BAB
4
PENDEKATAN DAN METODOLOGI
PELAKSANAAN PEKERJAAN
Untuk dapat mencapai konsistensi terhadap prioritas pelaksanaan dalam ruang lingkup,
tujuan dan sasaran dari pekerjaan ini secara keseluruhan, yang secara prinsip harus dapat
diselesaikan dan dicapai, maka perlu ditetapkan suatu metodologi dan pendekatan umum
untuk dapat mengakomodasi seluruh lingkup kegiatan yang telah ditetapkan, berdasarkan
atas karakteristik dan kebutuhan pekerjaan.
Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa RDTR ini ini akan menghasilkan
sebuah dokumen rencana pengembangan yang efektif dan efisien guna mendukung
terwujudnya kawasan rawan bencana yang dapat dikendalikan pemanfaatan ruangnya.
4.1.1. Pendekatan Konsep
Pendekatan konsep dalam penyusunan RDTR ini dapat dilihat dari kedudukan RDTR dalam
produk rencana tata ruang, kedudukan dan fungsi peraturan zonasi dalam sistem penataan
ruang.
a) Kedudukan RDTR dalam Produk Rencana Tata Ruang
Dengan ditetapkannya Undang-undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang
sebagai bentuk revisi atas UU No. 24 Tahun 1992 sedikit banyak berimplikasi pada
perubahan paradigma penataan ruang khususnya dalam konteks Negara Indonesia.
Mengacu pada UU Penataan Ruang yang baru, disebutkan bahwa penataan ruang
diklasifikasikan berdasarkan sistem, fungsi utama kawasan, wilayah administratif,
kegiatan kawasan, dan nilai strategis kawasan (Pasal 4):
1. Penataan ruang berdasarkan sistem terdiri atas sistem wilayah dan sistem internal
perkotaan.
2. Penataan ruang berdasarkan fungsi utama kawasan terdiri atas kawasan lindung
dan kawasan budi daya.
3. Penataan ruang berdasarkan wilayah administratif terdiri atas penataan ruang
wilayah nasional, penataan ruang wilayah provinsi, dan penataan ruang
wilayah kabupaten/kota.
4. Penataan ruang berdasarkan kegiatan kawasan terdiri atas penataan ruang
kawasan perkotaan dan penataan ruang kawasan perdesaan.
5. Penataan ruang berdasarkan nilai strategis kawasan terdiri atas penataan
ruang kawasan strategis nasional, penataan ruang kawasan strategis
provinsi, dan penataan ruang kawasan strategis kabupaten/kota.
Kawasan strategis kota dan kawasan strategis kabupaten dapat disusun RDTR apabila
merupakan :
a. kawasan yang mempunyai ciri perkotaan atau direncanakan menjadi kawasan
perkotaan; dan
memenuhi kriteria lingkup wilayah perencanaan RDTR yang ditetapkan dalam
pedoman (Permen ATR/BPN No. 16 Tahun 2018)
Rencana Detail Tata Ruang Kabupaten/Kota disusun apabila RTRW Kabupaten/Kota
tidak/ belum dapat dijadikan acuan pengendalian pemanfaatan ruang
kabupaten/kota. Dalam hal rencana tata ruang wilayah kabupaten/kota memerlukan
rencana detail tata ruang, maka disusun rencana detail tata ruang yang dilengkapi
dengan peraturan zonasi sebagai salah satu dasar dalam pengendalian penataan
ruang dan sekaligus menjadi dasar penyusunan rencana tata bangunan dan
lingkungan bagi zona-zona yang pada rencana detail tata ruang ditentukan sebagai
zona yang penanganannya diprioritaskan. Dalam hal rencana tata ruang wilayah
kabupaten/kota tidak memerlukan rencana rinci tata ruang, peraturan zonasi
Kabupaten/Kota disusun untuk kawasan perkotaan baik yang sudah ada maupun
yang direncanakan pada wilayah kabupaten/kota.
RDTR kabupaten/kota yang dilengkapi dengan Peraturan Zonasi juga merupakan
rencana yang menetapkan blok pada kawasan fungsional sebagai penjabaran
kegiatan kedalam wujud ruang yang memperhatikan keterkaitan antara kegiatan
dalam kawasan fungsional agar tercipta lingkungan yang harmonis antara kegiatan
utama dengan kegiatan penunjang dalam kawasan fungsional tersebut.
RDTR Kabupaten/Kota dapat disusun bersama-sama dengan Peraturan Zonasi,
dimana akan dihasilkan RDTR Kabupaten/Kota yang dilengkapi dengan Peraturan
Zonasi untuk wilayah perencanaan tertentu sebagai satu kesatuan yang tidak
terpisahkan, atau dapat juga disusun secara terpisah, dimana akan dihasilkan RDTR
Kabupaten/Kota untuk wilayah perencanaan tertentu (dalam hal ini peta pola
merupakan Zoning Map wilayah perencanaan tersebut) serta Peraturan Zonasi berisi
Zoning Text yang berlaku untuk seluruh kabupaten/ kota. Selain itu, apabila tidak
disusun Rencana Detail Tata Ruang atau Rencana Detail Tata Ruang telah ditetapkan
sebagai Perda terpisah dari Peraturan Zonasi sebelum keluarnya pedoman (Permen
ATR/BPN No. 16 Tahun 2018), maka Peraturan Zonasi juga dapat disusun terpisah
dan berisikan Zoning Map dan Zoning Text untuk seluruh kawasan perkotaan baik
yang sudah ada maupun yang direncanakan pada wilayah kabupaten/kota.
Gambar 4.3. Kedudukan RDTR Kabupaten/Kota dalam Sistem Penataan Ruang dan
Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional
1) Kedudukan dan Fungsi Peraturan Zonasi dalam Sistem Penataan Ruang
Kedudukan Peraturan Zonasi dalam proses penyusunan rencana tata ruang adalah
sebagai berikut:
(1) Dalam sistem Rencana Tata Ruang Wilayah, Peraturan Zonasi merupakan
pengaturan lebih lanjut untuk pemanfaatan ruang yang ditetapkan dalam pola
pemanfaatan ruang suatu wilayah.
(2) Peraturan Zonasi yang merupakan penjabaran dari RTRW Kota dapat menjadi
rujukan untuk menyusun RDTRK, dan sangat bermanfaat untuk melengkapi aturan
pembangunan pada penetapan penggunaan lahan yang ditetapkan dalam RDTRK.
(3) Peraturan Zonasi juga merupakan rujukan untuk penyusunan rencana yang lebih
rinci dari RDTRK, seperti Rencana Teknik Ruang Kawasan (RTRK), atau Rencana
Tata Bangunan dan Lingkungan (RTBL).
Kaitan Peraturan Zonasi dengan berbagai rencana tata ruang tersebut dapat dilihat pada
Gambar berikut.
RTRW Kota
RDTRK Peraturan
Zonasi
RTRK / RTBL
rencana tata ruang wilayah yang umumnya telah menetapkan fungsi, intensitas,
ketentuan tata massa bangunan, sarana dan prasarana, serta indikasi program
pembangunan.
(5) Peraturan Zonasi juga menjadi landasan untuk manajemen lahan dan
pengembangan tapak.
Undang-undang
Manajemen Lahan
Peraturan Zonasi:
Peraturan dan Peta
Kelembagaan dan Administrasi
Gambar 4.5. Kedudukan Peraturan Zonasi dalam Sistem Penataan Ruang Kota
Kedudukan Peraturan Zonasi dalam kerangka perangkat pengendalian pembangunan
antara lain:
(1) Peraturan Zonasi hanya merupakan salah satu perangkat pengendalian di antara
berbagai perangkat pengendalian pembangunan lainnya.
(2) Perangkat-perangkat kendali pembangunan ini menjadi dasar rujukan untuk
memeriksa kesesuaian permohonan ijin melakukan pembangunan dengan
ketentuan yang berlaku.
(3) Rujukan dalam menilai permohonan pembangunan antara lain Rencana Tata
Ruang, berbagai standar, berbagai panduan, maupun berbagai berbagai peraturan-
perundangan.
(4) Peraturan Zonasi juga tidak bersifat tunggal. Di dalamnya terdapat berbagai teknik
yang menjadi varian dalam Peraturan Zonasi, dan dapat dipilih untuk diterapkan
pada lokasi, kasus atau kondisi tertentu sesuai dengan persoalan di lapangan dan
tujuan penataan ruang yang ingin dicapai.
Gambar berikut menunjukkan spektrum perangkat pengendalian yang dapat menjadi
rujukan untuk menilai permohonan perijinan membangun.
TEKNIK DALAM
PERATURAN ZONASI
• Performance zoning
• Special zoning
• Bonus zoning
• TDR
• Negotioned Dev’t.
RENCANA • Flood Plain Zoning
• Conditional Uses
• Non-conforming Uses
• Spot Zoning Standar yang relevan dengan
• Floating Zoning perencanaan dan
RTRWN
• Exclusionaary Zoning
STANDAR
pembangunan kota
• Contract Zoning (e.g. kesehatan,
RTRWK
PERATURAN
RDTRK PERIJINAN
ZONASI DAN PEMBANGUNAN
VARIANNYA
RTRK/RTBL PANDUAN
berarti juga mendapatkan hasil akhir yang menguntungkan untuk semua pihak.
Kepentingan lainnya yang akan diperoleh adalah jaminan kelancaran implementasi hasil
kajian ini dikemudian hari.
Sepenuhnya disadari bahwa penggunaan pendekatan pastisipasi, akan menimbulkan
berbagai persoalan dalam prosesnya, terutama masalah keterbatasan waktu. Masalah ini
akan dicoba diminimalkan melalui persiapan materi dan pertemuan maupun seminar
yang matang, sehingga kesepakatan dapat dengan segera dicapai tanpa mengurangi
kebebasan stakeholders untuk mengeluarkan pendapatnya.
Diantara persoalan-persoalan yang akan muncul dalam participactory approach adalah
pemilihan stakeholders yang akan dilibatkan. Ada dua pilihan solusi untuk masalah ini.
1) Pertama, menyebarkan undangan secara terbuka melalui media masa dan yang
lainnya, dan membebaskan setiap yang berminat untuk berurun rembug.
Persoalannya kemudian adalah mengontrol jalannya pembahasan. Kesulitan
tersebut terutama disebabkan oleh kemungkinan terlalu banyaknya pihak yang
datang, tetapi belum tentu kepentingan secara langsung, dengan sendirinya akan
sulit memperoleh suatu kesepakatan.
2) Kedua, melalui undangan terbatas. Kesulitan solusi kedua ini adalah dalam
penentuan daftar undangan. Ada kemungkinan terjadi kesalahan mengundang,
pihak-pihak yang di undang belum tentu mewakili stakeholders secara keseluruhan.
Dengan berbagai masalah dan kendala tersebut, solusi pelaksanaan perticipatory
approach yang mana yang akan dipilih, akan tetapi dalam proses pelaksanaan studi
optimalisasi, antara tim teknis dengan konsultan.
3) Pendekatan Ambang Batas
Pendekatan ambang batas adalah pendekatan yang diperlukan dalam menentukan
kebijaksanaan rencana tata ruang, dimana dalam penentuan kebijaksanaan
didasarkan kepada ambang batas daya dukung lingkungan. Pendekatan ini
bertujuan untuk menghasilkan kebijaksanaan pembangunan yang berwawasan
lingkungan. Penekanan terhadap pertimbangan aspek lingkungan dilakukan karena
lingkungan merupakan aspek yang sangat berkepentingan dalam upaya
pembangunan berkelanjutan.
4) Pendekatan Kesesuaian Potensi
Pada pendekatan ini akan diperhatikan hal-hal sebagai berikut:
1) Daerah Banjir
Perencanaan dan pengolahan daerah-daerah yang rendah pemanfaatan saluran-
saluran alam secara optimal, dengan demikian diharapkan mampu mencegah
Program dalam rencana pemanfaatan ruang apabila dibuat dalam dokumen RDTR
Kabupaten/Kota memuat:
(a) Program pemanfaatan ruang utama, merupakan program-program
pengembangan wilayah perencanaan yang diindikasikan memiliki bobot tinggi
berdasarkan tingkat kepentingan atau diprioritaskan dan memiliki nilai strategis
untuk mewujudkan rencana pola ruang dan rencana jaringan prasarana di
wilayah perencanaan sesuai tujuan penataan ruang wilayah perencanaan;
(b) Lokasi, tempat dimana usulan program akan dilaksanakan;
(c) Besaran, merupakan perkiraan jumlah satuan masing-masing usulan program
utama pengembangan wilayah yang akan dilaksanakan;
(d) Sumber Pendanaan, yang dapat berasal dari APBD kabupaten/kota, APBD
provinsi, APBN, swasta, dan/atau masyarakat;
(e) Instansi Pelaksana, yang merupakan pihak-pihak pelaksana program utama
yang meliputi pemerintah (sesuai dengan kewenangan masing - masing
pemerintahan), swasta, serta masyarakat; dan
(f) Waktu dan Tahapan Pelaksanaan, usulan program direncanakan dalam kurun
waktu perencanaan 20 (dua puluh) tahun yang dirinci setiap 5 (lima) tahunan,
sedangkan masing-masing program mempunyai durasi pelaksanaan yang
bervariasi sesuai kebutuhan. Penyusunan program utama disesuaikan dengan
pentahapan jangka waktu 5 tahunan RPJP Daerah Kabupaten/kota.
h. Peraturan Zonasi
Dalam hal rencana tata ruang wilayah kabupaten/kota memerlukan rencana detail
tata ruang, maka disusun rencana detail tata ruang yang dilengkapi dengan peraturan
zonasi sebagai salah satu dasar dalam pengendalian penataan ruang dan sekaligus
menjadi dasar penyusunan rencana tata bangunan dan lingkungan bagi zona-zona
yang pada rencana detail tata ruang ditentukan sebagai zona yang penanganannya
diprioritaskan.
Dalam hal rencana tata ruang wilayah kabupaten/kota tidak memerlukan rencana
rinci tata ruang, Peraturan Zonasi Kabupaten/ Kota disusun untuk kawasan perkotaan
baik yang sudah ada maupun yang direncanakan pada wilayah kabupaten/kota.
RDTR Kabupaten/Kota dapat disusun bersama-sama dengan Peraturan Zonasi,
dimana akan dihasilkan RDTR Kabupaten/Kota yang dilengkapi dengan Peraturan
Zonasi untuk wilayah perencanaan tertentu sebagai satu kesatuan yang tidak
terpisahkan, atau dapat juga disusun secara terpisah, dimana akan dihasilkan RDTR
Kabupaten/Kota untuk wilayah perencanaan tertentu (dalam hal ini peta pola
merupakan Zoning Map wilayah perencanaan tersebut) serta Peraturan Zonasi berisi
Zoning Text yang berlaku untuk seluruh kabupaten/ kota.
Selain itu, apabila tidak disusun Rencana Detail Tata Ruang atau Rencana Detail Tata
Ruang telah ditetapkan sebagai Perda terpisah dari Peraturan Zonasi sebelum
keluarnya pedoman ini, maka Peraturan Zonasi juga dapat disusun terpisah dan
berisikan Zoning Map dan Zoning Text untuk seluruh kawasan perkotaan baik yang
sudah ada maupun yang direncanakan pada wilayah kabupaten/kota.
Peraturan Zonasi berfungsi sebagai:
1. Kelengkapan rencana detail tata ruang;
2. Perangkat operasional pengendalian pemanfaatan ruang;
3. Rujukan teknis dalam pengembangan/pemanfaatan lahan dan penetapan lokasi
investasi oleh pemerintah, swasta dan masyarakat;
4. Acuan dalam pemberian insentif dan disinsentif;
5. Acuan dalam pemberian izin pemanfaatan ruang; serta
6. Acuan dalam pengenaan sanksi.
Peraturan Zonasi bermanfaat dalam:
a) Menjamin dan menjaga kualitas lokal minimum yang ditetapkan;
b) Menjaga kualitas dan karakteristik zona dengan meminimalkan
kegunaan/penggunaan lahan yang tidak sesuai dengan karakteristik zona; serta
c) Meminimalkan gangguan/dampak negatif terhadap zona.
4.2. Metodologi
Sesuai dengan pendekatan penanganan diatas, akan disusun metodologi yang merupakan
cara atau standart yang akan digunakan dalam pelaksanaan pekerjaan yang sekaligus sebagai
acuan pengawasan dan pemantauan. Kegiatan utama yang akan dilakukan dalam
pelaksanaan pekerjaan ini adalah sebagai berikut:
1. Persiapan
2. Pengumpulan data dan informasi
3. Pengolahan dan analisis data
4. Perumusan konsep RDTR dan Peraturan Zonasi
5. Penyusunan produk akhir
samping itu untuk mempercepat koordinasi antar tenaga ahli, agar tenaga ahli
tersebut mampu berkomunikasi dan bekerjasama dalam pelaksanaan pekerjaan, hal
ini dikarenakan informasi dari setiap tenaga ahli diperlukan oleh tenaga ahli lainnya.
8. Identifikasi/Inventarisasi Data
Beberapa dokumen yang perlu dikaji untuk melihat arahan pengembangan wilayah
khususnya di Buahdua, yaitu:
▪ Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Sumedang
▪ Rencana Pembangunan Jangka Menengah Kabupaten Sumedang
▪ Rencana sektoral
▪ Dan sebagainya
(8) data dan informasi izin pemanfaatan ruang eksisting, baik dari sektor
kehutanan, kelautan, pertanahan, pertambangan, dll, terutama yang berskala
besar;
(9) data kependudukan dan sosial budaya;
(10) data ketersediaan prasarana dan sarana;
(11) data dan informasi tentang peluang ekonomi.
(12) data kemampuan keuangan pembangunan daerah;
(13) data dan informasi tentang kelembagaan pembangunan daerah;
(14) data terkait kawasan dan bangunan (kualitas, intensitas blok eksisting, tata
bangunan);
(15) RDTR dan PZ kawasan yang bersebelahan dengan kawasan perencanaan (jika
ada); dan
(16) data dan informasi terkait kondisi geologi Kawasan termasuk pemanfaatan
ruang di dalam bumi (jika ada)
Sedangkan data dan informasi yang diperlukan untuk penyusunan peraturan zonasi antara
lain:
1) KUPZ yang termuat dalam peraturan daerah tentang RTRW kabupaten/kota;
2) peta rencana struktur ruang dan rencana pola ruang dalam RDTR;
3) kriteria performa zona/subzona yang termuat pada tabel kriteria
pengklasifikasian zona/subzona dalam RDTR;
4) data dan informasi, meliputi:
1. jenis penggunaan lahan yang ada pada daerah yang bersangkutan;
2. jenis kegiatan pemanfaatan ruang;
3. jenis dan intensitas kegiatan yang ada pada daerah yang bersangkutan;
4. identifikasi masalah dari masing-masing kegiatan serta kondisi fisik (tinggi
bangunan dan lingkungannya);
5. kajian dampak kegiatan terhadap zona yang bersangkutan;
6. daya dukung dan daya tampung yang merupakan hasil dari analisis fisik dan
lingkungan dalam penyusunan RDTR;
7. standar teknis dan administratif yang dapat dimanfaatkan dari peraturan
perundang-undangan nasional maupun daerah;
mengenai keterbatasan data tersebut. Hal ini tidak berlaku untuk peta
dasar rupa bumi dan peta penatagunaan tanah.
B. Tahap Pengolahan dan Analisis Data
Pada tahap pengolahan dan analisa data, tim penyusun akan melakukan identifikasi
terhadap isu-isu strategis khususnya mengenai pemanfaatan ruang utama pada kawasan
perencanaan. Hal ini akan menjadi dasar untuk melakukan perencanaan nantinya. Untuk
dapat merumuskan isu pembangunan utama, tim akan melakukan kompilasi dan analisis
data yang sudah diperoleh di tahapan sebelumnya.
a. Pengolahan Data
Semua data dan informasi yang telah diperoleh dari hasil kegiatan pengumpulan data
dan survey kemudian dikompilasi. Pada dasarnya kegiatan ini dilakukan dengan cara
mentabulasi dan mensistematisasi data-data tersebut dengan menggunakan cara
komputerisasi. Hasil dari kegiatan ini adalah tersusunnya data dan informasi sehingga
akan mempermudah pelaksanaan tahapan selanjutnya yaitu tahap analisis.
b. Analisis Data
Pada tahapan ini dilakukan beberapa kegiatan pokok, meliputi:
Tabel 4.2. Rincian Analisis dalam Penyusunan RDTR
No Jenis Analisis dan Hasilnya
A Analisis Struktur Internal BWP
1. Analisis struktur internal kawasan BWP dilakukan untuk merumuskan kegiatan fungsional sebagai pusat dan
jaringan yang menghubungkan antarpusat di dalam BWP ruang dari RTRW Kabupaten ke RDTR.
2. Analisis struktur internal kawasan perkotaan didasarkan pada kegiatan fungsional di dalam kawasan
perkotaan tersebut, pusat-pusat kegiatan, dan sistem jaringan yang melayaninya. Analisis struktur internal
kawasan perkotaan membagi Kawasan perkotaan berdasarkan homogenitas kondisi fisik, ekonomi, dan
sosial budaya, serta menggambarkan arahan garis besar intensitas ruang dan arahan pengembangannya di
masa datang.
3. Analisis struktur internal BWP tersebut meliputi:
b) analisis sistem pusat pelayanan;
c) analisis sistem jaringan jalan;
d) analisis intensitas pengembangan ruang pada seluruh BWP.
4. Analisis ini digunakan sebagai bahan pertimbangan merumuskan rencana pola ruang dan masukan
perumusan konsep struktur internal BWP.
C Analisis Kedudukan dan Peran BWP dalam Wilayah yang Lebih Luas
Analisis BWP pada wilayah yang lebih luas, dilakukan untuk memahami kedudukan dan keterkaitan BWP
dalam sistem regional yang lebih luas dalam aspek sosial, ekonomi, lingkungan, sumber daya buatan atau
sistem prasarana, budaya, pertahanan, dan keamanan. Sistem regional tersebut dapat berupa sistem kota,
wilayah lainnya, kabupaten atau kota yang berbatasan, pulau, dimana BWP tersebut dapat berperan dalam
perkembangan regional. Oleh karena itu, dalam analisis regional ini dilakukan analisis pada aspek berikut:
Keluaran analisis regional digunakan sebagai pertimbangan dalam penyusunan RDTR yang meliputi:
1. penetapan fungsi dan peran BWP dalam wilayah yang lebih luas yang akan mempengaruhi pada
pembentukan jaringan prasarana terutama lintas sub wilayah/lintas kawasan atau yang mengemban fungsi
layanan dengan skala yang lebih luas dari wilayah BWP; dan
2. pembentukan pola ruang BWP yang serasi dengan kawasan berdekatan terutama pada wilayah perbatasan
agar terjadi sinkronisasi dan harmonisasi dalam pemanfaatan ruang antar BWP dalam rangka perwujudan
tujuan penataan ruang.
D Sumber Daya Alam dan Fisik atau Lingkungan BWP
Analisis dilakukan untuk memberikan gambaran kerangka fisik pengembangan wilayah serta batasan dan
potensi alam BWP dengan mengenali karakteristik sumber daya alam, menelaah kemampuan dan kesesuaian
lahan agar pemanfaatan lahan dalam pengembangan wilayah dapat dilakukan secara optimal dengan tetap
memperhatikan keseimbangan ekosistem dan meminimalkan kerugian akibat bencana. Secara umum analisis
fisik/lingkungan dan SDA ini, memiliki keluaran sebagai berikut:
1. gambaran daya dukung lingkungan fisik dalam menampung kegiatan yang ada maupun yang akan
dikembangkan sampai akhir masa berlakunya RDTR;
2. gambaran daya dukung maksimum (daya tampung) ruang/lingkungan hidup dalam menampung kegiatan
sampai waktu yang melebihi masa berlakunya RDTR;
3. gambaran kesesuaian lahan untuk pemanfaatan ruang di masa datang berdasarkan kondisi
fisik/lingkungannya;
4. gambaran potensi dan hambatan pembangunan keruangan dari aspek fisik; dan
5. gambaran alternatif-alternatif upaya mengatasi hambatan fisik/lingkungan yang ada di BWP.
Keluaran analisis fisik atau lingkungan BWP ini digunakan sebagai bahan dalam sintesa analisis holistik dalam
melihat potensi, masalah, peluang penataan ruang BWP dalam penyusunan RDTR dan peraturan zonasi.
Analisis sumber daya alam dan fisik/lingkungan wilayah yang perlu dilakukan mencakup beberapa analisis
berikut:
1. Analisis sumber daya air
Dilakukan untuk memahami bentuk dan pola kewenangan, pola pemanfaatan, dan pola kerjasama
pemanfaatan sumber daya air yang ada dan yang sebaiknya dikembangkan di dalam BWP. Khususnya
terhadap sumber air baku serta air permukaan (sungai dan/atau danau) yang mengalir dalam BWP yang
memiliki potensi untuk mendukung pengembangan dan/atau memiliki kesesuaian untuk dikembangkan
bagi kegiatan tertentu yang sangat membutuhkan sumber daya air. Analisis ini menjadi dasar dalam
menetapkan kebijakan yang mengatur sumber-sumber air tersebut.
2. Analisis sumber daya tanah
Catatan: perlu dilengkapi dengan analisis yang mendukung dalam proses penyusunan SKL berdasarkan
Permen PU 20/2007.
E Sosial Budaya
1. Analisis dilakukan untuk mengkaji kondisi sosial budaya masyarakat yang mempengaruhi pengembangan
wilayah perencanaan seperti elemen-elemen kota yang memiliki nilai historis dan budaya yang tinggi ( urban
heritage, langgam arsitektur, landmark kota) serta modal sosial dan budaya yang melekat pada masyarakat
(adat istiadat) yang mungkin menghambat ataupun mendukung pembangunan, tingkat partisipasi/peran
serta masyarakat dalam pembangunan, kepedulian masyarakat terhadap lingkungan, dan pergeseran nilai
dan norma yang berlaku dalam masyarakat setempat.
2. Analisis ini akan digunakan sebagai bahan masukan dalam penentuan bagian dari wilayah kota yang
diprioritaskan penanganannya di dalam penyusunan RDTR.
F Kependudukan
1. Analisis yang dilakukan untuk mengidentifikasi dan mendapatkan proyeksi perubahan demografi seperti
pertumbuhan dan komposisi jumlah penduduk serta kondisi sosial kependudukan dalam memberikan
gambaran struktur dan karakteristik penduduk. Hal ini berhubungan erat dengan potensi dan kualitas
penduduk, mobilisasi, tingkat pelayanan dan penyediaan kebutuhan sectoral (sarana, prasarana maupun
utilitas minimum).
2. Selain itu analisis terhadap penyebaran dan perpindahan penduduk dari daerah perdesaan ke daerah
perkotaan memberikan gambaran dan arahan kendala serta potensi sumber daya manusia untuk
keberlanjutan pengembangan, interaksi, dan integrasi dengan daerah di luar BWP.
3. Analisis dilakukan dengan mempertimbangkan proyeksi demografi terhadap batasan daya dukung dan
daya tampung BWP dalam jangka waktu rencana.
4. Analisis ini digunakan sebagai pertimbangan dalam penyusunan RDTR dan peraturan zonasi.
c. Sintesa Analisis
Merupkan kesimpulan dari analisis yang telah dilakukan, antara lain mencakup:
❑ Potensi, Permasalahan, Peluang, dan Tantangan Pengembangan
❑ Kecenderungan Perkembangan Kawasan
Keluaran dari pengolahan data dan analisis ini setidaknya adalah:
❑ potensi dan masalah pengembangan di BWP;
❑ peluang dan tantangan pengembangan;
❑ tema pengembangan BWP;
❑ kecenderungan perkembangan;
❑ perkiraan kebutuhan pengembangan di BWP;
❑ intensitas pemanfaatan ruang sesuai dengan daya dukung dan daya tampung
(termasuk prasarana/infrastruktur dan utilitas); dan
b. Penilaian Konsep
Penyepakatan deliniasi dilakukan melalui beberapa kriteria, antara lain dilihat dari hasil
analisis, kesesuaian dengan konsep yang digunakan, kesesuaian rumusan dengan tujuan
penataan BWP dan struktur internal BWP, arahan kebijakan diatasnya, dan beberapa
pertimbangan lain yang dianggap penting dalam penentuan deliniasi wilayah
perencanaan.
Setelah dilakukan beberapa kali iterasi, dipilih alternatif terbaik sebagai dasar
perumusan RDTR. Hasil kegiatan perumusan konsepsi RDTR dijabarkan dalam
dokumen Materi Teknis RDTR, yang berdasarkan Permen ATR/BPN No. 16 Tahun
2018 memiliki substansi pokok:
6.1 Lokasi
6.2 Tema Penanganan
Penyusunan dan pembahasan raperda tentang RDTR dan PZ, terdiri atas:
Keluaran dari tahap perumusan konsep RDTR dan Peraturan Zonasi ini antara lain:
▪ Terumuskannya draft RDTR dan PZ (mengacu pada RTRW Prov & kota,
pedoman/NSPK, RPJPD & RPJMD)
Pada tahap akhir ini merupakan tahap penyempurnaan dan penyelesaian seluruh
output/keluaran produk akhir sebagaimana yang dipersyaratkan dalam Kerangka Acuan
Kerja (KAK). Kegiatan pokok pada tahap ini diantaranya:
a. Asistensi BIG
Asistensi BIG dilakukan untuk mendapatkan berita acara dan rekomendasi dari
penyusunan peta dasar, tematik, dan rencana, sehingga pengembangan kawasna yang
direncanakan akan sesuai dengan kondisi aktual/terkini (peta).
Beberapa metode dan teknik digunakan dalam penyelesaian pekerjaan penyusunan RDTR
ini. Sesuai tahapannya akan dibagi menjadi 2 metode dan teknik, yaitu:
1. Metode dan teknik dalam pengumpulan data
2. Metode dan teknik dalam analisis data
4.3.1. Metode dan Teknik Pengumpulan Data
Beberapa metode dan teknik pengumpulan data yang akan dilakukan dalam penyelesaian
pekerjaan penyusunan RDTR ini, sebagai berikut:
1. Teknik dokumentasi,
yaitu pengumpulan data-data sekunder yang berasal dari berbagai pihak terkait yang
menyediakan data berdasarkan hasil pengumpulan data primernya. Kegiatan ini
dilaukan mulai tahap paling awal sebelum penyusunan dan pemantapan metodologi
dan dilanjutkan dengan pengumpulan data sekunder lanjut setelah presentasi laporan
pendahuluan. Tools / alat yang digunakan pada pelaksanaan teknik ini adalah berupa
check list data yang dikurmpulkan.
2. Teknik wawancara
Yaitu teknik pengumpulan data dengan mendasarkan pada keterangan dari para
informan. Teknik ini digunakan untuk melihat pandangan dari berbagai stakeholders
terkait dalam pengembangan RDTR ini.
3. Teknik Observasi
Teknik ini digunakan untuk melihat kondisi langsung dari suatu obyek maupun operasi
kegiatan dengan menggunakan panca indera yang memungkinkan digunakan.
4. Pengambilan Foto dan/atau Video Udara
4.3.2. Metode dan Teknik Dalam Analisis Data
Banyak sekali metode dan teknik analisis data yang akan dipergunakan dalam pelaksanaan
kegiatan penyusunan RDTR ini. Beberapa contoh teknik analisis dan bentuk format-format
yang digunakan dalam penyusunan RDTR, diantaranya meliputi:
❑ Rincian Perumusan Substansi RDTR dan Peraturan Zonasi
Pt + 0 = Pt + b (0)
Dimana:
Pt + x = a + b (X)
Dimana :
Pt + x = Jumlah penduduk tahun (t +x)
x = Tambahan terhitung tahun dasar
ab = Tetapan yang diperoleh dari hasil perhitungan
Bunga Berganda
0
Pt + 0 = Pt (1 + r)
Dimana :
Y = a + bx + cx2
Dimana :
a,b,c = Tetapan yang diperoleh dari hasil perhitungan (tiga persamaan normal)
c. Metoda Sentralitas
Merupakan metoda penentuan tingkat hirarki pelayanan, dimana perhitungannya
merupakan kelanjutan dari hasil yang diperoleh dengan metoda skalogram. Dengan
menghitung jumlah fasilitas yang dimiliki oleh setiap kawasan selanjutnya dapat
diperoleh kelompok kawasan menurut hirarkinya, yaitu kelompok I, II, III dan
selanjutnya.
d. Metoda Analisis Superimposed
Analisis ini digunakan untuk menentukan daerah yang paling baik untuk
perkembangan. Faktor penentunya adalah semua aspek fisik lingkungan dari daerah
perencanaan. Prinsip yang digunakan dalam analisis ini adalah untuk memperoleh
lahan yang sesuai dengan kebutuhan perencanaan.
Metoda yang digunakan dalam analisis ini adalah super imposed (tumpang tindih)
dari berbagai keadaan dari daerah perencanaan. Penilaian dilakukan atas dasar
metoda pembobotan penilaian skor (weighting and scoring).
e. Guided Land Development (GLD)
Guided Land Development (GLD) adalah suatu sistem pengembangan kawasan
sehingga dimungkinkan suatu lahan untuk pemukiman beserta fasilitas penunjangnya
yang akan tercipta suatu lingkungan yang sehat, nyaman, dan terencana. Dengan
rancangan GLD lahan bisa diusahakan melalui real estate, Koperasi ataupun
perorangan tergantung pada permintaan pasar dan masyarakat.
f. Analisis Regional
Analisis regional dilakukan untuk memahami kedudukan dan keterkaitan dalam
system regional yang lebih luas dalam aspek sosial, ekonomi, lingkungan dan budaya.
Adapun tahapan analisis untuk menentukan KLB pada masing-masing blok adalah:
1
h = 1 d
2
Di mana:
h= tinggi puncak bangunan maksimum.
d= jarak antara proyeksi puncak bangunan pada lantai dasar terhadap sumbu
jalan yang berdampingan.
h dan d merupakan variabel dari fungsi sudut alpha dan beta.
a. Jika lebar jalan yang berdampingan < 20 m maka titik sudut ditetapkan
pada as jalan.
b. Jika lebar jalan yang berdampingan > 20 m maka titik sudut ditetapkan
10 m dari garis sempadan pagar ke jalan.
Jarak bangunan yang dimaksudkan di sini adalah jarak antar bangunan yang
berada di dalam persil yang sama. Sesuai konsep yang dirumuskan, jarak
bangunan untuk berbagai ketinggian, diusulkan sebagai berikut :
0,5h1 + 0,5h2
d = −1
2
Di mana :
d = jarak bangunan 1 dengan bangunan 2 (dalam meter)
h1 = tinggi bangunan 1 (dalam meter)
h2 = tinggi bangunan 2 (dalam meter)
3) Garis Sempadan samping bangunan bukan jalan dan belakang bangunan, berjarak
minimum 1,5 m dari dinding bangunan.
Untuk memproteksi bangunan terhadap bahaya kebakaran dan memudahkan
operasi pemadaman, maka perlu adanya penentuan terhadap jarak antar bangunan
yang ditentukan berdasarkan tinggi bangunan tersebut. Penentuan jarak antar
bangunan (garis sempadan bangunan) antara lain:
1) Tinggi bangunan kurang dari 8 m, maka jarak minimum antar bangunan berjarak 3
m.
2) Tinggi bangunan antara 8-14 m, maka jarak minimum antar bangunan berjarak 3-6
m.
3) Tinggi bangunan antara 14-40 m, maka jarak minimum antar bangunan berjarak 6-
8 meter.
4) Tinggi bangunan lebih dari 40 m, maka jarak minimum antar bangunan berjarak 8
m.
e. Pedoman Untuk Penanganan Bangunan Perkotaan
Pada penanganan bangunan perkotaan terdapat 3 (tiga) macam bentuk penanganan
yang dapat dilakukan, yaitu:
1) Peningkatan; dilakukan pada daerah dengan kondisi bangunan yang masih minimalis
sedangkan daerah tersebut mempunyai pemanfaatan ruang yang cukup tinggi.
2) Perbaikan; dilakukan pada bangunan yang mengalami kerusakan tetapi masih
digunakan sebagai sarana kota seperti kantor, sekolah, dll.
3) Pembaharuan; dilakukan pada bangunan dengan konstruksi lama yang di bangun
kembali dengan konstruksi baru agar bangunan tersebut lebih kuat/kokoh.
4) Pemugaran; dilakukan pada bangunan lama yang masih dipakai sampai sekarang.
Pemugaran ini dilakukan untuk menambah kekuatan bangunan tanpa merubah
bentuk asli bangunan.
5) Perlindungan; dilakukan terutama pada bangunan bersejarah/gedung bersejarah.