Anda di halaman 1dari 36

BAGIAN II

KETENTUAN UMUM

II.1 Pemahaman Zonasi dalam RDTR


Secara umum Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) adalah rencana secara
terperinci tentang tata ruang wilayah kabupaten/kota yang dilengkapi dengan peraturan
zonasi kabupaten/kota. Ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2010 Pasal 59
tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang menetapkan bahwa setiap RTRW
kabupaten/kota harus menentukan bagian dari wilayah kabupaten/kota yang perlu
disusun RDTR nya. Pertimbangan penetapan kawasan yang akan disusun RDTR harus
merupakan kawasan perkotaan atau kawasan strategis kabupaten/kota. Kawasan
strategis kabupaten kota dapat disusun rencana detilnya apabila merupakan kawasan
yang mempunyai ciri perkotaan atau akan direncanakan menjadi kawasan perkotaan.
RDTR merupakan rencana yang menetapkan blok pada kawasan fungsional sebagai
penjabaran kegiatan ke dalam wujud ruang yang memperhatikan keterkaitan antar
kegiatan dalam kawasan fungsional agar tercipta lingkungan yang harmonis antara
kegiatan utama dan kegiatan penunjang dalam kawasan fungsional tersebut.
RDTR berfungsi sebagai kendali mutu pemanfaatan ruang wilayah kabupaten/kota
berdasarkan RTRW, acuan untuk kegiatan pemanfaatan ruang yang lebih rinci dari
kegiatan pemanfaatan ruang yang diatur dalam RTRW, acuan bagi kegiatan
pengendalian pemanfaatan ruang, acuan bagi penerbitan izin pemanfaatan ruang, dan
acuan dalam rencana tindak lanjut yang lebih spesifik seperti Rencana Tata Bangunan
dan Lingkungan (RTBL), Masterplan Kawasan, Rencana Teknis, Detail Engineering and
Design (DED) dengan tema yang sesuai dengan arahan pemanfaatan ruang atau fungsi
kawasan didalam RDTR. Selanjutnya sebagai ketentuan intensitas pemanfaatan ruang di
setiap wilayah yang sesuai dengan fungsinya perlu ditetapkan kawasan yang
diprioritaskan, kemudian disusun program pengembangan kawasan dan pengendalian
pemanfaatan ruang pada tingkat BWP atau Sub BWP. Dalam sistem rencana detil tata
ruang kawasan perkotaan, peraturan zonasi merupakan pengaturan lebih lanjut untuk
pemanfaatan ruang yang ditetapkan dalam pola pemanfaatan ruang suatu wilayah.

13
Gambar II.1 Kedudukan RDTR Dalam Sistem Perencanaan Tata Ruang dan
Perencanaan Pembangunan Nasional
(Sumber: Permen PU No. 20 Tahun 2011)

RDTR disusun sebagai satu kesatuan dengan peraturan zonasi yang tidak
terpisahkan pada suatu wilayah maupun BWP (bagian wilayah perencanaan/perkotaan)
tertentu. Dalam hal ini RDTR tidak dapat disahkan sebagai produk perencanaan yang
berkedudukan secara hukum pada wilayah administrasi yang melingkupinya apabila
belum terdapat peraturan zonasi sebagai salah satu keluarannya. Maka dalam kata lain
peraturan zonasi yang berupa peta zonasi, peraturan intensitas pemanfaatan ruang, serta
pedoman pengendalian zona merupakan output akhir yang dikeluarkan RDTR sebagai
instrumen pengendalian pemanfaatan ruang. RDTR kabupaten/kota yang telah
ditetapkan sebagai produk hukum akan berkedudukan sebagai Perda (peraturan daerah)
yang menetapkan sanksi-sanksi tertulis bagi pelanggaran pemanfaatan ruang yang
terjadi pada wilayah yang dilingkupinya. Secara singkat penjelasan mengenai kedudukan
peraturan zonasi dalam sistem perencanaan tata ruang dapat dilihat pada bagan berikut
ini.

14
Gambar II.2 Kedudukan Peraturan Zonasi dalam Sistem Perencanaan Penataan Ruang
(Sumber: PP No. 15 Tahun 2010)

Peraturan Zonasi Kabupaten/Kota merupakan penjabaran dari ketentuan umum


peraturan zonasi yang ditetapkan dalam rencana tata ruang wilayah kabupaten/kota dan
ditetapkan dengan peraturan daerah kabupaten/kota. Peraturan zonasi kabupaten/kota
merupakan dasar dalam pemberian insentif dan disinsentif, pemberian izin, dan
pengenaan sanksi di tingkat kabupaten/kota. Peraturan zonasi kabupaten/kota memuat
zonasi pada setiap zona peruntukan. Zona peruntukan merupakan suatu bagian wilayah
atau kawasan yang ditetapkan dalam rencana tata ruang untuk mengemban suatu fungsi
tertentu sesuai dengan karakteristik zonanya. Ketentuan zonasi meliputi:
a. ketentuan kegiatan dan penggunaan ruang yang diperbolehkan, diperbolehkan
dengan syarat, dan yang tidak diperbolehkan;
b. ketentuan intensitas pemanfaatan ruang paling sedikit terdiri atas:
 koefisien dasar bangunan maksimum;
 koefisien lantai bangunan maksimum;
 ketinggian bangunan maksimum; dan
 koefisien dasar hijau minimum.
c. ketentuan prasarana dan sarana minimum sebagai kelengkapan dasar fisik
lingkungan yang mendukung berfungsinya zona secara optimal; dan

15
d. ketentuan lain yang dibutuhkan untuk mengendalikan pemanfaatan ruang pada
kawasan cagar budaya, kawasan rawan bencana, kawasan keselamatan operasi
penerbangan, dan kawasan lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Peraturan zonasi kabupaten/kota disusun berdasarkan:
a. rencana rinci tata ruang kabupaten/kota; dan
b. arahan peraturan zonasi pada zona ruang sistem nasional dan arahan peraturan
zonasi pada zona ruang sistem provinsi, yang berlaku di kabupaten/kota yang
bersangkutan.
Peraturan zonasi kabupaten/kota meliputi teks zonasi dan peta zonasi dan
digambarkan dalam peta dengan tingkat ketelitian minimal 1:5.000. Peraturan zonasi
kabupaten/kota disusun sebagai kelengkapan dari rencana tata ruang wilayah
kabupaten/kota.

Gambar II.3 Penetapan Peraturan Zonasi untuk Wilayah Kabupaten/Kota


(Sumber: PP No. 15 Tahun 2010)

II.2 Skala Perencanaan RDTR dan Peraturan Zonasi


Berdasarkan pada Permen PU No.20 Tahun 2011 yang disempurnakan dengan
Permen ATR/BPN No. 16 Tahun 2018 tentang Pedoman Penyusunan Rencana Detail
Tata Ruang Kabupaten/Kota, RDTR disusun apabila:

16
a. RTRW kabupaten/kota dinilai belum efektif sebagai acuan dalam pelaksanaan
pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang karena tingkat
ketelitian petanya belum mencapai 1:5.000; dan/atau
b. RTRW kabupaten/kota sudah mengamanatkan bagian dari wilayahnya yang perlu
disusun RDTR-nya.
Apabila ketentuan sebagaimana dimaksud pada huruf a dan b tidak terpenuhi,
maka dapat disusun peraturan zonasi, tanpa disertai dengan penyusunan RDTR yang
lengkap. Dalam lingkup penyusunan RDTR berdasarkan pada NSPK Zonasi diwilayah
administrasi Kabupaten Bandung Barat, penyusunan setiap produk RDTR merupakan
amanat yang terkandung dalam RTRW Kabupaten/Kota baik merupakan kawasan
strategis kabupaten/provinsi ataupun wilayah potensial dalam pengembangannya. Dalam
ketentuan penyusunan RDTR disebutkan bahwa dalam pelaksanaan pemanfaatan ruang
dan pengendalian pemanfaatan ruang tingkat ketelitian peta yang ditetapkan adalah peta
mencapai 1:5.000 atau dengan kata lain peta dengan kedalaman informasi hingga
1:5.000.
Kedalaman informasi peta RDTR seperti yang terkandung dalam Pasal 13
Permen ATR/BPN No. 16 Tahun 2018 menyatakan bahwa penyusunan RDTR dan PZ
kabupaten/kota untuk keperluan percepatan pelayanan perizinan pemanfaatan ruang
menggunakan dan menghasilkan peta format digital dengan ketelitian geometris dan
ketelitian detail informasi skala 1:5.000. Tingkat ketelitian peta ini harus mencantumkan
ketentuan yang menyatakan bahwa peta RDTR dan PZ kabupaten/kota sudah terkoreksi
secara geometris oleh Kementerian/Lembaga yang membidangi urusan informasi
geospasial dan ditetapkan dalam bentuk keputusan menteri/kepala lembaga yang
ditembuskan kepada menteri. Maka berdasarkan keputusan tersebut kepala daerah yang
menaungi wilayah perencanaan (tingkat kabupaten/kota) menetapkan peraturan daerah
tentang peta RDTR dan PZ yang telah dikonfirmasi mengenai koreksi geometris peta
tersebut dengan tidak mengubah muatan peraturan daerah tentang RDTR dan PZ.

17
Gambar II.4 Contoh Peta Dengan Kedalaman 1:5.000
(Sumber: RDTRK SWK Cibeunying,2012 )

II.3 Muatan RDTR dan Peraturan Zonasi


II.3.1 Muatan RDTR
Berdasarkan pada Permen ATR/BPN No. 16 Tahun 2018 tentang Pedoman
Penyusunan RDTR dan Peraturan Zonasi Kabupaten/Kota, RDTR merupakan rencana
rinci tata ruang sebagai penjabaran RTRW kabupaten/kota yang menjadi rujukan bagi
penyusunan rencana teknis sektor dan pelaksanaan pengendalian pemanfaatan ruang.
Muatan RDTR terdiri atas tujuan penataan BWP, rencana struktur ruang, rencana pola
ruang, penetapan Sub BWP yang diprioritaskan penanganannya, dan ketentuan
pemanfaatan ruang.
1. Tujuan Penataan BWP
Tujuan penataan BWP merupakan nilai dan/atau kualitas terukur yang akan
dicapai sesuai dengan arahan pencapaian sebagaimana ditetapkan dalam RTRW
kabupaten/kota dan merupakan alasan disusunnya RDTR tersebut, serta apabila
diperlukan dapat dilengkapi konsep pencapaian. Tujuan penataan BWP berisi tema yang
akan direncanakan di BWP.
Tujuan penataan BWP berfungsi:
a. sebagai acuan untuk penyusunan rencana pola ruang, penyusunan rencana
struktur ruang, penetapan Sub BWP yang diprioritaskan penanganannya,

18
penyusunan ketentuan pemanfaatan ruang, penyusunan peraturan zonasi;
dan
b. untuk menjaga konsistensi dan keserasian pengembangan kawasan
perkotaan dengan RTRW kabupaten/kota.
Perumusan tujuan penataan BWP didasarkan pada:
a. Arahan pencapaian sebagaimana ditetapkan dalam RTRW kabupaten/kota;
b. Isu strategis BWP, yang antara lain dapat berupa potensi, masalah, dan
urgensi penanganan; dan
c. Karakteristik BWP.
Tujuan penataan BWP dirumuskan dengan mempertimbangkan:
a. Keseimbangan dan keserasian antarbagian dari wilayah kabupaten/kota;
b. Fungsi dan peran BWP;
c. Potensi investasi;
d. Keunggulan dan daya saing BWP;
e. Kondisi sosial dan lingkungan BWP;
f. Peran dan aspirasi masyarakat dalam pembangunan; dan
g. Prinsip-prinsip yang merupakan penjabaran dari tujuan tersebut.

2. Rencana Struktur Ruang


Rencana struktur ruang merupakan susunan pusat-pusat pelayanan dan sistem
jaringan prasarana di BWP yang akan dikembangkan untuk mencapai tujuan dalam
melayani kegiatan skala BWP. Rencana struktur ruang berfungsi sebagai:
a. Pembentuk sistem pusat pelayanan di dalam BWP;
b. Dasar perletakan jaringan serta rencana pembangunan prasarana dan
utilitas dalam BWP sesuai dengan fungsi pelayanannya; dan
c. Dasar rencana sistem pergerakan dan aksesibilitas lingkungan dalam RTBL
dan rencana teknis sektoral.
Rencana struktur ruang dirumuskan berdasarkan:
a. Rencana struktur ruang wilayah kabupaten/kota yang termuat dalam RTRW;
b. Kebutuhan pelayanan dan pengembangan bagi BWP; dan
c. Ketentuan peraturan perundang-undangan terkait.
Rencana struktur ruang dirumuskan berdasarkan:
a. Memperhatikan rencana struktur ruang BWP lainnya dalam wilayah
kabupaten/kota;
b. Memperhatikan rencana struktur ruang kabupaten/kota sekitarnya yang
berbatasan langsung dengan BWP;

19
c. Menjamin keterpaduan dan prioritas pelaksanaan pembangunan prasarana
dan utilitas pada BWP;
d. Mengakomodasi kebutuhan pelayanan prasarana dan utilitas BWP termasuk
kebutuhan pergerakan manusia dan barang; dan
e. Mempertimbangkan inovasi dan/atau rekayasa teknologi.
Materi rencana struktur ruang meliputi:
a. Rencana Pengembangan Pusat Pelayanan
Rencana pengembangan pusat pelayanan merupakan distribusi pusat-pusat
pelayanan di dalam BWP yang akan melayani sub BWP, dapat meliputi:
1) pusat pelayanan kota/kawasan perkotaan;
2) sub pusat pelayanan kota/kawasan perkotaan; dan
3) pusat lingkungan, berupa:
a) pusat lingkungan kecamatan;
b) pusat lingkungan kelurahan; dan/atau
c) pusat rukun warga.
b. Rencana Jaringan Transportasi
1) Untuk RDTR kawasan perkotaan di kabupaten, terdiri atas:
a) jaringan jalan dan jaringan kereta api sesuai dengan yang termuat
dalam RTRW kabupaten;
b) jaringan jalan sistem sekunder di kawasan perkotaan meliputi jalan
arteri sekunder, kolektor sekunder, dan lokal sekunder;
c) jaringan jalan lingkungan primer dan lingkungan sekunder;
d) jalur pejalan kaki;
e) jalur sepeda (jika ada); dan
f) jaringan jalan lainnya yang meliputi:
 jalan masuk dan keluar terminal barang serta terminal
orang/penumpang sesuai ketentuan yang berlaku (terminal tipe
A, terminal tipe B, terminal tipe C, dan/atau pangkalan
angkutan umum);
 jaringan jalan moda transportasi umum (jalan masuk dan
keluarnya terminal barang/orang hingga pangkalan angkutan
umum dan halte); dan
 jalan masuk dan keluar parkir.
2) Untuk RDTR kota, terdiri atas:
a) jaringan jalan dan jaringan kereta api sesuai dengan yang termuat
dalam RTRW kota;

20
b) jaringan jalan lingkungan primer dan lingkungan sekunder;
c) jalur pejalan kaki;
d) jalur sepeda (jika ada); dan
e) jaringan jalan lainnya yang meliputi:
 jalan masuk dan keluar terminal barang serta terminal
orang/penumpang sesuai ketentuan yang berlaku (terminal tipe
A, terminal tipe B, terminal tipe C, dan/atau pangkalan
angkutan umum);
 jaringan jalan moda transportasi umum (jalan masuk dan
keluarnya terminal barang/orang hingga pangkalan angkutan
umum dan halte); dan
 jalan masuk dan keluar parkir.
Jaringan transportasi dapat berada di permukaan tanah, di bawah
permukaan tanah, atau di atas permukaan tanah.
c. Rencana Jaringan Prasarana
1) Rencana Jaringan Energi/Kelistrikan, meliputi:
a) jaringan infrastruktur minyak dan gas bumi, terdiri atas:
 jaringan yang menyalurkan minyak dan gas bumi dari fasilitas
produksi ke kilang pengolahan dan/atau tempat penyimpanan;
dan/atau
 jaringan yang menyalurkan gas bumi dari kilang pengolahan ke
konsumen.
b) jaringan penyaluran ketenagalistrikan, terdiri atas:
 jaringan transmisi dan distribusi tenaga listrik untuk menyalurkan
tenaga listrik antarsistem sesuai dengan RTRW kabupaten/kota,
dapat berupa:
o saluran udara tegangan ultra tinggi (SUTUT);
o saluran udara tegangan ekstra tinggi (SUTET);
o saluran udara tegangan tinggi (SUTT);
o saluran udara tegangan tinggi arus searah (SUTTAS);
o saluran udara tegangan menengah (SUTM);
o saluran udara tegangan rendah (SUTR);
o saluran kabel tegangan menengah (SKTM); dan/atau
o saluran transmisi/distribusi lainnya.
 gardu listrik, meliputi:

21
o gardu induk yang berfungsi untuk menurunkan tegangan
dari jaringan subtransmisi menjadi tegangan menengah;
o gardu hubung yang berfungsi untuk membagi daya listrik
dari gardu induk menuju gardu distribusi; dan
o gardu distribusi yang berfungsi untuk menurunkan tegangan
primer menjadi tegangan sekunder.
2) Rencana Jaringan Telekomunikasi (tetap dan bergerak), terdiri atas:
a) infrastruktur dasar telekomunikasi yang berupa lokasi pusat
automatisasi sambungan telepon;
b) jaringan telekomunikasi telepon kabel yang berupa lokasi stasiun
telepon otomat, rumah kabel, dan kotak pembagi;
c) sistem televisi kabel termasuk lokasi stasiun transmisi;
d) jaringan telekomunikasi telepon nirkabel yang berupa lokasi
menara telekomunikasi termasuk menara Base Transceiver Station
(BTS);
e) jaringan serat optik; dan
f) peningkatan pelayanan jaringan telekomunikasi.
3) Rencana Jaringan Air Minum, meliputi:
a) jaringan perpipaan:
 unit air baku;
 unit produksi yang berupa bangunan pengambil air baku, dan
instalasi produksi;
 unit distribusi berupa pipa transmisi air baku;
 unit pelayanan yang berupa pipa unit distribusi hingga
persil/bidang; dan/atau
 bangunan penunjang dan bangunan pelengkap;
b) jaringan non-perpipaan, yang terdiri atas:
 sumur dangkal;
 sumur pompa;
 bak penampungan air hujan; dan
 terminal air.
4) Rencana Jaringan Drainase, meliputi:
a) saluran primer;
b) saluran sekunder;
c) saluran tersier;

22
d) saluran lokal;
e) bangunan peresapan (kolam retensi); dan
f) bangunan tampungan (polder) beserta sarana pelengkapnya (sistem
pemompaan dan pintu air).
5) Rencana Jaringan Air Limbah, meliputi:
a) Sistem pengelolaan air limbah (SPAL) setempat, meliputi:
 subsistem pengolahan setempat;

 subsistem pengangkutan; dan

 subsistem pengolahan lumpur tinja.


b) Sistem pengelolaan air limbah (SPAL) terpusat, meliputi:
 subsistem pelayanan yang terdiri atas pipa tinja, pipa non tinja
bak perangkap lemak dan minyak dari dapur, pipa persil, bak
kontrol, dan lubang inspeksi;
 subsistem pengumpulan yang terdiri atas pipa retikulasi, pipa
induk, serta sarana dan prasarana pelengkap; dan
 subsistem pengolahan terpusat yang terdiri atas Instalasi
Pengelolaan Air Limbah (IPAL) kota dan IPAL skala kawasan
tertentu/permukiman.
Untuk industri rumah tangga harus menyediakan instalasi pengolahan air
limbah komunal tersendiri.
6) Rencana Jaringan Prasarana Lainnya
Penyediaan prasarana lainnya direncanakan sesuai kebutuhan
pengembangan BWP, misalnya BWP yang berada pada kawasan
rawan bencana wajib menyediakan jalur evakuasi bencana yang
meliputi jalur evakuasi dan tempat evakuasi sementara yang
terintegrasi baik untuk skala kabupaten/kota, kawasan, maupun
lingkungan.
Jalur evakuasi bencana dapat memanfaatkan jaringan prasarana dan
sarana yang sudah ada.
Peta rencana struktur ruang digambarkan dengan ketentuan sebagai berikut:
a. Peta rencana struktur ruang terdiri dari:
 peta pusat pelayanan yang memuat pusat-pusat pelayanan;
 peta jaringan transportasi yang memuat jaringan jalan dan kereta api;
dan

23
 peta jaringan prasarana yang terdiri dari jaringan energi/kelistrikan,
telekomunikasi, air minum, drainase, air limbah, dan prasarana
lainnya yang digambarkan secara tersendiri untuk masing-masing
rencana jaringan prasarana;
b. Apabila terdapat jaringan transportasi dan jaringan prasarana yang berada
di bawah permukaan tanah (ruang dalam bumi) maupun di atas
permukaan tanah maka digambarkan dalam peta tersendiri dan dilengkapi
dengan gambar potongan/penampang;
c. Rencana struktur ruang digambarkan dalam peta dengan skala atau
tingkat ketelitian informasi minimal 1:5.000 dan mengikuti ketentuan
mengenai sistem informasi geografis yang dikeluarkan oleh
kementerian/lembaga yang berwenang;
d. Rencana struktur ruang disajikan dalam format digital sesuai dengan
standar yang akan diatur lebih lanjut melalui pedoman tersendiri; dan
e. Rencana struktur ruang dapat digambarkan juga dalam model 3 (tiga)
dimensi.

24
Gambar II.5 Contoh Peta Rencana Struktur Ruang
(Sumber: Materi Teknis RDTR Kawasan Perbatasan Negara di Pulau Marampit, 2018)

3. Rencana Pola Ruang


Rencana pola ruang merupakan rencana distribusi zona pada BWP yang akan
diatur sesuai dengan fungsi dan peruntukannya. Rencana pola ruang berfungsi sebagai:
a. Alokasi ruang untuk berbagai kegiatan sosial budaya, ekonomi, serta kegiatan
pelestarian fungsi lingkungan dalam BWP;
b. Dasar penerbitan izin pemanfaatan ruang;
c. Dasar penyusunan RTBL dan rencana teknis lainnya; dan
d. Dasar penyusunan rencana jaringan prasarana.
Rencana pola ruang dirumuskan dengan kriteria:
a. Mengacu pada rencana pola ruang yang telah ditetapkan dalam RTRW
kabupaten/kota;

25
b. Mengacu pada konsep ruang (khusus untuk RDTR kawasan perkotaan di
kabupaten);
c. Mempertimbangkan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup dan
infrastruktur dalam BWP;
d. Memperkirakan kebutuhan ruang untuk pengembangan kegiatan sosial
ekonomi dan pelestarian fungsi lingkungan, khususnya untuk kawasan
perkotaan yang memiliki kegiatan yang berpotensi menimbulkan bangkitan
yang cukup besar;
e. Mempertimbangkan ketersediaan ruang yang ada;
f. Memperhatikan rencana pola ruang bagian wilayah yang berbatasan;
g. Memperhatikan mitigasi dan adaptasi bencana pada BWP, termasuk
dampak perubahan iklim; dan
h. Menyediakan RTH dan RTNH untuk menampung kegiatan sosial, budaya,
dan ekonomi masyarakat.
Rencana pola ruang RDTR terdiri atas:
a. Zona lindung meliputi:
1) Zona hutan lindung (HL);
2) Zona yang memberikan perlindungan terhadap zona dibawahnya
(PB) yang meliputi:
a) zona lindung gambut (LG); dan/atau
b) zona resapan air (RA).
3) Zona perlindungan setempat (PS) yang meliputi:
a) zona sempadan pantai (SP);
b) zona sempadan sungai (SS);
c) zona sekitar danau atau waduk (DW) termasuk situ dan embung;
dan/atau
d) zona sekitar mata air (MA).
4) Zona RTH kota (RTH) yang meliputi:
a) hutan kota (RTH-1);
b) taman kota (RTH-2);
c) taman kecamatan (RTH-3);
d) taman kelurahan (RTH-4);
e) taman RW (RTH-5);
f) taman RT (RTH-6); dan/atau
g) pemakaman (RTH-7).
5) Zona konservasi (KS) yang meliputi:

26
a) cagar alam (KS-1);
b) suaka margasatwa (KS-2);
c) taman nasional (KS-3);
d) taman hutan raya (KS-4); dan/atau
e) taman wisata alam (KS-5).
6) Zona lindung lainnya.
Pengkodean zona dan subzona lainnya diatur sendiri oleh masing-
masing daerah sesuai dengan kebutuhan.
b. Zona budidaya yang meliputi:
1) Zona perumahan (R), yang dapat dirinci kedalam zona perumahan
berdasarkan tingkat kepadatan bangunan dan/atau tingkat
kemampuan/keterjangkauan kepemilikan rumah, contoh:
a) berdasarkan tingkat kepadatan bangunan: kepadatan sangat tinggi
(R-1), tinggi (R-2), sedang (R-3), rendah (R-4), dan sangat rendah
(R-5); atau
b) berdasarkan tingkat kemampuan/keterjangkauan kepemilikan
rumah: rumah mewah (Rm), rumah menengah (Rh), rumah
sederhana (Rs), dan rumah sangat sederhana (Ra).
2) Zona perdagangan dan jasa (K), yang meliputi:
a) perdagangan dan jasa skala kota (K-1);
b) perdagangan dan jasa skala BWP (K-2); dan/atau
c) perdagangan dan jasa skala sub BWP (K-3).
3) Zona perkantoran
4) Zona sarana pelayanan umum (SPU), yang meliputi:
a) sarana pelayanan umum skala kota (SPU-1);
b) sarana pelayanan umum skala kecamatan (SPU-2);
c) sarana pelayanan umum skala kelurahan (SPU-3); dan/atau
d) sarana pelayanan umum skala RW (SPU-4).
5) Zona industri (I), yang meliputi:
a) kawasan industri (KI); dan/atau
b) sentra industri kecil menengah (SIKM).
6) Zona lainnya, yang dapat berupa pertanian, pertambangan, ruang
terbuka non hijau, sektor informal, pergudangan, pertahanan dan
keamanan, Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL), Tempat
Pemrosesan Akhir (TPA), pengembangan nuklir, pembangkit listrik,
dan/atau pariwisata. Pengkodean zona dan subzona lainnya diatur
sendiri oleh masing-masing daerah sesuai dengan kebutuhan.

27
Khusus zona pertanian, di dalamnya dapat ditetapkan luasan dan
sebaran lahan pertanian pangan berkelanjutan (LP2B) dengan mengacu
pada kawasan pertanian pangan berkelajutan (KP2B) yang telah
ditetapkan dalam peraturan daerah tentang RTRW kabupaten/kota.
LP2B memiliki pengaturan tersendiri sebagai tambahan dari aturan dasar
zona pertanian dan dituangkan ke dalam peta rencana pola ruang yang
memuat kode pengaturan zonasi.
7) Zona campuran (C), yang meliputi perumahan dan perdagangan/jasa,
perumahan dan perkantoran, perdagangan/jasa dan perkantoran.
Penggunaan kategori zona campuran di dalam rencana zonasi bertujuan
untuk mendorong pertumbuhan suatu bagian kawasan perkotaan agar
menjadi satu fungsi ruang tertentu. Kategori zona campuran juga dapat
digunakan untuk mengakomodasi adanya suatu bagian kawasan
perkotaan yang memiliki lebih dari satu fungsi ruang, yang harmonis
namun tidak dapat secara utuh dikategorikan ke dalam salah satu zona.
Penggunaan kategori zona campuran harus didukung oleh:
a) Adanya batas zona yang jelas yang dapat membatasi perluasan
fungsi campuran lebih lanjut; dan
b) Harus ada upaya untuk mendorong perkembangan fungsi
campuran menuju ke satu zona peruntukan tertentu.
Dalam menentukan klasifikasi zona/subzona lindung dan budidaya dalam RDTR,
perlu dibuat kriteria pengklasifikasian zona/subzona yang memuat sekurang-kurangnya:
a. Nama zona/subzona;
b. Kode zona/subzona;
c. Definisi zona/subzone memuat pengertian lebih lanjut tentang
zona/subzona;
d. Tujuan penetapan zona memuat tujuan yang ingin dicapai untuk
setiap zona/subzona lindung dan budidaya dalam RDTR;
e. Kriteria performazona/subzona merupakan kualitas atau kinerja
yang harus dipenuhi untuk mencapai tujuan penetapan masing-
masing zona/subzona; dan
f. Kriteria perencanaan zona merupakan kriteria dan standar untuk
merencanakan ruang suatu zona agar tercapai tujuan penetapan
zona/subzona. Khusus untuk zona perumahan harus
mencantumkan luas persil minimum dan luas persil maksimum
tiap zona/subzona.
Penjabaran zona menjadi sub zona harus memperhatikan dua hal yaitu:

28
a. Perbedaan dasar pengertian antara zona peruntukan ruang dengan
kegiatan; dan
b. hakekat zona adalah fungsi ruang, dan penjabarannya pun
sebaiknya mengikuti perbedaan fungsi ruang.
Apabila pada BWP hanya terdapat satu jenis subzone dari zona tertentu,
subzone tersebut dapat dijadikan zona tersendiri. Subzona juga dapat dijadikan zona
tersendiri apabila subzona tersebut memiliki luas yang signifikan atau memiliki
persentase yang besar terhadap luas BWP. Setiap Sub BWP terdiri atas blok yang
dibagi berdasarkan batasan fisik antara lain seperti jalan, sungai, dan sebagainya.
Pengilustrasian overlay peta yang didelineasi berdasarkan fisik (BWP, Sub BWP, dan
blok) hingga peta yang didelineasi berdasarkan fungsi (zona dan subzona) ditunjukan
pada gambar II.7. Dalam hal luas BWP relatif kecil, rencana pola ruang dapat
digambarkan secara langsung ke dalam blok. Contoh pendelineasian peta yang
digambarkan dari BWP ke Sub BWP hingga blok dapat dilihat pada Gambar II.8, dan
contoh pendeliniasian peta yang digambarkan secara langsung dari BWP ke dalam blok
dapat dilihat pada Gambar II.9. Adapun pengilustrasian pembagian zona-zona
peruntukan ke dalam blok disertai pengkodean berbagai subzona pada suatu Sub BWP
dapat dilihat pada Gambar II.10.
Kegiatan dapat ditetapkan menjadi suatu zona apabila memiliki kriteria sebagai
berikut:
a. memiliki dampak dan tingkat gangguan yang signifikan terhadap lingkungan di
sekelilingnya sehingga perlu diatur dan dikendalikan; dan/atau
b. memiliki keragaman kegiatan yang memerlukan pengaturan.
Apabila diperlukan, zona dapat dibagi lagi menjadi beberapa subzona atau sub
subzona, sedangkan apabila tidak memenuhi kriteria tersebut di atas, maka tidak
diklasifikasikan sebagai zona dimasukkan kedaftar kegiatan didalam matriks ITBX.
Apabila BWP terlalu luas untuk digambarkan ke dalam satu peta berskala 1:5.000, maka
peta rencana pola tersebut dapat digambarkan kedalam beberapa lembar peta
berdasarkan Sub BWP, seperti dapat dilihat pada Gambar II.11. Adapun untuk zona
rawan bencana, peta digambarkan secara terpisah dari peta rencana pola.

29
Gambar II.6 Ilustrasi Pembagian BWP
(Sumber: Lampiran I, Pemen ATR/BPN No. 16 Tahun 2018)

30
Gambar II.7 Ilustrasi Pembagian BWP ke dalam Sub BWP hingga Blok
(Sumber: Lampiran I, Pemen ATR/BPN No. 16 Tahun 2018)

Gambar II.8 Ilustrasi Pembagian BWP Langsung ke dalam Blok


(Sumber: Lampiran I, Pemen ATR/BPN No. 16 Tahun 2018)

31
Gambar II.9 Ilustrasi Pembagian Subzona di dalam Blok dan
Subblok pada Satu Sub BWP
(Sumber: Lampiran I, Pemen ATR/BPN No. 16 Tahun 2018)

32
Gambar II.10 Penyajian Peta Rencana Pola Ruang untuk BWP yang Luas
(Dibagi ke dalam Beberapa Lembar Peta)
(Sumber: Lampiran I, Pemen ATR/BPN No. 16 Tahun 2018)

Peta rencana pola ruang digambarkan dengan ketentuan sebagai berikut:


a. Rencana pola ruang digambarkan dalam peta dengan skala atau
tingkat ketelitian informasi minimal 1:5.000, serta mengikuti
ketentuan mengenai sistem informasi geografis yang dikeluarkan
oleh kementerian/lembaga yang berwenang;
b. Cakupan rencana pola ruang meliputi ruang darat dan laut
dengan batasan mengacu pada peraturan perundang-undangan;
c. Apabila terdapat rencana pemanfaatan ruang yang berada di
bawah permukaan tanah (ruang dalam bumi) maka digambarkan
dalam peta tersendiri dan dilengkapi dengan gambar
potongan/penampang;
d. Rencana pola ruang dapat digambarkan kedalam beberapa
lembar peta yang tersusun secara beraturan mengikuti ketentuan
yang berlaku;
e. Peta rencana pola ruang harus sudah menunjukkan batasan
bidang tanah/persil untuk wilayah yang sudah terbangun;

33
f. Rencana pola ruang disajikan dalam format digital sesuai dengan
standar yang akan diatur lebih lanjut melalui pedoman tersendiri;
dan
g. Rencana pola ruang dapat digambarkan juga dalam model 3
(tiga) dimensi.
Ketentuan teknis mengenai penyusunan peta RDTR (peta rencana struktur
ruang dan peta rencana pola ruang) akan diatur lebih lanjut melalui pedoman
tersendiri.

4. Penetapan Sub BWP yang Diprioritaskan


Penetapan Sub BWP yang diprioritaskan penanganannya merupakan upaya
dalam rangka operasionalisasi rencana tata ruang yang diwujudkan ke dalam rencana
penanganan Sub BWP yang diprioritaskan. Penetapan Sub BWP yang diprioritaskan
penanganannya bertujuan untuk mengembangkan, melestarikan, melindungi,
memperbaiki, mengkoordinasikan keterpaduan pembangunan, dan/atau melaksanakan
revitalisasi di kawasan yang bersangkutan, yang dianggap memiliki prioritas tinggi
dibandingkan Sub BWP lainnya. Sub BWP yang diprioritaskan penanganannya
merupakan lokasi pelaksanaan salah satu program prioritas dari RDTR. Penetapan Sub
BWP yang diprioritaskan penanganannya berfungsi sebagai:
 dasar penyusunan RTBL dan rencana teknis pembangunan sektoral; dan
 dasar pertimbangan dalam penyusunan indikasi program prioritas RDTR.
Penetapan Sub BWP yang diprioritaskan penanganannya ditetapkan
berdasarkan:
a. tujuan penataan BWP;
b. nilai penting Sub BWP yang akan ditetapkan;
c. kondisi ekonomi, sosial-budaya, dan lingkungan Sub BWP yang akan
ditetapkan;
d. daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup BWP; dan
e. ketentuan peraturan perundang-undangan terkait.

Penetapan Sub BWP yang diprioritaskan penanganannya ditetapkan dengan


kriteria:
a. merupakan faktor kunci yang mendukung perwujudan rencana pola ruang
dan rencana jaringan prasarana, serta pelaksanaan peraturan zonasi di
BWP;
b. mendukung tercapainya agenda pembangunan dan pengembangan
kawasan;

34
c. merupakanSub BWP yang memiliki nilai pentingdari sudutkepentingan
ekonomi, sosial-budaya, pendayagunaan sumber daya alam dan/atau
teknologi tinggi, fungsi dan daya dukung lingkungan hidup, dan/atau
memiliki nilai penting lainnya yang sesuai dengan kepentingan
pembangunan BWP; dan/atau
d. merupakan Sub BWP yang dinilai perlu dikembangkan, diperbaiki,
dilestarikan, dan/atau direvitalisasi agar dapat mencapai standar tertentu
berdasarkan pertimbangan ekonomi, sosial-budaya, dan/atau lingkungan.

Penetapan Sub BWP yang diprioritaskan penanganannya harus memuat sekurang-


kurangnya:

a. Lokasi
Lokasi Sub BWP yang diprioritaskan penanganannya digambarkan dalam
peta. Lokasi tersebut dapat meliputi seluruh wilayah Sub BWP yang
ditentukan, atau dapat juga meliputi sebagian saja dari wilayah Sub BWP
tersebut. Batas delineasi lokasi Sub BWP yang diprioritaskan
penanganannya ditetapkan dengan mempertimbangkan:

1) batas fisik, seperti blok dan subblok;


2) fungsi kawasan, seperti zona dan subzona;
3) wilayah administratif, seperti RT, RW, desa/kelurahan, dan kecamatan;
4) penentuan secara kultural tradisional, seperti kampung, desa adat,
gampong, dan nagari;
5) kesatuan karakteristik tematik, seperti kawasan kota lama, lingkungan
sentra perindustrian rakyat, kawasan sentra pendidikan, kawasan
perkampungan tertentu, dan kawasan permukiman tradisional; dan
6) jenis kawasan, seperti kawasan baru yang berkembang cepat, kawasan
terbangun yang memerlukan penataan, kawasan dilestarikan, kawasan
rawan bencana, dan kawasan gabungan atau campuran.

b. Tema Penanganan
Tema penanganan adalah program utama untuk setiap lokasi. Tema
penanganan Sub BWP yang diprioritaskan penanganannya terdiri atas:
1) perbaikan prasarana, sarana, dan blok/kawasan, contohnya melalui
penataan lingkungan permukiman kumuh (perbaikan kampung), dan
penataan lingkungan permukiman nelayan;

35
2) pengembangan kembali prasarana, sarana, dan blok/kawasan,
contohnya melalui peremajaan kawasan, pengembangan kawasan
terpadu, serta rehabilitasi dan rekonstruksi kawasan pascabencana;
3) pembangunan baru prasarana, sarana, dan blok/kawasan, contohnya
melalui pembangunan kawasan perumahan umum (public housing) yang
dibangun oleh pemerintah dan swasta (Kawasan Siap
Bangun/Lingkungan Siap Bangun-Berdiri Sendiri), pembangunan
kawasan terpadu, pembangunan desa agropolitan, pembangunan
kawasan perbatasan; dan/atau
4) pelestarian/pelindungan blok/kawasan, contohnya melalui pelestarian
kawasan, konservasi kawasan, dan revitalisasi kawasan.

5. Ketentuan Pemanfaatan Ruang


Ketentuan pemanfaatan ruang dalam RDTR merupakan upaya mewujudkan
RDTR dalam bentuk program pengembangan BWP dalam jangka waktu perencanaan 5
(lima) tahunan sampai akhir tahun masa perencanaan sebagaimana diatur dalam
pedoman ini. Ketentuan pemanfaatan ruang berfungsi sebagai:
a. dasar pemerintah dan masyarakat dalam pemrograman investasi
pengembangan BWP;
b. arahan untuk sektor dalam penyusunan program;
c. dasar estimasi kebutuhan pembiayaan dalam jangka waktu 5 (lima) tahunan
dan penyusunan program tahunan untuk setiap jangka 5 (lima) tahun; dan
d. acuan bagi masyarakat dalam melakukan investasi.
Ketentuan pemanfaatan ruang disusun berdasarkan:
a. rencana pola ruang dan rencana struktur ruang;
b. ketersediaan sumber daya dan sumber dana pembangunan;
c. kesepakatan para pemangku kepentingan dan kebijakan yang ditetapkan;
d. masukan dan kesepakatan dengan para investor; dan
e. prioritas pengembangan BWP dan pentahapan rencana pelaksanaan
program yang sesuai dengan Rencana Pembangunan Jangka Panjang
(RPJP) daerah dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM)
daerah, serta rencana terpadu dan program investasi infrastruktur jangka
menengah (RPI2JM).

36
Ketentuan pemanfaatan ruang disusun dengan kriteria:
a. mendukung perwujudan rencana pola ruang dan rencana penyediaan
prasarana perkotaan di BWP serta perwujudan Sub BWP yang
diprioritaskan penanganannya;
b. mendukung program penataan ruang wilayah kabupaten/kota;
c. realistis, objektif, terukur, dan dapat dilaksanakan dalam jangka waktu
perencanaan;
d. konsisten dan berkesinambungan terhadap program yang disusun, baik
dalam jangka waktu tahunan maupun lima tahunan; dan
e. terjaganya sinkronisasi antar program dalam satu kerangka program
terpadu pengembangan wilayah kabupaten/kota.
Ketentuan pemanfaatan ruang disusun dengan kriteria:
a. Program Pemanfaatan Ruang Prioritas
Program pemanfaatan ruang prioritas merupakan program-program
pengembangan BWP yang diindikasikan memiliki bobot tinggi berdasarkan
tingkat kepentingan atau diprioritaskan dan memiliki nilai strategis untuk
mewujudkan rencana sruktur ruang dan rencana pola ruang di BWP sesuai
tujuan penataan BWP. Program pemanfaatan ruang dapat memuat kelompok
program sebagai berikut:
1) program perwujudan rencana struktur ruang yang meliputi:
a) perwujudan pusat pelayanan kegiatan di BWP;
b) perwujudan jaringan transportasi di BWP; dan
c) perwujudan jaringan prasarana untuk BWP, yang mencakup pula
prasarana nasional dan wilayah/regional didalam BWP yang
terdiri atas:
(1) perwujudan jaringan energi/kelistrikan;
(2) perwujudan jaringan telekomunikasi;
(3) perwujudan jaringan air minum;
(4) perwujudan jaringan drainase;
(5) perwujudan jaringan air limbah; dan/atau
(6) perwujudan jaringan prasarana lainnya.
2) program perwujudan rencana pola ruang di BWP yang meliputi:
a) perwujudan zona lindung pada BWP termasuk didalam
pemenuhan kebutuhan RTH; dan
b) perwujudan zona budi daya pada BWP yang terdiri atas:

37
(1) perwujudan penyediaan fasilitas sosial dan fasilitas umum
di BWP;
(2) perwujudan ketentuan pemanfaatan ruang untuk setiap
jenis pola ruang;
(3) perwujudan intensitas pemanfaatan ruang blok;
dan/atau
(4) perwujudan tata bangunan.
3) program perwujudan penetapan Sub BWP yang diprioritaskan
penanganannya yang terdiri atas:
a) program penyusunan RTBL;
b) perbaikan prasarana, sarana, dan blok/kawasan;
c) pembangunan baru prasarana, sarana, dan blok/kawasan;
d) pengembangan kembali prasarana, sarana, dan blok/kawasan;
dan/atau
e) pelestarian/pelindungan blok/kawasan.
4) program perwujudan ketahanan terhadap perubahan iklim, dapat
sebagai kelompok program tersendiri atau menjadi bagian dari
kelompok program lainnya, disesuaikan berdasarkan kebutuhannya.
b. Lokasi
Lokasi merupakan tempat dimana usulan program akan dilaksanakan.
c. Besaran dan Biaya
Besaran merupakan perkiraan jumlah satuan dan biaya masing-masing
usulan program prioritas pengembangan wilayah yang akan dilaksanakan.
d. Sumber Pendanaan
Sumber pendanaan dapat berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja
Daerah (APBD) Kabupaten/Kota, APBD provinsi, Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara (APBN), swasta, dan/atau masyarakat. Sumber pendanaan
dapat dilengkapi dengan perkiraan kebutuhan biaya bagi masing-masing
program.
e. Instansi Pelaksana
Instansi pelaksana merupakan pihak-pihak pelaksana program prioritas yang
meliputi pemerintah seperti satuan kerja perangkat daerah (SKPD), dinas
teknis terkait, dan/atau kementerian/lembaga, swasta, dan/atau masyarakat.
f. Waktu dan Tahapan Pelaksanaan
Program direncanakan dalam kurun waktu perencanaan 20 (dua puluh) tahun
yang dirinci setiap 5 (lima) tahunan dan masing-masing program mempunyai
durasi pelaksanaan yang bervariasi sesuai kebutuhan. Penyusunan program

38
prioritas disesuaikan dengan pentahapan jangka waktu 5 tahunan RPJP
daerah kabupaten/kota.

II.3.2 Muatan Peraturan Zonasi


A. Pengertian Peraturan Zonasi
Untuk menyamakan persepsi maka terlebih dahulu perlu disampaikan beberapa
definisi tentang apa yang dimaksud dengan zona, zoning dan zoning regulation. Zona
adalah:
 Kawasan atau area yang memiliki fungsi dan karakteristik lingkungan yang
spesifik;
 Kategori penggunaan atau aktivitas lahan, bangunan, struktur atau aktivitas yang
diijinkan oleh hukum yang berlaku;
 Suatu area yang digambarkan dalam sebuah peta rencana zoning serta disusun
dan dirancang berdasarkan suatu peraturan untuk penggunaan khusus.
 Suatu area dalam hubungannya dengan ketetapan peraturan terkait; penggunaan
tertentu dari suatu lahan, bangunan dan struktur dijinkan dan penggunaan lainnya
dibatasi, dimana lapangan dan lahan terbuka diwajibkan; sementara untuk
kapling, batas ketinggian bangunan dan persyaratan lainnya ditetapkan, semua
yang terlebih dahulu diidentifikasi untuk zona dan wilayah dimana penggunaan
dilakukan;
 Bagian wilayah kota, jalan, gang dan jalan umum lainnya, yang merupakan
penggunaan tertentu dari suatu lahan, lokasi dan bangunan tidak diijinkan, dimana
lapangan tertentu dan ruang terbuka diwajibkan dan batas ketinggian bangunan
tertentu ditetapkan.
Zoning merupakan:
 pembagian lingkungan kota ke dalam zona-zona dan menetapkan pengendalian
pemanfaatan ruang / memberlakukan ketentuan hukum yang berbeda-beda
(Barnett, 1982: 60-61; So, 1979:251).
 pembagian kawasan ke dalam beberapa zona sesuai dengan fungsi dan
karakteristik semula atau diarahkan bagi pengembangan fungsi-fungsi lain.
Peraturan zonasi merupakan:
 Ketentuan yang mengatur tentang persyaratan pemanfaatan ruang dan ketentuan
pengendaliannya dan disusun untuk setiap blok/zona peruntukan yang penetapan
zonanya dalam rencana rinci tata ruang.

39
 Ketentuan yang mengatur tentang klasifikasi zona dan penerapannya ke dalam
ruang kota, pengaturan lebih lanjut mengenai pemanfaatan ruang, dan prosedur
pelaksanaan pembangunan
 Ketentuan yang mengatur tentang klasifikasi, notasi dan kodifikasi zona-zona
dasar, peraturan penggunaan, peraturan pembangunan dan berbagai prosedur
pelaksanaan pembangunan.
Definisi Zonasi:
 Zona adalah kawasan atau Area yang memiliki fungsi dan karakteristik lingkungan
yang spesifik
 Zoning adalah pembagian lingkungan kota ke dalam zona-zona dan menetapkan
pengendalian pemanfaatan ruang atau memberlakukan ketentuan hokum yang
berbeda-beda (Barnett, 1982)
 Zoning Regulation adalah ketentuan yang mengatur tentang klasifikasi zona,
pengaturan lebih lanjut mengenai pemanfaatan lahan, dan prosedur pelaksanaan
pembangunan
Karakteristik Zonasi:
 Suatu zona mempunyai aturan yang seragam (guna lahan, intensitas, massa
bangunan)
 Satu zona dengan zona lainnya bias berbeda ukuran dan aturan
 Di beberapa Negara zoning dikenal dalam berbagai istilah
- Land development code
- Zoning code
- Zoning resolution
- Zoning by-law
- Urban code
- Panning act, dan lain-lain.
Blok Peruntukan / Persil adalah satu persil atau lebih dari satu persil yang
berdampingan dengan satu kepemilikan. Petak Peruntukan adalah bagian dari blok
peruntukan dengan penggunaan tertentu yang menunjang kegiatan dari blok
peruntukannya.
Di beberapa negara zoning regulation dikenal juga dengan istilah: land
development code, zoning code, zoning ordinance, zoning resolution, zoning by-law,
urban code, panning act, dll. Berdasarkan penjelasan tersebut maka Peraturan zonasi
dikenal dengan berbagai istilah antara lain:
 Zoning code (San Diego)

40
 Zoning ordinance (New York)
 Zoning and land development code (Palm Beach)
 Zoning resolution / zoning regulation (beberapa kota di Amerika Serikat)
 Town Planning Act and Zoning Code (Jepang)
 Reglement de zone (Perancis).
Istilah yang paling banyak digunakan adalah peraturan zonasi (zoning regulation).
Peraturan zonasi bukanlah hal yang baru dalam praktek perencanan kota di berbagai
negara. Bahkan kota-kota di Eropa sudah mengenal peraturan ini sejak lama, lebih dulu
dari kota-kota di Amerika Serikat dan kota-kota di benua lainnya.
Secara umum model peraturan zonasi yang berkembang di berbagai negara
dapat dikelompokkan menjadi 3 model yaitu: floating zoning (Perancis), flexible zoning
dan rigid zoning (Amerika Serikat). Akan tetapi model rigid zoning sudah banyak
ditinggalkan oleh beberapa kota di dunia dan barangkali hanya tinggal sedikit saja kota
yang masih memberlakukannya. Di Indonesia, peraturan zonasi tidak dituliskan dalam
ketentuan umum Undang-Undang Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang, tetapi
dalam penjelasan sebagai berikut:
1. Penjelasan umum angka 6
Peraturan zonasi merupakan ketentuan yang mengatur tentang persyaratan
pemanfaatan ruang dan ketentuan pengendaliannya yang disusun untuk setiap
blok/zona peruntukan yang menetapkan zonasi dalam rencana rinci tata ruang.
2. Penjelasan pasal 36 ayat 1
Peraturan zonasi merupakan ketentuan yang mengatur pemanfaatan ruang dan
unsur-unsur pengendalian yang disusun untuk setiap zona peruntukan sesuai
dengan rencana rinci tata ruang.

B. Fungsi dan Statur Hukum Peraturan Zonasi


Berdasarkan Undang-Undang Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang,
dijelaskan bahwa peraturan zonasi memiliki fungsi dan status hukum sebagai berikut:
1. Peraturan zonasi merupakan salah satu perangkat pengendalian
pemanfaatan ruang dimana Pengendalian pemanfaatan ruang dilakukan
melalui penetapan peraturan zonasi, perizinan, pemberian insentif dan
disinsentif, serta pengenaan sanksi (ps. 35 UU No.26/2007)
2. Peraturan zonasi disusun sebagai pedoman pengendalian pemanfaatan
ruang (ps 36 ayat 1 UU No.26/2007).

41
- Pelaksanaan rencana rinci tata ruang untuk mengoperasionalkan rencana
umum tata ruang harus tetap mematuhi batasan yang telah diatur dalam
rencana rinci dan peraturan zonasi.
- Penyempurnaan rencana rinci tata ruang berdasarkan aspirasi
masyarakat harus tetap mematuhi batasan yang telah diatur dalam
rencana rinci dan peraturan zonasi (penjelasan ps. 14 ayat 1 UU
No.26/2007).
3. Peraturan zonasi yang melengkapi rencana rinci tata ruang kabupaten/kota
menjadi salah satu dasar dalam pengendalian pemanfaatan ruang sehingga
pemanfaatan ruang dapat dilakukan sesuai dengan rencana umum tata ruang
dan rencana rinci tata ruang (penjelasan umum angka 6 UU No.26/2007).
Berdasarkan penjelasan diatas maka fungsi utama Peraturan Zonasi adalah
sebagai berikut:
1. Sebagai instrumen pengendalian pembangunan. Peraturan zonasi yang lengkap
dapat menjadi rujukan untuk perizinan, penerapan insentif/disinsentif, dan
penertiban pemanfaatan ruang dimana akan memuat prosedur-prosedur
pelaksanaan pembangunan sampai dengan tata tertibnya.
2. Sebagai pedoman penyusunan rencana operasional. Ketentuan dalam peraturan
zonasi dapat menjadi jembatan dalam penyusunan rencana tata ruang yang
bersifat operasional, karena memuat ketentuan-ketentuan tentang penjabaran
rencana yang bersifat makro ke dalam rencana yang bersifat sub makro sampai
pada rencana yang rinci. Dengan menggunakan peraturan zonasi maka akan
terlihat penjabaran yang terbesar sampai dengan yang paling detail.
3. Sebagai panduan teknis pengembangan tapak/pemanfaatan lahan. Peraturan
zonasi mencakup panduan teknis untuk pengembangan / pemanfaatan sebuah
tapak yang mencakup guna lahan, intensitas pembangunan, tata bangunan,
prasarana minimum, dan standar perencanaan.
Status Hukum dan Materi Peraturan Zonasi, Karena akan mengikat Pemerintah
Daerah dan masyarakat (public), maka peraturan zonasi harus ditetapkan dengan
peraturan daerah (pasal 36 ayat 3 Undang-Undang No.26 Tahun 2007 tentang Penataan
Ruang). Selain berisi aturan, peraturan daerah ini juga menetapkan sanksi bagi pihak
yang melanggarnya, aturan ini terdiri dari “zonning text” dan “zonning map”.

C. Tujuan dan Manfaat Peraturan Zonasi


Tujuan utama dari pembuatan peraturan zonasi adalah sebagai berikut:

42
1. Menjamin bahwa pembangunan yang akan dilaksanakan dapat mencapai standar
kualitas lokal minimum (health, safety and welfare)
2. Melindungi atau menjamin agar pembangunan baru tidak mengganggu penghuni
atau pemanfaat ruang yang telah ada.
3. Memelihara nilai properti
4. Memelihara/memantapkan lingkungan dan melestarikan kualitasnya
5. Menyediakan aturan yang seragam di setiap zona
Contoh: mengurangi kemacetan lalu-lintas; menjamin keselamatan dari
kebakaran; kepanikan, dan bahaya lain; mendorong kesehatan dan kesejahteraan umum;
menyediakan cahaya dan udara yang cukup; mencegah terlalu padat; menghindarkan
konsentrasi penduduk berlebihan; menyediakan fasilitas transportasi, air bersih, saluran
buangan, sekolah, taman, dan kebutuhan publik lainnya” (Planning Act, Ontario-Canada,
s.3)
Selain itu, penyusunan peraturan zonasi juga bertujuan sebagai berikut:
- Mengatur kepadatan penduduk dan intensitas kegiatan, mengatur keseimbangan
dan keserasian peruntukan tanah dan menentukan tindak atas suatu satuan
ruang.
- Melindungi kesehatan, keamanan dan kesejahteraan masyarakat.

- Mencegah kesemrawutan, menyediakan pelayanan umum yang memadai serta


meningkatkan kualitas hidup.
- Meminimumkan dampak pembangunan yang merugikan.

- Memudahkan pengambilan keputusan secara tidak memihak dan berhasil guna


serta mendorong peran serta masyarakat.
Peraturan Zonasi harus dibuat sesuai dengan RDRTK dan berdasarkan
pertimbangan yang beralasan/masuk akal (misal: karakter kawasan, kesesuaian dengan
guna lahan tertentu, konservasi nilai bangunan, dan mendorong guna lahan yang paling
tepat). Pada awalnya, peraturan zonasi ditujukan untuk beberapa hal sebagai berikut
(Barnett, 1982:61):
- Mengatur kegiatan yang boleh ada di suatu zona.

- Menerapkan pemunduran bangunan di atas ketinggian tertentu agar sinar


matahari jatuh ke jalan dan trotoar dan sinar serta udara mencapai bagian dalam
bangunan.
- Pembatasan besar bangunan di zona tertentu agar pusat kota menjadi kawasan
yang paling intensif pemanfaatan ruangnya.
Adapun Manfaat dari pembuatan peraturan zonasi ini adalah sebagai berikut:

43
- Meminimalkan penggunaan lahan yang tidak sesuai

- Meningkatkan pelayanan terhadap fasilitas yang bersifat publik

- Menjaga keseimbangan kehidupan masyarakat

- Mendorong pengembangan ekonomi


Kelebihan peraturan zonasi antara lain certain (pasti), predictable, legitimate,
accountable. Sedangkan kelemahan peraturan zonasi antara lain: tidak ada yang dapat
meramalkan keadaan di masa depan secara rinci, sehingga banyak permintaan
”REZONING” (karena itu, amandemen peraturan zonasi menjadi penting).

D. Ketentuan Penyusunan Peraturan Zonasi


1. Materi, Isi dan Penetapan Peraturan Zonasi
1) Materi Peraturan Zonasi disusun berdasarkan:
- Penyusunan peraturan zonasi didasarkan pada RDTR kabupaten/kota dan
RTR kawasan strategis kabupaten/kota (ps. 14 ayat 3 huruf c Undang-
Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang)
- Peraturan zonasi disusun berdasarkan rencana rinci tata ruang untuk setiap
zona pemanfaatan ruang (ps. 36 ayat 2 Undang-Undang Nomor 26 Tahun
2007 tentang Penataan Ruang).
2) Adapun isi dari peraturan zonasi meliputi (penjelasan ps. 36 ayat 1 Undang-
Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang):
- Ketentuan yang harus, boleh, dan tidak boleh dilaksanakan pada zona
pemanfaatan ruang
- Amplop ruang (koefisien dasar ruang hijau, koefisien dasar bangunan,
koefisien lantai bangunan, dan garis sempadan bangunan),
- Penyediaan sarana dan prasarana,

- Ketentuan lain yang dibutuhkan untuk mewujudkan ruang yang aman,


nyaman, produktif, dan berkelanjutan, antara lain:
 keselamatan penerbangan,
 pembangunan pemancar alat komunikasi,
 pembangunan jaringan listrik tegangan tinggi
Catatan:
 Istilah yang umum digunakan untuk “amplop ruang” adalah BUILDING
ENVELOPE (AMPLOP BANGUNAN)
 Amplop bangunan dibatasi oleh GSB, tinggi bangunan, dan sky exposure.

44
3) Penetapan Peraturan Zonasi (ps. 36 ayat 3 Undang-Undang Nomor 26 Tahun
2007 tentang Penataan Ruang):
- Arahan peraturan zonasi sistem nasional dengan peraturan pemerintah;

- Arahan peraturan zonasi sistem provinsi dengan peraturan daerah provinsi;

- Peraturan zonasi (kabupaten/kota) dengan peraturan daerah kabupaten/kota;


Catatan: Sebagian peraturan zonasi untuk kawasan lindung sudah diatur dalam
PP No. 26/2008 tentang RTRWN.

2. Peraturan Zonasi Harus Tercantum Dalam


1) RTRWN memuat: arahan pengendalian pemanfaatan ruang wilayah nasional
yang berisi indikasi arahan peraturan zonasi sistem nasional, arahan perizinan,
arahan insentif dan disinsentif, serta arahan sanksi (ps. 20 ayat 1 huruf f
Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang).
2) RTRWP memuat: arahan pengendalian pemanfaatan ruang wilayah provinsi
yang berisi indikasi arahan peraturan zonasi sistem provinsi, arahan perizinan,
arahan insentif dan disinsentif, serta arahan sanksi (ps. 23 ayat 1 huruf f
Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang)
3) RTRW Kabupaten/Kota memuat: ketentuan pengendalian pemanfaatan ruang
wilayah kota/kabupaten yang berisi ketentuan umum peraturan zonasi, ketentuan
perizinan, ketentuan insentif dan disinsentif, serta arahan sanksi (ps. 26 ayat 1
huruf f Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang)

3. Insentif/Disinsentif dan Ketentuan Sanksi


1) Penerapan insentif atau disinsentif secara terpisah dilakukan untuk perizinan
skala kecil/individual sesuai dengan peraturan zonasi (penjelasan ps. 38 ayat 1
Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang)
2) Pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 Undang-Undang
Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang merupakan tindakan penertiban
yang dilakukan terhadap pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan rencana
tata ruang dan peraturan zonasi.  
3) Pengenaan sanksi, yang merupakan salah satu upaya pengendalian
pemanfaatan ruang, dimaksudkan sebagai perangkat tindakan penertiban atas
pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang dan peraturan
zonasi (penjelasan umum angka 7 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007
tentang Penataan Ruang).

45
4. Wewenang Pemerintah
1) Wewenang Pemerintah: menyebarluaskan informasi yang berkaitan dengan
arahan peraturan zonasi untuk sistem nasional yang disusun dalam rangka
pengendalian pemanfaatan ruang wilayah nasional (ps. 8 ayat 6 huruf a angka 2
Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang)
2) Wewenang Pemerintah Daerah Provinsi menyebarluaskan informasi yang
berkaitan dengan: arahan peraturan zonasi untuk sistem provinsi yang disusun
dalam rangka pengendalian pemanfaatan ruang wilayah provinsi (ps. 10 ayat 6
huruf a angka 2 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan
Ruang)
3) Wewenang Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota dalam ps. 11 ayat 5 huruf a
Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang tidak
menyebutkan penyebarluasan informasi yang berkaitan dengan peraturan zonasi

5. Kewajiban Pemerintah Dalam Pengendalian Pembangunan


1) Mewujudkan keadilan, mengurangi konflik dan dampak negatif pemanfaatan
ruang serta menjamin berlangsungnya pembangunan kota yang efisien, efektif
serta sesuai fungsi kota dan konsisten dengan rencana tata ruang.
2) Menjalankan fungsi pengendalian pemanfaatan ruang, di samping sebagai
pelaksana pembangunan.
3) Menjalankan peran serta masyarakat dalam melaksanakan pembangunan,
termasuk dalam pengendalian pemanfaatan ruang.

6. Landasan Kewenangan Pemerintah dalam Penyusunan Peraturan Zonasi


1) Police Power
- Kewenangan menerapkan peraturan hukum (pengaturan, pengawasan dan
pengendalian pembangunan di atas lahan maupun kegiatan manusia yang
menghuninya) untuk menjamin kesehatan umum, keselamatan, moral dan
kesejahteraan.
- Seringkali dianggap sebagai ‘limitation on private property/individual rights’.
2) Taxation: Kewenangan mengenakan beban atau pungutan yang dilandasi
kewajiban hukum terhadap perorangan/kelompok atau pemilik lahan untuk tujuan
kepentingan umum.
3) Landasan lainnya adalah bundles of rights, eminent domain, dan spending
power

46
7. Objek yang Dikendalikan
1) Penggunaan lahan/kegiatan:
- (Memperkecil) konflik antarguna lahan (negative externalities)

- (Memaksimalkan) manfaat antarguna lahan


2) Lokasi kegiatan/pembangunan
3) Waktu pembangunan/ redevelopment
4) Penyediaan prasarana minimum yang diperlukan
5) Tampilan lingkungan
- struktur dan tapak bersejarah/estetik;

- lingkungan lama yang indah/menarik;

- keragaman dalam pembangunan baru/ redevelopment)


6) Alat/cara untuk kompensasi ekonomi
7) Kecukupan rancangan fisik dari pembangunan baru, dan pemeliharaan kualitas
lingkungan binaan/terbangun

E. Tata Cara Penyusunan Peraturan Zonasi


Tata cara penyusunan peraturan zonasi sedikitnya meliputi tahapan sebagai
berikut:
1. Penyusunan Klasifikasi Zonasi
2. Penyusunan Daftar Kegiatan
3. Penetapan / Delineasi Blok Peruntukan
4. Penyusunan Aturan Teknik Zonasi
5. Aturan kegiatan dan Penggunaan Lahan
6. Materi Peraturan Zonasi
7. Intensitas pemanfaatan Ruang
8. Tata massa bangunan
9. Aturan Prasarana Minimum
10. Aturan lain-lain / tambahan
11. Aturan khusus
12. Penyusunan standar teknis
13. Pemilihan teknik pengaturan zonasi
14. Penyusunan peta zonasi
15. Aturan variansi pemanfaatan Ruang
16. Aturan Insentif dan Disinsentif

47
17. Aturan perubahan klasifikasi zona
18. Penyusunan aturan dampak pemanfaatan ruang / dampak pembangunan
19. Peran serta masyarakat dalam penyusunan peraturan zonasi
20. Penyusunan Aturan administrasi zonasi

48

Anda mungkin juga menyukai