Anda di halaman 1dari 5

ILMU AL-MA’ÂNÎ:

KLASIFIKASI AL-QASHR (‫)أقسام القصر‬

Oleh: Irfan Abu Naveed1

A. Klasifikasi Al-Qashr dari Aspek Tharfain (‫)أقسام القصر من حيث الطرفني‬


Dari segi posisi al-tharfain (dua sisi) antara al-maqshûr dan al-maqshûr ’alayhi, maka al-qashr terbagi
kepada dua jenis:

Pertama, Qashr Shifat ’Alâ Maushûf (‫)قصر صفة على موصوف‬

Kedua, Qashr Maushûf ’Alâ Shifat (‫)قصر موصوف على صفة‬

Tabel 1
Klasifikasi Al-Qashr dari Aspek Tharfain

No Jenis al-Qashr Definisi Contoh


Definisi: Allah berfirman:
‫أَنْ تُح َبسَ الصفةُ على موصوفاا‬ ُ َ ‫اعلَ ْم َأنَ ُه لَا إلَ َٰ َه إلَا‬
‫الل‬
ْ َ
‫ف‬
Qashr Shifat ’Alâ ِ ِ
1 Maushûf ‫وتُختص به‬ “Maka ketahuilah bahwa sesungguhnya
(‫)قصر صفة على موصوف‬ “Pengkhususan sifat kepada objek Dia, tiada sesembahan selain Allah.”
yang disifatinya, dan dikhususkan (QS. Muhammad [47]: 19)
padanya.”
Definisi:
Rasulullah ‫ﷺ‬:
‫أَنْ يُح َبسَ املوصوف على صفته‬ َ ُ َ ََ
Qashr Maushûf ’Alâ »‫ام ُجنة‬‫الإم‬
ِ ‫« ِإنما‬
2 Shifat ‫ويُختص باا‬
(‫)قصر موصوف على صفة‬ “Sesungguhnya al-Imâm (al-Khalîfah)
“Pengkhususan objek yang disifati
semata-mata adalah junnah (perisai).”
kepada sifatnya, dan dikhususkan (HR. Al-Bukhari, Muslim, Ahmad)
padanya.”

Perlu dipahami bahwa yang dimaksud dengan shifat di sini adalah shifat ma’nawi, tidak terbatas
pada na’at, mencakup kedudukan, keadaan dan lain sebagainya selain maushûf (objek yang disifati).
Dengan perincian sebagai berikut:

1. Qashr Shifat ’Alâ Maushûf (‫)قصر صفة على موصوف‬


Yakni mengkhususkan suatu sifat (shifat) kepada objek yang disifatinya, misalnya kalimat:

ُ‫َال إلهَ إالَّ اهلل‬


“Tiada Ilah selain Allah”

1 Penulis buku-buku kajian balaghah al-Qur’an & hadits nabawi, dosen bahasa arab, pengajar ilmu balaghah.

Ilmu al-Ma’ânî Pasal Al-Ithnâb :: Irfan Abu Naveed :: 1 |


Sebagaimana disebutkan dalam ayat:
ُ َ ‫اعلَ ْم َأنَ ُه لَا إلَ َٰ َه إلَا‬
‫الل‬
ْ َ
‫ف‬
ِ ِ
“Maka ketahuilah bahwa sesungguhnya Dia, tiada sesembahan selain Allah.” (QS. Muhammad [47]: 19)

Dalam ayat yang agung ini, Allah mengkhususkan sifat sebagai al-Ilâh, Dzat yang disembah (al-
maqshûr) kepada al-maushûf, Allah semata (al-maqshûr ‘alayhi). Yakni tidak ada dzat yang berhak disembah
kecuali Allah semata (lâ ma’bûd bi haqq[in] illallâh). Begitu pula dalam firman-Nya:
َ ‫ك ِم َن الْ َغاو‬
‫ين‬
َ َََ َ َ
‫ع‬‫ب‬ ‫ات‬ ‫ن‬ ‫م‬ ‫ا‬‫ل‬ ‫إ‬ ‫ان‬‫ط‬َ ْ‫ك َعلَيْه ْم ُسل‬
َ َ َ َْ
‫ل‬ ‫س‬ ‫ي‬ ‫ل‬ ‫ي‬ ‫د‬
ِ ‫ا‬َ‫إ َن عب‬
ِ ِ
ِ ِ ِ ِ
“Sesungguhnya hamba-hamba-Ku tidak ada kekuasaan bagimu terhadap mereka, kecuali orang-orang yang
mengikuti kamu, yaitu orang-orang yang sesat..” (QS. Al-Hijr [15]: 40)

Ayat di atas jelas mengandung qashr (pengkhususan), dengan keberadaan huruf laysa diikuti illâ
(istitsnâ’)2, menunjukkan bahwa Allah mengkhususkan shifat, penguasaan syaithan golongan jin (al-
maqshûr), semata-mata kepada maushûf, orang yang mengikuti jalan syaithan saja dari mereka yang tersesat
dari jalan kebenaran (al-maqshûr ’alayhi).
Sama seperti ungkapan:

ٌ‫إنَّمَا النَّاجِحُ زيد‬


“Sesungguhnya orang yang berhasil (dalam ujian) ini hanyalah Zayd.”

Dalam ungkapan ini, penutur mengkhususkan shifat keberhasilan (al-najah) dalam ujian (al-
maqshûr) kepada maushûf yakni Zayd semata (al-maqshûr ’alayhi), menunjukkan bahwa orang yang berhasil
dalam ujian hanyalah Zayd. Begitu pula dalam ungkapan:

‫إنَّمَا اجملتاد حممد بن إدريس الشافعي‬

“Sesungguhnya mujtahid itu hanyalah Muhammad bin Idris al-Syafi’i.”

Dalam ungkapan ini, penutur mengkhususkan shifat (kedudukan) ahli ijtihad (al-maqshûr) kepada
maushûf yakni Muhammad bin Idris al-Syafi’i (al-maqshûr ’alayhi).

2. Qashr Maushûf ’Alâ Shifat (‫)قصر موصوف على صفة‬


Yakni mengkhususkan suatu objek yang disifati (maushûf) kepada sifatnya (shifat), misalnya dalam
firman Allah:
ُ َ َ ُ ُ َْ َ َْ َ ْ ُ َْ َْ َ ُ َ َْْ َ ُ ْ َْ َ ُ ْ َ ْ َ َ ُ َ َ َ َ َُ َ
َ ‫جس م ْن َع‬
‫وه ل َعلك ْم‬‫ان فاجتنِب‬
ِ ‫ط‬‫ي‬‫الش‬ ‫ل‬
ِ ‫م‬ ِ ‫يا أيها ال ِذين آمنوا ِإنما الخمر والمي ِسر والأنصاب والأزلام ِر‬
َ ُ ُْ
}٠٩{ ‫حون‬ ‫تف ِل‬
“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala,
mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan
itu agar kamu mendapat keberuntungan.” (QS. Al-Ma’idah [5]: 90)

2 Abu Ja’far al-Nahhas al-Nahwi, I’râb al-Qur’ân, juz II, hlm. 240.

Ilmu al-Ma’ânî Pasal Al-Ithnâb :: Irfan Abu Naveed :: 2 |


Dalam ayat ini, Allah mengkhususkan al-maushûf, yakni al-khamr (khamr), al-maysir, al-anshâb dan
al-azlâm (al-maqshûr ‘alayhi) kepada shifat, min ‘amal al-syaithân, yakni perbuatan syaithan (al-maqshûr ‘alayhi).
Begitu pula dalam ayat ini:

‫ون‬ َُُْ َ َْ ْ َ َ ْ ُ َْ َ ََ
ِ ‫وما خلقت ال ِجن والإِنس إِلا ِليعبد‬
“Dan tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia melainkan untuk beribadah kepada-Ku.” (QS. Al-
Dzâriyât [51]: 56)
Dalam ayat ini, Allah mengkhususkan maushûf, penciptaan jin dan manusia (al-maqshûr) pada shifat
tujuan untuk beribadah kepada-Nya semata (al-maqshûr ’alayhi), yakni tidak ada tujuan lain melainkan
untuk beribadah kepada Allah semata.

Dalam ayat lainnya, Allah berfirman:


َ َ‫َو َما أَ ْر َسلْن‬
َ‫اك إلَا َر ْح َم ًة لِلْ َعالَمين‬
ِ ِ
“Dan tiadalah Kami mengutus engkau (Muhammad) melainkan sebagai rahmat bagi semesta alam.” (QS.
Al-Anbiyâ’ [21]: 107)
Dalam ayat ini, Allah mengkhususkan maushûf, pengutusan Nabi Muhammad ‫( ﷺ‬al-maqshûr)
kepada shifat, rahmat bagi alam semesta (al-maqshûr ’alayhi), tidak selainnya. Dimana petunjuk ini,
membantah stigma negatif kepada apa yang diajarkan baginda Rasulullah ‫ﷺ‬, mencakup ajarannya terkait
jihad, al-siyâsah dan al-khilâfah.

Begitu pula dalam hadits Rasulullah ‫ﷺ‬:


َ ُ َ ََ
»‫ام ُجنة‬‫الإم‬
ِ ‫« ِإنما‬
“Sesungguhnya al-Imâm (al-Khalîfah) semata-mata adalah junnah (perisai)” (HR. Al-Bukhari, Muslim,
Ahmad)3

Dalam hadits ini, Rasulullah ‫ ﷺ‬mengkhususkan al-maushûf, yakni lafal al-Imâm (al-maqshûr) kepada
sifat junnat[un] (al-maqshûr ‘alayhi), mengandung penekanan pada urgensi kedudukan al-Imâm, yang
semakna dengan al-Khalîfah (mutarâdif). Sama seperti ungkapan:

ٌ‫مَا شَوقِي إالَّ شَاعِر‬


“Tidaklah Syauqi itu melainkan seorang penyair semata.”

Dalam ungkapan ini, penuturnya mengkhususkan al-maushûf, yakni Syauqi (al-maqshûr) kepada
sifat, yakni kedudukan sebagai seorang penyair semata (al-maqshûr ’alayhi).

3 HR. Al-Bukhari dalam Shahîh-nya (no. 2797); Muslim dalam Shahîh-nya (no. 1841); Ahmad dalam Musnad-nya (no. 10787),

Syaikh Syu’aib al-Arna’uth mengomentari: “Shahih dan ini sanadnya kuat.”

Ilmu al-Ma’ânî Pasal Al-Ithnâb :: Irfan Abu Naveed :: 3 |


B. Klasifikasi Al-Qashr dari Aspek Hakikat & Realitanya (‫)أقسام القصر من احلقيقة والواقع‬
Dari segi hakikat dan realitanya, maka al-qashr terbagi kepada dua jenis:

Pertama, Al-Qashr al-Haqîqî (‫)القصر احلقيقي‬

Kedua, Al-Qashr al-Idhâfî (‫)القصر اإلضايف‬

Dengan perincian sebagai berikut:

1. Al-Qashr Al-Haqîqî (‫)القصر احلقيقي‬

Yakni jenis qashr (pengkhususan) yang bersifat hakiki, tidak nisbi (relatif), dipahami dari qarînah
(petunjuk) terkait, dengan kata lain secara mutlak mengkhususkan objek yang dikhususkan (al-maqshûr)
kepada hal lain yang menjadi al-maqshûr ‘alayhi itu sendiri, sekaligus menafikan selainnya, misalnya:
ً َ َ ْ َ َ َُ َْ َْ َ َ ََ
}٥٤١{ ‫الل ِكتَابًا ُمؤ َجلا‬
ِ ‫وما كان ِلنف ٍس أن تموت ِإلا بِ ِإذ ِن‬
“Sesuatu yang bernyawa tidak akan mati melainkan dengan izin Allah, sebagai ketetapan yang telah
ditentukan waktunya…” (QS. Âli ‘Imrân [3]: 145)
Begitu pula jenis qashr di balik kalimat ini:

ُ‫َال إلهَ إالَّ اهلل‬


“Tiada Ilah selain Allah”
Sebagaimana disebutkan dalam ayat:
ُ َ ‫اعلَ ْم َأنَ ُه لَا إلَ َٰ َه إلَا‬
‫الل‬
ْ َ
‫ف‬
ِ ِ
“Maka ketahuilah bahwa sesungguhnya Dia, tiada sesembahan selain Allah.” (QS. Muhammad [47]: 19)

Dalam ayat yang agung ini, Allah mengkhususkan sifat ilâhiyyah di balik lafal Ilâh, Dzat yang
disembah (al-maqshûr) kepada al-maushûf, Allah semata (al-maqshûr ‘alayhi). Yakni tidak ada dzat yang berhak
disembah kecuali Allah semata (lâ ma’bûd bi haqq[in] illallâh), dimana qashr dalam prinsip tauhid ini
merupakan qashr haqîqî, bukan idhâfî.

2. Al-Qashr Al-Idhâfî (‫)القصر اإلضايف‬

Yakni jenis al-qashr, pengkhususan, yang bersifat hakiki, tidak nisbi (relatif), dipahami dari qarînah
terkait, yakni jenis qashr (pengkhususan) yang sifatnya nisbi (relatif), tidak hakiki, yakni tidak secara mutlak
mengandung pengkhususan. Misalnya:
ُ ُ َْ ْ َ َ َْ َ َ ‫َو َما ُم‬
}٥٤٤{ ‫الر ُسل‬ ‫ح َمد ِإلا َر ُسول قد خلت ِم ْن قب ِل ِه‬
“Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang rasul, sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa orang
rasul…” (QS. Âli ‘Imrân [3]: 144)

Ilmu al-Ma’ânî Pasal Al-Ithnâb :: Irfan Abu Naveed :: 4 |


Dalam ayat ini, Allah mengkhususkan maushûf, yakni Muhammad ‫ ﷺ‬kepada shifat, yakni
kedudukan sebagai seorang rasul, utusan Allah, sebagaimana telah berlalu masa sebelumnya para rasul
yang diutus kemudian wafat, demikian pula halnya dengan Rasulullah Muhammad ‫ﷺ‬. Namun
berdasarkan indikasi-indikasi yang ada (al-qarâ’in), Nabi Muhammad ‫ ﷺ‬pun berkedudukan sebagai Kepala
Negara, Kepala Keluarga, dan lainnya. Itu semua menunjukkan bahwa qashr dalam ayat ini merupakan
qashr idhâfî, bukan haqîqî.
Begitu pula dalam perkataan:

ٌ‫إنَّمَا الشَّاعِ ُر ُزهَيْر‬


“Sesungguhnya penyair itu hanyalah Zuhair”

Dalam ungkapan ini, penutur mengkhususkan shifat, yakni profesi sebagai penyair (al-maqshûr)
kepada maushûf, yakni Zuhair (al-maqshûr ‘alayhi). Hal ini bukan berarti mengkhususkan secara hakiki
profesi penyair hanya disandang oleh Zuhair semata, lalu menafikan selainnya, jelasnya tidak demikian,
namun bisa jadi diungkapkan untuk menonjolkan keunggulan sya’ir yang digubah oleh Zuhair.

Ilmu al-Ma’ânî Pasal Al-Ithnâb :: Irfan Abu Naveed :: 5 |

Anda mungkin juga menyukai