Oleh:
Kelompok 6
DAFTAR ISI..............................................................................................................................2
ABSTRAK.................................................................................................................................3
BAB 1.........................................................................................................................................4
PENDAHULUAN......................................................................................................................4
1.1. Latar Belakang.............................................................................................................4
1.2. Tujuan Penelitian.........................................................................................................5
BAB 2.........................................................................................................................................6
METODE PENELITIAN...........................................................................................................6
2.1. Persiapan Lokasi dan Teknik...........................................................................................6
BAB 3.........................................................................................................................................7
HASIL DAN PEMBAHASAN..................................................................................................7
3.1.Penyiapan Keramba Kepiting...........................................................................................7
3.2. Penyediaan Bibit Kepiting...............................................................................................7
3.3. Penebaran Benih..............................................................................................................7
3.4.Pemeliharaan dan Pemberian Pakan.................................................................................7
3.5. Pengelolaan Lingkungan Budidaya.................................................................................8
3.6. Pengukuran Bobot Tubuh................................................................................................8
3.7. Pemanenan.......................................................................................................................8
3.8. Analisis biaya..................................................................................................................9
KESIMPULAN DAN SARAN................................................................................................11
DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................................12
2
ABSTRAK
Hutan mangrove merupakan salah satu ekosistem pesisir yang berperan penting dalam
mendukung kehidupan biota laut. Keberadaan hutan mangrove di Kabupaten Kepulauan
Meranti saat ini terus mengalami degradasi yang berimplikasi terhadap menurunnya fungsi
ekologis, sosial dan ekonomi masyarakat lokal. Upaya meminimalisir kerusakan hutan
mangrove terus dilakukan oleh pemerintah daerah dan masyarakat lokal hingga saat ini. Salah
satu upaya yang dapat dilakukan melalui budidaya kepiting bakau dengan sistem
sylvofishery. Metode penelitian yang digunakan adalah eksperimen dan wawancara. Data dan
informasi dihimpun dari penelusuran, dan penelahaan data dan informasi hasil penelitian
serta laporan kegiatan yang terkait dengan budidaya kepiting bakau dengan sistem
silvofishery. Hasil kajian menunjukkan potensi pengembangan budidaya laut. Luasnya lokasi
budidaya didukung pula dengan kualitas perairan yang cukup bagus dan cocok untuk
dikembangkan budidaya kepiting dengan sistem sylvofishery. Ujicoba penerapan
sylvofishery kepiting bakau model kurungan tancap diperoleh tingkat survival rate mencapai
70 % dan pertumbuhan rata-rata berkisar 100 – 140 g per bulan. Pemeliharaan kepiting bakau
dengan sistem sylvofishery selama 3 bulan dapat memberikan keuntungan dan tambahan
penghasilan per bulan sebesar Rp. 1.070.150. Dalam satu siklus pembesaran jika kondisi
normal dapat mengembalikan investasinya sehingga sylvofishery kepiting bakau layak dijadi
usaha alternatif bagi masyarakat pesisir.
3
BAB 1
PENDAHULUAN
Silvofishery adalah suatu kegiatan budidaya pada daerah mangrove. Prinsip dasar
sistem budidaya tersebut adalah pemanfaatan jamak atau ganda keberadaan mangrove dengan
tanpa menghilangkan fungsi ekosistemnya secara alami sehingga didapatkan hasil perikanan
dan mangrove yang masih dapat berperan sebagai fungsi biologi, ekologi dan ekonomi.
Berbagai jenis biota ekonomis penting yang dapat dibudidayakan di daerah mangrove dengan
pola silvofishery, salah satunya adalah kepiting bakau (Scylla sp).
Kepiting bakau yang dikenal dengan nama mud crab atau mangrove crab merupakan
salah satu komoditas perikanan dari marga krustasea yang memiliki nilai ekonomis penting.
Jenis kepiting ini telah dibudidayakan secara komersial di beberapa negara tropis termasuk
Indonesia. Kepiting bakau telah dikenal baik di pasaran dalam negeri maupun luar negeri
karena rasa dagingnya yang lezat dan bernilai gizi tinggi. Berdasarkan hasil analisis
proksimat diketahui bahwa daging kepiting bakau mengandung protein 44,85-50,58%, lemak
10,52-13,08% dan energi 3.579-3.724 kkal/g. Selain itu, daging kepiting mengandung
4
berbagai nutrien penting seperti mineral dan asam lemak -3. Meskipun daging kepiting
mengandung kholesterol, namun kandungan lemak jenuhnya rendah. Kepiting juga
merupakan sumber protein, niacin, folate, potassium, vitamin B12, fosfor, seng, tembaga dan
selenium (Karim, 2013).
Dalam budidaya kepiting bakau terdapat beberapa metode yang biasa digunakan
tergantung tujuan budidayanya. Saat ini ada 4 metode budidaya kepiting bakau yang
dikembangkan yaitu: pembesaran, penggemukan, produksi kepiting bertelur, dan kepiting
lunak atau kepiting soka (soft shell crab). Penggemukan kepiting pada prinsipnya memelihara
kepiting yang sudah berukuran besar akan tetapi dari segi bobot masih dibawah standar
ukuran konsumsi. Penggemukan kepiting dapat dilakukan terhadap kepiting bakau jantan dan
betina dewasa tetapi dalam keadaan kosong/kurus. Budidaya kepiting bakau untuk tujuan
penggemukan memungkinkan dilakukan di kawasan mangrove karena merupakan habitat
alami kepiting.
Ekosistem mangrove terdiri atas berbagai jenis vegetasi, dan setiap jenis vegetasi
mangrove menghasilkan serasah berbeda sehingga sumbangsih nutrien pada ekosisestem
perairan juga berbeda juga berbeda. Dengan demikian perbedaan jenis vegetasi mangrove
sebagai lokasi budidaya kepiting bakau sistem silvofishery diduga akan menghasilkan
pertumbuhan dan kualitas kepiting yang berbeda. Oleh sebab itu, diperlukan suatu kajian
tentang penggemukan kepiting bakau yang dipelihara pada berbagai jenis vegetasi mangrove
agar diperoleh kepiting yang cepat pertumbuhannya dan berkualitas.
Penelitian ini bertujuan untuk menemukan jenis vegetasi mangrove yang terbaik
dalam menghasilkan sintasan, pertumbuhan, dan kualitas kepiting bakau secara maksimal
yang dipelihara dengan sistem silvofishery.
5
BAB 2
METODE PENELITIAN
Hewan uji yang digunakan adalah kepiting bakau (Scylla olivacea) jantan berukuran
bobot 155 ± 20 g. Wadah yang digunakan adalah kurungan yang terbuat dari bambu
berukuran panjang, lebar, dan tinggi masing-masing 1,5 x 1,5 x 1,5 m yang ditancapkan di
kawasan mangrove. Pada bagian luar kurungan dilapisi waring yang bertujuan untuk
melindungi kurungan dari sampah dan kotoran yang terbawa oleh ombak.
Sebelum kepiting uji ditebar terlebih dahulu diseleksi bobotnya dan diadaptasikan
dengan kondisi lingkungan pemeliharaan selama 2 hari. Pengadaptasian dilakukan dengan
cara merendam kepiting kedalam air di sekitar kurungan. Penimbangan bobot awal juga
dilakukan sebelum ditebar dengan menggunakan timbangan duduk berketelitian 10 g.
6
BAB 3
Keramba yang digunakan adalah keranjang plastik buah yang dibagi menjadi dua
bagian dengan menggunakan penyekat dari kasa nilon, sehingga dalam satu keranjang
akan diletakkan dua ekor kepiting. Pembersihan atau penyikatan keramba dilakukan
setiap minggu yang ditujukan untuk mengontrol kemungkinan kebocoran. Keranjang
plastik buah yang dibagi menjadi dua bagian dengan menggunakan penyekat dari kasa
nilon, sehingga dalam satu keranjang akan diletakkan dua ekor kepiting. Penyekatan
keramba dilakukan agar kepiting yang bersifat kanibal tidak saling memangsa pada saat
kekurangan makanan, terutama pada saat proses ganti kulit (moulting) dimana tubuh
kepiting menjadi cukup lunak sehingga rawan pemangsaan. Keramba dilengkapi
pelampung berupa pipa paralon pada kedua sisi panjang yang berlawanan. Dilanjutkan
dengan kegiatan memasang kayu galam sebagai penghalang agar rangkaian keramba
tidak bergerak dan berpindah tempat.
3.2. Penyediaan Bibit Kepiting
Benih kepiting yang ditebar adalah benih yang termasuk kategori BS (bawah standar)
yaitu
1. Kepiting dengan cangkang lemah, capit tidak sempurna/tidak lengkap; ukuran di
bawah standar. Kepiting dengan volume/ukuran standar tetapi kondisi tubuh tidak
lengkap.
2. Kepiting dengan volume/ukuran standar tetapi kondisi tubuh tidak lengkap.
7
lain – lain). Disamping itu juga diberikan makanan tambahan berupa cincangan ikan rucah
laut dan kepiting kecil (disebut piyai) sebanyak 0,5 % dari berat tubuh total kepiting bakau
yang dipelihara. Pemberian pakan dilakukan 2 kali sehari yaitu antara pukul 09.00 – 10.00
dan sore hari antara pukul 15.00 – 16.00.
3.5. Pengelolaan Lingkungan Budidaya
Guna menghindari benih kepiting terserang penyakit maka secara berkala dilakukan
pembersihan KJT dari sampah plastik dan sampah organik lainnya serta menjamin distribusi
air saat pasang dan surut agar tetap lancar. Penutupan jarring oleh lumut ini biasanya terjadi
setelah kegiatan budidaya telah berjalan beberapa waktu lamanya. Pembersihan waring
dilakukan setiap dua minggu sekali agar mata jarring tidak tertutup dengan lumpur atau
lumut. Pembersihan jaring dilakukan dengan cara mencucian secara manual pada periode
waktu tertentu.
3.7. Pemanenan
Pemeliharaan kepiting bakau mulai dari benih hingga panen memerlukan waktu
sekitar 2-3 bulan dengan ukuran rata-rata mencapai 300-350 g/ekor. Banyaknya jumlah
kepiting bakau yang dipanen oleh nelayan pembudidaya berdasarkan pada penerimaan
pembeli atau permintaan pasar. Sistem pemanenan dilakukan secara masal tanpa
melakukan seleksi berdasarkan ukuran, dengan menggunakan serok. Selanjutnya, kepiting
bakau diikat capitnya dan dimasukkan ke dalam wadah semi tertutup berupa ember yang
diberi lubang, sehingga distribusi dari keramba ke lokasi penjualan dilakukan dalam
8
keadaan hidup.
9
3.8. Analisis biaya
Biaya yang digunakan dan manfaat yang diperoleh dalam usaha kepiting bakau
dikelompokkan kedalam beberapa bagian yaitu: modal investasi, biaya penyusutan dari
modal investasi, biaya operasional, penerimaan dan keuntungan.
Modal investasi yang digunakan dalam usaha silvofishery kepiting bakau adalah berupa
pengadaan jarring dan peralatan. Dalam suatu usaha biaya penyusutan juga perlu dihitung
agar pengeluaran rill usaha dapat tergambar dengan baik. Gray et al. (2005) dalam Shilman
(2012) menyatakan bahwa penyusutan merupakan bagian dari benefit proyek yang
dicadangkan tiap-tiap tahun sepanjang umur ekonomi proyek sedemikian rupa sehingga
merupakan dana yang mencerminkan jumlah biaya modal.
b. Biaya operasional
Biaya operasional dalam penelitian ini adalah semua sarana produksi habis pakai dalam
satu siklus produksi. Biaya operasional pertahun tergantung dari banyaknya siklus yang
dilakukan, sehingga proses produksi akan terlaksana. Penetapan harga pada aspek finansial
adalah berdasarkan harga pasar yang berlaku, secara aspek finansial jenis dan nilai biaya
operasional persiklus.
10
11
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Sistem silvofishery kepiting bakau layak dikembangkan sebagai alternatif
usaha bagi masyarakat pesisir dan pembudidaya ikan dari yang kurang mengetahui
menjadi cukup banyak mengetahui tentang budidaya kepiting bakau dengan media
keramba. Pembesaran kepiting bakau dalam keramba melalui sistem silvofishery
dapat membatasi pembukaan hutan mangrove. Pengembangan budidaya kepiting
bakau dapat dikembangkan dengan model usaha silvofishery yang tepat. Penerapan
teknologi sistem ini sangat sederhana dengan waktu budidaya yang singkat namun
mampu memberikan keuntungan yang besar per bulannya. Selain memberikan
manfaat ekonomi, usaha silvofishery juga mampu menjaga kelestarian hutan
mangrove dari kerusakan.
Saran
12
DAFTAR PUSTAKA
Budijono1, Eko Prianto1 , Muhammad Hasbi1 dan Andri Hendrizal1. (2021). Pengembangan
Budidaya Kepiting Bakau (Scylla Sp) Sistem Silvofishery Untuk Melestarikan Hutan Bakau Di
Kabupaten Kepulauan Meranti Provinsi R. Jurnal Kebijakan Perikanan Indonesia (JKPI).
Siti Saidah dan Leila Ariyani Sofia. (2016). Pengembangan Usaha Pembesaran Kepiting Bakau
(Scylla Spp) Melalui Sistem Silvofishery. Jurnal Hutan Tropis Volume 4 No. 3.
Muhammad Yusri Karim , Hasni Y. Azis, dan Margaretha Bunga. (2018) Penggemukan Kepiting
Bakau (Scylla Olivacea) Sistem Silvofishery Pada Berbagai Jenis Vegetasi Mangrove. Makalah
disajikan pada Seminar Nasional Perikanan dan Kelautan Universitas Riau
https://www.google.com/search?
q=budidaya+kepiting+bakau&sxsrf=AOaemvICiSvoijdHSH6qx4jAriXkacW0tQ:163577196
0807&source
13