Kelembagaan Pertanian
Kelembagaan Pertanian
Roucek dan Warren (1984). Kelembagaan adalah keseluruhan polapola ideal, organisasi,
dan aktivitas yang berpusat di sekeliling kebutuhan dasar seperti kehidupan keluarga, negara,
agama dan mendapatkan makanan, pakaian, dan kenikmatan serta tempat perlindungan. Suatu
lembaga dibentuk selalu bertujuan untuk memenuhi berbagai kebutuhan manusia sehingga
lembaga mempunyai fungsi. Selain itu, lembaga merupakan konsep yang berpadu dengan
struktur, artinya tidak saja melibatkan pola aktivitas yang lahir dari segi sosial untuk
memenuhi kebutuhan manusia, tetapi juga pola organisasi untuk melaksanakannya
Rahardjo (1999) menyatakan bahwa kelembagaan sosial (social institution) secara ringkas
dapat diartikan sebagai kompleks norma-norma atau kebiasaan-kebiasaan untuk
mempertahankan nilai-nilai yang dipandang sangat penting dalam masyarakat, merupakan
wadah dan perwujudan yang lebih konkret dari kultur dan struktur.
Berdasarkan pada beberapa pengertian tadi , dapat dipahami bahwa kelembagaan pertanian
adalah “norma atau kebiasaan yang terstruktur dan terpola serta dipraktekkan terus menerus
untuk memenuhi kebutuhan anggota masyarakat yang terkait erat dengan penghidupan dari
bidang pertanian di pedesaan”. Dalam kehidupan komunitas petani, posisi dan fungsi
kelembagaan petani merupakan bagian pranata sosial yang memfasilitasi interaksi sosial atau
social interplay dalam suatu komunitas. Kelembagaan pertani juga memiliki titik strategis (entry
point) dalam menggerakkan sistem agribisnis di pedesaan.
Peran antar lembaga pendidikan dan pelatihan, balai penelitian, dan penyuluhan belum
terkoordinasi dengan baik.
Koperasi perdesaan khususnya yang bergerak di sektor pertanian masih belum berjalan
optimum.
Menurut Esman dan Uphoff (1989). Kelembagaan petani dibentuk pada dasarnya mempunyai
beberapa peran, yaitu:
b) tugas sumberdaya (resource tasks) mencakup mobilisasi sumberdaya lokal (tenaga kerja,
modal, material, informasi) dan pengelolaannya dalam pencapaian tujuan masyarakat,
Saat ini potret petani dan kelembagaan petani di Indonesia diakui masih belum sebagaimana
yang diharapkan (Suradisastra, 2008) Peran kelembagaan dalam membangun dan
mengembangkan sektor pertanian di Indonesia terutama terlihat dalam kegiatan pertanian
tanaman pangan, khususnya padi.
Di tingkat makro nasional, peran lembaga pembangunan pertanian sangat menonjol dalam
program dan proyek intensifikasi dan peningkatan produksi pangan. Kegiatan pembangunan
pertanian dituangkan dalam bentuk program dan proyek dengan membangun kelembagaan
koersif (kelembagaan yang dipaksakan), seperti Padi Sentra, Demonstrasi Massal (Demas),
Bimbingan Massal (Bimas), Bimas Gotong Royong, Badan Usaha Unit Desa (BUUD), Koperasi
Unit Desa (KUD), Insus, dan Supra Insus.
7) kelembagaan pemasaran,
Menurut Mosher, di setiap lokalitas usahatani diperlukan beberapa kelembagaan pertanian, yaitu:
kelembagaan pemasaran, kelembagaan penelitian dan pengujian, kelembagaan penyuluhan,
kelembagaan penyedia sarana produksi, kelembagaan keuangan (penyedia kredit produksi),
kelembagaan pengolahan dan pemasaran hasil pertanian dan kelembagaan transportasi.
Kelembagaan di tingkat lokal tersebut harus mempunyai akses dengan kelembagaan serupa di
tingkat regional dan nasional.
2) Kelembagaan penyuluhan
Sampai dengan tahun 1970-an, hanya dilakukan instansi pemerintah sejak dilaksanakan
proyek penyuluhan tanaman pangan pada 1976, dikembangkan balai penyuluhan pertanian di
tingkat wilayah pembantu bupati. Pada periode 1995-2000, di tingkat kabupaten pernah
dicoba pengembangan kelembagaan penyuluhan pertanian yang terpisah dari dinas pertanian,
yaitu balai informasi dan penyuluhan pertanian (BIPP) dengan kebijakan revitalisasi
pertanian, diundangkan UU No. 16 Tahun 2007 tentang sistem penyuluhan pertanian, erikana
dan kehutanan.
3) Kelembagaan penyedia sarana produksi
Ditingkat nasional dan provinsi, kabupaten dan kecamatan ditangani oleh BUMN dan swasta
(produsem, distributor, penyalur) sedang ditingkat desa/kelurahan ditangani swasta
(pengecer) dan KUD.
4) Kelembagaan pengolahan dan pemasaran hasil : BUMN (Bulog), swasta dan koperasi.
5) Kelembagaan keuangan : BRI dan swasta (pedagang, tengkulak, pelepas uang)
6) Kelembagaan pengangkutan (transportasi) : masih ditangani oleh swasta.
Keberadaan kelembagaan petani didasarkan atas kerjasama yang dapat dilakukan oleh petani
dalam mengelola sumberdaya pertanian, antara lain:
(b) pemasaran (marketing), akan meyakinkan pembeli atas kualitas dan meningkatkan posisi
tawar petani;
(d) pemakaian alat-alat pertanian (machine sharing), akan menurunkan biaya atas pembelian
alat tersebut;
(g) kerjasama usahatani (co-operative farming), akan diperoleh keuntungan lebih tinggi dan
keseragaman produk yang dihasilkan;
Kegiatan bersama (group action atau cooperation) oleh para petani diyakini oleh Mosher (1991)
sebagai faktor pelancar pembangunan pertanian. Aktivitas bersama sangat diperlukan apabila
dengan kebersamaan tersebut akan lebih efektif dalam mencapai tujuan yang diinginkan
bersama.
Untuk membangun kelembagaan pertanian yang baik, kita harus melakukan revitalisasi di
beberapa point yaitu:
a. Peningkatan kualitas sumberdaya manusia para pelaku kelembagaan sehubungan dengan
perkembangan teknologi, permasalahan dan kebutuhan para petani
Dalam sistem pertanian dikenal juga istilah Kelembagaan rantai pasok yakni hubungan
manajemen atau sistem kerja yang sistematis dan saling mendukung di antara beberapa lembaga
kemitraan rantai pasok suatu komoditas. Komponen kelembagaan kemitraan rantai pasok
mencakup pelaku dari seluruh rantai pasok, mekanisme yang berlaku, pola interaksi antarpelaku,
serta dampaknya bagi pengembangan usaha suatu komoditas maupun bagi peningkatan
kesejahteraan pelaku pada rantai pasok tersebut.
Bentuk kelembagaan rantai pasok pertanian terdiri dari dua pola, yaitu pola perdagangan
umum dan pola kemitraan. Ikatan antara petani dan pedagang umumnya ikatan langganan, tanpa
adanya kontrak perjanjian yang mengikat antarkeduanya dan hanya mengandalkan kepercayaan.
Petani dan pedagang pada pola ini juga sering melakukan ikatan pinjaman modal. Sedangkang
pola kemitraan rantai pasok pertanian adalah hubungan kerja di antara beberapa pelaku rantai
pasok yang menggunakan mekanisme perjanjian atau kontrak tertulis dalam jangka waktu
tertentu. Dalam kontrak tersebut dibuat kesepakatan-kesepakatan yang akan menjadi hak dan
kewajiban pihak-piihak yang terlibat (Marimin dan Maghfiroh, 2010).
Menurut Dimyati (2007), permasalahan yang masih melekat pada sosok petani dan kelembagaan
petani di Indonesia adalah:
2. Belum terlibatnya secara utuh petani dalam kegiatan agribisnis. Aktivitas petani masih
terfokus pada kegiatan produksi (on farm).
3. Peran dan fungsi kelembagaan petani sebagai wadah organisasi petani belum berjalan
secara optimal.
DAFTAR PUSTAKA
Anantanyu, Sapja. 2011. Kelembagaan Petani: Peran dan Strategi Pengembangan Kapasitasnya.
SEPA. 7(2):102-109.
Setiawan, A., Putri, M., Widia, A.N. 2012. Makalah DDPK Sejarah Penyuluhan, Kelembagaan
Pertanian dan Falsafat Penyuluh Pertanian. Bandar Lampung: Universitas Lampung.
Pasaribu, B.S. Kelembagaan Pertanian. 23 Oktober 2013.
http://www.slideshare.net/anman963/4kelembagaan-pertanian-27471583 [10 Oktober 2014].
Anonim.______. https://www.scribd.com/doc/54270134/tugas-7-Kelembagaan-Pertanian [10
Oktober 2014].