Anda di halaman 1dari 18

Parmalim in City Medan(1963-2006)

Julianto Silaen

070706004

Department History, Faculty Science Humanities, North Sumatera University

Medan

abstract

Parmalim is one of the original cult Indonesia which has begun to erode by the day. In
the Indonesian constitution, Parmalim only recognized as a group of cult followers.
Parmalim often identified with backwardness, but with migrate and progress in
education Parmalim has been able to match the development of modern religion. To
know Parmalim migration and development, in this study used the historical method to
collect, test, and presenting it in the form of historical writing. Based on the research
results Parmalim with migration movements (manombang) that instigated by the Raja
Ungkap Naipospos since 1957, resulting in increasingly high interest to migrate to the
outside Parmalim Tapanuli one goal is the city of Medan. In Medan, Parmalim must
conform to the pattern of life developed. With hamalimon teachings that became dogma
in the doctrine Ugamo Malim capable of carrying Parmalim survive in the city of
Medan. Character as a Batak tribe and have restrictions (naramun) which is equal to the
followers of Islam are the two things that really helped Parmalim in socializing in the
city of Medan. Parmalim with belief has given a new color of the Batak Toba culture in
the city of Medan.
PARMALIM DI KOTA MEDAN (1963-2006)
JULIANTO SILAEN
070706004

Jurusan Ilmu Sejarah, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara


Medan

Abstrak
Parmalim merupakan salah satu aliran kepercayaan asli Indonesia yang sudah mulai
tergerus oleh zaman. Dalam ketatanegaraan Indonesia, Parmalim hanya diakui sebagai
kelompok penganut aliran kepercayaan. Parmalim sering diidentikkan dengan
kerterbelakangan, namun dengan bermingrasi dan kemajuan di bidang pendidikan
Parmalim telah mampu menyamai perkembangan penganut agama modern. Untuk
mengetahui migrasi dan perkembangan parmalim, dalam penelitian ini digunakan
metode sejarah untuk mengumpulkan, menguji, serta menyajikannya dalam bentuk
tulisan sejarah. Berdasarkan hasil penelitian parmalim dengan gerakan migrasi
(manombang) yang di cetuskan oleh Ihutan Raja Ungkap Naipospos tahun 1957,
mengakibatkan semakin tingginya minat parmalim untuk bermigrasi ke luar Tapanuli
salah satu tujuannya adalah Kota Medan. Di Kota Medan, Parmalim harus
menyesuaikan diri dengan pola kehidupan yang berkembang. Dengan ajaran hamalimon
yang menjadi dogma dalam ajaran Ugamo Malim mampu membawa Parmalim bertahan
di Kota Medan. Karakter sebagai suku Batak dan memiliki larangan (naramun) yang
sama dengan pemeluk agama Islam adalah dua hal yang sangat membantu parmalim
dalam bersosialisasi di Kota Medan. Parmalim dengan kepercayaanya telah
memberikan warna baru tentang budaya Batak Toba di Kota Medan.

A. PENDAHULUAN
Latar Belakang Masalah
Perkembangan industri perkebunan Sumatera Timur, khususnya Medan sejak
awal 1880-an, menjadi daya tarik bagi para pendatang (migrant) untuk mengubah
kehidupan ekonomi yang lebih baik.1 Para migrant tersebut berusaha mempertahankan
adat-istiadatnya sebagai sesuatu yang vital dalam gelombang urbanisasi, sehingga Kota
Medan kalau dilihat dari fakta sosialnya adalah “kota para minoritas”, ataupun tidak ada
budaya dominan yang dapat berfungsi sebagai wadah pembauran budaya.2
Di antara migrant yang melakukan migrasi ke Medan, salah satunya adalah suku
Batak Toba. Suku Batak Toba bermingrasi ke Sumatera Timur membawa turut serta
kebudayaannya ke tempat yang dituju. Sebagian dari suku Batak Toba itu masih
menganut agama suku yang disebut Ugamo Malim atau Parmalim.

1
Najif Chatib, Para Pendatang Di Kota-Kota Sumatera Timur, Medan: Fakultas Sastra USU,
1955, hal. 4-8.
2
Edward M Bruner, Kerabat dan Bukan Kerabat dan Pokok-Pokok Antropologi Budaya, (Terj.
T.O. Ihroni), Gramedia Jakarta, 1980, hal. 169.
Parmalim adalah suatu identitas pribadi sementara kelembagaannya disebut
dengan Ugamo Malim. Pada masyarakat kebanyakan, Parmalim sebagai identitas
pribadi lebih populer dari “Ugamo Malim” sebagai identitas lembaganya.3 Ugamo
Malim merupakan salah satu aliran kepercayaan yang dianut oleh suku Batak.
Penyebarannya berasal dari Kabupaten Toba Samosir tepatnya di Desa Huta Tinggi
Kecamatan Laguboti, saat ini dipimpin oleh Ihutan Raja Marnangkok Naipospos. Dasar
kepercayaan Ugamo Malim yaitu melakukan titah-titah yang dipercayai berasal dari
Debata Mulajadi Nabolon (Tuhan Yang Maha Esa) sebagai pencipta manusia, langit
dan bumi, segala isi alam semesta serta roh nenek moyang orang Batak Toba.4
Bila ditinjau dari sejarah, Ugamo Malim merupakan kelanjutan dari gerakan
Parmalim yang dipelopori oleh Guru Somalaing Pardede.5 Gerakan parmalim
merupakan gerakan mesianis yang mengimpikan kembalinya raja imam
Sisingamangaraja XII. Gerakan Parmalim yang berkembang pada masa 1907-1942
sebanyak empat mazhab namun yang bertahan dan tetap berkelanjutan adalah Parmalim
dari sekte Nasiakbagi yang dipimpin oleh Raja Mulia Naipospos dari Bius Laguboti
setelah mendapat persetujuan dari Residen Tapanuli Controleur van Toba tahun 1921.
Dalam konteks Indonesia merdeka, Parmalim tidak diakui sebagai sebuah
agama, tetapi hanya dikelompokkan ke dalam aliran Penghayat Kepercayaan Kepada
Tuhan Yang Maha Esa sesuai dengan Pepres No.1/PNPS/1965 junto Undang-Undang
No.5/1969. Perubahan rezim tidak serta-merta mengubah cara pandang pemerintah
terhadap Parmalim, Turunan kebijakan dari Pepres No.1/PNPS/1965 dan Tap MPR
Nomor IV/MPR/1978, memiliki dampak yang merugikan warga Parmalim dalam
kehidupan bernegara. Parmalim tidak dapat mencantumkan agamanya pada Kartu
Tanda Penduduk (KTP), kolom agama dikosongkan atau diberitanda “ - “. Status agama
dalam KTP tersebut sering diartikan oleh orang lain di luar Parmalim sebagai kelompok
atheis atau komunis. Kebijakan ini sangat diskriminatif bagi penghayat kepercayaan
Tuhan Yang Maha Esa yakni Parmalim, terutama bagi Parmalim yang merantau ke luar
Tapanuli seperti ke Kota Medan. Parmalim banyak yang mengosongkan kolom agama
atau memilih salah satu agama resmi. Akibatnya Parmalim mengalami hambatan dalam

3
Anggaran Dasar Organisasi Ugamo Malim 1987. Bab II Pasal 1 ayat 2.
4
Ibrahim Gulton, Agama Malim di Tanah Batak. Jakarta: Bumi Aksara, 2010, hal. 124-166.
5
Hirosue mengambarkan Parmalim dengan Analisis Mileniarisme Michael Adas, bahwa
parmalim muncul karena penindasan Kolonial Belanda terhadap Orang batak di Tapanuli dan hilangnya
sosok pemimpin pendeta raja Sisingamangaraja XII, Lihat Masashi Hirosue (2005).
melanjutkan pendidikan dan mendapatkan pekerjaan terutama bagi mereka yang ingin
merantau, baik sebagai pegawai swasta maupun pegawai negeri sipil. 6 Selain
diskriminasi dalam administrasi kependudukan Parmalim dalam kehidupan sehari-hari
masih dianggap sebagai penganut “sipelebegu” oleh kelompok tertentu.
Permasalahan Penelitian
Dalam tulisan ilmiah selayaknya diupayakan sebuah pemaparan yang lebih
mendetail dan sistematis supaya hal-hal yang akan dibahas dapat dilihat dengan jelas.
Jadi, salah satunya langkah untuk menguraikan permasalahan dengan
mengidentifikasikan secara akurat, agar permasalahan lebih jelas terfokus. Untuk itu
rumusan masalah yang akan dibahas dalam penelitian ini nantinya adalah sebagai:
1. Bagaimana latar belakang kedatangan Parmalim ke Kota Medan?
2. Bagaimana perkembangan Parmalim di Kota Medan sejak tahun 1963-2006?
3. Apa faktor-faktor yang menyebabkan Parmalim mampu bertahan di kota
Medan?

B. METODOLOGI PENELITIAN
Penelitian ini bersifat sejarah deskristif dengan menggunakan metode sejarah
untuk membantu peneliti di dalam merekonstruksi kejadian pada masa lalu. Metode
sejarah memiliki empat tahapan yakni heuristik meliputi pengumpulan data atau
sumber-sumber yang ditemui mengenai migrasi Parmalim. Pengumpulan sumber-
sumber sejarah dilakukan dengan studi pustaka dan ovservasi lapangan. Setelahtahapan
heuristik selanjutnya dilakukan kritik sumber. pada tahap kritik sumber sumber-sumber
yang terkumpul disaring dan diseleksi dengan memperhatikan aspek fisik yang
mempengaruhi kondisi dokument itu sehingga mendapat sumber yang autentik.
Selanjutnya dilakukan pengujian atas keaslian isi data yang kita peroleh, apakah data
tersebut dapat dipercaya berdasarkan komposisi dan legalitas data yang dipercaya
(credible).7
Setelah diperoleh data yang valid dan akurat, maka tahap selanjutnya adalah
menginterpretasikan atau menetapkan makna dan saling hubungan dari fakta-fakta yang
diperoleh untuk menggambarkan keadaan yang sebenarnya. Setelah tahapan interpretasi
selesai selanjutnya dilakukan tahapan historigrafi atau penulisan sejarah. Pada tahap ini,
6
Wawancara dengan Rinsan Simajuntak,Medan, 6 Juni 2012.
7
Ibid Louis Gootschalk, 1986,, Hal. 20.
studi ini berusaha untuk memahami historic realite (sejarah sebagaimana yang
dikisahkan), sehingga mampu dikisahkan dan disajikan masalah ”Parmalim Di Kota
Medan (1963-2006)” secara kronologis pada masyarakat Kota Medan.

C. HASIL PENELITIAN
Migrasi Parmalim ke Kota Medan
Proses migrasi Parmalim ke Kota Medan secara umum dapat dikatakan sebagai
migrasi spontan, baik secara pribadi maupun kelompok (keluarga). Migrasi Parmalim
terjadi sejak masa kolonial Belanda berkuasa di Indonesia bersamaan dengan migrasi
yang dilakukan oleh suku Batak lainnya ke Sumatera Timur. 8 Pada permulaan tahun
1900-an ada dua penyebab orang-orang dari Tapanuli masuk ke daerah Sumatera Timur
yaitu kehadiran kolonial Belanda yang ingin menguasai daerah-daerah Batak yang
masih merdeka dan usaha untuk menemukan tempat penghidupan yang baru (tano
parngoluan naimbaru). Keinginan untuk menemukan tano parngoluan naimbaru
didukung oleh perkembangan pendidikan dan pembukaan jalan trans Tapanuli yang
membentang dari Medan-Pematang Siantar (1908-1914) sampai Tarutung-Sibolga
(1915-1922).9
Kedatangan Parmalim Kota Medan juga erat hubunganya dengan gerakan
bermigrasi (manombang) yang dipelopori oleh Raja Ungkap Naipospos sejak tahun
1957. Gerakan manombang memiliki tiga motto yakni keinginan menemukan ngolu
naimbaru (hidup lebih sejahtera), parbinotoan naimbaru (ilmu pengetahuan baru),
tondi na marsihohot (kepercayaan yang teguh). Mereka mencari peluang kehidupan
baru di daerah Sumatera Timur-Simalungun tepatnya daerah Bah Jambi. Di sana berdiri
sebuah perkampungan di mana penduduknya sebahagian besar Parmalim sehingga
sering disebut Kampung Malim. Sejak itu, Parmalim menyebar dari Toba ke daerah
subur Sumatera bagian Timur. Langkah itu, telah memperkuat kesatuan (kelembagaan),
kemandirian, kedamaian, dan kekuatan iman Parmalim untuk mencari ngolu naimbaru
di luar Tapanuli.10

8
Johan Hasselgren, Batak Toba Di Medan: Perkembangan Identitas Etno-Religius Batak Toba
Di Medan (1912-1965), Medan: Bina Media Perintis, 2008, hal. 142-143.
9
O.H.S Purba, Migrasi Spontan Batak Toba (Marserak); Sebab Motif Dan Akibat Perpindahan
Penduduk Dari Daratan Tinggi Toba, Medan: CV. Monora, 1997, hal. 91.
10
“Raja Ungkap dohot hoda na bottar” Majalah Sulu Edisi III Tahun 2009.
Migrant Parmalim yang datang ke Kota Medan dalam penelitian ini pada
umumnya adalah Parmalim generasi pertama yang sudah mengenal pendidikan modern,
hal ini terbukti dari data buku Bolon11, bahwa Parmalim yang bermigrasi adalah mereka
yang sudah memiliki kemampuan baca tulis, mereka setidaknya telah mengikuti
pendidikan Sekolah Rakyat (setingkat pendidikan dasar) setelah kemerdekaan.12
Gerak migrasi yang dilakukan Parmalim ke Kota Medan diperkirakan sejak
pertengahan abad ke-20. Pada saat itu banyak perkebunan maupun perusahaan dibuka
kembali di Kota Medan setelah kemerdekaan sehingga memberi peluang kerja bagi
parmalim baik sebagai buruh pada perkebunan, atau menjadi petani penggarap di bekas
perkebunan. Pada priode ini para migrant Parmalim belum dapat di peroleh data karena
Punguan Parmalim Kota Medan belum dibentuk. Namun diperkirakan sudah ada
Parmalim yang melakukan migrasi ke Kota Medan terutama pemuda-pemuda yang
mencari pekerjaan setelah tamat dari sekolah dengan berbagai tingkatan. Merekalah
yang kemudian menjadi fasilitator bagi keluarganya dan warga Parmalim yang
bermigrasi ke Kota Medan.
Parmalim banyak melakukan migrasi ke Kota Medan sejak tahun 1980, karena
Medan telah menjadi pusat pertumbuhan ekonomi bagi Sumatera bagian Utara.
Perkembangan Kota Medan yang amat pesat terjadi sejak REPELITA I (1967-1970),
dimana Kota Medan ditetapkan sebagai salah satu kota pusat pengembangan wilayah
utama di pulau Sumatera dalam REPELITA II tahun 1974, realisasi dari program ini
adalah dikembangkanya pusat industri utama seperti kawasan Industri Medan (KIM) di
Kecamatan Belawan, perkembangan Industri diikuti dengan perbaikan infrastruktur
seperti jalan, dan gedung pemerintahan di Kota Medan.13

11
Buku Bolon adalah buku yang digunakan untuk mencatat jumlah keanggotaan Parmalim di
seluruh punguan (cabang) , data dalam buku ini meliputi, nama Kepala Keluarga beserta istri dan anak,
tahun lahir masing-masing anggota keluarga, jenjang pendidikan, serta tempat tinggal.
12
Perkembangan pendidikan di Tapanuli adalah salah satu yang terbaik di Indonesia setelah
kemerdekaan, pendidikan dianggap sebagai sumber kemajuan. Hal ini adalah akibat dari pendidikan yang
diberikan zending RMG selama Kolonialisme kepada orang Batak Toba. Tradisi dalam masa
kemerdekaan Indonesia dilanjutkan oleh Huria Batak Kristen Protestan (HKBP) untuk mendidik anak-
anak Toba, tidak seperti masa RMG, di mana sekolah gereja hanya untuk anak yang beragama Kristen,
setelah masa kemerdekaan pendidikan adalah hak semua orang sehingga sekolah tidak lagi dibuat
berdasarkan batasan-batasan agama. Selain itu pemerintah juga telah mulai mengaktifkan sekolah bekas
pemerintah kolonial maupun mendirikan sekolah baru di kota-kota kecamatan di Tapanuli. Op Cit.O.H.S
Purba, 1997, hal. 71.
13
Bahruddin, perkembangan Medan Menuju Metropolitan; Suatu Tinjauan Sosiologis, dalam
jurnal Harmooni, September 2006, Vol. 1.
Perkembangan Kota Medan sebagai pusat industri di Sumatera Utara semakin
menarik minat Parmalim untuk bermigrasi ke Kota Medan. Kesempatan untuk
mendapatkan pekerjaan yang lebih menjanjikan sangat terbuka di Kota Medan. Di tahun
1991 setidaknya sudah terdapat 160 orang Parmalim di Kota Medan. Parmalim
biasanya datang bersamaan dengan Parmalim yang pada waktu-waktu tertentu pulang
kampung misalnya pada saat perayaan acara, Sipaha Sada dan perayaan Sipaha Lima
yang berpusat di Desa Hutatinggi Kecamatan Laguboti. Perayaan tersebut wajib diikuti
oleh seluruh Parmalim dimanapun dia berada sebagai bentuk penghormatanya terhadap
Debata Mula Jadi Nabolon.14 Selain itu sebahagian besar juga berdasarkan jaringan
kekeluargaan yang sudah berdomisili di Medan.
Dampak dari migrasi ini mengakibatkan pertambahan populasi Parmalim dua
kali lipat yakni menjadi 75 KK dalam kurun waktu 14 tahun (2006), baik itu karena
pernikahan warga Parmalim yang besar di Kota Medan maupun yang bermigrasi dan
menetap di Kota Medan. Sehinga berdasarkan buku Bolon Parmalim punguan Medan
sampai Tahun 2006 jumlah warga Parmalim di Kota Medan sudah mencapai sekitar 301
jiwa. Data seperti ini tak dapat kita temukan dalam data resmi pemerintah seperti sensus
penduduk, karena sensus penduduk hanya mencantumkan enam agama resmi,
sedangkan Parmalim digolongkan dalam kelompok “lainnya”. Data ini pun tidak dapat
digunakan sepenuhnya karena data penganut “lainnya” ini merupakan gabungan dari
seluruh agama maupun aliran kepercayaan yang ada di kota Medan.
Konsentrasi pemukian terbesar Parmalim berada di Kecamatan Medan Denai
dengan 21 KK, Kecamatan Patumbak (Kab. Deli Serdang) yakni 16 KK kemudian
disusul Kecamatan Medan Amplas 11 KK dan sisanya di Kecamatan Tanjung Morawa
(Kab. Deli Serdang) Medan Marelan, Kecamatan Tembung (Kabupaten Deli Serdang),
Kecamatan Medan Baru dan lain-lain.15 Adapun Parmalim memilih ketiga kecamatan
tersebut sebagai tempat tinggal adalah berhubungan dengan arus kedatangan mereka
dari Toba ke Medan, di mana Amplas sebagai pintu utama kedatangan moda
transportasi ke Medan dari wilayah Timur terletak di Stasiun Amplas. Hal ini sama
kiranya dengan konsentrasi pemukiman Orang Aceh di Medan yang dominan di

14
Wawancara dengan Lisken Pakpahan, Medan, tanggal 12 Desember 2012.
15
Daftar dan jumlah penghayat Ugamo Malim tersusun oleh sekretaris di setiap punguan biasanya
di sebut Buku Bolon, Buku Bolon berisi sejumlah keterangan anggota seperti jumlah jiwa dalam satu
keluarga, tanggal lahir, pendidikan terakhir, pekerjaan, dan alamat lengkap.
wilayah Kecamatan Sunggal dimana terdapat stasiun Pinang Baris sebagai pintu masuk
kedatangan untuk wilayah Medan bagian Barat.
Berdasarkan tempat tinggalnya di kota Medan, tidak ada tempat tinggal yang di
dalamnya terdapat mayoritas penganut Ugamo Malim. Kecamatan Denai, tepatnya di
Kelurahan Binjai yang merupakan tempat berkumpul (parpunguan) awal Parmalim di
Medan, tidak semua penganut Ugamo Malim bermukim di sini melainkan secara
menyebar hampir di 21 Kecamatan di Kota Medan. Sehingga tidak satu pun
permukiman yang diidentikkan dengan penganut Ugamo Malim.
Jumlah Parmalim yang tidak banyak yakni sekitar 0,009% pada sensus
penduduk Kota Medan tahun 200016 bukanlah penghalang bagi mereka untuk menyebar
dalam menentukan tempat bermukimnya. Di tempat pemukiman tertentu yang hanya
terdapat satu dan dua keluarga Parmalim, tetap dapat melakukan aktivitas sosialnya
dengan baik terhadap penduduk di sekitar tempat tinggalnya. Keadaan penduduk di
Kota Medan sangatlah majemuk, terdapat berbagai suku bangsa seperti: Batak, Jawa,
Minang, Melayu dan suku bangsa lainnya, yang saling berinteraksi dalam kehidupan
sosial. Keadaan Parmalim dalam lingkungan yang demikian mengakibatkan mereka
tidak hanya berinteraksi dengan sesama Parmalim saja, juga harus berinteraksi dengan
masyarakat lainnya.
Dalam hal kelengkapan administrasi di kota Medan Parmalim masih tetap
mengalami suatu bentuk diskriminasi seperti dalam pengurusan dokumen Kartu Tanda
Kependudukan (KTP). Perubahan rezim pemerintah tidak membawa dampak yang
signifikan terhadap status kependudukan Parmalim di Kota Medan. Berbeda halnya
dengan Parmalim yang berada di Hutatinggi Laguboti sebagian dari mereka masih
dapat mencantumkan Ugamo Malim pada kolom agama di KTP. Agama Parmalim tidak
dicantumkan di KTP berdasarkan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2006, tidak
memberi dampak yang singnifikan terhadap status keagamaan parmalim, namun ada
sejumlah kemajuan yakni aliran kepercayaan dapat mengisi kolom agama dengan
“kepercayaaan kepada Tuhan Yang Maha Esa” atau biasanya di isi dengan kata
“kepercayaan” dimana sebelumnya hanya dikosongkan atau ditandai dengan tanda “-”.
Selain masalah kelengkapan administrasi anak-anak parmalim dikota Medan juga tidak

16
Sensus Penduduk Kota Medan Tahun 2000.
dapat mencantumkan dan mendapat ajaran agamanya di sekolah, sehingga mereka harus
memilih salah satu agama resmi sebagai pelajaran agama disekolah.
Suatu hal yang tidak dapat dipungkiri jika dibandingkan dengan suku bangsa
lainnya adalah bahwa Parmalim sebagai suku bangsa Batak Toba memiliki etos kerja
yang sangat tinggi. Hal ini mungkin disebabkan oleh adanya doktrin falsafah yang tidak
membolehkan orang Batak menjadi kuli (hatoban) tetapi tetap menjadi seseorang raja
dalam arti yang luas. Dengan semakin berkembangnya tuntutan zaman, Parmalim
menghadapinya dengan strategi pengembangan keagamaan melalui menerima
perkembangan ilmu pengetahuan ilmu pengetahuan dan teknologi demi peningkatan
kualitas sumber daya mansuia disebut dengan parbinotoan naimbaru. Hal inilah yang
menjadikan Parmalim untuk tetap mengikuti pendidikan terlihat dari semakin
banyaknya muda-mudi yang sarjana dan bahkan telah banyak menamatkan
kesarjanaannya. Berdasarkan data Buku bolon, bahwa rata-rata Parmalim yang
berkeluarga di Kota Medan dari 141 orang (terdiri dari suami-istri) terdapat 31 orang
tamatan setingkat Sarjana, 82 orang lulusan setingkat SLTA, 20 orang setingkat SLTP,
dan 20 Orang lulusan SD. Pengakuan atas pendidikan yang mereka peroleh adalah
menjadi sebuah modal bagi pemenuhan kebutuhan hidup dalam bidang ekonomi di Kota
Medan.
Dengan demikian sudah banyak penganut UgamoMalim yang bekerja pada
instansi pemerintahan yang berprofesi sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) maupun
sebagai guru dan lembaga swasta. Dalam bidang pemenuhan kebutuhan hidupnya dari
segi ekonomi adalah dengan mencantumkan salah satu agama lain yang diakui oleh
negara pada kolom agama dalam KTP. Mereka beralasan bahwa dengan demikianlah
mereka akan lebih mudah diterima dalam pekerjaan tertentu. Pemilihan salah satu
agama pada kolom agama KTP hanyalah merupakan sebatas simbol dalam pencarian
pekerjaan untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. Hal demikian tidaklah
berpengaruh bagi penganut Ugamo Malim untuk tetap menjalankan ajaran agama
hamalimon (ajaran Ugamo Malim) dalam keseharian hidupnya.

Sejarah Punguan Parasian Parmalim Kota Medan


Perkembangan migrant Parmalim yang mengalami terus mengalami peningatan
di Kota Medan, membutuhkan sebuah wadah spiritual. Seperti yang dikatakan Usman
Pelly bahwa setiap kelompok migrant yang mendiami Kota Medan membutuhkan
asosiasi-asosiasi, asosiasi ini memberikan sebuah forum untuk aspek-aspek sekular dari
identitas seperti agama dan etnik. Asosiasi memberikan suatu “jembatan kultural” bagi
perantau parmalim sebagai tempat perlindungan dari perubahan sosial politis.17
Jika kelompok agama-agama modern membutuhkan rumah ibadah seperti surau,
langgar, mesjid, gereja, untuk jadi sarana pertemuan umat dan menjalankan upacara
agama. Parmalim sebagai sebuah kepercayaan memiliki sebutan khusus untuk
penamaan tempat ibadahanya, tempat ibadah parmalim disebut jabu parsattian bagi
upacara yang dilaksanakan di dalam rumah, sedangkan rumah ibadah yang sudah berdiri
sendiri sebagai tempat ibadah disebut bale parsattian. Kepemilikan sebuah rumah
ibadah sangat menentukan status bagi suatu punguan18 dalam cabang parmalim.
Keberadaan rumah ibadah selain merupakan kebutuhan akan wadah beribadah, rumah
ibadah juga merupakan salah satu dari bukti eksistensi dan kemakmuran kelompok
masyarakat parmalim di suatu daerah.19
Punguan Parmalim Kota Medan pada mulanya dirintis oleh R.M. Naipospos,
Marnaek Butar-butar, Sabar Ninggolan, Mangandar Sinaga, Lesbar Sitorus dan Op.
Patiar Sirait pada Tahun 1963, dengan Ulu Punguan pertama yakni Marnaek Butar-
butar.20 Karena kondisi punguan yang masih kecil ibadah mingguan mararisabttu
dilakukan di rumah Op. Patiar Sirait di Jalan Menteng Raya No. 135 Kelurahan
Menteng, Medan Denai kemudian difungsikan sebagai tempat ibadah.21 Perkembangan
ruas yang terus bertumbuh mendesak diperlukannya sebuah jabu parsattian yang
mampu untuk menampung jumlah ruas. Atas dasar tersebut maka Ulu Punguan
Marnaek Butar-butar bersama ruas memindahkan jabu parsattian ke Jalan Seksama,
Gang Jaya, No. 125 , Kelurahan Binjai, Kecamatan Medan Denai pada tahun 1973.
Rumah tersebut merupakan rumah salah seorang jemaat yakni R.M Naipospos (saat ini

17
Usman Pelly, Urbanisasi dan Adaptasi : Peranan Misi Budaya Minangkabau dan Mandailing,
Jakarta: LP3ES, 1998, hal. 81.
18
Punguan adalah cabang-cabang dari pusat peribadatan Parmalim yang berada di tiap-tiap
cabang BPP Huta Tinggi, Punguan dipimpin oleh seorang pemimpin cabang yang disebut ulu punguan.
Log Cit. Ibrahim Gulton, 2010, hal. 322.
19
Log Cit. Keberadaan sebuah bangunan tempat ibadah di Kota Medan menurut Hensellgren
tidak hanya merupakan sebuah kebutuhan atau simbol agama, tapi keberadaan tempat ibadah juga
merupakan pertanda perkembangan tingkat ekonomi umatnya, membangun sebuah rumah ibadah
membutuhkan dana yang besar dimana dana tersebut berasal dari anggota. Johan Hensellgren, 2008, hal.
182.
20
Wawancara dengan Rinsan Simajuntak, Medan, tanggal5 Desember 2012.
21
Wawancara dengan Mangandar Sinaga, Medan, tanggal 31 Februari 2012.
sebagai Ihutan). Rumah ini cukup luas dengan ukuran 17 x 24 m sehingga mampu
menampung pertambahan jumlah ruas.
Melalui ritual agama mararisabtu ruas Parmalim saling memberi masukan satu-
sama lain melalui sesi marpoda, hal sangat membantu Ulu Punguan untuk mengetahui
setiap permasalahn yang ada dalam tubuh organisasi Punguan Parmalim Kota Medan.
Dalam cabang Parmalim Ulu Punguan adalah sosok figur yang tidak hanya berfungsi
sebagai pemimpin keagamaan, tapi dalam kasus Parmalim Ulu Punguan juga
merupakan seorang sosok yang berperan untuk mencari jalan keluar pada setiap
masalah yang dialami oleh ruasnya di dalam lingkungan tempat tinggal ruas
(anggota).22 Tidak hanya melalui ibadah Mingguan mararisabtu pembinaan ruas juga
dilakukan dalam bentuk marguru23.
Marguru sangat efektif untuk mengajarkan Ugamo Malim bagi ruas terutama
generasi muda. Marnaek Butar-butar membentuk cabang perkumpulan generasi muda
parmalim yakni Tunas Naimbaru Parmalim Kota Medan yang berdiri sejak 1973. Tunas
naimbaru kemudian mengambil peran yang sentral dalam pembinaan generasi muda
seperti anak-anak dan remaja dan sebagai tenaga yang membantu mempersiapkan
upacara-upacara agama baik di Punguan maupun di Bale Pasogit, Laguboti.24
Tahun 1991 kepemimpinan punguan beralih kepada Rinsan Butar-butar.
Pemilihan Rinsan Simajuntak sebagai ulu punguan dilakukan oleh Ihutan Raja
Marnakkok Naipospos. Penunjukan tersebut adalah mutlak hak seorang ulu punguan
dengan memperhatikan rekam jejak pengamalan agama seorang calon ulu punguan dan
pendapat ruas punguan Kota Medan. Rinsan Butar-butar melanjudkan karya Marnaek
Butar-butar dalam memimpin ruas Punguan Parmalim Kota Medan.
Ulu Punguan Rinsan Simanjuntak kemudian berusaha merintis pembangunan
Bale Parsattian melalui ugasan torop25. Perkembangan ekonomi dan jumlah ruas yang
cepat bertambah mendorong dibutuhkannya sebuah rumah ibadah yang mampu
menampung luapan anggota. Sehingga tahun 1994 usaha pengumpulan dana dimulai

22
Wawancara dengan Rinsan Simajuntak, Medan, tanggal 5 Desember 2012.
23
Marguru merupakan aktivitas belajar Ugamo Malim yang dikelompokkan berdasarkan usia
dimana pemimpinnya adalah orang-orang yang dianggap memiliki pemahaman tentang Ugamo Malim
yang memadai dan cakap. Aktivitas marguru biasanya dilakukan setelah Mararisabtu atau pada hari-hari
tertentu yang disepakati oleh seluruh anggota parmalim.
24
Wawancara dengan Renta Butar-butar, Medan, tanggal 13 Oktober 2012.
25
Ugasan Torop adalah lembaga sosial Parmalim yang berfungsi sebagai perbendaharaan umat
Parmalim.
untuk membangun bale parsattian, namun karena berbagai hambatan internal
pembangunan tersebut terhenti di tahun 2000, akibatnya banyak bahan bangunan yang
rusak.26 Pembangunan parsattian dimulai kembali pada tahun 2005 setelah adanya
keinginan seorang mantan anggota punguan Medan yakni Sahat Sirait membangun
parsattian tersebut. Pembangunan Bale parsattian terletak di Jalan Air Bersih Ujung
Lk. IV Kel. Binjai, Kecamatan Medan Denai.
Setelah hambatan internal selesai, maka pembangunan Bale Parsattian dimulai,
di tengah pembangunan muncul pula hambatan yang dari warga sekitar parsattian,
warga sekitar menolak keberadaan parsattian tersebut sehingga muncul ketegangan
yang berakibat dihentikannya pembangunan rumah ibadah terhitung sejak tanggal 12
Juli 2005. Pembangunan rumah yang telah selesai 70 persen dengan luas 230 M 2 gagal
di selesaikan.
Penolakan pendirian ini kemudian menjadi perhatian banyak pihak terutama
lembaga-lembaga kemasyarakatan. Sehingga konflik yang awalnya bermula dari dua
orang warga sekitar yang keberatan diselesaikan dengan kekeluargaan. 27 Namun
pembangunan Jabu Parsattian tetap tidak dapat dilanjutkan karena terhalang oleh izin
mendirikan bangunan (IMB) dari pihak pemerintahan Kota Medan. Sehingga praktis
sampai akhir penelitian ini yakni tahun 2006 Bale Parsattian yang diidamkan Punguan
Parmalim Kota Medan tidak dapat terwujud.

Hubungan Sosial Parmalim di Kota Medan


Di Kota Medan Parmalim tidak mengalamai kesulitan yang berarti bagi
keberlangsungan kehidupan sehari-hari dan keberlangsungan ibadah mereka. Meskipun
ada tensi-tensi tertentu, ini biasanya muncul dari ketidaktahuan atau kurangnya
pemahaman terhadap Ugamo Malim. Konflik semacam ini banyak terjadi antara suku
Batak yang sudah menganut agama Kristen.
Stigma Parmalim adalah suatu keyakinan yang mememuja setan (Sipelebegu)
belum hilang sepenuhnya dari mainset suku Batak di Kota Medan. 28 Kehidupan warga
Parmalim dalam interaksi sosial masyarakat sama halnya dengan masyarakat umum
atau masyarakat Batak secara khusus, yaitu wajib menjaga terjalinnya kekeluargaan

26
Wawancara Berlin Sirait, Medan, tanggal 28 Desember 2012.
27
Wawancara dengan Lambok Manurung, Medan, tanggal 23 Desember 20012.
28
Wawancara dengan Wanrik Lumban Raja, 8 Desember 2012.
sesuai aturan dan tuntutan adat Batak, berlandaskan saling menghormati dan
menyayangi sesama marga, tingkatan kedudukan dan generasi (dalihan na tolu), dalam
berkomunikasi dengan yang lain.
Bila dicermati peribadatan-peribadatan Ugamo Malim yang masih dijalankan
hingga hari ini, ada kecenderungan bahwa Ugamo Malim sebenarnya sudah berinteraksi
sejak agama ini belum dilembagakan sebagai suatu agama. Bila diperhatikan dari aspek
ajarannya, terlihat bahwa Ugamo Malim dipengaruhi oleh beberapa agama yang ada di
nusantara. Salah satunya adalah soal kepercayaan Ugamo Malim terhadap salah satu
sosok Bataraguru sebagai salah satu dewa (partohap harajaon malim). Bataraguru ini
juga dikenal dalam ajaran Hindu-Jawa, dalam Ugamo Malim Bataraguru sebagai utusan
Dabata Mulajadi Na Bolon. Sedangkan dari segi upacara agama bisa dilihat pada waktu
berdoa dilangsungkan dimana semua peserta harus merapatkan kedua telapak tangannya
persis seperti penganut agama Hindu ketika bersembayang. Selain itu kaum pria
mengenakan sorban di kepala berupa kain yang berwarna putih, juga kain sarung dan
Ulos Batak Toba (selendang Batak). Sementara perempuan memakai sarung, juga
mengonde rambutnya.29
Mengenai pengaruh Agama Islam, dapat terlihat larangan makan daging babi
yang sama dan dari segi pelaksanaan penghormatan kepada orang yang meninggal
dunia, Parmalim memandikan dan mengkafani jenasah persis seperti apa yang
dilakukan dalam ajaran agama Islam. Padahal jika dilihat dalam kebudayaan etnik Batak
tidak pernah dijumpai sebelumnya. Sedangkan dengan agama Katolik, Ugamo Malim
mempunyai persamaan dalam hal pangurason (pemberian air suci) dalam upacara
keagamaan dalam agama Katolik dikenal dengan Sakramen.30 Namun bukan berarti
dengan adanya pengaruh dari agama modern sebagai aliran kepercayaan yang telah
diakui keberadaannya penganut Ugamo Malim kemudian melebur menjadi agama lain.
Dalam pergaulan sehari-hari di Kota Medan tidak bisa dipungkiri bahwa
Parmalim lebih terbuka dan merasa aman bila bergaul dengan penganut agama Islam.31
Hal ini disebabkan adanya kesamaan khusus dengan persoalan larangan makanan darah
dan daging babi. Namun Parmalim sebagai suku Batak yang menjalankan adat Batak,
Parmalim tidak mungkin menjalankan adat Batak dengan tetangganya yang beragama

29
Ibrahim Gultom, 2010. Hal: 344.
30
Op Cit. Elvi, 2003. Hal: 52.
31
Op Cit. Ibrahim Gultom, 2010. Hal: 347.
Islam, sehingga Parmalim tetap membutuhkan suku Batak yang beragama Kristen.
Dengan demikian Parmalim dan suku Batak yang beragama Kristen di Kota Medan
umumnya memiliki interaksi yang cukup baik yang diikat oleh adat Batak.
Parmalim adalah kelompok Batak yang tidak telalu fanatik dan anti-daging babi
di luar agama Kristen, Parmalim di kampung asalnya Tapanuli terbiasa dengan hidup
ditengah-tengah orang Batak Kristen, Parmalim menghadiri upacara adat yang
dilakukan oleh Orang Batak Kristen sebaliknya Orang Batak Kristen juga berlaku
demikian. Factor ini pulalah yang membuat Parmalim tidak memiliki masalah yang
berarti untuk tetap bergaul dan menjalankan adat Batak dengan orang Batak Kristen di
Kota Medan. Selain itu biasanya baik umat Kristen dan Parmalim dalam kehidupan
sehari saling menghargai dengan saling menjaga agar tetangganya ataupun saudaranya
yang berbeda agama tidak melanggar pantanggan agamanya dengan tidak
menghidangkan makanan yang haram (marsubang) bagi warga Parmalim.
Sebahagian Parmalim di Kota Medan bergabung dalam perkumpulan marga
(punguan marga) yang pada umumnya di dominasi oleh suku Batak Kristen. Selain itu
Parmalim juga bergabung dengan Serikat Tolong Menolong (STM) di lingkungannya.
Biasanya Parmalim akan lebih memilih STM yang didirikan oleh Orang Batak Kristen,
pemilihan ini di dasarkan atas masih adanya kebiasaan yang sama dengan Parmalim,
yakni sama-sama menjalankan adat Batak.
Di awal kedatangannya sebagai proses untuk beradaptasi di Kota Medan,
Parmalim melakukan perkawinan campuran dengan etnis yang menganut agama
modern tetapi tidak sedikit yang dapat mempertahankan Ugamo Malim. Kalaupun ada
yang mengubah keyakinannya dengan memillih agama lain, mereka bukan lagi menjadi
bagian dari Parmalim walau berasal dari daerah yang sama yaitu Hutatinggi. Sebab
yang disebut dengan Parmalim adalah mereka yang menganut Ugamo Malim.32 Etnis
lain dan yang menganut agama lain dari masyarakat yang menganut Ugamo Malim
dapat disebut sebagai Parmalim, apabila sudah menganut Ugamo Malim dapat disahkan
oleh pemimpin Ugamo Malim melalui adat Batak dan upacara manganggir (pensucian
diri) terhadap orang yang atas kerelaan hati menjadi penganut Ugamo Malim yang sah.33
Bagi Parmalim pindah keyakinan bukanlah hal yang tidak diijinkan, tetapi
mereka selalu berharap kiranya naposa (muda-mudi) mereka untuk tidak meninggalkan
32
Wawancara dengan Bapak Lambok Manurung, 16 Januari 2013.
33
Log Cit. Benny Rafael Pardosi, 2010. Hal. 41.
Ugamo Malim. Dilihat dari aktivitas keagamaannya penganut Ugamo Malim tidak
mengubah apa yang telah mereka miliki dari daerah asalnya. Mereka tetap masih
berpakaian keagamaan seperti apa yang mereka lakukan di daerah asalnya dan tetap
menjalankan nilai-nilai hamalimon sesuai dengan tuntutan ajaran Ugamo Malim.
Ketekunan dan kesetiann Parmalim melakukan peribadatannya tidak
terpengaruh hal-hal yang sifatnya dapat dihindari atau ditunda. Kewajiban utamannya
adalah melaksanakan aturan Ugamo Malim. Kecuali ada hal-hal yang berasal dari luar
kemampuan dan kekuatan, seperti sakit, berada ditempat yang jauh dari temapat
peribadatan, maupun karena tugas yang tidak bisa ditinggalkan. Namun diwajibkan
untuk mengigat dan berdoa dalam hati.
Dalam ajaran Ugamo Malim ditemukan aturan yang mengikat kepada setiap
anggota-anggota, jika seorang Parmalim melakukan pelanggaran maka ia akan
dikeluarkan dari punguan dan dari kelompok kemasyarakatan. Akan tetapi sesorang
yang melanggar aturan tersebut dapat diterima kembali dalam kelompoknya, dengan
syarat yang diatur. Aturan tersebut adalah manopoti dosa untuk dosa kecil dan
marpangir untuk dosa yang besar apabila melanggar patik. Dengan melakukan syarat
tersebut artinya ia mengakui kesalahannya dan berniat untuk tidak lagi berbuat
kesalahan yang sama. Parmalim percaya, bahwa tatacara hidup telah diatur sejak
semula oleh leluhur yang di ilhami oleh Debata Mulajadi Nabolon untuk diteruskan
oleh keturunananya.
Hal lainnya yang menyebakan Parmalim tetap bertahan ditengah-tengah dan
berkembang di Kota Medan adalah karena Medan sentrum kemajuan di Sumatera Utara.
Medan menjadi salah satu kota tempat tujuan merantau Parmalim dari Tapanuli, baik
anak-anak muda yang akan melanjutkan pendidikan maupun yang mencari pekerjaan.
Di kota Medan mereka kemudian menjadi bagian dari Punguan Parmalim Kota Medan.
Menemukan wadah spiritual yang sama seperti di Kampung halaman di tengah-
tengah masayarakat yang plural menjadi sarana bagi migrant Parmalim untuk belajar
dan mempererat komunikasi sesama Parmalim di Kota Medan. Hal ini tentunya
semakin memantapkan iman para migrant first, untuk semakin memperteguh
keyakinannya. Adanya komunitas Parmalim dan suku Batak Toba yang menyebar di
Kota Medan akan sangat membantu bagi para pendatang baru tersebut untuk
beradaptasi dan mempertahankan kepercayaannya di Kota Medan.
Suku Batak Toba di Kota Medan tidak seperti suku Batak Toba Pardembanan,
Bandung, maupun Jakarta. Ketiga kelompok suku Batak Toba yang disebutkan tersebut
adalah migrant Batak Toba yang cenderung “mereduksi atau terreduksi” oleh
kebudayaan dominan setempat. Di Jakarta suku Batak lebih merasa sebagai Orang
Jakarta, para pemuda Batak Toba di Jakarta lebih suka mengunakan bahasa Indonesia
dengan aksen “Jakarta” dari pada bahasa Ibu-nya dalam kehidupan keluarga sehari-
hari.34
Suku Batak Toba di Medan merupakan kelompok migran suku Batak Toba yang
masih terus mempertahankan adat istiadatnya seperti upacara Adat perkawinan
(mamasumasu), syukuran kelahiran (magkaroan), dan upacara kematian (pasahat
tondi). Di Kota Medan nilai hidup Batak yakni Dalihan Na Tolu masih dijalankan oleh
suku Batak Toba. Nilai budaya Dalihan Na Tolu di Kota Medan diwujudkan dalam
kehidupan sehari maupun dalam perkumpulan marga. Seorang Parmalim lebih
mundah beradaptasi dengan mereka karena masih memiliki hubungan keluarga dengan
Orang Batak yang beragama modern. Toleransi juga biasanya ditunjukkan oleh keluarga
Batak yang beragama berbeda seperti Parmalim dan Kristen, karena adaptasi kedua
kelompok tersebut dipersatukan dalam upacara adat di Kota Medan.

KESIMPULAN
Parmalim adalah orang yang menuruti ajaran Ugamo Malim (ajaran Malim) atau
berkehidupan malim yang didasarkan atas pemujaan terhadap Debata Mulajadi
34
Burner dalam Togar Nainggolan mengatakan bahwa Batak Toba di Pardembanan, Bandung,
Jakarta, adalah kelompok Batak Toba yang telah berasimilasi dengan kebudayaan setempat, orang Batak
Toba dalam tiga kategori tersebut adalah Orang Batak yang setengah Batak, ada yang menjadi “seperti-
Melayu”, “seperti-Sunda” dan “orang Jakarta”. Proses asimilasi mereka dengan budaya setempat berjalan
cepat tapi dengan menanggalkan “ke-Batakannya” yang menjadi identitasnya sebagai Batak. Burner
dalam penelirtiannya yang berjudul “Batak Ethnic Association In Tree Indonesia Cities” melakukan
perbandingan tiga kelompok Batak tersebut dengan Orang Batak di Medan yang menurutnya adalah
bahwa Orang Batak Medan adalah Orang Batak Toba yang masih menjadi Orang Batak dimana Ia masih
mempertahankan identitasnya sebagai Batak yakni watak yang keras, gigih dan pemarah. Dalam Togar
Nainggolan, Batak Toba Di Jakarta: Kontinuitas Dan Perubahan Identitas, 2006, hal: 70-107.
Nabolon untuk mencapai surga (huta hangoluan). Untuk mengejar ketertinggalan
dengan orang Batak yang beragama Kristen, Parmalim mengembangkan sebuah
gerakan Manobang, yakni mencari tempat kehidupan yang baru (pargoluan naimbaru).
Gerakan manombang yang diikuti oleh perbaikan pendidikan di kalangan anak-anak
Parmalim di Tapanuli, membawa mereka untuk bermigrasi ke wilayah lain di Indonesia
salah satunya adalah Kota Medan.
Parmalim melakukan migrasi ke Kota Medan bersamaan dengan adat-istiadat,
agama dan prinsip hidup dari daerah asal sebagai ciri khas keberadaannya. Parmalim di
Kota Medan hadir dengan identitas baru suku Batak Toba, mereka hadir di Medan
dengan ciri yang baru dari suku Batak Toba yang identik dengan Kristen. Identitasnya
sebagai Parmalim yang juga kelompok suku Batak Toba dengan sejumlah nilai hidup
Ugamo Malim memudahkanya untuk bersosialisi dengan semua kelompok Islam di
Kota Medan.
Hidup dalam kelompok minoritas tentu sesuatu yang memiliki kehidupan yang
penuh tantangan. Menghadapi hidup yang penuh tantangan penganut agama Malim
dalam memperoleh hak pencatatan sipil misalnya pengurusan Akte Perkawinan dan
KTP (Kartu Tanda Penduduk) Parmalim lebih memilih untuk dikosongkan dengan
tanda “-” pada kolom agama di KTP. Dalam mencari dan untuk memperoleh pekerjaan
pada instansi pemerintahan bahkan pengurusan izin resmi Parmalim masih mendapat
bias sosial yang negatif dari masyarakat di sekitarnya. Untuk itu Parmalim cenderung
memilih dan mencantumkan agama lain sebagai formalitas, untuk menghadapi
tantangan tersebut.
Hidup dengan ketidakberdayaan dalam memperoleh pengakuan sebagai pemeluk
Ugamo Malim, Parmalim memilih untuk hidup dalam kepasrahan terhadap status
keagamaannya. Parmalim tidak memiliki misi untuk menyebarluaskan ajaran
agamanya, hanya tetap berusaha bertahan dan memegang teguh nilai-nilai adat Batak
Toba. Parmalim memiliki pengharapan dan tujuan hidup dalam kesucian (hamalimon)
dengan alasan ajaran Ugamo Malim mampu memberikan keselamatan dan kehidupan
“kekal” di habangsaan, sehingga Ugamo Malim tetap bertahan di tengah gencarnya
penyebaran ajaran-ajaran agama besar di Kota Medan.

DAFTAR PUSTAKA
Bahruddin,. “Perkembangan Medan Menuju Metropolitan; Suatu Tinjauan Sosiologis”,
dalam Jurnal Harmooni, September 2006, Vol. 1.
Bruner, Edward,. Kerabat dan Bukan Kerabat dan Pokok-Pokok Antropologi Budaya,
(Terj. T.O. Ihroni), Gramedia Jakarta, 1980.
Chatib, Nazif, Para Pendatang Di Kota-Kota Sumatera Timur, Medan: Fakultas Sastra
USU, 1955.
Gootschalk, Louis, Mengerti Sejarah (Terj. Nugroho Notosusanto). Jakarta: UI Press,
1986.
Gultom, Ibrahim,. Agama Malim di Tanah Batak. Jakarta: Bumi Aksara, 2010.
Hasselgren, Johan,. Batak Toba Di Medan: Perkembangan Identitas Etno-Religius
Batak Toba Di Medan (1912-1965), Medan: Bina Media Perintis, 2008.
Hirause, Massahi,. “The Parmalim Movement And Its Relations To Si Singa Mangaraja
XII: A Reexamination Of The Development Of Religious Movements In
Colonial Indonesia”, dalam Jurnal Antropologi Sosial Budaya ETNOVISI. Vol.1
Desember 2005.
Majalah Suluh Edisi III Tahun 2009.
Marpaung, Beny Octofryana Dkk., Fenomena Terbentuknya Kampung Kota Oleh
Masyarakat Pendatang Spontan, Medan: Suryaputra Panca Mandiri, 2009.
Nainggolan, Togar,. Batak Toba Di Jakarta: Kontinuitas Dan Perubahan Identitas,
2006.
Pelly, Usman,. Urbanisasi dan Adaptasi : Peranan Misi Budaya Minangkabau dan
Mandailing, Jakarta: LP3ES, 1998.
Purba, O.H.S Migrasi Spontan Batak Toba (Marserak); Sebab Motif Dan Akibat
Perpindahan Penduduk Dari Daratan Tinggi Toba, Medan: CV. Monora, 1997.
Pustaha Parguruon Taringot tu Ugamo Malim Cet. Ke-2, BPP Parmalim, Huta Tingggi.
2009.
Simarmata, Elvi T., Parmalim di Kecamatan Porsea (1956-1981), Skripsi Sarjana,
Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara, 2003.

Biodata Penulis

Nama : Julianto Silaen


Nim : 070706004
Alamat : Jl. Universitas No. 24 Kampus USU, Medan.
Jurusan : Ilmu Sejarah
Departemen : Ilmu Sejarah
Stambuk : 2007
No. Kontak : 083197060935
Email : juanbattck@gmail.com

Anda mungkin juga menyukai