Anda di halaman 1dari 47

BAB I

CASE REPORT

A. IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. S
Umur : 56 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Pekerjaan : Penjahit
Alamat : Gaum 2/2 Gaum, Tasikmadu
Agama : Islam
No RM : 2901xx
MRS : 22 mei 2014
Tanggal Pemeriksaan : 22 mei 2014
Tanggal keluar RS : 2 juni 2014

B. ANAMNESIS
Riwayat penyakit pasien diperoleh secara autoanamnesis dan
alloanamnesis.
a. Keluhan Utama
BAB cair > 3 kali
b. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke RSUD Karanganyar dengan keluhan BAB cair >
3 kali, warna kuning sedikit kecoklatan, tinja tidak berbau busuk dan
tidak disertai dengan lendir, perut sakit, pasien mengaku BAB cair
sudah berlangsung selama satu bulan, namun keluhan paling dirasakan
kurang lebih selama 5 hari yang lalu sebelum masuk rumah sakit,
keluhan disertai dengan keluhan lain seperti lemah (+), lesu (+), cepat
lelah (+), sakit kepala (+), mata kunang-kunang (+), perasaan dingin
(+). Keluhan tidak disertai dengan panas (-), batuk (-), pilek (-), nyeri
telan (-), kelemahan otot (-), badan pegel-pegel dan sakit di persendian
(-), BAK tidak nyeri (+) dalam batas normal. Pasien mengatakan perut

1
sebelah kanan terasa penuh sejak 7 bulan yang lalu, dirasakan sebelum
pasien melakukan operasi HIM dan BPH. Pasien mengaku sudah 5 kali
dirawat dirumah sakit dan selalu dilakukan tranfusi darah.
c. Riwayat Penyakit Dahulu
- Riwayat alergi makanan : disangkal
- Riwayat alergi obat : disangkal
- Riwayat mondok di rumah sakit : diakui
- Riwayat OP : diakui
- Riwayat transfusi : diakui
- Riwayat hipertensi : disangkal
- Riwayat DM : disangkal
- Riwayat batuk lama : disangkal
- Riwayat sakit kuning : disangkal
d. Riwayat Penyakit Keluarga
- Riwayat penyakit serupa : disangkal
- Riwayat alergi obat : disangkal
- Riwayat hipertensi : disangkal
- Riwayat DM : disangkal
e. Riwayat Kebiasaan
Pasien seorang pensiunan satpam yang sering mengkonsumsi obat
warung ketika badan pegel-pegel, sakit kelapa. Konsumsi obat warung
berlangsung selama kurang lebih 25 tahun, obat yang dikonsumsi
kurang lebih 2-4 tablet/hari. Pasien juga mengkonsumsi kopi selama
bekerja sebagai seorang satpam. Pasien dulunya seorang perokok
berat, merokok mulai usia 11 tahun, dalam sehari pasien biasanya
menghabiskan 3 bungkus rokok, pasien mulai berhenti merokok
kurang lebih 6 tahun yang lalu.
f. Riwayat Kesehatan Lingkungan
Pasien seorang pensiunan satpam di pabrik gula, pasien sudah
berhenti bekerja selama 6 tahun. Kegiatan pasien saat ini sebagai
seorang penjahit. Disekitar tempat tinggal pasien tidak ada tetangga

2
yang menderita penyakit yang serupa. Pasien mengaku bahwa sanitasi
air, pembuangan limbah rumah tangga di sekitar tempat tinggalnya
bersih.

C. ANAMNESIS SISTEM

Sistem Cerebelospinal Pusing (+), Kejang (-), demam (-)


Sistem Cardiovaskuler Kelelahan (+), Akral hangat (+), Sianosis (+),
Anemis (+)
Sistem Respiratorius Batuk (-), flu (-), Sesak napas (-)
Sistem Genitoursanius BAK (+) dbn
Sistem Gastrointestinal Perut melilit (+), mual (-), muntah (-), BAB cair
(+)
Sistem Musculosceletal Badan lemas (+), pegal-pegal (+)
Sistem Integumentum Perubahan warna kulit (-), sikatrik (-), penyakit
kulit (-)

D. PEMERIKSAAN FISIK
Status Generalis
- Keadaan Umum : cukup
- Kesadaran : compos mentis (E4V5M6)
- Vital sign :
 Tekanan darah : 100/70
 Nadi : 76x/menit
 Respirasi : 16x/menit
 Suhu : 370C
- Kepala : normocephal, rambut warna hitam keputihan, mudah
rontok (-), conjungtiva anemis (+/+), refleks cahaya (+), sklera
ikterik (-/-), pupil isokor (+/+), bibir sianosis (+),
- Leher : trakea di tengah, simetris, pembesaran kelenjar getah
bening (-/-), distensi vena leher (-), peningkatan vena jugularis (-),
pembesaran kelenjar tiroid (-)
- Thorax :

3
a. Paru:
 Inspeksi : bentuk dada normo chest, retraksi dinding dada (-),
tidak ada napas tertinggal
 Palpasi : tidak ada napas tertinggal, fremitus normal
 Perkusi : sonor
 Auskultasi : RR : 16x/menit, suara dasar vesikuler (+/+), suara
tambahan (-)
b. Jantung:
 Inspeksi : dinding dada daerah pericorcidum tidak
cembung/cekung, tidak ada jejas, ictus cordis tampak di SIC 7
linea midclavicula sinistra
 Palpasi : Ictus cordis teraba di SIC 7 linea midclavicula
sinistra, tidak kuat angkat
 Perkusi :
Batas kiri jantung : sulit dievaluasi
Batas kanan jantung : sulit dievaluasi
 Auskultasi : HR : sulit dievaluasi, BJ I/II murni reguler, bising
(-), gallop (-)
- Abdomen
 Inspeksi : perut datar, sikatriks (-)
 Auskultasi : suara peristaltik (+) 32x/menit
 Palpasi : nyeri tekan (-), pembesaran organ.
 Perkusi : timpani, regio hipocondriaca sinistra pekak,
pembesaran lien schuffner 2, regio hipocondriaca dextra
pembesara hepar 2 cm dari arcus costa.
- Ekstremitas
 Ekstremitas superior dextra : akral hangat (+), udem (-)
 Ekstremitas superior sinistra : akral hangat (+), udem (-)
 Ekstremitas inferior dextra : akral hangat (+), udem (-)
 Ekstremitas inferior sinistra : akral hangat (+), udem (-)

4
E. PEMERIKSAAN PENUNJANG
 Pemeriksaan darah rutin tanggal 22 mei 2014

PEMERIKSAAN HASIL NILAI SATUAN


RUJUKAN
HEMATOLOGI
Hemoglobin 6,2 L 14,00-18,00 g/DL
Hematokrit 20,1 L 42,00-52,00 %
Leukosit 10,8 H 5-10 x10^3L
Trombosit 280 150-300 x10^3L
Eritrosit 2,38 L 4,50-5,50 x10^3L
MPV 4,4 L 6,5-12,00 fL
PDW 17,5 H 9,0-17,0 %
INDEX
MCV 84,5 82,0-92,0 fL
MCH 26,1 L 27,0-31,0 pg
MCHC 30,8 L 32,0-37,0 g/DL
HITUNG JENIS
Limfosit% 84,5 L 25,0-40,0 %
Monosit% 2,5 L 3,0-9,0 %
Limfosit# 1,4 1,25-4,0 x10^3uL
Monosit# 0,3 0,30-1,00 x10^3uL
Gran% 84,6 H 50,0-70,0 %
Gran# 9,1 H 2,50-7,00 x10^3uL
RDW 19,2 H 11,5-14,7 %
KIMIA
GULA DARAH
Glukosa Darah Sewaktu 90 70-150 Mg/100ml

 GDT :

5
- Eritrosit: hipokromik mikrositik, anisopoikilositosis, normosit,
polikromasi, sel target, stomatosik, pensil sel, fragmentosit,
eritroblast (-).
- Lekosit: jumlah normal tinggi, dominasi netrofil, netrofil
hipergranulasi, monosit teraktifasi, sel blast (-)
- Trombosit: jumlah normal, clummping trombosit (++), glant
trombosit (-), distribusi tidak normal.
- Simpulan: anemia hipokromik mikrositik suspek et causa defisiensi
Fe, DD : Hb pathy (minor thalassemia) bersamaan dengan proses
infeksi.

F. RESUME
1. Anamnesis
a. BAB cair > 3x
b. BAB cair dialami ± selama satu bulan, keluhan paling dirasakan 5
hari SMRS, tinja warna kuning kecoklatan, tidak ada lendir, perut
melilit
c. sakit kepala, mata kunang-kunang
d. Kelelahan

2. Pemeriksaan Fisik
a. Keadaan umum : cukup
b. Kesadaran : compos mentis
c. Kepala Leher : conjungtiva anemis
d. Thorax : normo chest
e. Jantung : sulit dievaluasi
f. Abdomen : splenomegali schuffner 2, hepatomegali 2
cm dari arcus costa

3. Pemeriksaan Penunjang
 Darah rutin

6
Hb : 6,2
Leukosit : 10,8
 GDT :
- Eritrosit : hipokromik mikrositik, anisopoikilositosis, normosit,
polikromasi, sel target, stomatosik, pensil sel, fragmentosit,
eritroblast (-).
- Lekosit : jumlah normal tinggi, dominasi netrofil, netrofil
hipergranulasi, monosit teraktifasi, sel blast (-)
- Trombosit : jumlah normal, clummping trombosit (++), glant
trombosit (-), distribusi tidak normal.
- Simpulan : anemia hipokromik mikrositik suspek et causa defisiensi
Fe, DD : Hb pathy (minor thalassemia) bersamaan dengan proses
infeksi.

G. DIAGNOSA
- Anemia hipokrimik mikrositik
- Colitis kronis
- Gastropathy NSAID

H. DIAGNOSIS BANDING
- Anemia et causa defisiensi Fe
- Thalassemia
- Anemia et causa penyakit kronis
- Anemia sideroblastik
- Infeksi saluran cerna

I. PLANNING
- Feses Rutin
- GDT
- USG
- RO thorax

7
- Fe
- TIBC
- Feritin

J. PENATALAKSANAAN
- Bed rest
- Diet bubur 1700- kalori
- Inf. NaCl 20 tpm
- Inj. Omeprazol 1btl/12jam
- Inj. Cefotaxim 1amp/12jam
- Transfusi PRC 2 kolf
- Premed furosemid 1amp, dexametason 1amp
- Lactulosa pulv 3x2
- Sucralfat syr 3xCII
- Inj. Metilprednisolon 1/3 amp/8jam
- Diagit tab 3x1

K. PROGOSIS
- Ad vitam : sanam/bonam
- Ad fuctionam : sanam/bonam
- Ad sanationam : sanam/bonam

FOLLOW UP

23 Mei 2014 Subjek : pasien mengeluh - Bed rest


perut nyeri, BAB cair (+), - Diet bubur 170-
mual (+) kalori
Objek: - Inf. NaCl 20 tpm
- T = 110/80 - Inj. Omeprazol
S = 36 N = 76 1btl/12jam
- KU = cukup - Inj. Cefotaxim
KS = Compos 1amp/12jam

8
Mentis Hb : 9,9
- Kepala leher = CA - Transfusi PRC 2 kolf
(+/+) - Premed furosemid
- Thorax paru = DBN 1amp, dexametason
- Jantung = sulit 1amp
dievaluasi
- Abdomen = terdapat
splenomegali
schuffner 2,
hepatomegali 2 cm
dari arcus costa
- Ekstremitas = akral
hangat (+), udem
tungkai (-)
Assesment:
- Anemia
- GEA
Planning : cek ulang Hb
24 Mei 2014 Subjek: pasien mengeluh - Bed rest
BAB cair (+), perut nyeri - Diet bubur 170-
(+) kalori
Objek : - Inf. NaCl 20 tpm
- T = 110/60 - Inj. Omeprazol
S = 36 N = 80 1btl/12jam
- KU = cukup - Inj. Ceftriaxone
KS = Compos 1amp/12jam
Mentis
- Kepala leher = CA
(+/+)
- Thorax paru = DBN
- Jantung = sulit

9
dievalusi
- Abdomen = terdapat
splenomegali
schuffner 2,
hepatomegali 2 cm
dari arcus costa
- Ekstremitas = akral
hangat (+), udem
tungkai (-)
Assesment:
- Anemia
- GEA
Planning:
- Cek ulang Hb
25 Mei 2014 Subjek : pasien mengeluh - Bed rest
BAB cair 4x (+) - Diet bubur 170-
Objek: kalori
- T = 110/70 - Inf. NaCl 20 tpm
S = 36,5 N = 80 - Inj. Omeprazol
- KU = cukup 1btl/12jam
KS = Compos - Inj. Ceftriaxone
Mentis 1amp/12jam
- Kepala leher = CA
(+/+)
- Thorax paru = DBN
- Jantung = sulit
dievaluasi
- Abdomen = terdapat
splenomegali
schuffner 2,
hepatomegali 2 cm

10
dari arcus costa
- Ekstremitas = akral
hangat (+)
- Hb : 12,3
Assesment:
- Anemia
- GEA
26 Mei 2014 Subjek: pasien mengeluh - Bed rest
perut senep (+) - Diet bubur 170-
Objek: kalori
- T = 110/70 - Inf. NaCl 20 tpm
S = 36,5 N = 80 - Inj. Omeprazol
- KU = cukup 1btl/12jam
KS = Compos - Inj. Ceftriaxone
Mentis disodium
- Kepala leher = CA 1amp/12jam
(-/-)
- Thorax paru = DBN
- Jantung = sulit
dievaluasi
- Abdomen = terdapat
splenomegali
schuffner 2,
hepatomegali 2 cm
dari arcus costa
- Ekstremitas = akral
hangat (+), udem
tungkai (-)
Assesment:
- Anemia
- Gastropathy NSAID

11
27 Mei 2014 Subjek: pasien mengeluh - Bed rest
BAB cair > 3x - Diet bubur 170-
Objek: kalori
- T = 100/60 - Inf. NaCl 20 tpm
S = 36,5 N = 80 - Inj. Omeprazol
- KU = cukup 1btl/12jam
KS = Compos Inj. Ceftriaxone
Mentis disodium
- Kepala leher = CA 1amp/12jam
(+/+) - Sucralfat syr 3xCI
- Thorax paru = DBN
- Jantung = sulit
dievaluasi
- Abdomen = terdapat
splenomegali
schuffner 2,
hepatomegali 2 cm
dari arcus costa
- Ekstremitas = akral
hangat (+), udem
tungkai (-)
Assesment:
- Anemia hipokromik
mikrositik
- Gastropathy NSAID
28 Mei 2014 Subjek: pasien mengeluh - Bed rest
BAB cair > 3x, perut - Diet bubur 170-
senep, sebah. kalori
Objek: - Inf. NaCl 20 tpm
- T = 110/70 - Inj. Omeprazol
S = 36,5 N = 80 1btl/12jam

12
- KU = cukup - Inj. Ceftriaxone
KS = Compos disodium
Mentis 1amp/12jam
- Kepala leher = CA - L-Bio pulv 3x2
(+/+) - Sucralfat syr 3xCII
- Thorax paru = DBN
- Jantung = sulit
dievaluasi
- Abdomen = terdapat
splenomegali
schuffner 2,
hepatomegali 2 cm
dari arcus costa
- Ekstremitas = akral
hangat (+), udem
tungkai (-)
Assesment:
- Anemia hipokromik
mikrositik
- Gastropathy NSAID
Planning : cek DR
29 Mei 2014 Subjek: pasien mengeluh - Bed rest
BAB cair 8x, perut - Diet bubur 170-
kembung kalori
Objek: - Inf. NaCl 20 tpm
- T = 110/60 - Inj. Omeprazol
S = 36,5 N = 80 1btl/12jam
- KU = cukup - Inj. Ceftriaxone
KS = Compos disodium
Mentis 1amp/12jam
- Kepala leher = CA - L-Bio pulv 3x2

13
(+/+) - Sucralfat syr 3xCII
- Thorax paru = DBN - Inj. Ranitidin
- Jantung = sulit 1amp/12jam
dievaluasi
- Abdomen = terdapat
splenomegali
schuffner 2,
hepatomegali 2 cm
dari arcus costa
- Ekstremitas = akral
hangat (+), udem
tungkai (-)
Assesment:
- Anemia hipokromik
mikrositik
- Gastropathy NSAID
30 Mei 2014 Subjek: pasien mengeluh - Bed rest
BAB cair > 3x, perut - Diet bubur 170-
sebah, senep kalori
Objek: - Inf. NaCl 20 tpm
- T = 110/70 - Inj. Omeprazol
S = 36,5 N = 80 1btl/12jam
- KU = cukup - Inj. Ceftriaxone
KS = Compos disodium
Mentis 1amp/12jam
- Kepala leher = CA - L-Bio pulv 3x2
(+/+) - Sucralfat syr 3xCII
- Thorax paru = DBN - Inj. Ranitidin
- Jantung = sulit 1amp/12jam
dievaluasi
- Abdomen = terdapat

14
splenomegali
schuffner 2
- Ekstremitas = akral
hangat (+), udem
tungkai (-)
Assesment:
- Anemia hipokromik
mikrositik
- Gastropathy NSAID
Planning : VCT
31 Mei 2014 Subjek: pasien mengeluh - Bed rest
BAB cair > 3x, perut kiri - Diet bubur 170-
atas terasa sakit kalori
Objek: - Inf. NaCl 20 tpm
- T = 110/60 - Inj. Omeprazol
S = 36,5 N = 80 1btl/12jam
- KU = cukup - Inj. Ceftriaxone
KS = Compos disodium
Mentis 1amp/12jam
- Kepala leher = CA - L-Bio pulv 3x2
(+/+) - Sucralfat syr 3xCII
- Thorax paru = DBN - Inj. Ranitidin
- Jantung = sulit 1amp/12jam
dievaluasi
- Abdomen = terdapat
splenomegali
schuffner 2
- Ekstremitas = akral
hangat (+), udem
tungkai (-)
Assesment:

15
- Anemia hipokromik
mikrositik
- Gastropathy NSAID
- Colitis kronis
1 Juni 2014 Subjek: pasien mengeluh - Bed rest
BAB cair 7x, perut senep, - Diet bubur 170-
sebah kalori
Objek: - Inf. NaCl 20 tpm
- T = 110/60 - Inj. Omeprazol
S = 36,5 N = 80 1btl/12jam
- KU = cukup - Inj. Ceftriaxone
KS = Compos disodium
Mentis 1amp/12jam
- Kepala leher = CA - L-Bio pulv 3x2
(+/+) - Sucralfat syr 3xCII
- Thorax paru = DBN - Diagit tab 3x1
- Jantung = sulit
dievaluasi
- Abdomen = terdapat
splenomegali
schuffner 2
- Ekstremitas = akral
hangat (+), udem
tungkai (-)
Assesment:
- Anemia hipokromik
mikrositik
- Gastropathy NSAID
- Colitis kronis
2 Juni 2014 Subjek: pasien mengeluh - Bed rest
BAB cair > 3x, perut - Diet bubur 170-

16
senep, sebah kalori
Objek: - Inf. NaCl 20 tpm
- T = 130/70 - Inj. Omeprazol
S = 36,5 N = 80 1btl/12jam
- KU = cukup - Inj. Ceftriaxone
KS = Compos disodium
Mentis 1amp/12jam
- Kepala leher = CA - L-Bio pulv 3x2
(+/+) - Sucralfat syr 3xCII
- Thorax paru = DBN - Inj. Metilprednisolon
- Jantung = sulit 1/3 amp/8jam
dievaluasi - Diagit tab 3x1
- Abdomen = terdapat
splenomegali
schuffner 2
- Ekstremitas = akral
hangat (+), udem
tungkai (-)
Assesment:
- Anemia hipokromik
mikrositik
- Gastropathy NSAID
- Colitis kronis

- Hasil pemeriksaan penunjang tanggal 23 Mei 2014


NILAI
PEMERIKSAAN HASIL SATUAN
RUJUKAN
HEMATOLOGI
Hemoglobin 9,9 L 14,00-18,00 g/DL
Hematokrit 30,6 L 42,00-52,00 %
Leukosit 12,5 H 5-10 x10^3L
Trombosit 363 H 150-300 x10^3L

17
Eritrosit 3,48 L 4,50-5,50 x10^3L
MPV 2,8 L 6,5-12,00 fL
PDW 16,5 9,0-17,0 %
INDEX
MCV 87,9 82,0-92,0 fL
MCH 28,4 27,0-31,0 pg
MCHC 32,4 32,0-37,0 g/DL
HITUNG JENIS
Limfosit% 11,8 L 25,0-40,0 %
Monosit% 0,6 L 3,0-9,0 %
Limfosit# 1,5 1,25-4,0 x10^3uL
Monosit# 0,1 L 0,30-1,00 x10^3uL
Gran% 87,6 H 50,0-70,0 %
Gran# 10,9 H 2,50-7,00 x10^3uL
RDW 16,2 H 11,5-14,7 %

Hasil pemeriksaan penunjang tanggal 25 Mei 2014


NILAI
PEMERIKSAAN HASIL SATUAN
RUJUKAN
HEMATOLOGI
Hemoglobin 12,3 L 14,00-18,00 g/DL
Hematokrit 39,1 L 42,00-52,00 %
Leukosit 12,2 H 5-10 x10^3L
Trombosit 377 H 150-300 x10^3L
Eritrosit 4,20 L 4,50-5,50 x10^3L
MPV 3,2 L 6,5-12,00 fL
PDW 16,5 9,0-17,0 %
INDEX
MCV 93,1 H 82,0-92,0 fL
MCH 29,3 27,0-31,0 pg
MCHC 31,5 L 32,0-37,0 g/DL

18
HITUNG JENIS
Limfosit% 9,1 L 25,0-40,0 %
Monosit% 1,5 L 3,0-9,0 %
Limfosit# 1,1 L 1,25-4,0 x10^3uL
Monosit# 0,2 L 0,30-1,00 x10^3uL
Gran% 89,4 H 50,0-70,0 %
Gran# 10,9 H 2,50-7,00 x10^3uL
RDW 16,4 H 11,5-14,7 %

19
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Anemia
a. Definisi
Anemia adalah keadaan dimana massa eritosit dan/atau massa
hemoglobin yang beredar tidak dapat memenuhi fungsinya untuk
menyediakan oksien bagi jaringan tubuh.1
Anemia didefinisikan sebagai berkurangnya atau lebih parameter sel
darah merah: konsentrasi hemoglobin, hematokrit atau jumlah sel darah
merah. Menurut kriteria WHO anemia adalah kadar hemoglobin di
bawah 13 g% pada pria dan di bawah 12 g% pada wanita. 2 Berdasarkan
kriteria WHO yang direvisi/ kriteria National Cancer Institute, anemia
adalah kadar hemoglobin di bawah 14 g% pada pria dan di bawah 12 g%
pada wanita. Kriteria ini digunakan untuk evaluasi anemia pada penderita
dengan keganasan.1 Anemia merupakan tanda adanya penyakit. Anemia
selalu merupakan keadaan tidak normal dan harus dicari penyebabnya.
Anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan laboratorium sederhana
berguna dalam evaluasi penderita anemia.2
b. Derajat anemia1
1. Ringan sekali : Hb 10 g/dl - cut off point
2. Ringan : Hb 8 g/dl - Hb 9,9 g/dl
3. Sedang : Hb 6 gr/dl – Hb 7,9 g/dl
4. Berat : Hb < 6 g/dl
c. Klasifikasi anemia1
1. Klasifikasi morfologik
A. Anemia hipokromik mikrositik
(MCV < 80 fl, MCH < 27 pg)
1. Anemia defisiensi besi
2. Thalassemia
3. Anemia akibat penyakit kronis

20
4. Anemia sideroblastik
B. Anemia normokromik normositik
(MCV 80-95fl, MCH 27-34pg)
1. Anemia pascaperdarahan akut
2. Anemia aplastik-hipoplastik
3. Anemia hemolitik
4. Anemia akibat penyakit kronis
5. Anemia mieloptisik
6. Anemia pada mielofibrosis
7. Anemia pada sindrom mielodisplastik
8. Anemia pada leukemia akut
9. Anemia pada gagal ginjal kronik
C. Anemia makrositik(MCV > 95 fl)
1. Megaloblastik
a. Anemia defisiensi folat
b. Anemia defisiensi vitamin B12
2. Nonmegaloblastik
a. Anemia pada penyakit hati kronik
b. Anemia pada hipotiroid
c. Anemia pada sindroma mielodisplastik
2. Klasifikasi etiopatogenesis
A. Produksi eritrosit menurun
1. Kekurangan bahan untuk eritrosit
a. Besi : anemia defisiensi besi
b. Vitamin B12 dan asam folat : anemia megaloblastik
2. Gangguan utilisasi besi
a. Anemia akibat penyakit kronik
b. Anemia sideroblastik
3. Kerusakan jaringan sumsum tulang
a. Atrofi dengan penggatian oleh jaringan lemak : anemia
aplastik/hipoplastik

21
b. Penggantian oleh jaringan fibrotik/tumor : anemia
leukoeritroblastik/mieloblastik
4. Fungsi sumsum tulang kurang baik karena tidak diketahui
a. Anemia diseritopoetik
b. Anemia pada sindrom mielodisplastik
B. Kehilangan eritrosit dari tubuh
1. Anemia pascaperdarahan akut
2. Anemia pascaperdarahan kronik
C. Peningkatan penghancuran eritrosit dalam tubuh (hemolisis)
1. Faktor ekstraorpuskuler
a. Antibodi terhadap eritrosit
1. Autontibodi-AIHA (autoimmune hemolytic anemia)
2. Isoantibodi-HDN 9 hemolytic disease of the
newborn)
b. Hipersplenisme
c. Pemaparam terhadap bahan kimia
d. Akibat infeksi bakteri/parasit
e. Kerusakan mekanik
2. Faktor intraorpuskuler
a. Gangguan membran
1. Hereditary spherocytosis
2. Hereditary elliptocytosis
b. Gangguan enzim
1. Defisiensi pyruvate kinase
2. Defisiensi G6PD (glucose-6 phosphate
dehydrogenase)
c. Gangguan hemoglobin
1. Hemoglobinopati struktural
2. Thalassemia
D. Bentuk campuran
E. Bentuk yang patogenesisnya belum jelas

22
d. Pendekatan Diagnostik untuk Penderita Anemia
1. Anamnesis
a. Riwayat penyakit sekarang
b. Riwayat penyakit terdahulu
c. Riwayat gizi
d. Anamnesis menganai lingkungan, pemaparan bahan kimia, dan
fisik serta riwayat pemakain obat
e. Riwayat keluarga
2. Pemeriksaan Fisik
a. Warna kulit: pucat, plethora, sianosis, ikterus, kulit telapak tangan
kuning seperti jerami
b. Purpura: petechie dan echymosis
c. Kuku: koilonychia (kuku sendok)
d. Mata: ikterus, konjutiva pucat, perubahan fundus
e. Mulut: ulserasi, hipertrofi gusi, perdarahan gusi, atrofi papil lidah,
glossitis dan stomatitis angularis
f. Limfadenopati
g. Hepatomegali
h. Splenomegali
i. Nyeri tulang atau nyeri sternum
j. Hemarthrosis atau ankilosis sendi
k. Pembengkakan testis
l. Pembengkakan parotis
m. Kelainan sistem saraf
3. Pemeriksaan laboratorium hematologi
a. Tes penyaring
1. Kadar hemoglobin
2. Indeks eritrosit (MCV, MCH, MCHC)
3. Apusan darah tepi
b. Pemeriksaan rutin
1. Laju endap darah

23
2. Hitung diferensial
3. Hitung retikulosit
c. Pemeriksaan sumsum tulang
d. Pemeriksaan khusus
1. Anemia defisiensi besi: serum iron, TIBC, saturasi transferin
dan feritin serum
2. Anemia megaloblastik: asam folat/eritrosit, vitamin B12
3. Anemia hemolitik: hitung retikulosit, tes coombs,
elektroforesis Hb
4. Anemia pada leukemia akut: pemeriksaan sitokimia
4. Pemeriksaan laboratorium nonhematologi
a. Faal ginjal
b. Faal endokrn
c. Asam urat
d. Faal hati
e. Biakan kuman
5. Pemeriksaan penunjang lain
a. Biopsi kelenjar dilanjutkan pemeriksan histopatologi
b. Radiologi: thoraks, bone survey, USG, skening, limfangografi
c. Pemeriksaan sitogenik
d. Pemeriksaan biologi molekuler (PCR = polymerase chain
reaction, FISH = fluorescense in situ hybridization)
B. Anemia Defisiensi Besi
1. Definisi
Anemia defisiensi besi adalah anemia yang timbul akibat
berkurangnya penyediaan besi untuk eritropoesis, karena cadangan besi
kosong (depleted iron store) yang pada akhirnya mengakibatkan
pembentukan hemoglobin berkurang.1
Anemia defisiensi besi merupakan tahap defisiensi besi yang
paling parah, yang ditandai oleh penurunan cadangan besi, konsentrasi

24
besi serum, dan saturasi transferin yang rendah, dan konsentrasi
hemoglobin atau nilai hematokrit yang menurun.3
2. Absorbsi Besi Untuk Pembentukan Hemoglobin1
Proses absorbsi besi dibagi menjadi tiga fase, yaitu:
a. Fase Luminal
Besi dalam makanan terdapat dalam dua bentuk, yaitu besi heme
dan besi non-heme. Besi heme terdapat dalam daging dan ikan, tingkat
absorbsi dan bioavailabilitasnya tinggi. Besi non-heme berasal dari
sumber nabati, tingkat absorbsi dan bioavailabilitasnya rendah. Besi
dalam makanan diolah di lambung (dilepaskan dari ikatannya dengan
senyawa lain) karena pengaruh asam lambung. Kemudian terjadi
reduksi dari besi bentuk feri (Fe3+) ke fero (Fe2+) yang dapat diserap
di duodenum.
b. Fase Mukosal
Penyerapan besi terjadi terutama melalui mukosa duodenum dan
jejunum proksimal. Penyerapan terjadi secara aktif melalui proses
yang sangat kompleks dan terkendali. Besi heme dipertahankan dalam
keadaan terlarut oleh pengaruh asam lambung. Pada brush border dari
sel absorptif (teletak pada puncak vili usus, disebut sebagai apical
cell), besi feri direduksi menjadi besi fero oleh enzim ferireduktase
(Gambar 2.2), mungkin dimediasi oleh protein duodenal cytochrome
b-like (DCYTB). Transpor melalui membran difasilitasi oleh divalent
metal transporter (DMT 1). Setelah besi masuk dalam sitoplasma,
sebagian disimpan dalam bentuk feritin, sebagian diloloskan melalui
basolateral transporter ke dalam kapiler usus. Pada proses ini terjadi
konversi dari feri ke fero oleh enzim ferooksidase (antara lain oleh
hephaestin). Kemudian besi bentuk feri diikat oleh apotransferin
dalam kapiler usus.
Sementara besi non-heme di lumen usus akan berikatan dengan
apotransferin membentuk kompleks transferin besi yang kemudian
akan masuk ke dalam sel mukosa dibantu oleh DMT 1. Besi non-

25
heme akan dilepaskan dan apotransferin akan kembali ke dalam lumen
usus.
c. Fase Korporeal
Besi setelah diserap melewati bagian basal epitel usus,
memasuki kapiler usus. Kemudian dalam darah diikat oleh
apotransferin menjadi transferin. Satu molekul transferin dapat
mengikat maksimal dua molekul besi. Besi yang terikat pada
transferin (Fe2-Tf) akan berikatan dengan reseptor transferin
(transferin receptor = Tfr) yang terdapat pada permukaan sel,
terutama sel normoblas.
Kompleks Fe2-Tf-Tfr akan terlokalisir pada suatu cekungan
yang dilapisi oleh klatrin (clathrin-coated pit). Cekungan ini
mengalami invaginasi sehingga membentuk endosom. Suatu pompa
proton menurunkan pH dalam endosom sehingga terjadi pelepasan
besi dengan transferin. Besi dalam endosom akan dikeluarkan ke
sitoplasma dengan bantuan DMT 1, sedangkan ikatan apotransferin
dan reseptor transferin mengalami siklus kembali ke permukaan sel
dan dapat dipergunakan kembali.
3. Etiologi1
Anemia defisiensi besi dapat disebabkan oleh karena rendahnya
asupan besi, gangguan absorbsi, serta kehilangan besi akibat perdarahan
menahun:
a. Kehilangan besi sebagai akibat perdarahan menahun dapat berasal
dari:
1. Saluran cerna: akibat dari tukak peptik, pemakaian salisilat atau
NSAID, kanker lambung, divertikulosis, hemoroid, dan infeksi
cacing tambang.
2. Saluran genitalia (perempuan): menorrhagia.
3. Saluran kemih: hematuria.
4. Saluran nafas: hemoptisis.

26
b. Faktor nutrisi, yaitu akibat kurangnya jumlah besi total dalam
makanan (asupan yang kurang) atau kualitas besi (bioavailabilitas)
besi yang rendah.
c. Kebutuhan besi meningkat, seperti pada prematuritas, anak dalam
masa pertumbuhan, dan kehamilan.
d. Gangguan absorbsi besi, seperti pada gastrektomi dan kolitis kronik,
atau dikonsumsi bersama kandungan fosfat (sayuran), tanin (teh dan
kopi), polyphenol (coklat, teh, dan kopi), dan kalsium (susu dan
produk susu).
4. Patogenesis
Perdarahan menahun yang menyebabkan kehilangan besi atau
kebutuhan besi yang meningkat akan dikompensasi tubuh sehingga
cadangan besi makin menurun.
Jika cadangan besi menurun, keadaan ini disebut keseimbangan zat
besi yang negatif, yaitu tahap deplesi besi (iron depleted state). Keadaan
ini ditandai oleh penurunan kadar feritin serum, peningkatan absorbsi besi
dalam usus, serta pengecatan besi dalam sumsum tulang negatif. Apabila
kekurangan besi berlanjut terus maka cadangan besi menjadi kosong sama
sekali, penyediaan besi untuk eritropoesis berkurang sehingga
menimbulkan gangguan pada bentuk eritrosit tetapi anemia secara klinis
belum terjadi. Keadaan ini disebut sebagai iron deficient erythropoiesis.
Pada fase ini kelainan pertama yang dijumpai adalah peningkatan kadar
free protophorphyrin atau zinc protophorphyrin dalam eritrosit. Saturasi
transferin menurun dan kapasitas ikat besi total (total iron binding
capacity = TIBC) meningkat, serta peningkatan reseptor transferin dalam
serum. Apabila penurunan jumlah besi terus terjadi maka eritropoesis
semakin terganggu sehingga kadar hemoglobin mulai menurun.
Akibatnya timbul anemia hipokromik mikrositik, disebut sebagai anemia
defisiensi besi (iron deficiency anemia).
5. Manifestasi Klinis
a. Gejala Umum Anemia

27
Gejala umum anemia disebut juga sebagai sindrom anemia
(anemic syndrome) dijumpai pada anemia defisiensi besi apabila
kadar hemoglobin kurang dari 7-8 g/dl. Gejala ini berupa badan
lemah, lesu, cepat lelah, mata berkunang-kunang, serta telinga
mendenging. Pada pemeriksaan fisik dijumpai pasien yang pucat,
terutama pada konjungtiva dan jaringan di bawah kuku. Pada
umumnya sudah disepakati bahwa bila kadar hemoglobin < 7 gr/dl
maka gejala-gejala dan tanda-tanda anemia akan jelas.
b. Gejala Khas Defisiensi Besi
Gejala yang khas dijumpai pada defisiensi besi, tetapi tidak
dijumpai pada anemia jenis lain adalah
1. Koilonychia, yaitu kuku sendok (spoon nail), kuku menjadi
rapuh, bergaris-garis vertikal dan menjadi cekung sehingga mirip
sendok.
2. Atrofi papil lidah, yaitu permukaan lidah menjadi licin dan
mengkilap karena papil lidah menghilang.
3. Stomatitis angularis (cheilosis), yaitu adanya keradangan pada
sudut mulut sehingga tampak sebagai bercak berwarna pucat
keputihan.
4. Disfagia, yaitu nyeri menelan karena kerusakan epitel hipofaring.
6. Pemeriksaan
Menurut Guillermo dan Arguelles (Riswan, 2003) pemeriksaan
yang dapat dilakukan antara lain:
a. Pemeriksaan Laboratorium
1. Hemoglobin (Hb)
Hemoglobin adalah parameter status besi yang memberikan
suatu ukuran kuantitatif tentang beratnya kekurangan zat besi
setelah anemia berkembang. Pada pemeriksaan dan pengawasan
Hb dapat dilakukan dengan menggunakan alat sederhana seperti
Hb sachli, yang dilakukan minimal 2 kali selama kehamilan, yaitu
trimester I dan III.

28
2. Penentuan Indeks Eritrosit
Penentuan indeks eritrosit secara tidak langsung dengan
flowcytometri atau menggunakan rumus:
a. Mean Corpusculer Volume (MCV)
MCV adalah volume rata-rata eritrosit, MCV akan menurun
apabila kekurangan zat besi semakin parah, dan pada saat
anemia mulai berkembang. MCV merupakan indikator
kekurangan zat besi yang spesiflk setelah thalasemia dan
anemia penyakit kronis disingkirkan. Dihitung dengan
membagi hematokrit dengan angka sel darah merah. Nilai
normal 70-100 fl, mikrositik < 70 fl dan makrositik > 100 fl.
b. Mean Corpuscle Haemoglobin (MCH)
MCH adalah berat hemoglobin rata-rata dalam satu sel
darah merah. Dihitung dengan membagi hemoglobin dengan
angka sel darah merah. Nilai normal 27-31 pg, mikrositik
hipokrom < 27 pg dan makrositik > 31 pg.
c. Mean Corpuscular Haemoglobin Concentration (MCHC)
MCHC adalah konsentrasi hemoglobin eritrosit rata-rata.
Dihitung dengan membagi hemoglobin dengan hematokrit.
Nilai normal 30-35% dan hipokrom < 30%.
3. Pemeriksaan Hapusan Darah Perifer
Pemeriksaan hapusan darah perifer dilakukan secara
manual. Pemeriksaan menggunakan pembesaran 100 kali dengan
memperhatikan ukuran, bentuk inti, sitoplasma sel darah merah.
Dengan menggunakan flowcytometry hapusan darah dapat dilihat
pada kolom morfology flag.
4. Luas Distribusi Sel Darah Merah (Red Distribution Wide = RDW)
Luas distribusi sel darah merah adalah parameter sel darah
merah yang masih relatif baru, dipakai secara kombinasi dengan
parameter lainnya untuk membuat klasifikasi anemia. RDW
merupakan variasi dalam ukuran sel merah untuk mendeteksi

29
tingkat anisositosis yang tidak kentara. Kenaikan nilai RDW
merupakan manifestasi hematologi paling awal dari kekurangan
zat besi, serta lebih peka dari besi serum, jenuh transferin, ataupun
serum feritin. MCV rendah bersama dengan naiknya RDW adalah
pertanda meyakinkan dari kekurangan zat besi, dan apabila
disertai dengan eritrosit protoporphirin dianggap menjadi
diagnostik. Nilai normal 15 %.
5. Eritrosit Protoporfirin (EP)
EP diukur dengan memakai haematofluorometer yang
hanya membutuhkan beberapa tetes darah dan pengalaman
tekniknya tidak terlalu dibutuhkan. EP naik pada tahap lanjut
kekurangan besi eritropoesis, naik secara perlahan setelah
serangan kekurangan besi terjadi. Keuntungan EP adalah
stabilitasnya dalam individu, sedangkan besi serum dan jenuh
transferin rentan terhadap variasi individu yang luas. EP secara
luas dipakai dalam survei populasi walaupun dalam praktik klinis
masih jarang.
6. Besi Serum (Serum Iron = SI)
Besi serum peka terhadap kekurangan zat besi ringan, serta
menurun setelah cadangan besi habis sebelum tingkat hemoglobin
jatuh. Keterbatasan besi serum karena variasi diurnal yang luas
dan spesitifitasnya yang kurang. Besi serum yang rendah
ditemukan setelah kehilangan darah maupun donor, pada
kehamilan, infeksi kronis, syok, pireksia, rhematoid artritis, dan
malignansi. Besi serum dipakai kombinasi dengan parameter lain,
dan bukan ukuran mutlak status besi yang spesifik.
7. Serum Transferin (Tf)
Transferin adalah protein tranport besi dan diukur bersama
-sama dengan besi serum. Serum transferin dapat meningkat pada
kekurangan besi dan dapat menurun secara keliru pada peradangan
akut, infeksi kronis, penyakit ginjal dan keganasan.

30
8. Transferrin Saturation (Jenuh Transferin)
Jenuh transferin adalah rasio besi serum dengan
kemampuan mengikat besi, merupakan indikator yang paling
akurat dari suplai besi ke sumsum tulang. Penurunan jenuh
transferin dibawah 10% merupakan indeks kekurangan suplai besi
yang meyakinkan terhadap perkembangan eritrosit. Jenuh
transferin dapat menurun pada penyakit peradangan. Jenuh
transferin umumnya dipakai pada studi populasi yang disertai
dengan indikator status besi lainnya. Tingkat jenuh transferin yang
menurun dan serum feritin sering dipakai untuk mengartikan
kekurangan zat besi. Jenuh transferin dapat diukur dengan
perhitungan rasio besi serum dengan kemampuan mengikat besi
total (TIBC), yaitu jumlah besi yang bisa diikat secara khusus oleh
plasma.
9. Serum Feritin
Serum feritin adalah suatu parameter yang terpercaya dan
sensitif untuk menentukan cadangan besi orang sehat. Serum
feritin secara luas dipakai dalam praktek klinik dan pengamatan
populasi. Serum feritin < 12 ug/l sangat spesifik untuk kekurangan
zat besi, yang berarti kehabisan semua cadangan besi, sehingga
dapat dianggap sebagai diagnostik untuk kekurangan zat besi.
Rendahnya serum feritin menunjukan serangan awal
kekurangan zat besi, tetapi tidak menunjukkan beratnya
kekurangan zat besi karena variabilitasnya sangat tinggi.
Penafsiran yang benar dari serum feritin terletak pada pemakaian
range referensi yang tepat dan spesifik untuk usia dan jenis
kelamin. Konsentrasi serum feritin cenderung lebih rendah pada
wanita dari pria, yang menunjukan cadangan besi lebih rendah
pada wanita. Serum feritin pria meningkat pada dekade kedua, dan
tetap stabil atau naik secara lambat sampai usia 65 tahun. Pada
wanita tetap saja rendah sampai usia 45 tahun, dan mulai

31
meningkat sampai sama seperti pria yang berusia 60-70 tahun,
keadaan ini mencerminkan penghentian mensturasi dan
melahirkan anak. Pada wanita hamil serum feritin jatuh secara
dramatis dibawah 20 ug/l selama trimester II dan III bahkan pada
wanita yang mendapatkan suplemen zat besi.
Serum feritin adalah reaktan fase akut, dapat juga
meningkat pada inflamasi kronis, infeksi, keganasan, penyakit
hati, alkohol. Serum feritin diukur dengan mudah memakai Essay
immunoradiometris (IRMA), Radioimmunoassay (RIA), atau
Essay immunoabsorben (Elisa).
b. Pemeriksaan Sumsum Tulang
Masih dianggap sebagai standar emas untuk penilaian cadangan
besi, walaupun mempunyai beberapa keterbatasan. Pemeriksaan
histologis sumsum tulang dilakukan untuk menilai jumlah
hemosiderin dalam sel-sel retikulum. Tanda karakteristik dari
kekurangan zat besi adalah tidak ada besi retikuler.
Keterbatasan metode ini seperti sifat subjektifnya sehingga
tergantung keahlian pemeriksa, jumlah struma sumsum yang memadai
dan teknik yang dipergunakan. Pengujian sumsum tulang adalah suatu
teknik invasif, sehingga sedikit dipakai untuk mengevaluasi cadangan
besi dalam populasi umum.
7. Diagnosis Banding
a. Anemia akibat penyakit kronik
b. Thalassemia
c. Anemia sideroblastik
8. Terapi
a. Terapi kausal tergantung penyebabnya
b. Pemberian preparat besi untuk mengganti kekurangan besi dalam
tubuh

32
1. Besi per oral: ferrous sulphat (sulfas ferosus) dosis 3x200mg,
ferrous gluconate, ferrous fumarat, ferrous lactate dan ferrous
siccinate
2. Besi parenteral
Efek samping lebih berbahaya, indikasi:
a. Intoleransi oral berat
b. Kepatuhan berobat kurang
c. Kolitis ulserativa
d. Perlu peningkatan Hb secara cepat
Dosis besi parenteral harus dihitung dengan tepat karena besi
berlebih akan membahayakan pasien. Besarnya dosis dihitung
dengan rumus:
Kebutuhan besi (mg) = (15-Hb sekarang) x BB x 3
3. Pengobatan lain
a. Diet sebaiknya diberikan makanan bergizidengan tinggi
protein terutama yang berasal dari protein hewani
b. Vitamin c diberikan 3x100 mg per hari untuk mengingkatkan
absorpsi besi.
c. Transfusi darah dengan indikasi:
1. Adanya penyakit jantung anermik dengan ancaman payah
jantung
2. Anemia yang sangat simtomatik
3. Penderita yang memerlukan peningkatan Hb yang cepat
C. Thalassemia
1. Definisi
Thalassemia adalah sekelompok heterogen anemia hipokromik
mikrositik herediter didapat ketidakadaan atau kekurangan produksi
satu atau lebih rantai globin dari hemoglobin
Fungsi hemoglobin sebagai pengikat O2 dan CO2. Pada saat
molekul Hb mengangkut dan melepaskan O2, masing-masing rantai

33
globin dalam molekul Hb bergerak satu sama lain, kontak α 1β1dan α2β2
menstabilkan molekul tersebut.
2. Etiologi
a. Thalassemia α disebabkan oleh delesi ge atau terhapus karena
kecelakaan genetik yang mengatur produksi tetramer globin.
Induvidu normal yang mempunyai 2 gen alfa yaitu alfa thal 2 dan
alfa thal 1 terletak pada bagian pendek kromosom 16 (aa/aa).
Hilangnya satu gen (silent carrier) tidak menunjukkan gejala klinis,
sedangkan hilangnya 2 gen hanya memberikan manifestasi ringan
atau tidak memberikan gejala klinis yang jelas. Hilangnya 3 gen
(penyakit Hb H) memberikan anemia moderat dan gambaran klinis
thalassemia α intermediat. Afinitas Hb H terhadap oksigen sangat
terganggu dan destruksi eritrosit lebih cepat. Delesi ke 4 gen alfa
(homozigot alfa thal 1, Hb H barts hydrops fetalis) adalah tidak
kompatibel dengan kehidupan akhir intra uterin atau neonatal
tanpa transfusi darah
b. Thalassemia β karena ada mutasi gen. Gen yang mengatur produksi
rantai beta terletak disisi pendek kromoson 11 pada thalassemia β,
mutasi gen disertai berkurangnya produksi mRNA dan
berkurangnya sintesis globin dengan struktur normal. Dibedakan
dalam 2 golongan besar thalassemia β:
- Ada produksi sedikit rantai beta (tipe beta plus)
- Tidak ada produksi ranti beta (tipe beta nol)
3. Gambaran hematologi
a. Thalassemia mayor
1. Darah tepi terdiri atas:
a. Anemia berat, Hb dapat 3-9 g/dl sehingga terus menerus
memerlukan transfusi darah
b. Apusan darah tepi: eritrosit hipokromik mikrositik,
dijumpai sel target, normoblast, dan polikromasia
c. Retikulosis

34
2. Sumsum tulang: hiperplasia erritroid dan cadangan besi
meningkat.
3. Red cell survival memendek
4. Tes fragilitas osmotik: eritrosit lebih tahan larutan salin
hipotonik
5. Elektroforesis hemoglobin terdiri atas:
a. HbF meningkat: 10-98%
b. HbA bisa ada (pada β+), bisa tidak ada (pada β0)
c. HbA2 sangat bervariasi, bisa rendah, normal, atau
meningkat
6. Pemeriksaan khusus: pada analisis “globin chain synthesis”
dalam retikulosit akan dijumpai sintesis rantai beta menurun
dengan rasio α/β meningkat.
b. Thalassemia intermedia
1. Anemia sedang (Hb 7-10 g/dl)
2. Bersifat beragam terdiri atas:
a. Thalassemiabeta homozigot dengan defek sintesis rantai
beta tidak begitu berat
b. Bentuk heterozigot: kombinasi thalassemia beta trait
dengan HbE atau Hb Lepore
c. Koeksistensi bersama thalassemia alfa trait sehingga ekses
rantai alfa berkurang
d. Gejala klinik menyerupai thalassemia major dengan
deformitas tulang, hepatosplenomegali, iron overload
terjadi setelah dewasa
e. Gambaran hematologi sama dengan thalassemia major
c. Thalassemia alfa
1. Terjadi deletion 2 gen alfa (- -/αα) atau (-α/-α)
2. Dijumpai anemia dringan dengan mikrositosis, MCV 60-75 fl
3. HbH meningkat, tetapi tidak dapat dideteksi dengan
elektroforesis hemoglobin

35
4. Diagnosis lebih banyak dilakukan untuk menyingkirkan
pnyebab lain
d. Penyakit HbH
1. Terjadi deletion 3 gen (- -/- α)
2. Terbentuk HbH (β4) yang mudah mengalami presipitasi dalam
eritrosit, membentuk inclusion bodies sehingga eritrosit mudah
hancur
3. Penderita dapat tumbuh sampai dewasa dengan anemia sedang
(Hb 8-10 g/dl), anemia bersifat hipokromik mikrositik, MCV
60-70 fl, disertai basophylic stippling, dan reikulosit
4. Pengecatan supravital (brilliant cressyl blue): tampak multiple
inclusion bodies
5. Sebagian besar penderita tidak memerlukan transfusi kecuali
jika timbul anemia berat. Asam folat diberi 5 mg/hari. Hindari
pemakaian obat oksidan
4. Diagnosis banding thalassemia dan anemia defisiensi besi
Thalassemia Anemia defisiensi
besi
Splenomegali + -
Ikterus + -
Perubahan morfologik Tak sebanding Sebanding dengan
eritrosit dengan derajat anemi derajat anemi
Sel target ++ +/-
Resistensi osmotic ↑ Normal
Besi serum ↑ ↓
TIBC ↓ ↑
Cadangan besi ↑ Kosong
Feritin serum ↑ ↓
HbA2/HbF ↑ Normal

5. Terapi

36
a. Pemberian transfusi teratur, untuk mencapai hemoglobin di atas 10
g/dl, transfusi 2-4 unit darah setiap 4-6 minggu
b. Untuk mencegah penumpukan besi (hemochromatosis) akibat
transfusi dan akibat patogenesis dari thalassemia sendiri. Dilakukan
pemberian iron chelator yaitu: desferioksamin (desferal R) sehingga
meningkatkan ekskresi besi dalam urine
c. Pemberian asam folat 5 mg/hari secara oral untuk mencegah krisis
megaloblastik
d. Untuk mengurangi proses hemolisis dengan splenektomi
e. Terapi definitif dengan transplantasi sumsum tulang
f. Transfer gen
D. Gastropathy NSAID
1. Definisi
Gastropati merupakan kelainan pada mukosa lambung dengan
karakteristik  perdarahan subepitelial dan erosi. Salah satu penyebab
dari gastropati adalah efek dari NSAID (Non steroidal anti
inflammatory drugs) serta beberapa faktor lain seperti alkohol, stres,
ataupun faktor kimiawi. Gastropati NSAID dapat memberikan keluhan
dan gambaran klinis yang bervariasi seperti dispepsia, ulkus, erosi,
hingga perforasi.5,6
Di Indonesia, Gastropati NSAID merupakan penyebab kedua
gastropati setelah Helicobacter pylori dan penyebab kedua perdarahan
saluran cerna bagian atas setelah ruptur varises oesophagus.5
2. Faktor risiko6,7,8
Beberapa faktor risiko gastropathy NSAID meliputi:
a. usia lanjut >60 tahun
b. Riwayat pernah menderita tukak 
c. Riwayat perdarahan saluran cerna
d. Digunakan bersama-sama dengan steroid
e. Dosis tinggi atau menggunakan 2 jenis NSAID

37
f. Menderita penyakit sistemik yang beratMungkin sebagai faktor
risiko
g. Bersama-sama dengan infeksi Helicobacter pylory
h. Merokok 
i. Meminum alkohol
3. Patogenesis gatropathy NSAID
Mekanisme NSAID menginduksi traktus gastrointestinal tidak
sepenuhnya dipahami. Dalam sebuah referensi, NSAID merusak
mukosa lambung melalui 2 mekanisme yaitu tropikal dan sistemik.
Kerusakan mukosa secara tropikal terjadi karena NSAID bersifat asam
dan lipofili, sehingga mempermudah trapping ion hydrogen masuk
mukosa dan menimbulkan kerusakan. Efek sistemik NSAID
lebih penting yaitu kerusakan mukosa terjadi akibat produksi
prostaglandin menurun secara bermakna. Seperti diketahui
prostaglandin merupakan substansi sitoprotektif yang amat penting
bagi mukosa lambung. Efek sitoproteksi itu dilakukan dengan cara
menjaga aliran darah mukosa, meningkatkan sekresi mukosa dan ion
bikarbonat dan meningkakan epitel defensif. Ia memperkuat sawar
mukosa lambung duodenum dengan meningkatkan kadar fosfolipid
mukosa sehingga meningkatkan hidrofobisitas permukaan mukosa,
dengan demikian mencegah/mengurangi difusi balik ion hidrogen.
Selain itu, prostaglandin juga menyebabkan hiperplasia
mukosa lambung duodenum (terutama di antara antrum lambung),
dengan memperpanjang daur hidup sel-sel epitel yang sehat (terutama
sel-sel di permukaan yang memproduksi mukus), tanpa meningkatkan
aktivitas proliferasi.7
Elemen kompleks yang melindungi mukosa gastroduodenal
merupakan prostaglandin endogenous yang di sintesis di mukosa
traktus gastrointestinal bagian atas. COX (siklooksigenase) merupakan
tahap katalitikator dalam produksi prostaglandin. Sampai saat ini
dikenal ada dua bentuk COX, yakni COX-1 dan COX-2. COX-1

38
ditemukan terutama dalam gastrointestinal, ginjal, endotelin, otak dan
trombosit: dan berperan penting dalam pembentukan prostaglandin
dari asam arakidonat. COX-2 pula ditemukan dalam otak dan ginjal
yag juga bertanggung jawab dalam respon inflamasi. Endotel vaskular
secara terus-menerus menghasilkan vasodilator  prostaglandin E dan I
yang apabila terjadi gangguan atau hambatan (COX-1) akan timbul
vasokonstriksi sehingga aliran darah menurun dan menyebabkan
nekrosis epitel.9
Penghambatan COX oleh NSAID ini lebih lanjut dikaitkan
dengan perubahan produksi mediator inflamasi. Sebagai
konsekuensi dari penghambatan COX-2, terjadi sintesis leukotrien
yang disempurnakan dapat terjadi oleh shunting metabolisme asam
arakidonat terhadap-lipoxygenase jalur 5. Leukotrien yang
memberikan kontribusi terhadap cedera mukosa lambung dengan
mendorong iskemia jaringan dan peradangan. Peningkatan ekspresi
molekul adhesi seperti molekul adhesi antar sel-1 oleh mediator pro-
inflamasi seperti tumor necrosis factor-α mengarah ke peningkatan
adheren dan aktivasi neutrofil-endotel. Wallace mendalilkan bahwa
pengaruh NSAID terhadap neutrofil adheren mungkin
berkontribusi terhadap patogenesis kerusakan mukosa lambung
melalui dua mekanisme utama: (i) oklusi microvessels lambung oleh
microthrombi menyebabkan aliran darah lambung berkurang dan
kerusakan seliskemik, (ii) meningkatkan pembebasan dari radikal
bebas yang berasal-oksigen. Oksigen radikal bebas bereaksi dengan
poli asam lemak tak jenuh dari mukosa menyebabkan peroksidasi
lipid dan kerusakan jaringan. NSAID tidak hanya
merusak  perut, tetapi dapat mempengaruhi saluran pencernaan
seluruh dan dapat menyebabkan berbagai komplikasi ekstraintestinal
parah seperti kerusakan ginjal sampai gagal ginjalakut pada pasien
yang memiliki faktor risiko, retensi natrium dan cairan,
hipertensiarterial, dan, kemudian, gagal jantung.8,10

39
4. Gejala klinis
Gastropati NSAID ditandai dengan inbalance antara gambaran
endoskopi dan keluhan klinis. Misalnya pada pasien dengan berbagai
gejala, seperti ketidaknyamanan dan nyeri epigastrium, dispepsia,
kurang sering muntah memiliki lesi minimal pada studi endoskopi.
Sementara pasien dengan keluhan tidak ada ataupun ringan GI
memiliki lesi erosi mukosa parah dan ulcerating. Perkembangan
penyakit berbahaya tersebut dapat menyebabkan pasien dengan
komplikasi mematikan.6
30-40% dari pasien yang menggunakan NSAID secara jangka
panjang (> 6minggu), memiliki keluhan dispepsia yang tidak dalam
korelasi dengan hasil studiendoskopi. Hampir 40% dari pasien dengan
tidak ada keluhan GI telah luka parah mengungkapkan pada studi
endoskopi, dan 50% dari pasien dengan keluhan GI memiliki integritas
mukosa normal.6
Gastropati NSAID dapat diungkapkan dengan tidak hanya
dispepsia tetapi juga dengan gejala sakit, juga mungkin memiliki onset
tersembunyi dengan penyebab mematikan seperti ucler perforasi dan
perdarahan.11
5. Penatalaksanaan gastropathy NSAID
Penatalaksanaan pada pasien gastropati NSAID, terdiri dari non-
mediamentosa dan medikamentosa. Pada terapi non-medikametosa,
yakni berupa istirahat, diet dan jika memungkinkan, penghentian
penggunaan NSAID. Secara umum, pasien dapatdianjurkan
pengobatan rawat jalan, bila kurang berhasil atau ada komplikasi
barudianjurkan rawat inap di rumah sakit.11
Adapun syarat diet lambung yakni:12
1. Mudah cerna, porsi kecil, dan sering diberikan.
2. Energi dan protein cukup, sesuai dengan kemampuan pasien untuk
menerima

40
3. Rendah lemak, yaitu 10-15% dari kebutuhan energi total
yang ditingkatkansecara bertahap hingga sesuai dengan
kebutuhan.
4. Rendah serat, terutama serat tidak larut air yang ditingkatkan
secara bertahap.
5. Cairan cukup, terutama bila ada muntah
6. Tidak mengandung bahan makanan atau bumbu yang tajam, baik
secara termis, mekanis, maupun kimia (disesuaikan dengan daya
terima perseorangan)
7. Laktosa rendah bila ada gejala intoleransi laktosa; umumnya tidak
dianjurkan minum susu terlalu banyak.
8. Makan secara perlahan
Terapi medikamentosa menggunakan menggunakan obat-obat
yang gastroprotektif, yaitu:
 Misoprostol
Misoprostol adalah analog prostaglandin yang digunakan untuk
menggantikan secara lokal pembentukan prostaglandin yang
dihambat oleh NSAID. Menurut analisis-meta dilakukan oleh
Koch, misoprostol mencegah kerusakan GI: ulserasi lambung
ditemukan dikurangi secara signifikan dalam kedua penggunaan
NSAID, kronis dan akut, sedangkan ulserasi duodenum berkurang
secara signifikan hanyadalam pengobatan kronis. Dalam studi-co
aplikasi mukosa misoprostol 200 mgempat kali sehari terbukti
mengurangi tingkat keseluruhan komplikasi NSAIDsekitar 40%.
Namun, penggunaan misoprostol dosis tinggi dibatasi karena
efek samping terhadap GI. Selain itu, penggunaan misoprostol
tidak berhubungandengan pengurangan gejala dispepsia.
 Sukralfat / antasida
Selain mengurangi paparan asam pada epitel yang rusak dengan
membentuk gel pelindung (sucralfate) atau dengan netralisasi asam
lambung (antasida), keduaregimen telah ditunjukkan untuk

41
mendorong berbagai mekanisme gastroprotektif.Sukralfat dapat
menghambat hidrolisis protein mukosa oleh pepsin. Sukralfat
masihdapat digunakan pada pencegahan tukak akibar stress,
meskipun kurang efektif. Karena diaktivasi oleh asam, maka
sukralfat digunakan pada kondisi lambungkosong. Efek samping
yang paling banyak terjadi yaitu konstipasi.Antasida diberikan
untuk menetralkan asam lambung dengan mempertahankan
PHcukup tinggi sehingga pepsin tidak diaktifkan, sehingga mukosa
terlindungi dannyeri mereda. Preparat antasida yang paling banyak
digunakan adalah campurandari alumunium hidroksida dengan
magnesium hidroksida. Efek samping yangsering terjadi adalah
konstipasi dan diare.
 H2-reseptor antagonis
H2 reseptor antagonis (H2RA) merupakan standar pengobatan
ulkus sampai pengembangan PPI. Mereka adalah obat pertama
yang efektif untuk menyembuhkan esofagitis refluks serta tukak
lambung. Namun, dalam pencegahan Gastropati NSAID, H2RA
pada dosis standar tidak hanya kurang efektif tetapi juga dapat
meningkatkan risiko ulkus pendarahan. Menggandakan dosis
standar (famotidin 40 mg dua kali sehari) secara signifikan
menurunkan kejadian 6 bulan ulkus lambung.
 Proton-pump inhibitor 
Supressi asam oleh PPI lebih efektif dibandingkan dengan H2RA
dan sekarangterapi standar untuk pengobatan baik tukak lambung
dan refluks gastro-esofageal- penyakit (GERD). Jika diberikan
dalam dosis yang cukup, produksi asam hariandapat dikurangi
hingga lebih dari 95%. Sekresi asam akan kembali normal setelah
molekul pompa yang baru dimasukkan ke dalam membran lumen.
Omeprazol juga secara selektif menghambat karbonat anhidrase
mukosa lambung yang kemungkinan turut berkontribusi terhadap
sifat supresi asamnya. Proton Pump Inhibitor  yang lain diantaranya

42
lanzoprazol, esomeprazol, rabeprazol dan Pantoprazol. Kelemahan
dari PPI mungkin bahwa mereka tidak mungkin untuk melindungi
terhadap cedera mukosa di bagian distal lebih dari usus (misalnya
dicolonopathy NSAID). Namun, dalam ringkasan, PPI menyajikan
comedication pilihan untuk mencegah NSAID-induced
gastropathy.

E. Kolitis kronik12
1. Definisi
Kolitis adalah gangguan peradangan yang hanya terdapat di usus
besar (colon) perluasan penyakit dapat dibagi menjadi penyakit dapat
dibagi menjadi penyakit distal dan ekstensif. Penyakit distal adalah
kolitis di rektum (proktitis) atau rektum dan sigmoid
(proktosigmoiditis). Penyakit yang lebih ekstensif meliputi kolitis sisi
kiri (sampai ke fleksura splenikus), kolitis ekstensif (sampai ke
fleksura hepatik) dan pankolitis (mengenai seluruh kolon).
2. Etiologi
Etiologi pasti IBD belum sepenuhnya dimengerti. Salah satu teori
yang diyakini adalah peranan mediasi imunologi pada individu yang
memang rentan secara genetis. Penyakit ini diyakini merupakan hasil
respons imun yang menyimpang dan berkurangnya toleransi pada flora
normal usus yang berakibat terjadinya inflamasi kronik pada usus.
3. Patogenesis
Proses patogenesis diawali adanya infeksi, toksin, produk bakteri
atau diet intralumen kolon pada individu rentan dan dipengaruhi oleh
faktor genetis, defek imun, lingkungan sehingga terjadi kaskade proses
inflamasi pada dinding usus. Sitokin yang dilepaskan oleh makrofag
sebagai respons terhadap berbagai stimulus antigenik akan berikatan
dengan beragam reseptor dan menghasilkan efek autokrin, parakrin,
dan endokrin. Sitokin mengubah limfosit menjadi sel T dimana sel T
helper-1 (Th-1) berperan dalam patogenesis PC dan sel T-helper 2 (Th-
2) berperan dalam KU. Respons imun ini akhirnya akan merusak

43
mukosa saluran cerna dan memicu terjadinya kaskade proses inflamasi
kronik.
4. Manifestasi Klinik
a. Intestinal:
1. Diare kronik dengan atau tanpa darah
2. Nyeri perut
b. Extraintestinal:
1. Artritis
2. Uveitis
3. Pioderma gangrenosum
4. Eritema nodusum
5. Kolangitis
c. Sistemik
1. Anemia
2. Demam
3. Gangguan nutrisi
5. Terapi
Konsep pengobatan medikamentosa berprinsip pada:
a. Mengobati peradangan aktif dengan cepat sampai tercapai remisi
b. Mencegah peradangan berulang dengan mempertahankan remisi
selama mungkin
c. Mengobati serta mencegah komplikasi
Medikamentosa yang digunakan
a. Pencegahan peradangan aktif dan peradangan berulang
1. Kortikosteroid
- Glukokortikoid dengan dosis 40-60 mg.
2. Asam aminosalisilat
- Sulfasalazine tablet 250 mg dan 500 mg, enema 4 g/60 ml,
supositoria 500 mg.
- 5-asam aminosalisiat (5-ASA) 2-4 gram per hari
b. Antibiotik

44
Antibiotik diberikan dengan latar belakang bahwa salah
satu agen proinflamasi disebabkan oleh bakteri intraluminal.
Sebagian besar bakteri intraluminal bersifat komensal dan tidak
menginduksi reaksi inflamasi namun mereka masih mampu
memengaruhi respons imun dan menginduksi sel epitel intestinal
untuk menekan kemotaksis, menurunkan ekspresi sitokin proinfl
amasi dan meningkatkan produksi interleukin 10. Antibiotik yang
digunakan adalah metronidazole dengan dosis 1500-3000 mg per
hari dan ciprofloxacin 500 mg dua kali per hari.
c. Imunomodulator
Azatioprin dan 6-merkaptopurin, siklosporin, dan
metotreksat. Dosis inisial azatrioprin 50 mg diberikan hingga
tercapai efek substitusi lalu dinaikkan bertahap 2.5 mg per kgBB.

45
DAFTAR PUSTAKA

1. Bakta, I Made. 2006. Hematologi Klinik Ringkas. Jakarta: EGC.


2. Schrier SL. Approach to the adult patient with anemia. January 2011.
[cited 2011, June 9 ]. Available from: www.uptodate.com
3. Abdulmuthalib, dkk. 2009. Hematologi onkologi klinik. Jakarta: EGC
4. Sarwono, dkk. 2001. Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Balai Penerbit FKUI
5. Suyata, Bustami E, Bardiman S, Bakry F. A comparison of efficacy
betweenrebamipide and omeprazole in the treatment of nsaids gastropathy.
TheIndonesian Journal of Gastroenterology Hepatology and Digestive
EndoscopyVol. 5, No. 3, December 2004; p.89-94.
6. Tugushi M. Nonsteroidal anti inflamatory drug (NSAID)
associatedgastropathies [online]. World Medicine [cited January 28 2011].
Availablefrom:http://www.worldmedicine.ge/?
Lang=2&level1=5&event=publication&id=393.
7. Hirlan. Gastritis. In: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M,
SetiatiS (editor). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Ed.4 Jilid.I. Jakarta:
PusatPenerbitan Ilmu Penyakit Dalam FKUI. 2006. p.335-7.4.
8. Becker JC, Domschke W, Pohie T. Current approaches to prevent NSAID-
induced gastropathy – COX selectivity and beyond. Br J Clin Pharmacol
58 :6.2004; p.587–600
9. Scheiman JM. Nonsteroidal antiinflamatory drug (NSAID)-induced
gastropathy.In: Kim, Karen (editor). Acute gastrointestinal bleeding;
diagnosis andtreatment. New Jersey: Humana Press Inc. 2004. p.75-935.
10. Anonim. Kerusakan lambung akibat NSAID. Otuska Indonesia [online].
2008[cited January 28 2011]. Available from: http://www.otsuka.co.id/?
content=article_detail&id=144&lang=id
11. Tarigan P. Tukak Gaster. In: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I,
Simadibrata M,Setiati S (editor). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Ed.4
Jilid.I. Jakarta: PusatPenerbitan Ilmu Penyakit Dalam FKUI. 2006.
p.338-48.

46
12. Shrestha S, Lau D. Gastric Ulcers: differential diagnose & workup.
Emedicine[online]. 2009 [cited January 28 2011]. Available
from: http://emedicine.medscape.com/article/175765-overview
13. Firmansyah, Adi Mohammad. 2013. Perkembangan Terkini Diagnosis dan
Penatalaksanaan Imflammatory Bowel Disease. Jakarta: CDK-203/vol. 40
no. 4.

47

Anda mungkin juga menyukai