Leukemia Fixhendy
Leukemia Fixhendy
PENDAHULUAN
A. Skenario
Anakku Sering Pingsan
Anak Dodi ,laki-laki 12 tahun dibawa ibunya kedokter dengan keluhan
sering pingsan dan cepat merasa lelah.Pada pemeriksaan ,anak tampak
pucat,didapatkan splenomegali .Hasil pemeriksaaan laboratorium darah diperoleh
kadar Hb 8 gr/dl dan jumlah leukosit meningkat dari keadaan normal .Dari
hapusan darah tepi didapatkan banyak leukosit muda.Dokter menyarankan untuk
melakukan pemeriksaan penunjang lebih lanjut.
B. Analisa Kasus
I. Klarifikasi kata/istilah (clarify terms)
Leukosit muda = leukosit yang imatur, belum mencapai bentuk
fungsionalnya
Hapusan darah tepi = Sediaan darah yang diambil dari darah perifer
Hematologi = Ilmu yang mempelajari tentang darah,dari
mekanisme pembentukan sampai dengan
kondisi patologis dari darah tersebut.
1
9. Mengapa pada kasus ini kadar Hb rendah?
10. Mengapa perlu dilakukan pemeriksaan penunjang ?”
11. Prognosis dan etiologi terhadap penyakit kasus diatas?
12. Bagaimanakah penatalaksaan dan terapi terhadap penyakit ini?”
13. Adakah gejala klinis lain terhadap penyakit ini ?
14. Bagaimanakah proses hemopoeisis secara fisiologis?
15. Fungsi masing-masing unsur darah?”
2
9. Kadar Hb rendah dihubungkan dengan kadar leukosit yang meningkat
adalah karena terjadinya penekanan eritropoesis karena terdesak oleh
leukosit, sehingga proses pembentukan Hb menurun.
10. Untuk menegakkan diagnosis
11. Prognosis LLA tipe L1 lebih baik daripada tipe L2 dan L3.
12. Secara umum penatalaksanaan dibagi menjadi 2 yaitu farmakologis dan
non farmakologis. Contoh farmakologis adalah pemberian obat yang
mampu menekan sel kanker dan non farmakologis berupa terapi radiasi.
3
IV. Pohon Masalah (problem tree)
Hoemopoesis
Leukemia
Limfoblas Akut
Manifestasi Klinis
V. Sasaran belajar
1. Menjelaskan proses hemopoesis.
2. Menjelaskan definisi dan klasifikasi leukimia.
3. Menjelaskan etiologi leukimia.
4. Menjelaskan patofisiologi leukimia.
5. Menjelaskan manifestasi klinis dari leukimia.
6. Menjelaskan pemeriksaan fisik dan penunjang dari leukimia.
4
7. Menjelaskan komplikasi dari leukimia.
8. Menjelaskan penatalaksanaan secara non-farmakologi untuk leukimia.
9. Menjelaskan penatalaksanaan secara farmakologi untuk leukimia.
10. Menjelaskan prognosis dari leukimia.
5
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. DARAH
Darah merupakan suatu suspensi sel dan fragmen sitoplasma di
dalam cairan yang disebut Plasma. Secara keseluruhan darah dapat dianggap
sebagai jaringan pengikat dalam arti luas, karena pada dasarnya terdiri atas
unsur-unsur sel dan substansi interseluler yang berbentuk plasma. Fungsi
utama dari darah adalah mengangkut oksigen yang diperlukan oleh sel-sel di
seluruh tubuh. Darah juga menyuplai jaringan tubuh dengan nutrisi,
mengangkut zat-zat sisa metabolisme, dan mengandung berbagai bahan
penyusun sistem imun yang bertujuan mempertahankan tubuh dari berbagai
penyakit.[1]
Darah manusia berwarna merah, antara merah terang apabila kaya oksigen
sampai merah tua apabila kekurangan oksigen. Warna merah pada darah
disebabkan oleh hemoglobin, protein pernapasan (respiratory protein), yang
terdapat dalam eritrosit dan mengandung besi dalam bentuk heme, yang
merupakan tempat terikatnya molekul-molekul oksigen. Darah juga
mengangkut bahan bahan sisa metabolisme, obat-obatan dan bahan kimia
asing ke hati untuk diuraikan dan ke ginjal untuk dibuang sebagai air seni.
Pada manusia umumnya memiliki volume darah sebanyak kurang lebih 5 liter
dengan unsur-unsur pembentuknya yaitu sel-sel darah, platelet, dan plasma.
Sel darah terdiri dari eritrosit dan leukosit, platelet yang merupakan trombosit
atau keping darah, sedangkan plasma darah pada dasarnya adalah larutan air
yang mengandung :
Air (90%).
Zat terlarut (10%) yang terdiri dari :
- Protein plasma (albumin, globulin, fibrinogen) 7%
- Senyawa Organik (As. Amino, glukosa, vitamin, lemak) 2.1%
- Garam organik (sodium, pottasium, calcium) 0.9%
6
Untuk dapat melihat perbedaan dari sel darah dengan plasma dapat
dilakukan dengan cara sentrifugasi tabung hematokrit berisi darah yang telah
diberi bahan anti pembekuan.Eritrosit, leukosit, plasma dapat dilihat untuk bagian
yang berwarna merah merupakan eritrosit, selapis tipis warna putih merupakan
kumpulan sel-sel darah putih (leukosit) can cairan kuning merupakan plasma.
2.1.1 Eritrosit
Dalam setiap 1 mm3 darah terdapat sekitar 5 juta eritrosit atau
sekitar 99%, oleh karena itu setiap pada sediaan darah yang paling banyak
menonjol adalah sel-sel tersebut. Dalam keadaan normal, eritrosit manusia
berbentuk bikonkaf dengan diameter sekitar 7 -8 μm, tebal ± 2.6 μm dan tebal
tengah ± 0.8 μm dan tanpa memiliki inti. Komposisi molekuler eritrosit
menunjukan bahwa lebih dari separuhnya terdiri dari air (60%) dan sisanya
berbentuk substansi padat. Secara keseluruhan isi eritrosit merupakan
substansi koloidal yang homogen, sehingga sel ini bersifat elastis dan lunak.
Eritrosit mengandung protein yang sangat penting bagi fungsinya yaitu globin
yang dikonjugasikan dengan pigmen hem membentuk hemoglobin untuk
mengikat oksigen yang akan diedarkan keseluruh bagian tubuh. Seperti halnya
sel-sel yang lain, eritrositpun dibatasi oleh membran plasma yang bersifat
semipermeable dan berfungsi untuk mencegah agar koloid yang dikandungnya
tetap didalam.[1]
Dari pengamatan eritrosit banyak hal yang harus diperhatikan untuk
mengungkapkan berbagai kondisi kesehatan tubuh. Misalnya tentang bentuk,
ukuran, warna dan tingkat kedewasaan eritrosit dapat berbeda dari normal.
Jika dalam sediaan apus darah terdapat berbagai bentuk yang abnormal
dinamakan poikilosit, sedangkan sel-selnya cukup banyak maka keadaan
tersebut dinamakan poikilositosis. Eritrosit yang berukuran kurang dari
normalnya dinamakan mikrosit dan yang berukuran lebih dari normalnya
dinamakan makrosit.[1]
Warna eritrosit tidak merata seluruh bagian, melainkan bagian
tengah yang lebih pucat, karena bagian tengah lebih tipis daripada bagian
pinggirnya. Pada keadaan normal bagian tengah tidak melebihi 1/3 dari
7
diameternya sehingga selnya dinamakan eritrosit normokhromatik. Apabila
bagian tengah yang pucat melebar disertai bagian pinggir yang kurang
terwarna maka eritrosit tersebut dinamakan eritrosit hipokromatik. Sebaliknya
apabila bagian tengah yang memucat menyempit selnya dimanakan eritrosit
hiperkhromatik.[1]
2.1.2 Leukosit
Leukosit adalah sel darah yang mengendung inti, disebut juga sel
darah putih. Leukosit mempunyai peranan dalam pertahanan seluler dan
humoral organisme terhadap zat-zat asingan. Didalam darah manusia, normal
didapati jumlah leukosit rata-rata 6000-10000 sel/mm3, bila jumlahnya lebih
dari 12000, keadaan ini disebut leukositosis, bilakurang dari 5000 disebut
leukopenia. Sebenarnya leukosit merupakan kelompok sel dari beberapa jenis.
Untuk klasifikasinya didasarkan pada morfologi inti adanya struktur khusus
dalam sitoplasmanya. Dilihat dalam mikroskop cahaya maka sel darah putih
dapat dibedakan yaitu :[1]
A. Granulosit
Yang mempunyai granula spesifik, yang dalam keadaan hidup berupa tetesan
setengah cair, dalam sitoplasmanya dan mempunyai bentuk inti yang
bervariasi.
Terdapat tiga jenis leukosit granuler :
Neutrofil, Di antara granulosit, netrofil merupakan merupakan jenis sel yang
terbanyak yaitu sebanyak 60 – 70% dari jumlah seluruh leukosit atau 3000-
6000 per mm3 darah normal. Pada perkembangan sel netrofil dalam sumsum
tulang, terjadi perubahan bentuk intinya, sehingga dalam darah perifer selalu
terdapat bentuk-bentuk yang masih dalam perkembangan. Dalam keadaan
normal perbandingan tahap-tahap mempunyai harga tertentu sehingga
perubahan perbandingan tersebut dapat mencerminkan kelainan. Sel netrofil
matang berbentuk bulat dengan diameter 10-12 μm. Intinya berbentuk tidak
bulat melainkan berlobus berjumlah 2-5 lobi bahkan dapat lebih. Makin muda
jumlah lobi akan berkurang. Yang dimaksudkan dengan lobus yaitu bahan inti
yang terpisah-pisah oleh bahan inti berbentuk benang. Inti terisi penuh oleh
8
butir-butir khromatin padat sehingga sangat mengikat zat warna basa menjadi
biru atau ungu. Oleh karena padatnya inti, maka sukar untuk untuk
memastikan adanya nukleolus.
Dalam netrofil terdapat adanya bangunan pemukul genderang pada
inti netrofil yang tidal lain sesuai dengan Barr Bodies yang terdapat pada inti
sel wanita. Barr Bodies dalam inti netrofil tidak seperti sel biasa melainkan
menyendiri sebagai benjolan kecil. Hal ini dapat digunakan untuk menentukan
apakah jenis kelamin seseorang wanita. Dalam sitoplasma terdapat 2 jenis
butir-butir ata granul yang berbeda dalam penampilannya dengan ukuran
antara (0.3-0.8μm).
Granul pada neutrofil tersebut yaitu :
- Azurofilik yang mengandung enzym lisozom dan peroksidase, dimana
sudah mulai tampak sejak masih dalam sumsum tulang yang makin
dewasa makin berkurang jumlahnya. Ukurannya lebih besar dari pada
jenis butir yang kedua dan kebanyakan telah kehilangan kemampuan
mengikat warna. Dengan pewarnaan Romanovsky butiran ini tampak
ungu kemerah-merahan.
- Granul spesifik lebih kecil mengandung fosfatase alkali dan zat-zat
bakterisidal
(protein Kationik) yang dinamakan fagositin. Dinamakan butir spesifik
karena hanya terdapat pada sel netrofil dengan ukran lebih halus. Butiran
ini baru tampak dalam tahap mielosit, berwarna ungu merah muda dan
pada sel dewasa akan tampak lebih banyak daripada butir azurofil.
Neutrofil jarang mengandung retikulum endoplasma granuler, sedikit
mitokonria, apparatus Golgi rudimenter dan sedikit granula glikogen.
Neutrofil merupakan garis depan pertahanan seluler terhadap invasi jasad
renik, menfagosit partikel kecil dengan aktif. Dengan adanya asam amino D
oksidase dalam granula azurofilik penting dalam pengenceran dinding sel
bakteri yang mengandung asam amino D. Selama proses fagositosis dibentuk
peroksidase. Mielo peroksidase yang terdapat dalam neutrofil berikatan
9
dengan peroksida dan halida bekerja pada molekul tirosin dinding sel bakteri
dan menghancurkannya.
- Dibawah pengaruh zat toksik tertentu seperti streptolisin toksin
streptokokus membran granula-granula neutrofil pecah,
mengakibatkan proses pembengkakan diikuti oleh aglutulasi organel-
organel dan destruksi neutrofil. Neotrofil mempunyai metabolisme
yang sangat aktif dan mampu melakukan glikolisis baik secara aerob
maupun anaerob. Kemampuan nautrofil untuk hidup dalam lingkungan
anaerob sangat menguntungkan, karena mereka dapat membunuh
bakteri dan membantu membersihkan debris pada jaringan nekrotik.
Basofil, Jenis sel ini terdapat paling sedikit diantara sel granulosit yaitu sekitar
0.5%, sehingga sangat sulit diketemukan pada sediaan apus. Ukurannya
sekitar 10-12 μm sama besar dengan netrofil. Kurang lebih separuh dari sel
dipenuhi oleh inti yang bersegmen-segmen ata kadang-kadang tidak teratur.
Inti satu, besar bentuk pilihan irreguler, umumnya bentuk huruf S, sitoplasma
basofil terisi granul yang lebih besar, dan seringkali granul menutupi inti,
sehingga tidak mudah untuk mempelajari intinya. Granul spesifik bentuknya
ireguler berwarna biru tua dan kasar tampak memenuhi sitoplasma.Granula
basofil mensekresi histamin yang berperan dalam dalam proses alergi basofil
merupakan sel utama pada tempat peradangan ini dinamakan hypersesitivitas
kulit basofil.
Asidofil (atau eosinofil), Jumlah sel eosinofil sebesar 1-3% dari seluruh
lekosit atau 150-450 buah per mm3 darah. Ukurannya berdiameter 10-15 μm,
sedikit lebih besar dari netrofil. Intinya biasanya hanya terdiri atas 2 lobi yang
dipisahkan oleh bahan inti yang sebagai benang. Butir-butir khromatinnya
tidak begitu padat kalau dibandingkan dengan inti netrofil.
Eosinofil berkaitan erat dengan peristiwa alergi, karena sel-sel ini ditemukan
dalam jaringan yaang mengalami reaksi alergi. Eosinofil mempunyai
kemampuan melakukan fagositosis, lebih lambat tapi lebih selektif dibanding
neutrofil. Eosinofil memfagositosis komplek antigen dan antibodi, ini
merupakan fungsi eosinofil untuk melakukan fagositosis selektif terhadap
10
komplek antigen dan antibodi. Eosinofil mengandung profibrinolisin, diduga
berperan mempertahankan darah dari pembekuan, khususnya bila keadaan
cairnya diubah oleh proses-proses Patologi.
B. Agranulosit
Yang tidak mempunyai granula spesifik, sitoplasmanya homogen dengan inti
bentuk bulat atau bentuk ginjal. Terdapat dua jenis leukosit agranuler yaitu :
Limfosit , Limfosit dalam darah berkuran sangat bervariasi sehingga pada
pengamatan sediaan apus darah dibedakan menjadi : limfosit kecil (7-8 μm),
limfosit sedang dan limfosit besar (12 μm). Jumlah limfosit mendduki nomer
2 setelah netrofil yaitu sekitar 1000-3000 per mm3 darah atau 20-30% dari
seluruh leukosit. Di antara 3 jenis limfosit, limfosit kecil terdapat paling
banyak. Limfosit kecil ini mempunyai inti bulat yang kadang-kadang bertakik
sedikit. Intinya gelap karena khromatinnya berkelompok dan tidak nampak
nukleolus. Sitoplasmanya yang sedikit tampak mengelilingi inti sebagai cincin
berwarna biru muda. Kadang-kadang sitoplasmanya tidak jelas mungkin
karena butir-butir azurofil yang berwarna ungu. Limfosit kecil kira-kira
berjumlah 92% dari seluruh limfosit dalam darah.
- Limfosit mempunyai kedudukan yang penting dalam sistem imunitas
tubuh, sehingga sel-sel tersebut tidak saja terdapat dalam darah,
melainkan dalam jaringan khusus yang dinamakan jaringan limfoid.
Berbeda dengan sel-sel leukosit yang lain, limfosit setelah dilepaskan
dari sumsum tulang belum dapat berfungsi secara penuh oleh karena
hars mengalami differensiasi lebih lanjut. Apabila sudah masak
sehingga mampu berperan dalam respon immunologik, maka sel-sel
tersebut dinamakan sebagai sel imunokompeten. Sel limfosit
imunokompeten dibedakan menjadi limfosit B dan limfosit T,
walaupun dalam sediaan apus kita tidak dapat membedakannya.
Limfosit T sebelumnya mengalami diferensiasi di dalam kelenjar
thymus, sedangkan limfosit B dalam jaringan yang dinamakan Bursa
ekivalen yang diduga keras jaringan sumsum tulang sendiri. Kedua
jenis limfosit ini berbeda dalam fngsi immunologiknya.
11
Sel-sel limfosit T bertanggung jawab terhadap reaksi immune seluler
dan mempunyai reseptor permukaan yang spesifik untuk mengenal
antigen asing. Sel limfosit B bertugas untuk memproduksi antibody
humoral antibody response yang beredar dalam peredaran darah dan
mengikat secara khusus dengan antigen asing yang menyebabkan
antigen asing tersalut antibody, kompleks ini mempertinggi
fagositosis, lisis sel dan sel pembunuh (killer sel atau sel K) dari
organisme yang menyerang. Sel T dan sel B secara marfologis hanya
dapat dibedakan ketika diaktifkan oleh antigen.
Monosit , Jenis sel agranulosit ini berjumlah sekitar 3-8% dari seluruh
leukosit. Sel ini merupakan sel yang terbesar diantara sel leukosit karena
diameternya sekitar 12-15 μm. Bentuk inti dapat berbentuk oval, sebagai tapal
kuda atau tampak seakan-akan terlipat-lipat. Butir-butir khromatinnya lebih
halus dan tersebar rata dari pada butir khromatin limfosit. Sitoplasma monosit
terdapat relatif lebih banyak tampak berwarna biru abu-abu. Berbeda dengan
limfosit, sitoplasma monosit mengandung butir-butir yang mengandung
perioksidase seperti yang diketemukan dalam netrofil.
- Monosit mampu mengadakan gerakan dengan jalan membentuk
pseudopodia sehingga dapat bermigrasi menembus kapiler untuk
masuk ke dalam jaringan pengikat. Dalam jaringan pengikat monosit
berbah menjadi sel makrofag atau sel-sel lain yang diklasifikasikan
sebagai sel fagositik. Didalam jaringan mereka masih mempunyai
membelah diri. Selain berfungsi fagositosis makrofag dapat berperan
menyampaikan antigen kepada limfosit untuk bekerjasama dalam
sistem imun.
2.1.3 Tombosit
Walaupun amanya menunjukan bahwa merupakan sebuah sel,
namun sebenarnya tidak memenuhi syarat sebagai sebuah sel yang utuh
karena tidak memiliki inti. Oleh karena itu dinamakan keping darah.
Berbentuk sebagai keping-keping sitoplasma berukuran 2-5 μm lengkap
12
dengan membran plasma yang mengelilinginya. Trombosit ini khusus terdapat
dalam darah mamalia. Untuk menentkan jumlahnya, tidak begit mudah karena
trombosit mempunyai kecenderungan untuk bergumpal. Diperkirakan
jumlahnya sekitar 150-300ribu setiap μl, sedang umurnya sekitar 8 hari.[1]
Pada sediaan apus darah, trombosit sering terdapt bergumpal. Setiap
keping tampak bagian tepi yang berwarna biru muda yang dinamakan
Hialomer dan bagian tengah yang berbutir-butir berwarna ungu dinamakan
granulomer atau khromomer. Hialomer mempunyai tonjolan-tonjolan
sehingga bentknya tidak teratur.[1]
2.1.4 Proses Hemopoesis
Dalam beberapa minggu pertama kehamilan indung telur (yolk-sac)
merupakan tempat utama haemopoiesis. Dari enam minggu sampai 6-7 bulan
kehidupan janin, hati dan limpa adalah organ-organ utama yang diperlukan
dan keduanya terus menghasilkan sel darah sampai sekitar dua minggu setelah
lahir. Sumsum tulang adalah tempat terpenting dari 6-7 bulan kehidupan janin
dan, selama masa anak dan dewasa normal, sumsum tulang adalah satu-
satunya sumber sel darah baru. Sel yang sedang berkembang terletak di luar
rongga (sinus) sumsum tulang dan sel masak dilepaskan ke dalam rongga
sinus, sirkulasi keci (microsirculation) sumsum, dan dengan demikian ke
dalam sirkulasi umum.[1]
Pada masa bayi, semua sumsum tulang membentuk darah
(haemopoietik) tetapi selama masa anak, terdapat pergantian lemak sumsum
yang progresif sepanjang tulang panjang sehingga, ketika dewasa, sumsum
haemopoietik terbatas pada rangka pusat. Bahkan pada daerah haemopoietik
ini, kira-kira 50% sumsum tulang terdiri atas lemak. Sumsum berlemak
selebihnya sanggup berbalik ke hamopoiesis dan pada banyak penyakit juga
terdapat perluasan haemopoiesis pada tulang panjang. Lebih dari itu, hati dan
limpa dapat memainkan lagi peranan haemopoietik, disebut dengan
extramedullary haemopoiesis.[1]
13
Tabel 1. Tempat Haemopoiesis
0-2 bulan – indung telur (yolk sac)
Janin 2-7 bulan – hati dan limpa
5-9 bulan – sumsum tulang
Bayi Sumsum tulang (semua tulang)
Sumsum tulang (tulang belakang, iga, sternum, tengkorak,
Dewasa
sakrum dan pelvis, ujung proksimal femur)
Kec. Kec.
Kec. Produksi
Tipe sel Masa hidup Produksi Produksi
Kg/tahun
sel/hari sel/detik
14
Limfosit t½ 10 hari 1 x 1010 116,000 3.7
Total per
26.5 Kg
tahun
15
Gambar 1. Gambaran diagramatis pembentukan sel-sel darah[4]
Leukosit dan turunannya merupakan sel dan struktur dalam tubuh
manusia yang didistribusikan keseluruh tubuh dengan fungsi utamanya
melindungi organisme terhadap invasi dan pengrusakan oleh mikro organisme
dan benda asing lainnya Sel-sel limfosit ini, mempunyai kemampuan untuk
membedakan dirinya sendiri (makromolekuler organisme sendiri) dari yang
bukan diri sendiri (benda asing) dan mengatur penghancuran dan inaktivasi
dari benda asing yang mungkin merupakan molekul yang terisolasi atau
bagian dari mikro organisme Semua leukosit berasal dari sum-sum tulang.
kemudian mengalami kematangan pada organ limfoid lainnya.
Pertahanan tubuh melawan infeksi adalah peranan utama dari
leukosit atau sel darah putih. Batas normal dari sel darah putih adalah 4.000-
10.000/mm3. Lima jenis sel darah putih yang sudah diidentifikasikan dalam
darah perifer adalah :
16
1. netrofil (55% dari total)
2. eosinofil (1%-2%)
3. basofil (0,5%-1%)
4. mnosit (6%)
5. limfosit (36%)
Leukosit bertanggung jawab terhadap sistem imun tubuh dan
bertugas untuk memusnahkan benda-benda yang dianggap asing dan
berbahaya oleh tubuh, misal virus atau bakteri. Leukosit bersifat amuboid atau
tidak memiliki bentuk yang tetap. Orang yang kelebihan leukosit menderita
penyakit leukimia, sedangkan orang yang kekurangan leukosit menderita
penyakit leukopenia.[5]
Netrofil, eosinofil, dan basofil juga dinamakan granulosit, artinya sel
dengan granula dalam sitoplasmanya. Eosinofil mempunyai fungsi fagosit
lemah yang tidak dipahami secara jelas. Mereka kelihatannya berfungsi pada
reaksi antigen-antibodi dan meningkat pada serangan asma, reaksi obat-
obatan, dan infestasi parasit tertentu. Basofil membawa heparin, factor-faktor
pengaktifan histamine dan platelet dalam granula-granulanya untuk
menimbulkan peradangan pada jaringan. Fungsi mereka yang sebenarnya
tidak dketahui dengan pasti. Kadar basofil yang meningkat (basofilia)
ditemukan pada gangguan mieloproliferatif, yaitu gangguan proliferatif dari
sel-sel pembentuk darah.[5]
Leukosit adalah sel darah yang mengendung inti, disebut juga sel
darah putih. Didalam darah manusia, normal didapati jumlah leukosit rata-rata
5.000-9.000 sel/mm3, bila jumlahnya lebih dari 12000, keadaan ini disebut
leukositosis, bilakurang dari 5.000 disebut leukopenia. Dilihat dalam
mikroskop cahaya maka sel darah putih mempunyai granula spesifik
(granulosit), yang dalam keadaan hidup berupa tetesan setengah cair, dalam
sitoplasmanya dan mempunyai bentuk inti yang bervariasi, Yang tidak
mempunyai granula, sitoplasmanya homogen dengan inti bentuk bulat atau
bentuk ginjal. Terdapat dua jenis leukosit agranuler : linfosit sel kecil,
sitoplasma sedikit; monosit sel agak besar mengandung sitoplasma lebih
17
banyak. Terdapat tiga jenis leukosir granuler: Neutrofil, Basofil, dan Asidofil
(atau eosinofil) yang dapat dibedakan dengan afinitas granula terhadap zat
warna netral basa dan asam. Granula dianggap spesifik bila ia secara tetap
terdapat dalam jenis leukosit tertentu dan pada sebagian besar prekursor (pra
zatnya).[5]
Leukosit mempunyai peranan dalam pertahanan seluler dan humoral
organisme terhadap zat-zat asingan. Leukosit dapat melakukan gerakan
amuboid dan melalui proses diapedesis lekosit dapat meninggalkan kapiler
dengan menerobos antara sel-sel endotel dan menembus kedalam jaringan
penyambung. Jumlah leukosit per mikroliter darah, pada orang dewasa normal
adalah 4.000-11.000, waktu lahir 15.000-25.000, dan menjelang hari ke empat
turun sampai 12.000, pada usia 4 tahun sesuai jumlah normal. Variasi
kuantitatif dalam sel-sel darah putih tergantung pada usia. waktu lahir, 4
tahun dan pada usia 14 -15 tahun persentase khas dewasa tercapai. Bila
memeriksa variasi Fisiologi dan Patologi sel-sel darah tidak hanya persentase
tetapi juga jumlah absolut masing-masing jenis per unit volume darah harus
diambil.[5]
18
Pada sebagian kasus sel neoplastik juga terdapat dalam jumlah yang
semakin meningkat didalam darah tepi.[8]
2.2.2. Klasifikasi
Leukimia diklasifikasikan dalam beberapa cara :
Menurut awitan dan perjalan klinis :[7,8]
Klasifikasi ini merupakan pendekatan paling awal karena identitas sel-sel yang
terlibat tidak diketahui.Hal ini masih mempunyai manfaat klinis,
1. Leukimia akut memiliki awitan mendadak dengan perjalanan progresif
cepat yang menyebabkan kematian jika tidak diterapi lebih lanjut
.Leukimia ini ditandai dengan sel-sel primitif (blas) yang secara
morfologi berdiferansiasi buruk
2. Leukimia kronik memiliki awitan samar dan perjalanan klinis lambat
,pasien seringkali bertahan hidup selama beberapa tahun bahkan jika
tidak diterapi .Leukimia kronis biasanya ditandai dengan tipe sel yang
lebih matur / berdiferensiasi baik.
19
yang berproliferasi pada perkembangan janin.Lebih lanjut lagi
diklasifikasikan menurut gambaran morfologis atau menurut sifat
imunologik atau genetik :[8]
L1 :Blas homogen berukuran sedang ,secara imunologi bukan petanda
tetapi meliputi beberapa tipe ,mencakup ALL biasa dan ALL pra
B,sering terjadi pada masa anak-anak dengan prognosis baik.
L2 :Sel blas heterogen , sekali lagi merupakan kelompok
campuran,beberapa bukan penanda sebagian besar tipe sel T ,tipe biasa
terlihat pada orang dewasa dan memiliki prognosis buruk.
L3 :Sel blas tipe Burkitt basofil homogen ,ditandai sebagai sel B
,prognosis buruk.
Merupakan kanker yang paling sering menyerang anak-anak umur
dibawah 15 tahun denga puncak insiden umur 3-4 tahun.manifestasi berupa
proliferasi limfoblas abnormal didalam sum-sum tulang dan tempat-tempat
ekstra medular.LLA selanjutnya digolongkan berdasarkan kriteria imunologik
CD yang sebelumnya telah dibahas mengindentifikasi sel T dengan penanda
CD5 dan CD7 ,antigen LA yang lazim (cALLa) sekarang dikenal sebagai
CD10 ,juga mempunyai gambaran CD19 dan Tdt ,sel B membawa CD19
,CD20,CD21,CD22 .Sel ”nul” menggambarkan sel B imatur sehingga tidak
memiliki penanda CD yang mengidentifikasi.[6,7,8] Leukimia Limfositik
Kronik ditandai dengan proliferasi limfosit matur kecil yang menyerupai sisa
limfosit kecil pada darah tepi .Pada 95% kasus ,limmfosit tersebut adalah sel-
B ,sisanya sel-T.
Bila leukimia limsfositik mengenai kelenjar getah bening ,leukimia tersebut
mempunyai tampilan limfoma maligna.CLL pada kelenjar getah bening
identik dengan limfoma limfoblastik ( tipe B ,T atau tipe bukan penanda
dulu diklasifikasikan dalam kategori lebih luas pada limfoma limfositik
berdeferensiasi buruk).CLL dalam kelenjar getah bening identik dengan
limfoma limsitik kecil (tipe B atau tipe T dulu dinamakan limfoma
limfositik terdiferensiasi baik).[6,7,8]
20
Leukimia Mieloid (granulositik) ,ditandai dengan proliferasi sel seri
granulosit ,biasanya netrofil meskipun tidak jarang terjadi proliferasi eosinofil
dan basofil secara bersamaan .
a. AML ditandai dengan proliferasi mieloblas .Mieloblas sulit dibedakan
secara morfologi dengan limfoblas kecuali : mieloblas mengandung batang
Auer ,yang merupakan inklusi sitoplasmik kristalin warna ungu,mieloblas
bermaturasi menjadi promielosit dan terlihat granul kasar dalam sitoplasma
dan digunakan sebagai penanda sitokimia atau imunologik.(Patologi
Anatomi sitasi sda) AML lebih lanjut diklasifikasikan menurut sifat
morfologisnya :[7,8](patofisiologi sitasi sda)
M0 : Berdiferensiasi minimal :
M1 : Berdifrensiasi granulositik tanpa maturasi
M2 : Diferensiasi granulositik dengan maturasi sampai stadium
promielositik .
M3 : Diferensiasi granulositik dengan promielositik hipergranular
,dihubungkan dengan koagulasi intravsakular diseminata.
M4 : Leukimia mielomonositik akut ,garis sel monosit dan
dranulosit ,garis sel monosit dari granulosit.
M5a : Leukimia monosit akut ,berdiferensiasi buruk
M5b : Leukimia monosit akut ,berdiferensiasi baik
M6 : Eritroblasia yang menonjol dengan diseritropoesis berat.
M7 : Leukimia megakariosit
21
Leukimia Monositik,secara tradisional dibedakan 2 bentuk leukimia
monositik : monositik akut ( tipe schiling) dan mielomonositik akut (tipe
naegeli) .Keduanya saat ini dimasukan dalam leukimia mielolastik akut pada
klasifikasi FAB,mengingat asalnya yang sama dengan granulosit .Tidak
terdapat bentuk kronis yang terdefinsi baik pada leukimia monositik atau
mielomonositik ,meskipun beberapa gangguan mieloproliferatif memang
menunjukan proliferasi monosit.[7,8]
a. Leukimia monositik ( monoblastik) akut (FAB –M5) ditandai
dengan dengan proliferasi monoblas .Leukimia ini dapat secara
terpecaya dibedakan dari blas lainnya hanya dengan menggunakan
penanda sitokimia .
b. Leukimia mielomonositik akut (FAB-M4) ditandai dengan blas
yang memiliki karakteristik mieloblas dan monoblas,baik secara
morfologis maupun secara sitokimia
Tipe lain ,Eritroleukimia (penyakit di guglielmo),leukimia sel plasma
,leukimia eosinofilik ,dan leukimmia megakarriositik ,semua jarang terjadi.
[7,8]
2.3 ETIOLOGI
Penyebab leukemia tidak diketahui, tetapi dapat diakibatkan interaksi
sejumlah faktor yaitu :[6,7,8,9]
1. Neoplasia. Ada persamaan jelas antara leukemia dan penyakit
neoplastik lain, misalnya proliferasi sel yang tidak terkendali, abnormalitas
morfologi sel, dan infiltrasi organ. Lebih dari itu, kelainan sumsum kronis
lain dapat berubah bentuk akhirnya menjadi leukemia akut, misalnya
polisitemia vera, mieosklerosis atau anemia aplastik. Leukemia nyata
menunjukkan perluasan klonal yang timbul dengan mutasi somatik sumsum
tunggal, sel limfoid tepi atau timus seperti dilihatkan dengan teknik
kromosomal, isoenzim, imunologis, dan kultur in-vitro. Leukemia
selanjutnya dapat mengembangkan “subclone” dengan perkembangan
abnormalitas baru dan satu atau lebih “subclone” dapat menjadi lebih besar
22
dan menggantikan “clone” permulaan, seperti diperlihatkan oleh perubahan
leukemia granulositik kronis (CGL = chronic granulocytic leukemia) dari
fase kronis ke fase akut. Biasanya “subclone” lebih ganas dan sering
terdapat abnormalitas kromosom (cytogenetic)
2. Infeksi. Pada manusia, terdapat bukti kuatuntuk etiologi virus baik
pada satu jenis leukemia/limfoma sel T dan pada limfoma Burkitt. HTLV
(virus leukemia T manusia = the human T leukemia virus) dan retrovirus
jenis cRNA, telah ditunjukkan oleh mikroskop elektron dan oleh kultur pada
sel pasien dengan jenis khusus leukemia/limfoma sel T yang umum pada
provinsi tertentu di Jepang dan yang terjadi sporadis di tempat lain,
khususnya di antara Negro Karibia dan Amerika Serikat. Virus Epstein-Barr,
suatu virus DNA, telah dibiak dari jaringan limfoma Burkitt dan, pada kasus
ini, penyakit ini diduga timbul karena infeksi EB pada orang dengan
pengaturan sel T yang terganggu, mungkin yang disebabkan malaria kronis.
Bukti tidak langsung untuk etiologi virus beberapa leukemia adalah
kambuhnya leukemia pada sel yang berasal donor pada kira-kira enam kasus
setelah transplantasi sumsum tulang untuk leukemia akut.
3. Radiasi. Radiasi, khusunya sumsum tulang, bersifat leukemogenik.
Terdapat insiden leukemia tinggi pada orang yang tetap hidup setelah bom
atom di Jepang, pada pasien “ankylosing spondylitis” yang telah menerima
penyinaran spinal dan pada anak-anak yang ibunya menerima sinar X
abdomen selama hamil.
4. Genetik dan Perubahan kromosom. Ada laporan beberapa kasus
yang terjadi pada satu keluarga dan pada kembat identik. Lebih dari itu, ada
insiden yang meningkat pada beberapa penyakit herediter, khususnya
sindroma Down (dimana leukemia terjadi dengan peningkatan fekuensi 20-
30 kali lipat), anemia Fanconi, sindroma Bloom dan ataksia-talangiektasia.
5. Zat kimia. Terkena benzene kronis, yang dapat menyebabkan
displasia sumsum tulang dan perubahan kromosom, merupakan penyebab
leukemia yang tidak biasa. Zat pelarut dan kimia industri lainnya dapat
menyebabkan leukemia lebih jarang tetapi sukar membuktikan ini pada
23
kasus individual. Zat khemoterapi merupakan penyebab yang ditetapkan
mantap, khususnya obat yang mengalkilasi seperti khlorambusil, mustin dan
melfalan, dan prokarbazin. Leukemia, khususnya AML mielomonositik (M4)
dan eritroleukemik (M6), bisa pada pasien limfoma yang diobat dengan
radiasi dan dengan obat-obatan ini.
2.4 PATOFISIOLOGI
Penyakit leukemia ditandai oleh adanya proliferasi tak terkendali dari
satu atau beberapa jenis sel darah. Hal ini terjadi karena adanya perubahan
pada kromosom sel induk sistem hemopoetik. Sel sistem hemopoetik adalah
sel yang terus menerus berproliferasi, karena itu sel ini lebih potensial untuk
bcrtransformasi menjadi sel ganas dan lebih peka terhadap obat toksik seperti
sitostatika dan radiasi. Penelitian morfologik menunjukkan bahwa pada
Leukemia Limfositik Akut (LLA) terjadi hambatan diferensiasi dan sel
limfoblas yang neoplastik memperlihatkan waktu generasi yang memanjang,
bukan memendek. Oleh karena itu, akumulasi sel blas terjadi akibat ekspansi
klonal dan kegagalan pematangan progeni menjadi sel matur fungsional.
Akibat penumpukan sel blas di sumsum tulang, sel bakal hemopoetik
mengalami tekanan.[10]
Kelainan paling mendasar dalam proses terjadinya keganasan adalah
kelainan genetik sel. Proses transformasi menjadi sel ganas dimulai saat DNA
gen suatu sel mengalami perubahan. Akibat proliferasi sel yang tidak
terkendali ini tcrjadi kenaikan kadar satu atau beberapa jenis sel darah dan
penghambatan pembentukan sel darah lainnya dengan akibat terjadinya
anemia, trombositopenia dan granulositopenia.2
Perubahan kromosom yang terjadi merupakan tahap awal onkogenesis
dan prosesnya sangat kompleks, melibatkan faktor intrinsik (host) dan
ekstrinsik (lingkungan).[11]
Leukemia diduga mulai sebagai suatu proliferasi local dari sel
neoplastik, timbul dalam sumsum tulang dan limfe noduli (dimana limfosit
terutama dibentuk) atau dalam lien, hepar dan tymus. Sel neoplastik ini
24
kemudian disebarkan melalui aliran darah yang kemudian tersangkut dalam
jaringan pembentuk darah dimana terus terjadi aktifitas proliferasi,
menginfiltrasi banyak jaringan tubuh, misalnya tulang dan ginjal. Gambaran
darah menunjukan sel yang inmatur. Lebih sering limfosit dan kadang-kadang
mieloblast. Normalnya tulang marrow diganti dengan tumor yang malignan,
imaturnya sel blast. Adanya proliferasi sel blast, produksi eritrosit dan platelet
terganggu sehingga akan menimbulkan anemia dan trombositipenia.[12]
25
Faktor Predisposis
Faktor etiologi
Faktor pencetus
Kaheksia
Akumulasi sel muda dalam sumsum
tulang
Katabolism
e
menin
gkat
HIPERKATABOLIK
Keringat
mala GAGAL SUMSUM
m TULANG
INFILTRASI KE
ORGAN
26
Adanya priliferasi sel blast, produksi eritrosit dan platelet terganggu
sehingga menimbulkan anemia dan trombositopenia. System etikuloendotelial
akan terpengaruh dan menyebabkan gangguan system pertahanan tubuh dan
mudah mengalami infeksi.[12]
Manifestasi akan tampak pada gambaran gagalnya bone marrow dan
infiltrasi organ, system syaraf pusat. Gangguan pada nutrisi dan metabolisme.
Depresi sumsum tulang yang akan berdampak pada penurunan leukosit,
eritrosit, faktor pembekuan dan peningkatan tekanan jaringan.[12]
Kelainan sitogenik yang paling sering ditemukan pada LLA dewasa
adalah t(9;22)/BCR-ABL (20-30%) dan t(4;11)/ALL1-AF4 (6%). Kedua
kelainan sitogenik ini berhubungan dengan prognosis yang buruk. Fusi gen
BCR-ABL merupakan hasil dari translokasi kromosom 9 dan 22 [t(9;22)
(q34;q11)] yang dapat dideteksi hanya dengan pulse-field gel electrophoresis
atau reverse-transcriptase polymerase chain reaction. ABL adalah
nonreceptor tyrosine protein kinase yang secara enzimatik mentransfer
molekul fosfat ke substrat protein, sehingga terjadi jalur transduksi sinyal
yang penting dalam regulasi proliferasi dan pertumbuhan sel.[12,13]
Kelainan lain yaitu -7, +8 dan karyotipe hipodiploid berhubungan
dengan prognosis yang uruk; sedangakan t(10;14) dan karyotipe hiperdiploid
tinggi berhubungan dengan prognosis yang baik. Mekanisme umum lain dari
pembentukan kanker adalah hilangnya atau inaktivasi gen supresor tumor
yang mempunyai peranan penting dalam mengontrol progresi siklus sel,
misalnya p16(INK4A ) dan p15(INK4B). Kejadian yang sering adalah delesi,
mikrodelesi, dan penyusunan kembali sen (gene rearrangement) yang
melibatkan p16(INK4A ) dan p15(INK4B). Kelainan ekspresi dari gen
supresor tumor Rb dan p53 ternyata lebih sering terjadi. Kelainan yang
melibatkan dua atau lebh gen-gen ini ditemukan pada sepertiga pasien LLA
dewasa.[14]
Pada awal perkembangannya, berbagai jenis leukemia menghasilkan
sitokin inflamasi dan imunosupresif, serta menggunakan cell-signaling
patway. Sebagai contoh:[14]
27
Vaskular Endothelial Growth Factor (VEGF)
VEGF dianggap penting dalam pertumbuhan, peluang hidup dan penyebaran
sel leeukimia. Penampakan konsentrasi VEGF yang tinggi berhubungan
dengan mengecilnya peluang hidup pasien chronic lymphocytic leukemia.
1. Basic Fibroblas Growth Factor (BFGF)
BFGF adalah mitogen poten (growth signal) dan penting untuk pertumbuhan
pembuluh darah dan penyebaran sel kanker.
2. Hepatocyte Growth Factor (HGF)
HGF menstimulasi pertumbuhan dan penyebaran sel leukemia. HGF memiliki
penampakan yang berlebihan pada AML, CML, CLL dan chronic
myelomonocytic leukemia.
3. Tumor Necrosis Factor-Alpha (TNF-alpha)
TNF-alpha adalah sitokin pra inflamasi yang meningkat secara signifikan pada
pasien leukemia kecuali AML dan sindroma myelodysplastic.
4. Interleukin-6 (IL-6)
IL-6 adalah sitokin proinflamasi dan imunosupresif. Meningkatkan serum IL-
6, berhubungan dengan prognosis yang buruk dan kecilnya peluang hidup
pasien CLL.
28
f. Myelodysplastic syndromes
VEGF, BFGF, HGF
29
2.5 MANIFESTASI KLINIK
30
b. Limfadenopati, splenomegali dan hepatomegali
c. Hipertrofi gusi dan infiltrasi kulit
d. Sindrom menigeal: sakit kepala, mual muntah, mata kabur, kaku kuduk.
Pemeriksaan fundus dapat memperlihatkan adanya papiledema dan
kadang-kadang perdarahan. Manifestasi yang lebih jarang terjadi adalah
pembengkakan testis atau tanda- tanda kompresi mediastinum di ALL-T.
Pada pasien LLA dengan resiko tinggi dan standar ditemukan 2 daerah
relaps ekstramedular (di luar sumsum yang penting), yaitu susunan saraf pusat
(SSP) dan testis. Manifestasi awal yang lazim pada leukemia SSP adalah
akibat peninggian intrakranial. Muntah dan nyeri kepala (terutama pagi hari),
papiledema, dan letargi yang progresif. Kejang dan kaku kuduk biasanya
merupakan manifestasi lanjut, demikian juga paresis saraf cranial ke-6 dengan
diplopia dan strabismus. Hipotalamus jarang terlibat tetapi harus dicurigai jika
ditemui peningkatan berat badan yang berlebihan, gangguan tingkah laku,
serta hirautisme. Dengan sendirinya keterlibatan SSP seringkali terdeteksi
sebelum tanda- tanda klinis.[8,9]
2.6 PEMERIKSAAN
2.6.a. Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik – dokter akan memeriksa pembengkakan di
kelenjar getah bening, limpa dan hati.
31
bawah mikroskop, untuk mencari sel – sel kanker. Cara ini disebut biopsi,
yang merupakan cara terbaik untuk mengetahui pakah ada sel – sel
leukemia di dalam sumsum tulang.
Sitogenetik – Laboratorium akan memeriksa kromosom sel dari sampel
darah tepi, sumsum tulang atau kelenjar getah bening.
Processus Spinosus – dengan emggunakan jarum yang panjang dan tipis,
dokter perlahan – lahan akan mengambil cairan cerebrospinal (cairan yang
mengisi ruang di sekitar otak dan sumsum tulang belakang). Prosedur ini
berlangsung sekitar 30 menit dan dilakukan dengan anastesi local. Pasien
harus berbaring selama beberapa jam setelahnya, agar tidak pusing.
Laboratorium akan memeriksa cairan apakah ada sel – sel Leukimia atau
tanda – tanda penyakit lainnya.
Sinar X pada dada – sinar X ini dapat menguak tanda –tanda penyakit di
dada.
2.7 KOMPLIKASI
Adapun komplikasi dari Leukemia secara umum yaitu berupa :
Pembesaran hati (hepatomegali) dan pembesaran limpa (splenomegali)
yaitu kompensasi dari beban organ yang semakin berat kerjanya akibat
pemindahan proses pembentukan sel darah dari intamedular (sumsum
tulang) ke ekstramedular (hati dan limpa),
Osteonekrosis yaitu suatu keadaan yang berpotensi melumpuhkan tulang
akibat dari komplikasi kombinasi kemoterapi berups dosis tinggi steroid.
Insiden dan resiko faktor utama untuk gejala osteonekrosis telah diperiksa
pada kelompok perlakuan anak dengan dosis tinggi steroid, prednison dan
dexamitason untuk anak Leukemia Limfoblas Akut,[15]
Thrombosis meningkat pada pasien dengan Leukemia Limfoblas Akut dan
kejadian ini mungkin komplikasi dari bagian penatalaksanaan dengan
tubrukan prognostic negative. Frekuensi terjadinya komplikasi ini menurut
laporan berkisar diantara 1,1% sampai 36,7%, kesungguhan ini memiliki
variasi besar berhubungan beberapa factor, seperti perbedaan definisi dari
32
thrombosis ( gejala atau nongejala ), metode diagnosis untuk mendeteksi
terjadinya komplikasi, study design, dan perbedaan pada protocol
pengobatan.[16]
Selain itu dari pengobatan leukemia menyebabkan beberapa
komplikasi oral maupun craniofacial. Masalah mulut mungkin menyusahkan
anak-anak untuk menerima semua pengobatan kankernya. Pada banyak pasien
leukemia, komplikasi oral yang paling menyakitkan dan berpotensi kematian.
Terkadang, pengobatan leukemia harus dihentikan seluruhnya. [17,18]
33
platelet mengawali perdarahan spontan oral ketika jumlah platelet dibawah
20,000 per mm kubik.
Sel yang membentuk dentin (odontoblasts), dan sel yang membentuk enamel
(ameloblasts), dapat dirusak oleh agen kemoterapi jika sel-sel ini terletak pada
fase yang peka dalam siklus selnya (fase M atau S). Hasil akhirnya mungkin
menyebabkan gigi lebih pendek, tipis, akar meruncing, atau hipomineralisasi
atau enamel hipomatur.
Melalui mulut
Dengan suntikan langsung ke pembuluh darah (atau intravena)
34
Melalui kateter (tabung kecil yang fleksibel) yang ditempatkan di
dalam pembuluh darah balik besar, seringkali di dada bagian atas -
Perawat akan menyuntikkan obat ke dalam kateter, untuk
menghindari suntikan yang berulang kali. Cara ini akan
mengurangi rasa tidak nyaman dan/atau cedera pada pembuluh
darah/kulit.
35
Transplantasi Sel Induk (Stem Cell)
36
Sumsum tulang adalah jaringan lunak yang ditemukan pada rongga
interior tulang yang merupakan tempat produksi sebagian besar sel darah baru.
Ada dua jenis sumsum tulang: sumsum merah (dikenal juga sebagai jaringan
myeloid) dan sumsum kuning. Sel darah merah, keping darah, dan sebagian
besar sel darah putih dihasilkan dari sumsum merah. Sumsum kuning
menghasilkan sel darah putih dan warnanya ditimbulkan oleh sel-sel lemak
yang banyak dikandungnya. Kedua tipe sumsum tulang tersebut mengandung
banyak pembuluh dan kapiler darah.
37
dapat memproduksi sel-sel darah yang diperlukan. Sumsum tulang sehat yang
ditransplantasikan dapat mengembalikan kemampuan memproduksi sel-sel
darah yang pasien perlukan.
Terapi stem cell yang rutin digunakan untuk mengobati penyakit saat
ini adalah transplantasi stem cell dewasa dari sumsum tulang belakang dan
darah perifer serta darah tali pusat bayi.
Terapi stem cell yang dikenal baik sekarang ini adalah transplantasi
stem cell sumsum tulang belakang yang digunakan untuk mengobati leukimia
dan kanker lain yang termasuk penyakit keganasan darah.Leukimia adalah
kanker sel-sel darah atau leukosit. Seperti sel-sel darah merah lain, leukosit
dibuat dalam sumsum tulang belakang melalui sebuah proses yang dimulai
dengan stem cell dewasa multipoten (dapat berdiferensiasi menjadi sel-sel
penting dalam tubuh). Leukosit dewasa dilepaskan ke dalam aliran darah
dimana mereka bekerja untuk melawan infeksi dalam tubuh.Disebut leukimia
ketika leukosit mulai tumbuh dan berfungsi abnormal menjadi kanker. Sel-sel
abnormal ini tidak dapat melawan infeksi dan dapat mengganggu fungsi organ
lain.
38
Satu cara untuk lakukan ini melalui kemoterapi menggunakan obat yang keras
untuk mencari dan membunuh sel-sel abnormal.Ketika kemoterapi sendiri
tidak dapat menghancurkan sel-sel abnormal, tenaga medis kadang lebih
memilih transplantasi sumsum tulang belakang.Pada transplantasi sumsum
tulang belakang, stem cell sumsum tulang belakang pasien tergantikan dengan
donor sehat yang cocok. Untuk melakukan hal ini, sumsum tulang belakang
pasien dan leukosit abnormal pertama-tama dihancurkan menggunakan
kombinasi terapi dan radiasi.Selanjutnya, sampel donor sumsum tulang
belakang yang mengandung stem cell yang sehat dimasukkan ke dalam aliran
darah pasien. Jika transplantasi sukses, stem cell akan berpindah ke sumsum
tulang belakang pasien dan memproduksi leukosit sehat yang baru untuk
menggantikan sel-sel abnormal.[20,21,22,23]
Bayi baru lahir tidak membutuhkan tali pusat sehingga tali pusat ini
akan dibuang. Dalam beberapa tahun ini, darah kaya akan stem cell multipoten
ditemukan dalam tali pusat terbukti berguna dalam mengobati beberapa jenis
masalah kesehatan yang sama pada pasien yang diterapi dengan stem cell
39
sumsum tulang belakang dan darah perifer.Transplantasi stem cell darah tali
pusat lebih sedikit untuk ditolak dibandingkan stem cell sumsum tulang
belakang dan darah perifer. Hal ini mungkin disebabkan stem cell sumsum
tulang belakang dan darah perifer belum berkembang sehingga dapat dikenali
dan diserang oleh kekebalan tubuh resipien.Juga, karena darah tali pusat baru
memiliki sedikit sel-sel kekebalan yang berkembang, sehingga risiko kecil sel-
sel yang ditransplantasi akan menyerang tubuh resipien, sebuah masalah yang
disebut penyakit graft versus host.Baik keanekaragaman dan ketersediaan
stem cell darah tali pusat membuat menjadi sumber poten untuk terapi
transplantasi.Terapi stem cell seakan menjadi titik terang dalam dunia gelap
yang dihadapi para penderita penyakit keganasan darah seperti multiple
myeloma, chronic lymphatic leukemia,dan thallasemia mayor.Tapi ternyata,
tidak hanya mereka melainkan penderita penyakit lainnya juga dapat
disembuhkan karena terapi stem cell di luar negeri telah terbukti berhasil
mengobati penyakit, infark miokard jantung, stroke, alzheimer, dan lain-lain.
[20,21,22,23]
2.8.2. Terapi
Setiap klinik mempunyai cara tersendiri bergantung pada
pengalamannya. Umumnya pengobatan ditujukan terhadap penegahan kambuh
dan mendapatkan masa remisi yang lebih lama.
2. Konsolidasi. Yaitu agar sel yang tersisa tidak cepat memperbanyak diri.
40
4. Reinduksi. Dimaksudkan untuk mencegah relaps. Reinduksi biasanya
dilakukan setiap 3-6 bulan dengan pemberian obat-obat seperti pada
induksi selama 10-14 hari.
Sitematik :
41
a. MTX : 15 mg/m2/hari intravena, diberikan 3 kali, dimulai 1 minggu
setelah VCR keenam, kemudian dilanjutkan dengan :
3. Rumat (maintenance)
4. Reinduksi
Diberikan tiap 3 bulan sejak VCR terakhir. Selama reinduksi obat-obat rumat
dihentikan.
Sistematik :
a. VCR : dosis sama dengan dosis induksi, diberikan 2 kali.
b. Pred : dosis sama dengan dosis induksi, diberikan satu minggu penuh
dan satu minggu kemudian tapering off.
42
Dengancara ini diharapakan akan terbentuk antibodi yang spesifik terhadap sel
leukemia, sehingga semua sel patologis akan dihancurkan sehingga
diharapkan penderita leukemia dapat embuh sempurna.BCG diberikan 2
minggu setelah VCR kedua pada reinduksi pertama. Dosis 0,6 ml intrakutan,
diberikan pada 3 tempat masing-masing 0,2 ml. Suntikan BCG diberikan 3
kali dengan interval 4 minggu. Selama pengobatan ini, obat-obat rumit
diteruskan.
Terapi Biologi
43
Karakter vena pusat (misalnya Hickman) biasa dipasang melalui vena
kulit dari dada ke dalam vena kava superior untuk mempernudah darah,produk
darah, antibiotika, pemberian makanan intravena, dst. Dan bagi pengambilan
sampel darah untuk tes laboratorium.
Pengobatan Anemia
Dapat dilakukan dengan transfusi sel darah merah.
44
dan protoza (misalnya pneumocystis carinii) juga terjadi dengan frekuensi
meningkat, khusus bila neuttropenia memajang dan antibiotika telah banyak
digunakan untuk mengobati infeksi bakteri yang mungkin. Ukuran berikut
menolong mengatasi problem terbanyak kerentanan terhadap infeksi.
Pencegahan infeksi
Fasilitas isolasi. Pasien harus dirawat dalam kamar terpisah lebih disukai
denganteknik isolasi “reverse-barrier” atau ditempatkan pada kamar “laminar
air-flow”.
Pengurungan flora usus dan komensial lain. Sterilisasi usus dengan
FRAmisetin, Colistin dan Nystatin (FRACON) atau regimen antibiotika yang
tak diserap lainnya dan zat anti-jamur (misalnya ketokonazol atau amfoterisin)
digunakan oleh banyak unit. Ko-trimoksazol profilaktik juga telah ditunjukkan
efektif. Kultur teratur harus diambil dari urin, feses, sputum, vagina,
tenggorokan, gusi, hidung,daerah ketiak, umbilikus, dan kulit perianal untuk
mencatat flora bakteri pasien dan sensitivitasnya. Antiseptik topikal digunakan
untuk mandi dan untuk mengobati setiap tempat di mana dideteksi patogen.
Jika ini tidak mempan, terapi antibiotika sistemik dipertimbangkan.
Pengobatan infeksi
Sedikitnya setengah dari pasien LLA mengalami demam. Demam adalah
petunjuk yang baik bahwa infeksi ada. Kultur darah dan kutur dari setiap
fokus yang mungkin harus diambil segera setelah terjadi demam dan usaha
penuh harus dilakukan untuk mengidentifikasi organisme yang bertanggung
jawab dengan pemeriksaan langsung zat yang mungkin terinfeksi sebaik
metode kultur. Mulut, tenggorokan, daerah perineal perianal adalah fokus
khusus yang mungkin. Karena tidak ada neutropil, nanah tidak terbentuk dan
infeksi tak terlokalisasi. Tidak adanya reaksi neutropil menyebabkan hebatnya
infeksi, sebagai contoh, paru-paru, urin, atau kulit lebar sukar dinilai. X-foto
torak dan kultur urin mutlak perlu.Kadang-kadang demam itu dipicu oleh
sitokin pirogenik yang dilepaskan dari sel-sel leukemia, meliputi interleukin-1,
tumor necrosis factor (TNF), dan interleukin-6, tetapi pada sekitar sepertiga
pasien disebabkan karena infeksi. Maka, terapi harus diawali dengan antibiotic
45
spectrum luas khususnya pada pasien dengan neutropenia, sampai tidak
ditemukan lagi diagnose infeksi. Pada kebanyakan pusat pengobatan,
dilakukan terapi profilaktik pada semua pasien terhadap pneumonia
Pneumocystis carinii menggunakan trimethoprim-sulfamethoxazole, diberikan
selama tiga hari perminggu.
Pengobatan alternative pada pasien yang mengalami intoleransi terhadap
trimethoprim-sulfamethoxazole meliputi pentamidine aerosol, dapsone, dan
atovaquone. Pada pasien dengan sel B atau sel T LLA atau leukemia precursor
sel B dengan sel-sel leukemia yang menyebar luas, hiperurisemia,
hiperkalemia, dan hiperfosfatemia dimana biasa juga terjadi hipokalsemia
sekunder, bahkan sebelum kemoterapi dimulai. Pasien-pasien ini harus diberi
hidrasi intravena, sodium bicarbonate untuk mengalkalisasi urin, allopurinol
untuk mengobati hyperuricemia, dan aluminium hidroksida atau kalsium
karbonat (jika konsentrasi serum kalsium rendah) untuk mengobati
hiperfosfatemia. Allopurinol, dengan menghambat sibtesa purin pada sel-sel
blast leukemia, dapat mengurangi jumlah blast-cell tepi sebelum kemoterapi
dimulai. Nonrecombinant urate oxidase, tersedia di Prancis dan Italia,
mengkonversi asam urat menjadi allantoin (suatu metabolit yang siap
dieksresi mempunyai kelarutan 5 sampai 10 kali dari asam urat) dan
mengurangi konsentrasi serum asam urat lebih cepat dari pada allopurinol;
bagaimanapun, hal ini dapat menyebabkan reaksi hipersensitifitas dan pada
pasien yang mengalami defisiensi glucose-6-phosphate dehydrogenase
(G6PD), dapat menyebabkan methemoglobinemia atau anemia hemolitik.
Pada pasien yang mengalami leukositosis parah (jumlah leukosit >
200.000/mm3), leukapheresis atau penukaran transfuse (pada anank kecil)
dapat digunakan untuk mengurangi penyebaran sel-sel leukemia, walaupun
keuntungan jangka pendek dan jangka panjang dari prosedur-prosedur ini
masih dalam pertanyaan. Iradiasi cranial darurat tidak memiliki peran terapi
pada pasien-pasien seperti ini. Batasan perawatan pendukung, meliputi
penggunaan kateter dan dukungan psikososial juga penting.
46
Terapi antibiotika harus dimulai segera. Pada paling sedikit separuh
episode demam tidak ada organisme diisolasi. Aminoglikosida (misalnya
gentamisin atau netilmisin) digabung dengan penisilin aktif melawan
pseudomonas (misalnya mezlocillin, ticarcillin, atau piperacillin) atau dengan
sefalosforin dalam dosis tinggi telah terbukti sebagai kombinasi awal yang
sangat baik. Ini mencakup organisme Gram-negatif termasuk pseudomonas
sebaik kokus gram-negatif dan merupakan obat bakterisid efektif meskipun
ada neutropenia berat. Segera setelah sebab infeksi dan antibiotika yang
sensitif diketahui, harus dilakukan perubahan terapi. Jika tidak terjadi respon,
kemungkinan infeksi anaerob, jamur atau virus, harus dipikirkan dan terapi
sesuai harus diberikan, misalnya dengan metronidazol, obat anti-jamur atau
anti-virus. Acylclovir telah dikenal sebagai zat efektif terhadap infeksi herpes.
Infeksi ini paling mungkin terjadi setelah episode infeksi permulaan telah
diobatitetapi pulihnya sumsum tulang belum terjadi.
Leucocyte concentrates yang disediakan pada pemisah sel dari donor normal
atau pasien dengan luekaemia granulositikkronis diberikan pada pasien
neutopenia berat dengan septikaemia yang mengancam jiwa atau infeksi lokal
yang luas yang tidak memberi respon dalam 24-48 jam terhadap antibiotika.
47
sinambung mengurangu populasi sel leukaemikyang tersenbunyi
denganpemberian terapi berulang-ulang. Kombinasi siklik dua, tiga, atau
empat obat diberikan dengan interval bebas-pengobatan ntuk memungkinkan
sumsum tulang pulih (gambar 7.5). Pemulihan ini tergantung pada pola
pertumbuhan kembali (differential regrowth pattern) sel haemopoietik normal
dan sel leukaemik.
48
diobati dan remisi sekunder, jika diperoleh, biasanya mempunyai jangka
waktu yang pendek. Thy-ALL khususnya cenderung kambuh.
49
Terapi sitotoksik leukaemia mieloblastik akut
Terapi pada AML serupa dengan yang dijelaskan untuk ALL tetapi
hasilnya kurang baik. Rejimen yang tersering digunakan untuk AML adalah
kombinasi tiha obat citosin arabinosida, daunoribisin dan 6-tioguanin (gambar
7.7). Kasus semua subtipe AML (FAB m 1-m6) diobati serupa (kecuali bahwa
DIC mungkin ada pada varian promielositik (M 3) dan “piatelet concentrates”
dan plasma beku segar untuk memlengkapi faktora pembekuan, digunakan
sampai dicapai remisi). Respon baik khas diperlihatkan pada Gambar 7.8.
Bandingkan dengan ALL :[3,15,16,17,18]
1. Angka remisi lebih rendah (60% - 80%).
2. Remisi sering memakan waktu lebih lama untuk dicapai.
3. Hanya obat mielotoksik yang bernilai besar, dengan kurang selektivitas antara
sel leukaemik dan sel sumsum tulang normal.
4. Kegagalan sumsum tulang berat dan lama, perawatan penunjang intensif
dibutuhkan dan kematian dini biasa terjadi, khususnya pada pasien diatas 50
tahun.
5. Remisi lebih sebentar, nilai terapi pemeliharaan kurang jelas, dan jarang
bertahan hidup lama.
50
2.9 PROGNOSIS
51
a. Jumlah leukosit awal, yaitu pada saat diagnostik ditegakkan merupakan
prognosis yang bermakna. Pasien dengan jumlah leukosit > 50.000 untuk
mempunyai prognosis yang buruk.
b. Umur pasien ,pasien dengan umur di bawah 18 bulan atau diatas 10 tahun
mempunyai prognosis lebih buruk, dibandingkan dengan pasien di antara
umur itu.
c. Fenotype imunologis (imunofenotip) dari limfoblas saat diagnosis juga
mempunyai nilai diagnostik.
d. Perempuan lebih baik prognosisnya daripada anak laki-laki.
52
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Saran
53
DAFTAR PUSTAKA
1. ( http://histofkgsp.blogspot.com/)
2. Hoffbrand, A.V. dan J.E. Pettit. 1996. Kapita Selekta Haematologi. Edisi
2. Jakarta: EGC.
3. Guyton, Arthur C dan John E. Hall. 2007. Buku Ajar Fisiologi
Kedokteran. Jakarta: EGC.
4. Foon, Kenneth A dan Robert F T. Immunologic classification of leukemia
and lymphoma. Blood. 1986; 68(1):1-31. (ini sitasi gambar)
5. Efendi, Zukesti. Peranan Leukosit Sebagai Anti Inflamasi Alergik Dalam
Tubuh. Bagian Histologi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
USU Digital Library, 2003.
6. Mansjoer,Arif dkk. Kapita Selekta Kedokteran. Jilid I. Jakarta :
FKUI,1999
7. Price,Silvya.A, Wilson. Lorainne.M. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-
Proses Penyakit.Edisi 6. Jakarta : EGC,2005
8. Chandrasoma, Parakrama. Taylor, Clive. R. Patologi Anatomi. Edisi
2.Jakarta:EGC 2005
9. Bakta, I Made, Prof. Dr. Hematologi Klinik Ringkas. Jakarta: EGC, 2006.
10. Sudoyo et al. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta : Pusat Penerbitan
IPD FK UI, 2007.
11. www.wikipedi.com/leukimia
12. Aguayo, Bieker, Podar, Greaves, Espositon, Felix, etc. Management of
Surgical Injury and Critical Gynecology. Ethical Digest. 2006; 26: 54-59.
13. Kumar, Cotran, Robbins. Buku Ajar Patologi Edisi 7. Jakarta : EGC, 2007.
14. Berg SL, Steuber CP, Poplack DG. Clinical Manifestation of Acute
Lymphoblastic Leukemia. In Hoffman ed: Hematology: Basic Principles
and Practice 3rd ed. Churchill Livingstone Inc. 2000, pp 1070-76.
15. Maurizio A, Marie F P B, Daniela S, Elena B, et al, Chiara M.
Osteonecrosis : an emerging complication of intensive chemotherapy for
childhood acute lymphoblastic leukemia. Haematologica 2003; 88 : 747 –
753
54
16. Resiko Vanesa C, Licia I, Augusto D C, Sergio S, Guglielmo M, et al.
Thrombotic complications in childhood acute lymphoblastic leukemia : a
meta-analysis of 17 prospective studies comprising 1752 pediatric petiens.
Blood, 2006 ; 108 :2216-2222
17. http://dentalresource.org/topics28.htm. Complication10
18. Weinstein, H.J., et al. 1980. Treatment of acute myelogenous leukemia in
children and adult: N Engl J Med 303:473
19. Miller DR. Baehner RL, Mc Millan CW, Miller LP. Blood Disease of
Infancy and Childhood. 5th ed. St. Louis : Mosby Co., 1997 : 619
20. http://www.medicinenet.com/
21. Sudoyo A.W, Setiyohadi B, Alvi I, Simadibrata K.M, Setiati S. Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta : Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam
FKUI, 2006.
22. Nelson. Ilmu Kesehatan Anak Jilid 2. Jakarta: EGC, 1997.
23. http://www.Klikdokter.com/ Menuju Indonesia Sehat.
24. Reksodiputro AH, Nasution CA. Prinsip Penatalaksanaan Leukemia. CDK
1995; 101: 5-10.
55