Anda di halaman 1dari 3

Bahan Khotbah

Nats : Ibrani 12:18-19

Tema : Ibadah yang Berkenan kepada Tuhan

I. Pendahuluan
Ketika bangsa Israel berkumpul di gunung Sinai untuk menerima 10 Hukum Allah, kilat
dan petir menyambar-nyambar dan bunyi guntur berguruh secara mengerikan. Bangsa Israel
segera mundur dan tidak mampu menghampiri hadirat-Nya karena ketakutan yang luar biasa.
Betapa berbedanya keadaan di Bukit Sion, gunung anugerah Allah dimana umat manusia
dipanggil untuk datang ke hadirat Allah dengan penuh keberanian. Namun penerima surat Ibrani
sedang dalam bahaya karena mereka berkeinginan untuk kembali ke Sinai. Mereka memilih
sistem pengorbanan yang tidak sempurna daripada pengorbanan Kristus yang sekali dan untuk
selamanya, memilih legalisme yang sia-sia daripada Injil kasih karunia.  Di Bukit Sion, orang
kristen bertemu dengan Yesus, Sang Pengantara. Melalui-Nya orang kristen dimampukan untuk
mendatangi hadirat Allah dan mengalami hubungan yang akrab dan intim.

II. Isi
Penulis Surat Ibrani banyak mengenal tradisi ibadah umat Israel dan memiliki
pengetahuan yang banyak mengenai praktik model ibadah tersebut. Ibadah umat Israel
sebagaimana yang diuraikan dalam Kitab Taurat memang diatur begitu rupa dengan peranan
Imam yang akan menjembatani antara manusia dengan Allah yang ingin ditemuinya. Hubungan
antara manusia dengan Allah merupakan hubungan yang "jauh" karena manusia di bumi dan
Allah di sorga. Bumi dan sorga bukan hanya melambangkan jarak yang jauh, namun juga
sekaligus melambangkan tempat yang rendah dan tempat yang tinggi mulia.
Pandangan tentang Allah yang transenden, yang Maha Kudus, yang jauh, menakutkan
bagi manusia untuk mendekatinya, begitulah yang ditemukan dalam budaya PL. Manusia perlu
melakukan ritual suci untuk menghampiri Allah di tempat kudus-Nya. Bandingkan
penggambarannya dalam ayat 18-21, di mana Allah digambarkan seperti gunung yang tidak
dapat disentuh, api yang menyala-nyala, kekelaman, kegelapan, angin badai, bunyi sangkakala,
suara yang menggentarkan dan menakutkan. Penulis menggambarkan keadaan bagaimana nabi
Musa dan bangsa Israel dulu mengalami suara Tuhan, langsung, ketika mereka ada di gunung
Sinai (band. Ul. 9).
Pandangan penulis Kitab Ibrani, tentang Allah yang dikenal dalam Kristus Yesus, adalah
Allah yang imanen, akrab, dekat. Bandingkan penggambarannya dalam ayat 22-25, di mana
Allah digambarkan sebagai Bukit Sion, Kota Allah yang hidup, Yerusalem sorgawi, kumpulan
yang meriah bersama beribu-ribu malaikat, jemaat-jemaat anak-anak sulung, Allah yang
menghakimi semua orang, yang hidup bersama roh-roh orang-orang benar yang telah menjadi
sempurna, Yesus Pengantara PB
Penulis Surat Ibrani memiliki upaya untuk membarui model ibadah ritual dari tradisi PL
dengan ibadah kristen. Mempertemukan antara Allah yang jauh dengan Allah yang dekat dalam
Kristus Yesus. Memberi makna yang baik akan praktik ibadah kristen. Sikap yang tepat untuk
pengembangan ibadah yang seimbang adalah dengan tidak mengutamakan sisi yang satu dan
mengabaikan sisi yang lainnya. Bila hanya menonjolkan aspek imanen belaka, bukannya tidak
mungkin manusia menjadi meremehkan Allah, bahkan berani menolak Dia yang menyampaikan
firman Allah di bumi maupun di sorga (ay. 25).
Soal menggoncangkan pada ayat 26 dan 27 lebih berbicara kepada upaya untuk
melakukan perubahan demi memperoleh sikap yang kuat dan teguh yang tidak tergoncangkan
lagi, yaitu Kerajaan-Nya. Ibadah adalah soal merayakan kerajaan yang tak tergoncangkan. Ada
aspek perayaan yang gembira, tanpa melupakan upaya menghadap Allah Sang Raja. Gabungan
antara akrab dan hormat, sukacita dan ketertiban. Kerajaan Yesus dalam ibadah patut terus kita
perjuangkan dalam setiap sikap ibadah yang kita bangun. Itu sebabnya pada ayat 28 dijelaskan
sikap yang berkenan dalam ibadah kepada Allah adalah dengan cara yang hormat dan takut.
Jangan meremehkan dan rnenyepelekan kehadiran Allah, sebab bagaimanapun la adalah api yang
menghanguskan (ay. 29).

III. Refleksi
Ada 2 sikap ekstrim dalam model sikap beribadah, yaitu terlalu kaku, kering, formal,
menegangkan di pihak yang satu, dan di pihak yang lain sikap yang terlalu gembira, santai,
longgar, bebas dan cenderung tanpa hormat. Sikap tersebut tentu didukung oleh warna teologi
ibadah apa yang dibangun untuk melaksanakannya.
Namun perlu diingat, hormat dan takut orang Kristen kepada Allah berbeda dari rasa
takut orang-orang berdosa, sebab orang Kristen telah diampuni dosa-dosanya oleh Kristus. Takut
bagi orang Kristen bermakna tidak ingin menyakiti ataupun mengecewakan Tuhan karena Dia
sudah menebus umat-Nya. Oleh karena itu, hormat dan takut umat Tuhan harus kita wujudkan
dalam ibadah dan ucapan syukur serta kehidupan sehari-hari yang berorientasi memuliakan Dia.
“Geladi Bersih” adalah latihan umum yang terakhir menjelang pelaksanaan atau
pementasan acara sesungguhnya. Diharapkan, mereka yang terlibat memiliki gambaran tentang
apa yang bakal dilakukan nanti. Geladi bersih merupakan persiapan dan bayangan bagi realitas
yang sesungguhnya. Mana yang lebih utama dan lebih akbar? Jelas bukan bayangannya, tetapi
realitasnya.
Penulis surat Ibrani memandang segala praktik ibadah pada masa sebelum Kristus
sebagai “geladi bersih” bagi ibadah yang sejati sesudah kedatangan-Nya. Perjanjian yang lama
menjadi bayangan bagi yang baru. Peran imam sebagai perantara dalam hubungan umat dengan
Allah adalah persiapan untuk tugas Perantara yang diemban oleh Yesus Kristus. Darah hewan
kurban menjadi simbol bagi darah suci yang mengalir di Golgota. Israel yang menghadap Allah
di Gunung Sinai adalah gambaran kita yang - melalui perantaraan Yesus - menyembah Dia
dalam kekudusan-Nya. Dan apabila “geladi bersih”-nya sedemikian mulia dan membangkitkan
kegentaran, apalagi ibadah yang sebenarnya.
Namun, benarkah demikian? Benarkah umat Kristen sekarang beribadah dengan
antusiasme yang tinggi sekaligus sikap penuh hormat akan hadirat Allah? Seberapa siap kita
memasuki sebuah ibadah? Seberapa dalam rasa syukur yang mendorong kita pergi ke gereja?
Seberapa rindu kita menantikan datangnya hari Minggu? Semoga kita tidak dibuat malu ketika
menengok betapa seriusnya umat Perjanjian Lama melakukannya, padahal itu baru sebuah
“geladi bersih” belaka.

Anda mungkin juga menyukai