Anda di halaman 1dari 11

CRITICAL JURNAL REVIEW (CJR)

Sejarah Tata Rias

“ Simbol Dan Makna Tata Rias Pengantin Bugis Makassar Dan


Model Pengembangan Tortor Dalam Upacara Pernikahan Adat

Batak Toba Di Jakarta “

Disusun Oleh :

Nama : Novia Oktavia Sihotang

NIM : 521144015

Kelas : Pend. Tata Rias Reg A

Dosen Pengampu : Almaida Vebibina,S.Pd.,M.Pd

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN TATA RIAS

FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS NEGERI MEDAN

TAHUN 2021

i
BAB I

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur saya ucapkan kepada Tuhan yang Maha Esa karena atas
berkat dan karunia-Nya saya dapat menyelesaikan tugas Critical Jurnal Review ini,
dalam mata kuliah Sejarah Tata Rias. Saya berterima kasih kepada semua yang
membantu saya dalam menyelesaikan tugas ini, terutama kepada Dosen pengampu
mata kuliah ini yaitu Almaida Vebibina,S.Pd.,M.Pd yang sudah membimbing
saya.

Saya berharap tugas Critical Jurnal Review ini dapat berguna bagi para
pembaca dan dapat menambah wawasan dan pengetahuan penulis. Saya
menyadari bahwa dalam tugas ini masih banyak kekurangan dan kesalahan oleh
karena itu saya mohon maaf dan mengharapkan kritik dan saran yang membangun
guna memperbaiki makalah saya selanjutnya. Saya mengucapkan terima kasih.

Medan, Oktober 2021

Novi Oktavia Sihotang

ii
BAB II
RINGKASAN ISI JURNAL

2.1 Identitas Jurnal I


Judul : Simbol Dan Makna Tata Rias Pengantin Bugis
Makassar
Jurnal : Jurnal Seni Budaya “Pakarena”
Unduh :-
Volume dan Halaman : Vol. 1 No. 1 2016. ( 1-17 )
ISSN :-
Tahun : 2016
Penulis : Sumiani
Pengulas :-
Tanggal :-

2.1 Identitas Jurnal II


Judul : Model Pengembangan Tortor Dalam Upacara
Pernikahan Adat Batak Toba Di Jakarta
Jurnal : Provided By Repository Universitas Negeri Jakarta
Unduh :(http://www.kompasiana.com/ebenezersiadari/sapa-
suru-orang-batak-
datangjakarta_55009c08a333115c735114d3).
Halaman : ( 1- 72 )
ISSN :-
Tahun : 2015
Penulis : CLARA RAYI SEKAR ARUM
Pengulas :-
Tanggal : Jakarta, 7 Oktober 2015

iii
2.3 Ringkasan Jurnal I
Pengaruh perkembangan kosmetika terhadap dunia tata rias pengantin
orang Bugis, cukup signifikan. Hal ini disebabkan, calon pengantin khususnya
pengantin wanita akan menjadi ‘ratu sehari’ yang harus tampil semaksimal
mungkin sehingga diperlukan tatarias yang dapat merubahnya menjadi sangat
cantik, anggun serta mempesona (makerra). Orang Bugis mengistilahi peristiwa
semacam ini sebagai mappaccappu bello. Penggunaan atau pemilihan jenis
kosmetika yang bagus dan berkualitaspun akhirnya dilakukan agar bisa
menghasilkan riasan yang berkualitas pula.

Perkembangan bahan dan alat kosmetika modern yang mempengaruhi tata


rias Bugis, sudah barang tentu berdampak pula pada cara penerapan serta variasi
desain dan warnanya. Misalnya saja, dengan adanya jenis kosmetika dekoratif eye
shadow yang berfungsi sebagai pembentuk bayangan mata agar mata lebih
memiliki kesan kedalaman atau tidak flat. Selain eye shadow adapula alat rias
yang sangat penting dalam riasan mata yaitu eye liner yang berfungsi sebagai
pembentuk garis mata dan yang umum dipakai warna hitam. Eye liner juga
bermacam-macam jenis bentuknya, ada yang berbentuk powder, cream, cair dan
pensil.

Perona pipi atau blusher yang berfungsi untuk mempercerah wajah agar
tidak nampak pucat, tidak dikenal dalam bahan dan alat rias tradisional. Hal itu
karena orang dahulu percaya bahwa meronakan wajah dapat dilakukan dari dalam,
yaitu dengan minum jamu serta bacaan mantera-mantera. Perona pipi biasanya
berwarna kemerahmerahan sehingga sering disebut dengan pemerah pipi.
Pemilihan warna perona pipi harus disesuaikan dengan warna lipstick atau perona
bibir.

Merias atau mempercantik diri adalah kegiatan rutin yang dilakukan


wanita Bugis pada umumnya. Namun berias untuk keperluan yang berkaitan
dengan peristiwa adat, prosesnya harus memenuhi syarat-syarat tertentu yang
berlaku dalam tradisi orang Bugis. Syarat-syarat dan aturan yang meliputi tahap-
tahap atau tertib kerja, waktu pelaksanaan, orang yang melakukan rias ( indo
botting ), dan sesajian. Ritual dalam tatarias dilaksanakan dan ditaati tentu untuk
suatu harapan akan hasil bukan hanya secara fisik tetapi juga secara spiritual.
Ritual atau perlakuan khusus yang dilakukan orang Bugis dalam rangka
mempercantik diri, biasanya dilakukan pada waktu atau peristiwa yang sangat
special yaitu pada acara pernikahan bagi mempelai wanita.

Ada kepercayaan yang diyakini bahwa ritual sebelum dan selama proses
mempercantik atau merias pada pengantin wanita, akan mempengaruhi hasil dari
riasannya. Kecantikan yang terpancar tidak hanya kecantikan fisik semata, tetapi
aura inner-beauty juga akan terpancar maksimal. Bagian tatarias yang sangat

iv
penting bagi pernikahan adalah bagian wajah dan rambut, karena bagian inilah
fokus pandangan pertama orang akan arahkan. Oleh sebab itu pula tidaklah
mengherankan bila seorang juru rias pengantin (indo botting) demi menghasilkan
riasan bagi mempelai wanita agar nampak bercahaya dan mempesona (makerra),
menggunakanmantera-mantera (cenning rara).

2.4. Ringkasa Jurnal II

Dalam upacara-upacara yang ada di adat batak, dasar unsurunsur


Dalihan Natolu yaitu hula-hula, dongan sebutuha dan anak
boru memegang peranan penting. Segala pelaksanaan upacara adat
harus lebih dahulu dimusyawarahkan oleh unsur-unsur Dalihan
Natolu baru upacara tersebut syah menurut adat Batak. Menurut
Bambang Suwondo dalam buku Adat dan Upacara Perkawinan

Daerah Sumatra Utara (1977/1978) Dalam pelaksanaannya, upacara


Pernikahan ini terbagi dalam beberapa tahap, yaitu marsibuha-buhai
(makanan pendahuluan), masilehonan bunga (saling memberi
bunga), manjalo pasu-pasu parbagason (pemberkatan pernikahan),
acara mangan di alama, pasahat dengke parboru, pappungu tumpak
paranak, membagi perjambaran, masisisean di alaman,
mangalehon ulos parboru, mangolopi raja huta, dan acara penutup
dari Gereja.

a. marsibuha – buhai
Marsibuha-buhai adalah pembukan acara pamasu-masuin
(pemberkataan) dan acara ulaon sadari. Di mana pagi hari
sebelum dimulai pemberkatan/ catatan sipil/ pesta adat, acara
dimulai dengan penjemputan mempelai wanita di rumah disertai
11
dengan makan pagi bersama dan berdoa untuk kelangsungan pesta
perkawinan.

b. masilehonan bunga (saling memberi bunga)


Selesai makan sibuha-buhai pengantin laki-laki dan pengantin
perempuan saling memberi bunga yang didampingi oleh
pandingani (yang menemani) dari pengantin laki-laki dan
pengantin perempuan. Biasanya pengantin laki-laki akan
memberikan bunga terlebih dahulu kemudian pengantin perempuan
akan meletakan di kantong jas laki-laki.

c. manjalo pasu-pasu parbagason (pemberkatan pernikahan)


Pada tahap ini tata cara kegiatan diserahkan menurut aturan Gereja, baik
Gereja Kristen Protestan ataupun Katolik. Yang terpenting adalalah sebelum
pemberkatan kedua pihak dapat memngungkapkan Janji suci pernikahan untuk
selalu mengasihi dan mmencintai satu sama lain dengan tulus dan ikhlas. Setelah

v
pengungkapan janji tersebut maka Pendeta atau Pastur dapat memberikan berkat
kepada kedua pengantin.

d. Acara Mangan di alaman ( makan dihalaman)


Kembali dari gereja, diadakan makan-makan kembali. Dalam acara makan
ini pihak parboru dan paranak mempunyai tempat tersendiri. Pihak paranak
bersama undangannya pada satUkelompok dan paranak dengan temu
undangannya pada kelompok lain.

e. Pasathon Dengke Parboru


Setelah makan-makan dimulai, maka pihak orang tua pengantin
perempuan beserta keluarga terdekat menyampaikan dengke (ikan) kepada pihak
paranak. Dengke atau ikan sebagian diberikan kepada pengantin dan keluarga
terdekat paranak.

f. Manjalo tumpak paranak (menerima sumbangan paranak)


Sehabis makan bersama protokol dari pihak paranak memanggil semua
undangan paranak, karena pihak paranak akan mengadakan acara papungu
tumpak (mengumpul sumbangan). Semua undangan yang menyampaikan tumpak
(sumbangan), meletakan sumbangannya pada sebuah baskombesar yang terletak
di dekat pengantin dan pihak paranak.

g. Membagi Parjambaran (membagi perjambaran)


Pihak paranak dan parboru membagi-bagi jambar yang sebelumnya
dilakukan musyawarah terlebih dahulu. Berikut namanama bagian tersebut:
namaringi perhambirang, namaringi parhambirang, namaringi parsiamun,
osang, panamboli, sombasomba, ihur-ihur, soit, aliang-aliang. Pembagian jambar
ini
didasarkan pada tempat siapa yan berpesta.

h. Masisisean di alaman ( Membicarakan mas kawin yang tinggal)


Pada acara ini merupakan pembicaraan mengenai mas kawin yang tinggal
dalam hal ini pihak paranak dan parboru masingmasing mempunyai raja parhata
(protokol). Parhata inilah yang bertanya jawab, tetapi bila ada hal-hal yang sulit
baru ditanyakan kepada pihak paranak dan pihak parboru. Inti pembicaraan ialah,
pihak paranak menyampaikan jambar uang kepada pihak parboru.

i. Mangalehon Ulos Parboru


Pihak parboru pun mempunyai kewajiban memberikan ulos dan ulos-ulos
(berupa uang) kepada pihak paranak. Setelah ulos disediakan parboru, maka
parhata pihak paranak menyebut satu persatu siapa yang akan diulosi, yang telah
ditentukan urutannya.

j. Mangolophon Raja Huta dan acara penutup


Selesai mangulosi parboru dan paranak memberi upa domudomu
(uang jasa perantara) kepada orang yang berjasa
mempertemukan kedua pengantin. Sebagai penutup, hadirin
mengucapkan horas sebanyak tiga kali maka selesailah pesta

vi
unjuk.

BAB III
PEMBAHASAN

A. KELEBIHAN BUKU I DAN BUKU II

 Kedua Jurnal memiliki cover yang menarik bagi pembaca.


 Kedua jurnal memiliki bahasa yang mudah dimengerti oleh pembaca.
 Kedua jural memiliki penempatan tanda baca yang baik dan benar.

B. KEKURANGAN BUKU I DAN BUKU II


 Jurnal I tidak menyertai pengulasnya.
 Jurnal I tidak menyertai ISSN.
 Jurnal I tidak memiliki tanda tangan penulis.
 Jurnal II tidak memiliki pengulasnya.

 Jurnal II tidak memiliki tanda tangan penulis


 Jurnal II tidak menyertai ISSN

vii
BAB IV
IMPLIKASI

Penelitian partisipatip ini bersifat deskriptif kualitatif empirik, dan


menggunakan metode grounded research. Metode ilmiah yang ditempuh adalah
historis, komparatif, dan holistik. Data diperoleh melalui : obersevasi partisipasi
aktif, wawancara, dan filednote. Analisa data menggunakan deskriptip
interprestatif cultural dan bekerja secara induktif.

Deskriptif empirik dimaksudkan ialah berusaha mencatat, melukiskan,


menguraikan, melaporkan dan mempelajari tentang keberagaman buah pikiran
sikap tindak dan perilaku orang Bugis dalam kenyataan yang implisit
diketemukan dari pengalaman dan kenyataan di lapangan. Artinya yang berlaku
sesungguhnya dalam kehidupan masyarakat Bugis sehari-hari, dengan menitik-
beratkan perhatian terhadap kasus-kasus kejadian tertentu.

Saat di lapangan, peneliti berusaha memahami perilaku yang telah berpola


dalam kelompok masyarakat tertentu, melalui pengamatan intensif di lapangan,
bukan berdasarkan dari pengkajian pustaka. Namun, kajian pustaka amat penting,
terutama dalam mempertajam konsep-konsep, dan sebagai ilmu perbandingan.
Data-data dasar yang diperoleh di lapangan melalui : ucapan, event, pernyataan,
percakapan, ungkapan, pendapat, jawaban, dan juga mimik. Peneliti tidak
langsung percaya pada data awal dengan hanya melihat atau mendengar baru
sekali saja, sehingga peneliti melakukan wawancara ulang yang intensif, atau
observasi dan partisipasi.

Basis penelitian ini adalah kualitatif data lapangan. Melalui pendekatan


etnometodologi, yang melihat data sebagai model of yakni penyimpulan fenomena
budaya lebih ke arah induktif. Kesimpulan induktif artinya cara menyimpulkan
fenemoena untuk menyusun konsep tertentu dengan bertolak dari pendapat-
pendapat yang ada di lapangan. Oleh sebab itu, penelitian ini lebih
mengedepankan data responden, bukan apa yang diduga peneliti.

Data yang digunakan, memang tidak terbatas pada wawancara dan


pengamatan, melainkan menggunakan bahan dokumen atau referensi yang
relevan. Hal ini dilakukan agar ada efesiensi kerja penelitian. Selain catatan
lapangan, terkumpul pula dokumentasi foto-foto, discografi audio, dan discografi
audio-visual berdurasi lebih dari 350 jam. Data lapangan sebanyak itu, kemudian
dianalisis melalui perbandingan baik interaction maupun interelation sehingga
diperoleh konsep.

viii
Obyek penelitian ini adalah para Perias Pengantin (Indok Botting) yang
mempunyai pengalaman trans. Mereka diwawancarai untuk memperoleh
informasi tentang pengalaman-pengalaman saat merias pengantin. Melalui
wawancara para Perias Pengantin itu diharapkan dapat memberikan pandangan-
pandangan dan pendapatpendapat mereka tentang fesyen. Dalam wawancara ini
dilihat segi-segi orsinil pandangan Perias Pengantin terhadap fesyen Bugis
tradisional yang mereka alami sehingga diharapkan dapat dilihat secara jelas
konsep fesyen yang khas menurut mereka.

Dalam penelitian ini meliputi sumber data lisan dan sumber data tertulis.
Data lisan diperoleh dari pelaku seni, salah satunya adalah Ida Pangaribuan
untuk mendapaptkan data berupa bagaimana penyajian tor-tor dalam upacara
pernikahan adat Batak Toba tersebut. Selain itu, peneliti juga memiliki data
dari aktivis Batak Toba yang ada di Jakarta serta pemusik yang berperan
sebagai pengiring tari tersebut. Wujud satuan lingual yang menjadi objek
penelitian ini adalah leksikon, frase, kalimat dan wacana. Informan yang menjadi
subjek dalam penelitian ini adalah para pelaku adat Batak tersebut yang memiliki
pengetahuan mendalam mengenai tradisi yang mereka lakukan, Spradley
(2007:68).

Mengidentifikasikan lima persyaratan minimal 49 untuk memilih informan


dengan baik, yaitu bahwa informan yang baik adalah informan yang terenkulturasi
penuh dengan kebudayaannya; terlibat secara langsung dalam peristiwa
kebudayaan yang diteliti; mengetahui secara detail mengenai suasana kebudayaan
yang tidak dikenal etnografer; mempunyai cukup waktu untuk berpartisipasi
dalam penelitian; dan informan yang selalu menggunakan bahasa mereka untuk
menggambarkan berbagai kejadian dan tindakan dengan cara yang hampir tanpa
analisis mengenai arti atau signifikansi dari kejadian dan tindakan itu.

ix
BAB V

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Dari uraian dan penjelasan hasil penelitian tentang tatarias tradisional Bugis, dapat
disimpulkan sebagai berikut: 1) Kriteria cantik dan indah bagi orang Bugis memiliki pengertian
luas. Kecantikan secara lahirah bagi kaum wanita, kriteria orang Bugis adalah kulit yang cerah
bersih dan sorot mata yang diibaratkan sebagai intan jamrud atau ungkapan-ungkapan lainnya.
Sorot mata sangat dipengaruhi oleh sifat atau suasana hati empunya, karena itu kecantikan juga
dipancarkan oleh inner beauty yang bersumber dari hati dan sifat kaum wanita. 2) Klafikasi rias
dan busana orang Bugis ditentukan atau disesuaikan dengan fungsinya. Secara garis besar dapat
dibedakan dalam dua jenis yaitu rias sehari-hari dan rias khusus. Dalam klasifikasi rias khusus
termasuk di dalamnya rias pengantin, dalam rias pengantin terdapat aturan-aturan adat yang
harus dipatuhi secara tradisi. Aturan-aturan yang menjaga estetika Bugis yang senantiasa terkait
dengan makna
simbol dan nilai-nilai kearifan lokal.

Tarian dalam adat Batak Toba yang biasa disebut denga Tortor pada awalnya berfungsi
sebagai sebagai tari upacara atau ritual. Upacara-upacara dalam adat Batak seperti, upacara
kematian, panen, penyembuhan orang sakit, pesta muda-mudi, dan lain-lain. Semua tortor Batak
harus memiliki proses ritual, karena tortor Batak lebih merupakan ungkapan doa (wawancara 16
juni). Pesan ritual itu ada 3 hal utama yaitu, takut dan taat kepada Tuhan. Sebelum tari dimulai
harus ada musik persembahan kepada Yang Maha
Kuasa.

B. SARAN

Saya sebagai penulis menyadari jika makalah ini banyak sekali memiliki kekurangan
yang jauh dari kata sempurna.
Tentunya, penulis akan terus memperbaiki makalah dengan mengacu kepada sumber yang busa
dipertanggungjawabkan nantinya.
Oleh sebab itu, penulis sangat mengharapkan adanya kritik serta saran mengenai pembahasan
makalah di atas.

10
DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Hamid, Manusia Bugis Makassar, Suatu Tinjauan Historis Terhadap Pola
Tingkah Laku dan Pandangan Hidup Manusia Bugis Makassar, Jakarta: Idayu
Press, 1985
Hamidin, Aep. 2012. Buku Pintar Adat Perkawinan Nusantara. Jogjakarta: DIVA
press.

11

Anda mungkin juga menyukai