FARMAKOLOGI EKSPERIMENTAL II
PERCOBAAN V
(RESEPTOR HISTAMIN)
Disusun Oleh :
Kelas : A 2017
Golongan/Kelompok : I / 4
No Nama NIM Tanda Tangan
1. Hanifah Nurrahmawati 17/408815/FA/11265 …………………
2. Ida Nur Aini 17/408819/FA/11269 …………………
PERCOBAAN V
RESEPTOR SEBAGAI TARGET AKSI OBAT
(RESEPTOR HISTAMIN)
I. TUJUAN
1. Mengenal dan menjelaskan mengenai reseptor histamin.
2. Mengenal mempraktekkan dan melaksanakan percobaan yang melibatkan reseptor
histamin.
3. Menentukan nilai pD2 dari antihistamin.
Diagram skematik suatu sel dengan perkiraan lokasi beberapa macam target untuk aksi
obat (Kenakin, 1997).
Target aksi obat yang utama dan paling banyak adalah reseptor. Reseptor didefinisikan
sebagai suatu makromolekul seluler yang secara spesifik dan langsung berikatan dengan ligan
(obat, hormon, neurotransmitter) untuk memicu proses biokimia antara dan di dalam sel yang
akhirnya menimbulkan efek. Suatu senyawa/ligan dapat beraksi sebagai agonis dan antagonis.
Jika agonis adalah suatu ligan yang jika berikatan dengan reseptor dapat menghasilkan efek,
antagonis dapat berikatan dengan reseptor tetapi tidak menghasilkan efek. Dalam hal ini,
agonis dikatakan memiliki afinitas (kemampuan berikatan) dengan reseptor dan efikasi
(kemampuan menghasilkan efek). Sedangkan, antagonis memiliki afinitas tetapi tidak
memiliki efikasi. Aktivasi reseptor oleh suatu agonis atau ligan akan diikuti oleh respons
biokimia atau fisiologi yang melibatkan molekul-molekul “pembawa pesan” yang dinamakan
second messengers (Ikawati, 2008).
Ikatan antara suatu ligan/obat dan reseptornya tergantung pada kesesuaian antara 2
molekul tersebut. Semakin sesuai dan semakin besar afinitasnya, akan semakin kuat interaksi
yang terbentuk. Selain itu, ikatan antara ligan-reseptor juga memiliki spesifisitas, yaitu bahwa
suatu ligan dapat mengikat 1 tipe reseptor tertentu. Jika suatu ligan dapat berikatan dengan
beberapa tipe reseptor, maka ligan itu dinyatakan kurang spesifik. Spesifisitas ini dapat
bersifat kimiawi atau biologi. Spesifisitas kimiawi artinya adanya perubahan struktur kimia,
atau stereoisomerisasi saja, dapat menyebabkan perbedaan kekuatan ikatan dengan reseptor
yang pada gilirannya mempengaruhi efek farmakologinya. Sedangkan spesifisitas biologi
artinya efek yang dihasilkan oleh interaksi antara ligan dan reseptor yang sama dapat berbeda
kekuatannya jika terdapat pada jaringan yang berbeda (Ikawati, 2008).
Reseptor berfungsi mengenal dan mengikat suatu ligan/obat dengan spesifisitas yang
tinggi dan meneruskan sinyal tersebut ke dalam sel melalui beberapa cara yaitu (Ikawati,
2008):
1. Perubahan permeabilitas membran; adanya ikatan ligan dengan reseptor dapat
menyebabkan membran jadi lebih permeabel dengan adanya pembukaan kanal
tertentu sehingga ion-ion tertentu dapat mengalir melintasi membran.
2. Pembukaan second messenger, ikatan obat dengan ligan akan memicu rangkaian
peristiwa biokimia yang menghasilkan berbagai molekul intrasel (second messenger)
yang berperan dalam penghantaran sinyal.
3. Mempengaruhi transkripsi gen; ikatan ligan dengan reseptor dapat juga
mempengaruhi transkripsi gen baik secara langsung maupun tidak langsung.
NH2
5 4
1 3
N N
H
2
Histamine
Histidin
CH2 CH COOH dekarboksilase CH2 CH2 NH2 CO2
HN N NH2 HN N
Histidin Histamin
Sejumlah besar histamin disimpan di dalam granula sel-sel jaringan ikat yang dikenal
sebagai sel-sel mast, yang tersebar luas di dalam tubuh (histamin juga terdapat di dalam
basofil dan trombosit) (Price dan Wilson, 2006). Bentuk ikatan histamin secara biologis tidak
aktif, tetapi berbagai rangsangan dapat merangsang pelepasan histamin dari sel mast sehingga
amin bebas itu dapat bekerja pada jaringan sekitarnya (Katzung, 1997). Histamin dikeluarkan
dari tempat pengikatan ion pada kompleks heparin–protein dalam sel mast sebagai hasil reaksi
antigen–antibodi bila terdapat rangsangan dari senyawa alergen (Siswandono dan Soekardjo,
2000).
Histamin bekerja dengan menduduki reseptor tertentu pada sel yang terdapat pada
permukaan membran. Saat ini ada tiga jenis reseptor histamin yaitu H 1, H2 dan H3. Aktivasi
reseptor H1 terdapat pada sel otot polos menyebabkan kontraksi otot polos, meningkatkan
permeabilitas pembuluh darah dan sekresi mukus. Selain itu, reseptor H 1 juga terdapat di otak,
retina, medula adrenal, hati, sel endotel, pembuluh darah otak, limfosit, saluran nafas, saluran
cerna, saluran genitourinarius dan jaringan vaskular. Reseptor H2 didapatkan pada mukosa
lambung, sel otot jantung, dan beberapa sel imun. Aktivasi reseptor H 2 terutama
relaksasi. Reseptor H3 terdapat di korteks serebri dan otot polos bronkus. Meskipun agonis
reseptor H3 berpotensi untuk gastroprotektif dan antagonis reseptor H3 berpotensi untuk anti
obesitas, sampai saat ini belum ada agonis maupun antagonis reseptor H 3yang diizinkan untuk
Antihistamin adalah obat yang dapat mengurangi ataupun dapat menghilangkan kerja
histamin dalam tubuh dengan mekanisme penghambatan secara bersaing dari sisi reseptor
khas yaitu H1, H2, dan H3. Efek dari antihistamin bukan suatu reaksi antigen-antibodi karena
tidak dapat menetralkan atau mengubah efek histamin yang sudah terjadi. Antihistamin pada
umumnya tidak dapat mencegah produksi histamin (Gunawan, 2007). Sedangkan agonis
histamin merupakan obat yang berikatan dengan reseptor histamin dan mengaktifkannya.
Meski sudah disarankan dalam berbagai penggunaan klinis, sejauh ini agonis histamin lebih
banyak digunakan dalam penelitian disbanding sebagai terapi pengobatan (Anonim, 1993).
Alat :
1. Organ bath
2. Amplifier dan recorder
3. Thermostat dan heater
4. Transducer isotonik
5. Mikropipet 100 µL dan 1000 µL ( Blue tip dan yellow tip )
6. Vial
B. Cara kerja
1. Preparasi organ marmut
Dikorbankan marmut dengan cara dislokasi tulang belakang kepala atau
cervix
Setelah trakea bersih dipotong dengan arah melintang untuk diambil satu
cincin trakea
Diikat organ yang telah dipreparasi pada organ bath dan segera diberi larutan
buffer Krebs hingga terendam sempurna dan dialiri gas karbogen
2. Uji Farmakologi
Setelah preparasi organ, dilakukan ekuilibrasi terhadap trakea selama 60 menit
dengan penggantian larutan dapar Krebs setiap 15 menit
Organ dicuci selama 60 menit dengan penggantian larutan dapar Krebs tiap
10-15 menit, dilanjutkan pengukuran kontraksi otot polos trakea terhadap
berbagai peringkat dosis agonis histamin
Pemberian volume dosis agonis histamin dapat dilihat pada tabel dibawah ini:
Volume larutan obat Konsentrasi larutan Konsentrasi histamin
yang ditambahkan histamin yang dalam organbath
dalam organbath (mL) ditambahkan (M) (faktor kumulatif ½
log10) (M)
0,100 2x10-5 10-7
0,200 2x10-5 3x10-7
0,070 2x10-4 10-6
0,200 2x10-4 3x10-6
0,070 2x10-3 10-5
0,200 2x10-3 3x10-5
0,070 2x10-2 10-4
0,200 2x10-2 3x10-4
0,070 2x10-1 10-3
3. Analisis Data
Didapat data respon yang timbul (yang digambar dengan tingginya rekaman
gambar kontraksi pada kimogram) pada masing-masing dosis terukur dalam
satuan mm.
Dibuat kurva hubungan antara % efek dan kadar dimana nilai persentase efek
menjadi skala ordinat (sumbu y) dan logaritma kadar obat menjadi skala absis
(sumbu x)
Dihitung ED50 (respon 50% dari respon maksimal yang mungkin bisa timbul)
Dihitung nilai pD2 (nilai negatif logaritma dari ED50)
Daftar Pustaka
Elliot, D.C., Elliot, W.H., 1997, Biochemistry and Molecular Biology, 1st Ed., Oxford
University Press Inc., New York.
Gunawan, S. G., 2007, Farmakologi dan Terapi, Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia, Jakarta.
Ikawati, Z., 2008, Pengantar Farmakologi Molekuler, Gadjah Mada University Press,
Yogyakarta.
Katzung, B.G., 1997, Farmakologi Dasar dan Klinik, Penerbit Buku Kedokteran EGC,
Jakarta.
Price, S. A. dan Wilson, L. M., 2006, Patofisiologi : Konsep Klinis Proses Proses Penyakit,
Edisi 6, Volume 1, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta.
Siswandono dan Soekardjo, B., 2000, Kimia Medisinal, Edisi 2, Airlangga University Press,
Surabaya.