kerangka padanan.

20
Berikut rumusan kerangka padanan dan menyatakan bahwa padanan

terjemahan dapat dicapai melalui salah satu tataran berikut:

1. Kata-kata BSu dan BSa memiliki fitur ortografis dan fonologis yang

serupa (padanan formal).

2. Kata-kata BSu dan BSa mengacu pada entitas atau konsep yang sama

(padanan referensial/denotatif).

3. Kata-kata BSu dan BSa mengandung asosiasi yang sama atau mirip

dalam pikiran para penutur kedua bahasa itu (padanan konotatif).

4. Kata-kata BSu dan BSa digunakan dalam konteks yang sama atau

serupa pada masing-masing bahasa (padanan tekstual-normatif).

Kata-kata BSu dan BSa memiliki efek yang sama terhadap masing-masing

pembaca dalam kedua bahasa itu (padanan pragmatik/dinamik).

1.6.4 TEKNIK PENERJEMAHAN

Teknik penerjemahan sebagaimana telah dijelaskan oleh Molina dan Albir

sebelumnya, adalah hasil akhir dari proses menerjemahkan yang mempengaruhi

bagian- bagian tertentu dari keseluruhan terjemahan. Teknik penerjemahan

merupakan suatu cara untuk menganalisis dan mengklasifikasi bagaimana suatu

terjemahan dapat sepadan dengan teks sumbernya. Teknik penerjemahan memiliki

lima karakteristik sebagai berikut:

1. Teknik penerjemahan mempengaruhi hasil terjemahan

2. Teknik penerjemahan diklasifikasikan menggunakan cara

perbandingkan antara teks bahasa sumber (BSu) dengan bahasa

sasaran (BSa)

21
3. Teknik penerjemahan mempengaruhi tataran mikro teks

4. Teknik penerjemahan bersifat diskursif dan kontekstual

5. Teknik penerjemahan bersifat fungsional.

Menurut Molina Albir (2002:509-511) ada 18 jenis teknik penerjemahan

yang telah dikemukakannya dan dikategorikan menjadi 5 kelompok. 5 kelompok

teknik penerjemahan tersebut disajikan dalam tabel di bawah ini :

Tabel 1. Klasifikasi Teknik Penerjemahan menurut Molina Albir

Kelompok Teknik
Modulasi
Substitusi
Transposisi
Variasi
Perubahan
Partikularasi
generalisasi
Kreasi Diskursif
Kompensasi
Adaptasi
Penyesuaian
Peminjaman
Kalke
Literal Penerjemahan Harafiah
Penerjemahan Lazim
Kompresi Linguistik
Pengurangan
Reduksi
Amplifikasi
Penambahan Amplifikasi Linguistik
Deskripsi

1.6.5 BENTUK DAN FUNGSI IMPERATIF

Deguchi (2012: 4) menyatakan bahwa imperative sentences are typically

used to give orders. Kalimat perintah terdiri dari subjek (orang yang diperintah)

tidak dinyatakan secara explisit, dan hanya finite/predicator yang dinyatakan.

Finite/predicator tersebut ditempati oleh kata kerja pertama, sedangkan subjeknya

22
ditempati oleh orang kedua you. Kalimat perintah dapat diakhiri dengan tanda

titik (.) atau tanda seru (!). Kalimat imperatif bahasa Inggris menurut fungsinya

dalam komunikasi dapat berupa perintah, undangan, harapan, dan peringatan

Beaumont dan Granger, (1989: 52).

Menurut Crystal (2008: 237), kalimat imperatif adalah:

“A term used in the grammatical classification of sentence types, and


usually seen in contrast to indicative, interrogative, etc. An imperative
usage (‘an imperative’) refers to verb forms or sentence/clause types
typically used in the expression of commands, e.g. Go away!”

Artinya : “Sebuah istilah yang digunakan dalam klasifikasi gramatikal


tentang jenis – jenis kalimat, yang berbeda dengan kalimat indikatif dan
interogatif. Penggunaan imperatif mengacu pada bentuk kata kerja atau
jenis kalimat/klausa yang biasanya digunakan dalam ekspresi perintah,
misalnya Go Away!”

Berdasarkan teori Aarts dan Aarts (1982), kalimat imperatif terdiri dari

kata kerja yang mengandung imperative mood (imperative mood yaitu

mengekspresikan kalimat dengan perintah secara langsung dalam komunikasi).

Kalimat imperatif berisi bentuk kata kerja yang identik dengan bentuk dasar.

Menurut Aarts, kalimat imperatif tidak mengandung subjek. Jika subjek hadir,

biasanya "You". Berdasarkan fungsinya dalam komunikasi kalimat imperatif

dibagi dalam empat jenis yaitu:

1) command

contoh: open it! (Buka itu!)

2) request

contoh: help me (bantu aku)

3) invitation

contoh: come on, guys (ayo, teman-teman)

23
4) warning

contoh: don’t waste my time (jangan buang waktu saya)

Berdasar Keraf 1980: 156-159 di Baryadi (1988) aspek sintaksis pada

kalimat imperatif memiliki ciri sintaksis yang berupa (a) intonasi keras, (b) makna

imperatif diwujudkan dalam penggunaan kata kerja bentuk dasar, (c)

menggunakan partikel pengeras –lah. Sedangkan pada aspek semantis, kalimat

perintah adalah kalimat yang menyuruh orang lain untuk melakukan sesuatu,

kalimat berita adalah kalimat yang mendukung suatu pengungkapan peristiwa atau

kejadian, dan kalimat tanya adalah kalimat yang mengandung permintaan untuk

memberitahu kita akan sesuatu karena kita tidak mengetahui hal tersebut. Dengan

ciri sintaksis di atas, Gleason 1966: 132 di Baryadi (1988: 71) menyebutkan

bahwa secara formatif ketiga tipe kalimat di atas merupakan sebuah pola

konstruksi, sehingga sering disebut pula sebagai konstruksi imperatif, konstruksi

interogatif, dan konstruksi deklaratif.

Dalam komunikasi verbal, secara formatif imperatif di wujudkan dari ke 3

pola konstruksi di atas. Berikut penjelasan terkait konstruksi imperatif, konstruksi

interogatif, dan konstruksi deklaratif menurut (Baryadi, 1988:74-77). Konstruksi

imperatif tersebut terbagi menjadi dua jenis, yaitu (1) konstruksi imperatif yang

tidak mengandung penanda ketakziman, dan (2) konstruksi imperatif yang

mengandung penanda ketakziman.

Tabel 2. Konstruksi Imperatif

No Konstruksi imperatif Bentuk Konstruksi imperatif


1 Konstruksi imperatif yang tidak a. Konstruksi imperatif berpola
mengandung penanda ketakziman verba bentuk dasar
b. Konstruksi imperatif berpola

24
verba bentuk dasar diikuti –lah
c. Konstruksi imperatif berpola
verba bentukan
d. Konstruksi imperatif berpola
pasif imperatif (objek, lokatif,
reseptif, beneaktif, dan
instrumental)
e. Konstruksi imperatif didahului
atau diikuti konstruksi deklaratif
kondisional
f. Konstruksi imperatif didahului
atau diikuti konstruksi deklaratif
final
2 Konstruksi imperatif yang a. Konstruksi imperatif yang
mengandung penanda ketakziman mengandung kata-kata ajakan,
seperti mari, ayo
b. Konstruksi imperatif yang
mengandung kata tolong sebelum
verba benefaktif
c. Konstruksi imperatif yang
mengandung kata-kata yang
menyatakan anjuran, saran,
harapan, imbauan, seperti
sebaiknya dan seyogianya
d. Konstruksi imperatif yang
mengandung kata silakan dan
dipersilakan
e. Konstruksi imperatif yang
mengandung kata dimohon,
diminta, dan diharap.

Konstruksi interogatif pada dasarnya menyatakan makna interogatif tetapi

oleh penutur dimanfaatkan untuk menyatakan maksud imperatif, sehingga

konstruksi interogatif tersebut juga mengandung makna ilokusi. Berikut tipe

konstruksi interogatif yang dipakai untuk menyatakan maksud imperatif.

25
Tabel 3. Konstruksi Interogatif

No Konstruksi Interogatif Contoh


1 Konstruksi Interogatif a. dapat, bisa, sanggup, mau
yang mengandung b. kata modalitas sering diikuti –kah
modalitas c. subjeknya adalah persona kedua
(anda, kamu, dan nama orang)
d. predikat biasanya menyatakan
tindakan fisik
2 Konstruksi Interogatif a. kata tanya seperti:
yang mengandung kata
tanya seperti apakah, apakah, bagaimana, bilamana
bagaimana, bilamana

3 Konstruksi Interogatif (1) Apakah kalian tidak bisa tutup mulut?


yang mengandung kata (2) Mengapa Anda tidak mengambilkan
negatif tidak kapur?

Konstruksi deklaratif pada dasarnya merupakan lokusi konstruksi dengan

makna deklaratif, tetapi oleh penutur dimanfaatkan untuk menyatakan maksud

imperatif, sehingga konstruksi itu mengandung makna ilokusi imperatif. Berikut

tipe konstruksi deklaratif.

Tabel 4. Konstruksi Deklaratif

No Konstruksi Interogatif Contoh

1 Konstruksi deklaratif (1) Dingin sekali rasanya. (Tutuplah pintu


yang menyatakan itu!)
keadaan tertentu (2) Kapurnya habis. (Ambilkan kapur!)
2 Konstruksi deklaratif (1) Saya memerlukan kapur
yang menyatakan (2) Saya membutuhkan penghapus
kebutuhan bagi penutur
3 Konstruksi deklaratif (1) Saya sangat senang apabila Saudara-
yang menyatakan saudara dapat duduk dengan tenang.
perasaan senang penutur (Duduklah dengan tenang!)
(2) Sungguh menggembirakan bila Anda
dapat berhasil mengerjakan soal-soal itu.
(Kerjakan soal-soal itu!)
4 Konstruksi deklaratif Tugas Anda adalah melingkari salah satu
yang merupakan huruf yang menandai jawaban yang betul.

26
kalimat definitif (Lingkarilah jawaban yang betul!).

1.6.6 STRATEGI PENGUNGKAPAN MAKNA IMPERATIF

Untuk menyatakan makna imperatif, terdapat berbagai pola konstruksi yang

digunakan, pendengar atau pronomina persona kedua sering tidak disebutkan

secara formatif karena dalam konteks tuturan sudah dapat dipahami dengan jelas

arah tuturannya (Downes, 1997:77). Penutur mengungkapkan melalui tuturan

langsung (direct speech), penyampaian makna imperatif dalam komunikasi,

penutur menggunakan dua strategi. Seperti yang dipaparkan oleh Akmajian (1984:

401) di Baryadi (1988: 78) strategi tersebut adalah strategi literal dan strategi

nonliteral.

1. Strategi literal adalah bertutur langsung dinyatakan secara langsung

menggunakan tipe-tipe kalimat sesuai dengan fungsi tipe kalimat

tersebut (konstruksi imperatif).

2. Strategi nonliteral merupakan strategi tindak tutur tidak langsung

digunakan dengan cara mengubah fungsi jenis kalimat, misalnya untuk

menyatakan perintah (konstruksi interogatif, konstruksi deklaratif).

Kedua strategi di atas ternyata mempengaruhi daya ilokusi. Semua jenis

konstruksi memiliki kekuatan daya ilokusi yang berbeda-beda. Strategi literal

memancarkan daya ilokusi yang lebih kuat daripada strategi non literal.

Konstruksi imperatif yang merupakan kelompok strategi literal

mengandung daya perlokusi yang tinggi karena langsung memberikan efek

perintah, menimbulkan dampak ketakziman atau tata krama berbahasa yang

rendah “tidak sopan” tetapi mudah ditafsirkan maknanya

27
Konstruksi interogatif dan konstruksi deklaratif yang merupakan

kelompok dari strategi non literal mengandung daya perlokusi yang rendah karena

menimbulkan berbagai kemungkinan penafsiran, ambiguitas dan menyebabkan

terjadinya kesalahan penafsiran terhadap makna tetapi menimbulkan dampak

ketakziman atau tata krama berbahasa yang tinggi “sopan”.

Berikut bagan yang menggambarkan penjelasan di atas.

Bagan 2. Bentuk dan Makna Kalimat Imperatif

1.7 METODE PENELITIAN

Diperlukan suatu metode yang jelas dan tepat untuk mendukung kesahihan

suatu penelitian. Metode penelitian adalah cara pemecahan suatu permasalahan

dalam sebuah penelitian yang dilaksanakan dengan cermat dan terencana,

bertujuan mendapatkan fakta dan simpulan. Metode juga merupakan cara kerja

untuk memahami dan mendalami objek yang diteliti. Melalui metode yang jelas

dan tepat, peneliti tidak hanya mampu melihat fakta sebagai kenyataan tetapi juga

mampu memperkirakan kemungkinan-kemungkinan yang dapat terjadi melalui

fakta tersebut.

1.7.1 Jenis dan Pendekatan Penelitian

28
Penelitian ini merupakan penelitian dasar di bidang penerjemahan, berjenis

deskriptif kualitatif dengan pendekatan linguistik terjemahan. Penelitian ini

disebut dengan penelitian kualitatif karena menitikberatkan pada data yang berupa

kata- kata, kalimat, atau gambar yang memiliki arti lebih daripada sekedar angka

atau frekuensi (Sutopo, 2002:35). Data dalam penelitian ini akan diambil dari

dialog para tokoh dalam berinteraksi satu sama lain di dalam film, sehingga

datanya akan berbentuk kata, frasa, klausa, atau kalimat. Disebut penelitian

deskriptif karena penelitian ini tidak sebatas pada pengumpulan dan penyusunan

data saja tetapi juga meliputi mulai dari mengumpulkan, mengelompokkan,

menganalisis, dan menginterpretasikan data penelitian (Surakhmad, 1994:21).

1.7.2 Data dan Sumber Data

Menurut Alwi (2003:239) data terdiri dari (1) keterangan yang benar dan

nyata, dan (2) keterangan atau bahan nyata yang dapat dijadikan dasar kajian

(analisis atau kesimpulan). Data yang dikaji dalam penelitian adalah transkrip

dialog ujaran para tokoh film subtitle film Toy Story 3.

Sedangkan sumber data yang akan menentukan ketepatan dan kekayaan

data atau informasi yang diperoleh (Sutopo, 2002:49). Sumber data yang

digunakan dalam penelitian ini berupa transkrip dialog ujaran para tokoh yang

mengandung bentuk dan makna imperatif pada subtitle film Toy Story 3 dalam

versi VCD beserta terjemahannya (subtitle).

1.7.3 Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data merupakan langkah yang paling utama dalam

penelitian, sebab tujuan utama dari penelitian yaitu mendapatkan data Sugiyono

29
(2013:308). Teknik pengumpulan data yang dilakukan dalam penelitian ini terdiri

atas teknik simak catat. Melalui teknik ini, peneliti menyimak film dan kemudian

mencatat data- data yang relevan dan sesuai dengan tujuan penelitian..

Teknik mencatat dokumen merupakan cara untuk menemukan beragam

hal sesuai dengan kebutuhan dan tujuan penelitiannya Sutopo (2006:81). Dalam

penelitian ini, tujuan yang diinginkan oleh penulis adalah menganalisis bentuk

dan makna imperatif dan yang ke dua adalah teknik terjemahan bentuk dan makna

imperatif yang terjadi dialog antar para tokoh dalam subtitle film Toy Story 3 versi

VCD original. Peneliti melihat film berulang kali sembari mencatat teks

terjemahan kalimat imperatif beserta konteks yang melatar belakanginya. Setelah

itu, peneliti juga menampilkan transkrip versi bahasa inggris kalimat imperatif

dalam dialog film tersebut dan akan dibandingkan, kemudian dianalisis dengan

teori yang sesuai. Berikut contoh data yang terdapat dalam subtitle film Toy Story

3.

Tabel 5. Pengumpulan Data Bentuk Imperatif

No No Data TSu TSa


1 2 Hold him steady! Jaga laju kecepatannya!
2 5 Ride like the wind, Majulah sekencang angin,
Bullseye! Bullseye.
3 15 No, no, no. Just keep Teruslah bermain.
playing

4 106 Look! Lihat!

Tabel 6. Pengumpulan Data Teknik Terjemahan

No No Data Tsu TSa


1 6 Hold him steady! Jaga laju kecepatannya!

30
2 143 I don't want you left alone Aku tak ingin kau ditinggal
in the attic, okay? Now, sendirian di loteng, oke?
stay. Tetaplah di sini

3 186 Barbie! I told you to wait Sudah kubilang agar kau


in the Dream House menunggu di rumah impian

Toy Story 3 mengisahkan petualangan para mainan yang hidup bila tidak

ada orang. Woody, Buzz dan para mainan lain yang dimiliki oleh Andy akan

segera di simpan dalam loteng, disumbangkan, atau bahkan dibuang, karena Andy

segera pindah untuk melanjutkan sekolah pada jenjang pendidikan yang lebih

tinggi, yaitu universitas. Karena hal itu Woody dan para mainan lain berusaha

untuk menjalankan misi agar menjadi mainan yang disumbangkan dan tidak

dibuang. Sejalan dengan alur cerita, dalam dialog antar tokoh pada film tersebut

banyak ditemukan ujaran secara langsung yang mengandung bentuk dan makna

imperatif sehingga peneliti tertarik untuk meneliti hal tersebut.

Film ini di distribusikan oleh PT. Vision Interprima Pictures, perusahaan

yang berbasis di Jakarta ini merupakan penerima lisensi dan distributor hiburan

rumah video internasional terbesar di Indonesia yang didirikan pada tahun 1994

dan menandatangani kontrak dengan Warner Brothers sebagai pemegang lisensi

pertama kami di Major Hollywood Studio dan diikuti oleh The Walt Disney

Company pada tahun 1995. Namun, peneliti tidak bisa menemukan siapa

penerjemah yang menerjemahkan subtitle film Toy Story 3 tersebut dikarenakan

tidak ada feedback dari perusahaan atas email surat ijin penelitian yang

dikirimkan oleh peneliti. Hal lain juga disebabkan karena sejak tanggal 23

September 2016 PT. Vision Interprima Pictures telah mengumumkan bahwa telah

31
berakuisisi dengan PT. E-Motion Entertainment (E-Motion) yang di mana

mengubah hampir semua susunan pimpinan dan karyawannya.

1.7.4 Teknik Analisis Data

Pertama, dilakukan analisis bentuk konstruksi dan makna yang diperoleh

dari transkrip dialog film (Bsu) dan hasil terjemahan (Tsa) dengan menggunakan

klasifikasi yang dipaparkan oleh Baryadi (1988). Analisis dilakukan pada TSu

dengan metode deskriptif yang kemudian dilanjutkan dengan mendeskripsikan

TSa. Setelah kedua teks dideskripsikan, dilakukan komparasi sehingga dapat

disimpulkan bahwa metode analisis yang digunakan adalah metode deskriptif

komparatif.

Analisis berikutnya dilakukan untuk menjawab rumusan masalah yang

kedua mengenai teknik penerjemahan berdasarkan teori Molina dan Albir.

Analisis data dilakukan dengan metode padan dengan menyandingkan TSu dan

TSa untuk menentukan prosedur penerjemahan yang diterapkan. Metode ini

digunakan dengan melihat tingkat kesepadanan, keselarasan, kesesuaian,

kecocokan, dan kesamaan antara BSu dan BSa (Sudaryanto, 1993:13). Teknik

tersebut dibagi menjadi 18 (delapan belas), yakni adaptasi, amplifikasi,

peminjaman, kalke, kompensasi, deskripsi, kreasi diskursif, padanan lazim,

generalisasi, amplifikasi linguistik, kompresi linguistik, penerjemahan harfiah,

modulasi, partikularisasi, reduksi, substitusi, transposisi, dan variasi. Hasil analisis

akan dipaparkan dalam bentuk tabel dan juga akan ada narasi penjelas dari setiap

apa yang ditampilkan dalam tabel tersebut

1.8 SISTEMATIKA PENULISAN

32
Penelitian ini disajikan dalam empat bab dengan rincian sebagai berikut:

a. Bab I terdiri dari pendahuluan yang terdiri dari latar belakang, rumusan

masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, tinjauan pustaka, landasan

teori, metode penelitian dan sistematika penulisan.

b. Bab II terdiri dari pembahasan mengenai bentuk konstruksi dan makna

imperatif yang ada pada subtiltle film Toy Story 3

c. Bab III terdiri dari pembahasan mengenai teknik penerjemahan apa yang

digunakan penerjemah dalam menerjemahkan bentuk konstruksi dan makna

imperatif dalam subtitle film Toy Story 3

d. Bab IV merupakan penutup yang terdiri dari kesimpulan.

33

Anda mungkin juga menyukai