Disusun oleh :
DOSEN PEMBIMBING
JURUSAN TEKNIK
FAKULTAS TEKNIK SIPIL DAN PERENCANAAN
INSTITUT TEKNOLOGI ADHI TAMA SURABAYA
2020
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang selalu melimpahkan
rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas Desain
Bangunan Baja ini dengan lancar. Penulisan ini ditujukan untuk memenuhi
tugas besar pada mata kuliah Desain Bangunan Baja dengan dosen pengampu
oleh Bapak Kurnia Hadi Putra, S.Pd., MT. Penulis menyadari karya tulis ini
tidak akan selesai tanpa bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu pada
kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada
1. Bapak Kurnia Hadi Putra, S.Pd., MT. selaku dosen mata kuliah
Desain Bangunan Baja.
2. Orang Tua penulis yang selalu memeberikan perhatian, motivasi
dan bimbingan moral kepada penulis
3. Teman-teman Teknik Sipil 2018 atas sharing ilmu yang sering
dilakukan Penulis menyadari karya tulis ini tidak luput dari bebagai
kekurangan, untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang
membangun untuk kesempurnaan dan perbaikan perencanaan
selanjutnya.
Hormat kami,
Penulis
II
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI..........................................................................................III
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ................................................................................1
1.2 Tujuan...............................................................................................1
BAB 4 KESIMPULAN.........................................................................70
DAFTAR PUSTAKA............................................................................71
III
BAB 1
PENDAHULUAN
1.2 Tujuan
1
BAB 2
KAJIAN PUSTAKA
2
b) Intermediet Moment Frames
Jenis rangka ini mirip SMF, yaitu mampu berperilaku inelastis tetapi
terbatas. Cocok dipakai untuk sistem struktur dengan gempa yang relatif
sedang, misal bangunan bertingkat rendah.
3
b) Buckling Restrained Braced Frames (BRBF)
BRBF sejenis Concentrically Braced Frames tetapi bracing-nya berupa
elemen khusus, yang mampu berperilaku inelastis baik terhadap tarik maupun
tekan. Untuk mengantisipasi tekuk maka elemen khusus tersebut terdiri dari
batang terbungkus suatu elemen penutup yang mencegah terjadinya tekuk,
sehingga ketika ada gaya tekan cenderung mengalami leleh saja.
4
2.2. Konsep Pembebanan
Dalam menjalankan fungsinya, setiap struktur akan menerima pengaruh
dari luar yang perlu dipikul. Selain pengaruh dari luar, sistem struktur yang
terbuat dari material bermassa, juga akan memikul beratnya sendiri akibat
pengaruh gravitasi. Berikut merupakan gambaran pembebanan yang dikenakan
pada konstruksi gedung bertingkat berdasarkan peraturan terkait :
5
4) Dinding ½ bata = 250 kg/m²
5) Lantai keramik = 24 kg/m²
6) Plafond = 18 kg/m²
6
Tabel 2.1 Koefisien tekanan internal
Klasifikasi Ketertutupan (GCp)
2.2.4.Kombinasi Pembebanan
Berdasarkan peraturan yang berlaku pada SNI 1727-2013 tentang Beban
minimum untuk perancangan bangunan gedung dan struktur lain, digunakan
kombinasi dasar pembebanan metode desain kekuatan sebagai berikut :
a)1.4D
b)1.2D + 1.6L + 0.5(Lr atau R)
c)1.2D ± 1.6(Lr atau R) + (L atau 0.5W)
d)1.2D ± 1.0W + L + 0.5(Lr atau R)
e)1.2D ± 1.0E + L
f)0.9D ± 1.0W
g)0.9D ± 1.0E
Keterangan :
D = beban mati
E = beban gempa
7
L = beban hidup
Lr = beban hidup atap
R = beban hujan
W = beban angin
2.4.Perencanaan Struktur
2.4.1.Metode LRFD (Load Resistance Factor Design)
LRFD adalah metode perencanaan struktur baja yang mendasarkan
perencanaan dengan membandingkan kekuatan struktur yang telah diberi suatu
faktor resistensi (φ) terhadap kombinasi beban terfaktor yang direncanakan
bekerja pada struktur tersebut (∑γi Qἱ).
a) Kondisi Batas
Kondisi batas menunjukkan kemampuan batas struktur agar bisa digunakan.
Kriteria perencanaan memastikan bahwa kondisi batas harus kecil
kemungkinan terlampaui, caranya dengan memilih kombinasi gaya, faktor
tahanan dan nilai ketahanan yang tidak mungkin terlampaui berdasarkan
kriteria perencanaan yang ada. Ada dua jenis kondisi batas yang diterapkan
pada struktur, yaitu :
1) Kondisi batas kekuatan (ultimate strength), yang menetapkan besarnya
keamanan terhadap kondisi beban ekstrim selama masa pakai struktur.
2) Kondisi batas layan yang menetapkan batasan-batasan agar struktur dapat
berfungsi sesuai yang direncanakan.
Fokus perencanaan struktur LRFD adalah kondisi batas kekuatan (limit
states of strength) yang menjamin keselamatan publik (manusia dan barang
miliknya). Untuk menerapkan kondisi batas pada perencanaan struktur,
terdapat ketentuan LRFD yang pada dasarnya terdiri dari parameter-parameter
berikut.
∑γi Qἱ ≤ φRn.........................................................................................(2.10)
Dimana :
∑ = adalah penjumlahan
ἱ = menunjukkan berbagai kondisi yang ditinjau
Qἱ = pengaruh beban nominal
γi = faktor beban terkait beban Qἱ yang ditinjau
γiQἱ = kuat perlu, dari kondisi batas yang paling ekstrim
Rn = kuat nominal, kekuatan elemen yang dihasilkan
Φ = faktor tahanan sesuai jenis struktur yang ditinjau
ΦRn = kuat rencana, kekuatan struktur yang direncanakan
8
b) Ketentuan LRFD –SNI 03-1729-2015 (Mengacu pada AISC 2010)
Perencanaan LRFD dianggap memenuhi syarat jika kuat perlu, Ru lebih
kecil dari kuat rencana, φ Ru dengan φ adalah faktor tahanan yang nilainya
bervariasi tergantung perilaku aksi komponen yang ditinjau. Konsep dasar
ketentuan LRFD adalah :
Ru ≤ φ Ru ..................................................................................................(2.11)
Kuat perlu, Ru adalah nilai maksimum dari berbagai kombinasi beban terfaktor
yang dicari dengan bantuan analisis struktur. Untuk mencari kuat perlu, Ru
untuk tiap-tiap elemen struktur, maka diperlukan analisa struktur secara
menyeluruh (global). Faktor kombinasi beban disiapkan untuk analisis struktur
cara elastis. Jika alat analisis struktur dilengkapi opsi memperhitungkan efek
P-∆ (nonlinier geometri), maka ketentuan analisis stabilitas struktur selain
memakai Effective Length Method (ELM) juga dapat memakai Direct Analysis
Method (DAM). Hasil analisis struktur secara menyeluruh (global) untuk Ru
selanjutnya digunakan untuk mengevaluasi elemen-per-elemen dan
dibandingkan dengan kuat rencana, φ Ru yang ditinjau per-elemen juga, sesuai
dengan gaya internal yang terjadi. Tinjauan per-elemen diperlukan karena
karakter untuk setiap aksi dan perilaku keruntuhannya bisa berbeda-beda.
9
2.4.2. Perancangan Stabilitas –SNI 03-1729-2015
Perancangan stabilitas struktur adalah kombinasi analisis untuk
menentukan kuat perlu penampang dan mendesain agar punya kekuatan dan
kekakuan yang mencukupi. Cara untuk menghitung stabilitas struktur dibagi
menjadi 3, yaitu :
1. Metode analisis langsung (direct analysis method)
2. Metode panjang efektif (effective length method)
3. Metode analisis orde pertama
Cara Direct Analysis Method (DAM) dibuat untuk mengatasi
keterbatasan Effective Length Method (ELM) yang merupakan strategi
penyederhanaan analisis cara manual. Pada cara DAM, pengaruh orde ke-2
(P-Δ & P-δ) perlu diperhitungkan dalam mencari gaya-gaya internal batang.
P-Δ adalah pengaruh pembebanan akibat terjadinya perpindahan titik-titik
nodal elemen,sedangkan P-δ adalah pengaruh pembebanan akibat deformasi di
elemen.
Perhitungan stabilitas struktur modern didasarkan anggapan bahwa
perhitungan gaya-gaya batang diperoleh dari analisa elastis orde-2, yang
memenuhi kondisi keseimbangan setelah pembebanan, yaitu setelah deformasi.
Ketidaksempurnaan atau cacat dari elemen struktur seperti ketidaklurusan
batang akibat proses fabrikasi atau konsekuensi adanya toleransi pelaksanaan
lapangan, akan menghasilkan apa yang disebut efek destabilizing.
Adanya cacat bawaan yang mengakibatkan efek destabilizing dalam
Direct Analysis Method (DAM) dapat diselesaikan dengan dua cara, yaitu (1)
cara pemodelan langsung cacat pada geometri model yang dianalisis, atau (2)
memberikan beban notional(beban lateral ekivalen).
Efek ketidaksempurnaan awal pada stabilitas struktur diperhitungkan
melalui pemberian beban imajinatif (notional load) sebagai representasi dari
ketidaksempurnaan tersebut. Distribusi beban disalurkan sebagai beban lateral
pada 19 semua tingkat, sebagai tambahan dari beban lateral yang ada dan
ditambahkan pada semua kombinasi pembebanan. Beban notional harus
digunakan pada arah yang memberi efek destabilisasi terbesar. Besarnya beban
notional dapat dihitung sebagai berikut.
Ni = 0,002 Yi..............................................................................................(2.12)
Dimana :
Ni = beban notional di level i
Yi = beban gravitasi di level ihasil beban kombinasi LRFD
10
Perilaku komposit hanya akan terjadi jika potensi terjadinya slip antara
kedua material ini dapat dicegah. Tipe-tipe penghubung geser yang sering
digunakan dapat berupa stud, baja tulangan spiral, atau profil kanal kecil yang
pendek. Penghubung geser ini selanjutnya dihubungkan dengan flens atau
balok agar dapat berfungsi komposit secara penuh.
Pada sistem pelat lantai komposit, umumnya arah gelombang (rib)
diletakkan tegak lurus terhadap balok lantai dan sejajar dengan arah balok
induk.
11
2.4.3.3. Balok Komposit Dengan Angkur Steel Headed Stud atau
Angkur Kanal Baja
h
2) Untuk > 3,76 EI . Fy
tw
Mn harus ditentukan dari superposisi tegangan elastis, dengan
memperhitungkan efek penopangan, untuk keadaan batas leleh (momen leleh).
φb = 0,90.
Untuk menghitung momen plastis balok komposit dicari posisi sumbu netral
plastis, yang tergantung proporsi C dan T. Dengan nilai resultan gaya tekan dan
tarik sebagai berikut.
C = 0,85. f’c . Ac..........................................................................................(2.15)
T = Fy. As....................................................................................................(2.16)
Ada tiga kondisi distribusi tegangan plastis yang mungkin terjadi, yaitu :
a. Jika T ≤ C sumbu netral plastis didalam pelat beton
Volume pelat betonnya relatif besar, sehingga ketika terjadi momen lentur
positif profil baja mengalami leleh terlebih dahulu. Tinggi blok tegangan tekan
pada pelat beton (a) dapat dihitung sebagai berikut.
As . Fy
0 , 85 xfc ' xbE
a= ..................................................................................(2.17)
Asumsi benar jika a< tcjika pakai dek baja, ataua < t pelat beton solid.
Yc = hr + tc ................................................................................................(2.18)
Y2 = Yc–½ a...............................................................................................(2.19)
Mn = Mp = Fy. As. (Y2+ ½ d)....................................................................(2.20)
12
T = Fy. As...................................................................................................(2.21)
C = 0,85.fc’.bE .tc........................................................................................(2.22)
T C
bf . Fy
y= ≤ tf............................................................................................(2.23)
Csm = 2 Fy . y..............................................................................................(2.24)
Mn = Mp = C(Y2+ ½ d) + Csm (d–y) ½.....................................................(2.25)
13
Tabel 2.11 Nilai Rg dan Rp
Kondisi Rg Rp
Tanpa dek 1,00 1,00
Dek diorientasi paralel
terhadap profil baja
Wr
hr ≥ 1,5 1,00 0,75
Wr 0,85 0,75
hr ≥ 1,5
Jika gelombang pada dek baja dipasang tegak lurus terhadap balok
penopangnya, maka kuat nominal penghubung geser jenis paku harus direduksi
dengan suatu faktor, rs yang besarnya ditetapkan sebagai berikut.
0,85 wr Hs
rs = Nr hr [ hr − 1,0] ≤ 1,0............................ ...............................(2.37)
.
Keterangan :
rs = adalah faktor reduksi
Nr = jumlah penghubung geser jenis paku pada setiap gelombang pada
potongan melintang balok baja
Hs = tinggi penghubung geser jenis paku ≤ (hr + 75 mm)
hr = tinggi nominal gelombang dek baja
wr = lebar efektif gelombang dek baja
15
Batang tarik secara teoritis tidak mengalami tekuk, oleh karena itu
batang tarik tidak dibatasi kelangsingannya, hanya disarankan L/r ≤ 300. Saran
didasarkan pengalaman praktis segi ekonomis, kemudahan pembuatan, dan
resiko rusak yang kecil selama konstruksi. Selain itu, elemen yang sangat
langsing biasanya cenderung bergoyang atau bergetar, dan itu membuat tidak
nyaman bagi penghuninya. Saran tidak berlaku jika batang tariknya merupakan
struktur penggantung (hanger) atau jika memakai penampang pejal (rod).
16
Selain material, maka batang tekan juga dipengaruhi oleh parameter
lain, yaitu konfigurasi bentuk fisik atau geometri. Parameter geometri
terdiridari luas penampang (A), pengaruh bentuk penampang terhadap
kekakuan lentur (Imin), panjang batang dan kondisi pertambatan atau tumpuan,
yang diwakili oleh panjang efektif (KL). Ke tiganya dapat diringkas lagi
menjadi satu parameter tunggal, yaitu rasio kelangsingan batang (KL/Rmin),
min
dimana Rmin = A adalah radius girasi pada arah tekuk. Se ara visual,
c
tekuk dapat dibedakan menjadi dua, yaitu (1) tekuk lokal pada elemen
penampang, dan (2) tekuk global pada kolom atau batang secara menyeluruh.
17
2.4.5.4. Kuat Tekan Nominal
Tekuk global ditentukan oleh kelangsingan elemen penampang dan
bentuknya. Ada tiga perilaku tekuk, yaitu (1) tekuk lentur; (2) tekuk torsi dan
(3) tekuk lentur-torsi. Adapun tekuk global atau lokal tergantung klasifikasi
penampang, jika penampangnya tidak-langsing maka tidak terjadi tekuk lokal,
dan sebaliknya penampang langsing berisiko tekuk lokal terlebih dahulu.
Karena tekuk terjadi pada kondisi elastis, sebelum leleh maka agar efisien perlu
dipilih kolom penampang tidak langsing.
a) Tekuk Lentur
Tekuk lentur yang dimaksud adalah fenomena tekuk global pada
penampang dengan klasifikasi elemen tidak langsing. Beban kritis yang
menyebabkan tekuk tersebut telah dirumuskan oleh Euler. Sampai saat ini
rumus tersebut tetap dijadikan dasar menentukan kuat nominal batang tekan
(Pn). Agar berkesesuaian dengan cara perencanaan batang tarik, maka luas
penampang utuh atau gross (Ag) dijadikan konstanta tetap, adapun variabelnya
adalah tegangan kritis (Fcr), yang dituliskan dalam format berikut.
Pn = Fcr. Ag ................................................................................................(2.40)
Tegangan kritis, Fcr dihitung berdasarkan syarat berikut, jika
1) ≤ 4,71 √atau ≤ 2,25 , tekuk inelastis, maka :
Fcr = (0,658). Fy ....................................................................................(2.41)
2) > 4,71 √atau > 2,25 , tekuk elastis, maka :
Fcr = 0,877. Fe ............................................................................................(2.42)
Dimana Fe = Tegangan tekuk Euler (elastis) sebagai berikut.
Fe = 2()2.....................................................................................................(2.43)
18
2.4.6. Dasar Perencanaan Batang Portal (Balok-Kolom)
Batang baja terhadap gaya aksial saja (tarik atau tekan) hanya cocok
untuk perencanaan struktur rangka batang (truss) dibebani pada titik buhul, dan
berat sendirinya relatif kecil dibanding beban yang dipikul. Sedangkan batang
baja dengan momen lentur hanya cocok untuk struktur balok, yang besar
momen lenturnya lebih dominan dibanding gaya geser yang terjadi. Struktur
yang elemen batangnya menerima kombinasi gaya aksial dan momen sekaligus
harus direncanakan dengan perhitungan batang portal (balok-kolom). Pada
dasarnya perencanaan batang portal ditinjau terhadap kuat tekan dan juga kuat
lenturnya. Dari tinjauan kuat tekan akibat gaya aksial dan kuat lentur akibat
gaya lentur nantinya dihubungkan dengan persamaan interaksi antara kuat
tekan dan kuat lentur sebagai berikut.
(a). Jika ≥,, maka : +89(+) ≤1,0...............................(2.48)
(b). Jika ≤,, maka : 2+(+)≤1,0................................(2.49)
19
Sambungan slip-kritis adalah sambungan yang direncanakan tidak
mengalami slip. Sistem itu diperlukan untuk mengatasi terjadinya beban
bolak-balik (misal tarik jadidesak atau sebaliknya), yang umumnya ada pada
jembatan. Jika itu berlangsung terus-menerus, pada waktu lama maka struktur
akan berisiko tinggi mengalami kerusakan fatig, yaitu keruntuhan pada kondisi
tegangan elastis. Tentu saja tidak semua sambungan harus mempunyai
ketahanan seperti itu. Bangunan gedung misalnya, sambungannya cukup
direncanakan terhadap mekanisme tumpu saja, agar jumlah baut yang
diperlukan lebih sedikit, yang berarti lebih ekonomis.
20
a) Kuat Tumpu Baut
Kuat tumpu pelat sambungan memperhitungkan pengaruh deformasi. Jika
besarnya itu akan mempengaruhi fungsi struktur sehingga kekuatannya perlu
dibatasi maka dapat dipakai rumusan berikut dengan mengambil nilai yang
terkecil.
Rn = 1,2 . lc. t . Fu ≤ 2,4 . d . t . Fu .............................................................(2.51)
Selanjutnya jika terjadi deformasi pada sambungan dianggap tidak
mempengaruhi fungsi maka kuat tumpu dapat ditingkatkan yaitu nilai terkecil
persamaan berikut.
Rn= 1,5 . lc. t . Fu ≤ 3,0 . d . t . Fu .............................................................(2.52)
Dimana :
lc = jarak bersih (mm) searah gaya, dihitung dari tepi lubang ke tepi pelat
terluar (untuk baut pinggir) atau jarak bersih antar tepi lubang (untuk baut
dalam).
Fu = kuat tarik minimum baja pelat yang ditinjau (MPa). Untuk kuat tumpu
dengan lubang baut tipe slot panjang yang arah slotnya tegak lurus
arah gaya, maka kekuatannya berkurang dan dapat dihitung sebagai
berikut.
Rn = 1,0 . lc. t . Fu ≤ 2,0 . d . t . Fu ............................................................(2.53)
d) Kekuatan sambungan
Untuk mendapatkan kuat nominal sambungan, semua mekanisme
keruntuhan yang teridentifikasi harus ditinjau, yaitu :
(1) kuat tumpu (geser) pelat, yang merupakan jumlah kumulatif tahanan tumpu
masing-masing baut yang mengalami kontak dengan pelat;
(2) kuat geser baut, tergantung dari jumlah bidang geser per baut, jumlah baut
di sambungan dan kuat geser nominal baut;
(3) kuat geser blok, khusus untuk sambungan dengan jumlah baut yang relatif
banyak dan ditempatkan secara berkelompok.
Kuat nominal maksimum, Rn dari sambungan ditentukan jika salah satu
dari mekanisme diatas dapat tercapai terlebih dahulu. Itu artinya gaya terkecil
yang menimbulkan mekanisme keruntuhan adalah yang menentukan.
Selanjutnya kuat batas sambungannya adalah Ru = φRn, dengan faktor tahanan
φ = 0,75 untuk keseluruhan mekanisme keruntuhan yang ditinjau. Hal itu
menunjukkan bahwa keruntuhan yang terjadi melibatkan keruntuhan fraktur
yang relatif kurang daktail dibanding keruntuhan leleh.
22
2.4.7.3. Sambungan Base Plate
Struktur baja umumnya untuk bangunan di bagian atas, dibagian bawah
khususnya pondasi mengandalkan struktur beton. Untuk menghubungkan
keduanya perlu sambungan, yaitu base-plate. Pada prinsipnya pelat landasan
(base-plate) dibuat untuk transfer gaya atau momen dari struktur baja yang
relatif lebih kuat ke struktur beton yang lebih lemah tanpa menimbulkan
kerusakan.
Base plate yang biasa, umumya terdiri dari pelat landasan dan baut
angkur. Adapun pelat landasan tersambung ke kolom baja dengan las. Secara
teoritis, bisa saja baut angkur tidak diperlukan, tetapi dalam pelaksanaan harus
dipasang. Minimal dua buah, untuk antisipasi momen tidak terduga selama
masa konstruksi.
23
BAB 3
HITUNGAN PERENCANAAN
24
25
26
3.2 Perhitungan Pembebanan Konstruksi
PERHITUNGAN GORDING
Data Perencanaan
Bentang kuda-kuda :8m
Jarak antar kuda-kuda : 3,75
Penutup atap : rooftop
Berat : 11 kg/
Kemiringan atap : 15°
Perhitungan panjang kuda-kuda dan oversteak
Jarak antar kuda-kuda :4m
Sudut kemiringan : 15°
tt tt
Bentang EA : cos
= cos 쯈
=1m
쯈
Bentang AD : cos
= cos 쯈
= 4,14 m
Bentang CD : sin x AD
: sin 15 x 4,14
: 1,071 m
Perhitungan jumlah medan dan jumlah gording
Direncanakan jarak gording :1m
䁞 䁞䁚 ܽ䁞݊ 䁞䁚
Jumlah medan gording : h hܽ䁞 䁞 䁚 h출ۛ䁞䁚
t
: = 4 medan
27
Perencanaan dimensi gording
Dimensi gording rencana C150 x 50 x 20 x 4,5
W : 6,76 kg/m
ht : 150 mm
b : 50 mm
a: 20 mm
t : 4,5 mm
A : 1172
Ix : 3680000
Iy : 357000
ix : 17,5 mm
iy : 56 mm
cx : 0 mm
Mutu baja : BJ41
cy : 15,4 mm
Fy : 250 Mpa E : 200000 Mpa
sx : 49000
Fu : 410 Mpa : 0.3
sy : 10500
Fr : 70 Mpa
: x 18,86 x t 쯈
: 33,15 kg.m
Q arah y (qy) : qD x cos
: 19,53 x sin 15°
: 5,05 Kg.m
Momen arah y (MyD) : x qy x (
t 쯈
: x 5,05 x
: 0,986 kg.m
Peninjauan terhadap beban hidup
Beban hidup terpusat : 1 KN : 100 Kg beban bekerja
Menghitung momen akibat beban hidup terpusat
Momen arah x (MxL) : x (p x cos ) x L
: 90,55 kg.m
Momen arah y (MyL) : x (p x sin ) x (L/3)
: 8,08 kg.m
Peninjauan terhadap beban angin
Tekanan angin (W) : 25 Kg/
Y angin tekan : < 65° (+0,02 - 0,4)
Y angin hisap : (-0,04)
Koefisien angin tekan dan angin hisap
Angin tekan (Wt)
C1 : (0,02 ) – 0,4
: (0,02 x 15°) – 0,4
: 0,1
29
q tekan : c1 x jarak gording x W
: 0,1 x 1 x 25
: 2,5 kg/m
Angin hisap (Wh)
C2 : - 0,4
q hisap : c1 x jarak gording x W
: - 0,4x 1 x 25
: -10 kg/m
Menghitung momen akibat beban angin
Momen akibat angin tekan (Mx) : x Wt x
: x 2,5 x t 쯈
: 4,39 kg.m
Momen akibat angin hisap (My) : x Wh x
: x (-10) x t 쯈
: -1,95 kg.m
Peninjauan terhadap beban hujan
q air hujan : t-(0,8 x )
: t-(0,8 x 쯈)
: 28 kg/m²
Beban air hujan : q air hujan x jarak antar gording
: 28 x1
: 28 Kg/m
Menghitung momen akibat beban hujan
Momen akibat hujan arah x (Mx) : x Wt x
: x 28 x t 쯈
: 49,21 kg.m
Momen akibat hujan arah y (My) : x Wh x
: x 28 x t 쯈
: 5,46 kg.m
30
3.3 Perhitungan Kombinasi Beban Konstruksi
31
32
33
3.4 Perhitungan Analisis Struktur dengan SAP 2000
34
3.5 Input Pembebanan SAP 2000
35
3.6 Output SAP 2000
36
3.7 Perhitungan Balok Baja
37
38
39
3.8 Perhitungan Kolom Baja
40
41
42
3.9 Perhitungan Sambungan Baja
43
44
45
46
47
48
49
50
3.10 Perhitungan Pedestal
51
52
53
54
3.11 Gambar Detail
55
56
57
3.12 Perhitungan Perencanaan Atap (Struktur Tekan Dan Tarik)
58
59
60
61
3.13 Perhitungan Perencanaan Dinding (Struktur Tekan Dan
Tarik)
62
63
64
65
3.14 Perhitungan Perencanaan Ikatan Angin (Struktur Tekan Dan
Tarik)
66
67
68
69
BAB 4 KESIMPULAN
70
DAFTAR PUSTAKA
http://eprints.umm.ac.id/35107/3/jiptummpp-gdl-rafiqulazm-48288-3-bab
ii.pdf
71