Anda di halaman 1dari 24

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Ektoparasit merupakan parasit yang bermanifestasi pada permukaan luar

tubuh inang termasuk pada ruang telinga luar. Parasit ini termasuk parasit yang

tidak menetap pada tubuh inang. Adanya sifat berpindah bukan berarti ektoparasit

tidak mempunyai preferensi terhadap inang seperti parasit lainnya tetapi

ektoparasit juga memiliki spesifikasi inang, inang pilihan atau inang kesukaan

(Ristiyanti et al, 2004). Kerugian yang ditimbulkan antara lain penurunan bobot

badan, penurunan produksi, kerontokan rambut atau bulu, trauma, iritasi, anemia

sampai dengan kematian. Ektoparasit dapat berperan sebagai vektor penyakit

seperti protozoa, bakteri, virus yang dapat ditularkan pada hewan peliharaan dan

manusia (Wall and Shearer, 2001). Salah satu vektor penyakit virus adalah Aedes

Sp sehingga perlu dilakukan identifikasi pada vektor tersebut agar dapat

melakukan pencegahan sedini mungkin.

Selain itu vektor dari ektoparasit seperti nyamuk, caplak dan lalat dapat

menyebabkan parasit darah pada anjing dan ayam. Parasit darah yang biasa

ditemukan pada anjing adalah Trypanosoma rangeli, Hepatozoon canis dan

Babesia canis. Parasit darah pada ayam biasa disebabkan oleh infeksi protozoa
dari Filum Apicomplexa yaitu plasmodium, Haemoproteus dan Leucocytozoon

(Perkins dan Schall 2000).

1.2 Tujuan

1. Mengidentifikasi larva Aedes Sp dari tempat penampungan air masyarakat

Kecamatan Oebobo.

2. Mengidentifikasi ektoparasit pada anjing dan parasit darah pada anjing dan

ayam
BAB II

METODOLOGI

2.1 Waktu dan Tempat


Pengambilan sampel dilakukan pada waktu dan di beberapa lokasi yang

berbeda, sedangkan pengamatan dilakukan di Laboratorium Parasitologi Klinik

Hewan Undana dan Laboratorium Parasitologi FKH Undana.

Tabel 1. Waktu pengambilan dan pengamatan sampel


Har/ Tanggal Sampel Alamat
Senin/ 11 Oktober 2021 Larva nyamuk Oebobo
Selasa/ 12 Oktober 2021 Larva nyamuk Oebobo
Selasa/ 12 Oktober 2021 Kerokan kulit, darah anjing Lasiana dan TDM
dan darah ayam
Rabu/ 13 Oktober 2021 Larva nyamuk Oebobo
Jumat/ 15 oktober 2021 Kerokan kulit pada anjing Lasiana

2.2 Materi

2.2.1 Alat

Alat yang dibutuhkan antara lain spuit atau jarum steril, tabung darah

EDTA, object glass, cover glass, cool box, mikroskop, silet, selotip bening,

botol plastic, kandang nyamuk.

2.2.2 Bahan

Bahan yang dibutuhkan antara lain larva nyamuk, darah ayam dan

anjing, kerokan kulit anjing, alkohol 70%, air, cairan pewarnaan giemsa,

minyak emersi, larutan KOH 10%.


2.3 Metode

2.3.1 Koleksi dan Identifikasi Larva Aedes Sp.

- Mengambil sampel larva Aedes pada pagi dan sore hari di daerah Oebobo.

- Menaruh larva yang telah dikoleksi pada wadah berisi hati ayam yang

telah direbus.

- Menyimpan wadah di dalam kandang nyamuk.

- Mengamati setiap perubahan yang terjadi lalu mencatat dan menarik

kesimpulan.

- Mengidentifikasi jenis nyamuk yang dihasilkan pada mikroskop untuk

memastikan bahwa benar-benar larva dan nyamuk yang dipelihara adalah

larva dan nyamuk Aedes sp.

2.3.2 Koleksi dan Identifikasi Ektoparasit pada Anjing

a. Metode deep skin scrapping

- Melakukan deep skin scrapping dengan menngunakan silet.

- Melakukan kerokan pada kulit sampai berdarah.

- Menempatkan sampel pada glass object dan diteteskan larutan KOH 10%.

- Meratakan sampel lalu tutup dengan cover glass.

- Mengamati di bawah mikroskop dengan perbesaran 10X dan 40X.

b. Metode tape smear

- Bagian kulit yang mengalami lesi dipijat dengan jari.


- Menempelkan selotip pada kulit anjing lalu dipijat hingga lapisan kulit

tersebut menempel pada selotip.

- Menempelkan sampel tersebut pada glass object untuk dibawa ke

laboratorium.

- Melakukan pemeriksaan preparat di bawah mikroskop dengan perbesaran

10X dan 40X.

2.3.3 Identifikasi dan Koleksi Parasit Darah Ayam dan Anjing

- Melakukan koleksi sampel darah ayam melalui vena brachialis bagian

sayap dan pada anjing pada vena saphena lalu memasukan sampel yang

telah diambil ke dalam masing-masing tabung EDTA.

- Meletakkan sampel darah pada glass object.

- Meletakan glass object pendorong di atas tetesan darah hingga darah

tersebar merata pada ujungnya lalu membuat sudut 450 antara kaca objek

yang berisi tetesan darah dan kaca objek pendorong.

- Mendorong glass object hingga terbentuk apusan darah yang diinginkan

lalu mengangin-anginkan hingga kering.

- Merendam glass object yang berisi ulasan darah ke dalam metanol selama

5-10 menit kemudian melanjutkan perendaman dalam giemsa selama 30

menit.

- Memfiksasi preparat tersebut lalu mengeringkan di udara dan dilanjutkan

dengan pengamatan di bawah mikroskop.


BAB III

HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1 Gambaran Umum Hewan


Tabel 1. Gambaran umum hewan
No Sinyalemen Anamnesa
1 Nama hewan White Pernah diberikan ivermectin 2 minggu yang
Jenis hewan Anjing lalu, dipelihara disekitar pekarangan rumah
Umur 11 tahun mengalami alopesia, berkerak, kemerahan
Jenis kelamin Jantan pada ekstremitas, hiperkeratenisasi pada
Ras Peranakan lokal dan
kaki belakang sejak 2 tahun yang lalu, lesi
kate
bersifat lokal
Warna bulu Putih bercorak
coklat
Nama pemilik Nike Pandi
Alamat Lasiana

2 Nama hewan Peot Dipelihara disekitaran pekarangan rumah,


Jenis hewan Anjing belum pernah diberikan obat cacing, pernah
Umur 1 tahun mengalami diare, terjadi penurunan berat
Jenis kelamin Jantan badan sejak bulan Maret, warna rambut
Ras Lokal
kusam, rambut rontok, permukaan kulit
Warna bulu Putih dan cokelat
tidak rata karena terjadi alopecia serta
Nama pemilik Arlin Ndun
Alamat Lasian keropeng pada kulit

3 Nama hewan Dolar Ayam menunjukkan gejala sejak April


Jenis hewan Ayam berupa adanya leleran dari hidung, bengkak
Umur 8 bulan berisi pus di sekitar mata sehingga mata
Jenis kelamin Betina ayam tidak bisa terbuka, ngorok, tubuh
Ras Joper
kurus, nafsu makan menurun, diare
Warna bulu Hitam cokelat
Nama pemilik Iman berwarna hijau, belum pernah bertelur,
Alamat Lasiana kehilangan keseimbangan dimana saat
berdiri badan condong miring ke kiri.

4 Nama hewan Downi Terdapat caplak pada telinga, leher dan


Jenis hewan Anjing ekstremitas, mukosa pucat, nafsu makan
Umur 9 bulan normal, suhu normal, belum pernah
Jenis kelamin Betina diberikan penanganan medis, alopesia,
Ras Lokal kurus.
Warna bulu Putih hitam
Nama pemilik Ian
Alamat TDM

3.2 Ektoparasit pada Anjing

Pemriksaan sampel kerokan kulit pada anjing kasus menemukan tungau

demodex pada anjing White (Gambar 1) dan tungau sarcoptes pada anjing Peot

(Gambar 2).

Demodex yang ditemukan berbentuk cerutu dan memiliki 4 pasang kaki dan

bagian ventral terdapat garis sesuai dengan penelitian Venna et al. (2017) bahwa
Demodex sp berbentuk sebagai buah lombok bahkan juga seperti cerutu atau wortel,

langsing, berkaki 4 yang kekar bentuknya, tiap kaki terdiri dari 3 ruas, dengan bagian

perut yang bergaris melintang mirip cincin. Tungau berukuran panjang 250-400 µ.

Gambar 1. Demodex pada perbesaran 10X (kiri) dan 40X (kanan) (Dokumentasi
pribadi)

Tungau demodex menyebabkan penyakit demodekosis. Dalam kondisi

normal, tungau demodex tidak memberikan kerugian bagi anjing, tetapi bila kondisi

kekebalan anjing menurun maka demodex akan berkembang menjadi lebih banyak

dan menimbulkan penyakit kulit. Gejala klinis yang terlihat pada anjing White sesuai

dengan pendapat Henfrey (1990), Scott et al. (2001), Triakoso (2006) dan Dunn

(2008) yaitu pada kulit terjadi alopesia, berkerak, kemerahan, disertai rasa gatal dan

sakit jika ada infeksi sekunder. Munculnya demodex biasanya pada daerah kepala,

kaki depan, hidung, ekor dan beberapa anjing ada juga yang terserang hanya di

daerah telapak kaki dan telinga saja. Pada demodekosis general, lesi terdapat hampir

di seluruh tubuh dan biasanya disertai dengan infeksi sekunder, sedangkan pada

anjing White terjadi demodekosis lokal karena hanya terdapat pada bagian punggung

dan ekstremitas.
Pada anjing peot setelah diperiksa ditemukan adanya tungau sarcoptes.

Tungau ini pada anjing menyebabkan scabies. Pada gambar 2 terlihat bahwa tungau

berbentuk oval dan gepeng, bersisik, memiliki 2 pasang kaki depan dan 2 pasang kaki

belakang. Hal ini sesuai dengan pendapat Urquhart et al. (1989) bahwa tungau S.

scabiei berwarna putih krem dan berbentuk oval yang cembung pada bagian dorsal

dan pipih pada bagian ventral, permukaan tubuhnya bersisik dan dilengkapi dengan

kutikula, serta banyak dijumpai garis-garis paralel yang berjalan transversal dan

stadium larva mempunyai tiga pasang kaki sedangkan dewasa dan nimpa mempunyai

empat pasang kaki.

Gambar 2. Sercoptes pada anjing perbesaran 10X dan 40X (Dokumentasi pribadi)

Gejala yang ditunjukkan oleh anjing Peot ialah mengalami penurunan berat

badan, terlihat adanya alopesia dan kerak hitam di daerah punggung, sering

menggaruk tubuhnya dan rambut terlihat kusam. Gejala klinis yang umumnya

ditimbulkan akibat infestasi S. scabiei pada hewan hampir sama, yaitu gatal-gatal,

hewan menjadi tidak tenang, menggosok-gosokkan tubuhnya ke dinding kandang dan

akhirnya timbul peradangan kulit. Bentuk eritrema dan papula akan terlihat jelas pada

daerah kulit yang tidak ditumbuhi rambut. Apabila kondisi tersebut tidak diobati,
maka akan terjadi penebalan dan pelipatan kulit disertai dengan timbulnya kerak

(Walton et al., 2004).

3.3 Parasit Darah pada Anjing dan Ayam

3.3.1 Parasit Darah pada Ayam

Parasit darah yang penting pada unggas adalah anggota dari filum Apicomplexa

yaitu genus Haemoproteus, Leucocytozoon dan Plasmodium (Levine, 1994). Pada

pemeriksaan ini parasit darah yang teridentifikasi pada sampel darah ayam joper

adalah parasit darah dari genus Leucocytozoon. Leucocytozoon sp. menyerang sel

darah putih dan merusak morfologi sel yang terinfeksi. Namun, menurut Zhao et al.

(2014) Leucocytozoon sp. biasanya menginfeksi sel-sel berinti tunggal, sehingga

dapat juga menginfeksi eritrosit unggas.

Sampel yang positif ditandai dengan ditemukannya gametosit Leucocytozoon

sp. pada preparat ulas darah. Gambaran darah yang terinfeksi Leucocytozoon sp.

umumnya menunjukkan gametosit dalam dua tipe yang berbeda yaitu parasit yang

tampak mengelilingi lingkaran sel darah dengan nukleus yang terdorong ke sisi

sehingga tampak terjepit dan mengecil, serta parasit dengan penampakan berbentuk

lingkaran, oval, ataupun elips dengan sitoplasma mengalami perpanjangan yang

merupakan perkembangan dari parasit (Fallis dan Desser, 1977 cit. Melasari, 2015).

Pada pemeriksaan ini, gametosit tampak berbentuk elips dengan perpanjangan

sitoplasma yang terlihat seperti flagela.


A B
Gambar 3. Gametosit Leucocytozoon sp. pada pemeriksaan apus darah
(ADokumentasi pribadi; BAdler dan McCreadie, 2019)

Infeksi Leucocytozoon sp. menyebabkan penyakit leucocytozoonosis yang juga

disebut malaria like disease (Levine, 1994). Jenis unggas yang rentan terhadap

penyakit ini ialah ayam, kalkun, angsa, itik dan burung liar. Beberapa spesies

Leucocytozoon bersifat hospes spesifik. Menurut Tabbu (2002) spesies

Leucocytozoon yang menyerang ayam di Indonesia ialah Leucocytozoon sabrezi,

Leucocytozoon cauleryi, dan Leucocytozoon andrewsi.

Lalat penggigit seperti Simulium sp. dan Culicoides sp. berperan sebagai vektor

atau pembawa penyakit leucocytozoonosis. Di dalam tubuh lalat, parasit mengalami

fertilisasi dan membentuk zigot (stadium seksual). Zigot segera membentuk ookinet

lalu menembus dinding usus dan terbentuk ookista yang mengandung sporozoit.

Apabila ookista pecah, maka sporozoit segera menuju kelenjar ludah. Unggas tertular
karena gigitan vektor yang dalam kelenjar ludahnya mengandung sporozoit.

Sporozoit kemudian masuk ke dalam sel endotel pembuluh darah unggas dan

mengalami siklus eksoeritrositik menghasilkan skizon di berbagai ginjal, hati,

jantung, paru, otot, usus, trakea, ovarium, kelenjar anak ginjal dan otak. Proses

gametosit terjadi dalam eritrosit dan apabila darah dihisap oleh vektor makan proses

selanjutnya terjadi dalam tubuh vektor dan vektor akan menularkan penyakit ke

hospes yang baru (Partoutomo dan Soetedjo, 1977 cit. Wahyuti, 2003).

Simuliidae merupakan kelompok serangga yang tahap pradewasanya berada di

perairan dan menyukai tempat perkembangbiakan berupa air jernih yang memilki

aliran deras (Hadi dan Soviana, 2010). Culicoides umumnya ditemukan di tempat-

tempat yang berada dekat sungai, selokan, parit berair yang tidak deras alirannya,

berdekatan dengan rawa, kolam, sawah dan tempat berair lainnya yang airnya tidak

mengalir, mengalir dengan tenang atau tergenang, berdekatan dengan pohon-pohon

atau semak-semak yang rimbun sehingga tempat menjadi gelap dan lembab

(Soekardono, 1983). Menurut Tabbu (2002), Simulium sp. biasanya berkembang biak

pada air yang mengalir dan mencari makan pada siang hari, sedangkan Culicoides sp.

berkembang biak di dalam lumpur atau kotoran ayam dan menggigit pada malam

hari.
Gambar 4. Lalat vektor leucocytozoon sp. Simulium sp. (A) dan Culicoides arakawai
(B) (Hadi, 1991 cit. Bachtiar, 2017)

Keberadaan kedua vektor tersebut belum sempat diidentifikasi di kandang

lokasi pengambilan sampel. Kondisi dalam kandang sendiri kurang mendukung

perkembangan dan ketahanan hidup vektor, karena memiliki sanitasi yang baik.

Indikator penilaiannya ialah peternak yang rutin melakukan desinfeksi kandang dan

peralatan kandang sebanyak satu kali dalam sebulan, serta membersihkan alas

kandang setiap minggu. Populasi kandang yang tidak terlalu padat juga menjadikan

kandang tidak mudah kotor. Hasil penelitian Melasari (2015) melaporkan bahwa

vektor lalat Culicoides dan Simulium jarang ditemukan pada lokasi peternakan

dengan sanitasi yang baik. Namun, kondisi sekitar kandang yang dikelilingi pohon

dan kebun yang berada tidak jauh dari kandang, keberadaan tumpukan feses ayam

sebagai bahan pupuk dan tempat penampungan air di sekitar kandang dapat

mendukung perkembangbiakan vektor, khusususnya culicoides.

Gejala yang ditunjukkan oleh ayam kasus ialah nafsu makan menurun, belum

pernah bertelur, adanya leleran dari hidung, bengkak berisi pus di sekitar mata, diare

berwarna hijau, kehilangan keseimbangan dan ngorok. Beberapa dari gejala tersebut
merupakan gejala leucocytozoonosis. Menurut Akoso (1998) cit. Melasari (2015)

gejala yang terlihat pada ayam yang terinfeksi umumnya adalah penurunan nafsu

makan, haus, depresi, bulu kusut dan pucat, kehilangan keseimbangan, lemah,

pernapasan cepat dan anemia. Leucocytozoonosis yang menyerang pada ayam yang

sedang dalam pertumbuhan pada umumnya bersifat subklinik, sedangkan pada ayam

yang sedang produksi akan menurunkan produksi telur (Tabbu, 2002). Nakamura et

al. (1997) dalam penelitiannya menemukan bahwa infeksi Leucocytozoon akan

menyebabkan terbentuknya skizon pada ovarium dan oviduk sehingga berpengaruh

pada penurunan produksi dan kualitas kerabang telur, sehingga kondisi ayam kasus

yang belum pernah bertelur dapat dikarenakan hal ini. Ayam kasus yang

menunjukkan gejala kehilangan keseimbangan dan diare kehiajuan dapat disebabkan

oleh terbentuknya skizon dalam usus dan otak.

Infeksi Leucocytozoon sp. dipengaruhi oleh pola pemeliharaan dan kondisi

lingkungan. Unggas yang dipelihara secara diumbar dengan lingkungan yang relatif

buruk cenderung lebih sering terpapar atau digigit oleh vektor penyebar protozoa

darah (Momin et al., 2014). Ayam dalam kasus ini dipelihara secara intensif. Hal

yang dapat menyebabkan ayam terinfeksi protozoa ialah karena kondisi sekitar

kandang yang mendukung perkembangbiakan vektor, sehingga vektor dapat terbang

menuju ke dalam kandang dan menyebarkan protozoa melalui gigitan.

Faktor musim juga mempengaruhi infeksi Leucocytozoon sp., dimana kejadian

penyakit umumnya meningkat secara signifikan pada musim hujan dibandingkan


musim kemarau karena merupakan kondisi lingkungan yang optimum bagi

perkembangan dan ketahanan hidup vektor yang menularkan penyakit (Apsari et al.,

1999). Namun, menurut Wiryawan (2001) dan Tabbu (2002), kejadian

leucocytozoonosis juga meningkat saat memasuki musim peralihan, yakni dari musim

hujan ke musim kemarau atau sebaliknya. Pengambilan sampel darah ayam kasus

dilakukan pada bulan Oktober saat peralihan musim kemarau ke musim hujan.

3.3.2 Parasit Darah pada Anjing

Hasil pemeriksaan ulas darah anjing Downi menemukan Anaplasma sp

dengan gambaran morfologi berbentuk bulat yang terletak di tengah eritrosit. Hal ini

sesuai dengan pendapat Putra et al. (2019) bahwa Anaplasma spp terlihat sebagai titik

bulat di dalam eritrosit pada hasil pemeriksaan ulas darah. Dengan pewarnaan Wright

atau Giemsa, protozoa terlihat seperti titik berwarna merah cerah atau merah tua,

dengan diameter 0,1-1,0 mikron. Anaplasma sp. telah lama digolongkan ke dalam

protozoa, tetapi saat ini secara taksonomi telah digolongkan ke dalam Rickettsia.

Anaplasmosis pada anjing disebabkan oleh A. phagocytophilum atau A. platys

(Erawan et al., 2018).


A

Gambar 4. Anaplasma sp. pada pemeriksaan apus darah anjing (ADokumentasi


pribadi; BPutra et al., 2019)

Anaplasma merupakan penyebab penyakit anaplasmosis. Vektor dari

Anaplasma sp. adalah caplak dari famili Ixoxidae. Penularan penyakit pada anjing
dapat terjadi melalui gigitan caplak yang berpindah dari satu anjing ke anjing lainnya

(Putra et al., 2019). Hal ini sesuai dengan temuan pada anjing kasus akan keberadaan

caplak pada telinga, leher dan ekstremitas.

Anjing kasus menunjukkan gejala mukosa mulut pucat, alopesia dan kurus.

Beberapa gejala tersebut merupakan gejala anaplasmosis pada anjing menurut

Dyachenko et al. (2012) dan Sainz et al. (2015) yang antara lain demam, anoreksia,

kurus, penurunan berat badan, membran mukosa pucat, leleran pada hidung, diare,

kelemahan, konjungtivitis, batuk dan takipnea. Sainz et al. (2015) dan Putra et al.

(2019) melaporkan Anaplasma sp. dapat menyebabkan anemia, trombositopenia dan

leukopenia. Anemia pada kasus anaplasmosis juga dapat disebabkan oleh gigitan

caplak yang menghisap darah sebagai sumber makanannya.


BAB IV

PENUTUP

1.1 Simpulan

Hasil pemeriksaan ektoparasit pada anjing menggunakan metode kerokan

kulit menemukan tungau Demodex sp. dan Sarcoptes sp. Hasil pemeriksaan parasit

darah menggunakan metode apus darah memukan Anaplasma sp. pada anjing dan

Leucocytozoon sp. pada ayam.

1.2 Saran

Anjing yang terinfeksi Demodex sp. dan Sarcoptes sp. sebaiknya diberikan

penanganan medis dengan dibawa ke dokter hewan sehingga tidak bertambah parah.

Selain itu, perlu dilakukan pengendalian vektor untuk mencegah atau mengendalikan

penyakit yang disebabkan oleh parasit darah Anaplasma sp. pada anjing dan

Leucocytozoon sp pada ayam. Sanitasi kandang perlu dijaga untuk mengurangi

perkembangbiakan vektor Leucocytozoon sp. di peternakan ayam.


DAFTAR PUSTAKA

Adler PH, McCreadie JW. 2019. ‘Black Flies (Simullidae)’, in Mullen G, Durden L.
Medical and Veterinary Entomology, 3rd edition. United States: Elsevier.
Alexander, J.O. 1984. Scabies: Arthropods and Human Skin. New York: Springer -
Verlag. pp. 227 - 292.
Arlian, LG. 1989. Biology, Host Relation, and Epidemiology of Sarcoptes Scabiei.
Annual Review of Entomologi. 34:139-
Bachtiar E. 2017. Pengaruh Sistem Pemeliharaan Secara Intensif dan Ekstensif
terhadap Tingkat Kejadian Penyakit Protozoa Darah pada Burung Merpati
(Columba livia) di Surabaya. [Skripsi]. Surabaya: Universitas Airlangga.
Centers for Disease Control and Prevention (CDC). 2010. Parasite-Scabies. Retrieved
May 4, 2014, from Centers for Disease Control and Prevention:
http://www.cdc.gov/parasites/scabies/biology.html. Diakses pada tanggal 5
Mei 2014. Pukul: 20.00.
Dyachenko V, Pantchev N, Balser H, Meyersen A, Straubinger RK. 2012. First case
of Anaplasma platys infection in a dog from Croatia. Parasites and Vectors,
5(49): 1-7.
Flynn, R.J. 2002. Parasites of Laboratory Animal. The Lowa State University Press.
Ames. Lowa.
Hadi UK. Soviana S. 2010. Ektoparasit: Pengenalan, Diagnosa dan
Pengendaliannya. Bogor: Laboratorium Entomologi FKH IPB.
Levine, N.D. 1990. Text Book of Veterinary Parasitology. Bursess Publishing
Company. New York. pp. 325 328.
Levine, ND. 1994. Protozoology Veteriner. Yogyakarta: Gadjah Mada University
Press.
MC CARTHY, J.S., D.J. KEMP, S.P. WALTON and B.J. CURRIE. 2004. Scabies:
More than just an irritation. Postgrad. Med. J. 80: 382 - 387.
Melasari. 2015. Deteksi dan Faktor Risiko Leucocytozoonosis pada Tingkat
Peternakan Ayam Pedaging di Kelurahan Maccope Kecamatan Awangpone
Kabupaten Bone. [Skripsi]. Makassar: Universitas Hasanuddin.
Momin MA, Begum N, Dey AR, Paran MS, Alam MZ. 2014. Prevalence of blood
protozoa in poultry in Tangail, Bangladesh. Journal of Agriculture and
Veterinary Science. 7(7): 55-60.
Nahm J & Corwin RM. 1997. Arthropoda.
http://www.missouri.edu.html/vmicroc/arthropod/ arachnids/scabies.htm [19
November 2011].
Nakamura K, Mitarai Y, Tanimura N, Hara H, Ikeda A, Shimada J et al. 1997.
Pathogenesis of reduced egg production and soft-shelled eggs in laying hens
associated with Leucocytozoon caulleryi infection. The Journal of
Parasitology, 83(2):325-327.
Putra WG, Widyastuti SK, Batan IW. 2019. Laporan kasus; Anaplasmosis dan
Ehrlichiosis pada anjing kampung di Denpasar, Bali. Indonesia Medicus
Veterinus, 8(4): 502-512.
Sainz A, Roura X, Miro G, Estrada-Pena A, Kohn B, Harrus S, et al. 2015. Guideline
for veterinary practitioners on canine ehrlichiosis and anaplasmosis in Europe.
Parasites and Vectors, 8(75): 1-20.
Setiawan Prayogi, Betta Kurniawan. 2016. Pengaruh Personal Hygiene Dalam
Pencegahan Penyakit Skabies. Vol. 5. No. 5.
Soekardono S. Culicoides (Diptera: Ceratopogonidae) di sekitar ayam dalam kandang
di Jawa Tengah. Hemera Zoa, 71(1): 39-50).
Sungkar S. 2004. Parasitologi Kedokteran. Penyakit Yang Disebabkan Artropoda.
Balai
penerbit FKUI. Jakarta.
Tabbu CR. 2002. Penyakit Ayam dan Penaggulangannya. Yogyakarta: Kanisius.
Urquhart, G.M., J.A rmaur, H. Duncan, A.M. Doon and F.W. Jenning. 1989.
Veterinary Parasitology. Long Man Scientific and Technical. New York. pp.
184 187.
Wahyuti RN. 2003. Potensi Lalat Culicoides terhadap Prevalensi Leucocytozoonosis
pada Ayam. [Tesis]. Surabaya: Universitas Airlangga.
Walton, S.F., C.H. Deborah, B.J. Currie And D.J. Kemp. 2004a. Scabies: new future
for a neglected disease. Adv. Parasitol. 57: 309 - 376.
Wiryawan W. 2001. Waspada Leucocytozoonosis pada Unggas. Infovet edisi Agustus
2001. Hal. 38-39.
Zhao W, Cai B, Qi Y, Liu S, Hong L, Lu M, et al. 2014. Multi-strain infections and
relapse of Leucocytozoon sabrarezi gametocytes in domestic chickens in
Southern China. Plos One, 9(4): 1-9.
LAMPIRAN
Kondisi kandang dan lingkungan sekitar kandang peternakan ayam kasus

Anda mungkin juga menyukai