Anda di halaman 1dari 8

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Rencana Detail Tata Ruang


Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) adalah rencana peruntukan ruang detail yang dilengkapi
dengan rencana intensitas pemanfaatan ruang, rencana jaringan prasarana dan peraturan
zonasi. Peraturan zonasi adalah ketentuan persyaratan pemanfaatan ruang beserta dengan
ketentuan pengendaliannya.

Undang-undang 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang mengamanahkan bahwa RDTR


harus ditetapkan dengan Peraturan Daerah (Perda) Kabupaten/Kota. Masa berlaku Perda
RDTR secara normatif adalah 20 (duapuluh tahun) terhitung mulai tanggal ditetapkannya.
Namun demikian, oleh karena RDTR merupakan rencana rinci turunan dari RTRW
kabupaten/kota, masa berlaku Perda RDTR akan sangat dipengaruhi oleh perubahan fungsi
kawasan yang ditetapkan di dalam Perda RTRW induknya. Masa berlaku Perda RDTR dapat
berhenti sebelum 20 tahun, manakala Perda RTRW hasil peninjauan kembali menetapkan
fungsi yang berbeda pada suatu kawasan RDTR.1

Untuk suatu kawasan strategis provinsi berupa kawasan perkotaan lintas wilayah administrasi
kabupaten, yang rencana tata ruangnya setingkat dengan RDTR, dapat ditetapkan dengan
Peraturan Daerah Provinsi dan pelaksanaannya didekonsentrasikan kepada masing-masing
kabupaten.

Adanya produk hukum lain yang mengatur hal serupa dengan aturan yang ada di dalam RDTR
dan ditetapkan dengan peraturan kepala daerah dimungkinkan dengan catatan :

a. aturan tersebut mengatur hal yang lebih teknis dan lebih spesifik dibanding dengan
aturan yang ada di dalam RDTR;
b. aturan tersebut tidak diberi nama sebagai RDTR; dan
c. adanya aturan tersebut tidak menghilangkan kewajiban daerah untuk menyusun Perda
RDTR sebagaimana diamanahkan dalam PP 15 Tahun 2010.

Peraturan Pemerintah no 15 tahun 2010 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang


mengamanahkan bahwa Perda RDTR harus sudah ditetapkan selambat-lambatnya 36 (tiga
puluh enam bulan) sejak Perda RTRW Kabupaten/Kota ditetapkan. PP 15 tahun 2010 juga

1
Sebagai contoh. Adanya ancaman mega-earthquake/mega-tsunami mendorong pemerintah daerah provinsi
Sumatera Barat untuk memindahkan perkantorannya dari kawasan Jl Jenderal Sudirman-Padang ke kawasan
Air Pacah juga di kota Padang. Rencana perpindahan kawasan perkantoran provinsi ini telah ditetapkan dalam
Perda RTRW Kota Padang.
Seandainya Perda RTRW Kota Padang yang baru menetapkan Kawasan Jl Jenderal Sudirman sebagai
kawasan perdagangan dan jasa, sedangkan untuk kawasan Jl Jenderal Sudirman sudah terdapat Perda RDTR
untuk kawasan perkantoran, maka dengan ditetapkannya Perda RTRW Kota yang baru, Perda RDTR kawasan
Jl Jenderal Sudirman menjadi tidak berlaku dan harus direvisi, sekalipun masa berlaku Perda RDTR tersebut
masih belum sampai 20 tahun.

Naskah Petunjuk Teknis Penyusunan RDTR I-1 Dading Huisan Sabulubulu


mengamanahkan, bahwa seluruh kawasan perkotaan, baik bagian wilayah perkotaan suatu
kota otonom, maupun kawasan perkotaan fungsional di wilayah kabupaten, harus disusun
RDTRnya. Selanjutnya, Perda RDTR akan menjadi dasar bagi penerbitan Izin Mendirikan
Bangunan (IMB) di kawasan perkotaan.2

Di dalam jenjang perencanaan tata ruang, RDTR merupakan produk rencana tata ruang paling
rendah yang dimaksudkan untuk menjadi pedoman bagi pelaksanaan pemanfaatan ruang dan
pengendalian pemanfaatan ruang. Sebagai produk rencana tata ruang yang sangat mikro
sifatnya, RDTR memiliki ruang tumpang tindih dengan Rencana Tata Bangunan dan
Lingkungan (RTBL), seperti halnya dalam pengaturan intensitas pemanfaatan ruang.

Dari sisi keilmuan penyusunan RDTR tidak hanya bertumpu pada disiplin tata ruang semata,
namun juga sangat kuat ikatannya dengan disiplin arsitektur perkotaan atau urban design,
sosial-budaya serta hukum pertanahan dan tata bangunan. Sehubungan dengan itu penyusun
RDTR tidak hanya cukup memiliki pengetahuan tata ruang saja, tetapi juga harus memiliki cita
rasa seni atau sense of art dan pengetahuan lokal yang sangat tinggi, baik kondisi fisik
maupun karakteristik sosial-budayanya. Dimana kedua hal ini akan sangat menentukan
kualitas RDTR yang disusun.

Pada dasarnya, RDTR memiliki dua topik pekerjaan yang saling terkait satu sama lain.
Pertama, rencana spasial yang mengatur peruntukan ruang detail, intensitas pemanfaatan
ruang, jaringan prasarana, sub kawasan prioritas dan rencana pemanfaatan ruang. Pada
jenjang RTRW, rencana spasial dimaksudkan sebagai instrumen untuk mewujudkan tujuan
pengembangan wilayah kabupaten/kota, yang lebih condong pada peningkatan ekonomi
wilayah dan kesejahteraan masyarakat pada umumnya. Pada jenjang RDTR, rencana spasial
dimaksudkan untuk menciptakan suatu karakter ruang tertentu sesuai dengan fungsi
kawasannya dan sesuai dengan tujuan penataan ruangnya. Keterkaitan antara rencana
spasial RDTR dengan RTRW, terutama terletak pada fungsi kawasan yang ditetapkan di dalam
Perda RTRW. Fungsi kawasan yang dimaksudkan meliputi fungsi menurut struktur ruang
RTRW dan peruntukan ruang menurut rencana pola ruang RTRW.

Kedua, peraturan zonasi yang berisikan aturan-aturan yang harus diterapkan agar
pelaksanaan pemanfaatan ruang berjalan sesuai dengan rencana spasial yang ditetapkan.
Aturan-aturan yang ada di dalam Peraturan Zonasi dirumuskan dengan merujuk pada
rencana spasial dan pada peraturan perundang-undangan serta NSPK terkait. Perumusan
peraturan zonasi juga harus memperhatikan Ketentuan Umum Peraturan Zonasi yang ada
pada RTRW. Peraturan zonasi merupakan produk hukum bukan produk rencana spasial.

1.2 Pengertian Umum


Sebelum menjelaskan materi pokok RDTR dan Peraturan Zonasi ada beberapa pengertian
penting yang harus difahami dan disepakati, yaitu :

2
IMB di luar kawasan perkotaan diterbitkan berdasarkan pada RTRW Kabupaten. Ada bagian dalam Perda
RTRW Kabupaten yang menjadi dasar penerbitan IMB, yaitu Recana Pola Ruang dan Ketentuan Umum
Peraturan Zonasi.

Naskah Petunjuk Teknis Penyusunan RDTR I-2 Dading Huisan Sabulubulu


Kawasan Perencanaan, adalah bagian dari wilayah suatu kota otonom atau bagian dari
wilayah kabupaten yang di dalam Perda RTRW Kabupaten telah ditetapkan sebagai
kawasan perkotaan, dan menjadi objek perencanaan RDTR. Di dalam Permen PU no 20
Tahun 2011, kawasan perencanaan RDTR disebut sebagai Bagian Wilayah Perkotaan.

Bagian Wilayah Perkotaan atau BWP, adalah terminologi umum untuk kawasan
perencanaan RDTR. Kawasan perencanaan RDTR dapat berupa suatu kawasan fungsional
tertentu, seperti halnya kawasan perumahan, kawasan pusat kota dan sebagainya, atau
suatu wilayah administrasi tertentu, seperti halnya kelurahan atau kecamatan.
Penyebutan kawasan perencanaan RDTR tidak bersifat mengikat. Dapat disebut dengan
menggunakan terminologi BWP, dapat menggunakan nama kawasan fungsionalnya, atau
dapat menggunakan nama kelurahan atau kecamatan. Misalnya, RDTR BWP Pusat
Kota, atau RDTR Pusat Kota Banda Aceh atau RDTR Kecamatan Peunayong, dan
sebagainya.

Luas minimum kawasan perencanaan RDTR adalah 60 Ha. Kawasan yang lebih lebih kecil
dari 60 Ha menjadi ranah perencanaan Tata Bangunan dan Lingkungan (RTBL). Secara
fisik tidak ada batas maksimum luas kawasan perencanan RDTR. Secara fungsional,
kawasan perencanaan RDTR dibatasi oleh peruntukan ruang permukiman perkotaan yang
ditetapkan di dalam Perda RTRW kabupaten induknya, atau oleh wilayah administrasi
kota otonom yang menjadi induknya.

Sub BWP, adalah bagian dari kawasan perencanaan yang memiliki homogenitas fungsi
dan tema ruang serta rencana penangannya. Pembagian BWP ke dalam sub BWP
dilakukan untuk menerjemahkan Tujuan Penataan Ruang ke dalam suatu Konsep Ruang
utama yang menjadi landasan bagi penyusunan seluruh unsur rencana dan pengendalian
pemanfaatan ruang selanjutnya.

Kawasan Studi, adalah wilayah lebih luas dimana kawasan perencanaan atau BWP
berada, yang masih memiliki keterkaitan fungsional dengan jaringan prasarana yang ada
di dalam kawasan perencanaan. Cakupan kawasan studi sekurangnya adalah seluas
wilayah RTRW induknya. Pentingnya kawasan studi dalam rencana detail, terutama, pada
Kajian Lingkungan Hidup Strategis. Sebagai contoh, air bersih kota Medan dipasok dari
sumber mata air di Sibolangit - Kabupaten Deli Serdang. RDTR Kecamatan Tuntungan di
kota Medan akan memiliki kawasan studi yang meliputi sebagian wilayah kabupaten Deli
Serdang dari mana pasokan air bersih berasal.

Blok, adalah bagian terkecil kawasan perencanaan yang dibatasi oleh ruas jalan/rel KA
dan/atau saluran (air, listrik, dsb).

Zona, adalah bagian dari kawasan perencanaan yang mayoritas penggunaan ruangnya
diperuntukan bagi satu fungsi tertentu. Misalnya, zona perumahan adalah bagian dari
kawasan perencanaan yang mayoritas penggunaan ruangnya diperuntukan bagi rumah
tinggal, namun pada zona tersebut tidak tertutup adanya kegiatan lain yang bukan
rumah tinggal, sepanjang diperkenankan oleh peraturan perundang-undangan. Dalam
pemahaman praktis, zona dapat dipandang sebagai peruntukan ruang.

Naskah Petunjuk Teknis Penyusunan RDTR I-3 Dading Huisan Sabulubulu


Sub Zona, adalah peruntukan ruang lebih rinci dari Zona.
Di dalam RDTR, peruntukan ruang dapat dibuat berjenjang sesuai dengan tingkat
kerumitan (complexity) penggunaan ruang yang ada di dalam kawasan perencanaan.
Misalnya, zona perumahan dirinci menjadi sub zona perumahan kepadatan tinggi, sub
zona perumahan kepadatan sedang, dan sub zona kepadatan rendah.

Sub-sub Zona, adalah rincian lebih lanjut dari Sub Zona.


Sub zona yang merupakan rincian berdasarkan fungsi ruang dapat dirinci lebih lanjut
berdasarkan jenis bangunannya. Misalnya, sub zona perumahan kepadatan sedang dapat
dirinci menjadi sub-sub zona landed houses, sub-sub zona maisonette (rumah deret), sub-
sub zona rumah susun, dst. Pengaturan sub-sub zona sepenuhnya diserahkan kepada
masing-masing daerah agar disesuaikan kebutuhan pengaturan setempat.

Kegiatan atau activity, adalah suatu pemanfaatan ruang dimana penguasaan ruangnya
bersifat eksklusif pada satu fihak tertentu atau untuk suatu fungsi tertentu. Contoh,
kampus ITB (lama) seluas 11Ha adalah kegiatan pendidikan tinggi bukan zona pendidikan
tinggi. Tidak ada fihak lain yang dapat memanfaatkan ruang di dalam kampus ITB untuk
pendidikan tinggi lain. Pemanfaatan ruang di dalam kampus ITB bersifat eksklusif untuk
keperluan ITB yang berada di bawah otorita Rektor ITB.

Sebaliknya, kawasan yang terletak mulai dari Jl. Siliwangi di bagian utara sampai dengan
Jl. Taman Sari bawah di bagian selatan, bila disebutkan sebagai zona pendidikan adalah
benar. Dimana mayoritas kegiatan yang ada di dalam kawasan tersebut terkait dengan
kegiatan pendidikan tinggi ITB, UNISBA dan perguruan tinggi lainnya. Lihat Lampiran I
tentang Daftar Zona dan Kegiatan Terkait.

Blok Peruntukan, adalah blok yang telah memiliki peruntukan ruang tertentu dengan
intensitas pemanfaatan ruang tertentu.

Sub Blok, adalah bagian dari blok yang harus dibedakan oleh karena memiliki peruntukan
ruang yang berbeda atau karena memiliki intensitas pemanfaatan ruang yang berbeda.
Secara diagramatis pengertian Blok, Zona, Sub Blok dan Blok Peruntukan digambarkan
pada Lampiran II tentang Blok, Sub Blok dan Blok Peruntukan.

Tema Ruang, adalah gaya atau kesan ruang secara keseluruhan yang harus diujudkan.

Karakter Ruang, adalah kesan yang dapat ditangkap atau dirasakan oleh orang ketika
berada di dalam suatu ruang, sebagai akibat yang ditimbulkan oleh komposisi dan
bentuk bangunan beserta dengan unsur ruang lainnya.

Konsep Ruang, adalah suatu dasar pemikiran yang berisikan pengaturan fungsi ruang
secara garis besar sesuai dengan tema ruang utama yang diamanahkan di dalam Tujuan
Penataan Ruang.

Skema Ruang, adalah penggambaran konsep ruang secara diagramatis

Naskah Petunjuk Teknis Penyusunan RDTR I-4 Dading Huisan Sabulubulu


1.3 Materi Pokok Rencana Detail Tata Ruang
Permen PU no 20 Tahun 2011 tentang Pedoman Penyusunan Rencana Detail Tata Ruang dan
Peraturan Zonasi Kawasan Perkotaan, menggariskan materi pokok RDTR sebagai berikut :

a. Tujuan Penataan Ruang;


b. Rencana Pola Ruang;
c. Rencana Jaringan Prasarana;
d. Penetapan Sub Kawasan Prioritas;
e. Ketentuan Pemanfaatan Ruang; dan
f. Peraturan Zonasi

Rencana Pola Ruang RDTR seharusnya disusun untuk mewujudkan tema ruang ruang yang
dipesankan di dalam Tujuan Penataan Ruang dengan memperhatikan rencana pola ruang
RTRW induknya. Dalam pelaksanaannya, sangat sulit untuk mewujudkan pesan tema ruang
secara langsung ke dalam rencana pola ruang. Hal ini disebabkan tema ruang yang
dipesankan di dalam Tujuan Penataan Ruang tidak memberikan guidance yang cukup bagi
penyusunan rencana pola ruang yang harus diujudkan.

Sehubungan dengan itu harus ada satu tahap yang berfungsi menerjemahkan tema ruang
yang dipesankan di dalam Tujuan Penataan Ruang menjadi arahan fungsi ruang secara garis
besar. Di dalam disiplin arsitektur perkotaan, tahap ini dikenal sebagai rencana zonasi yang
membagi kawasan perencanaan ke dalam sub kawasan perencanaan sesuai dengan
peruntukan fungsi ruangnya. Selanjutnya, berdasarkan rencana zonasi inilah disusun rencana
tata letak.

Dengan belajar pada disiplin arsitektur, dalam penyusunan RDTR harus ditambahkan satu
tahap yang dinamakan Konsep Ruang, yang berfungsi menerjemahkan tema ruang yang
dipesankan di dalam Tujuan Penataan Ruang, ke dalam peruntukan ruang utama berdasarkan
fungsinya. Secara garis besar, Konsep Ruang akan membagi kawasan perencanaan atau
Bagian Wilayah Perkotaan (BWP) ke dalam sub kawasan atau sub BWP berdasarkan fungsi,
arah intensitas ruang dan penanganannya ke depan.

Dilihat dari peranannya terhadap rencana secara keseluruhan, kedudukan Konsep Ruang di
dalam RDTR dapat disetarakan sebagai Rencana Struktur Ruang di dalam RTRW
Kabupaten/Kota.

Selanjutnya, rencana jaringan prasarana tidak dapat disusun hanya berdasarkan rencana pola
ruang semata. Suatu peruntukan ruang yang sama akan membutuhkan volume/kapasitas
prasarana yang berbeda bila intensitas ruangnya berbeda. Sehubungan dengan itu, agar
rencana jaringan parasarana dapat disusun secara objektif, sebelum rencana jaringan
prasaran terlebih dahulu harus disusun Rencana Intensitas Pemanfaatan Ruang.

Dengan demikian secara keseluruhan materi pokok RDTR adalah :

a. Tujuan Penataan Ruang;


b. Konsep Ruang;

Naskah Petunjuk Teknis Penyusunan RDTR I-5 Dading Huisan Sabulubulu


c. Rencana Pola Ruang;
d. Rencana Intensitas Pemanfaatan Ruang;
e. Rencana Jaringan Prasarana;
f. Penetapan Sub Kawasan Prioritas; dan
g. Rencana Pemanfaatan Ruang

Butir g di atas untuk selanjutnya dituliskan sebagai Rencana Pemanfaatan Ruang


menggantikan terminologi Ketentuan Pemanfaatan Ruang . Hal ini dimaksudkan untuk
menghindari kerancuan pengertian antara unsur rencana yang merupakan bagian dari RDTR
dengan aturan-aturan di dalam Peraturan Zonasi yang seluruhnya menggunakan terminologi
Ketentuan. Dimana RDTR merupakan produk rencana tata ruang dan Peraturan Zonasi
merupakan produk hukum.

Permen PU no 20 Tahun 2011 tentang Pedoman Penyusunan Rencana Detail Tata Ruang dan
Peraturan Zonasi Kawasan Perkotaan, menggariskan kandungan Peraturan Zonasi meliputi
dua bagian yaitu :

a. Materi Wajib
i. Ketentuan Kegiatan dan Penggunaan Lahan;
ii. Ketentuan Intensitas Pemanfaatan Ruang;
iii. Ketentuan Tata Bangunan;
iv. Ketentuan Prasarana dan Sarana Minimum; dan
v. Ketentuan Pelaksanaan.

b. Materi Pilihan
i. Ketentuan Tambahan;
ii. Ketentuan Khusus;
iii. Standar Teknis; dan
iv. Ketentuan Pengaturan Zonasi

Penyebutan materi wajib dan materi pilihan menimbulkan kesan bahwa tidak semua
ketentuan dalam peraturan zonasi harus dibuat. Hanya yang wajib saja yang harus dibuat,
lainnya boleh dibuat boleh tidak. Pengertian yang sebenarnya, peraturan zonasi terdiri dari
empat kelompok aturan, yaitu :

a. Aturan yang berbasis zona;


b. Aturan yang berbasis blok peruntukan;
c. Aturan yang berbasis blok; dan
d. Aturan yang berlaku pada seluruh BWP.

Aturan berbasis zona, adalah aturan yang berlaku secara merata pada suatu zona, tidak
perduli dimana lokasi geografis zona tersebut. Misal, kegiatan bengkel sepeda motor tidak
diperkenankan berada pada zona perumahan, maka tidak perduli dimana pun lokasi zona
perumahan tersebut berada, di dalamnya tidak diperkenankan adanya kegiatan bengkel
sepeda motor. Termasuk ke dalam aturan berbasis zona, adalah :

Naskah Petunjuk Teknis Penyusunan RDTR I-6 Dading Huisan Sabulubulu


Ketentuan Kegiatan dan Penggunaan Lahan, yang mengatur kegiatan apa saja yang
diperbolehkan (I), diperbolehkan terbatas (T), diperbolehkan secara bersyarat (B), dan
tidak diperbolehkan (X); dan
Ketentuan Prasarana dan Sarana Minimum, yang mengatur prasarana dan sarana
minimum apa saja yang harus ada pada setiap zona peruntukan.

Aturan berbasis blok peruntukan. Blok peruntukan adalah blok yang telah memiliki
peruntukan ruang tertentu dengan intensitas pemanfaatan ruang tertentu. Aturan berbasis
blok peruntukan adalah aturan yang berbeda untuk setiap blok peruntukan yang berbeda.
Termasuk ke dalam aturan berbasis blok peruntukan, adalah :

Ketentuan Intensitas Pemanfaatan Ruang, yang mengatur volume ruang maksimum yang
diperkenankan untuk dimanfaatkan; dan
Ketentuan Tata Bangunan, yang mengatur posisi bangunan di dalam amplop bangunan.

Ketentuan Intensitas Pemanfaatan Ruang dan Tata Bangunan akan berbeda untuk setiap sub
blok yang berbeda sekalipun zona peruntukannya sama.

Aturan berbasis blok, adalah aturan yang hanya berlaku pada blok tertentu saja tidak perduli
apa pun zona peruntukannya. Termasuk ke dalam aturan berbasis blok, adalah :

Ketentuan Tambahan, yang mengatur hal-hal lain yang belum diatur di dalam aturan
dasar; dan
Ketentuan Khusus, yang mengatur hal tertentu terkait adanya instalasi tertentu atau
terkait dengan adanya kerawanan bencana.

Aturan yang berlaku pada seluruh BWP, adalah aturan yang berlaku di seluruh kawasan
perencanan atau BWP. Termasuk ke dalam kelompok ini, adalah :

Standar Teknis, yang mengatur kebutuhan ruang minimum, jumlah penduduk pendukung
minimum, prasarana dan sarana pendukung serta persyaratan lokasi bagi setiap kegiatan;
Ketentuan Pelaksanaan, yang mengatur insentif-disinsentif dan variansi zonasi ; dan
Ketentuan Pengaturan Zonasi, yang mengatur variansi zonasi.

Menimbang bahwa Ketentuan Pelaksanaan dan Ketentuan Pengaturan Zonasi mengatur hal
yang berkaitan dengan diskresi dan keluwesan peraturan zonasi melalui variansi zonasi, maka
keduanya dijadikan satu dalam Ketentuan Pelaksanaan, yang memuat tiga aturan pokok,
yaitu :
Aturan Insentif-Disinsentif;
Aturan Diskresi; dan
Aturan Perubahan Zonasi.

Di luar ke delapan ketentuan di atas ada satu ketentuan lain yang sifatnya optional atau
pilihan, yaitu Ketentuan Perpetakan yang mengatur luas minimum dan/atau luas maksimum
perpetakan. Ketentuan ini diperlukan terutama pada penyusunan RDTR untuk kawasan yang
belum terbangun. Ketentuan Perpetakan tidak diperlukan bila dalam rencana pola ruang

Naskah Petunjuk Teknis Penyusunan RDTR I-7 Dading Huisan Sabulubulu


telah disusun rencana blok dan jaringan jalan sampai dengan strata jalan terendah, sehingga
masyarakat perorangan memiliki tidak kehilangan pegangan di dalam melaksanakan
pembangunan fisik, terutama pada sub kawasan baru yang belum terbangun.

Ketentuan Perpetakan, tempatnya berada pada urutan kedua setelah Ketentuan Kegiatan
dan Penggunaan Lahan dan termasuk ke dalam aturan berbasis blok peruntukan. Ketentuan
Perpetakan ini sangat erat kaitannya dengan Aturan Perubahan Zonasi pada Ketentuan
Pelaksanaan.

Sampai dengan disini secara keseluruhan materi pokok Rencana Detail Tata Ruang adalah
sebagai berikut :

1. Tujuan Penataan Ruang;


2. Konsep Ruang;
3. Rencana Pola Ruang;
4. Rencana Intensitas Pemanfaatan Ruang;
5. Rencana Jaringan Prasarana;
6. Penetapan Sub Kawasan Prioritas;
7. Rencana Pemanfaatan Ruang;
8. Peraturan Zonasi, yang meliputi :
a. Ketentuan Kegiatan dan Penggunaan Lahan;
b. Ketentuan Perpetakan (optional);
c. Ketentuan Intensitas Pemanfaatan Ruang;
d. Ketentuan Tata Bangunan;
e. Ketentuan Prasarana dan Sarana Minimum;
f. Ketentuan Tambahan;
g. Ketentuan Khusus;
h. Standar Teknis; dan
i. Ketentuan Pelaksanaan.

Naskah Petunjuk Teknis Penyusunan RDTR I-8 Dading Huisan Sabulubulu

Anda mungkin juga menyukai