#Analisis Semiotika Roland Barthes Pada Ritual Otonan Di Bali
#Analisis Semiotika Roland Barthes Pada Ritual Otonan Di Bali
ABSTRAK
Indonesia yang terdiri dari banyaknya pulau, kepulauan, serta provinsi, membuat negara ini
memiliki berbagai macam budaya yang tentu saja berbeda satu dengan yang lainnya. Salah
satu contohnya adalah Bali, yang terkenal dengan daerah wisatanya yang menarik serta
budayanya yang sangat kental. Hingga saat ini, masyarakat di Bali masih memegang teguh
kebudayaan mereka, khususnya bagi masyarakat Bali yang beragama Hindu. Ada banyak
ritual keagamaan yang erat dengan budaya Bali yang saat ini masih dipegang teguh dan
bahkan masih dilaksanakan oleh masyarakatnya. Salah satu contohya adalah ritual Otonan,
yaitu perayaan hari kelahiran dalam adat Bali. Hal yang menarik dari Otonan ini adalah
bahwa di era globalisasi seperti sekarang ini, saat masyarakat lebih mengadopsi budaya barat,
ternyata masih ada masyarakat yang tetap memegang teguh budaya serta kewajiban
agamanya. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan analisis semiotika dari
Roland Barthes. Tujua dari penelitian ini adalah untuk menganalisis makna denotative,
konotatif, serta mitos dan ideologi dalam ritual Otonan. Berdasarkan hasil penelitian, ditarik
kesimpulan pemaknaan denotatif pada prosesi Mebyakaonan ritual Otonan yaitu berupa
serangkaian kegiatan dalam Mebyakaonan ritual Otonan, di mana visual ditandai dengan
gestur, pakaian, dan warna, verbal ditandai dengan doa-doa, dan audio ditandai dengan bunyi
lonceng. Terdapat pemaknaan konotasi yang erat dengan ajaran agama Hindu seperti ajaran
Tri Murti, Sad Ripu, makna air tirtha, dll, serta berbagai mitos dan ideologi seperti hierofani,
ungkapan religius kolektif, religiusitas, serta agama sebagai sistem budaya.
Kata kunci: Semiotika, Roland Barthes, Ritual, Bali
ABSTRACT
Indonesia consists of many islands and provinces, making the country had a wide range of
cultures which is of course different from one another. For example, Bali. Bali have been
well-known by its interesting tourism destinations and also its timeless culture. Until these
days, the Balinese still holding their culture, especially for the Hindu Balinese. There are so
many religious ritual that close to Balinese culture are still being held by them. One of the
ritual is Otonan. Otonan is a birth-day celebration in Balinese culture. The interesting thing
from Otonan is that in this globalization era, when the public is adopting western culture,
evidently there are still people who hold their culture and their religious responsibilities. This
research uses qualitative method with semiotics analysis by Roland Barthes. The purpose of
this research is to find out the denotative, connotative, and also the myth and ideology in
Otonan ritual. Based upon the result of the research, the conclusion is that the denotative in
Mebyakaonan of Otonan ritual is in the form of Mebyakaonan in Otonan ritual. The visual
signs are the gestures, clothes, and colors, the verbal sign is the prayer or the invocations for
each steps (Mebyakaonan and Meprayascitta), and the audio sign is the bell sound. The
connotative is related Hinduism theory such as Tri Murti, Sad Ripu, the meaning of tirtha,
etc, and also the myths and ideologies such as hierofani, collective religious expression,
religiosity, and religion as a culture system.
Keywords: Semiotics, Roland Barthes, Ritual, Bali
Korespondensi: Putu Krisdiana Nara Kusuma. Universitas Telkom. Jl. Telekomunikasi, Jl. Terusan
Buah Batu No.01, Dayeuhkolot, Bandung, Jawa Barat 40257. Email: krisdiananara@gmail.com
dari visual, verbal, serta didukung oleh khususnya bagi masyarakat Bali yang
keberadaan audio tentunya akan lebih mudah beragama Hindu. Ada banyak ritual
dalam penyampaian pesan serta menciptakan keagamaan yang erat dengan budaya Bali
sebuah suasana tersendiri. yang saat ini masih dipegang teguh dan
Cara berpikir, ide bahkan harapan yang bahkan masih dilaksanakan oleh
dihubungkan dengan cara berpikir masyarakatnya. Salah satu contohya adalah
merupakan simbol dalam berkomunikasi. upacara Otonan, yaitu perayaan hari
Selain itu norma dan cara pandang di dalam kelahiran dalam adat Bali. Otonan berasal
masyarakat juga merupakan sebuah simbol dari kata “wetu” yang berarti lahir.
(Novianti, 2014:162). Kemudian kata ini menjadi “pawetuan” yang
Semiotika, sebagaimana dijelaskan oleh dapat ditafsirkan sebagai kelahiran. Kata
Ferdinand de Saussure dalam Course in pawetuan berubah menjadi kata “paweton”,
General Linguistics, adalah “ilmu yang dan akhirnya menjadi kata oton atau otonan
mempelajari peran tanda sebagai bagian dari yang berarti hari kelahiran (Sumber:
kehidupan sosial. Semiotika adalah ilmu http://catatanbiodatadiri.blogspot.co.id/2013/1
yang mempelajari struktur, jenis, tipologi, 2/lunturnya-tradisi-budaya-otonan.html diakses
serta relasi-relasi tanda dalam pada tanggal 23 Agustus 2016, pukul 19.50
penggunaannya di dalam masyarakat WIB). Otonan merupakan peringatan hari
(Piliang, 2012:47). Ada sejumlah bidang kelahiran bagi umat Hindu di Bali
terapan semiotika. Dalam artian, semiotika berdasarkan satu tahun Wuku. Jatuhnya
dapat digunakan untuk banyak bidang otonan akan sama dengan Sapta Wara, Panca
terapan yang tidak terbatas, mulai dari Wara dan Wuku yang sama. Artinya, otonan
pemberitaan media massa, komunikasi akan diperingati pada hari yang sama dan
periklanan, tanda-tanda nonverbal, film, dirayakan setiap enam bulan sekali.
komik-kartun, sastra, musik, hingga budaya. Otonan diperingati sebagai hari kelahiran
Indonesia yang terdiri dari banyaknya dengan melaksanakan upakara yadnya
pulau, kepulauan, serta provinsi, membuat (upacara adat yang merupakan persembahan
negara ini memiliki berbagai macam budaya secara ikhlas) kecil dan biasanya dipimpin
yang tentu saja berbeda satu dengan yang oleh orang yang dituakan atau bila upakara-
lainnya. Salah satu contohnya adalah Bali, nya lebih besar dipimpin oleh pemangku
yang terkenal dengan daerah wisatanya yang (pendeta). Umumnya, Otonan diperingati
menarik serta budayanya yang sangat kental. selama seseorang masih hidup, artinya
Hingga saat ini, masyarakat di Bali masih meskipun seseorang itu sudah tua, tetap saja
memegang teguh kebudayaan mereka, ia memperingati Otonan. Otonan merupakan
Jurnal Manajemen Komunikasi, Volume 1, No. 2, April 2017, hlm. 195-217 198
Pakaian merupakan sistem tanda yang saling makna yang dimaksud oleh orang yang
terkait dengan sistem-sistem tanda lainnya menggunakan lambang tersebut. Namun
dalam masyarakat, dan melalui hal tersebut meskipun banyak jenis dan tipe, salah satu
kita dapat mengirimkan tentang sikap kita, cara yang digunakan oleh para ahli untuk
status sosial kita, kepercayaan politik kita, membahas mengenai ruang lingkup makna
dsb (Danesi, 2010:255). Artinya, pakaian yang lebih luas dan lebih besar ini adalah
dapat dikatakan sebagai identitas diri dari dengn membedakan makn menjadi dua, yaitu
seseorang. Karena pakaian dikenakan di makna denotatif dan makna konotatif (Sobur,
tubuh, dan keran tubuh merupakan sebuah 2013:262).
tanda diri, pakaian dapat didefinisikan
Kebudayaan
sebagai tanda yang memperluas makna dasar
Banyak yang mengatakan bahwa
tubuh dalam konteks budaya. Karena itu,
kebudayaan merupakan seni. Padahal patut
pakaian dan tubuh yang ditutupi olehnya
diingat bahwa kebudayaan bukan sekadar
disusupo oleh signifikansi moral, sosial, dan
sebuah seni, kebudayaan melebihi seni itu
estetis (Danesi, 2010:255).
sendiri karena kebudayaan meliputi sebuah
jaringan kerja dalam kehidupan manusia
Makna
Makna merupakan konsep yang abstrak. (Liliweri, 2002:7). Iris Varner dan Linda
Menurut Kincain dan Schramm (dalam Beamer (dalam Liliweri, 2002:9)
Sobur, 2013:244), makna terkadang berupa menguraikan beberapa definisi kebudayaan.
suatu jalinan asosiasi, pikiran yang berkaitan Salah satunya adalah kebudayaan merupakan
serta perasaan yang melengkapi konsep yang pandangan hidup dari sekelompok orang
diterapkan. Ada beberapa pendapat dalam bentuk perilaku, kepercayaan, nilai,
mengenai jenis dan tipe makna. Brodbeck dan simbol-simbol yang mereka terima tanpa
(dalam Sobur, 2013:262) menyajikan teori sadar/tanpa dipikirkan, yang semuanya
mengenai makna dengan cara yang diwariskan melalui proses komunikasi dan
sederhana. Makna yang pertama adalah peniruan dari satu generasi ke generasi
inferensial, yaitu makna suatu kata atau berikutnya. Arti kebudayaan dalam bahasa
lambang adalah objek, pikiran, gagasan, atau sehari-hari adalah segala sesuatu yang indah,
konsep yang dirujuk oleh kata tersebut. misalnya candi, tarian, seni rupa, seni suara,
Makna yang kedua adalah arti (significance) kesasteraan, dan filsafat. Sedangkan menurut
dari suatu istilah sejauh dihubungkan dengan antropologi, kebudayaan adalah seluruh
konsep-konsep yang lainnya. Makna yang sistem gagasan dan rasa, tindakan, serta
ketiga adalah makna intensional, yaitu karya yang dihasilkan manusia dalam
Jurnal Manajemen Komunikasi, Volume 1, No. 2, April 2017, hlm. 195-217 201
kehidupan bermasyarakat, yang dijadikan hidup, sesuai dengan tujuan yang ingin
miliknya dengan belajar (Koentjaraningrat, dicapai oleh adanya upacara tersebut.
2011:72). Berdasarkan pengertian di atas,
telah jelas bahwa kebudayaan melibatkan Semiotika
Roland Barthes dikenal sebagai salah
sekelompok orang, bukan hanya sekedar
seorang pemikir strukturalis yang getol
individu. Kebudayaan yang dimiliki
mempraktikkan model linguistik dan
sekelompok manusia sangat beragam. Hal ini
semiologi Saussure. Dirinya berpendapat
dipengaruhi atas nilai dan norma yang dianut
bahasa adalah sebuah sistem tanda yang
pada kelompok tersebut. Kebudayaan
mencerminkan asumsi-asumsi dari suatu
sangatlah mempengaruhi perilaku manusia
masyarakat tertentu dalam waktu tertentu
karena setiap orang akan menampilkan
(dalam Sobur, 2013:63). Barthes
kebudayaannya apabila bertindak.
mengutamakan tiga hal yang menjadi inti
Ritual dalam analisisnya, yaitu makna Denotatif,
Ritual bisa dikatakan sebagai tindakan
Konotatif, dan Mitos. Sistem pemaknaan
simbolis agama, atau ritual itu merupakan
tingkat pertama disebut dengan Denotatif,
“agama dalam tindakan”. Susanne Langer
dan sistem pemaknaan tingkat kedua disebut
(dalam Ghazali, 2011:52) menunjukkan
dengan Konotatif. Denotatif mengungkap
bahwa ritual merupakan ungkapan yang
makna yang terpampang jelas secara kasat
bersifat logis daripada hanya bersifat
mata, artinya makna denotatif merupakan
psikologis. Ritual memperlihatkan tatanan
makna yang sebenarnya. Sedangkan
atas simbol-simbol yang diobjekkan. Simbol-
Konotatif atau pemaknaan tigkat kedua
simbol ini mengungkapkan perilaku dan
mengungkap makna yang terkandung dalam
perasaan serta membentuk disposisi pribadi
tanda-tanda. Berbeda dengan mitos, yang ada
dari para pemuja yang mengikuti modelnya
dan berkembang dalam benak masyarakat
masing-masing. Dalam setiap ritual yang
karena adanya pengaruh sosial atau budaya
dilaksanakan, terdiri dari banyak simbol-
masyarakat itu sendiri akan sesuatu, dengan
simbol yang memiliki maknanya tersendiri.
cara memperhatikan dan memaknai korelasi
Menurut Ghazali (2011:63), fungsi dari
antara apa yang terlihat secara nyata
simbol-simbol yang digunakan dalam ritual
(denotatif) dengan tanda apa yang tersirat
adalah sebagai alat komunikasi dan
dari hal tersebut (konotasi).
menyuarakan pesan-pesan ajaran agama dan
kebudayaan yang dimilikinya, khususnya
yang berkaitan dengan etos dan pandangan
Jurnal Manajemen Komunikasi, Volume 1, No. 2, April 2017, hlm. 195-217 202
Penelitian ini bersifat deskriptif karena hanya semiotika Roland Barthes, bertujuan untuk
mendeskripsikan makna denotatif dan memberikan pemahaman dan gambaran
konotatif dari setiap tanda yang ada, global mengenai makna-makna (denotatif
kemudian menjelaskan mitos dan ideologi dan konotatif) yang terkandung dalam ritual
yang ada di dalamnya. Otonan di Bali melalui bentuk-bentuk visual,
Setelah menentukan metode penelitian, verbal, serta audio yang ada pada ritual
peneliti menggunakan teori semiotika tersebut, yang pada akhirnya akan
Roland Barthes. Dalam analisis semiotika menunjukkan mitos dan ideologi yang ingin
Roland Barthes ini, penulis menganalisis tiga disampaikan dalam ritual Otonan tersebut.
tanda yaitu visual, verbal, serta audio, yang
kemudian nantinya akan dihubungkan
sehingga dapat menarik makna denotatif dan
konotatifnya yang kemudian akan
menghasilkan mitos dan ideologi. Peneliti
memilih metode semiotika Roland Barthes
karena metode ini dapat membantu peneliti
dalam penelitian yang bersifat cultural
studies ini dan dapat membantu peneliti
dalam menganalisa tanda visual, verbal, serta
audio yang terdapat dalam prosesi
Mebyakaonan ritual Otonan di Bali yang
kemudian akan ditarik makna denotatif serta
makna konotatifnya, yang nantinya akan
menunjukkan mitos serta ideologi yang ingin
disampaikan dalam ritual Otonan di Bali.
Barthes berpendapat bahasa merupakan
sebuah sistem tanda yang mencerminkan
asumsi-asumsi dari suatu masyarakat
tertentu, serta dalam waktu tertentu (dalam
Sobur, 2013:63). Sistem pemaknaan tingkat
pertama disebut dengan Denotatif, dan
sistem pemaknaan tingkat kedua disebut
dengan Konotatif. Dalam penelitian ritual
Otonan umat Hindu di Bali dalam pandangan
Jurnal Manajemen Komunikasi, Volume 1, No. 2, April 2017, hlm. 195-217 204
Denotatif
HASIL DAN PEMBAHASAN
Jangan beliau menghalangi segala yang kepala peserta Otonan sebanyak tiga kali,
hamba perlukan, jangan beliau menghalangi lalu memberikan air suci tersebut ke tangan
segala yang hamba keluarkan, ini simbol peserta Otonan yang kemudian air tersebut
bakti hamba berupa nasi tumpeng berisi harus diminum oleh peserta Otonan.
bawang, jahe, terasi, daging tiga macam, Pemberian air suci pada tangan ini dilakukan
uang 25 kepeng, benang sepotong, seadainya sebanyak tiga kali, kemudian pada
kurang bakti hamba, jangan beliau salah pemberian yang keempat, air suci dibasukan
sangka, dan mengganggu hamba, silahkan ke wajah dan kepala peserta Otonan. Pada
beliau mencari di alam makro, ini pelengkap keseluruhan prosesi dalam ritual Otonan,
bakti hamba, berupa uang 225 kepeng, peserta Otonan tidak menggunakan atasan,
ditambah selembar kain, mohon disampaikan melainkan hanya menggunakan kamen dan
kepada pengikut beliau, silahkan menyebar saput. Kamen adalah pakaian adat Bali yang
menuju tempat masing-masing, semoga berupa bawahan yang digunakan oleh
semua selamat. seluruh masyarakat Bali sejak jaman dahulu.
Tuhan sebagai pengatur perjalanan yang Tidak ada aturan warna dalam penggunaan
hamba muliakan.
kamen, namun saput yang digunakan adalah
2. Makna denotatif dalam scene pertama saput yang berwarna putih.
prosesi Mebyakaonan
3. Makna denotatif dalam scene kedua
prosesi Mebyakaonan
ritual otonan. Ada pula benda-benda yang Otonan, peserta Otonan tidak menggunakan
disebutkan dalam doa tersebut merupakan atasan tanpa ada aturan tertentu. Satu-
simbolis sesajen yng disediakan untuk satunya alasan adalah bahwa peserta Otonan
mereka, agar para bhuta kala tersebut tidak tidak menggunakan atasan karena ritual ini
mengganggu jalannya ritual Otonan dan bisa akan membuat tubuh peserta Otonan menjadi
membantu keseluruhan prosesi ritual Otonan basah. Menurut J.C.Cooper (2013:41), warna
tersebut. putih memiliki makna kesucian, keluguan,
kesederhanaan, dan identik dengan spiritual.
2. Makna konotatif dalam scene pertama
Warna putih menurut agama Hindu
prosesi Mebyakaonan
(J.C.Cooper, 2013:42) memiliki makna pure
Dalam ajaran agama Hindu, dikenal
consciousness, yang artinya kesadaran akan
yang namanya tiga unsur kekuatan Ida Sang
adanya sesuatu yang suci di dalam diri,
Hyang Widhi Wasa, di mana segala yang ada
sesuatu yang spiritual, dan menyadari adanya
dalam alam semesta ini akan melalui proses
hubungan antara diri dengan alam sekitar.
tiga unsur tersebut, yaitu Utpeti, Stiti, dan
Pralina. Utpeti artinya penciptaan, Stiti 3. Makna konotatif dalam scene kedua
artinya pemeliharaan, dan Pralina artinya prosesi Mebyakaonan
peleburan. Ini selaras dengan 3 manifestasi Ada sebuah peribahasa yang mengatakan
dari Sang Hyang Widhi yaitu Tri Murti, yang “Menanak semua berasnya” (sumber:
terdiri dari Brahma (pencipta), Wisnu https://rebanas.com/kamus-
(pemelihara), dan Siwa (pelebur). Proses peribahasa/proverbs?kata=beras diakses pada
metirtha yang dilakukan sebanyak tiga kali tanggal 20 Desember 2016, pukul 16.27
melambangkan bahwa setiap elemen di alam WIB), dengan pengertian seseorang yang
semesta ini (termasuk peserta Otonan) akan memperlihatkan semua kelebihannya.
melalui proses Utpeti, Stiti, dan Pralina Kegiatan memberikan beras pada tubuh
dalam hidupnya. Maka dari itu, dengan peserta ritual Otonan ini dengan harapan agar
mendapatkan tirtha (air suci), diharapan anak tersebut di kemudian hari
bahwa dalam menjalani proses-proses mempergunakan kelebihan-kelebihan yang
tersebut, manusia tetap dalam keadaan dia miliki, sehingga dirinya bisa berguna
dianugerahi secara batin. Dengan bagi orang-orang di sekitarnya. Pemberian
mengusapkan tirtha keempat pada kepala beras pada tubuh peserta Otonan yang
dan wajah, melambangkan bahwa peserta dilakukan sebanyak 3 (tiga) kali, selaras
Otonan telah dibersihkan dan dianugerahi dengan ajaran agama Hindu yaitu tiga unsur
secara lahir. Dalam pelaksanaan ritual kekuatan Ida Sang Hyang Widhi Wasa, di
Jurnal Manajemen Komunikasi, Volume 1, No. 2, April 2017, hlm. 195-217 209
mana segala yang ada dalam alam semesta pada peserta Otonan ini memiliki makna
ini akan melalui proses tiga unsur tersebut, pembesihan secara lahir dan bathin pada diri
yaitu Utpeti, Stiti, dan Pralina. Utpeti artinya peserta Otonan, sama seperti metirtha pada
penciptaan, Stiti artinya pemeliharaan, dan scene pertama prosesi Mebyakaonan. Yang
Pralina artinya peleburan. Dalam hal ini, berbeda adalah terdapat prosesi yang
pemberian beras pada tubuh peserta Otonan menujukkan peserta Otonan memasukkan
yang dilakukan sebanyak tiga kali tirtha ke dalam mulutnya lalu dikeluarkan
diharapkan bahwa hal-hal buruk yang berada lagi. Hal ini memiliki makna membuang
dalam diri peserta Otonan dapat diserap oleh segala macam kotoran yang ada dalam diri
beras tersebut dan dikeluarkan dari dalam peserta Otonan, seperti penyakit, limbah, dll.
diri peserta Otonan. Penggunaan pakaian Setelah itu, peserta Otonan diberikan tirtha
adat ke Pura oleh para Srati Mangku lagi untuk diminum, yang berarti
menunjukkan bahwa meskipun dalam membersihkan dirinya dan mengisi ulang
pelaksanaan ritual dengan tujuan keagamaan, kekuatan untuk daya cipta, pemeliharaan,
masyarakat Hindu di Bali tetap tidak serta penyeleksian dalam dirinya.
meninggalkan budayanya. Penggunaan
kebaya dan kamen yang menutupi badan 5. Makna konotatif dalam scene keempat
memiliki makna konotasi untuk menutupi prosesi Mebyakaonan
ego dan kesombongan manusia. Penggunaan Ida pedanda adalah tokoh yang dituakan
selendang memiliki makna bahwa manusia dalam masyarakat Hindu di Bali, yang
harus mampu mengikat dirinya agar tidak memiliki kemampuan dan pengetahuan
melenceng dari ajaran dharma. agama yang melebihi masyarakat biasa.
Dalam budaya lain, Ida Pedanda biasa
4. Makna konotatif dalam scene ketiga
disebut dengan nama Pendeta. Ida Pedanda
prosesi Mebyakaonan
membunyikan lonceng selama mengucapkan
Pemberian tirtha sebanyak tiga kali
doa memiliki makna konotasi bahwa bunyi
memiliki makna yang selaras dengan ajaran
dari lonceng tersebut akan mengiringi doa-
agama Hindu yaitu tiga unsur kekuatan Ida
doa yang ia panjatkan. Lonceng memang
Sang Hyang Widhi Wasa, di mana segala
sering digunakan dalam berbagai ritual
yang ada dalam alam semesta ini akan
keagamaan untuk berbagai umat, seperti
melalui proses tiga unsur tersebut, yaitu
umat Buddha dan Kristiani. Menurut
Utpeti, Stiti, dan Pralina. Utpeti artinya
J.C.Cooper (2013:41), warna putih memiliki
penciptaan, Stiti artinya pemeliharaan, dan
makna kesucian, keluguan, kesederhanaan,
Pralina artinya peleburan. Pemberian tirtha
dan identik dengan spiritual. Warna putih
Jurnal Manajemen Komunikasi, Volume 1, No. 2, April 2017, hlm. 195-217 210
menurut agama Hindu (J.C.Cooper, 2013:42) diartikan sebagai suatu perwujudan atau
memiliki makna pure consciousness, yang penampakan diri dari yang sakral. Dalam
artinya kesadaran akan adanya sesuatu yang sejarah agama-agama, mulai dari agama suku
suci di dalam diri, sesuatu yang spiritual, dan bangsa yang berkebudayaan sederhana
menyadari adanya hubungan antara diri sampai kepada agama bangsa yang sudah
dengan alam sekitar. Penggunaan pakaian berkebudayaan maju, terdapat banyak
adat berwarna putih oleh Ida Pedanda hierofani sebagai bentuk dari manifestasi
menandakan bahwa dirinya adalah orang yang sakral (Ghazali, 2011:48). Bhuta kala
yang disucikan. Ida Pedanda mengetiskan adalah hierofani. Ida Pedanda sebagai
tirtha pada sekelilingnya memiliki bertujuan pemimpin ritual Otonan adalah hierofani. Tri
untuk menyucikan tempat tersebut, agar Murti adalah hierofani. Sapi sebagai
ritual Otonan berjalan dengan lancar tanpa kendaraan dewa Siwa adalah hierofani.
ada gangguan dan hambatan. Seluruh mitos yang ada pada ritual Otonan
adalah hierofani. Serangkaian tanda visual,
6. Makna konotatif dalam audio
verbal, dan audio dalam ritual Otonan adalah
Ida Pedanda membunyikan lonceng
hierofani. Ritual Otonan adalah hierofani.
selama mengucapkan doa memiliki makna
Selain itu, ritual Otonan juga merupakan
konotasi bahwa bunyi dari lonceng tersebut
ungkapan religius kolektif. Ekspresi iman
akan mengiringi doa-doa yang ia panjatkan.
yang dilakukan bersama-sama tidak dapat
Lonceng memang sering digunakan dalam
dipisahkan dari konteks kebudayaan bangsa
berbagai ritual keagamaan untuk berbagai
tertentu (Hendropuspito, 1993:112). Hal ini
umat, seperti umat Buddha dan Kristiani.
selaras dengan penggunaan pakaian adat ke
Dalam ajaran agama Hindu, lonceng ini
Pura oleh para Srati Mangku menunjukkan
biasa disebut sebagai Genta atau Bajra.
bahwa meskipun dalam pelaksanaan ritual
Suara lonceng yang terdengar pada saat
dengan tujuan keagamaan, masyarakat Hindu
mengucapkan doa atau memuja dapat
di Bali tetap tidak meninggalkan budayanya.
menghilangkan suara-suara yang
Dalam ritual keagamaan Hindu di daerah
mengganggu pikiran dan dapat membantu
lain, bisa saja masyarakatnya menggunakan
pikiran untuk berkonsentrasi dalam mencapai
pakaian adat ke Pura dengan ciri khas
pemujaan.
mereka. Namun pada ritual Otonan di Bali
ini, masyarakat menggunakan pakaian adat
Mitos dan Ideologi
Berdasarkan analisis makna-makna yang ke Pura dengan ciri khas adat Bali.
telah dijabarkan, terdapat suatu konsep yang Ideologi tidak berbicara mengenai
disebut dengan hierofani. Hierofani dapat kebenaran, tidak berbicara mengenai
Jurnal Manajemen Komunikasi, Volume 1, No. 2, April 2017, hlm. 195-217 211
kenyataan empirik, akan tetapi ideologi mengucapkan doa, dengan maksud untuk
berbicara mengenai kemanfaatan, menjernihkan pikiran, membantu
kepentingan, kemauan, dan pamrih (Sobur, berkonsentrasi, dan mengiringi doa-doa yang
2013:212). Istilah ideologi dalam diucapkan. Ideologi lain adalah bahwa
penggunaan David Kaplan (Kaplan, agama sebagai sistem budaya. Dalam
2012:154) meliputi nilai, norma, falsafah, kehidupan sehari-hari, agama memberikan
dan kepercayaan religius, sentimen, kaidah kontribusi yang besar terhadap nilai-nilai
etis, pengetahuan atau wawasan tentang budaya yang berlaku pada masyarakat
dunia, etos, dan semacamnya. Tanda visual, setempat. Dalam hal ini, agama berperan
verbal, serta audio menghasilkan makna sebagai sumber nilai dalam tindakan-
denotatif, konotatif, serta mitos, terdapat tindakan sosial maupun budaya. Khususnya
ideologi yang terkandung dalam ritual di Bali, di mana mayoritas masyarakatnya
Otonan ini, yaitu religiusitas. Religiusitas beragama Hindu. Contohnya pada ritual
berasal dari kata ‘religi’, yang lebih popular Otonan adalah penggunaan saput oleh
ketika membahas mengenai tradisi-tradisi peserta (laki-laki) selama ritual Otonan.
dan keyakinan dalam kebudayaan manusia. Umat Hindu selain Hindu Bali belum tentu
Sartono Kartodirdjo (dalam Ghazali, 2011:6) menggunakan pakaian adat yang sama persis
menyebutkan lima unsur ke dalam dimensi- dalam pelaksanaan ritual keagamaannya,
dimensi religiusitas yaitu dimensi contohnya adalah penggunaan saput yang
pengalaman, dimensi ideologis, dimensi digunakan di tubuh bagian bawah laki-laki,
ritual, dimensi intelektual ideal, dan dimensi yang digunakan setelah kamen. Umat Hindu
‘konsekuential’. yang bukan berasal dari Bali belum tentu
Ritual Otonan merupakan salah satu menggunakan saput dalam ritual
bentuk ritual keagamaan Hindu, khususnya keagamaannya, karena mereka memiliki
untuk memenuhi Manusa Yadnya. Seluruh sarananya sendiri. Contohnya adalah umat
tanda yang ada yang tanda visual, verbal, dan Hindu di Jawa (bukan asli Bali), di mana
audio memaknai fungsi-fungsi religius. kaum laki-laki biasanya hanya menggunakan
Misalnya pada tanda visual yaitu kegiatan kamen ataupun sarung. Hal ini menunjukkan
metirtha. Kegiatan metirtha ini bertujuan bahwa agama tidak akan bisa terlepas dari
untuk memohon kepada Tuhan untuk kebudayaan setempat.
membersihkan diri secra lahir dan batin, Bali adalah nama salah satu provinsi di
dengan menggunakan air tirtha sebagai Indonesia yang sangat terkenal dengan
medianya. Pada tanda audio yaitu bunyi kekentalan budayanya yang masih dijaga dan
lonceng yang terdengar selama Ida Pedanda dilestarikan hingga saat ini. dengan
Jurnal Manajemen Komunikasi, Volume 1, No. 2, April 2017, hlm. 195-217 212
masyarakat yang mayoritas beragama Hindu, pada tanggal 23 Agustus 2016, pukul 19.50
Bali memiliki keunikan tersendiri jika WIB). Otonan merupakan perayaan hari
dibandingkan dengan provinsi-provinsi lain kelahiran yang dilaksanakan berdasarkan
di Indonesia. Selain terkenal dengan ajaran Hindu yang kental dengan
destinasi pariwisatanya serta pertunjukan kebudayaan Bali. Berbeda dengan hari
budayanya, Bali juga terkenal dengan ulangtahun yang kita kenal sekarang ini, di
serangkaian ritual adat keagamaan (agama mana perayaan tersebut dilaksanakan setahun
Hindu) yang sangat erat kaitannya dengan sekali, Otonan ini dilaksanakan enam bulan
kebudayaan Bali. Dalam ajaran agama sekali. Pelaksanaan Otonan ini menghitung
Hindu, dikenal dengan yang namanya Panca hari lahir manusia berdasarkan Wuku.
Yadnya yang berarti lima korban suci yang Tujuan utama dari pelaksanaan otonan ini
tulus dan ikhlas, yang terdiri dari Dewa adalah untuk mensyukuri anugerah Ida Sang
Yadnya, Pitra Yadnya, Rsi Yadnya, Manusa Hyang Widhi Wasa, serta untuk
Yadnya, serta Bhuta Yadnya. Dewa Yadnya membersihkan diri manusia dari hal-hal
artinya korban suci tulus ikhlas kepada Ida negatif baik yang berasal dari luar maupun
Sang Hyang Widhi Wasa beserta seluruh dari dalam diri manusia. Ritual Otonan
manifestasinya, Pitra Yadnya ditujukan dipimpin oleh seorang tokoh agama yang
untuk para leluhur dan orangtua, Rsi Yadnya dimuliakan yang biasa disebut dengan Ida
ditujukan kepada para guru, Manusa Yadnya Pedanda. Dalam ritual Otonan, setidaknya
ditujukan untuk sesama manusia, serta Bhuta ada tiga tanda yang dapat ditemui, yaitu
Yadnya ditujukan kepada para bhuta kala, tanda visual, verbal, serta audio. Penelitian
yaitu makhluk-makhluk astral yang ada di ini fokus pada ketiga tanda tersebut, di mana
sekitar kita. tanda visual difokuskan pada gestur, pakaian,
Otonan merupakan salah satu bentuk dari dan warna, tanda verbal difokuskan pada
Manusa Yadnya, di mana Otonan ini doa-doa yang diucapkan, serta tanda audio
dilaksanakan untuk manusia. Otonan berasal difokuskan pada bunyi lonceng (genta/bajra)
dari kata “wetu” yang berarti lahir. yang digerakkan oleh Ida Pedanda.
Kemudian kata ini menjadi “pawetuan” yang Terdapat setidaknya lima kalisifikasi
dapat ditafsirkan sebagai kelahiran. Kata pesan nonverbal (Rakhmat, 2007:289-293).
pawetuan berubah menjadi kata “paweton”, Salah satunyaadalah pesan gestural. Pesan
dan akhirnya menjadi kata oton atau otonan gestural adalah pesan yang menggerakkan
yang berarti hari kelahiran (Sumber: sebagian tubuh untuk mengkomunikasikan
http://catatanbiodatadiri.blogspot.co.id/2013/1 pesannya, contohnya adalah menggerakkan
2/lunturnya-tradisi-budaya-otonan.html diakses tangan. Dalam hal ini, Otonan memiliki
Jurnal Manajemen Komunikasi, Volume 1, No. 2, April 2017, hlm. 195-217 213
yaitu bunyi lonceng yang terdengar selama ini, doa-doa yang ada pada ritual Otonan
Ida Pedanda mengucapkan doa, dengan secara denotasi adalah doa-doa yang
maksud untuk menjernihkan pikiran, dipanjatkan selama ritual Otonan, khususnya
membantu berkonsentrasi, dan mengiringi pada prosesi Mebyakaonan. Secara singkat,
doa-doa yang diucapkan. doa untuk prosesi Mebyakaonan berisi
Ideologi lain adalah bahwa agama tentang haturan-haturan yang disiapkan
sebagai sistem budaya. Dalam kehidupan kepada para bhutakala. Selanjutnya adalah
sehari-hari, agama memberikan kontribusi tanda visual yang fokus pada gestur, warna,
yang besar terhadap nilai-nilai budaya yang dan pakaian yang dapat diamati dari 4 scene
berlaku pada masyarakat setempat. yang ada pada prosesi Mebyakaonan dalam
Contohnya pada ritual Otonan adalah ritual Otonan. Masing-masing scene ini
penggunaan saput oleh peserta (laki-laki) terdiri dari tanda visual yang berbeda-beda,
selama ritual Otonan. Umat Hindu selain walaupun ada beberapa gerakan yang sama.
Hindu Bali belum tentu menggunakan Contohnya adalah kegiatan metirtha yang
pakaian adat yang sama persis dalam dilakukan dengan cara mengetiskan air tirtha
pelaksanaan ritual keagamaannya, contohnya pada peserta Otonan. Ada pula tanda audio
adalah penggunaan saput yang digunakan di yang didapatkan dalam ritual Otonan ini,
tubuh bagian bawah laki-laki, yang yaitu bunyi lonceng atau bajra/genta.
digunakan setelah kamen. Umat Hindu yang Lonceng ini akan digerakkan oleh Ida
bukan berasal dari Bali belum tentu Pedanda hingga menghasilkan bunyi, dan
menggunakan saput dalam ritual dilakukan selama beliau mengucapkan doa.
keagamaannya, karena mereka memiliki Setelah denotatif, peneliti menganalisis
sarananya sendiri. Contohnya adalah umat pemaknaan secara lebih dalam lagi hingga ke
Hindu di Jawa (bukan asli Bali), di mana tahap konotatif. Pada doa untuk prosesi
kaum laki-laki biasanya hanya menggunakan Mebyakaonan, makna konotatifnya adalah
kamen ataupun sarung. Hal ini menunjukkan bahwa selama proses Otonan berlangsung,
bahwa agama tidak akan bisa terlepas dari Ida Pedanda meminta kepada para bhutakala
kebudayaan setempat. untuk tidak mengganggu jalannya ritual
Otonan, namun sebisa mungkin dapat
SIMPULAN
membantu. Hal ini dilakukan dengan cara
Secara sederhana, makna denotatif
memberikan sesajen untuk mereka. Pada
merupakan makna yang sebenarnya dari
tanda visual, peneliti menemukan bahwa
sebuah kata. Makna denotatif adalah makna
dalam 4 scene tersebut memiliki makna
yang biasanya ada pada kamus. Dalam hal
konotatif yang erat dengan ajaran-ajaran
Jurnal Manajemen Komunikasi, Volume 1, No. 2, April 2017, hlm. 195-217 216
dalam agama Hindu, walaupun ada beberapa terdapat ideologi yang terkandung dalam
yang makna konotatifnya erat dengan ritual Otonan ini, yaitu religiusitas. Sartono
kebudayan Bali. Seperti kegiatan metirtha Kartodirdjo (dalam Ghazali, 2011:6)
yang memiliki makna konotatif menyebutkan lima unsur ke dalam dimensi-
membersihkan diri manusia secara lahir dan dimensi religiusitas, yaitu dimensi
batin, kemudian ada penggunaan pakaian pengalaman, dimensi ideologis, dimensi
yang berwarna putih yang memiliki makna spiritual, dimensi intelektual ideal, dan
konotatif yang suci dan bersih. Ada pula dimensi ‘konsekuential’. Ideologi lain adalah
makna konotatif yang erat dengan bahwa agama sebagai sistem budaya. Dalam
kebudayaan Bali, contohnya adalah kehidupan sehari-hari, agama memberikan
penggunaan pakaian adat Bali dalam ritual kontribusi yang besar terhadap nilai-nilai
otonan, yaitu penggunaan saput pada peserta budaya yang berlaku pada masyarakat
Otonan (pria), dan penggunaan pakaian adat setempat.
ke Pura bagi para Srati Mangku (pembantu
mangku). Adapun pada tanda audio di mana DAFTAR PUSTAKA
lonceng dibunyikan selama Ida Pedanda Bungin, Burhan. (2013). Penelitian
Kualitatif. Jakarta: Prenada Media
memanjatkan doa memiliki makna konotasi
Group.
bahwa bunyi lonceng tersebut akan Cooper, J.C. (2013). An Illustrated
Encyclopaedia of Traditional Symbols.
mengiringi doa-doa yang dipanjatkan, serta
London: Thames & Hudson.
dapat menghilangkan suara-suara yang Danesi, Marcel. (2010). Pesan, Tanda, dan
Makna. Yogyakarta: Jalasutra.
mengganggu pikiran dan dapat membantu
Ghazali, Adeng Muchtar. (2011).
pikiran untuk berkonsentrasi dalam mencapai Antropologi Agama: Upaya
Memahami Keragaman Kepercayaan,
pemujaan.
Keyakinan, dan Agama. Bandung:
Berdasarkan analisis makna-makna yang Alfabeta.
Hendropuspito. (1993). Sosiologi Agama.
telah dijabarkan, terdapat suatu konsep yang
Yogyakarta: Kanisius
disebut dengan hierofani. Hierofani dapat Kaplan, David. (2012). Teori Budaya.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset.
diartikan sebagai suatu perwujudan atau
Koentjaraningrat. (2011). Pengantar Ilmu
penampakan diri dari yang sakral. Selain itu, Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta.
Kriyantono, Rakhmat. (2006). Teknik Praktis
ritual Otonan juga merupakan ungkapan
Riset Komunikasi. Jakarta: Prenada
religius kolektif. Ekspresi iman yang Media Group.
Liliweri, Alo. (2002). Makna Budaya dalam
dilakukan bersama-sama tidak dapat
Komunikasi Antar Budaya.
dipisahkan dari konteks kebudayaan bangsa Yogyakarta: LKiS.
Piliang, Yasraf Amir. (2012). Semiotika dan
tertentu (Hendropuspito, 1993:112). Dari
Hipersemiotika: Kode, Gaya &
hasil analisis tanda visual, verbal, serta audio Matinya Makna. Bandung: Matahari.
Jurnal Manajemen Komunikasi, Volume 1, No. 2, April 2017, hlm. 195-217 217