MULTIMODALITAS
Metode untuk
memahami makna dari
STUDI KASUS teks. Dalam
FENOMENOLOGI Metode untuk untuk ETNOGRAFI DIGITAL multimodalitas kita
Metode untuk menggambarkan Metode untuk tidak mempelajari
menyelidiki “kasus”, menyajikan menggambarkan individu atau
pengalaman individu. kasus secara secara penggunaan dunia digita organisasi, tetapi
Peneliti memilih detil. Mis: kasus oleh kelompok orang. produk berupa teks.
individu (yang pernah penggunaan media Perilaku selfie, Peneliti melakukan
selfie di Instagram) sosial untuk bagaimana meraka penafsiran /
dan dan destination branding menggunakan digital interpretasi dari teks
mewawancarai Pengumpulan data: untuk selfie. tersebut untuk
mereka. dokumen, arsip, menunjukkan makna di
Pengumpulan data: wawancara, balik isi teks
wawancara individu. observasi.
APA ITU NETNOGRAFI?
• Netnography is “a form of qualitative
research that seeks to understand the
cultural experience that encompass
and are reflected within the traces,
practoces networks and system of online
traces. Online traces can be textual,
graphic, photographic, audiovisual,
musical, commercial sponsored political
fannish, and many other things. These
cultural experience can be engaged with,
communicated through, and then
reflected upon, forming the three
fundamental elements of netnography:
investigation, interaction and
immersion”. (Kozinets, 2020)
Netnografi ≠ Analisis Teks
• Netnografi menggunakan jejek online (posting media
sosial, komentar di situs belanja online, komentar di
forum online / situs berita dsb). Netnografi
memanfaatkan data tersebut untuk memahami budaya
dari media online.
• Sekilas, ini mirip dengan analisis isi (content analysis)
atau analisis teks pada umumnya, di mana peneliti juga
memanfaatkan bahan yang sama. Yang membedakan:
netnografi menggunakan jejek online (digital) tidak
hanya untuk mengetahui isi, tetapi juga budaya.
Netnografi membutuhkan parisipasi dan keterlibatan
(immersion) peneliti. Hal yang tidak dilakukan oleh
peneliti analisis isi.
Menggunakan
Mempelajari
Jejak Online /
Budaya
Digital
Interaksi / Immersive
partisipasi Engagement
(a) Budaya
• Netnografi, seperti etnografi, mempelajari budaya.
Etnografi memusatkan perhatian pada deskripsi mengenai
kebudayaan dari orang / kelompok di dunia digital. Kata
“budaya” di sini tidak merujuk pada suku atau etnis.
Budaya dalam etnografi dipahami sebagai pengetahuan
yang diperoleh, dan dipergunakan orang untuk
menginterpretasikan pengalaman dan melahirkan tingkah
laku sosial (Spradley, 1997: 6).
• Netnografi, seperti halnya etnografi, mempelajari budaya
dari orang / kelompok di dunia digital dalam konteks
(setting) alamiah. Peneliti berusaha menggambarkan
kelompok atau komunitas seperti apa adanya, perilaku yang
biasa dilakukan. Fokus Netnografi, adalah menggambarkan
budaya dari sudut pandang pengguna, berusaha
memahami (verstehen).
(b) Jejak Online / Digital
• Netnografi berangkat dari jejak online / jejak
digital. Jejak digital adalah perilaku orang di
dunia digital yang terekam. Jejak digital ini
bentuknya bermacam-macam, mulai dari
posting di media sosial, komentar di forum
belanja, apa yang dicari di mesin pencarian,
komentar di forum online, dsb.
(c) Partisipasi / Interaksi
• Netnografi, seperti halnya etnografi membutuhkan
partisipasi dari peneliti.
• Hanya, partisipasi dalam penelitian online berbeda
dengan etnografi (offline). Kozinets, lebih menyukai
keterlibatan (engagement) dibandingkan dengan
partisipasi. Peneliti Netnografi tidak ada keharusan
untuk berpartisipasi dalam kelompok online yang
diteliti (misalnya: memberi komentar, like, memberi
perrtanyaan dsb). Tetapi sebaliknya, peneliti etnografi
juga tidak sekedar hanya mengunduh (download)
dokumen dan melakukan koding---seperti pada peneliti
analisis isi.
(d) Immersive Engagement
• Ciri penting lain dari Netnografi adalah peneliti
menceburkan diri (immersion) dengan objek yang
diteliti.
• Hanya berbeda dengan etnografi, immersi dalam
penelitian online / virtual berbeda. Kozinets,
lebih menyukai istilah “immersive engagement”.
Peneliti terlibat dengan fenomena, masalah dan
objek yang diteliti. Keterlibatan ini tidak selalu
harus ditafsirkan sebagai peneliti masuk dalam
suatu komunitas / menjadi anggota komunitas
online, dsb.
ETNOGRAFI NETNOGRAFI
Field site Data site
Catatan lapangan Immersion journal
(fieldnote)
Partisipasi Keterlibatan (Engagement)
Observasi Operasi data
Participant-observer Engaged Data Operations
Interpretasi Integrasi
Kozinets (2020)
Kozinets (2020)
D. IMMERSING
• Ciri penting dalam penelitian etnografi adalah
immersion, yakni peneliti “menceburkan diri” dengan
orang atau komunitas yang diteliti. Tujuannya agar
peneliti bisa merasakan secara lansgung dan melihat
dari perspektif komunitas yag diteliti. Immersion
umumnya dilakukan dengan cara peneliti datang
langsung ke lokasi (field site), mempelajari bahasa
mereka, terlibat dalam kegiatan, sehingga bisa
memahami dari perspektif orang yang diteliti.
• Pada immersion, peneliti melakukan refleksi. Peneliti
membuat catatan (fieldote) yang menggambarkan
intersubjektivitas dan refleis peneliti atas pengalaman
yang dirasakan selama berada di lapangan.
Kompasiana
• Apakah immersion bisa diterapkan dalam Netnografi?
Menurut Kozinets (2020), immersion dalam Netnografi
berbeda dengan etnografi. (a) Netnografi didasarkan
pada data-site, di mana peneliti berhadapan dengn
data berupa jejak online yang sudah ada ketika peneliti
melakukan penelitian. (b) Penelitian Netnografi tidak
mempunyai field-site, atau komunitas unik yang diteliti
seperti umumnya pada etnografi.
• Netnografi menggunakan prinsip immersion, karena
immersion adalah prinsip penelitian yang
membedakan etnografi (Netnografi sebagai bagian dari
etnografi) dengan penelitian lainnya. Bentuk
immersion dalam Netnografi berbeda.
(i) Peninjauan (Reconnoitering)
• Peneliti melakukan skanning untuk melihat gambaran umum data. Kegiatan
ini diperlukan supaya peneliti tidak tersesat dengan data yang banyak.
Peninjauan ini mirip dengan kegiatan teritorisasi, di mana peneliti
menentukan batas-batas apa yang akan dilihat dan diamati.
• Misalnya, peneliti melakukan penelitian mengenai posting kesehatan
mental di media sosial. Pada tahap investigasi, peneliti sudah mendapatkan
data yang akan dianalisis. Peneliti melakukan peninjauan umum terlebih
dahulu atas data itu, dengan cara memeriksa data yang akan diteliti----
seperti berapa jumlah data, dari media sosial mana saja data tersebut
(Twitter, Facebook, Instagram, Youtube, dan sebagainya), apakah data
posting itu hanya berupa kata ataukah ada posting yang berupa gambar
(foto, meme, video), dari mana saja posting itu berasal, apakah ada hal-hal
yang mencolok pada data (bahasa yang digunakan, kata atau simbol), dan
sebagainya.
(ii) Mencatat (Recording)
• Peneliti membuat catatan atas apa yang peneliti lihat/ baca/
dengar. Pada penelitian netnografi.
• Menurut Kozinets (2020), catatan ini berisis dua hal. Pertama,
apa yang dilihat dan dibaca. Peneliti menggambarkan secara
deskriptif hal-hal apa saja yang dilakukan selama penelitian,
data apa yang dilihat, keputusan apa yang diambil selama
proses penelitian, dan seterusnya. Kedua, pengalaman dan
perasaan peneliti saat melihat dan membaca data. Apakah
peneliti merasa sedih, gembira, kesal, kecewa, marah saat
membaca data-data tersebut. Perasaan ini diekspresikan dalam
bentuk catatan yang berisi emosi peneliti saat melihat dan
membaca data. Deskripsi dan perasaan (emosi) merupakan
dua aspek yang tidak bisa dipisahkan satu sama lain.
(iii) Meneliti (Researching)
• Peneliti menggunakan sudut pandang, perspektif tertentu. Sudut pandang
ini bisa berupa dugaan, teori atau konsep tertentu. Pada tahapan ini, peneliti
mencoba mengaitkan data-data yang dilihat dengan teori atau konsep
tertentu (lihat Kozinets, 2020).
• Pertanyaan yang diajukan pada tahap ini misalnya: apa keterkaitan antara
data satu dengan data lain, dikaitkan dengan teori atau konsep tertentu, data
menggambarkan apa? Dan seterusnya. Peneliti juga bisa mempunyai
dugaan atau argumentasi tertentu yang ingin dibuktikan. Pada tahapan ini
peneliti berusaha untuk menjawab apakah argumentasi tersebut didukung
oleh data, dan seterusnya. Peneliti menuliskan secara deksriptif teori atau
konsep yang dipakai, menuliskan apakah teori atau konsep itu sesuai
dengan data.
(iv) Refleksi
• Refleksi adalah kegiatan yang bersifat retrospektif dan
personal (Kozinets, 2020). Disebut retrospektif, karena lewat
kegiatan ini peneliti evaluasi atas apa yang dilihat dari data.
• Refleksi juga bersifat personal karena kegiatan ini
menggabarkan pemaknaan personal peneliti yang bersifat
subyektif. Setelah membaca data posting media sosial, makna
apa yang bisa ditarik oleh peneliti? Apa penafsiran peneliti atas
data-data tersebut. Refleksi bisa dilakukan dengan cara peneliti
berhenti sejenak, memusatkan pikiran dan kemudian
memaknai data-data tersebut.
E. ANALYZING
• Penelitian Netnografi, seperti halnya
pada etnografi, bersifat induktif.
Peneliti mulai dari data, melakukan
koding, menemukan pola-pola, dan
kemudian melakukan interpretasi
dan analisis.
Checking and
Coding Noting Abstracting Generalizing Theorizing
Refinement
• Integrasi
Integrasi adalah tahapan analisis dan interpretasi data. Pada penelitian netnografi, analisis pada dasarnya adalah
mengintegrasikan semua data yang diperoleh pada saat tahap pengumpulan data (arsip, observasi). Peneliti juga
menggabungkan investigasi, interaksi (keterlibatan peneliti) dan hasil imersi. Integrasi yang dilakukan dalam
penelitian ini adalah dalam bentuk analisis tematik. Peneliti menemukan tema-tema kunci dari cuitan pengguna
(Braun &Clarke, 2006, 2012, 2013)
Hasil Penelitian
Tema: Tema: Tema:
Definisi: posting di media sosial (Twitter) yang Definisi: posting di media sosial (Twitter) yang Definisi: posting di media sosial (Twitter) yang
menyalahkan korban pelecehan seksual. Ini dilakukan membela pelaku. Pembelaaan ini dilakukan dengan mendukung korban. Dukungan ini dilakukan dengan tidak
dengan cara mempermasalahkan pakaian yang mengungkapkan latar belakang pelaku sebagai sosok mempermasalahkan cerita korban atau mengapa baru saat
dikenakan, tempat (lokasi) yang seharusnya tidak tidak baik (“fakboy”), sehingga harus dimaklumi. Atau ini berani bercerita. Posting mendukung dan memuji
dikunjungi korban seorang diri. mempermasalahkan cerita korban yang dinilai tidak keberanian korban untuk bersuara.
masuk akal (misal: korban tidak melawan, suka sama
suka, dan sebagainya).
Sub Tema: Kesalahan Korban Sub Tema: Ragu dengan Cerita Korban Sub Tema: Kritik dan Kecaman atas Tindakan Pelaku
Kesalahan baju yang dipakai (mis; baju Meragukan cerita korban (tidak masuk akal) Mengecam tindakan pelecehan pelaku
terbuka, seksi) Mempertanyakan mengapa korban tidak
Kesalahan tempat, seharusnya tidak hadir di melawan saat kejadian
acara tersebut (mis: tempat orang mabuk,
banyak alkohol, dsb) Sub Tema: Dukungan pada Korban
Kesalahan datang seorang diri
Sub Tema: Memaklumi Tindakan Pelaku
Ikut sedih (prihatin) dengan nasib korban
Sub Tema: Kritik atas Cerita Korban di Media Sosial
Menguatkan dan mendukung korban
Empati dengan trauma korban
Memuji pelaku sebagai sosok yang macho
Seharusnya mengumpulkan bukti-bukti dan (banyak pacar) Sub Tema: Dukungan atas Tindakan Korban untuk
saksi Karakter (sifat) pelaku Bercerita di Media Sosial
Seharusnya tidak hanya cerita di media sosial Praduga tidak bersalah
Mencari popularitas (pansos), setelah 3 tahun
baru cerita
Memuji korban yang berani bicara
Seharusnya lapor ke polisi
Korban menginsiprasi orang lain yang mengalami
nasib sama agar berani bicara
• Media sosial (Twitter) masih belum menjadi ruang aman bagi
korban. Di satu sisi, korban mendapat banyak dukungan
warganet. Keberanian korban juga dipuji karena diharapkan
dapat mendorong korban lain agar berani bersuara.
• Tetapi di sisi lain, suara warganet masih menempatkan korban
sebagai pihak yang salah. Korban dicari-cari kesalahannya
hingga terjadi kekerasan seksual, mulai dari pakaian yang
dikenakan, datang seorang diri hingga pernyataan bahwa
seharusnya perempuan tidak datang ke tempat clubbing.
Twitter masih belum menjadi ruang aman juga terlihat dari
banyaknya cuitan (komentar) yang mempertanyakan motivasi
korban dalam mengungkapkan cerita di media sosial.
Warganet menyalahkan korban seharusnya mengumpulkan
bukti dan saksi, atau melaporkan ke polisi jika mengalamai
kekerasan seksual bukan dengan bercerita di media sosial.
• Media sosial menunjukkan wajah yang ambigu terkait dengan ruang aman
bagi korban kekerasan seksual. Media sosial memberikan kesempatan
kepada korban untuk berbagi pengalaman terkait dengan trauma yang
dialami. Lewat anonimitas, korban bisa mengungkapkan pengalaman
dengan lebih nyaman. Hanya saja media sosial seperti terlihat dalam
penelitian ini bisa berpotensi menjadi sumber kekerasan baru, ketika
banyak serangan yang dibuat oleh warganet kepada korban. Warganet
dengan anonimitasnya juga melakukan kritik atas apa yang dilakukan
korban. Ini bisa menjadi sumber trauma bagi perempuan korban kekerasan
seksual.
• Ambiguitas ini tercermin dalam banyak komentar warganet, di mana di
satu sisi prihatin dengan kondisi korban tetapi di sisi lain mencurigai dan
mengkritik korban. Misalnya, pernyataan berikut banyak muncul dalam
cuitan warganet, “Ikut prihatin dengan peristiwa yang dialami, tetapi
seharusnya……. [tidak datang ke clubbing,/ tidak datang ke tempat acara
sendirian/ tidak mengenakan baju yang longgar, dan sebagainya]
TERIMA KASIH