Anda di halaman 1dari 14

PENULIS DEPARTEMEN

AMELINDA BONITA LEONARD POLITIK DAN


VIDHYANDIKA D. PERKASA PERUBAHAN SOSIAL

LAPORAN
KEGIATAN

JUNI 2020

TANTANGAN
MULTIDIMENSIONAL
PENANGANAN COVID-19
DI TANAH PAPUA
PENULIS DEPARTEMEN
AMELINDA BONITA LEONARD POLITIK DAN
VIDHYANDIKA D. PERKASA PERUBAHAN SOSIAL

LAPORAN KEGIATAN CSIS

TANTANGAN
MULTIDIMENSIONAL
PENANGANAN COVID-19
Kamis, 11 Juni 2020
DI TANAH PAPUA

Full event recording (YouTube)


Author(s) live.csis.or.id/cov19papua

Amelinda Bonita Leonard


Vidhyandika D. Perkasa

Suggested Citation
The CSIS Event Report series presents
Leonard, Amelinda Bonita dan brief summaries and findings from events
Vidhyandika D. Perkasa. 2020. hosted by CSIS Indonesia to record key
"Tantangan Multidimensional insights and further encourage a robust
Penanganan COVID-19 di Tanah and civil exchange of policy ideas.
Papua". CSIS Event Report. Jakarta:
CSIS Indonesia. The author(s) welcome comments on the
present form of this Event Report. The
views expressed here are those of the
© 2020 CSIS Indonesia author(s) and are not intended to be
All rights reserved attributed to CSIS Indonesia.
Latar Belakang
Pandemi COVID-19 telah menyebar di seluruh dunia, termasuk di 34 Provinsi di Indonesia.
Berdasarkan data per 25 Juni 2020, sudah ada 50,187 kasus positif yang terkonfirmasi di mana
2.620 orang di antaranya meninggal dunia.1 Persoalan mengenai COVID-19 meliputi banyak
aspek, yaitu meliputi aspek fasilitas kesehatan, aspek pendidikan, aspek ekonomi (misalnya
pada sektor pariwisata, UMKM/Usaha Mikro Kecil Menengah dan Food & Beverages), aspek
distribusi bantuan sosial, aspek ketahanan pangan, aspek kebijakan dan inovasi pemerintah
daerah, aspek kepatuhan masyarakat serta aspek keamanan.
Keseluruhan aspek ini masih menjadi tantangan dalam penanganan COVID-19 baik secara
nasional maupun di tingkat daerah. Ironisnya, di tengah situasi yang belum menentu ini,
pemerintah memutuskan untuk membuka lagi beberapa sektor ekonomi khususnya di wilayah-
wilayah dengan status Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) seperti di DKI Jakarta, Jawa
Barat dan Sumatera Barat. Kebijakan ini ada nuansa upaya ‘menyelamatkan perekonomian’ di
tengah situasi pandemi ini. Sebagai akibat dari pandemi COVID-19, pertumbuhan ekonomi
stagnan dan bahkan minus sehingga perekonomian negara terancam menuju resesi. Masa
transisi ini sering kali disebut juga the new normal. Walaupun Provinsi Papua tidak menerapkan
status PSBB dan hanya mengandalkan upaya pengendalian penyebaran COVID-19 melalui
kebijakan ‘pembatasan sosial yang diperluas’, Provinsi Papua juga sedang mempersiapkan
masa menuju the new normal.2
Per 25 Juni 2020, Provinsi Papua merupakan provinsi ke-8 dengan jumlah kasus terbanyak yaitu
sebanyak 1.613 kasus positif dan sebanyak 15 orang di antaranya meninggal dunia.3 Sejauh ini,
Provinsi Papua telah melaksanakan upaya preventif seperti menerapkan kebijakan physical
distancing, pemakaian masker, pemberlakuan jam malam dan penutupan akses keluar-masuk
seperti di pelabuhan dan bandara. Sama dengan daerah lainnya, Provinsi Papua juga
menghadapi isu-isu terkait distribusi bantuan sosial, kepatuhan masyarakat dan sinkronisasi
kebijakan antara pusat dan daerah. Namun mewabahnya COVID-19 ini tentunya akan
membawa sensitivitas dan kerentanannya tersendiri bagi Provinsi Papua.
Salah satu persoalan utamanya adalah minimnya fasilitas dan tenaga kesehatan di Papua.4
Selain itu, masyarakat Papua juga dihadapkan dengan belum terbentuknya situasi kondusif dari
aspek keamanan. Konflik terus berlanjut dan dapat dilihat sebagai suatu fenomena yang terjadi
hampir setiap hari yang telah memakan banyak korban. Masalah penting lainnya terkait
pembangunan ekonomi, keadilan dan kesejahteraan yang belum sepenuhnya terwujud meski
sudah menerima dana Otonomi Khusus yang sudah berjalan selama 19 tahun. Papua tetap
tergolong Provinsi dengan angka kemiskinan yang tertinggi terlepas dari upaya untuk
mendorong pembangunan infrastruktur yang bersifat massive. Ada juga permasalahan terkait
disparitas digital di Papua juga cukup tinggi. Akses terhadap internet dan platform untuk
pembelajaran secara daring atau e-learning masih sangat terbatas.
Adapun permasalahan lainnya meliputi isu-isu sosial-kultural tentang pemahaman masyarakat
terhadap COVID-19 dan sensitivitas antara orang asli Papua (OAP) dengan semakin banyaknya
arus pendatang ke provinsi tersebut.5 Rasisme dan diskriminasi juga merupakan isu penting di

Tantangan Multidimensional Penanganan COVID-19 di Tanah Papua 1


Papua. Gejolak sosial sempat terjadi mengakar pada situasi sosial politik di Amerika Serikat
tentang rasisme dan tuntutan keadilan bagi ras kulit hitam yang dipopulerkan dengan tagar
#BlackLivesMatter. Hal ini juga berdampak di Indonesia dengan munculnya tagar
#PapuanLivesMatter. Sebagai akibatnya upaya penanganan COVID-19 saat ini di Papua
cenderung lebih kompleks. Tak kalah penting di sini adalah aspek perilaku manusia dalam
bereaksi menghadapi wabah COVID-19. Kultur Papua yang kuat ibarat dua sisi dalam mata uang
yang sama. Kultur dapat menjadi suatu penghambat dalam upaya menangani COVID-19 tetapi
di sisi lain juga dapat dilihat sebagai suatu modalitas.
Dari latar belakang permasalahan tersebut, penanganan COVID-19 di Papua harus dilihat
secara multidimensional yang meliputi aspek sosial-budaya, keamanan dan tata kelola
pemerintahan. Departemen Politik dan Perubahan Sosial CSIS Indonesia telah mengadakan
Webinar Publik dengan judul Tantangan Multidimensional Penanganan COVID-19 di Tanah
Papua dengan mengundang 8 pembicara dan dimoderatori oleh Wakil Direktur Eksekutif CSIS
Indonesia, Dr Medelina K. Hendytio. Sebanyak 7 pembicara akhirnya berpartisipasi dalam acara
diskusi ini. Kegiatan ini disiarkan secara langsung melalui Zoom Meeting pada hari Kamis, 11
Juni 2020 pukul 11.00 – 13.30 WIT. Rekaman Webinar ini bisa diakses dalam kanal Youtube
resmi CSIS Indonesia.6
Pembicara:

• Dr Vidhyandika D. Perkasa
Kepala Departemen Politik dan Perubahan Sosial, CSIS Indonesia

• Dr. Muhammad Musa’ad


Asisten Sekda Bidang Perekonomian dan Kesejahteraan Rakyat, Pemerintah Provinsi
Papua

• Irjen. Pol. Dr. Tornagogo Sihombing, S.I.K., M.Si


Kapolda Papua Barat

• Willem Wandik, S.E., M.Si


Bupati Puncak, Papua

• Dorince Mehue, S.E.


Ketua Panitia Urusan Rumah Tangga, Majelis Rakyat Papua (MRP)

• John Gobay
Sekretaris II Dewan Adat Papua

• Yanto Eluay
Tokoh Adat Papua
Kata penutup:

• Dr. J. Kristiadi
Peneliti senior, CSIS Indonesia

Tantangan Multidimensional Penanganan COVID-19 di Tanah Papua 2


Rangkuman Kegiatan Webinar7
Kegiatan Webinar Tantangan Multidimensional Penanganan COVID-19 di Tanah Papua
bertujuan untuk menjawab berbagai tantangan yang multidimensional terkait upaya
menangani COVID-19 di Papua. Ada tiga aspek utama yang didiskusikan yaitu: aspek tata kelola
pemerintahan, aspek keamanan dan aspek sosial-budaya.

Aspek Multidimensional Penanganan COVID-19 di Papua


Dr Vidhyandika D. Perkasa sebagai Kepala Departemen Politik dan Perubahan Sosial CSIS
Indonesia memaparkan secara singkat tentang aspek multidimensional penanganan COVID-19
di Papua. Mempertimbangkan aspek sosial-politik di Papua yang menjadi unsur penting, karena
berkesinambungannya penanganan COVID-19 terhadap kepercayaan masyarakat dan
legitimasi yang diberikan. Jika dapat melakukan pendekatan yang sesuai dengan konteks sosial-
budaya di Papua, maka akan memudahkan trust building atau pembangunan kepercayaan
pada pemerintah pusat dan daerah. Kepercayaan dan legitimasi tersebut dapat mendorong
masyarakat untuk mematuhi peraturan, di mana berbagai pembatasan dan skema aturan dari
pemerintah untuk penanganan COVID-19 perlu ditaati oleh masyarakat. Beberapa masalah
serta dampak terhadap penanganan COVID-19 yang dipresentasikan oleh Dr Vidhyandika
adalah sebagai berikut. Intinya, masalah laten dan kompleks di Papua yang belum terselesaikan
juga akan berdampak pada upaya menangani COVID-19 di provinsi tersebut.

Sumber: Vidhyandika Perkasa, 2020

Tantangan Multidimensional Penanganan COVID-19 di Tanah Papua 3


Lebih lanjut, Dr Vidhyandika memaparkan tentang beberapa aspek penanganan COVID-19 di
Papua. Pertama, dari aspek kesehatan, masyarakat Papua, khususnya OAP, menghadapi
kerentanan yang lebih tinggi menilai tingginya tingkat kemiskinan, banyaknya kasus gizi buruk,
pola hidup yang kurang bersih atau kurang sehat dan faktor risiko penyakit lain (comorbidity)
seperti HIV/AIDS, Hepatitis, TBC dan Malaria. Ditambah dengan situasi di lapangan di mana
tenaga dan fasilitas serta infrastruktur kesehatan di Papua sangat minim.
Kedua, isu keadilan dan diskriminasi yang berkaitan dengan phobia kepunahan OAP. Hal ini
menjadikan tantangannya bagaimana polarisasi, ketidakadilan, ketimpangan dan fragmentasi
berbasiskan etnisitas dan agama ini tidak memicu konflik sosial di era COVID-19 ini. Selama ini
OAP melihat diri mereka termarginalkan secara sosial-budaya ekonomi dan politik bila
dibandingkan dengan pendatang. Akibat dari polarisasi berbasiskan etnis ini sudah mulai
muncul tuduhan bahwa pendatanglah yang menjadi sumber penyebar COVID-19 sehingga bisa
mengakibatkan punahnya OAP.
Ketiga, aspek keamanan. Dr Vidhyandika mengingatkan untuk membangun soliditas antara
aparat keamanan dengan masyarakat karena adanya sentimen terhadap penyebaran kasus
yang bersumber dari Freeport, penolakan bantuan yang dilakukan aparat keamanan kepada
pengungsi Nduga karena resistensi masyarakat terhadap kehadiran aparat keamanan dan
belum tuntasnya berbagai pelanggaran HAM (Hak Asasi Manusia) dan fenomena
#BlackLivesMatters yang dapat menjadi sumber instabilitas sosial.
Keempat, dimensi ekonomi, akses dan infrastruktur turut menjadi hal yang perlu diperhatikan.
Konteks di Papua di mana isolasi wilayah dapat menghambat dan menyulitkan akses pada
infrastruktur dan pembangunan ekonomi serta upaya memberikan bantuan ke masyarakat
terkait COVID-19.
Kelima, aspek budaya. Budaya komunalisme Papua bisa berkontradiksi dengan protokol
kesehatan seperti physical distancing. Sehingga dibutuhkan kompabilitas pelaksanaan protokol
kesehatan dengan kebudayaan Papua agar mereka dapat merasa aman di tengah penanganan
pandemi.
Jika merefleksikan apa yang perlu dilakukan untuk penanganan COVID-19 di Papua, beberapa
hal yang diungkapkan Dr Vidhyandika, yaitu: (1) pendekatan budaya penanganan COVID-19
dengan melibatkan partisipasi masyarakat pendekatan bottom-up perlu dilakukan, (2)
membangun kohesi sosial dengan melawan rasisme, diskriminasi dan ketidakadilan harus
dijadikan prioritas dari aspek kebijakan; (3) mewujudkan stabilitas keamanan termasuk
membangun soliditas hubungan antara masyarakat dengan aparat keamanan perlu
diupayakan; (4) upaya meningkatkan kapasitas dan infrastruktur kesehatan perlu dilakukan; (5)
memperkuat koordinasi pusat-daerah dalam penanganan COVID-19; (6) perlu memetakan
kelompok masyarakat paling rentan agar bantuan sosial tepat sasaran; dan (7) perlu
diintensifkan edukasi dan sosialisasi yang kontinu dan berkesinambungan mengenai (bahaya)
COVID-19 di Papua untuk mencegah disinformasi.

Tantangan Multidimensional Penanganan COVID-19 di Tanah Papua 4


Aspek Tata Kelola Pemerintahan Penanganan COVID-19 di Papua
Membahas tentang aspek tata kelola pemerintahan daerah, khususnya tentang koordinasi
antar pemerintah pusat dan daerah, moderator mengundang dua pembicara yaitu Dr
Muhammad Musa’ad sebagai Asisten Sekda Bidang Perekonomian dan Kesejahteraan Rakyat,
Pemerintah Provinsi Papua serta Bupati Puncak, Willem Wandik S.E., M.Si.
Dr Musa’ad menyebutkan bahwa kebijakan Provinsi Papua membatasi akses keluar masuk dari
dan ke Papua, adalah untuk mencegah penyebaran COVID-19. Provinsi Papua dihadapi dengan
beberapa isu seperti, keterbatasan fasilitas kesehatan dan laboratorium, mobilitas penduduk
yang tinggi dan keterjangkauan antar wilayah yang sulit dijangkau dengan akses yang terbatas.
Dr Musa’ad menyebutkan bahwa ada tiga tahap strategi yang diambil oleh Pemerintah Provinsi
Papua, yaitu: penguatan kesehatan pada aspek preventif, penanganan dampak sosial dan
ekonomi dan perlindungan sosial.
Tantangannya dalam menjalankan tahapan strategi ini adalah dalam pendistribusian sembako
apalagi dengan jarak dan medan yang sulit, sehingga dibutuhkan koordinasi dari seluruh tingkat
pemerintah daerah. Pengambilan keputusan terkait COVID-19 dilakukan berdasarkan
musyawarah bersama. Beliau juga menyebutkan bahwa untuk mengambil kebijakan yang
tepat, Provinsi Papua mengedepankan kerja sama dengan tiga tungku, yaitu: pemerintah, adat
dan agama. Akhir kata, Dr Musa’ad mengharapkan perhatian pemerintah pusat terhadap
situasi di Papua.
Pembicara kedua yaitu Bupati Willem Wandik mengungkapkan bahwa sejauh ini belum ada
kasus konfirmasi COVID-19 di Puncak. Beliau menjelaskan bahwa Kabupaten Puncak cukup
terisolasi dengan keterjangkauan yang sulit serta infrastruktur jalan, bandara dan
telekomunikasi yang sangat minim. Kondisi ini diperparah prioritas pembangunan sempat
terhambat karena adanya konflik Pilkada pada tahun 2008-2012. Kabupaten Puncak belum
memiliki rumah sakit daerah namun sampai saat ini rumah sakit dan fasilitas kesehatan masih
dalam proses pembangunan.
Terkait penanganan COVID-19, Bupati Willem mengungkapkan bahwa kepala daerah di daerah
pegunungan telah berkomitmen untuk meminimalisasi penyebaran COVID-19 dengan cara
melakukan penyemprotan disinfektan rutin dan pemberian sembako bagi masyarakat.
Menurut Bupati Willem, dampak COVID-19 paling utama adalah realokasi atau re-focusing
anggaran untuk kebutuhan penanganan COVID-19. Strategi penanganan yang diambil oleh
Bupati Willem Wandik beserta jajarannya adalah mempertahankan semangat kerja pegawai
daerah dan mewujudkan keberdayaan masyarakat. Kendala di tingkat daerah harus diubah
untuk menghadapi era new normal, baik tantangan ekonomi, kesehatan, sosial-budaya dan
infrastruktur, termasuk ketersediaan jaringan internet. Akhir kata, Kabupaten Puncak akan
tetap fokus pada pembangunan infrastruktur untuk mempertahankan kelangsungan hidup
masyarakat yang sejahtera.

Aspek Keamanan Penanganan COVID-19 di Papua


Irjen. Pol. Dr. Tornagogo Sihombing, S.I.K., M.Si selaku Kapolda Papua Barat membahas tentang
aspek keamanan penanganan COVID-19 di Papua Barat. Beliau mengawali sesinya dengan

Tantangan Multidimensional Penanganan COVID-19 di Tanah Papua 5


memetakan enam aspek hambatan, yaitu aspek medis dan kesehatan, aspek politik, aspek
sosial budaya, aspek geografi dan demografi, aspek keamanan dan aspek ekonomi.
Dr Tornagogo membahas tentang peran Polda (Kepolisian Daerah) dalam penanganan dari
enam aspek tersebut. Seperti dari aspek medis dan kesehatan, anggota polda membantu
proses pelacakan (tracking) untuk masyarakat yang keluar dari zona merah serta membantu
pengetatan pembatasan akses keluar masuk dan mobilisasi masyarakat. Dari aspek politik,
melalui tim cyber Polda mencegah penyebaran black campaign dan mengantisipasi pergerakan
kelompok separatis dalam mengamplifikasi isu rasisme serta diskriminasi OAP. Dari aspek sosial
budaya, Polda berkoordinasi dengan berbagai pihak untuk membatasi kegiatan keagamaan
serta sosialisasi untuk mencegah penyebaran hoax, penolakan rapid test dan stigmatisasi kasus
terkonfirmasi positif COVID-19. Pada aspek keamanan, Dr Tornagogo menyebutkan ada
peningkatan pada jumlah kasus pencurian dengan kekerasan, curanmor dan pencurian biasa.
Menurut pengamatan beliau, hal tersebut merupakan dampak dari distribusi bahan pokok
yang terhambat akibat penutupan akses kapal laut.
Dari beberapa tantangan tersebut, strategi yang dijalankan oleh Dr Tornagogo serta jajarannya
adalah pertama, pada aspek kesehatan, mendorong gugus tugas untuk memprioritaskan
pengadaan alat rapid test serta tracking ODP (orang dalam pengawasan) dan OTG (orang tanpa
gejala) untuk memudahkan tugas polda. Kedua, pada aspek politik, berkoordinasi dengan KPU
(Komisi Pemilihan Umum) dan KPUD (Komisi Pemilihan Umum Daerah) serta memetakan tokoh
masyarakat untuk membantu pendekatan kepada masyarakat terhadap isu rasisme.
Ketiga, pada aspek sosial budaya, kerja sama dengan tokoh agama, tokoh adat dan tokoh
masyarakat sehingga mengetahui situasi perkembangan masyarakat dan harus disesuaikan
dengan adat istiadat masyarakat. Beliau mengingatkan bahwa Papua tidak bisa disamakan
dengan wilayah lainnya. Strategi keempat, pada aspek keamanan yaitu penegakan hukum
dengan sterilisasi dan filterisasi pelaku kejahatan agar bisa dipastikan bebas COVID-19 serta
mengaktifkan pos keamanan yang dibantu dengan relawan. Dr Tornagogo juga tetap
mengantisipasi keadaan pasca konflik atau situasi yang mengarah pada kontinjensi terus
dipantau dan dilakukan agar kejadian yang mengarah ke konflik dan kekerasan tidak terulang.

Aspek Sosial Budaya Penanganan COVID-19 di Papua


Aspek sosial budaya serta budaya politik dipaparkan oleh tiga pembicara yaitu, Dorince Mehue
sebagai ketua PURT (Panitia Urusan Rumah Tangga) MRP (Majelis Rakyat Papua), John Gobay
sebagai Sekretaris II Dewan Adat Papua dan tokoh adat Papua yaitu Yanto Eluay.
Ketua PURT MRP Dorince Mehue mengawali sesinya dengan memperkenalkan MRP sebagai
lembaga kultur yang merepresentasi OAP. Selama pandemi COVID-19, pemerintah sudah
menyerukan berbagai kebijakan pembatasan serta physical distancing dengan berkoordinasi
dengan Pokja Adat, Pokja Perempuan dan Pokja Agama MRP. Namun demikian, Dorince
berpendapat bahwa dampak Otonomi Khusus (Otsus) di tengah pandemi ini belum maksimal
dirasakan oleh OAP. MRP sendiri tidak dapat kewenangan untuk mengawasi anggaran Otsus
dan pengelolaan anggaran daerah. Lebih lanjut, menurut beliau pemerintah pusat belum
merespons apa yang sudah diatur dalam PP No. 54/2004 tentang Majelis Rakyat Papua,
sehingga perlu regulasi untuk penguatan lembaga MRP dalam proses pembangunan. Peristiwa

Tantangan Multidimensional Penanganan COVID-19 di Tanah Papua 6


COVID-19 melihat adanya berbagai peluang dan ancaman yang dihadapi. Berdasarkan hal ini,
masyarakat akar rumput telah menunggu sentuhan dan pelayanan dari pemerintah di berbagai
level, khususnya kewenangan MRP untuk terlibat dalam penanganan COVID-19.
Menurut Dorince penanganan COVID-19 yang paling tepat adalah mengintegrasikan kebijakan
dengan kearifan lokal. Khususnya dalam menghadapi era new normal, dan mengingat aspek
ekonomi Papua masih tertinggal, MRP mengingatkan pentingnya OAP untuk kembali berkebun
dan mengelola tanah secara mandiri sebagai langkah utama memperkuat ketahanan pangan.
MRP juga menyerukan bahwa hasil pangan Papua dapat diberdayakan lebih lanjut dengan
perkembangan teknologi. Yang paling penting menurut Dorince dalam penanganan COVID-19
ini adalah sinergitas pemimpin dan representasi OAP di Papua dalam proses memajukan
Papua.
Selanjutnya, John Gobay menyampaikan beberapa isu tentang kepatuhan masyarakat Papua
terhadap kebijakan penanganan COVID-19. Pertama, kemunculan COVID-19 di tanah Papua
mengubah perilaku masyarakat Papua. Walaupun sudah mendapatkan sosialisasi dari pihak
berwenang tentang bagaimana menjalani protokol kesehatan, masyarakat masih memahami
bahwa COVID-19 bukan penyakit yang berbahaya. John mengemukakan bagaimana perspektif
virus COVID-19 bagi masyarakat Papua justru berbeda dibandingkan masyarakat lainnya
karena konteks kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat Papua berbeda.
Kedua, hal yang menarik menurut John Gobay adalah angka kematian di Papua akibat COVID-
19 yang menurun dibandingkan pada situasi sebelum pandemi ini. Menurutnya, hal tersebut
disebabkan karena adanya penjagaan ketat dari aparat keamanan TNI/Polri yang justru
meningkatkan rasa ketakutan masyarakat. Dengan kata lain, masyarakat justru lebih takut
dengan keberadaan aparat di lapangan dibandingkan dengan ancaman kesehatan akibat
COVID-19 itu sendiri. Terlebih lagi berdasarkan data, angka kasus konfirmasi positif COVID-19
tertinggi di Papua hanya terfokus pada Kota Jayapura.
Ketiga, masyarakat masih mengandalkan doa atau ritual adat dan pengobatan herbal melalui
tanaman obat yang merupakan bagian dari kearifan lokal. Menurut John Gobay, kemunculan
agama di Papua berhasil mengubah pandangan tentang kepercayaan pada kearifan lokal
ditambah adanya perkembangan teknologi yang menyebabkan ketergantungan pada rumah
sakit, tenaga kesehatan dan obat kimiawi sebagai satu-satunya akses pengobatan.
Keempat, kearifan lokal akan sangat berpengaruh pada ketahanan masyarakat. Keterlibatan
masyarakat adat sebenarnya dapat lebih efektif untuk memberlakukan peraturan yang tidak
tertulis dan akan lebih diyakini. Sebaiknya pemerintah juga mau memberikan kesempatan bagi
kearifan lokal dan pengobatan herbal untuk diaplikasikan dalam proses penyembuhan COVID-
19 melalui kebijakan serta kerja sama dengan para pakar. Saat ini masyarakat adat masih
memperjuangkan pentingnya pengobatan alternatif.
Kelima, menurut John Gobay angka meningkatnya kasus transmisi lokal adalah dengan
kebijakan pemerintah dalam distribusi bantuan pangan yang tidak memperhatikan protokol
kesehatan. Walaupun demikian John tetap mengapresiasi pemerintah terhadap berbagai
kebijakan dan respons yang adaptif. John Gobay menyimpulkan pentingnya rujukan pada

Tantangan Multidimensional Penanganan COVID-19 di Tanah Papua 7


pengobatan tradisional selama belum tersedianya vaksin COVID-19. John Gobay juga menilai
peran masyarakat harus jelas terlibat dalam penanganan COVID-19.
Pembicara ketiga sekaligus terakhir, Yanto Eluay membahas tentang situasi dan kondisi
masyarakat Papua pasca mewabahnya COVID-19. Pertama, dari aspek budaya dan adat
istiadat, permasalahan wabah COVID-19 belum dipandang sebagai suatu wabah yang serius.
Mendasari pada budaya dan adat Papua, segala musibah yang dialami berkorelasi pada
penyebab tertentu, termasuk pada perbuatan diri sendiri yang mungkin merugikan banyak
pihak. Seiring dengan pendapat John Gobay, Yanto Eluay juga mengungkapkan bahwa
masyarakat Papua terbiasa dengan pola penyembuhan alternatif tanpa melalui pelayanan
kesehatan. Hal ini yang memperkuat perspektif masyarakat Papua yang belum melihat urgensi
dari virus.
Kedua, aspek politik menjadi penting karena ada potensi seluruh proses penanganan COVID-
19 dimanfaatkan untuk kepentingan politik. Misalnya, gesekan antara OAP dan non-OAP,
apalagi melihat kluster Gowa yang banyak menyebabkan kasus konfirmasi positif bagi non-
OAP. Menurut Yanto, pemerintah dan masyarakat adat kurang memberikan perhatian khusus
pada isu politisasi COVID-19 ini, sehingga penting bagi tokoh adat untuk dilibatkan dalam
bantuan sosial, karena lebih memahami kondisi ekonomi rakyat Papua.

Sesi Tanya Jawab


Ada beberapa pertanyaan yang disampaikan pada sesi tanya jawab. Pertanyaan pertama
terkait tentang solusi penanganan isu rasisme karena OAP juga dilihat bersifat rasis terhadap
non-OAP. Pertanyaan ini dijawab oleh Dr Vidhyandika yang mengatakan bahwa rasisme harus
dilihat dari dua sudut pandang, karena bagi OAP dan non-OAP juga mengalami rasisme.
Rasisme disebabkan adanya konstruksi mayoritas-minoritas. Di daerah yang mayoritasnya OAP
pasti juga akan rasis terhadap non-OAP yang merupakan kelompok minoritas dan sebaliknya.
Yang perlu diperhatikan adalah penyebab rasismenya, sehingga solusinya adalah memahami
penyebabnya terlebih dahulu. Rasisme di tanah Papua bersumber dari masalah ‘ketidakadilan
dan diskriminasi’. Ketidakadilan dan diskriminasi ini juga sejalan dengan semakin berkurangnya
OAP dari aspek pertambahan penduduk sehingga memunculkan perasaan khawatir akan
‘kepunahan’ OAP.
Dr Musa’ad diberikan kesempatan untuk menjawab pertanyaan kedua tentang koordinasi
pusat dan daerah serta keterlibatan perusahaan. Menurut Dr Musa’ad, koordinasi yang
dilakukan pemerintah pusat dan daerah baik. Sejauh ini langkah pemerintah daerah masih
terbatas dalam perluasan pembatasan sosial serta pelaksanaan tes secara massal. Pihak swasta
dan BUMN (Badan Usaha Milik Negara) banyak memberikan bantuan peralatan kesehatan.
Meskipun belum semua perusahaan mengoptimalkan CSR (Corporate Social Responsibility)
untuk penanganan COVID-19. Bantuan pembukaan lahan untuk skema padat karya juga
dijadikan pilihan. Menampung saran dari tokoh adat, Dr Musa’ad akan melibatkan masyarakat
adat dalam penanganan COVID-19 ke depan.
Selanjutnya, pertanyaan ketiga tentang kebijakan keamanan pada era New Normal dijawab
oleh Irjenpol Tornagogo yang akan tetap mengandalkan proses tracking dan deteksi jaringan

Tantangan Multidimensional Penanganan COVID-19 di Tanah Papua 8


yang ada. Anggota TNI dan Polri menekankan pemahaman yang persuasif sesuai dengan
kearifan lokal.
Willem Wandik menjawab pertanyaan keempat tentang kebijakan yang sudah diformulasikan
sesuai dengan bukti yang sesuai dan koordinasi antar pihak. Namun pasca COVID-19, persoalan
pangan dan penyuluhan tetap perlu diperhatikan.
Pertanyaan kelima tentang menyatukan kearifan lokal dengan protokol kesehatan dijawab oleh
John Gobay bahwa pengobatan alternatif dan ritual budaya masih menjadi pilihan. Yanto Eluay
menjawab pertanyaan keenam tentang keterlibatan tokoh adat di Papua dalam penanganan
COVID-19. Beliau berpendapat tokoh adat punya wewenang untuk melindungi masyarakat. Hal
ini karena di Papua ada 3 kategori: adat, agama dan warga negara. Ketiganya memiliki hak dan
kewajiban. Tokoh hukum adat memiliki kewajiban untuk melindungi.
Pertanyaan terakhir ditujukan kepada Dorince Mehue tentang perspektif gender dalam
penanganan COVID-19 yang mengharuskan perhatian khusus pada perempuan di Papua,
terutama seperti pembelian pangan olahan perempuan Papua sebagai wujud pemberdayaan
sesama perempuan Papua.

Kata Penutup
Sebagai penutup, Dr J. Kristiadi mengapresiasi kesediaan para pembicara untuk berpartisipasi
dalam Webinar ini. Secara keseluruhan, Webinar ini diharapkan menambah pemahaman
pembicara serta seluruh peserta yang hadir untuk semakin menyadari pentingnya persatuan
dan kesatuan dalam penanganan COVID-19. Pentingnya melawan virus dengan persatuan
sebagai musuh seluruh umat manusia, serta perlunya gotong royong dan bersatu untuk
memperkuat kohesi sosial. Dr Kristiadi juga menyebutkan diperlukannya semangat dan
optimisme dalam menghadapi tantangan virus COVID-19.

1
Data dari covid19.go.id per 25 Juni 2020.
2
Pengajuan status PSBB untuk Provinsi Papua dan Kabupaten Fakfak, Papua Barat ditolak oleh Kemenkes karena
tidak memenuhi persyaratan epidemiologi;
‘Belum Ajukan PSBB, Papua Gunakan 2 Langkah Lawan Corona’, Liputan 6
<https://www.liputan6.com/regional/read/4251442/belum-ajukan-psbb-papua-gunakan-2-langkah-lawan-
corona> 12 Mei 2020;
‘Strategi Dinkes Papua Hadapi New Normal’, Medcom.id,
<https://www.medcom.id/nasional/daerah/MkMGXgjN-strategi-dinkes-papua-hadapi-new-normal> 13 Juni
2020.
3
Data dari https://covid19.papua.go.id per 25 Juni 2020.
4
‘Virus Corona: Di Papua Barat dan Papua tenaga medis takutkan outbreak, ‘Kami tidak tahu siapa yang positif
COVID-19’, BBC Indonesia, 20 April 2020 <https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-52300165>
5
Vidhyandika Perkasa, Menangani COVID-19 di Papua, CSIS Commentaries DMRU, 27 Maret 2020
<https://csis.or.id/publications/menangani-COVID-19-di-papua>
6
Tautan rekaman Webinar Publik melalui Youtube dapat diakses di sini.
7
Penulis berterima kasih atas kontribusi Salsabila Fitristanti sebagai notulen kegiatan Webinar

Tantangan Multidimensional Penanganan COVID-19 di Tanah Papua 9


Tentang penulis
Amelinda Bonita Leonard adalah asisten peneliti Departemen Politik dan Perubahan Sosial
Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Indonesia. Fokus riset di bidang kajian
hukum. Memperoleh gelar magister hukum dalam program hukum internasional publik dari
Universiteit Leiden, Belanda. Bisa dihubungi di ra.politics@csis.or.id
Vidhyandika Djati Perkasa adalah ketua Departemen Politik dan Perubahan Sosial Centre for
Strategic and International Studies (CSIS) Indonesia. Fokus riset di bidang identitas politik, etnis
dan minoritas, kemiskinan, pekerja migran, tata kelola pemerintahan, konflik dan kebijakan
sosial. Salah satu fokus penelitiannya adalah Papua. Penelitian beliau tentang Papua
melibatkan elemen masyarakat sipil dan pemerintah dalam mempromosikan tata kelola
pemerintahan yang lebih baik. Beliau meraih gelar Magister dari London School of Economics
and Political Science dan gelar Doktor di bidang Antropologi dari Monash University, Australia.
Bisa dihubungi di vidhyandika.perkasa@csis.or.id

Tantangan Multidimensional Penanganan COVID-19 di Tanah Papua 10


Lampiran 1. Detail Pelaksanaan Webinar

Waktu Pelaksanaan : Kamis 11 Juni 2020, 11.00 – 13.00 WIT

Platform : Zoom dan Youtube CSIS

Moderator : Dr Medelina K Hendytio, CSIS Indonesia

Pembicara :

• Dr Vidhyandika D. Perkasa, CSIS Indonesia


• Dr. Muhammad Musa’ad, Pemerintah Provinsi Papua
• Irjen. Pol. Dr. Tornagogo Sihombing, S.I.K., M.Si, Kapolda Papua Barat
• Willem Wandik, S.E., M.Si, Bupati Puncak, Papua
• Dorince Mehue, S.E., Majelis Rakyat Papua (MRP)
• John Gobay, Dewan Adat Papua
• Yanto Eluay, Tokoh Adat Papua

Sesi Penutup : Dr J Kristiadi, CSIS Indonesia

Agenda

11.00 – 11.05 Pembukaan dan perkenalan oleh moderator, CSIS Indonesia


11.05 – 11.20 Dr Vidhyandika Perkasa: Tantangan Multidimensional Penanganan
COVID-19 di Tanah Papua
11.20 – 11.30 Dr Muhammad Musa’ad: Penanganan COVID-19 Berbasis Kontekstual
Papua
11.30 – 11.40 Irjen. Pol. Dr. Tornagogo Sihombing: Memotret Tantangan Aspek
Keamanan Penanganan COVID-19 di Tanah Papua
11.40 – 11.50 Willem Wandik S.E., M.Si: Tantangan Pemerintah Kabupaten dalam
Penanganan COVID-19 di Papua
11.50 – 12.00 Dorince Mehue, S.E.: Aspek Sosial Budaya dalam Penanganan COVID-19
di Papua
12.00 – 12.10 John Gobay: Aspek Sosial Budaya dalam Penanganan COVID-19 di Papua
12.10 – 12.20 Yanto Eluay: Aspek Budaya Politik dalam Penanganan COVID-19 di Papua
12.20 – 12.50 Diskusi dan sesi tanya jawab
12.50 – 13.00 Kata Penutup oleh Dr J. Kristiadi

Jumlah Peserta

Zoom : 61
Youtube : 149 (selama live streaming berlangsung)

Tantangan Multidimensional Penanganan COVID-19 di Tanah Papua 11


Centre for Strategic and
csis.or.id International Studies
(CSIS Indonesia)
csis@csis.or.id
Jl Tanah Abang III No 23-27
@csisindonesia Gambir, Jakarta Pusat 10160
CSIS Indonesia Indonesia

Anda mungkin juga menyukai