Teori Komunikasi II
Dosen Pengampu:
Joseph J. Darmawan, M.A
dan
Birgitta Bestari Puspita Jati, M.A.
1
Pengantar
Proses komunikasi selalu melibatkan media. Jika pada model komunikasi yang
dikemukakan Aritoteles tidak mencantumkan media, pada model Lasswell (dalam Mulyana,
2002, hal 136), dapat dilihat media ditempatkan sebagai channel. Seiring berjalannya waktu
mulai ditemukan teknologi guna mengisi kolom channel pada proses komunikasi. Penemuan
dan pengembangan teknologi dalam bidang komunikasi memberikan variasi baru terhadap
individu mengumpulkan, memproses, dan bertukar informasi dengan individu yang lain
(Rogers dalam Abrar, 2003 hal 1). Dapat digambarkan bahwa teknologi komunikasi ada alat
Perkembangan ini dimulai sedikit demi sedikit. Namun hingga kini dapat dikatakan telah
Dimulai dari era komunikasi tulisan, era komunikasi cetak, era telekomunikasi, dan
yang sedang terjadi adalah era komunikasi interaktif (Abrar, 2003, hal 17). Penemuan
teknologi komunikasi yang interaktif bertujuan agar informasi tidak hanya disampaikan tapi
dapat saling ditukarkan. Era komunikasi interaktif dimulai saat komputer mainframe pertama
kali ditemukan. Penemuan ini memungkinkan komunikasi dilakukan dengan jarak yang
sangat jauh dan dalam waktu yang sangat singkat. Kemudian dilanjutkan dengan penemuan
internet. Meskipun pada awalnya internet digunakan untuk kepentingan militer, namun
kemudian internet dimanfaatkan untuk kepentingan komersial (McPhail, 2006). Hingga kini
internet dapat diakses oleh semua orang. Hal ini dapat dilihat dari menjamurnya warung
internet, fasilitas umum dengan wifi gratis, dan dijualnya kartu provider yang berisikan data
internet. Internet tidak lagi hanya dapat diakses melalui komputer, tetapi melalui perangkat-
perangkat yang lebih praktis dan ringkas seperti notebook, phonetablet, dan smartphone.
2
Perangkat-perangkat inilah yang menjadi ciri khas era komunikasi interaktif, yaitu media
interaktif. Media interaktif tentu berbeda dengan media massa yang informasinya
dikendalikan oleh suatu institusi tertentu. Maka perangkat diatas tidak bisa disamakan dengan
komunikasi virtual. Teknologi komunikasi virtual pun sebenarnya adalah sudah ada dalam
pengembangan dari teknologi sebelumnya. VR sendiri tidak memiliki pencipta yang pasti,
karena VR dikembangkan banyak pihak. Namun istilah virtual reality sendiri mulai
digunakan pertama kali oleh Douglas Engelbart (Who invented). Karena sebenarnya
penemuan mengenai virtual reality telah dimulai dari tahun 1838 dimulai dengan nama
Stereoscopic photos & viewers, oleh Charles Wheatstone (History of). Cara kerja alat ini
pada saat itu memiliki prinsip yang sama dengan Google card board. Melihat dua sisi gambar
stereoskopik samping atau foto melalui stereoskop memberi sensasi immersion bagi
penggunanya. Kemudian disusul oleh Simulator Penerbangan pada tahun 1929, yang diberi
nama Link Trainer. Pada inisiasinya alat ini dibeli oleh pemerintah Amerika untuk keperluan
militer. Alat yang dibuat oleh Edward Link ini telah digunakan 500.000 pilot Amerika selama
Pasca perang dunia, Mortion Heilig menemukan perangkat yang disebut sebagai
ditemukan 1950 ini juga memberikan sensasi immersion bagi penontonnya dalam menikmati
film yang ditampilkan melalui fitur suara stereo, layar tiga dimensi, dan kursi yang bergetar.
Lalu satu dekade kemudian Heilig menemukan Telesphere Mask. Prinsip kerjanya tidak jauh
berbeda dengan sensorama, tetapi alat ini lebih ringkas dan digunakan di kepala. Sehingga
3
layar berada tepat didepan mata. Berselang satu tahun Comeau & Bryan mengembangkan
Headsight, alat prinsipnya digunakan pada VR dimasa sekarang. Jenis perangkat seperti
disebut juga dengan Head-Mounted Display (HMD). Beberapa perangkat berbasis virtual
ditemukan juga setelah Headsight, namun prinsip yang sama seperti HMD baru
dikembangkan lagi tahun 1993. Jika sebelumnya perangkat dibentuk untuk sinematografi,
SEGA mengembangkan VR untuk konsol permainan. Perangkat yang diberi nama SEGA VR
headset ini sudah menggunakan layar LCD dan diintegerasikan dengan program pada konsol
SEGA Genesis. Dan pada tahun 1995 pesaing SEGA, Nintendo ikut meramaikan inovasi
konsol game dengan teknologi virtual, yaitu VR-32 atau disebut juga Nintendo Virtual Boy.
Pada konsol ini tampilan 3 dimensi tidak hanya merupakan ilusi lensa, tetapi grafik game
juga dibuat 3 dimensi. Karena banyaknya kesalahan teknis ketidak cocokan program dan
output visual kemudian konsol ini dihentikan produksi dan penjualannya. Setelahnya para
pengembang sibuk merancang teknologi virtual yang efektif. Terlebih keharusan VR bersaing
dengan perangkat media interaktif yaitu komputer yang berkembang cukup pesat dan
signifikan di akhir abad 20 dan awal abad 21. Sempat surut lebih dari satu dekade, VR baru
dikomersilkan secara besar-besaran yaitu oleh Oculus, dengan perangkat VR-nya yaitu
Dalam sejarahnya, virtual reality telah digunakan dalam berbagai bidang. Dari
konteks militer, sinematografi, hingga konsol game. Hingga sekarang, VR digunakan dengan
fungsi yang digabungkan dengan smartphone, atau dalam bentuk HMD. Salah satu produk
VR berbentu HMD yang paling terkenal adalah Oculus Rift. Alat ini yang dikembangkan
khusus dalam mengejar immersion dan arti sebenarnya dari presence. Oculus telah
melakukan penelitian dan pengembangan dalam rangka untuk menemukan garis mana
4
presence berakhir dan immersion dimulai (Oculus Rift). VR dalam Oculus Rift digunakan
melalui aplikasi. Sampai sekarang dominasi dari aplikasi VR yang didukung oleh Oculus Rift
Kini telah diciptakan juga simulator bencana virtual reality. Simulator ini
kembangkan di Tomoki Itamiya Laboratory, Jepang (Tomoki Itamiya, 2016). Jepang adalah
salah satu negara yang rentan terkena bencana, seperti tsunami pada tahun 2011 silam.
simulasi bencana. Tidak hanya simulasi di dunia nyata, simulasi menggunakan perangkat
virtual juga dilakukan. Salah satunya adalah aplikasi yang dikembangkan Itamiya. Sistem dia
buat memberikan pengalaman mendalam khusus, seperti serangan tsunami saat mengemudi
sebenarnya dari wilayah ketika itu mungkin terjadi, misalnya, Tokyo atau Nagoya. Mereka
dapat mengalami interior mobil, dan banjir tsunami yang terlihat persis seperti hal yang nyata
dengan 3D-CG menggunakan gambar stereo digital. Seseorang dapat memiliki pengalaman
virtual mobil mereka mendapatkan hanyut dan dibanjiri oleh tsunami yang mengerikan
sambil dari tempat duduk pengemudi. Sistem ini telah digunakan oleh 2000 orang. Orang
yang menggunakan sistem saya benar-benar menyadari dan merasakan potensi bahaya
bencana. Pengalaman ini sangat berguna untuk pendidikan pencegahan bencana. Ini adalah
cara digunakan Itamiya dan timnya untuk membantu orang menjadi lebih sadar akan risiko
Untuk memahami cara kerja dan karakteristik virtual reality diperlukan pemahaman
lebih mendalam mengenai definisinya. Istilah Virtual Reality dapat diartikan dalam dua
pengertian (Chan, 2014, hal 1). Pertama, dunia yang diciptakan program berbasis komputer
5
dan melibatkan bentuk interactivity dan immersion. Yang dimaksudkan kedua bentuk
tersebut adalah interaksi resiprokal antara sistem dan pengguna yang menyebabkan perasaan
seakan mengalami secara langsung imaji yang diberikan sistem. Kedua, penyandingan istilah
“Virtual” dan “Real” yang menjadi landasan perdebatan filosofis mengenai representasi
media dan simulasi. Slouka (dalam Abrar, 2003, hal 86), menyatakan bahwa virtual reality
merujuk pada lingkungan yang menyelubungi dan menghidupkan secara sensual seseorang
1992), virtual reality adalah simulasi elektronik lingkungan yang dialami penggunanya
melalui kepala dipasangkan dalam bentuk kacamata dan pakaian kabel memungkinkan
pengguna akhir untuk berinteraksi dalam situasi tiga dimensi yang realistis. Sedangkan
Greenbaum mendefinisikan virtual reality sebagai dunia alternatif yang penuh dengan imaji
yang dihasilkan komputer yang merespon gerakan manusia. Lingkungan ini disimulasikan
biasanya dikunjungi dengan bantuan setelan data mahal yang menampilkan kacamata video
yang stereoponis dan sarung tangan data serat optik (dalam Steuer, 1992). Definisi-definisi
diatas mengarahkan virtual reality sebagai suatu lingkungan yang bentuk secara virtual. Dari
pengertian-pengertian tersebut pula dapat disimpulkan beberapa kata kunci dalam virtual
Tujuan mekanisme virtual reality adalah memberikan sensasi immersion penuh dari
saluran sensorimotor manusia menjadi pengalaman yang dihasilkan komputer jelas. Sensasi
immersion yang dimaksud adalah perasaan pengguna benar-benar terbalut dalam sistem, dan
informasi yang ada di dalam lingkungan virtual (Biocca, 1995, hal 17). Dalam Oxford
Advanced Learner’s Dictionary, immersion diartikan keadaan yang terlibat secara utuh dalam
sesuatu. Berdasarkan konteks ini, Jonathan Steuer (1992), mengatakan bahwa immersion
dapat dilihat sebagai bagaimana virtual reality membawa penggunannya melalui dunia tiga
dimensi. Karl Popper (dalam Biocca, 1995, hal 18), ada tiga hal yang perlu dipikirkan ketika
6
hendak mempertimbangkan penggunaan virtual reality. Dunia fisik, keadaan mental, dan isi
pikiran manusia. Pengguna virtual reality dapat dikatakan immerse jika interaksi yang
juga membungkus isi pikiran seseorang, untuk kemudian menentukan dunia fisiknya.
Ide atau gagasan mengenai istilah virtual dapat diartikan sebagai mendekati realitas,
namun tidak benar-benar nyata. Konsepsi mengenai virtualitas sendiri sebenarnya asumsi
bahwa teknologi memiliki daya untuk mengeluarkan diri kita dari diri kita sendiri, dan
memungkinkan kita menjelajahi lanskap untuk mencari realitas kita sehari-hari (Hartley,
2004, hal 307). Secara sederhana McKie (dalam Hartley, 2004, hal 308) mendefinisikan
virtualitas sebagai simulasi grafis interaktif. Namun oleh Woolley (dalam Gidding & Lister,
2011, hal 228), pendapat McKie ditentang, bahwa konsep mengenai virtual bukan hanya
mengenai masalah teknologi. Lain halnya dengan Hayles yang menempatkan virtualitas
sebagai persepsi kultural yang menyebutkan objek material dipenetrasi oleh pola informasi.
Virtualitas tidak dilihat sebagai secara fakta yang dapat diobservasi fisik, namun lebih
mengarah pada pencapaian retorik. Artinya, virtualitas sejatinya merupakan simulasi yang
disampaikan melalui grafis komputer, namun lebih jauh dari itu simulasi tersebut mampu
membawa kita untuk merasakan lebih jauh seakan meninggalkan realitas kita sehari-hari.
Tidak hanya sekedar simulasi, virtual reality juga mengajak penggunannya untuk berinteraksi
Interactivity secara umum dapat diartikan sebagai partisipasi aktif dari penerima
manfaat, dalam konteks ini pengguna VR, dalam transaksi informasi. Ada beberapa kriteria
yang dapat digunakan untuk mengukur interactivity suatu media (Pierre Levy dalam Gidding
& Lister, 2011, hal 228). Pertama, kemampuan untuk menyediakan dan personalisasi pesan
yang diterima, terlepas dari sifat atau pesan. Ini merujuk pada kapasitas dan kemampuan alat
7
reality mengarah kepada komunikasi antara pengguna dengan lingkungan virtualnya. Ketiga,
virtualitas. Seperti yang sudah dibahas pada paragraf sebelumnya, mengenai simulasi yang
Presence dan Telepresence merupakan salah satu kata kunci yang dapat menjelaskan
lebih mendalam cara kerja virtual reality. Secara gamblang, presence dapat diartikan sebagai
kehadiran, namun pada konteks ini lebih merujuk pada apa yang dirasakan pada saat
sekarang. Namun menurut Gibson (dalam Steuer, 1992), Presence didefinisikan sebagai rasa
ini, termasuk masukan dari beberapa atau semua saluran sensorik, serta atensi lebih sadar,
persepsi, dan proses mental lainnya yang menyerap data indrawi yang masuk dengan
keprihatinan saat ini dan pengalaman masa lalu. Presence dapat dianggap sebagai
pengalaman lingkungan fisik seseorang, tetapi untuk persepsi lingkungan mereka sebagai
dimediasi oleh proses mental otomatis dan dikendalikan (Steuer, 1992). Jika presence lebih
merujuk pada pendekatan secara mental daripada fisik, maka telepresence dapat diartikan
sejauh mana orang merasa hadir di lingkungan dimediasi, bukan di lingkungan fisik
dengan cara media komunikasi. Dapat disimpulkan bahwa presence mengacu pada persepsi
alam lingkungan, dan telepresence mengacu pada persepsi di lingkungan virtual. Lingkungan
virtual ini dapat berupa lingkungan temporal atau spasial, misalnya ruang yang jauh dilihat
melalui kamera video, atau dunia maya animasi oleh komputer (misalnya, dunia animasi
Transisi ke era virtual reality membawa tantangan baru bagi manusia. Manifestasi
tantangan tersebut dapat dilihat dari beberapa sektor, seperti ekonomi, politik, sosial, dan juga
kultural. Pengembangan virtual reality di masa sekarang merupakan dampak dari teknologi
yang berkembang sebelumnya. Pada dasarnya teknologi komunikasi selalu memiliki efek
8
samping, yang membawa pada penemuan teknologi yang baru (Iskandar Alisyabana dalam
Abrar, 2003, hal 79). Selain itu Everett Rogers juga mengatakan bahwa teknologi komunikasi
sejatinya mendidik pemakainya untuk menyesuaikan diri dan meningkatkan interaksi (dalam
Abrar, 2003, hal 8). Secara kultural, pemakaian teknologi komunikasi akan memberikan
konsekuensi tertentu. Mulai dari berubahnya sistem mengenai nilai dan norma didalam
masyarakat, sampai penyerahan otoritas diri pada teknologi komunikasi n (Abrar, 2003, hal
88). Seperti, sukarnya penggunanya membedakan ilusi dengan dunia nyata. Lebih jauh
penggunanya menjadi sangat bergantung pada teknologi dalam hal berkomunikasi (Ferkiss
Untuk memahami lebih lanjut mengenai perubahan kultural yang disebabkan oleh
cara kerja dan prinsip VR, maka perlu digunakan suatu pendekatan tertentu. Salah satunya
adalah pendekatan postmodern. Lebih spesifik, pada tulisan ini akan menggunakan
pendekatan melalui pemikiran Jean Baudrillard. Dimana Jean Baudrillard menandai kondisi
Postmodernisme
Postmodernisme adalah istilah yang digunakan di dalam dan di luar kajian mengenai
budaya populer (Storey, 2015, h.181). Postmodernisme lebih merujuk pada kebudayaannya,
sedangkan masyarakatnya lebih dikenal dengan istilah masyarakat postindustri. Istilah ini
juga digunakan, bahkan dicetuskan, dalam ranah seni dan arsitektur. Sebenarnya istilah
postmodern telah dipakai pada sirkulasi budaya sejak 1870an, namun postmodernisme yang
dipahami sekarang baru muncul antara era 1950 dan 1960an. Postmodernisme tidak bisa
9
Postmodernisme dibedakan menjadi dua, postmodernisme oposisi dan postmodern afirmatif.
Postmodernisme oposisi berfokus pada dekonstruksi modernisme dan menolak status quo.
Pergulatan mengenai istilah ini dimulai dari pendapat Walter Benjamin bahwa
reproduksi mekanis sebenarnya sah saja (Piliang, 2003, hal 142). Karena teknologi yang
digunakan pada reproduk mekanis masih menggunakan teknologi generasi kedua, sesuai
konsep Marshall McLuhan teknologi, yang hanya menjadi perpanjangan badan manusia.
memory, dan remote control. Melalui teknologi generasi ketiga inilah realitas direproduksi
secara terus menerus dan menjadi lebih kompleks. Bahkan lebih jauh realitas tidak hanya
Simulasi adalah objek yang orisinil yang sudah dihancurkan oleh tiruannya (Storey, 2015, hal
187). Simulasi tidak lagi berkaitan dengan bagaimana mereproduksi dan menduplikasi
presence. Tetapi lebih jauh simulasi menciptakan model-model sesuatu yang nyata tanpa
realitas yaitu hiperealitas. Hiperealitas bukanlah makna, tetapi lebih kepada efek dari
simulasi. Hiperealitas merupakan ciri khas dari budaya postmodern. Simulasi mengenai
realita, yang dibuat seakan lebih nyata dari realitas itu sendiri. Referensi duplikasi bukan lagi
realitas, tetapi fantasi (Piliang, 2003, hal 145). Membuat batas antara fantasi dan realitas
menjadi kabur. Imajinasi, hasil dari simulasi, bercampur aduk dengan realitas yang ada.
dilakukannya proses kompresi, dekonstruksi, dan rekonstruksi ruang (Piliang, 2003, hal 146).
Sehingga pengguna teknologi dapat mengalami pengalaman dalam ruang yang baru, atau
10
Simulacra. Simulacra adalah tiruan yang identik tanpa adanya yang orisinal. Inilah yang
kemudian Baudrillard nyatakan bahwa budaya sekarang adalah budaya simulacra (Storey,
Analisis
Pada kasus
mengenai
simulasi
bencana,
prinsip
immersion,
virtuality,
interactivity, dan telepresence tetap dipertahankan. Melalui Oculus Rift dan sistem yang
tsunami saat mengemudi mobil. Dalam melakukan simulasi ini, Oculus juga dibantu dengan
kursi getar yang membantu pemakainya untuk merasakan pengalaman seakan-akan benar-
benar dalam situasi tersebut. Selain itu pemakai Oculus ini juga dapat melakukan interaksi
dengan sistem, seperti menambah kecepatan mobil dan mengarahkan kemudi mobil. Sesuai
dengan implikasi yang diharapkan bahwa melalui sistem ini pemakainya dapat lebih sadar
akan resiko bahaya bencana. Maka secara tidak langsung menyiratkan bahwa harapan mulia
11
sistem ini adalah agar seseorang seperti sudah mengalami bencana, dan lebih bisa
Dari gambar tersebut, jelas bahwa sistem yang dibangun oleh Itamiya adalah apa yang
disebut Baudrillard sebagai Simulacra. Itamiya membuat ruang virtual yang didesain dengan
atribut menyerupai kota Tokya dan Nagoya. Meskipun tata kota dibuat semirip Tokyo dan
Nagoya, tapi atribusi posisi mobil, tinggi gedung, dan figur seperti orang yang sedang berlari,
rasanya tidak benar-benar dibuat merujuk pada realitas. Desain lingkungan virtual yang
dibuat Itamiya dan kawan-kawan tidak sepenuhnya merujuk pada realitas. Tetapi berasal dari
imaji mengenai pengalaman mereka mengenai bencana tsunami yang pernah terjadi dan
direkam dalam memori mereka. Yang kemudian mereka coba kolaborasikan dengan tata kota
pengalaman dalam menghadapi bencana meskipun hanya didalam ruang virtual. Kemudian
apakah melalui semua simulacra akan menimbulkan efek hiperealitas bagi orang yang
disimulasi?
dunia fisiknya. Simulasi yang diberikan tidak hanya sekedar memberikan pengalaman, tetap
mempengaruhi pengguna pada saat menghadapi kejadian serupa pada dunia nyata. Dampak
yang diinginkan adalah agar penggunanya menginterpretasikan apa yang dia alam di dunia
virtual dan menjadi lebih menyadari bahaya bencana. Namun bagaimana jika dialami
pengguna justru merupakan hiperealitas? Artinya apa yang dialami seseorang dalam simulasi,
dibuat lebih mengerikan dari realitas terjadi bencana. Atau justru sebaliknya, merujuk pada
pendapat Baudrillard, ketika seseorang mengalami simulasi dalam dunia virtual kemudian ia
menganggap sensasi bencana yang di dunia virtual lebih nyata daripada bencana yang terjadi
di dunia nyata. Sehingga pada praktiknya, ketika terjadi bencana, orang yang pernah
12
melakukan simulasi, bukan semakin sadar akan bahaya bencana. Tapi menganggap bencana
Kesimpulan
Pada umumnya, saat menghadapi bencana, orang awan akan merasa panik dan
ketakutan. Tujuan mulia dari simulasi perlu memperhatikan juga kontinuitas dari hiperealitas
yang dikemukakan Baudrillard. Sehingga pengembangan sistem ini tidak keluar dari jalan
menuju tujuannya, tetapi bisa membantu mengurangi korban jiwa jika terjadi bencana.
13
Daftar Pustaka
Biocca, F. (1995). Communication in the age of virtual reality. New Jersey: Lawrence
Erlbaum Associates
Bloomsbury Publishing.
Fadelli, I. (2016, 2 Desember). Oculus Rift release date, price and system requirements:
Giddings, S. & Lister, M. (2011). The new media and technocultures reader. Oxon:
Routledge
Hartley, J. (2004). Communication, cultural, and media studies: The key concepts. London:
Routledge.
http://www.vrs.org.uk/virtual-reality/history.html
USA: Blackwell
Oculus Rift. (n.d.). Oculus Rift Virtual Reality Headset. vrs.org.uk. Diakses dari
http://www.vrs.org.uk/virtual-reality-gear/head-mounted-displays/oculus-rift.html
Itpro.co.uk. http://www.itpro.co.uk/desktop-hardware/24781/oculus-rift-release-date-price-
and-system-requirements-oculus-releases-list
Piliang, Y. (2003). Hipersemiotika: Tafsir cultural studies atas matinya Makna. Yogyakarta:
Jalasutra.
14
Storey, J. (2015). Cultural theory and popular culture: An introduction. Seventh edition.
Oxon: Routledge.
Belajar.
Who Invented. (n.d.). Who Invented It. vrs.org.uk. diakses dari http://www.vrs.org.uk/virtual-
reality/who-invented-it.html
Video
Tomoki Itamiya Laboratory. (2015, 3 September). The virtual tsunami experience while
driving a car using a head-mounted display [video]. Japan: Tomoki Itamiya Lab.
Tomoki Itamiya Laboratory. (2016, 11 September). The virtual tsunami flood experience
while driving a car using a head-mounted display [video]. Japan: Tomoki Itamiya Lab.
15