Anda di halaman 1dari 15

Virtual Reality: Hiperealitas dalam Simulasi Bencana Tsunami

Teori Komunikasi II

Dosen Pengampu:
Joseph J. Darmawan, M.A
dan
Birgitta Bestari Puspita Jati, M.A.

Jonathan Festly Samuel


150905800

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik


Universitas Atma Jaya Yogyakarta

1
Pengantar

Proses komunikasi selalu melibatkan media. Jika pada model komunikasi yang

dikemukakan Aritoteles tidak mencantumkan media, pada model Lasswell (dalam Mulyana,

2002, hal 136), dapat dilihat media ditempatkan sebagai channel. Seiring berjalannya waktu

mulai ditemukan teknologi guna mengisi kolom channel pada proses komunikasi. Penemuan

dan pengembangan teknologi dalam bidang komunikasi memberikan variasi baru terhadap

bentuk dari media.

Teknologi komunikasi merupakan peralatan perangkat keras yang memungkinkan

individu mengumpulkan, memproses, dan bertukar informasi dengan individu yang lain

(Rogers dalam Abrar, 2003 hal 1). Dapat digambarkan bahwa teknologi komunikasi ada alat

dan meningkatkan kemampuan indera manusia, terutama penglihatan dan pendengaran.

Perkembangan ini dimulai sedikit demi sedikit. Namun hingga kini dapat dikatakan telah

cukup pesat, terutama jika dilihat dari sisi kebudayaannya.

Dimulai dari era komunikasi tulisan, era komunikasi cetak, era telekomunikasi, dan

yang sedang terjadi adalah era komunikasi interaktif (Abrar, 2003, hal 17). Penemuan

teknologi komunikasi yang interaktif bertujuan agar informasi tidak hanya disampaikan tapi

dapat saling ditukarkan. Era komunikasi interaktif dimulai saat komputer mainframe pertama

kali ditemukan. Penemuan ini memungkinkan komunikasi dilakukan dengan jarak yang

sangat jauh dan dalam waktu yang sangat singkat. Kemudian dilanjutkan dengan penemuan

internet. Meskipun pada awalnya internet digunakan untuk kepentingan militer, namun

kemudian internet dimanfaatkan untuk kepentingan komersial (McPhail, 2006). Hingga kini

internet dapat diakses oleh semua orang. Hal ini dapat dilihat dari menjamurnya warung

internet, fasilitas umum dengan wifi gratis, dan dijualnya kartu provider yang berisikan data

internet. Internet tidak lagi hanya dapat diakses melalui komputer, tetapi melalui perangkat-

perangkat yang lebih praktis dan ringkas seperti notebook, phonetablet, dan smartphone.

2
Perangkat-perangkat inilah yang menjadi ciri khas era komunikasi interaktif, yaitu media

interaktif. Media interaktif tentu berbeda dengan media massa yang informasinya

dikendalikan oleh suatu institusi tertentu. Maka perangkat diatas tidak bisa disamakan dengan

media massa. Begitu juga dengan perangkat Virtual Reality (VR).

Sejarah Virtual Reality

Menyebarnya internet menjadi babak baru dalam teknologi komunikasi, yaitu

komunikasi virtual. Teknologi komunikasi virtual pun sebenarnya adalah sudah ada dalam

pengembangan dari teknologi sebelumnya. VR sendiri tidak memiliki pencipta yang pasti,

karena VR dikembangkan banyak pihak. Namun istilah virtual reality sendiri mulai

digunakan pertama kali oleh Douglas Engelbart (Who invented). Karena sebenarnya

penemuan mengenai virtual reality telah dimulai dari tahun 1838 dimulai dengan nama

Stereoscopic photos & viewers, oleh Charles Wheatstone (History of). Cara kerja alat ini

pada saat itu memiliki prinsip yang sama dengan Google card board. Melihat dua sisi gambar

stereoskopik samping atau foto melalui stereoskop memberi sensasi immersion bagi

penggunanya. Kemudian disusul oleh Simulator Penerbangan pada tahun 1929, yang diberi

nama Link Trainer. Pada inisiasinya alat ini dibeli oleh pemerintah Amerika untuk keperluan

militer. Alat yang dibuat oleh Edward Link ini telah digunakan 500.000 pilot Amerika selama

perang dunia ke-2.

Pasca perang dunia, Mortion Heilig menemukan perangkat yang disebut sebagai

sensorama. Sensorama sendiri dikembangkan berdasarkan prinsip sinematografi. Alat yang

ditemukan 1950 ini juga memberikan sensasi immersion bagi penontonnya dalam menikmati

film yang ditampilkan melalui fitur suara stereo, layar tiga dimensi, dan kursi yang bergetar.

Lalu satu dekade kemudian Heilig menemukan Telesphere Mask. Prinsip kerjanya tidak jauh

berbeda dengan sensorama, tetapi alat ini lebih ringkas dan digunakan di kepala. Sehingga

3
layar berada tepat didepan mata. Berselang satu tahun Comeau & Bryan mengembangkan

Headsight, alat prinsipnya digunakan pada VR dimasa sekarang. Jenis perangkat seperti

disebut juga dengan Head-Mounted Display (HMD). Beberapa perangkat berbasis virtual

ditemukan juga setelah Headsight, namun prinsip yang sama seperti HMD baru

dikembangkan lagi tahun 1993. Jika sebelumnya perangkat dibentuk untuk sinematografi,

SEGA mengembangkan VR untuk konsol permainan. Perangkat yang diberi nama SEGA VR

headset ini sudah menggunakan layar LCD dan diintegerasikan dengan program pada konsol

SEGA Genesis. Dan pada tahun 1995 pesaing SEGA, Nintendo ikut meramaikan inovasi

konsol game dengan teknologi virtual, yaitu VR-32 atau disebut juga Nintendo Virtual Boy.

Pada konsol ini tampilan 3 dimensi tidak hanya merupakan ilusi lensa, tetapi grafik game

juga dibuat 3 dimensi. Karena banyaknya kesalahan teknis ketidak cocokan program dan

output visual kemudian konsol ini dihentikan produksi dan penjualannya. Setelahnya para

pengembang sibuk merancang teknologi virtual yang efektif. Terlebih keharusan VR bersaing

dengan perangkat media interaktif yaitu komputer yang berkembang cukup pesat dan

signifikan di akhir abad 20 dan awal abad 21. Sempat surut lebih dari satu dekade, VR baru

dikomersilkan secara besar-besaran yaitu oleh Oculus, dengan perangkat VR-nya yaitu

Oculus Rift pada tahun 28 Maret 2016 (Fadelli, 2016).

Aplikasi Simulasi Bencana dalam Virtual Reality

Dalam sejarahnya, virtual reality telah digunakan dalam berbagai bidang. Dari

konteks militer, sinematografi, hingga konsol game. Hingga sekarang, VR digunakan dengan

fungsi yang digabungkan dengan smartphone, atau dalam bentuk HMD. Salah satu produk

VR berbentu HMD yang paling terkenal adalah Oculus Rift. Alat ini yang dikembangkan

khusus dalam mengejar immersion dan arti sebenarnya dari presence. Oculus telah

melakukan penelitian dan pengembangan dalam rangka untuk menemukan garis mana

4
presence berakhir dan immersion dimulai (Oculus Rift). VR dalam Oculus Rift digunakan

melalui aplikasi. Sampai sekarang dominasi dari aplikasi VR yang didukung oleh Oculus Rift

masih dipegang oleh aplikasi permainan.

Kini telah diciptakan juga simulator bencana virtual reality. Simulator ini

kembangkan di Tomoki Itamiya Laboratory, Jepang (Tomoki Itamiya, 2016). Jepang adalah

salah satu negara yang rentan terkena bencana, seperti tsunami pada tahun 2011 silam.

Belajar dari pengalaman, dalam beberapa kesempatan pemerintah Jepang mengadakan

simulasi bencana. Tidak hanya simulasi di dunia nyata, simulasi menggunakan perangkat

virtual juga dilakukan. Salah satunya adalah aplikasi yang dikembangkan Itamiya. Sistem dia

buat memberikan pengalaman mendalam khusus, seperti serangan tsunami saat mengemudi

mobil. Penggunanya dapat memvisualisasikan peristiwa bencana dalam representasi yang

sebenarnya dari wilayah ketika itu mungkin terjadi, misalnya, Tokyo atau Nagoya. Mereka

dapat mengalami interior mobil, dan banjir tsunami yang terlihat persis seperti hal yang nyata

dengan 3D-CG menggunakan gambar stereo digital. Seseorang dapat memiliki pengalaman

virtual mobil mereka mendapatkan hanyut dan dibanjiri oleh tsunami yang mengerikan

sambil dari tempat duduk pengemudi. Sistem ini telah digunakan oleh 2000 orang. Orang

yang menggunakan sistem saya benar-benar menyadari dan merasakan potensi bahaya

bencana. Pengalaman ini sangat berguna untuk pendidikan pencegahan bencana. Ini adalah

cara digunakan Itamiya dan timnya untuk membantu orang menjadi lebih sadar akan risiko

berbahaya dari bencana.

Definisi dan Konsep Virtual Reality

Untuk memahami cara kerja dan karakteristik virtual reality diperlukan pemahaman

lebih mendalam mengenai definisinya. Istilah Virtual Reality dapat diartikan dalam dua

pengertian (Chan, 2014, hal 1). Pertama, dunia yang diciptakan program berbasis komputer

5
dan melibatkan bentuk interactivity dan immersion. Yang dimaksudkan kedua bentuk

tersebut adalah interaksi resiprokal antara sistem dan pengguna yang menyebabkan perasaan

seakan mengalami secara langsung imaji yang diberikan sistem. Kedua, penyandingan istilah

“Virtual” dan “Real” yang menjadi landasan perdebatan filosofis mengenai representasi

media dan simulasi. Slouka (dalam Abrar, 2003, hal 86), menyatakan bahwa virtual reality

merujuk pada lingkungan yang menyelubungi dan menghidupkan secara sensual seseorang

dengan cara menghubungkannya ke program komputer. Menurut Coates (dalam Steuer,

1992), virtual reality adalah simulasi elektronik lingkungan yang dialami penggunanya

melalui kepala dipasangkan dalam bentuk kacamata dan pakaian kabel memungkinkan

pengguna akhir untuk berinteraksi dalam situasi tiga dimensi yang realistis. Sedangkan

Greenbaum mendefinisikan virtual reality sebagai dunia alternatif yang penuh dengan imaji

yang dihasilkan komputer yang merespon gerakan manusia. Lingkungan ini disimulasikan

biasanya dikunjungi dengan bantuan setelan data mahal yang menampilkan kacamata video

yang stereoponis dan sarung tangan data serat optik (dalam Steuer, 1992). Definisi-definisi

diatas mengarahkan virtual reality sebagai suatu lingkungan yang bentuk secara virtual. Dari

pengertian-pengertian tersebut pula dapat disimpulkan beberapa kata kunci dalam virtual

reality yaitu, immersion, virtuality, interactivity, presence dan telepresence.

Tujuan mekanisme virtual reality adalah memberikan sensasi immersion penuh dari

saluran sensorimotor manusia menjadi pengalaman yang dihasilkan komputer jelas. Sensasi

immersion yang dimaksud adalah perasaan pengguna benar-benar terbalut dalam sistem, dan

informasi yang ada di dalam lingkungan virtual (Biocca, 1995, hal 17). Dalam Oxford

Advanced Learner’s Dictionary, immersion diartikan keadaan yang terlibat secara utuh dalam

sesuatu. Berdasarkan konteks ini, Jonathan Steuer (1992), mengatakan bahwa immersion

dapat dilihat sebagai bagaimana virtual reality membawa penggunannya melalui dunia tiga

dimensi. Karl Popper (dalam Biocca, 1995, hal 18), ada tiga hal yang perlu dipikirkan ketika

6
hendak mempertimbangkan penggunaan virtual reality. Dunia fisik, keadaan mental, dan isi

pikiran manusia. Pengguna virtual reality dapat dikatakan immerse jika interaksi yang

dilakukannya melalui VR dapat mempengaruhinya sama level isi pikiran. Lingkungan VR

juga membungkus isi pikiran seseorang, untuk kemudian menentukan dunia fisiknya.

Ide atau gagasan mengenai istilah virtual dapat diartikan sebagai mendekati realitas,

namun tidak benar-benar nyata. Konsepsi mengenai virtualitas sendiri sebenarnya asumsi

bahwa teknologi memiliki daya untuk mengeluarkan diri kita dari diri kita sendiri, dan

memungkinkan kita menjelajahi lanskap untuk mencari realitas kita sehari-hari (Hartley,

2004, hal 307). Secara sederhana McKie (dalam Hartley, 2004, hal 308) mendefinisikan

virtualitas sebagai simulasi grafis interaktif. Namun oleh Woolley (dalam Gidding & Lister,

2011, hal 228), pendapat McKie ditentang, bahwa konsep mengenai virtual bukan hanya

mengenai masalah teknologi. Lain halnya dengan Hayles yang menempatkan virtualitas

sebagai persepsi kultural yang menyebutkan objek material dipenetrasi oleh pola informasi.

Virtualitas tidak dilihat sebagai secara fakta yang dapat diobservasi fisik, namun lebih

mengarah pada pencapaian retorik. Artinya, virtualitas sejatinya merupakan simulasi yang

disampaikan melalui grafis komputer, namun lebih jauh dari itu simulasi tersebut mampu

membawa kita untuk merasakan lebih jauh seakan meninggalkan realitas kita sehari-hari.

Tidak hanya sekedar simulasi, virtual reality juga mengajak penggunannya untuk berinteraksi

di dalam lingkungan virtual reality.

Interactivity secara umum dapat diartikan sebagai partisipasi aktif dari penerima

manfaat, dalam konteks ini pengguna VR, dalam transaksi informasi. Ada beberapa kriteria

yang dapat digunakan untuk mengukur interactivity suatu media (Pierre Levy dalam Gidding

& Lister, 2011, hal 228). Pertama, kemampuan untuk menyediakan dan personalisasi pesan

yang diterima, terlepas dari sifat atau pesan. Ini merujuk pada kapasitas dan kemampuan alat

untuk berinteraksi. Kedua, resiprositas komunikasi. Resiprositas dalam konteks virtual

7
reality mengarah kepada komunikasi antara pengguna dengan lingkungan virtualnya. Ketiga,

virtualitas. Seperti yang sudah dibahas pada paragraf sebelumnya, mengenai simulasi yang

diberikan dalam virtual reality. Dan yang terakhir adalah telepresence.

Presence dan Telepresence merupakan salah satu kata kunci yang dapat menjelaskan

lebih mendalam cara kerja virtual reality. Secara gamblang, presence dapat diartikan sebagai

kehadiran, namun pada konteks ini lebih merujuk pada apa yang dirasakan pada saat

sekarang. Namun menurut Gibson (dalam Steuer, 1992), Presence didefinisikan sebagai rasa

berada di sebuah lingkungan. Banyak faktor persepsi berkontribusi menghasilkan pengertian

ini, termasuk masukan dari beberapa atau semua saluran sensorik, serta atensi lebih sadar,

persepsi, dan proses mental lainnya yang menyerap data indrawi yang masuk dengan

keprihatinan saat ini dan pengalaman masa lalu. Presence dapat dianggap sebagai

pengalaman lingkungan fisik seseorang, tetapi untuk persepsi lingkungan mereka sebagai

dimediasi oleh proses mental otomatis dan dikendalikan (Steuer, 1992). Jika presence lebih

merujuk pada pendekatan secara mental daripada fisik, maka telepresence dapat diartikan

sejauh mana orang merasa hadir di lingkungan dimediasi, bukan di lingkungan fisik

langsung. Telepresence juga dapat didefinisikan sebagai pengalaman kehadiran di lingkungan

dengan cara media komunikasi. Dapat disimpulkan bahwa presence mengacu pada persepsi

alam lingkungan, dan telepresence mengacu pada persepsi di lingkungan virtual. Lingkungan

virtual ini dapat berupa lingkungan temporal atau spasial, misalnya ruang yang jauh dilihat

melalui kamera video, atau dunia maya animasi oleh komputer (misalnya, dunia animasi

dibuat dalam video game) (Biocca, 1995, hal 36).

Transisi ke era virtual reality membawa tantangan baru bagi manusia. Manifestasi

tantangan tersebut dapat dilihat dari beberapa sektor, seperti ekonomi, politik, sosial, dan juga

kultural. Pengembangan virtual reality di masa sekarang merupakan dampak dari teknologi

yang berkembang sebelumnya. Pada dasarnya teknologi komunikasi selalu memiliki efek

8
samping, yang membawa pada penemuan teknologi yang baru (Iskandar Alisyabana dalam

Abrar, 2003, hal 79). Selain itu Everett Rogers juga mengatakan bahwa teknologi komunikasi

sejatinya mendidik pemakainya untuk menyesuaikan diri dan meningkatkan interaksi (dalam

Abrar, 2003, hal 8). Secara kultural, pemakaian teknologi komunikasi akan memberikan

konsekuensi tertentu. Mulai dari berubahnya sistem mengenai nilai dan norma didalam

masyarakat, sampai penyerahan otoritas diri pada teknologi komunikasi n (Abrar, 2003, hal

88). Seperti, sukarnya penggunanya membedakan ilusi dengan dunia nyata. Lebih jauh

teknologi komunikasi bisa menyebabkan penggunanya menjadi communication technology

animal, atau binatang teknologi komunikasi. Artinya teknologi komunikasi memungkinkan

penggunanya menjadi sangat bergantung pada teknologi dalam hal berkomunikasi (Ferkiss

dalam Abrar, 2003, hal 12).

Untuk memahami lebih lanjut mengenai perubahan kultural yang disebabkan oleh

cara kerja dan prinsip VR, maka perlu digunakan suatu pendekatan tertentu. Salah satunya

adalah pendekatan postmodern. Lebih spesifik, pada tulisan ini akan menggunakan

pendekatan melalui pemikiran Jean Baudrillard. Dimana Jean Baudrillard menandai kondisi

postmodern dengan hal yang disebut simulasi.

Postmodernisme

Postmodernisme adalah istilah yang digunakan di dalam dan di luar kajian mengenai

budaya populer (Storey, 2015, h.181). Postmodernisme lebih merujuk pada kebudayaannya,

sedangkan masyarakatnya lebih dikenal dengan istilah masyarakat postindustri. Istilah ini

juga digunakan, bahkan dicetuskan, dalam ranah seni dan arsitektur. Sebenarnya istilah

postmodern telah dipakai pada sirkulasi budaya sejak 1870an, namun postmodernisme yang

dipahami sekarang baru muncul antara era 1950 dan 1960an. Postmodernisme tidak bisa

semerta-merta diartikan sebagai perlawanan atau kritik terhadap modernisme.

9
Postmodernisme dibedakan menjadi dua, postmodernisme oposisi dan postmodern afirmatif.

Postmodernisme oposisi berfokus pada dekonstruksi modernisme dan menolak status quo.

Sedangkan postmodernisme afirmatif menolak modernisme menjadi postmodernisme

afirmatif (Foster dalam Turner, 2008, hal 39).

Simulasi, Simulacra, dan Hiperealitas

Pergulatan mengenai istilah ini dimulai dari pendapat Walter Benjamin bahwa

reproduksi mekanis sebenarnya sah saja (Piliang, 2003, hal 142). Karena teknologi yang

digunakan pada reproduk mekanis masih menggunakan teknologi generasi kedua, sesuai

konsep Marshall McLuhan teknologi, yang hanya menjadi perpanjangan badan manusia.

Generasi ketiga muncul ketika teknologi dikembangkan dengan microchips, processor,

memory, dan remote control. Melalui teknologi generasi ketiga inilah realitas direproduksi

secara terus menerus dan menjadi lebih kompleks. Bahkan lebih jauh realitas tidak hanya

direproduksi, tetapi juga disimulasikan secara sempurna. Baudrillard menyatakan bahwa

Simulasi adalah objek yang orisinil yang sudah dihancurkan oleh tiruannya (Storey, 2015, hal

187). Simulasi tidak lagi berkaitan dengan bagaimana mereproduksi dan menduplikasi

presence. Tetapi lebih jauh simulasi menciptakan model-model sesuatu yang nyata tanpa

realitas yaitu hiperealitas. Hiperealitas bukanlah makna, tetapi lebih kepada efek dari

simulasi. Hiperealitas merupakan ciri khas dari budaya postmodern. Simulasi mengenai

realita, yang dibuat seakan lebih nyata dari realitas itu sendiri. Referensi duplikasi bukan lagi

realitas, tetapi fantasi (Piliang, 2003, hal 145). Membuat batas antara fantasi dan realitas

menjadi kabur. Imajinasi, hasil dari simulasi, bercampur aduk dengan realitas yang ada.

Produk simulasi tidak hanya bersifat hyperreal, tetapi juga memungkinkan

dilakukannya proses kompresi, dekonstruksi, dan rekonstruksi ruang (Piliang, 2003, hal 146).

Sehingga pengguna teknologi dapat mengalami pengalaman dalam ruang yang baru, atau

10
Simulacra. Simulacra adalah tiruan yang identik tanpa adanya yang orisinal. Inilah yang

kemudian Baudrillard nyatakan bahwa budaya sekarang adalah budaya simulacra (Storey,

2016, h.187). Kemudian menimbulkan pertanyaan, bagaimana budaya simulacra, dalam

konteks simulasi bencana tsunami di Jepang mempengaruhi pengguna sistem simulasi

tersebut? Jika ternyata simulasi yang diberikan memberi dampak hiperealitas.

Analisis

Pada kasus

mengenai

simulasi

bencana,

prinsip

immersion,

virtuality,

interactivity, dan telepresence tetap dipertahankan. Melalui Oculus Rift dan sistem yang

dibuatnya, Itamiya bertujuan memberikan pengalaman khusus seperti menghadapi serangan

tsunami saat mengemudi mobil. Dalam melakukan simulasi ini, Oculus juga dibantu dengan

kursi getar yang membantu pemakainya untuk merasakan pengalaman seakan-akan benar-

benar dalam situasi tersebut. Selain itu pemakai Oculus ini juga dapat melakukan interaksi

dengan sistem, seperti menambah kecepatan mobil dan mengarahkan kemudi mobil. Sesuai

dengan implikasi yang diharapkan bahwa melalui sistem ini pemakainya dapat lebih sadar

akan resiko bahaya bencana. Maka secara tidak langsung menyiratkan bahwa harapan mulia

11
sistem ini adalah agar seseorang seperti sudah mengalami bencana, dan lebih bisa

mengantisipasi ketika bencana tersebut terjadi.

Dari gambar tersebut, jelas bahwa sistem yang dibangun oleh Itamiya adalah apa yang

disebut Baudrillard sebagai Simulacra. Itamiya membuat ruang virtual yang didesain dengan

atribut menyerupai kota Tokya dan Nagoya. Meskipun tata kota dibuat semirip Tokyo dan

Nagoya, tapi atribusi posisi mobil, tinggi gedung, dan figur seperti orang yang sedang berlari,

rasanya tidak benar-benar dibuat merujuk pada realitas. Desain lingkungan virtual yang

dibuat Itamiya dan kawan-kawan tidak sepenuhnya merujuk pada realitas. Tetapi berasal dari

imaji mengenai pengalaman mereka mengenai bencana tsunami yang pernah terjadi dan

direkam dalam memori mereka. Yang kemudian mereka coba kolaborasikan dengan tata kota

Tokyo dan Nagoya.

Melalui ruang inilah pengguna simulator disimulasikan untuk mereka mendapatkan

pengalaman dalam menghadapi bencana meskipun hanya didalam ruang virtual. Kemudian

apakah melalui semua simulacra akan menimbulkan efek hiperealitas bagi orang yang

disimulasi?

Perlu diingat bahwa pengalaman immersion yang dialami pengguna mempengaruhi

dunia fisiknya. Simulasi yang diberikan tidak hanya sekedar memberikan pengalaman, tetap

mempengaruhi pengguna pada saat menghadapi kejadian serupa pada dunia nyata. Dampak

yang diinginkan adalah agar penggunanya menginterpretasikan apa yang dia alam di dunia

virtual dan menjadi lebih menyadari bahaya bencana. Namun bagaimana jika dialami

pengguna justru merupakan hiperealitas? Artinya apa yang dialami seseorang dalam simulasi,

dibuat lebih mengerikan dari realitas terjadi bencana. Atau justru sebaliknya, merujuk pada

pendapat Baudrillard, ketika seseorang mengalami simulasi dalam dunia virtual kemudian ia

menganggap sensasi bencana yang di dunia virtual lebih nyata daripada bencana yang terjadi

di dunia nyata. Sehingga pada praktiknya, ketika terjadi bencana, orang yang pernah

12
melakukan simulasi, bukan semakin sadar akan bahaya bencana. Tapi menganggap bencana

yang terjadi tidaklah lebih dari simulasi.

Kesimpulan

Pada umumnya, saat menghadapi bencana, orang awan akan merasa panik dan

ketakutan. Tujuan mulia dari simulasi perlu memperhatikan juga kontinuitas dari hiperealitas

yang dikemukakan Baudrillard. Sehingga pengembangan sistem ini tidak keluar dari jalan

menuju tujuannya, tetapi bisa membantu mengurangi korban jiwa jika terjadi bencana.

13
Daftar Pustaka

Abrar, A. (2003). Teknologi komunikasi: Perspektif ilmu komunikasi. Yogyakarta: LESFI.

Biocca, F. (1995). Communication in the age of virtual reality. New Jersey: Lawrence

Erlbaum Associates

Chan, M. (2014). Virtual reality representations in contemporary media. London:

Bloomsbury Publishing.

Fadelli, I. (2016, 2 Desember). Oculus Rift release date, price and system requirements:

oculus releases list of 53 games compatible with oculus touch.

Giddings, S. & Lister, M. (2011). The new media and technocultures reader. Oxon:

Routledge

Hartley, J. (2004). Communication, cultural, and media studies: The key concepts. London:

Routledge.

History Of. (n.d.). History Of Virtual Reality. vrs.org.uk. diakses dari

http://www.vrs.org.uk/virtual-reality/history.html

Mulyana, D. (2002). Ilmu komunikasi: Suatu pengantar. Bandung: Rosdakarya.

McPhail, T. (2006). Global communication: Theories, stakeholders, and trends. Malden,

USA: Blackwell

Oculus Rift. (n.d.). Oculus Rift Virtual Reality Headset. vrs.org.uk. Diakses dari

http://www.vrs.org.uk/virtual-reality-gear/head-mounted-displays/oculus-rift.html

Itpro.co.uk. http://www.itpro.co.uk/desktop-hardware/24781/oculus-rift-release-date-price-

and-system-requirements-oculus-releases-list

Piliang, Y. (2003). Hipersemiotika: Tafsir cultural studies atas matinya Makna. Yogyakarta:

Jalasutra.

Steuer, J. (1992). Defining Virtual Reality: Dimensions Determining Telepresence. Journal

of Communication, 42(4), 73.

14
Storey, J. (2015). Cultural theory and popular culture: An introduction. Seventh edition.

Oxon: Routledge.

Turner, B. (2008). Teori-teori sosiologi modernitas postmodernitas. Yogyakarta: Pustaka

Belajar.

Who Invented. (n.d.). Who Invented It. vrs.org.uk. diakses dari http://www.vrs.org.uk/virtual-

reality/who-invented-it.html

Video

Tomoki Itamiya Laboratory. (2015, 3 September). The virtual tsunami experience while

driving a car using a head-mounted display [video]. Japan: Tomoki Itamiya Lab.

diakses dari https://www.youtube.com/watch?v=3mU1VrTsFlM

Tomoki Itamiya Laboratory. (2016, 11 September). The virtual tsunami flood experience

while driving a car using a head-mounted display [video]. Japan: Tomoki Itamiya Lab.

diakses dari https://www.youtube.com/watch?v=3mU1VrTsFlM

15

Anda mungkin juga menyukai