PENDAHULUAN
tubuh inang termasuk pada ruang telinga luar. Parasit ini termasuk parasit yang
tidak menetap pada tubuh inang. Adanya sifat berpindah bukan berarti ektoparasit
ektoparasit juga memiliki spesifikasi inang, inang pilihan atau inang kesukaan
(Ristiyanti et al, 2004). Kerugian yang ditimbulkan antara lain penurunan bobot
badan, penurunan produksi, kerontokan rambut atau bulu, trauma, iritasi, anemia
seperti protozoa, bakteri, virus yang dapat ditularkan pada hewan peliharaan dan
manusia (Wall and Shearer, 2001). Salah satu vektor penyakit virus adalah Aedes
Selain itu vektor dari ektoparasit seperti nyamuk, caplak dan lalat dapat
menyebabkan parasit darah pada anjing dan ayam. Parasit darah yang biasa
Babesia canis. Parasit darah pada ayam biasa disebabkan oleh infeksi protozoa
dari Filum Apicomplexa yaitu plasmodium, Haemoproteus dan Leucocytozoon
1.2 Tujuan
Kecamatan Oebobo.
2. Mengidentifikasi ektoparasit pada anjing dan parasit darah pada anjing dan
ayam
BAB II
METODOLOGI
2.2 Materi
2.2.1 Alat
Alat yang dibutuhkan antara lain spuit atau jarum steril, tabung darah
EDTA, object glass, cover glass, cool box, mikroskop, silet, selotip bening,
2.2.2 Bahan
Bahan yang dibutuhkan antara lain larva nyamuk, darah ayam dan
anjing, kerokan kulit anjing, alkohol 70%, air, cairan pewarnaan giemsa,
- Mengambil sampel larva Aedes pada pagi dan sore hari di daerah Oebobo.
- Menaruh larva yang telah dikoleksi pada wadah berisi hati ayam yang
telah direbus.
kesimpulan.
- Menempatkan sampel pada glass object dan diteteskan larutan KOH 10%.
laboratorium.
sayap dan pada anjing pada vena saphena lalu memasukan sampel yang
tersebar merata pada ujungnya lalu membuat sudut 450 antara kaca objek
- Merendam glass object yang berisi ulasan darah ke dalam metanol selama
menit.
demodex pada anjing White (Gambar 1) dan tungau sarcoptes pada anjing Peot
(Gambar 2).
Demodex yang ditemukan berbentuk cerutu dan memiliki 4 pasang kaki dan
bagian ventral terdapat garis sesuai dengan penelitian Venna et al. (2017) bahwa
Demodex sp berbentuk sebagai buah lombok bahkan juga seperti cerutu atau wortel,
langsing, berkaki 4 yang kekar bentuknya, tiap kaki terdiri dari 3 ruas, dengan bagian
perut yang bergaris melintang mirip cincin. Tungau berukuran panjang 250-400 µ.
Gambar 1. Demodex pada perbesaran 10X (kiri) dan 40X (kanan) (Dokumentasi
pribadi)
normal, tungau demodex tidak memberikan kerugian bagi anjing, tetapi bila kondisi
kekebalan anjing menurun maka demodex akan berkembang menjadi lebih banyak
dan menimbulkan penyakit kulit. Gejala klinis yang terlihat pada anjing White sesuai
dengan pendapat Henfrey (1990), Scott et al. (2001), Triakoso (2006) dan Dunn
(2008) yaitu pada kulit terjadi alopesia, berkerak, kemerahan, disertai rasa gatal dan
sakit jika ada infeksi sekunder. Munculnya demodex biasanya pada daerah kepala,
kaki depan, hidung, ekor dan beberapa anjing ada juga yang terserang hanya di
daerah telapak kaki dan telinga saja. Pada demodekosis general, lesi terdapat hampir
di seluruh tubuh dan biasanya disertai dengan infeksi sekunder, sedangkan pada
anjing White terjadi demodekosis lokal karena hanya terdapat pada bagian punggung
dan ekstremitas.
Pada anjing peot setelah diperiksa ditemukan adanya tungau sarcoptes.
Tungau ini pada anjing menyebabkan scabies. Pada gambar 2 terlihat bahwa tungau
berbentuk oval dan gepeng, bersisik, memiliki 2 pasang kaki depan dan 2 pasang kaki
belakang. Hal ini sesuai dengan pendapat Urquhart et al. (1989) bahwa tungau S.
scabiei berwarna putih krem dan berbentuk oval yang cembung pada bagian dorsal
dan pipih pada bagian ventral, permukaan tubuhnya bersisik dan dilengkapi dengan
kutikula, serta banyak dijumpai garis-garis paralel yang berjalan transversal dan
stadium larva mempunyai tiga pasang kaki sedangkan dewasa dan nimpa mempunyai
Gambar 2. Sercoptes pada anjing perbesaran 10X dan 40X (Dokumentasi pribadi)
Gejala yang ditunjukkan oleh anjing Peot ialah mengalami penurunan berat
badan, terlihat adanya alopesia dan kerak hitam di daerah punggung, sering
menggaruk tubuhnya dan rambut terlihat kusam. Gejala klinis yang umumnya
ditimbulkan akibat infestasi S. scabiei pada hewan hampir sama, yaitu gatal-gatal,
akhirnya timbul peradangan kulit. Bentuk eritrema dan papula akan terlihat jelas pada
daerah kulit yang tidak ditumbuhi rambut. Apabila kondisi tersebut tidak diobati,
maka akan terjadi penebalan dan pelipatan kulit disertai dengan timbulnya kerak
Parasit darah yang penting pada unggas adalah anggota dari filum Apicomplexa
pemeriksaan ini parasit darah yang teridentifikasi pada sampel darah ayam joper
adalah parasit darah dari genus Leucocytozoon. Leucocytozoon sp. menyerang sel
darah putih dan merusak morfologi sel yang terinfeksi. Namun, menurut Zhao et al.
sp. pada preparat ulas darah. Gambaran darah yang terinfeksi Leucocytozoon sp.
umumnya menunjukkan gametosit dalam dua tipe yang berbeda yaitu parasit yang
tampak mengelilingi lingkaran sel darah dengan nukleus yang terdorong ke sisi
sehingga tampak terjepit dan mengecil, serta parasit dengan penampakan berbentuk
merupakan perkembangan dari parasit (Fallis dan Desser, 1977 cit. Melasari, 2015).
disebut malaria like disease (Levine, 1994). Jenis unggas yang rentan terhadap
penyakit ini ialah ayam, kalkun, angsa, itik dan burung liar. Beberapa spesies
Lalat penggigit seperti Simulium sp. dan Culicoides sp. berperan sebagai vektor
fertilisasi dan membentuk zigot (stadium seksual). Zigot segera membentuk ookinet
lalu menembus dinding usus dan terbentuk ookista yang mengandung sporozoit.
Apabila ookista pecah, maka sporozoit segera menuju kelenjar ludah. Unggas tertular
karena gigitan vektor yang dalam kelenjar ludahnya mengandung sporozoit.
Sporozoit kemudian masuk ke dalam sel endotel pembuluh darah unggas dan
jantung, paru, otot, usus, trakea, ovarium, kelenjar anak ginjal dan otak. Proses
gametosit terjadi dalam eritrosit dan apabila darah dihisap oleh vektor makan proses
selanjutnya terjadi dalam tubuh vektor dan vektor akan menularkan penyakit ke
hospes yang baru (Partoutomo dan Soetedjo, 1977 cit. Wahyuti, 2003).
perairan dan menyukai tempat perkembangbiakan berupa air jernih yang memilki
aliran deras (Hadi dan Soviana, 2010). Culicoides umumnya ditemukan di tempat-
tempat yang berada dekat sungai, selokan, parit berair yang tidak deras alirannya,
berdekatan dengan rawa, kolam, sawah dan tempat berair lainnya yang airnya tidak
atau semak-semak yang rimbun sehingga tempat menjadi gelap dan lembab
(Soekardono, 1983). Menurut Tabbu (2002), Simulium sp. biasanya berkembang biak
pada air yang mengalir dan mencari makan pada siang hari, sedangkan Culicoides sp.
berkembang biak di dalam lumpur atau kotoran ayam dan menggigit pada malam
hari.
Gambar 4. Lalat vektor leucocytozoon sp. Simulium sp. (A) dan Culicoides arakawai
(B) (Hadi, 1991 cit. Bachtiar, 2017)
perkembangan dan ketahanan hidup vektor, karena memiliki sanitasi yang baik.
Indikator penilaiannya ialah peternak yang rutin melakukan desinfeksi kandang dan
peralatan kandang sebanyak satu kali dalam sebulan, serta membersihkan alas
kandang setiap minggu. Populasi kandang yang tidak terlalu padat juga menjadikan
kandang tidak mudah kotor. Hasil penelitian Melasari (2015) melaporkan bahwa
vektor lalat Culicoides dan Simulium jarang ditemukan pada lokasi peternakan
dengan sanitasi yang baik. Namun, kondisi sekitar kandang yang dikelilingi pohon
dan kebun yang berada tidak jauh dari kandang, keberadaan tumpukan feses ayam
sebagai bahan pupuk dan tempat penampungan air di sekitar kandang dapat
Gejala yang ditunjukkan oleh ayam kasus ialah nafsu makan menurun, belum
pernah bertelur, adanya leleran dari hidung, bengkak berisi pus di sekitar mata, diare
berwarna hijau, kehilangan keseimbangan dan ngorok. Beberapa dari gejala tersebut
merupakan gejala leucocytozoonosis. Menurut Akoso (1998) cit. Melasari (2015)
gejala yang terlihat pada ayam yang terinfeksi umumnya adalah penurunan nafsu
makan, haus, depresi, bulu kusut dan pucat, kehilangan keseimbangan, lemah,
pernapasan cepat dan anemia. Leucocytozoonosis yang menyerang pada ayam yang
sedang dalam pertumbuhan pada umumnya bersifat subklinik, sedangkan pada ayam
yang sedang produksi akan menurunkan produksi telur (Tabbu, 2002). Nakamura et
pada penurunan produksi dan kualitas kerabang telur, sehingga kondisi ayam kasus
yang belum pernah bertelur dapat dikarenakan hal ini. Ayam kasus yang
lingkungan. Unggas yang dipelihara secara diumbar dengan lingkungan yang relatif
buruk cenderung lebih sering terpapar atau digigit oleh vektor penyebar protozoa
darah (Momin et al., 2014). Ayam dalam kasus ini dipelihara secara intensif. Hal
yang dapat menyebabkan ayam terinfeksi protozoa ialah karena kondisi sekitar
perkembangan dan ketahanan hidup vektor yang menularkan penyakit (Apsari et al.,
leucocytozoonosis juga meningkat saat memasuki musim peralihan, yakni dari musim
hujan ke musim kemarau atau sebaliknya. Pengambilan sampel darah ayam kasus
dilakukan pada bulan Oktober saat peralihan musim kemarau ke musim hujan.
dengan gambaran morfologi berbentuk bulat yang terletak di tengah eritrosit. Hal ini
sesuai dengan pendapat Putra et al. (2019) bahwa Anaplasma spp terlihat sebagai titik
bulat di dalam eritrosit pada hasil pemeriksaan ulas darah. Dengan pewarnaan Wright
atau Giemsa, protozoa terlihat seperti titik berwarna merah cerah atau merah tua,
dengan diameter 0,1-1,0 mikron. Anaplasma sp. telah lama digolongkan ke dalam
protozoa, tetapi saat ini secara taksonomi telah digolongkan ke dalam Rickettsia.
Anaplasma sp. adalah caplak dari famili Ixoxidae. Penularan penyakit pada anjing
dapat terjadi melalui gigitan caplak yang berpindah dari satu anjing ke anjing lainnya
(Putra et al., 2019). Hal ini sesuai dengan temuan pada anjing kasus akan keberadaan
Anjing kasus menunjukkan gejala mukosa mulut pucat, alopesia dan kurus.
Dyachenko et al. (2012) dan Sainz et al. (2015) yang antara lain demam, anoreksia,
kurus, penurunan berat badan, membran mukosa pucat, leleran pada hidung, diare,
kelemahan, konjungtivitis, batuk dan takipnea. Sainz et al. (2015) dan Putra et al.
leukopenia. Anemia pada kasus anaplasmosis juga dapat disebabkan oleh gigitan
PENUTUP
1.1 Simpulan
kulit menemukan tungau Demodex sp. dan Sarcoptes sp. Hasil pemeriksaan parasit
darah menggunakan metode apus darah memukan Anaplasma sp. pada anjing dan
1.2 Saran
Anjing yang terinfeksi Demodex sp. dan Sarcoptes sp. sebaiknya diberikan
penanganan medis dengan dibawa ke dokter hewan sehingga tidak bertambah parah.
Selain itu, perlu dilakukan pengendalian vektor untuk mencegah atau mengendalikan
penyakit yang disebabkan oleh parasit darah Anaplasma sp. pada anjing dan
Adler PH, McCreadie JW. 2019. ‘Black Flies (Simullidae)’, in Mullen G, Durden L.
Medical and Veterinary Entomology, 3rd edition. United States: Elsevier.
Alexander, J.O. 1984. Scabies: Arthropods and Human Skin. New York: Springer -
Verlag. pp. 227 - 292.
Arlian, LG. 1989. Biology, Host Relation, and Epidemiology of Sarcoptes Scabiei.
Annual Review of Entomologi. 34:139-
Bachtiar E. 2017. Pengaruh Sistem Pemeliharaan Secara Intensif dan Ekstensif
terhadap Tingkat Kejadian Penyakit Protozoa Darah pada Burung Merpati
(Columba livia) di Surabaya. [Skripsi]. Surabaya: Universitas Airlangga.
Centers for Disease Control and Prevention (CDC). 2010. Parasite-Scabies. Retrieved
May 4, 2014, from Centers for Disease Control and Prevention:
http://www.cdc.gov/parasites/scabies/biology.html. Diakses pada tanggal 5
Mei 2014. Pukul: 20.00.
Dyachenko V, Pantchev N, Balser H, Meyersen A, Straubinger RK. 2012. First case
of Anaplasma platys infection in a dog from Croatia. Parasites and Vectors,
5(49): 1-7.
Flynn, R.J. 2002. Parasites of Laboratory Animal. The Lowa State University Press.
Ames. Lowa.
Hadi UK. Soviana S. 2010. Ektoparasit: Pengenalan, Diagnosa dan
Pengendaliannya. Bogor: Laboratorium Entomologi FKH IPB.
Levine, N.D. 1990. Text Book of Veterinary Parasitology. Bursess Publishing
Company. New York. pp. 325 328.
Levine, ND. 1994. Protozoology Veteriner. Yogyakarta: Gadjah Mada University
Press.
MC CARTHY, J.S., D.J. KEMP, S.P. WALTON and B.J. CURRIE. 2004. Scabies:
More than just an irritation. Postgrad. Med. J. 80: 382 - 387.
Melasari. 2015. Deteksi dan Faktor Risiko Leucocytozoonosis pada Tingkat
Peternakan Ayam Pedaging di Kelurahan Maccope Kecamatan Awangpone
Kabupaten Bone. [Skripsi]. Makassar: Universitas Hasanuddin.
Momin MA, Begum N, Dey AR, Paran MS, Alam MZ. 2014. Prevalence of blood
protozoa in poultry in Tangail, Bangladesh. Journal of Agriculture and
Veterinary Science. 7(7): 55-60.
Nahm J & Corwin RM. 1997. Arthropoda.
http://www.missouri.edu.html/vmicroc/arthropod/ arachnids/scabies.htm [19
November 2011].
Nakamura K, Mitarai Y, Tanimura N, Hara H, Ikeda A, Shimada J et al. 1997.
Pathogenesis of reduced egg production and soft-shelled eggs in laying hens
associated with Leucocytozoon caulleryi infection. The Journal of
Parasitology, 83(2):325-327.
Putra WG, Widyastuti SK, Batan IW. 2019. Laporan kasus; Anaplasmosis dan
Ehrlichiosis pada anjing kampung di Denpasar, Bali. Indonesia Medicus
Veterinus, 8(4): 502-512.
Sainz A, Roura X, Miro G, Estrada-Pena A, Kohn B, Harrus S, et al. 2015. Guideline
for veterinary practitioners on canine ehrlichiosis and anaplasmosis in Europe.
Parasites and Vectors, 8(75): 1-20.
Setiawan Prayogi, Betta Kurniawan. 2016. Pengaruh Personal Hygiene Dalam
Pencegahan Penyakit Skabies. Vol. 5. No. 5.
Soekardono S. Culicoides (Diptera: Ceratopogonidae) di sekitar ayam dalam kandang
di Jawa Tengah. Hemera Zoa, 71(1): 39-50).
Sungkar S. 2004. Parasitologi Kedokteran. Penyakit Yang Disebabkan Artropoda.
Balai
penerbit FKUI. Jakarta.
Tabbu CR. 2002. Penyakit Ayam dan Penaggulangannya. Yogyakarta: Kanisius.
Urquhart, G.M., J.A rmaur, H. Duncan, A.M. Doon and F.W. Jenning. 1989.
Veterinary Parasitology. Long Man Scientific and Technical. New York. pp.
184 187.
Wahyuti RN. 2003. Potensi Lalat Culicoides terhadap Prevalensi Leucocytozoonosis
pada Ayam. [Tesis]. Surabaya: Universitas Airlangga.
Walton, S.F., C.H. Deborah, B.J. Currie And D.J. Kemp. 2004a. Scabies: new future
for a neglected disease. Adv. Parasitol. 57: 309 - 376.
Wiryawan W. 2001. Waspada Leucocytozoonosis pada Unggas. Infovet edisi Agustus
2001. Hal. 38-39.
Zhao W, Cai B, Qi Y, Liu S, Hong L, Lu M, et al. 2014. Multi-strain infections and
relapse of Leucocytozoon sabrarezi gametocytes in domestic chickens in
Southern China. Plos One, 9(4): 1-9.
LAMPIRAN
Kondisi kandang dan lingkungan sekitar kandang peternakan ayam kasus