8-Ilmu Al-Ma'ani - Klasifikasi Al-Qashr
8-Ilmu Al-Ma'ani - Klasifikasi Al-Qashr
Tabel 1
Klasifikasi Al-Qashr dari Aspek Tharfain
Perlu dipahami bahwa yang dimaksud dengan shifat di sini adalah shifat ma’nawi, tidak terbatas
pada na’at, mencakup kedudukan, keadaan dan lain sebagainya selain maushûf (objek yang disifati).
Dengan perincian sebagai berikut:
1 Penulis buku-buku kajian balaghah al-Qur’an & hadits nabawi, dosen bahasa arab, pengajar ilmu balaghah.
Dalam ayat yang agung ini, Allah mengkhususkan sifat sebagai al-Ilâh, Dzat yang disembah (al-
maqshûr) kepada al-maushûf, Allah semata (al-maqshûr ‘alayhi). Yakni tidak ada dzat yang berhak disembah
kecuali Allah semata (lâ ma’bûd bi haqq[in] illallâh). Begitu pula dalam firman-Nya:
َ ك ِم َن الْ َغاو
ين
َ َََ َ َ
عب ات ن م ال إ انطَ ْك َعلَيْه ْم ُسل
َ َ َ َْ
ل س ي ل ي د
ِ اَإ َن عب
ِ ِ
ِ ِ ِ ِ
“Sesungguhnya hamba-hamba-Ku tidak ada kekuasaan bagimu terhadap mereka, kecuali orang-orang yang
mengikuti kamu, yaitu orang-orang yang sesat..” (QS. Al-Hijr [15]: 40)
Ayat di atas jelas mengandung qashr (pengkhususan), dengan keberadaan huruf laysa diikuti illâ
(istitsnâ’)2, menunjukkan bahwa Allah mengkhususkan shifat, penguasaan syaithan golongan jin (al-
maqshûr), semata-mata kepada maushûf, orang yang mengikuti jalan syaithan saja dari mereka yang tersesat
dari jalan kebenaran (al-maqshûr ’alayhi).
Sama seperti ungkapan:
Dalam ungkapan ini, penutur mengkhususkan shifat keberhasilan (al-najah) dalam ujian (al-
maqshûr) kepada maushûf yakni Zayd semata (al-maqshûr ’alayhi), menunjukkan bahwa orang yang berhasil
dalam ujian hanyalah Zayd. Begitu pula dalam ungkapan:
Dalam ungkapan ini, penutur mengkhususkan shifat (kedudukan) ahli ijtihad (al-maqshûr) kepada
maushûf yakni Muhammad bin Idris al-Syafi’i (al-maqshûr ’alayhi).
2 Abu Ja’far al-Nahhas al-Nahwi, I’râb al-Qur’ân, juz II, hlm. 240.
ون َُُْ َ َْ ْ َ َ ْ ُ َْ َ ََ
ِ وما خلقت ال ِجن والإِنس إِلا ِليعبد
“Dan tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia melainkan untuk beribadah kepada-Ku.” (QS. Al-
Dzâriyât [51]: 56)
Dalam ayat ini, Allah mengkhususkan maushûf, penciptaan jin dan manusia (al-maqshûr) pada shifat
tujuan untuk beribadah kepada-Nya semata (al-maqshûr ’alayhi), yakni tidak ada tujuan lain melainkan
untuk beribadah kepada Allah semata.
Dalam hadits ini, Rasulullah ﷺmengkhususkan al-maushûf, yakni lafal al-Imâm (al-maqshûr) kepada
sifat junnat[un] (al-maqshûr ‘alayhi), mengandung penekanan pada urgensi kedudukan al-Imâm, yang
semakna dengan al-Khalîfah (mutarâdif). Sama seperti ungkapan:
Dalam ungkapan ini, penuturnya mengkhususkan al-maushûf, yakni Syauqi (al-maqshûr) kepada
sifat, yakni kedudukan sebagai seorang penyair semata (al-maqshûr ’alayhi).
3 HR. Al-Bukhari dalam Shahîh-nya (no. 2797); Muslim dalam Shahîh-nya (no. 1841); Ahmad dalam Musnad-nya (no. 10787),
Yakni jenis qashr (pengkhususan) yang bersifat hakiki, tidak nisbi (relatif), dipahami dari qarînah
(petunjuk) terkait, dengan kata lain secara mutlak mengkhususkan objek yang dikhususkan (al-maqshûr)
kepada hal lain yang menjadi al-maqshûr ‘alayhi itu sendiri, sekaligus menafikan selainnya, misalnya:
ً َ َ ْ َ َ َُ َْ َْ َ َ ََ
}٥٤١{ الل ِكتَابًا ُمؤ َجلا
ِ وما كان ِلنف ٍس أن تموت ِإلا بِ ِإذ ِن
“Sesuatu yang bernyawa tidak akan mati melainkan dengan izin Allah, sebagai ketetapan yang telah
ditentukan waktunya…” (QS. Âli ‘Imrân [3]: 145)
Begitu pula jenis qashr di balik kalimat ini:
Dalam ayat yang agung ini, Allah mengkhususkan sifat ilâhiyyah di balik lafal Ilâh, Dzat yang
disembah (al-maqshûr) kepada al-maushûf, Allah semata (al-maqshûr ‘alayhi). Yakni tidak ada dzat yang berhak
disembah kecuali Allah semata (lâ ma’bûd bi haqq[in] illallâh), dimana qashr dalam prinsip tauhid ini
merupakan qashr haqîqî, bukan idhâfî.
Yakni jenis al-qashr, pengkhususan, yang bersifat hakiki, tidak nisbi (relatif), dipahami dari qarînah
terkait, yakni jenis qashr (pengkhususan) yang sifatnya nisbi (relatif), tidak hakiki, yakni tidak secara mutlak
mengandung pengkhususan. Misalnya:
ُ ُ َْ ْ َ َ َْ َ َ َو َما ُم
}٥٤٤{ الر ُسل ح َمد ِإلا َر ُسول قد خلت ِم ْن قب ِل ِه
“Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang rasul, sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa orang
rasul…” (QS. Âli ‘Imrân [3]: 144)
Dalam ungkapan ini, penutur mengkhususkan shifat, yakni profesi sebagai penyair (al-maqshûr)
kepada maushûf, yakni Zuhair (al-maqshûr ‘alayhi). Hal ini bukan berarti mengkhususkan secara hakiki
profesi penyair hanya disandang oleh Zuhair semata, lalu menafikan selainnya, jelasnya tidak demikian,
namun bisa jadi diungkapkan untuk menonjolkan keunggulan sya’ir yang digubah oleh Zuhair.