Anda di halaman 1dari 15

Sejarah Bogor (27): Sejarah Ciomas Bogor di

Gunung Salak; Apakah Gunung Salak Meletus


1699 dan Mengapa Ada Bunker?
*Untuk melihat semua artikel Sejarah Bogor dalam blog ini Klik Disini

Secara geografis, Ciomas berada tepat di lereng gunung Salak, lereng gunung yang menghadap
ke pantai utara. Di bawahnya yang disela sungai Tjisadane terletak kota Bogor (Buitenzorg).
Begitu dekat Tjiomas dengan kota Buitenzorg, Hanya sebatas sungai Tjisadane. Namun ternyata
tidak banyak sejarah Ciomas yang dapat ditemukan. Lantas apakah ada sejarah Ciomas?

Peta land Tjiomas (1887); Peta Buitenzorg (1914)

Kini nama Ciomas menjadi nama kecamatan di kabupaten Bogor. Tempo doeloe nama kampong
Tjiomas di pinggir sungai Tjiomas dijadikan nama land (tanah partikelir). Land Tjiomas ini
sangat luas, jauh lebih luas dari land tetangganya land Dramaga. Namun kini land Tjiomas pada
masa kini yang dikenal sebagai kecamatan Ciomas hanya memiliki luas terkecil dari seluruh
kecamatan yang ada di Kabupaten Bogor. Kecamatan Ciomas kini terdiri dari 10 desa: Ciomas
Rahayu, Ciomas, Kota Batu, Laladon, Mekarjaya, Padasuka, Pagelaran, Parakan, Sukaharja dan
Sukamakmur.

Tjiomas bagi orang Eropa/Belanda mirip Thomas dan bagi orang Tapanoeli mirip Si Omas. Lalu
apakah ada omas (emas) milik Tuan Thomas di sungai Tjiomas? Satu lagi, bahwa disebutkan
gunung Salak pernah meletus pada tahun 1699 tetapi tidak sedikit yang meragukan. Lalu apakah
gunung Salak memang benar-benar meletus pada tahu 1699? Semua pertanyaan ini menjadi satu
dan menjadi pintu masuk yang utama untuk melacak sejarah Ciomas Bogor. Untuk itu, untuk
memhami sejarah Ciomas lebih dalam, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar
sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding),
karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer.
Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel
saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah
disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.

Nama Tjiomas: Kota Tua Kota Batu

Nama Tjiomas kali pertama ditemukan dalam publikasi umum pada tahun 1850. Namun nama
Tjiomas bukan di Buitenzorg, melainkan sebuah nama district di Residentie Banten (lihat
Nieuwe Rotterdamsche courant : staats-, handels-, nieuws- en advertentieblad, 22-07-1850).
Nama Tjiomas di Buitenzorg, Residentie Batavia baru muncul ke publik pada tahun 1854 (lihat
Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 26-04-1854). Tjiomas
di Butenzorg, Residentie Batavia adalah nama sebuah land (tanah partikelir).

Peta 1866

Tjiomas sudah menjadi nama land (tanah partikelir). Kapan pembentukan land Tjiomas tidak
diketahui secara jelas. Besar dugaan land Tjiomas dibentuk bersama-sama dengan pembentukan
land Tjiampea dan land Dramaga pada tahun 1778. Jauh sebelumnya, lahan-lahan di sisi utara
sungai Tjisadane sudah terbentuk sejak era Gubernur Jenderal van Imhoff (1743-1750) seperti
land Koeripan, land Tjileubeut, land Bodjong Gede dan land Kedong Badak serta land Bloeboer
(Buitenzorg). Lahan-lahan yang berada di sisi selatan sungai Tjisadane seperti land Tjiomas, land
Dramaga dan land Tjiampea sebagai perluasan land-land yang baru. Tampaknya land Tjiampea
dan land Dramaga lebih dulu dikembangkan daripada land Tjiomas. Land Tjiampea dan land
Dramaga dikembangkan lebih lanjut dari arah daerah aliraa sungai Tangerang/sungai Tjisadane
yang dimulai dari Tangerang. Sedangkan land Kedong Badak dan Bloeboer (land Kampong
Baroe) yang merupakan pusat kota Buitenzorg merupakan perluasan pengembangan land di
daerah aliran sungai Tjiliwong dari arah Batavia.

Nama land Tjiomas diduga mengadopsi nama kampong Tjiomas. Di kampong Tjiomas mengalir
sungai kecil yang juga disebut sungai Tjiomas. Sungai Tjiomas bermuara ke sungai
Tjisindangbarang di kampong Laladon, Sungai Tjiomas dalam hal ini berada di antara sungai
Tjisadane dengan sungai Tjisindangbarang. Sedangkan jarak geografis antara kampong Tjiomas
(land Tjiomas) dan kota Buitenzorg (eks land Bloeboer) sangat begitu dekat (hanya dibatasi oleh
sungai Tjisadane). Catatan tambahan: Ssungai Tjisindangbarang bermuara ke sungai Tjiapoes di
kampong Babakan, Dramaga dan sungai Tjiapoes bermuara ke sungai Tjisadane di belakang
landhuis land Dramaga (belakang kampus IPB yang sekarang).

Peta land (1867)

Pada tahun 1829 jalan raya antara Buitenzorg dan Djasinga dibangun melalui Dramaga,
Tjiampea, Panjawoengan (kini Leuwiliang), Sading Djamboe (kini Leuwisadeng) dan Bolang
(kini Cigudeg). sebagai jalan kelas dua (semacam jalan provinsi pada masa ini). Jalan ini dari
Buitenzorg melalui jembatan Merah, kampong Panaragan lalu jembatan (baru) di atas sungai
Tjisadane dan kemudian jalan menanjak tajam. Pada persimpangan pertama dimana ke arah barat
menuju Dramaga dan ke arah timur menuju (kampong) Pantjasan dan Empang (jalan kuno).
Tidak jauh dari persimpangan jalan ke arah Empang ini terdapat simpang ke arah selatan menuju
kampong Tjiomas (lihat Peta 1900). Dalam hal ini jembatan Tjisadane adalah jalan baru (jalan
akses) yang dibangun setelah adanya land (awalnya hanya terbuat dari bambu).    

Land Tjiomas sangat luas sekali. Luasnya dari sisi selatan sungai Tjisadane hingga ke puncak
gunung Salak. Batas sebelah selatan land Tjiomas adalah sungai Tjihiedeung (berbatasan
langsung dengan land Tjiampea). Batas utara land Tjiomas di sebelah barat sungai Tjisadane
adalah tepat berada pada jalan tanjangan jembatan Tjisadane. Sebelah utara jalan adalah land
Dramaga.
Kampong Tjiomas (Peta 1900)

Seperti halnya land Tjiomas, Land Dramaga pada masa lampau juga terbilang luas (berbeda
dengan persepsi yang sekarang). Land Dramaga berbatasan langsung dengan sungai Tjisadane.
Tepat pada sisi jalan sebelah kanan dari arah jembatan Tjisadane termasuk land Dramaga (lihat
Peta 1900). Tidak jauh dari persimpangan pertama ke arah barat terdapat sebuah garis lurus ke
barat (hingga batas Tjiampea) adalah batas yang menyatakan antara land Tjiomas (di selatan
garis) dan land Dramaga ( di utara garis). Garis batas ini pada masa kini diduga yang menjadi
asal usul nama gang/jalan Wates. Kampong Goenoeng Batoe sendiri termasuk wilayah land
Dramaga. Batas land Tjiomas di sebelah timur adalah sungai Tjibeureum (di sebelah timur Kota
Batoe) yang membatasi antara land Tjiomas dan land Tjidjeroek. Pada masa lampau land
Dramaga juga adakalanya disebut land Sindangbarang. Namun yang dijadikan sebagai nama
wilayah administrasi oleh pemerintah Hinida Belanda adalah nama land Dramaga (dimana
terdapat landhuis) dan kerena itu nama Dramaga menjadi lebih populer jika dibandingkan nama
Sindangbarang sendiri.  

Siapa pemilik pertama land Tjiomas tidak diketahui secara jelas. Demikian juga siapa pemilik
land Dramaga juga tidak diketahui secara jelas. Sedangkan pemilik land pertama land Tjiampea
adalah Willem Vincent Helvetius Riemsdijk (anak dari Gubernur Jenderal VOC Jeremias van
Riemsdijk, 1775-1777).

Cultuur Maatschappij Tjiomas (1867)


Setelah VOC dibubarkan dan digantikan oleh Pemerintah Hindia Belanda, land Tjiampea tatap
dimiliki oleh keluarga van Riemsdijk. Sementara land Tjiomas diketahui telah dimiliki oleh
Munnick. Sedangkan land Dramaga atau land Sindangbarang diketahui sejak 1812 telah dimiliki
oleh Gerrit Willem Casimir van Motman.  

Land Tjiomas dimiliki oleh Munnick. Dalam perkembangan lebih lanjut land Tjiomas diketahui
dimiliki oleh JWL de Sturler. Di land Tjiomas kemudian JWL de Sturler diketahui telah
mendirikan Cultuur Maatschappij Tjiomas yang keberadaanya sudah diketahui pada tahun
1867.  Pada tahun 1878 putri JWL de Sturler bernama Jeanne Wilhemina Augusta de Sturler
meninkah dengan putra WFE Rudolph yang bernama Willem Theodoor Eduard Rudolph (lihat
Bataviaasch handelsblad, 16-01-1878). Setahun kemudian putri JWL de Sturler yang bernama
FW de Sturler menikah dengan EPC Sol (lihat Bataviaasch handelsblad, 26-03-1879).

Kerusuhan di Land Tjiomas, 1886


Tanah partikelir (land) adalah negara (Tjiomas) dalam negara (Hindia Belanda). Pemilik land
(landheer) adalah penguasa di dalam land, menguasai seluruh lahan dan isinya baik yang berada
di bawah pemukaan maupun yang berada di atas permukaan tanah. Dalam hal ini penduduk yang
tinggal di dalam land juga termasuk. Meski demikian, perjanjiannya, tetapi juga ada batasan
tertentu bagi pemilik land yang harus dipatuhi. Salah satunya adalah aturan yang terkait dengan
pengelolaan penduduk.

Peta 1854

Hak dan kewajiban pemilik land (yang berlaku sejak era VOC) diantaranya hak memungut pajak
(retribusi) setiap pengusahaan lahan oleh penduduk dengan mengenakan tingkat retribusi tertentu
untuk lahan sawah, kebun dan ladang/hutan. Hak lainnya adalah layanan penduduk untuk kerja
rodi bagi penduduk usia 17 tahun ke atas selama 56 hari dalam setahun baik untuk tujuan
pembangunan jalan dan jembatan maupun keperluan bagi pemilik land. Kepemilikan ternak juga
dikenakan retribusi. Hak lainnya bagi pemilik land adalah membentuk pemerintahan sendiri
dengan mengangkat pemimpin lokal sebagai mandor, polisi atau camat dan mempekerjakannya
untuk memungut retribusi dan menjaga kondisi ketertiban dan keamanan. Sementara itu pemilik
land memiliki kewajiban untuk membayar pajak (verponding) kepada pemerintah dengan tingkat
tertetntu yang ditetapkan oleh suatu komisi. Kewajiban lainya adalah untuk berpartisipasi
mendukung pembangunan regional dalam pembangunan jalan dan jembatan serta perawatannya
di sekitar land, serta memiliki kewajiban sekunder untuk meningkatkan kesejahteraan penduduk
baik di bidang ekonomi, maupun peningkatan kesehatan dan pengembangan pendidikan. Pemilik
land dalam hal ini dapat menjual land maupun menyewakan kepada pihak ketiga (investor
lainnya). Peta 1854

Land Tjiomas dibagi ke dalam 11 kemandoran, yakni: Tjiomas, Sawah, Kota Batoe, Tjiloebang,
Tjiapoes, Petir, Pasir Angsana, Gadok, Boeniaga, Pasir Eurih dan Kabandoengan (lihat peta
Land Tjiomas, 1910). Kemandoran terdiri dari sejumlah kampong yang berdekatan. Kemandoran
adalah unit terkecil pemerintahan di dalam land yang setingkat dengan desa di tanah-tanah
pemerintah (non-land). Kemandoran ini memiliki dewan yang terdiri dari mandor dengan wakil
atau asistennya dan seorang amil atau penghoeloe. Sementara itu, kepala kampung yang juga
merangkap sebagai seorang polisi dibayar oleh pemilik land. Semua polisi (kepala kampong)
berada di bawah seorang Tjamat yang dibantu oleh dua asisten yang secara keseluruhan  berada
di bawah perintah Asisten Residen (Buitenzorg). Tjamat juga memiliki sejumlah polisi yang
membantu dan mengarahkan kepala kampong dalam menjaga keamanan dan ketertiban.
Sedangkan untuk petugas pemungut sewa dan retribusi dilakukan oleh 13 orang pedagang
Tionghoa yang pekerjaan utamanya sebagai pedagang keliling. Para pemungut sewa dan retribusi
ini diberi imbalan oleh pemilik land sebesar f1 hingga f4 tergantung sebaran dan luasnya tempat
pemukiman penduduk (lihat R. Broersma. Particuliere landerijen in West-Java. Weltevreden :
Albrecht, 1917). Nama-nama kampong yang namanya terus eksis hingga sekarang antara lain:
Kota Batoe (paling tidak namanya sudah diberitakan tahun 1854); Tjibalagoeng dan Empang
(1856); Tjikaret (1858).   

Pada tanggal 19 dan puncaknya pada tanggal 20 Mei 1886 terjadi kerusuhan di land Tjiomas
yang berimbas ke ibu kota (afdeeling) di Buitenzorg. Sebelum terjadi kerusuhan, tiga bulan
sebelumnya pada bulan Februari, Tjamat land Tjiomas terbunuh. Lalu setelah kerusuhan
sejumlah pemimpin penduduk ditangkap dan banyak yang terbunuh. Kerusuhan ini kemudian
dapat dipadamkan setelah pemerintah mengirimkan bantuan militer. Kerusuhan di land Tjiomas
sedikit banyak telah mengganggu keamanan regional yang dikhawatirkan meluas ke seluruh
wilayah. Dalam hal ini, pemilik land telah memicu munculnya kerusuhan (pemberontakan) dan
pemerintah harus memulihkannya. Dalam kaitan inilah hubungan land (negara) dengan
pemerintah (negara) Hindia Belanda terlihat nyata dalam praktek dimana land adalah negara
dalam negara.

Pada tanggal 20 dan puncaknya pada tanggal 21 Mei 1886 terjadi kerusuhan di land Tjiomas
yang berimbas ke ibu kota (afdeeling) di Buitenzorg. Sejumlah pemimpin penduduk ditangkap
dan terbunuh. Kerusuhan ini kemudian dapat dipadamkan setelah pemerintah mengrimkan
bantuan militer. Kerusuhan di land Tjiomas sedikit banyak telah mengganggu keamanan regional
yang dikhawatirkan meluas ke seluruh wilayah. Dalam hal ini, pemilik land telah memicu
munculnya kerusuhan (pemberontakan) dan pemerintah harus memulihkannya. Dalam kaitan
inilah hubungan land (negara) dengan pemerintah (negara) Hindia Belanda terlihat nyata dalam
praktek dimana land adalah negara dalam negara.

Setelah dilakukan penyelidikan yang cermat oleh pemerintah Hindia Belanda ditemukan indikasi
bahwa munculnya kerusuhan di land Tjiomas sebagai akibat salah mengelola yang dilakukan
oleh administrateur land Tjiiomas. Kebetulan saat itu yang mengelola land Tjiomas adalah anak
dan menantu JWL de Sturler. Dua orang ini kemudian diadili melalui proses pengadilan yang
mana keduanya dianggap telah melakukan kesalahan. Kesalahan yang dilakukan oleh kedua
administrateur land Tjiomas tersebut menyangkut ketidakadilan dalam soal retribusi dan masalah
rodi yang menimbulkan keresahan diantara penduduk yang pada gilirannya muncul protes
(pemberontakan) dan akhirnya terjadi kerusuhan.
Peta 1924

Kesalahan pengelolaan land sesungguhnya tidak hanya terjadi di land Tjiomas tetapi juga di
sejumlah land lainnya seperti mewajibkan rodi bagi penduduk usia di bawah 17 tahun. Hanya
saja di land Tjiomas terjadi kerusuhan. Dalam kasus kerusuhan ini di dalam proses pengadilan,
para administrateur Land Tjiomas dan pembelanya menuduh ada gerakan Islam yang
mendalanginya. Namun semua itu di dalam penyelidikan tidak terbukti. Sebaliknya, di land
tetangga, land Dramaga yang dikelola oleh keluarga van Motman selama ini cukup tenang dan
nyaris tidak ditemukan gesekan-gesekan. Malah sebaliknya pengelolaan land Dramaga kerap
dijadikan sebagai contoh pengelolaan land yang humanis. Pengelola (administrateur) land
Dramaga cukup dekat dengan penduduk, para pengelola respek jika terjadi kesusahan bagi
penduduk; para pengelola juga menerapkan kebijakan retribusi sesuai situasi dan kondisi yang
dihadapi oleh penduduk; pekerjaan rodi di land Dramaga hanya dikenakan 30 hari dari maksimal
56 hari yang ditetapkan oleh pemerintah; para pengelola juga memberikan alternatif bagi
penduduk jika tidak bisa rodi dapat membayar dengan uang senilai f2.5. Hal lain yang diterapkan
oleh pengelola land Dramaga adalah bahwa margin keuntungan transaksi dagang dengan
penduduk tidak terlalu besar. Land Tjiomas, meski bertetangga, merupakan salah satu land yang
tidak pernah terkait dengan keluarga van Motman apakah dalam status kepemilikan maupun
status penyewaan land Tjiomas.    

Kerusuhan di land Tjiomas pada tahun 1885 adalah kasus khusus yang pernah terjadi di
Afdeeling Buitenzorg. Setelah kerusuhan diketahui yang menjadi pemilik maupun administrateur
tetap di tangan keluarga JWL de Sturler. Pada tahun 1905 land Tjiomas diketahui tetap dikuasai
oleh keluarga JWL de Sturler.
Ny. JWL de Sturler di landhuis Tjiomas (1905)
Kelak satu kasus yang muncul serupa di land Tjiomas adalah keresahan yang dialami oleh
penduduk penyewa di land Ragoenan (Afdeeling Meester Cornelis). Kejadian itu terjadi pada
tahun 1917. Para petani penggarap melakukan demonstrasi ke dewan di Meester Cornelis. Akibat
adanya kesalahan mengelola di land Ragoenan, akhirnya pemerintah pada tahun 1918
mengakuisisi land Ragoenan. Pada tahun 1926 sebanyak 10 land diakusisi oleh pemerintah tetapi
tujuannya lebih pada uapaya pengembangan kota atau wilayah urban. Diantara 10 land ini
termasuk land Djasinga (ibu kota district Djasinga). Pembelian land Djasinga ini mirip dengan
yang dilakukan seabad sebelumnya pada era Gubernur Jenderal Daendels (1808-1811) yang
mana pemerintah membeli land Weltevreden untuk dijadikan sebagai ibu kota (stad) pemerintah
dan juga membeli land Bloeboer untuk dijadikan sebagai ibu kota Afdeeling Buitenzorg. 

Land Tjiomas, Land Subur Berkah Letusan Gunung Salak

Sebelum ada aktivitas orang Eropa/Belanda di hulu sungai Tjiliwong, pada tahun 1699 terjadi
gempa bumi yang dahsyat disebabkan oleh meletusnya gunung Salak. Properti VOC/Belanda di
hulu sungai Tjiliwong baru sebatas sebuah benteng yang dibuat pada tahun 1687 (ketika tim
ekspedisi VOC dikirim ke hulu sungai Tjiliwong yang dipimpin oleh sersan Scipio). Benteng itu
menjadi cikal bakal dimana kelak dibangun Istana Bogor (yang sekarang). Semburan bahan
batuan dan lumpur/debu vulkanik ini menyebarkan ke area sekitar. Debu vulkanik ini yang
menjadi satu faktor penting mengapa land Tjiomas begitu subur, namun menjadi sulit diolah
karena banyaknya ditemukan krikil di atas permukaan tanah. Lahan Tjiomas memiliki lempung
(tanah liat/silikat) yang sangat signifikan. Sungai-sungai yang banyak cenderung berbatu dan
berpasir.

Ada perbedaan hasil analisis apakah gunung Salak meletus atau hanya sekadar gempa besar.
Berdasarkan catatan Daghregister, catatan harian Kasteel Batavia pada hari kejadian
menyebutkan ada suara gemuruh besar di selatan dan tanah bergoyang keras sehingga orang di
jalanan yang tengah jalan berjatuhan. Catatan Daghregister juga mengundikasikan bahwa sungai
Tjiliwong begitu terlihat kotoran membawa sampah dari pedalaman. Namun dalam catatan
Dagregister tidak ditemukan terminologi letusan vulkanik. Sementara dari catatan orang Inggris,
menyebutkan suatu ekspedisi dikirim dari Tangerang untuk memeriksa ke hulu sungai
Tangerang/sungai Tjisadane karena gemuruh dan gempa yang mana sungai Tangerang membawa
lumpur dan batang-batang pohon dari hulu. Tim ekspedisi ini membutuhkan 19 hari pergi-pulang
dan menyatakan bahwa semua permukaan tanah tertutup lumpur di wilayah hulu sungai.
Keterangan-keterangan tentang letusan gunung Salak ini tampaknya bersesuaian dengan satu
setengah abad kemudian tentang kondisi lahan yang ditemukan di land Tjiomas oleh pemilik
land, tanah berlempung, banyak batu krikil di atas permukaan, sungai-singai yang banyak yang
berbatu dan berpasir.

Kesesuaian lahan land Tjiomas (kesuburan dan altitid) pada tahun 1868 dintorduksi tanaman
kina dan hasilnya dilaporkan cukup memuaskan (lihat Java-bode: nieuws, handels- en
advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 28-10-1868).

Java-bode voor Nederlandsch-Indie, 12-05-1871


Pada awal pembentukan land Tjiomas (era VOC) usaha pertanian yang dilakukan oleh pemilik
adalah pertanian tebu untuk menghasilkan gulu. Dalam perkembangannya diintroduksi tanaman
kopi. Usaha pertanian kopi terus eksis cukup lama dan pada pasca pendudukan Inggris, tanaman
kopi mulai dikombinasikan dengan tanaman teh. Introduksi terakhir adalah tanaman kina. Pada
tahun 1871 pemilik land Tjiomas diketahui terus meningkatkan produktivtas tanaman kopi. Ini
dapat dilihat pada sebuah iklan yang membutuhkan seorang pengawas yang benar-benar piawai
dengan Koffiekultnur dan persiapan serta dengan kegiatan yang bersifat administrasi. Kandidat
pengawas yang diinginkan JWE de Sturler adalah orang yang mampu berbahasa Soenda (lihat
Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 12-05-1871).

Selain tanaman perkebunan yang diintroduksi oleh pemilik land Tjiomas, penduduk sudah sejak
lama mengusahakan pertanian sawah untuk menghasilkan beras, tanaman hortikultura dan
tanaman sayur-sayuran. Posisi land Tjiomas yang berdekatan dengan kota (Buitenzorg), produk
buah-buahan dan sayur-sayuran membanjiri kota Buitenzorg setiap harinya. Dalam hal ini, land
Tjiomas memiliki keunggulan komparitif dibandingkan dengan land-land lainnya karena faktor
kesuburan (yang dilengkapi dengan banyaknya sumber air) dan faktor market. Faktor inilah yang
diduga mengapa keluarga de Sturler terus mempertahankan land Tjiomas sebagai usaha keluarga.
Ny de Sturler (JF Dinger) dan dua putrinya, 1905
Setali tiga uang, land Dramaga yang dikuasai secara terus menerus oleh keluarga van Motman
diduga karena faktor alamiah (kesuburan dan ketersediaan air) dan faktor market. Pada tahun
1850an sudah banyak land di Residentie Batavia yang ditinggalkan oleh keluarga Eropa/Belanda
dan satu per satu jatuh ke tangan orang-orang Tionghoa. Akan tetapi tidak demikian dengan land
Tjiomas dan land Dramaga. Land Tjiomas (dan land Dramaga) secara turun temurun diusahakan
oleh keluarga yang sama. Foto-foto disamping ini adalah Ny de Sturler (JF Dinger) dan dua
putrinya (Ny Rudolph dan Ny Sol), 1905

Sebagai pengusaha, JWE de Sturler ingin memaksimalkan potensi yang dimiliki land Tjiomas
dengan menyewakan tempat pemandian Kota Batoe (lihat Bataviaasch handelsblad, 15-12-
1871). Tampaknya de Sturler ingin menyemarakkan Kota Batoe sebagai tempat rekreasi dan
tujuan wisatawan. Sebab sebelumnya di Kota Batoe sudah tersedia losmen. Keberadaan losmen
di Kota Batoe paling tidak sudah diberitakan pada tahun 1853 (lihat (lihat Java-bode: nieuws,
handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 21-05-1853).

Bataviaasch handelsblad, 15-12-1871


Di Buitenzorg  sendiri diketahui sudah ada Hotel Bellevue. Hotel ini pada tahun 1853
diberitakan telah diakusisi oleh W. Hamstra (lihat Java-bode: nieuws, handels- en
advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 05-01-1853). Hotel ini adalah hotel pertama di
Buitenzorg. Pada tahun 1920 beralih kepemilikan dan masih eksis hingga tahun 1932 sebelum
ditutup selamanya. Hal ini karena pemilik yang sama telah mengakuisisi hotel Salak. Lokasi
Hotel Bellevue (view gunung Salak) tepat berada dimana terdapat Bioskop Ramayana tempo
hari. Hotel Salak yang dibangun tahun 1920 masih eksis hingga ini hari.    

Perkebunan kina di land Tjiomas makin lama makin meluas. JWE de Sturler bahkan telah
mengiklankan di surat kabar (lihat Java-bode : nieuws, handels- en advertentieblad voor
Nederlandsch-Indie, 04-01-1875). Jumlah pohon kini di land Tjiomas sudah mencapai 60.000
batang (lihat Java-bode : nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 03-05-
1875). Jumlah ini belum termasuk yang masih berada di dalam pembibitan, yang jumlahnya
lebih banyak dari sudah ditanam. Tanaman kina di land Tjiomas kini sudah bersaing dengan
tanaman kopi. Produksi kina Tjiomas sudah dipasarkan di apotik-apotik di Batavia.

De locomotief, 26-08-1875
Pada bulan Juli di Buitenzorg dibentuk masyarakat pertanian dan peternakan (Maatschappij van
Landbouw en Veeteelt). Sebagai ketua diangkat JWE de Sturler dan sebagai sekretaris Wigman
dari kebun raya (lihat De locomotief : Samarangsch handels- en advertentie-blad, 26-08-1875).
Disebutkan sudah ada sebanyak 33 orang anggota. Organisasi akan melaksanakan pameran
setiap tahun. Boleh jadi ide pembentukan masyarakat pertanian dan peternakan di Buitenzorg ini
dibentuk karena kerap dilakukan kontes ternah besar. Kontes ini kali pertama diberitakan pada
tahun 1870 (lihat Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 22-
08-1870). Sementara itu belum lama ini di Batavia dilakukan pameran pertanian dimana Sturler
ikut berpartisipasi sebagai peserta pameran.

Johan Wilhelm Eduard (JWE) de Sturler boleh dikatakan sebagai pelopor masyarakat pertanian
dan peternakan di Hindia. JWE de Sturler yang juga pelopor tanaman kina di Buitenzorg
namanya cukup dikenal di seputar (residentei) Batavia. JWE de Sturler juga sukses mengelola
land Tjiomas. Untuk sekadar catatan jumlah penduduk di land Tjiomas pada tahun 1876
sebanyak 13.704 jiwa (lihat Bataviaasch handelsblad, 06-11-1876).

JWE de Sturler  juga adalah seorang pembelajar dan inovatif. Introduksi tnaman kina di land
Tjiomas awalnya sempat dicela oleh orang tetapi kemudian karena mengelolanya tekun akhirnya
berhasil mendapat perhatian pasar di Eropa/Belanda. Nama KF Holle (di Preanger)  dan Sturler
(di Buitenzorg) menjadi nama yang kerap disebut dalam pengembangan perkebunan kina. JWE
de Sturler juga menginisiasi pembentukan masyarakat pertanian dan peternakan. Ikut dalam
pameran dan telah memberikan sumbangan yang berarti dalam koleksi sekolah pertanian di
Wageningen. Tidak hanya itu, ternyatra JWE de Sturler juga, meski sudah tua (sudah punya
cucu) masih kuliah di sekolah pertanian di Wageningen. Pada bulan Juli 1882 diketahui JWE de
Sturler naik kelas ke kelas dua di sekolah pertanian di Wageningen (lihat Java-bode : nieuws,
handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 25-08-1882).Yang satu kelas bersamanya
diantaranya HP Tiedeman yang diketahui sebagai asisten direktur kebun raya di
Buitenzorg.Yang naik ke kelas tiga diantaranya adalah EL van Limburg Stirum. Sedangkan yang
dinyatakan lulus adalah A Doijer dari Soerabaija dan GWC Goedhardt dari Samarang.

Pada bulan Desember 1882 di Buitenzorg dilakukan rapat Masyarakat Balap Buitenzorgsche
yang mana direncanakan pada bulan September 1883 akan diadakan pameran besar yang
meliputi bunga, tanaman hias, produk dan peralatan pertanian, kuda, ternak dan unggas,
bersamaan dengan perlombaan yang akan diadakan pada bulan September 1883 (lihat Java-bode:
nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 20-12-1882). Ini mengindikasikan
untuk kali pertana acara hiburan race yang sudah ada sejak 1860an dikombinasikan dengan hal
yang terkait dengan pengembangan pertanian. Selama ini pameran pertanian hanya diadakan di
Batavia. Dalam kepanitiaan ini turut serta JWE de Sturler dan para pimpinan dari kebun raya
(Dr. JCCW van Nooten, sekretaris kebun raya; Dr. M Treub, direktur kebun raya, HJ Wigman,
asisten hortikultura kebun raya). Satu yang penting kemudian bahwa JWE de Sturler dan
terunannya baik laki-laki atau perempuan bukan lagi warga biasa, tetapi telah menjadi bagian
dari bangsawan Kerajaan Belanda.

Berdasarkan Keputusan Kerajaan Belanda tanggal 12 Februari 1884, JWE de Sturler dan
terunannya baik laki-laki atau perempuan yang sah diangkat menjadi bangsawan (lihat
Nederlandsche staatscourant,22-02-1884). Apa sebab yang menjadi diangkat menjadi bangsawan
tidak diketahui secara jelas. Namun jika dilihat track-recordnya besar kemungkinan karena JWE
de Sturler terbilang sangat aktif dalam pengembangan pertanian di Hindia khususnya di land
Tjiomas.  JWE de Sturler juga telah mendapat sertifikat der derde klasse zilver medaille Calcutta
International Exhiition 1883-1884 karena keberhasilan perkebunan kina, yang menjadi salah satu
kebanggaan warga Belanda di dalam eksibisi tersebut (lihat De locomotief : Samarangsch
handels- en advertentie-blad, 10-11-1884).

Seperti yang telah disebut di atas, pada tahun 1886 terjadi kerusuhan di land Tjiomas yang mana
dalam kerusuhan tersebut anak dan menantu JWE de Sturler dinyatakan bersalah. Lantas apa
yang menyebabkan anak dan menantu JWE de Sturler dinyatakan bersalah tidak dijelaskan
secara terperinci/ Lantas apakah anak dan menantu ini telah menyalahgunakan posisi keluarga
atau hanya sekadar kesalahan dalam mengelola dan pengadministrasian land Tjiomas? Kasus di
land Tjiomas ini sudah menjadi isu pada tahun 1885 sebagaimana ditemukan dalam surat kabar
Java-bode : nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 22-04-1885.

Keberadaan Bunker di Kampong Pegelaran, Ciomas: Suatu Analisis

Dua tahun lalu (2017), di desa Pagelaran, kecamatan Ciomas, tepatnya di area Pesantren Al
Fatah di kampung Kreteg ditemukan sebuah bunker (lorong bawah tanah). Lantas apakah ada
kaitan keberadaan bunker ini dengan kerusuhan yang terjadi di land Tjiomas pada tahun 1887.
Tentu saja untuk membuktikan adanya relasi tersebut diperlukan penggalian data. Dalam berita
yang muncul pada tahun 2017 seorang nara sumber menyebutkan bahwa di area ditemukan
bunker tersebut dulunya terdapat sebuah penggilingan padi.
Penggilingan padi di land Tjiomas (Peta 1900)
Pada masa ini area Pesantren Al Fatah di kampong Kreteg, desa Pagelaran tempat ditemukan
bunker, berdasarkan Peta 1900 teidentifikasi sebuah penggilingan padi (rijstpelmolen). Posisi
GPS penggilangan padi ini tampaknya sesuai dengan area pondok pesantren. Namun yang
teridentifikasi jalan (kendaraan kereta kuda) dari landhuis Tjiomas di sekitar tanjakan jembatan
Tjisadane hanya sampai ke tempat penggilingan padi di kampong Kretek. Penempatan
penggilingan padi di kampong Kretek boleh jadi karena merupakan area persawahan yang luas
ke arah selatan maupun ke arah barat kampong Kretek. Satu lagi penggilingan padi di land
Tjiomas berada di dekat landhuis Tjiomas (di sisi jalan raya tanjakan).

Lantas kapan dibuatnya bunker di area penggilingan padi di land Tjiomas? Apakah bunker ini
dibuat pada era Pemerintah Hindia Belanda, atau jauh sebelumnya pada era VOC, atau apakah
bunker itu dibuat pada era pendudukan militer Jepang? Pertanyaan ini tentu saja sulit diketahui.
Hal ini karena pembuatan bunker tampaknya bersifat rahasia dan selalu dirahasiakan. Lalu
pertanyaan berikutnya untuk kerperluan apa bunker dibuat? Sudah barang tentu untuk kebutuhan
pertahanan (persembunyian), tetapi juga dapat digunakan untuk tempat penyimpanan padi/beras.

Peta 1880

Berdasarkan Peta 1880 di kampong Kretek belum ada penggilingan padi. Di land Tjiomas
penggilingan padi hanya terdapat di kampong Pasir Koeda. Dalam perkembangannya, seperti
tampak pada Peta 1900 penggilingan padi tidak hanya terdapat di Pasir Koeda tetapi juga
diidentifikasi di dekat landhuis dan di kampong Kretek. Penggilingan padi di kampong Kretek
tampaknya penggilingan padi menggunakan kincir air (menggunakan aliran sungai Tjikretek.
Lantas apakah bunker ini awalnya sebagai saluran pembuangan kincir air penggerak
penggilingan padi?

Apakah ada relasi pembangunan bunker dengan kejadian-kejadian sebelum kerusuhan di land
Tjiomas pada tahun 1885, Tampaknya sangat kecil kemungkinan. Sebab penggilingan padi pada
tahun belum ada di kampong Kretek (baru ada di kampong Pasir Koeda). Pada tahun-tahun
kerusuhan, kebutuhan bunker untuk pertahanan kemungkinannnya sangat kecil, karena kekuatan
militer Belanda sudah cukup kuat saat itu di kota Buitenzorg. Jika hanya untuk membangun
bunker, mengapa harus sejauh itu ke kampong Kretek (perkampungan penduduk), lokasi yang
keberadaannya jauh dari landhuis. Lagi pula di kampong Kretek properti landhuis Tjiomas hanya
sebatas penggilingan padi (properti pemilik land terdapat di sekitar landhuis).

Kemungkinan dibuatnya bunker itu dilakukan pada era pendudukan Jepang. Militer Jepang
sangat jamak membuat bunker-bunker di berbagai tempat. Selama penduduk militer Jepang,
kesatuan militer Jepang sangat kuat di Bogor. Oleh karena itu mereka tidak memerlukan bunker
untuk persembunyian, Lagi pula, dengan melihat struktur bangunan, bunker di Tjiomas ini
terbilang bunker kecil. Satu-satunya alasan militer Jepang membangun bunker di Tjiomas hanya
untuk kebutuhan untuk ruang tahanan (penjara) bawah tanah. Sebagaimana diketahui selama
penduduk Jepang, penjara yang digunakan militer Jepang hanya penjara Paledang (penjara
warisan Belanda). Dalam hal ini, militer Jepang membuat bunker di Tjiomas dengan
memodifikasi saluran pembuangan air kincir penggerak penggilingan padi peninggalan pemilik
land Tjiomas. Jawaban ini tentu saja kurang memuaskan, sebab tidak perlu jauh-jauh ke Tjiomas
hanya untuk sekadar membuat penjara bawah tanah. Itu bisa dilakukan militer Jepang di bawah
penjara Paledang.

Satu-satunya informasi masa lalu yang dapat menjadi petunjuk adalah suatu informasi yang
dapat dibaca pada surat pembaca yang mengomentari artikel CHF Riesz tentang over de
aanhangige Tjiomasquaestio en den Assistent Resident van Buitenzorg pada surat kabar Java-
bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 08-06-1885. Dalam surat
pembaca disebutkan bahwa perlu investigasi besar-besaran di Tjiomas yang diduga dikaitkan
dengan tingginya cukai yang diterapkan. Juga di dalam surat pembaca ini terindikasi adanya
gudang selama lima puluh tahun ini di selatan land, tempat dimana cukai (padi) dikumpulkan.
Namun tahun ini tempat pengumpulan cukai tersebut untuk kali pertama harus dibawa ke
Kedong Halang yang jaraknya sekitar 15 pal.

Jika menghitung mundur lima puluh tahun dari tahun 1885 itu berarti keberadaan gudang di
selatan land sudah ada sekitar tahun 1835. Lantas mengapa gudang ini tidak dimanfaatkan lagi
dan mengapa harus ke Kedong Halang? Surat pembaca itu juga menyatakan belum lama ini ada
upaya pembunuhan di Kedong Halang. Apakah ada relasi orang yang diduga dibunuh lalu
disembunyikan di dalam gudang di selatan land? Lalu gudang itu ditutup selamanya?  

Dalam berita lain disebutkan bahwa administrateur land Tjiomas adalah Sol. Sebagaimana
diketahui menantu pemilik land Tjiomas adalah EPC Sol. Boleh jadi dalam hal ini JWE de
Sturler tidak tahu apa-apa soal karena belakangan ini JWE de Sturler lebih sibuk dalam hal
pengembangan pertanian secara umum. Dalam perkembangannya di land Tjiomas muncul
perselisihan antara penduduk dan mandor yang berakhir dengan terbunuhnya Tjamat.

Perselisihan ini awalnya seorang penduduk dengan alasan tertentu meminta tidak ikut kerja rodi
tetapi digantikan orang lain, Namun mandor tidak menolak dan meminta tidak bisa diwakili.
Lalu kemudian terjadi kejadian dimana Tjamat terbunuh. Untuk mengatasinya dikirim setengah
kompi militer (lihat Soerabaijasch handelsblad, 01-03-1886). Berita lain disebutkan bahwa
Asisten Residen Buitenzorg telah dipecat karena kasus ini (lihat Soerabaijasch handelsblad, 01-
03-1886). Pembunuh Tjamat di Tjiomas telah ditembak tentara (lihat Soerabaijasch handelsblad,
06-03-1886). Mangapa Asisten Residen dicopot? Ada dugaan bahwa Asisten Residen tidak cepat
merespon karena sang Tjamat selama ini dibenci oleh penduduk dan tidak dilakukan tindakan
(lihat Soerabaijasch handelsblad, 12-03-1886).

Pertanyaan berikutnya adalah apakah militer dalam hal ini telah melakukan tindakan kekerasan
kepada penduduk? Apakah para pemberontak yang ditangkap lalu dijebloskan ke dalam gudang
di selatan land? Seperti disebutkan di atas, ketegangan di land Tjiomas tidak berhenti sampai
disitu tetapi kemudian terjadi kerusuhan kembali pada tanggal 19 dimana kelompok
pemberontak yang terdiri dari 50 orang menyerang pesta bumi di kampong Gadok land Tjiomas
dan hari esoknya tanggal 20 Mei 1886 pemerintah yang dibantu satuan militer bentrok dengan
500 orang pemberontak di perbatasan land Tjiomas dan land Tjiampea yang mana terbunuh
sebanyak 41 orang dan sembilan orang terluka parah yang semuanya diidentifikasi sebagai
penduduk Tjiomas.

Semua perkara-perkara ini telah diselidiki dan telah diberitakan di surat kabar, namun ada satu
yang tetap misteri, yakni soal gudang. Apakah gudang ini pada masa ini yang diduga sebagai
sebuah bunker? Suatu bekas gudang yang dijadikan sebagai penjara bawah tanah di land
Tjiomas?

Demikianlah sejarah singkat Ciomas, suatu land di masa lampau dimana di satu sisi terbentuk
pertanian yang maju, tetapi di sisi lain begitu tingginya tekanan yang harus dihadapi oleh
penduduk. Tekanan penduduk yang berlebih nmenjadi sebab munculnya kerusuhan di land
Tjiomas.

*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak
1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-
1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis,
Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat
tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau
waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi
ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia.
Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or
perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

Anda mungkin juga menyukai