Anda di halaman 1dari 4

Sanitasi adalah perilaku disengaja dalam pembudayaan hidup bersih dengan maksud mencegah

manusia bersentuhan langsung dengan kotoran dan bahan buangan berbahaya lainnya dengan
harapan usaha ini akan menjaga dan meningkatkan kesehatan manusia.

Bahaya ini mungkin bisa terjadi secara fisik, mikrobiologi dan agen-agen kimia atau biologis
dari penyakit terkait. Bahan buangan yang dapat menyebabkan masalah kesehatan terdiri dari
tinja manusia atau binatang, sisa bahan buangan padat, air bahan buangan domestik (cucian, air
seni, bahan buangan mandi atau cucian), bahan buangan industri dan bahan buangan pertanian.
Cara pencegahan bersih dapat dilakukan dengan menggunakan solusi teknis (contohnya
perawatan cucian dan sisa cairan buangan), teknologi sederhana (contohnya kakus, tangki
septik), atau praktik kebersihan pribadi (contohnya membasuh tangan dengan sabun).

Definisi lain dari sanitasi adalah segala upaya yang dilakukan untuk menjamin terwujudnya
kondisi yang memenuhi persyaratan kesehatan.[1] Sementara beberapa definisi lainnya menitik
beratkan pada pemutusan mata rantai kuman dari sumber penularannya dan pengendalian
lingkungan.[2][3]

Daftar isi
 1 Ruang lingkup sanitasi
 2 Sanitasi dan Kesehatan
 3 Sanitasi dan air
 4 Sanitasi Total Berbasis Masyarakat
o 4.1 Uraian singkat
o 4.2 Sejarah
o 4.3 Latar belakang
 5 Catatan kaki
 6 Lihat pula
 7 Pranala luar

Ruang lingkup sanitasi


Definisi sanitasi dari Badan Kesehatan Dunia (World Health Organisation = WHO) adalah
sebagai berikut: "Sanitation pada umumnya merujuk kepada penyediaan sarana dan pelayanan
pembuangan limbah kotoran manusia seperti urin dan feces. Istilah 'sanitasi' juga mengacu
kepada pemeliharaan kondisi higienis melalui upaya pengelolaan sampah dan pengolahan limbah
cair."[4]

Sanitasi termasuk didalamnya empat prasarana teknologi (walaupun seringkali hanya yang
pertama yang berkitan erat dengan istilah 'sanitasi'): Pengelolaan kotoran manusia (feces), sistem
pengelolaan air limbah (termasuk instalasi pengolahan air limbah), sistem pengelolaan sampah,
sistem drainase atau disebut juga dengan pengelolaan limpahan air hujan.

Terdapat sedikit perbedaan defenisi yang digunakan saat ini. Misalnya, untuk beberapa
organisasi, promosi higiene dianggap sebagai bagian tak terpisahkan dari sanitasi, Dengan
demikian, Water Supply and Sanitation Collaborative Council (Badan kolaborasi penyediaan air
dan sanitasi dunia) mendefenisikan sanitasi sebagai: "pengumpulan, pengangkutan, pengolahan
dan pembuangan atau penggunaan kembali limbah kotoran manusia (feces), limbah cair dan
sampah rumah tangga dan juga berkaitan dengan promosi higiene." [5]

Disamping fakta bahwa pengolahan air limbah juga termasuk bagian dari sanitasi, kedua istilah
ini seringkali ditulis berdampingan seperti "pengelolaan sanitasi dan air limbah". Istilah sanitasi
telah dihubungkan dengan berbagai deskripsi sehingga istilah sanitasi yang berkelanjutan
(sustainable sanitasion), sanitasi layak (improved sanitation), sanitasi tidak layal (unimproved
sanitation), sanitasi lingkungan (environmnetal sanitation), sanitasi setempat (on-site sanitation),
sanitasi ekologi (ecological sanitation), sanitasi (toilet) kering (dry sanitation) banyak digunakan
saat ini. Sanitasi seharusnya selalu dikaitkan dengan pendekatan sistem, dimana sanitasi terdiri
dari penampungan/pengumpulan, pengangkutan, pengolahan, pembuangan atau penggunaan
kembali. [6]

Sanitasi dan Kesehatan


Terdapat hubungan yang erat antara sanitasi dan kesehatan. Sarana dan prasarana sanitasi yang
tidak cukup dapat berpengaruh pada penyebaran penyakit seperti diare dan kolera melalui
beberapa jalur penularan yang dikenal dengan 5F. Jalur penularan tersebut adalah dari Feces
(kotoran manusia) masuk ke pencernaan manusia melalui 1) Fluids (air atau cairan), 2) Fields
(tanah), 3) Flies (lalat), 4) Fingers (tangan), dan 5) Foods (makanan). [7]

Badan kesehatan dunia menyatakan bahwa sanitasi dan mencuci tangan dengan sabun dapat
mengurangi angka kesakitan diare sebanyak 37,5% dan 35%[8]. Beberapa studi juga
menunjukkan terdapat hubungan yang bermakna antara sanitasi dan kasus diare pada anak [9][10].
Menariknya, bahkan intervensi sanitasi dapat menurunkan kejadian diare pada balita sebesar
12,9% dibandingkan dengan intervensi air bersih yang hanya mencapai 7,3%[10]. Namun dampak
dari intervensi sanitasi tidak akan dabat terlihat langsung dalam jangka waktu singkat [11].
Kurangnya sarana dan prasarana sanitasi juga berdampak pada masalah kesehatan lainnya seperti
infeksi trakhoma[12] dan kecacingan[13].

Disamping dampak langsung pada kesehatan, kurangnya akses terhadap sarana sanitasi dapat
secara tidak langsung berdampak pada kesehatan ibu dan anak dan kasus kekurangan gizi pada
anak. Dampak tidak langsung lainnya adalah kesulitan bagi kaum perempuan terkait dengan
upaya mendapatkan privasi dan layanan higiene menstruasi (haid bulanan)[14], yang juga
berdampak pada tingkat kehadiran siswa perempuan di sekolah[15].

Sanitasi dan air


Terdapat hubungan yang erat antara masalah sanitasi dan penyediaan air, di mana sanitasi
berhubungan langsung dengan [16]:
1. Kesehatan. Semua penyakit yang berhubungan dengan air sebenarnya berkaitan dengan
pengumpulan dan pembuangan limbah manusia yang tidak benar. Memperbaiki yang satu
tanpa memperhatikan yang lainnya sangatlah tidak efektif.[16]
2. Penggunaan air. Toilet siram desain lama membutuhkan 19 liter air dan bisa memakan
hingga 40% dari penggunaan air untuk kebutuhan rumah tangga. Dengan jumlah
penggunaan 190 liter air per kepala per hari, mengganti toilet ini dengan unit baru yang
menggunakan hanya 0,7 liter per siraman bisa menghemat 25% dari penggunaan air
untuk rumah tangga tanpa mengorbankan kenyamanan dan kesehatan. Sebaliknya,
memasang unit penyiraman yang memakai 19 liter air di sebuah rumah tanpa WC bisa
meningkatkan pemakaian air hingga 70%. Jelas, hal ini tidak diharapkan di daerah yang
penyediaan airnya tidak mencukupi, dan hal tersebut juga bisa menambah jumlah limbah
yang akhirnya harus dibuang dengan benar.[16]
3. Biaya dan pemulihan biaya.[16]

a. Biaya pengumpulan, pengolahan dan pembuangan limbah meningkat dengan cepat


begitu konsumsi meningkat. Merencanakan hanya satu sisi penyediaan air tanpa
memperhitungkan biaya sanitasi akan menyebabkan kota berhadapan dengan masalah
lingkungan dan biaya tinggi yang tak terantisipasi. Pada tahun 1980, Bank Dunia
melaporkan bahwa dengan menggunakan praktik-praktik konvesional, untuk membuang
air dibutuhkan biaya lima sampai enam kali sebanyak biaya penyediaan. Ini adalah untuk
konsumsi sekitar 150 hingga 190 liter air per kepala per hari. Informasi lebih baru dari
Indonesia, Jepang, Malaysia dan A. S. menunjukkan bahwa rasio meningkat tajam
dengan meningkatnya konsumsi; dari 1,3 berbanding 1 untuk 19 liter per kepala per hari
menjadi 7 berbanding 1 untuk konsumsi 190 liter dan 18 berbanding 1 untuk konsumsi
760 liter.[16]
b. Penggunaan ulang air. Jika sumber daya air tidak mencukupi, air limbah merupakan
sumber penyediaan yang menarik, dan akan dipakai baik resmi disetujui atau tidak.
Karena itu peningkatan penyediaan air cenderung mengakibatkan peningkataan
penggunaan air limbah, diolah atau tidak dengan memperhatikan sumber-sumber daya
tersebut supaya penggunaan ulang ini tidak merusak kesehatan masyarakat.[16]

Sanitasi Total Berbasis Masyarakat


Uraian singkat

Sanitasi Total Berbasis Masyarakat (STBM) adalah satu Program Nasional di Indonesia di
bidang sanitasi yang bersifat lintas sektoral. Program ini telah dicanangkan pada bulan Agustus
2008 oleh Menteri Kesehatan RI. STBM merupakan pendekatan untuk mengubah perilaku
higiene dan sanitasi melalui pemberdayaan masyarakat dengan metode pemicuan.

Strategi Nasional STBM memiliki indikator outcome yaitu menurunnya kejadian penyakit diare
dan penyakit berbasis lingkungan lainnya yang berkaitan dengan sanitasi dan perilaku.
Sedangkan indikator output-nya adalah sebagai berikut [17]:

1. Setiap individu dan komunitas mempunyai akses terhadap sarana sanitasi dasar sehingga
dapat mewujudkan komunitas yang bebas dari buang air di sembarang tempat (ODF).
2. Setiap rumahtangga telah menerapkan pengelolaan air minum dan makanan yang aman di
rumah tangga.
3. Setiap rumah tangga dan sarana pelayanan umum dalam suatu komunitas (seperti
sekolah, kantor, rumah makan, puskesmas, pasar, terminal) tersedia fasilitas cuci tangan
(air, sabun, sarana cuci tangan), sehingga semua orang mencuci tangan dengan benar.
4. Setiap rumah tangga mengelola limbahnya dengan benar.
5. Setiap rumah tangga mengelola sampahnya dengan benar.[17]

Sejarah

STBM mulai diuji coba tahun 2005 di 6 kabupaten (Sumbawa, Lumajang, Bogor, Muara Enim,
Muaro Jambi, dan Sambas). Sejak tahun 2006 Program STBM sudah diadopsi dan
diimplementasikan di 10.000 desa pada 228 kabupaten/ kota. Saat ini, sejumlah daerah telah
menyusun rencana strategis pencapaian sanitasi total dalam pembangunan sanitasinya masing-
masing. Dalam 5 tahun ke depan (2010 – 2014) STBM diharapkan telah diimplementasikan di
20.000 desa di seluruh kabupaten/ kota.[17]

Latar belakang

Tantangan yang dihadapi Indonesia terkait dengan masalah air minum, higiene dan sanitasi
masih sangat besar. Hasil studi Indonesia Sanitation Sector Development Program (ISSDP)
tahun 2006, menunjukkan 47% masyarakat masih berperilaku buang air besar ke sungai, sawah,
kolam, kebun dan tempat terbuka.[17]

Berdasarkan studi Basic Human Services (BHS) di Indonesia tahun 2006, perilaku masyarakat
dalam mencuci tangan adalah

(i) setelah buang air besar 12%,


(ii) setelah membersihkan tinja bayi dan balita 9%,
(iii) sebelum makan 14%,
(iv) sebelum memberi makan bayi 7%, dan
(v) sebelum menyiapkan makanan 6 %.

Sementara studi BHS lainnya terhadap perilaku pengelolaan air minum rumah tangga
menunjukan 99,20% merebus air untuk mendapatkan air minum, tetapi 47,50 % dari air tersebut
masih mengandung Eschericia coli.

Anda mungkin juga menyukai