Secara Bahasa Artinya Benar, Tepat Atau Sehat. Imam Al-Amidi Di Dalam Al-Ihkâm Fî Ushûl
Al-Ahkâm Menyebutkan, Ash-Shihhah Secara Bahasa Adalah Lawan Dari As-Saqam Yaitu Al-
Mardh (Sakit). Jadi Ash-Shihhah Bisa Diartikan Secara Bahasa Adalah Sehat.
Secara Istilah Ushul Fikih, Syaikh Taqiyuddin An-Nabhani Dalam Asy-Syakhshiyyah Al-
Islâmiyah Juz Iii Menyatakan Ash-Shihhah Adalah Muwâfaqah Amri Asy-Syâri’ (Sesuai
Ketentuan Asy-Syâri’). Secara Faktual, Suatu Perbuatan Dikatakan Absah Jika Memenuhi
Semua Rukun Dan Syarat-Syaratnya. Wahbah Az-Zuhaili Dalam Ushûl Al-Fiqhî Al-Islâmi
Rukunnya Berdasarkan Tatacara Yang Dituntut Dan Memberikan Implikasi Secara Syar’i.
Istilah Ash-Shihhah (Absah), Ketika Disebutkan, Bermakna Adanya Dampak Perbuatan Itu Baik
Dunia Adalah Bahwa Perbuatan Yang Sah Itu Mujzi’ah (Mendapat Imbalan), Mubri‘Ah Li Adz-
Meng-Qadhâ’ Perbuatan). Jika Dikatakan Shalat Sah Artinya Shalat Itu Muzji’ah, Terbebas Dari
Tanggungan Untuk Melaksanakan Shalat Dan Tidak Ada Keharusan Meng-Qadhâ’-Nya. Zakat
Sah Bermakna Terbebas Dari Tanggungan Untuk Membayar Zakat Dan Tidak Ada Keharusan
Membayarnya Lagi.
Makna Dampak Perbuatan Di Dunia Ini Lebih Kelihatan Pada Muamalah. Jual-Beli, Jika
Memenuhi Rukun Dan Syaratnya, Secara Syar’i Menghasilkan Kepemilikan Serta Kebolehan
Memanfaatkan Dan Hak Melakukan Tasharruf Pada Barang Yang Dimiliki. Ijârah Disyariatkan
Untuk Hak Mendapatkan Manfaat Untuk Penyewa Atau Majikan Dan Hak Mendapat Sewa
Untuk Yang Menyewakan Atau Upah Untuk Pekerja. Begitu Juga Hak Istimtâ’ Dalam Akad
Nikah.
Adapun Terkait Dampak Perbuatan Di Akhirat, Shalat Sah, Misalnya, Bermakna Bahwa Shalat
Itu Diharapkan Menghasilkan Pahala Di Akhirat. Begitu Pula Dalam Hal Zakat, Puasa, Haji Dan
Seluruh Perbuatan Ibadah Lainnya. Dampak Di Akhirat Itu Juga Ada Dalam Muamalah Atau
Akad. Dikatakan Jual-Beli Sah. Ini Bermakna Bahwa Niat Terikat Dengan Ketentuan Asy-Syâri’
Dan Maksud Yang Dituju Sesuai Tuntutan Perintah Dan Larangan Sehingga Akan Membuahkan
Pahala. Jadi Terhadap Perbuatan Ini Dengan Niat Dan Maksud Ini Bisa Diharapkan Mendapat
Pahala Di Akhirat Berdasarkan Keterikatan Pada Hukum Allah Swt Itu. Begitu Pula Dalam Hal
Ijarah, Nikah, Wadhî’ah, Rahn, Utang-Piutang, Dan Semua Muamalah Yakni Akad Dan
Tasharruf Lainnya.
Hanya Saja Dampak Perbuatan Di Akhirat Itu Pembahasannya Lebih Diperhatikan Dalam Hal
Ibadah. Pembahasan Itu Kurang Diperhatikan Dalam Muamalah, Hukum-Hukum Akhlak Dan
Begitu Pula Dalam Hal ‘Uqûbât. Ini Yang Terjadi Pada Galibnya. Oleh Karena Itu, Pembahasan
Ash-Shihhah (Absah) Lebih Berputar Pada Dampak Perbuatan Di Dunia, Dari Sisi Perbuatan
Yang Sah Itu Mujzi’ah Dan Membebaskan Dari Tanggungan. Hanya Saja Pada Selain Ibadah,
Yang Dimaksud Dengan Ash-Shihhah Bahwa Itu Adalah Halal, Dan Yang Dimaksud Dengan
Batil Bahwa Itu Haram. Ash-Shihhah Dalam Muamalah Berarti Halalnya Memanfaatkan Dan Al-
Buthlân (Batil) Berarti Haram, Artinya Haramnya Pemanfaatan. Atas Keharaman Itu Berakibat
Pada Sanksi Di Dunia Dan Di Akhirat. Karena Itu Siapa Saja Yang Memiliki Harta Dengan
Akad Yang Batil, Harta Itu Adalah Haram, Dan Pelakunya Layak Mendapat Sanksi Di Akhirat.
Al-Buthlân
Atau Sia-Sia. Adapun Secara Istilah, Al-Buthlân (Al-Bâthil) Adalah Lawan Dari Ash-Shihhah
(Ash-Shahîh), Yakni Lawan Dari Absah. Karena Itu Bâthil Bermakna: ‘Adamu Muwâfaqah Amri
Asy-Syâri’ (Tidak Sesuai Ketentuan Asy-Syâri’). Maksudnya, Tidak Terwujudnya Hasil Dari
Perbuatan Itu Di Dunia, Yakni Tidak Mendatangkan Balasan (Ghayru Mujzi`In), Tidak
Shalat Yang Batil (Batal) Adalah Yakni Tidak Memenuhi Rukun Atau Syarat-Syaratnya
Sehingga Tidak Membebaskan Dari Tanggungan Dan Tidak Menggugurkan Qadhâ’. Artinya,
Orang Itu Belum Bebas Dari Tuntutan Untuk Melaksanakan Shalat Dan Dia Harus Meng-
Qadhâ’-Nya Jika Telah Lewat. Jika Ia Tidak Menunaikan Atau Tidak Meng-Qadhâ’-Nya Maka
Al-Bâthil Terjadi Karena Dilarang Secara Asalnya Atau Terjadi Kekosongan Pada Asal, Asas
Atau Substansinya. Dalam Hal Akad, Al-Bâthil Itu Jika Larangan Terjadi Pada Akadnya Sendiri
Atau Jika Terjadi Kekosongan (Cacat) Pada Rukun Atau Syarat Sahnya. Contoh: Pernikahan
Dengan Wanita Yang Haram Dinikahi Adalah Batil Sebab Pernikahan Itu Dilarang; Jual-Beli
Ikan Yang Masih Di Dalam Kolam Adalah Batil Karena Dilarang Sejak Asalnya Dan Itu
Merupakan Jual-Beli Yang Majhûl (Jual-Beli Gharar, Tidak Jelas) Pada Asal/Pokoknya, Yaitu
Dalam Suatu Pernikahan Yang Batil Tidak Ada Hak Istimtâ’, Tidak Ada Yang Namanya Suami
Atau Istri Sehingga Hubungan Keduanya Adalah Haram Dan Layak Mendapat Sanksi Di
Akhirat. Dalam Jual-Beli Batil Tidak Terjadi Pertukaran Pemilikan, Tidak Ada Kebolehan
Memanfaatkan Dan Tidak Ada Hak Men-Tasharruf. Dengan Kata Lain, Jual-Beli Yang Batil
Mengakibatkan Keharaman Pemanfaatan (Tasharruf) Atas Barang. Karena Itu Pemanfaatan Dan
Al-Fasâd
Al-Fasâd Berbeda Dengan Al-Bâthil. Batil Itu Tidak Sesuai Ketentuan Asy-Syâri’ Dari Sisi Asal
(Pokok)-Nya, Yakni Asalnya Dilarang Seperti Jual-Beli Gharar; Atau Syarat Yang Tidak
Terpenuhi Menyebabkan Cacat Pada Asalnya. Adapun Fasâd Pada Asal (Pokok)-Nya Sesuai
Ketentuan Asy-Syâri’, Tetapi Sifatnya Yang Tidak Menyebabkan Cacat Pada Asal (Pokok)
Menyalahi Ketentuan Asy-Syâri’. Hal Pokok Dalam Akad Adalah Rukun Beserta Syarat-Syarat
Dari Rukun Itu, Dan Syarat-Syarat Sah Akad. Jadi Jika Hal Itu Tidak Terpenuhi Maka Batil. Jika
Yang Tidak Sesuai Diluar Rukun Beserta Syarat-Syarat Rukun Itu Dan Bukan Syarat Sahnya
Fasâd Tidak Tergambar Ada Pada Ibadah. Sebab Jika Ditelaah Rukun Dan Syarat-Syarat Dalam
Ibadah, Bisa Didapati Bahwa Semuanya Berkaitan Dengan Asal Atau Pokok. Fasâd Itu Mungkin
Ada Dalam Muamalah. Fasâd Bisa Terjadi Pada Akad-Akad Yang Memunculkan Komitmen
Timbal-Balik Atau Pertukaran Kepemilikan Seperti Jual-Beli, Ijârah, Hawâlah, Syirkah, Dan
Sebagainya.
Sebagian Ulama Memasukkan Fasad Bisa Terjadi Pada Akad Pernikahan. Hal Itu Bukan Dari
Sisi Terakadkan Atau Tidaknya Pernikahan, Tetapi Dari Sisi Diperoleh Atau Ditetapkan Ada
Atau Tidaknya Implikasi Dari Akad Pernikahan. Hanya Bedanya, Jika Akad Nikah Itu Batil
Maka Tidak Terjadi Sama Sekali Dan Jika Ingin Melanjutkan Harus Mengulang Akad Nikah,
Misalnya Karena Tidak Ada Dua Orang Saksi. Adapun Jika Fasad, Maka Belum Terakadkan
Dalam Arti Tidak Boleh Dilanjutkan Dan Semua Implikasinya Belum Didapat. Namun, Jika
Sebab Fasad Itu Dihilangkan Maka Akadnya Sah, Sempurna Dan Semua Implikasinya Ada,
Tidak Perlu Mengulangi Akad. Misalnya, Jika Pernikahan Tanpa Ijin Atau Persetujuan Lebih
Dulu Dari Mempelai Wanita. Jika Ia Rela Atau Setuju Maka Akad Nikah Itu Sah Dan Sempurna.
Contoh Akad Fasad, Jual-Beli Orang Kota Dengan Orang Kampung Adalah Fâsid Karena Orang
Kampung Tidak Tahu Harga Dan Situasi Pasar. Namun, Jika Ia Sampai Di Pasar Dan Tahu
Harga Atau Situasi Pasar, Jika Ia Menerima Atau Rela Melanjutkan Jual-Beli Itu, Maka Jual-
Belinya Menjadi Sah Dan Tidak Perlu Diulang Akadnya; Atau Ia Berhak Membatalkan Jual-Beli
Itu.
Contoh Lain, Akad Syirkah Tetapi Tidak Ada Yang Menjadi Pengelola Yang Dinyatakan Dalam
Akad Syirkah. Contoh: Syirkah Musâhamah (Pt) Dan Koperasi. Keduanya Merupakan Syirkah
Yang Batil, Sebab Cacat Pada Asal Akad. Berbeda Jika Syirkah Dengan Harta (Modal)-Nya
Yang Jelas Jumlahnya Tetapi Belum Jelas Yang Mana Hartanya, Maka Syirkah Itu Fâsid. Jika
Harta Itu Dijelaskan Yang Mana Maka Syirkah Itu Sah Dan Sempurna. Begitu Pula Jika Syirkah
Dengan Pembagian Laba Berdasar Jumlah Atau Angka Bukan Menurut Nisbah Dari
Keuntungan, Maka Syirkah Itu Fâsid. Jika Disepakati Pembagian Laba Menurut Nisbah
(Prosentase) Dari Laba Maka Syirkah Itu Menjadi Sah Dan Sempurna.
Contoh Lain: Jika Mahar Dalam Akad Nikah Belum Jelas Atau Ujrah Dalam Akad Ijârah Belum
Jelas, Maka Akad Tersebut Fâsid. Jika Maharnya Atau Ujrah-Nya Disepakati Secara Jelas Maka
Akadnya Menjadi Sah Dan Sempurna. Adapun Jika Tidak Tercapai Kesepakatan Maka