Anda di halaman 1dari 11

BAB I.

PENDAHULUAN

A. Standar Kompetensi
Penyelenggaraan pelayanan kefarmasian di rumah sakit merupakan hal yang penting dalam
pelayanan terhadap pasien. Standar kompetensi dalam modul ini adalah meningkatkan kemampuan
peserta untuk mengetahui tentang bagaimana menginterpretasi data klinis pasien, dalam hal ini
adalah data hasil pemeriksaan laboratorium untuk mendukung pelayanan pasien yang optimal.

B. Deskripsi
Untuk menjamin kualitas pelayanan pasien di fasilitas kesehatan, hendaknya apoteker dibekali
dengan ilmu-ilmu farmasi klinis, salah satunya adalah menginterpretasi data laboratorium.
Modul pembuatan formularium ini berisi uraian tentang makna klinis dari hasil pemeriksaan
laboratorium pasien, terutama yang berhubungan dengan panel darah lengkap atau complete blood
count, disertai dengan hasil pemeriksaan fungsi ginjal dan liver yang sangat umum digunakan.
Peserta akan diberikan pelatihan bagaimana menginterpretasi data laboratorium, sehingga
membantu monitoring efektivitas dan efek samping dari terapi pasien.

C. Waktu
Waktu yang dibutuhkan untuk Pembelajaran modul ini adalah 1 kali session dengan durasi 2 jam.

D. Petunjuk Penggunaan Modul


Modul ini disiapkan untuk dapat digunakan dan diimplementasikan dengan mudah dalam
menunjang pelayanan kefarmasian. Dalam menggunakan modul ini harus menyesuaikan dengan
pelayanan kesehatan yang tersedia di rumah sakit. Hendaknya peserta memulai dengan
pemahaman makna klinis dari data-data laboratorium, dan juga perlu selalu memperhatikan data
penunjang klinis lainnya (seperti keluhan subjektif pasien serta data objective selain hasil
pemeriksaan laboratorium) untuk dapat memberikan pelayanan terkait obat secara optimal.

E. Tujuan Akhir
Modul ini dibuat untuk membantu agar peserta dapat memiliki kemampuan dalam menginterpretasi
data hasil pemeriksaan laboratorium dalam rangka mendukung pelayanan kesehatan yang optimal.
BAB II. PEMBELAJARAN

A. Gambaran Umum
Apoteker, khususnya farmasi klinis sangat berperan di dalam monitoring perkembangan
klinis pasien selama masa pengobatan , sehingga sangat penting untuk mengetahui makna klinis dari
hasil pemeriksaan laboratorium di fasilitas kesehatan. Fungsi monitoring ini yaitu berupa monitoring
efektivitas obat dan juga keamananya (dalam hal ini efek samping yang potensial terjadi). Dengan
demikian, farmasi klinis dapat menjamin pengobatan rasional pada pasien.

B. Uraian Materi
Dalam melaksanakan fungsi monitoring terapi pasien, hal yang perlu diperhatikan adalah
kondisi klinis (berupa keluhan subyektif pasien) serta hasil pemeriksaan laboratorium, radiologi, dan
pemeriksaan penunjang lainnya. Modul ini mengulas tentang pemeriksaan darah lengkap (complete
blood countatau CBC) yang merupakan pemeriksaan laboratorium yang paling banyak digunakan
untuk diagnosa awal pasien. Selain itu, modul ini juga mengulas tentang pemeriksaan laboratorium
ginjal dan liver yang paling banyak digunakan. Data laboratorium ini dapat digunakan farmasi klinis
untuk melakukan monitoring obat.
Complete Blood Count
Complete blood count merupakan pemeriksaan awal yang dapat digunakan untuk
mendeteksi masalah kesehatan, termasuk anemia dan infeksi. Tabel 2.1 menunjukkan unsur-unsur
dari complete blood count beserta makna klinisnya.
Untuk mendeteksi kondisi anemia, dapat dilihat unsur hemoglobin dan sel darah merah
(Red blood cell atau RBC). Penurunan RBC dapat menandakan terjadinya perdarahan, hemolysis,
kurang gizi, kondisi genetic (misalnya thalassemia, sicle cell anemia), konsumsi obat (misalnya
chloramphenicol), gagal sum-sum tulang belakang, penyakit kronis (tumor, sepsis), atau kegagalan
organ (misalnya gagal ginjal). Sedangkan peningkatan RBC dapat terjadi pada kondisi polycythemia
vera dan penyakit jantung bawaan. Jika terdapat nilai abnormal, maka dapat memperhatikan unsur
CBC lainnya, seperti MCV, MCH, MCHC, RDW untuk mengetahui penyebab anemia. Table 2.2
menunjukkan nilai normal dari masing-masing unsur CBC.
Tabel 2.1 Unsur pemeriksaan complete blood count

Tabel 2.2Nilai normal complete blood count

Untuk mendeteksi ada atau tidaknya kondisi infeksi, maka dapat merujuk pada nilai White
Blood Cell (WBC). Peningkatan WBC dapat terjadi pada kondisi infeksi, leukemia atau keganasan
lainnya, trauma, nekrosis jaringan, inflamasi, dehidrasi peningkatan hormone thyroid, dan
penggunaan steroid. Sedangkan penurunan nilai WBC dapat terjadi akibat toksisitas obat (misalnya
kemoterapi), kegagalan sum-sum tulang, gizi buruk, penyakit autoimun, dan hypersplenism. Adapun
komponen WBC yang tergolong dalam differential count, yaitu: neutrophil, limfosit, monosit,
eosinophil, dan basophil. Differential count ini merupakan deteksi penunjang pada kondisi infeksi.

Tabel 2.3 Kondisi abnormalitas differential count

Selain RBC dan WBC, juga terdapat komponen darah lainnya yaitu platelet (dikenal juga
sebagai thrombosit), yang berfungsi un tuk memulai proses koagulasi sehingga sangat berperan
dalam proses pembekuan darah. Kondisi kritis dapat terjadi jika nilai platelet <20.000 atau >1 juta /
mm3. Interpretasi abnormalitas nilai platelet tercermin pada table 2.4.
Tabel 2.4 Interpretasi Abnormalitas Platelet

Pemeriksaan Fungsi Ginjal


Fungsi ginjal sangat penting untuk di-monitor karena sangat terkait dengan proses ekskresi
obat, sehingga jika fungsinya terganggu maka akan sangat berpengaruh terhadap bioavailabilitas
obat di dalam tubuh. Komponen pemeriksaan fungsi ginjal yang paling umum dilakukan adalah
dengan pengecekkan nilai serum creatinine, blood urea nitrogen (BUN), GFR, dan juga pemeriksaan
urin.
BUN - Merupakan pengukuran kasar dan tidak langsung terhadap fungsi renal dan GFR (pada kondisi
liver yang normal). Urea dibentuk di liver sebagai hasil dari proses metabolisme dan pencernaan.
Urea akan ditransport ke ginjal untuk diekskresi. Dengan demikian, nilai BUN dapat digunakan
sebagai indikator fungsi ginjal maupun liver. Nilai normal BUN tercermin pada table 2.5. Kondisi
kritis dapat terjadi pada nilai BUN >100 mg/dl. Kondisi ini mengindikasikan adanya gangguan ginjal
yang serius. Pada table 2.6 dapat terlihat interpretasi nilai BUN.
Tabel 2.5 Nilai Normal BUN
Tabel 2.6 Interpretasi Abnormalitas Nilai BUN

Creatinine – Merupakan produk katabolik dari kreatin fosfat, yang digunakan untuk kontraksi otot.
Pembentukan kreatinin bergantung pada massa otot, dan fluktuasinya sangat kecil. Kreatinin
sepenuhnya diekskresi oleh ginjal sehingga dapat digunakan untuk memperkirakan fungsi
glomerulus ginjal atau dikenal dengan Glomerulus Filtration Rate (GFR). Massa otot yang kecil dan
asupan protein berlebih dapat mengganggu interpretasi nilai creatinine. Nilai normal creatinine
tercermin pada table 2.7. Kondisi kritis dapat terjadi pada nilai creatinine >4 mg/dl. Kondisi ini
mengindikasikan adanya gangguan ginjal yang serius. Pada table 2.8 dapat terlihat interpretasi nilai
creatinine.
Tabel 2.7 Nilai Normal Creatinine
Tabel 2.8 Interpretasi Abnormalitas Nilai Creatinine

Creatinine Clearance – Merupakan pengukuran GFR = jumlah filtrate (dalam ml) yang melewati
ginjal per menit. Kemampuan ginjal dalam me-filtrasi obat tergantung dari:
 Jumlah darah yang difiltrasi (menurun pada kondisi atherosclerosis arteri, dehidrasi, syok)
 Kemampuan nefron melakukan filtrasi (menurun pada kondisi glomerulonephritis, acute tubular
necrosis)
Adapun rumus pengukuran GFR menurut metoda MDRD adalah sebagai berikut:
Kondisi peningkatan GFR dapat terjadi pada kondisi olahraga, kehamilan, sindroma curah jantung
berlebih, sedangkan penurunan GFR dapat terjadi pada kondisi gangguan fungsi ginjal, penurunan
aliran darah ke ginjal, dan penggunaan obat-obat nefrotoksik.

Pemeriksaan Fungsi Liver


Selain fungsi ginjal, fungsi liver juga sangat penting untuk di-monitoring karena salah satu
fungsi utama liver adalah metabolisme obat. Jadi, jika terdapat gangguan liver, maka akan terjadi
gangguan metabolisme obat di dalam tubuh. Pemeriksaan fungsi liver melalui laboratorium pada
umumnya adalah dengan pengecekkan SGOT, SGPT, aldolase, alkaline phosphatase, alpha-
fetoprotein, ammonia, bilirubin, gamma glutamyl transpeptidase, dan lactic dehydrogenase. Pada
modul ini, akan dibahas pengecekkan SGOT dan SGPT yang merupakan pemeriksaan awal dan paling
umum digunakan.
SGOT – disebut juga dengan Aspartate aminotransferase (AST). Enzim ini banyak ditemukan pada
otot jantung, sel liver, dan sel otot skeletal. Enzim ini juga dapat ditemukan pada ginjal, pancreas, sel
darah merah dalam jumlah yang sedikit. Kerusakan pada organ2 tersebut menyebabkan sel pecah
sehingga AST keluar menuju darah yang kemudian menyebabkan peningkatan AST darah.
Peningkatan AST setara dengan jumlah sel organ terkait yang lisis. Tabel 2.9 dan 2.10 masing-masing
menggambarkan nilai normal AST dan interpretasi abnormalitas nilai AST.
Tabel 2.9 Nilai Normal AST

Tabel 2.10 Interpretasi Abnormalitas Nilai AST


SGPT – Disebut juga dengan Alanine Aminotransferase (ALT). Enzim ini dominan terdapat pada liver,
serta sangat sedikit ditemukan pada ginjal, jantung, otot skeletal. Pengukuran ALT untuk disfungsi
liver lebih spesifik dibanding AST dan dapat digunakan untuk monitoring perbaikan fungsi liver. Nilai
normal ALT adalah 4 – 46 unit / L, terkecuali pada infant dapat mencapai dua kali nilai normal
tersebut. Interpretasi abnormalitas nilai ALT dapat dilihat pada tabel 2.11.

Tabel 2.11 Interpretasi Abnormalitas Nilai ALT


BAB III. STUDI KASUS
Kasus I
Pasien A dengan diagnosa post op appendicitis, dilakukan pemeriksaan darah dengan hasil sbb:

Terdapat peningkatan leukosit jika dibandingkan dengan 3 hari sebelumnya (WBC = 9 Ribu/ μl). Pasien A
diketahui mendapatkan terapi antibiotik: Ceftriaxone IV 1x1 g. Apa saran Anda sebagai farmasi klinis
kepada dokter penanggung jawab pasien A?

Kasus II
Pasien B di-diagnosa menderita STEMI, Diabetes mellitus tipe 2 (gula darah sewaktu = 130 mg/dl), dan
CKD dengan GFR = 10 ml/mnt, mendapat terapi sbb:
 Aspirin 1x80 mg PO
 Amlodipine 1x10 mg PO
 Clopidogrel 1x75 mg PO
 Bisoprolol 1x2,5 mg PO
 Atorvastatin 1x40 mg ON
 Metformin 1x850 mg PO
 Glimepiride 1x2 mg PO
Apa yang menjadi perhatian pada kasus ini?

DAFTAR PUSTAKA

 Pagana KD, Pagana TJ. Mosby’s Manual of Diagnostic and Laboratory Tests. 5 th Ed. 2014. Canda:
Elsevier.
 Anderson W. Brickell J. Clinical Chemistry: A Laboratory Perspective. 2007. Philadelphia: F. A.
Davis Company

Anda mungkin juga menyukai