Distosia Bahu
Pembimbing:
dr. Endang Sri Widiyanti,SpOG(K)
Disusun oleh:
Dinesh Tanabbal (1902612219)
Matthew Sebastian (1902612205)
Ni Putu Diah Kusumawati (1902612025)
1
Distosia Bahu
Pembimbing:
dr. Endang Sri Widiyanti,SpOG(K)
Disusun oleh:
Dinesh Tanabbal (1902612219)
Matthew Sebastian (1902612205)
Ni Putu Diah Kusumawati (1902612025)
i
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan ke hadapan Tuhan Yang Maha Esa karena atas
berkat, rahmat, dan karunia-Nya tinjauan pustaka dengan judul "Distosia Bahu"
ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya. Tinjauan Pustaka ini dibuat dalam
rangka mengikuti Kepaniteraan Klinik Madya di Departemen/KSM Obstetri dan
Ginekologi, Fakultas Kedokteran Universitas Udayana.
Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada :
1. Dr. dr. T. G. A. Suwardewa, Sp.OG (K), selaku Ketua Departemen/KSM
Obstetri dan Ginekologi FK UNUD/RSUP Sanglah Denpasar.
2. Dr. dr. I. G. N. Harry Wijaya Surya, Sp.OG, selaku Koordinator
Pendidikan Sarjana Departemen/KSM Obstetri dan Ginekologi FK
UNUD/RSUP Sanglah Denpasar.
3. dr. Endang Sri Widiyanti,SpOG(K), selaku pembimbing laporan kasus
dalam bentuk tinjauan pustaka.
4. Semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian laporan ini.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa tinjauan pustaka ini masih jauh dari
sempurna karena keterbatasan kemampuan dan pengetahuan yang penulis miliki.
Untuk itu, penulis mengharapkan saran dan kritik yang bersifat membangun dari
para pembaca.
Penulis
ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR...................................................................................ii
DAFTAR ISI................................................................................................iii
BAB I.............................................................................................................1
BAB II............................................................................................................3
2.1 Definisi...............................................................................................3
2.2 Epidemiologi......................................................................................3
2.3 Faktor Risiko......................................................................................3
2.4 Mekanisme.........................................................................................4
2.5 Diagnosis............................................................................................5
2.6 Tatalaksana.........................................................................................6
2.6.1. Algoritma Royal College of Obstetricians and Gynaecologists
(RCOG) untuk distosia bahu............................................................................7
2.6.2. Advanced Life Support in Obstetrics Provider (ALSO) – HELPERR
14
2.6.3 Advances in Labour and Risk Management (ALARM)...................15
2.6.4 Manuver Tambahan Lainnya...........................................................15
2.7 Komplikasi.......................................................................................16
2.8 Prognosis..........................................................................................18
BAB III.........................................................................................................19
SIMPULAN.................................................................................................19
DAFTAR PUSTAKA..................................................................................20
iii
BAB I
PENDAHULUAN
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Distosia berarti persalinan yang sulit yang ditandai dengan persalinan yang
lambat. Distosia perlu dibedakan dengan distosia bahu, distosia bahu adalah suatu
keadaan diperlukannya tambahan manuver obstetrik oleh karena dengan tarikan
biasa ke arah belakang pada kepala bayi tidak berhasii untuk melahirkan bayi.
Pada persalinan dengan presentasi kepala, setelah kepala lahir bahu tidak dapat
dilahirkan dengan cara pertolongan biasa dan tidak didapatkan sebab lain dari
kesulitan tersebut.4 Definisi lain dari distosia bahu adalah suatu keadaan
diperlukannya tambahan manuver obstetrik karena dengan tarikan biasa ke arah
belakang pada kepala bayi tidak berhasil untuk melahirkan bayi.3
American College of Obstetricians and Gynecologists (ACOG) dan Royal
College of Obstetricians and Gynaecologists (RCOG) menyebutkan bahwa
distosia bahu didefinisikan sebagai kegagalan lahirnya bahu dengan dorongan ibu
dan traksi kepala janin yang adekuat.2
2.2 Epidemiologi
Insidensi dari distosia bahu sangat sulit untuk ditentukan karena
keberagaman definisi distosia bahu yang dipakai saat praktik, dan jarangnya
dokumentasi akan komplikasi tersebut. Perkiraan insidensi berada antara 0,1
hingga 2% kelahiran pervaginam.1,3 Apabila distosia bahu didefinisikan sebagai
jarak waktu antara lahirnya kepala dengan lahirnya badan bayi lebih dari 60 detik,
maka insidensinya menjadi 11%.3 Terdapat bukti bahwa insidensi distosia
semakin meningkat dalam beberapa dekade terakhir, yang dikaitkan dengan berat
badan janin yang menigkat pula.7
3
persalinan belum cukup adekuat untuk berperan dalam intervensi dini
(Rekomendasi kelas C), namun tetap menyepakati bahwa tenaga kesehatan tetap
perlu mengetahui faktor risiko yang dapat menyumbang kepada kejadian distosia
bahu (rekomendasi kelas D).8
Beberapa faktor risiko yang dikenal memiliki hubungan dengan kejadian
distosia bahu adalah bayi cukup bulan, makrosomia dan faktor-faktor risikonya
yang disingkat sebagai DOPE (diabetes, obesitas, prolonged pregnancy, excessive
fetal size/maternal weight gain), serta beberapa kejadian intrapartum seperti kala 1
lama, henti kala 2, kala 2 memanjang, pemakaian oksitosin, serta persalinan
pervaginam dengan bantuan alat. Selain itu, riwayat distosia bahu serta riwayat
bayi dengan cedera plexus brakialis (brachial plexus injury/BPI) juga merupakan
faktor risiko terjadinya distosia bahu pada persalinan selanjutnya.8,9
Bayi cukup bulan pada umumnya memiliki ukuran bahu yang lebih lebar
dari kepalanya, sehingga mempunyai risiko terjadi distosia bahu. Risiko akan
meningkat dengan bertambahnya perbedaan antara ukuran badan dan bahu dengan
ukuran kepalanya. Pada bayi makrosomia, perbedaan ukuran tersebut lebih besar
dibanding bayi tanpa makrosomia, sehingga bayi makrosomia lebih berisiko.
Dengan demikian, kewaspadaan terjadinya distosia bahu diperlukan pada setiap
penolongan persalinan dan semakin penting bila terdapat faktor-faktor yang
meningkatkan risiko makrosomia. Adanya DOPE (diabetes, obesity, prolonged
pregnancy, excessive fetal size or matetnal weigbt gain) akan meningkatkan risiko
kejadian.10
2.4 Mekanisme
Bab ini menjelaskan mengenai mekanisme terjadinya distosia bahu. Pada
persalinan normal, saat kepala dilahirkan, bahu akan memasuki panggul dalam
posisi oblik. Bahu posterior memasuki panggul lebih dahulu sebelum bahu
anterior. Ketika kepala melakukan putaran paksi luar, bahu posterior berada di
cekungan tulang sakrum atau di sekitar spina ischiadika, dan memberikan ruang
yang cukup bagi bahu anterior untuk memasuki panggul melalui belakang tulang
pubis atau berotasi dari foramen obturator.3
Apabila bahu berada dalam posisi antero-posterior ketika memasuki pintu
atas panggul, maka bahu posterior dapat tertahan promontorium dan bahu anterior
4
tertahan tulang pubis. Pada keadaan demikian kepala yang sudah dilahirkan akan
tidak dapat melakukan putar paksi luar, dan tertahan akibat adanya tarikan yang
terjadi antara bahu posterior dengan kepala (turtle sign).3
2.5 Diagnosis
Distosia bahu dapat ditegakkan secara klinis dalam proses persalinan.
Anamnesis umumnya hanya berperan dalam identifikasi faktor risiko namun
konsesus ahli menyebutkan bahwa mengetahui faktor risiko tidak dapat
memprediksi secara adekuat kejadian distosia bahu pada persalinan.9 Edukasi
mengenai pembedah cesaeran dapat disarankan pada ibu yang memiliki faktor
risiko makrosomia seperti DOPE.
Distosia bahu dapat ditegakkan melalui tanda klinis yang dijumpai saat proses
persalinan berlangsung, meliputi :3,6,11
- Kepala bayi yang sudah lahir namun bahu tertahan dan tidak dapat
dilahirkan.
- Turtle sign, yaitu ketika kepala bayi yang sudah keluar dari vagina kembali
tertarik ke perineum ibu. Disebut turtle sign dikarenakan seperti kura-kura
yang menarik kepala kembali ke cangkangnya, sehingga pipi bayi tanpa
menonjol keluar. Hal ini terjadi dikarenakakn bahu depan bayi
terperangkap di tulang pubis ibu, sehingga menghambat lahirnya tubuh
bayi.
- Kepala bayi telah lahir, tetapi tetap menekan vulva dengan kencang.
- Traksi pada kepala bayi tidak berhasil melahirkan bahu yang tetap berada
di kranial simfisis pubis.
5
Gambar 2.2
Turtle Sign pada distosia bahu.
2.6 Tatalaksana
Distosia bahu termasuk dalam kegawatdaruratan obstetri, sehingga
dibutuhkan tindakan segera, serta keterampilan, dan kemampuan teknik persalinan
yang tepat untuk menghindari morbiditas dan mortalitas perinatal. Distosia bahu
yang kejadiannya tidak dapat diprediksi, baik pada pasien dengan risiko tinggi
maupun pada pasien tanpa risiko, tenaga kesehatan tetap harus waspada dan siap
dengan sistem penanganan distosia bahu.10
Tatalaksana distosia bahu perlu diputuskan dengan pemantauan kondisi
ibu dan janin terlebih dahulu. Pengelolaannya secara umum yaitu:
1. Waspadai distosia bahu pada setiap persalinan
2. Deteksi dini makrosomia
3. Setting Rumah Sakit: proaktif bedah Caesar pada makrosomia
6
Jika ibu memenuhi syarat dalam melakukan persalinan normal maka saat
menghadapi kasus distosia bahu, petugas yang melakukan pertolongan harus
menghindari 4P, yaitu:
1. Panic
2. Pushing
3. Pulling
4. Pivoting
Setelah penolong berhasil menghindari 4P dapat dilakukan persalinan bayi
dengan berbagai cara. Terdapat beberapa rekomendasi untuk tatalaksana distosia
bahu:
7
Gambar 2.3. Algoritma penanganan distosia bahu (RCOG).12
8
2.6.1.2 McRoberts’ Manuever
Merupakan metode lini pertama dalam penanganan distosia bahu
dan yang paling mudah dilakukan, serta terbukti efektif dengan tingkat
keberhasilan 90%. Manuver ini juga paling minimal invasif dengan
komplikasi yang rendah. Manuver ini dilakukan dengan cara fleksi dan
abduksi tungkai, memposisikan paha ibu sedekat mungkin dengan
abdomen. Hal ini akan memperlebar sudut lumbosakral, merotasi pelvis ke
arah sefalik, dan promontorium mendatar sehingga menambah diameter
anterior-posterior relatif pada pelvis, sehingga bahu anterior akan terbebas
dari simfisis pubis dan bahu posterior akan turun melewati sakrum.4
9
bawah dan lateral untuk mengurangi diameter bisakromial fetus serta
merotasi bahu anterior bayi ke diameter oblik pelvis yang lebih luas.12
10
untuk mengubah sumbu fetus dari antero-posterior ke diameter oblik yang
lebih luas.
Pada manuver Rubin, dua jari tangan penolong dimasukkan ke
dalam vagina dan ditempatkan di sisi posterior bahu anterior fetus untuk
mendorong bahu kearah dada sehingga terjadi adduksi. Apabila manuver
ini tidak berhasil, dapat dilakukan manuver Woods Corkscrew yaitu
manuver Rubin ditambah dua jari dari tangan yang lain yang juga
dimasukkan ke vagina dan ditempatkan di sisi anterior bahu posterior dan
mendorong bahu posterior ke arah anterior, searah dengan dorongan pada
bahu anterior pada manuver Rubin sehingga fetus berubah aksisnya
menjadi diagonal. Tarikan lembut pada kepala tetap dilakukan dan dapat
dibantu dengan manuver McRoberts.
12
diameter sagital pelvis hingga 20 mm. Penolong kemudian menarik kepala
bayi untuk mengeluarkan bahu posterior dan menjadi lebih mudah karena
bantuan gravitasi. Setelah bahu posterior lahir, akan disusul dengan bahu
anterior secara lebih mudah.12
1. Manuver Zavanelli
Pada manuver ini, kepala bayi didorong masuk kembali dan dilanjutkan
dengan persalinan melalui seksio sesaria. Bagian pertama dari manuver ini
adalah mengembalikan kepala ke posisi oksiput anterior atau oksiput
posterior bila kepala janin telah berputar dari posisi tersebut, lalu kepala
janin difleksikan dan secara perlahan didorong masuk kembali ke vagina
13
yang dilanjutkan dengan persalinan seksio sesaria. Untuk membantu dalam
relaksasi uterus, dapat diberikan terbutaline 250 mg secara subkutan.
2. Kleidotomi
Kleidotomi berarti memotong klavikula bayi dengan gunting atau benda
tajam, biasanya dilakukan pada janin yang telah meninggal.
14
Gambar 2.10. Kleidotomi.13
3. Simfisiotomi
Merupakan tindakan untuk memisahkan tulang panggul kiri dari tulang
panggul kanan pada simfisis agar rongga panggul menjadi lebih luas.
Namun teknik ini berkaitan dengan morbiditas ibu yang tinggi dan klinis
neonatal yang buruk. Oleh karena itu, kedua hal tersebut sebaiknya
dilakukan oleh tenaga medis yang terlatih.
Saat ini episiotomi tidak rutin dilakukan dalam penanganan distosia bahu
oleh karena bukti-bukti yang menunjukkan bahwa episiotomi tidak mengurangi
impaksi tulang bahu fetus terhadap pelvis ibu. Namun, episiotomi dapat
dipertimbangkan untuk dilakukan jika dalam proses persalinan tenaga kesehatan
membutuhkan ruang tambahan untuk melakukan maneuver persalinan bahu.
15
2.6.3 Advances in Labour and Risk Management (ALARM)
ALARM juga membuat singkatan ALARMER yang dapat digunakan,
yang didahului dengan menghindari 4 “P” yaitu Panic (panik), Pulling (menarik
kepala), Pushing (mendorong fundus), dan Pivoting (memutar kepala secara
tajam, dengan koksigeus ibu sebagai tumpuan). Adapun singkatan dari
ALARMER:15
1. Ask for help. (Panggil bantuan)
2. Lift. (Angkat bokong dan kaki/Manuver McRobert)
3. Anterior disimpaction of shoulder. (Tekanan suprapubik dan rotasi oblik)
4. Rotation of posterior shoulder. (Manuver Wood)
5. Manual removal of posterior arm. (Pengeluaran bahu posterior secara
manual)
6. Episiotomy. (Episiotomi)
7. Roll over. (Manuver Gaskin)
16
Gambar 2.11. Teknik PAST.16
2.7 Komplikasi
Kegagalan melahirkan bahu secara spontan dapat mengakibatkan cacat
permanen baik pada ibu maupun janin dengan resiko tinggi. Komplikasi tersering
pada ibu adalah perdarahan post-partum diikuti oleh ruptur perineum derajat tiga
dan empat, fistula rekto-vaginal, lepasnya simfisis pubis, dan ruptur uteri. Harus
17
diperhatikan bahwa manuver lini ketiga seperti manuver Zavanelli dan
simfisiotomi sangat sering mengakibatkan kecacatan pada ibu, sehingga sangat
disarankan untuk dilakukan oleh tenaga medis yang terlatih10
Komplikasi pada fetus yang paling sering terjadi dan berbahaya adalah
trauma pada pleksus brakialis (Erb-Duschennes's: cedera pada saraf tepi C5-C6;
klumpke palsy: cedera pada saraf tepi C8-T1). Walaupun distosia bahu dan
penggunaan manuver dalam penatalaksanaan distosia bahu sering dihubungkan
dengan kejadian tersebut, trauma pada pleksus brakialis juga dapat terjadi pada
persalinan pervaginam. Hal ini disebabkan oleh karena peregangan pada saraf
yang berlebihan pada saat persalinan, terutama karena traksi berlebihan pada
kepala dan leher, bahkan terkadang oleh karena tenaga pendorong ibu. Selain itu,
tekanan endogeneous propulsive dari uterus ketika bayi berada pada ostium uteri
eksternum (OUE), kegagalan bahu untuk berputar, kelainan tekanan intrauterin
akibat kelainan pada uterus (fibroid, septum intraunterin, uterus bikornuate) juga
dapat menyebabkan cedera pleksus brakialis3,6. Sebagian besar kasus cedera
pleksus brakialis dapat pulih dalam 6-12 bulan, namun sekitar 10% kasus distosia
bahu dapat menyebakan kecacatan permanen pada pleksus brakialis.13,18
Distosia bahu juga merupakan salah satu faktor risiko utama terjadinya
fraktur klavikula dan/atau humerus, dimana kejadian fraktur ini dilaporkan terjadi
pada 10,6% kasus distosia bahu. Biasanya fraktur yang terjadi ini akan sembuh
dalam 3-4 minggu tanpa menyebabkan komplikasi lain.
18
Cedera hipoksik iskemik merupakan akibat adanya deprivasi oksigen dan
glukosa ke jaringan saraf. Hal ini dapat terjadi akibat kompresi tali pusat. Pada
manusia, kompresi tali pusat selama kurang dari 12 menit dikatakan dapat
mengakibatkan cedera neurologis yang permanen pada janin.18
Kematian pada bayi pada kasus distosia bahu merupakan komplikasi yang
jarang dan dilaporkan hanya terjadi pda 0,4% kasus distosia bahu. Kematian pada
janin pada kasus distosia bahu ini diduga terjadi akibat adanya hipotensi sentral
dengan perfusi jantung dan otak yang buruk karena terjadi tamponade perifer dan
ditambah lagi dengan kurangnya venous return dari plasenta akibat teroklusinya
vena umbilikus. Hal ini pada akhirnya akan menyebabkan terjadinya henti
jantung.
2.8 Prognosis
Dalam penanganan kasus distosia bahu, yang menjadi fokus utama adalah
mengurangi komplikasi baik ringan hingga berat baik terhadap ibu maupun janin.
Keberhasilan dalam penanganan kasus distosia bahu sangat bergantung pada
waktu, keterampilan, dan kemampuan teknik persalinan yang tepat.
Semakin pendek jarak waktu yang dibutuhkan penolong untuk lahirnya
kepala dan tubuh fetus, semakin baik prognosisnya. Interval <5 menit yang
dibutuhkan untuk melahirkan tubuh setelah lahirnya kepala memiliki risiko 5.9%
terjadinya asidosis, sedangkan interval ≥5 menit memiliki risiko sebesar 23.5%
yang memicu terjadinya asidosis berat, hipoksia, dan berujung pada kematian
bayi.
Risiko berulang terjadinya distosia bahu sebesar 10-15% dan lebih tinggi
bila distosia bahu sebelumnya disertai dengan komplikasi yang serius.10
19
BAB III
SIMPULAN
20
DAFTAR PUSTAKA
1 Hill MG, Cohen WR. Shoulder dystocia: prediction and management. Women’s
Health (London, England) 2016;12(2):251–61. Tersedia di: 10.2217/whe.15.103.
2 Menticoglou S. Shoulder dystocia: incidence, mechanisms, and management
strategies. International Journal of Women’s Health 2018;10:723–32. Tersedia di:
10.2147/IJWH.S175088.
3 Prawirohardjo S, Siswishanto R. Distosia Bahu. Ilmu Kebidanan. 4th ed. Jakarta:
Yayasan Bina Pustaka; 2009. p. 599–605.
4 Dahlke JD, Bhalwal A, Chauhan SP. Obstetric Emergencies: Shoulder Dystocia
and Postpartum Hemorrhage. Obstetrics and Gynecology Clinics of North
America 2017;44(2):231–43. Tersedia di: 10.1016/j.ogc.2017.02.003.
5 Ayres-de-Campos D. Shoulder Dystocia. Obstetric Emergencies. Springer; 2017.
p. 27–40.
6 Cunningham F, Leveno K, Bloom S, et al. Dystocia. Williams’ Obstetrics.
McGraw Hill Professional; 2014. p. 455–47.
7 MacKenzie IZ, Shah M, Lean K, et al. Management of shoulder dystocia: trends
in incidence and maternal and neonatal morbidity. Obstetrics and Gynecology
2007;110(5):1059–68. Tersedia di: 10.1097/01.AOG.0000287615.35425.5c.
8 Shoulder Dystocia (Green-top Guideline No. 42). Available at:
https://www.rcog.org.uk/en/guidelines-research-services/guidelines/gtg42/.
Accessed on August 7, 2021.
9 Hill MG, Cohen WR. Shoulder Dystocia: Prediction and Management. Women’s
Health 2016;12(2):251. Tersedia di: 10.2217/WHE.15.103.
10 Prawirohardjo S, Wiknjosastro H, Sumapraja S, et al. Ilmu Kebidanan Sarwono.
5th ed. Jakarta: Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo; 2015.
11 Manuaba IBG, Manuaba IAC, Manuaba I. Pengantar kuliah obstetri. Jakarta: EGC
2007:450–5.
12 Jenkins L. Managing shoulder dystocia: Understanding and applying RCOG
guidance. British Journal of Midwifery 2014;22(5):318–24. Tersedia di:
10.12968/bjom.2014.22.5.318.
21
13 ALLEN RH. On the Mechanical Aspects of Shoulder Dystocia and Birth Injury.
Clinical Obstetrics & Gynecology 2007;50(3):607–23. Tersedia di:
10.1097/grf.0b013e31811eb8e2.
14 Huntley M, Smith JD. Management of shoulder dystocia using the HELPERR
mnemonic. British Journal of Midwifery 2017;25(4):240–4. Tersedia di:
10.12968/bjom.2017.25.4.240.
15 Windrim R, Ehman W, Carson GD, et al. The ALARM Course: 10 years of
Continuing Professional Development in Intrapartum Care and Risk Management
in Canada. Journal of Obstetrics and Gynaecology Canada 2006;28(7):600–2.
Tersedia di: 10.1016/s1701-2163(16)32212-5.
16 Gilstrop M, Hoffman MK. An Update on the Acute Management of Shoulder
Dystocia. Clinical Obstetrics & Gynecology 2016;59(4):813–9. Tersedia di:
10.1097/grf.0000000000000240.
17 Sancetta R, Khanzada H, Leante R. Shoulder Shrug Maneuver to Facilitate
Delivery During Shoulder Dystocia. Obstetrics and Gynecology
2019;133(6):1178–81. Tersedia di: 10.1097/AOG.0000000000003278.
18 Dajani NK, Magann EF. Complications of shoulder dystocia. Seminars in
Perinatology 2014;38(4):201–4. Tersedia di: 10.1053/j.semperi.2014.04.005.
22