Anda di halaman 1dari 31

INFEKSI CACING TAMBANG

No. ICD-10 : B76.0 Ankylostomiasis dan B76.1 Necatoriasis


No. ICPC-2 : D96 worms/other parasites
Tingkat Kompetensi : 4A

PENDAHULUAN
Infeksi cacing tambang awalnya ditemukan di Eropa pada pekerja pertambangan. Insiden
infeksi cacing tambang di Indonesia termasuk tinggi, terutama masyarakat yang tinggal di
daerah perkebunan yang bertanah gembur atau pekerja perkebunan yang memiliki kontak
langsung dengan tanah yang terkontaminasi telur cacing.

TUJUAN PEMBELAJARAN

TUJUAN PEMBELAJARAN UMUM (TIU)

Setelah menyelesaikan modul ini, dokter mampu menguatkan kompetensinya tentang


penyakit infeksi cacing tambang.

TUJUAN PEMBELAJARAN KHUSUS (TIK)

Setelah menyelesaikan modul ini, maka dokter mampu:


1. Menganalisis data yang diperoleh dari anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan
penunjang untuk menegakkan diagnosis masalah kesehatan pasien.
2. Menentukan tatalaksana farmakologi dan evaluasi hasil pengobatan
3. Melakukan edukasi personal dan komunitas untuk pencegahan reinfeksi dan penyebaran
infeksi di komunitas.

DEFINISI
Penyakit cacing tambang adalah penyakit infeksi yang disebabkan cacing tambang
(hookworm), spesies Ancylostoma duodenale dan Necator americanus.

ETIOLOGI
Spesies yang sering menjadi penyebab infeksi ini adalah Ancylostoma duodenale dan
Necator americanus. Spesies lain yang dapat menyebabkan penyakit tetapi jarang adalah
Ancylostoma braziliensis, Ancylostoma canum Ancylostoma malayanum.
Cacing tambang berbentuk silindris dan memiliki permukaan anterior yang lebih tumpul
daripada posterior. Kedua spesies memiliki morfologi yang mirip, namun cacing dewasa N.
americanus memiliki bentuk melengkung tajam ke arah dorsal menyerupai huruf S dan di
rongga mulut bentukan setengah lingkaran yang disebut semilunar cutting plate. Sedangkan
cacing dewasa A. duodenale relatif gemuk, melengkung seperti huruf C dan di rongga mulut
terdapat dua pasang gigi. Cacing dewasa jantan kedua spesies memiliki bursa kopulasi di
ujung posterior (Gambar 1). Telur cacing tambang berdinding tipis dan memiliki ukuran
40x60 µm (Gambar 2).
Betina Jantan

Bursa kupolaris

Gambar 1. Cacing tambang dewasa

Gambar 1. Telur cacing tambang

Siklus hidup
Cacing dewasa hidup di saluran cerna dan menghasilkan telur yang kemudian dikeluarkan
bersama feses. Pada lingkungan yang tepat, telur tersebut akan berkembang menjadi larva
rhabditiform dalam 1-2 hari, kemudian berkembang menjadi larva filariform yang infektif
dalam 5-10 hari. Telur cacing tambang tumbuh di tanah berpasir yang gembur, tercampur
humus dan terlindung dari sinar matahari langsung. Telur cacing tambang yang berada di
tanah yang sesuai tersebut akan menetas menjadi larva rabditiform dalam waktu 24-36 jam
dan kemudian akan menjadi larva filariform pada hari ke 5-8. Larva filariform dapat hidup
7-8 minggu di tanah.
Gambar 3. Daur hidup cacing tambang
Larva filariform akan masuk ke dalam tubuh melalui pori-pori kulit dan terbawa aliran darah
ke jantung dan paru. Larva kemudian penetrasi ke alveolus, menaiki bronkus dan tertelan
sehingga memasuki sistem pencernaan Larva menjadi cacing dewasa di duodenum dan
menetap di lumen usus dengan melekatkan bagian mulutnya ke dinding duodenum. Cacing
dewasa dapat bertahan selama 1-2 tahun di tubuh hospes (Gambar 3).

PETA KONSEP
FAKTOR RISIKO
1. Sanitasi buruk: terbatasnya ketersediaan air bersih, jamban, tempa sampah
2. Prilaku individu: Kebiasaan defekasi di kebun, kebersihan kuku, penggunaan alas kaki,
kebiasaan cuci tangan
3. Aktivitas yang menyebabkan paparan terus menerus dengan tanah yang terkontaminasi
telur cacing, seperti kebiasaan main atau beraktivitas di tanah tanpa menggunakan alas
kaki, pekerjaan di pertanian, perkebunan atau pertambangan.
4. Bepergian ke daerah dengan prevalensi infeksi cacing tambang tinggi

PENEGAKAN DIAGNOSIS

ANAMNESIS

1. Keluhan gatal di kulit dan terdapat gambaran seperti terowonga di bawah kulit.
2. Gejala terkait sistem intestinal: nausea, vomiting, diare berdarah, rasa nyeri atau tidak
nyaman di perut,
3. Keluhan batuk, sesak napas apabila larva mencapai paru-paru.
4. Riwayat pekerjaan dan aktivitas kontak dengan tanah, tidak memakai alas kaki atau
sarung tangan
5. Bila infeksi kronis akan timbul keluhan:
a. Pada anak berat badan kurang, pertumbuhan fisik terhambat dan prestasi akademik di
bawah rata-rata.
b. Keluhan terkait anemia: mudah lelah, kulit pucat, konsentrasi terganggu, jika kadar
hb<5g/dl, menyebabkan risiko gagal jantung
c. Edema akibat hipoalbuminemia

PEMERIKSAAN FISIK

Gejala dan tanda klinis infeksi cacing tambang tergantung kepada spesies cacing, jumlah
cacing, dan lamanya infeksi.
1. Ground itch yaitu rasa gatal di kulit disertai lesi seperti terowongan, terdapat ruam
pepiloeritematosa, vesikel, dapat ditemukan infeksi sekunder oleh bakteri
2. Tanda anemia: konjungtiva pucat, kulit telapak tengan pucat, clubbing fingger
3. Infeksi berat dapat disertai BMI malnutrisi, kardiomegali, dekompensasi jantung,
edema, pneumonia.

PEMERIKSAAN PENUNJANG

1. Pemeriksaan darah: kadar Hb, jumlah eosinophil, eritrosit total.


2. Pemeriksaan feses parasit

DIAGNOSIS KLINIS

Diagnosis berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang yaitu


ditemukan telur cacing tambang atau larva rhabditiform di feses.
DIAGNOSIS BANDING

1. Malabsorsi
2. Erosi gaster atau esophagus
3. Infeksi cacing STH (ascariasis dan tricuriasis)
4. Strongiloidiosis
5. Schistosomiasis
6. Lesi kulit: dermatitis kontak, miasis, scabies.

SARANA DAN PRASARANA

1. Mikroskop cahaya
2. Kaca objek dan kaca tutup
3. NaCl/lugol

PENATALAKSANAAN KOMPREHENSIF
Tujuan utama penatalaksanaan infeksi cacing tambang adalah penanganan penderita dengan
membunuh cacing dewasa dan mencegah reinfeksi. Penanganan penderita dapat dilakukan
di level individu dan komunitas dengan pemberian obat cacing dengan dosis yang sesuai
dan penanganan komplikasi anemia dan gizi buruk.
Pencegahan reinfeksi perlu dilakukan bersamaan di level individu dan komunitas, dengan
cara:
1. Menjaga Kebersihan Perorangan
a. Mencuci tangan dengan menggunakan air dan sabun pada 5 waktu penting yaitu
sebelum makan, setelah ke jamban, sebelum menyiapkan makanan, setelah menceboki
anak, sebelum memberi makan anak.
b. Menggunakan air bersih untuk keperluan sehari-hari.
c. Mengkonsumsi air yang memenuhi syarat untuk diminum.
d. Mencuci dan memasak bahan pangan sebelum dimakan.
e. Mandi dan membersihkan badan pakai sabun paling sedikit dua kali sehari
f. Memotong dan membersihkan kuku.
g. Memakai alas kaki bila berjalan/bermain/beraktivitas di tanah dan memakai sarung
tangan bila melakukan pekerjaan yang berhubungan dengan tanah.
2. Menjaga Kebersihan Lingkungan
a. Stop buang air besar sembarangan.
b. Membuat saluran pembuangan air limbah.
c. Membuang sampah pada tempat sampah.
d. Menjaga kebersihan rumah, sekolah/madrasah dan lingkungannya.
TERAPI FARMAKOLOGIS

Pilihan farmako terapi infeksi cacing tambang


Obat Dosis
Dewasa Anak
Albendazole 400 mg, dosis tunggal Usia > 2tahun
Gejala berat: 3-4 hari 400 mg, dosis tunggal
Gejala berat: 3-4 hari
Mebendazole 500 mg, dosis tunggal, atau Usia > 1 tahun:
2 x 100 mg/ hari selama 3 hari 500 mg, dosis tunggal atau
2 x 100 mg/ hari selama 3 hari

Pyrantel Pamoate 10 mg/ kgBB dosis tunggal (max 10 mg/ kgBB, dosis tunggal (max 1
1 g) g)
Infeksi berat: 3-4 hari Infeksi berat: 3-4 hari
Levamisole 2-5 mg/ kgBB dosis tunggal 2-5 mg/ kgBB dosis tunggal
Gejala berat: ulang setelah 7 hari Gejala berat: ulang setelah 7 hari

KONSELING DAN EDUKASI

Individu yang tinggal di daerah yang masih banyak terdapat tanah (misalnya individu yang
bekerja di kebun atau tambang) disarankan untuk selalu mengenakan alas kaki. Individu
juga disarankan untuk menghindari kontak langsung dengan feses manusia, hindari menelan
tanah, dan tidak menggunakan feses manusia sebagai pupuk.
Pasien yang tinggal di daerah endemis perlu diedukasi pentingnya mengikuti program
pemberantasan cacingan dengan cara minum obat cacing secara periodik (deworming)
sebagai upaya pencegahan untuk orang yang berisiko terhadap infeksi STH. Kelompok
yang termasuk dalam kategori berisiko, antara lain: anak usia prasekolah, anak usia sekolah,
wanita usia reproduktif, orang dengan mata pencaharian berisiko (penambang atau pemetik
teh).
Regimen terapi deworming yang disarankan oleh WHO adalah dengan periode waktu satu
kali per tahun pada daerah yang prevalensinya lebih dari 20% dan dua kali per tahun pada
daerah yang prevalensinya lebih dari 50% dengan obat pilihan berupa Albendazol 400 mg
atau Mebendazol 500 mg. Edukasi efek samping albendazole dan mebendazol seperti
pusing, sakit kepala dan sakit perut

MONITORING PENGOBATAN
Monitoring pengobatan dilakukan dengan pemeriksaan telur cacing pre dan post
pengobatan secara kuantitatif misalnya dengan metode Kato-Katz. Pasien dinyatakan
sembuh bila tidak ditemukan adanya telur cacing pada pemeriksaan post terapi. Pemeriksaan
tersebut dilakukan 2 minggu pasca pengobatan dan untuk pasien anak dilakukan pemantauan
berat badan dan tinggi badan
KRITERIA RUJUKAN
Tidak ada

KOMPLIKASI
Anemia defisiensi besi, perdarahan gastrointestinal, pneumonia.

PROGNOSIS
1. Ad sanasionam : bonam
2. Ad fungsionam : bonam
3. Ad vitam : bonam
Perlu diperhatikan angka morbiditas tinggi akibat anemia, kekurangan gizi yang
menyebabkan penurunan produktivitas dan angka kehadiran di sekolah. Perlu di perhatikan
kemungkinan terjadinya reinfeksi di daerah endemis

DAFTAR PUSTAKA
1. Sutanto I, Suhariah I, Sjarifudin PK, Sungkar S. Buku Ajar Parasitologi Kedokteran.
Edisi keempat. Jakarta: Balai Penerbit UI. 2008
2. Despommier DD, RW Gwadz, DO Griffin. Parasitic Diseases. 6th edition. Parasites
Without Borders. Inc. NY 590 . 2017.
3. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia nomor 15 Tahun 2017 tentang
Penanggulangan Cacingan
4. Panduan Praktek Klinis bagi dokter di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Primer, PB IDI
5. CDC. Parasites-hookworm[Internet]. USA; 2013 Jan 10th [cited 2020 Dec 22th].
Available at https://www.cdc.gov/parasites/hookworm/epi.html.
STRONGYLOIDIASIS
No. ICD-10 : B78.8 strongyloidiasis
No. ICPC-2 : D96 worms/other parasites
Tingkat Kompetensi : 4A

PENDAHULUAN
Strongyloides stercoralis memiliki mekanisme dan rute infeksi yang sama dengan soil-
transmitted helminths (STHs) lainnya, namun WHO memisahkan infeksi S. stercoralis
sebagai hal yang terpisah dari STH disebabkan karena adanya perbedaan cara diagnostik
dan pengobatan. Infeksi cacing ini bisa menjadi berat dan berbahaya pada pasien dengan
gangguan sistem imun.

TUJUAN PEMBELAJARAN

TUJUAN PEMBELAJARAN UMUM (TIU)

Setelah menyelesaikan modul ini, dokter mampu menguatkan kompetensinya tentang


penyakit strongiloidiasis.

TUJUAN PEMBELAJARAN KHUSUS (TIK)

Setelah menyelesaikan modul ini, maka dokter mampu:


1. Menganalisis data yang diperoleh dari anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan
penunjang untuk menegakkan diagnosis masalah kesehatan pasien.
2. Menentukan tatalaksana farmakologi dan evaluasi hasil pengobatan
3. Melakukan edukasi pencegahan reinfeksi

DEFINISI
Strongyloidiasis adalah penyakit kecacingan yang disebabkan oleh Strongyloides, Spesies
yang spesifik menginfeksi manusia adalah Strongyloides stercoralis dan Strongyloides
fülleborni namun jarang.

ETIOLOGI
Strongyloides stercoralis adalah salah satu nematoda yang tersebar hampir di seluruh dunia,
dengan prevalensi tertinggi di daerah tropis dan subtropis. Diperkirakan terdapat 100 juta
kasus infeksi terjadi setiap tahunnya. Stadium larva filariform merupakan fase infektif yang
dapat menembus kulit manusia secara langsung dan berperan di siklus autoinfeksi (Gambar
1), Larva filariform memiliki ciri morfologi yaitu, panjang dapat mencapai 600 µm, terdapat
lekukan di bagian ekor, dan rasio esofagus terhadap intestinal adalah 1:1. Sedangkan larva
rhabditiform adalah stadium yang biasa ditemukan di feses dan terkadang ditemukan di
tanah. larva rhabditiform S. stercoralis memiliki ciri morfologi, yaitu panjang 180-380 µm,
memiliki kanal buccal yang pendek, esofagus rhabditoid, dan primordium genital yang
prominen. Stadium lainnya adalah cacing dewasa yang dapat ditemukan di manusia atau
tanah. Di manusia hanya terdapat cacing dewasa betina dengan ciri morfologi berbentuk
panjang, tipis, berukuran 2-3 mm dan mampu bertahan hidup sampai lima tahun. Sedangkan
di tanah dapat ditemukan cacing dewasa jantan dan betina yang hidup bebas.

A B

Gambar 1. Larfa filariform (A) dan larva rhabditiform (B). Panah merah menunjukkan
kanal buccal yang pendek

Siklus Hidup
Siklus hidup Strongyloides terdiri atas siklus hidup bebas dan siklus parasit. Manusia
terinfeksi Strongyloides melalui kontak dengan tanah yang terkontaminasi larva filariform
yang merupakan stadium infektif. Larva menembus kulit dan akan bermigrasi ke sirkulasi
paru melalui sistem limfatik dan vena. Kemudian larva bermigrasi naik hingga tenggorokan
dan akan tertelan masuk ke dalam sistem pencernaan serta sampai di mukosa usus kecil.
Larva akan tumbuh menjadi cacing dewasa betina dan menghasilkan telur secara
parthenogenesis. Telur akan berkembang menjadi larva rhabditiform yang akan berjalan ke
lumen usus serta keluar bersama feses. Larva rhabditiform yang keluar ke tanah yang liat
atau lingkungan yang hangat, lembab berpasir akan mengalami siklus hidup bebas. Larva
rhabditiform akan berkembang menjadi larva filariform atau cacing dewasa jantan dan
betina yang akan kawin sehingga betina menghasilkan telur yang akan berkembang menjadi
larva filariform.
Sebagian larva rhabditiform yang tidak ikut keluar bersama feses akan berkembang menjadi
larva filariform dan menyebabkan proses autoinfeksi. Ada dua cara autoinfeksi, yaitu larva
menembus mukosa kolon (internal) atau menembus kulit di daerah perianal (eksternal).
Proses autoinfeksi dapat menyebabkan larva filariform menyebar ke seluruh tubuh sehingga
jika tidak diobati dapat menyebabkan infeksi persisten dan pada individu imunokompromis
dapat terjadi sindrom hiperinfeksi (Gambar 2).
PETA KONSEP

FAKTOR RISIKO
1. Aktivitas atau perkerjaan yang kontak dengan tanah berulang tanpa alat pelindung,
seperti berjalan di tanah tanpa alas kaki, petani atau pekerja tambang
2. Kebiasaan buang air besar di tanah (tidak menggunakan jamban)
3. Penggunaan feses sebagai pupuk
4. Kondisi yang menyebabkan penurunan sistem imun seperti: infeksi HIV, infeksi human
T-lymphotropic virus type 1 (HTLV-1), penggunaan streroid jangka panjang, keganasan,
pencandu alkohol, dan pasien transplantasi organ.

PENEGAKAN DIAGNOSIS

ANAMNESIS

Pada infeksi ringan tidak terdapat gejala,atau dapat timbul gejala yang nonspesifik, seperti;
1. Keluhan di sistem gastrointestinal seperti nyeri abdomen, kembung, rasa tidak nyaman
di ulu hati, episode intermiten diare dan konstipasi, mual, kehilangan nafsu makan.
2. Keluhan di sistem respirasi: batuk kering, iritasi tenggorokan, mengi, bronkitis kronik.
3. Keluhan atau gejala di kulit: bercak kemerahan/ rash terutama di daerah paha dan
bokong, pruritus pada dae.rah masuknya cacing melalui kulit, urtikaria
4. Sindrom hiperinfeksi: keluhan demam, tanda kerusakan organ seperti hemomtisis,
perdarahan saluran cerna
5. Perlu ditanyakan riwayat penggunaan kostikosteroid jangka panjang, perubahan berat
badan

PEMERIKSAAN FISIK

1. Kelaianan kulit di daerah bokong, perineum, dan paha berupa makulopapular atau
urtikaria serpiginosa yang dapat bertambah.
2. Nyeri abdomen
3. Adanya hiper infeksi perlu dipikirkan pada pasien dengan kelainan imunitas

PEMERIKSAAN PENUNJANG

1. Pemeriksaan hematologi: dapat ditemukan peningkatan eosinophil atau IgE total.


2. Pemeriksaan parasit dari sampel feses, sputum. Untuk pemeriksaan feses diperlukan
pengiriman sample feses serial sebanyak tiga hari berturut-turut.
3. Pemeriksaan antigen Strongyloides

DIAGNOSIS KLINIS

Strongyloidiasis

DIAGNOSIS BANDING

1. Infeksi cacing tambang atau enterobius


2. Asma
3. Kolera
4. PPOK
5. Inflammatory bowel disease
6. Loffler syndrome
7. Peritonitis
8. Pneumonia
SARANA DAN PRASARANA

1. Mikroskop cahaya
2. Kaca objek dan kaca tutup
3. NaCl/lugol

PENATALAKSANAAN KOMPREHENSIF

TERAPI FARMAKOLOGIS

Obat pilihan pertama adalah Ivermectin dosis tunggal 200 µg/ kgBB per oral diberikan
selama 2 hari. Alternatif terapi adalah Albendazole per oral 2 x 400 mg per hari selama 7
hari.

KONSELING DAN EDUKASI

Edukasi yang perlu diberikan untuk perorangan dan keluarga adalah:


1. Individu yang tinggal di daerah yang masih banyak terdapat tanah (misalnya individu
yang bekerja di kebun atau tambang) diedukasi untuk selalu menggunakan alas kaki
kontak dengan tanah.
2. Menghindari kontak dengan tanah yang tercemar tinja manusia misalnya dengan
pemakaian sarung tangan saat mengelola limbah/sampah
3. Mencuci tangan menggunakan sabun dan air mengalir

MONITORING PENGOBATAN
Pemantauan dilakukan dengan pemeriksaan feses ulang setelah 2-4 minggu setelah
perberian obat hari pertama.

KRITERIA RUJUKAN
Pasien dengan gangguan imunitas

KOMPLIKASI
Komplikasi yang mungkin terjadi antara lain malnutrisi atau anemia akibat infeksi kronis
asimptomatik dan strongyloidiasis diseminata terjadi ketika cacing menginfeksi berbagai
organ secara sistemik

PROGNOSIS
Pada umumnya prognosis penyakit ini pada individu imunokompeten adalah bonam.
1. Ad sanasionam : bonam
2. Ad fungsionam : bonam
3. Ad vitam : bonam
DAFTAR PUSTAKA
1. Sutanto I, Suhariah I, Sjarifudin PK, Sungkar S. Buku Ajar Parasitologi Kedokteran.
Edisi keempat. Jakarta: Balai Penerbit UI. 2008
2. Despommier DD, RW Gwadz, DO Griffin. Parasitic Diseases. 6th edition. Parasites
Without Borders. Inc. NY 590 . 2017.
3. Panduan Praktek Klinis bagi dokter di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Primer, PB IDI
4. CDC. Parasites-Strongyloidiasis [Internet]. USA; 2017 Dec 17th [cited 2020 Dec 22th].
Available at http://www.cdc.gov/dpdx/ strongyloides /
ASKARIASIS
No. ICD-10 : B77.9
No. ICPC-2 : D96 worms/other parasites
Tingkat Kompetensi : 4A

PENDAHULUAN
Askariasis bisa ditemukan hampir di seluruh dunia. Tidak jarang infeksi cacing ini bisa
ditemukan campuran dengan cacing lain. Infeksi cacing ini paling banyak terjadi di daerah
tropis dan subtropis dengan sanitasi yang buruk, higenitas rendah, dan penggunaan feses
sebagai pupuk. Infeksi ini lebih sering menyerang anak-anak dibandingkan dengan dewasa.

TUJUAN PEMBELAJARAN

TUJUAN PEMBELAJARAN UMUM (TIU)

Setelah menyelesaikan modul ini, dokter mampu menguatkan kompetensinya tentang


penyakit askariasis.

TUJUAN PEMBELAJARAN KHUSUS (TIK)

Setelah menyelesaikan modul ini, maka dokter mampu:


1. Menganalisis data yang diperoleh dari anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan
penunjang untuk menegakkan diagnosis masalah kesehatan pasien.
2. Menentukan tatalaksana farmakologi dan evaluasi hasil pengobatan
3. Melakukan edukasi pencegahan reinfeksi

DEFINISI
Askariasis adalah infeksi parasit usus yang disebabkan oleh cacing nematoda Ascaris
lumbricoides.

ETIOLOGI
Penyebab utama ascariasis adalah Ascaris lumbricoides yang diperkirakan telah
menginfeksi 1,4 miliar manusia di seluruh dunia. A. lumbricoides memiliki 3 stadium dalam
siklus hidupnya, yaitu stadium telur, larva, dan cacing dewasa (Gambar 1). Stadium telur
memiliki ukuran 30-40µm X 50-60µm. Stadium telur memiliki dua fase, yaitu stadium telur
imatur dan telur matur (infektif). Telur A. lumbricoides memiliki dinding yang tebal yang
terdiri atas empat lapisan, yaitu outer mucopolysaccharide, lapisan vitelin, lapisan kitin, dan
inner layer. Perbedaan antara telur imatur dan matur (infektif) adalah telur imatur berisi 1
sel yang nantinya akan berkembang menjadi larva sehingga menjadi telur infektif. Stadium
cacing dewasa memiliki ciri yaitu: berwana putih kekuningan, ukuran cacing betina lebih
besar yaitu panjang 20-40 cm panjangnya dan lebar 3-6 mm. Sedangkan cacing jantan
memiliki ukuran Panjang 15-30 cm dan lebar 2-4 mm. Pada cacing betina dapat ditemukan
cincin kopulasi sedangkan pada cacing jantan dapat ditemukan ekor yang melingkar.

Gambar 1. Bentuk Telur dan Cacing Ascaris lumbricoides

Siklus Hidup
Cacing dewasa hidup di lumen usus halus dan bisa bertahan hidup hingga 1-2 tahun. Cacing
dewasa betina dapat memproduksi sekitar 200.000 telur per hari dan dikeluarkan melalui
feses. Telur akan menjadi infektif di tanah dalam waktu 18 hari atau lebih tergantung dari
kondisi lingkungan. Apabila telur infektif tersebut tertelan oleh manusia, telur akan menetas
dan larva akan menginvasi mukosa usus halus menuju sirkulasi darah vena porta dan
mencapai paru-paru, larva yang sudah matur kemudian akan menembus dinding alveolar
menuju bronkus dan menuju tenggorokan yang selanjutnya akan tertelan kembali. Larva
akan mencapai usus halus dan berkembang menjadi cacing dewasa (Gambar 2).

Gambar 2. Daur hidup Ascaris lumbricoides.


PETA KONSEP

FAKTOR RISIKO
1. Aktivitas atau perkerjaan yang kontak dengan tanah berulang.
2. Kebiasaan buang air besar di tanah (tidak menggunakan jamban)
3. Penggunaan feses sebagai pupuk

PENEGAKAN DIAGNOSIS

ANAMNESIS

Pada infeksi awal umumnya tidak terdapat gejala, atau dapat timbul gejala ketika cacing
bermigrasi di paru-paru (10-14 hari pertama setelah telur tertelan), seperti;
1. Batuk
2. Dispnea
3. Mengi
4. Urtikaria
5. Hemoptisis
6. Nyeri dada
Keluhan di gastrointestinal karena adanya cacing dewasa adalah:
1. Nyeri perut
2. Perut kembung
3. Kolik
4. Mual
5. Anoreksia
6. Diare intermiten

PEMERIKSAAN FISIK

1. Mengi dan takipnea pada auskultasi dada


2. Distensi abdomen
3. Nyeri dada terutama di kuadran kanan atas, hypogastrium, atau kuadaran kanan bawah
4. Tanda-tanda malnutrisi dan gangguan tumbuh kembang (Berat Badan dan Tinggi Badan
di bawah normal) pada anak-anak

PEMERIKSAAN PENUNJANG

1. Pemeriksaan hematologi: dapat ditemukan peningkatan eosinophil atau IgE total.


2. Pemeriksaan parasit dari sampel feses untuk menemukan telur dan larva
3. Pemeriksaan parasit dari sampel sputum untuk menemukan adanya larva askaris pada
saat migrasi di paru-paru

DIAGNOSIS KLINIS

Askariasis

DIAGNOSIS BANDING

1. Infeksi cacing tambang atau enterobius


2. Pankreatitis akut
3. Kolik empedu
4. Community-Acquired Pneumonia (CAP)
5. Obstruksi usus

SARANA DAN PRASARANA

1. Mikroskop cahaya
2. Kaca objek dan kaca tutup
3. NaCl/lugol

PENATALAKSANAAN KOMPREHENSIF

TERAPI FARMAKOLOGIS

Pengobatan dapat dilakukan dengan menggunakan oral albendazol dengan dosis 400 mg
dosis tungal, mebendazole 500 mg dosis tunggal atau 100 mg dua kali sehari selama 3 hari
atau pyrantel pamoate 11 mg/kg (maks. 1 g) dosis tungal.

KONSELING DAN EDUKASI

Edukasi yang perlu diberikan untuk perorangan dan keluarga adalah:


1. Menghindari kontak dengan tanah yang tercemar tinja manusia misalnya dengan
pemakaian sarung tangan saat mengelola limbah/sampah
2. Mencuci tangan menggunakan sabun dan air mengalir setiap habis kontak dengan tanah
dan sebelum makan.

MONITORING PENGOBATAN
Pemantauan dilakukan dengan pemeriksaan feses ulang setelah 2-4 minggu post awal terapi.

KRITERIA RUJUKAN
Pasien askariasis yang mengalami obstruksi usus

KOMPLIKASI
Komplikasi ascariasis terkait dengan banyaknya infestasi cacing dan lokasinya di usus.
Diantaranya adalah acute abdomen, perdarahan GI bagian atas, obstruksi usus halus,
volvulus dan intususepsi, peritonitis, kolik bilier, kolesistitis akut, pankreatitis akut,
kolangitis akut, dan abses hati.

PROGNOSIS
Pada umumnya prognosis penyakit ini pada individu imunokompeten adalah bonam.
1. Ad sanasionam : bonam
2. Ad fungsionam : bonam
3. Ad vitam : bonam

DAFTAR PUSTAKA
1. Sutanto I, Suhariah I, Sjarifudin PK, Sungkar S. Buku Ajar Parasitologi Kedokteran.
Edisi keempat. Jakarta: Balai Penerbit UI. 2008
2. Despommier DD, RW Gwadz, DO Griffin. Parasitic Diseases. 6th edition. Parasites
Without Borders. Inc. NY 590 . 2017.
3. Panduan Praktek Klinis bagi dokter di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Primer, PB IDI
4. CDC. Parasites-Ascaris lumbricoides [Internet]. USA; 2013 Jan 10th [cited 2020 Dec
22th]. Available at: http://www.cdc.gov/parasites/ascariasis/diagnosis.html.
5. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia nomor 15 Tahun 2017 tentang
Penanggulangan Cacingan
TAENIASIS
No. ICD-10 : B68.9
No. ICPC-2 : D96 worms/other parasites
Tingkat Kompetensi : 4A

PENDAHULUAN
Taeniasis diperkirakan diderita oleh sekitar 100 juta orang di dunia dengan daerah endemik
infeksi cacing ini adalah Amerika Selatan, Afrika, India, China, dan Asia Tenggara.
Diperkirakan 5-40% orang di dunia terinfeksi cacing ini. Penelitian terbaru menunjukkan
infeksi Taenia sp terutama saginata paling banyak ditemukan di Korea Selatan, Indonesia,
Thailand, dan Filipina berhubungan dengan kebiasaan penduduknya memakan daging
mentah atau setengah matang.

TUJUAN PEMBELAJARAN

TUJUAN PEMBELAJARAN UMUM (TIU)

Setelah menyelesaikan modul ini, dokter mampu menguatkan kompetensinya tentang


taeniasis.

TUJUAN PEMBELAJARAN KHUSUS (TIK)

Setelah menyelesaikan modul ini, maka dokter mampu:


1. Menganalisis data yang diperoleh dari anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan
penunjang untuk menegakkan diagnosis masalah kesehatan pasien.
2. Menentukan tatalaksana farmakologi dan evaluasi hasil pengobatan
3. Melakukan edukasi pencegahan reinfeksi

DEFINISI
Taeniasis adalah infeksi parasit usus yang disebabkan oleh cacing pita (sestoda) Taenia sp.

ETIOLOGI
Taeniasis disebabkan oleh konsumsi daging sapi atau babi yang mengandung larva atau
cysticerci T. saginata atau T. Solium dan tidak dimasak dengan mamadai. Sedangkan
sistiserkosis disebabkan oleh menelan telur T. Solium dan terjadi ketika larva berdiam di
otot rangka, otak, mata, dan organ lainnya.
Secara morfologi, Taenia sp. terbagi menjadi 2 stadium yaitu stadium telur dan stadium
cacing dewasa (Gambar 1). Stadium telur yang telah matang memiliki ciri morfologi: bentuk
bulat atau oval, diameter 30-50µm, berwarna coklat keemasan dengan isi onkosfer, terdapat
selubung embrio yang terbuat dari keratin yang dapat terlepas jika terkena HCL. Onkosfer
yang akan menginvasi usus dan mencapai aliran darah. Sedangkan ciri morfologi cacing
dewasa adalah: panjang mencapai 2-25 meter, terdapat skoleks dibagian anterior dan
memiliki empat sucker atau batil isap. Perbedaan antara kedua spesies Taenia adalah adanya
kait-kait di skoleks T.solium sedangkan T.saginata tidak. Cacing dewasa akan berkembang
dan memanjang dengan segmen proglotidnya. Proglotid yang mengandung telur dinamakan
proglotid gravid. Cacing dewasa dapat memproduksi telur sebanyak 300.000 telur per
harinya.

Gambar 1. Bentuk Telur dan Cacing Taenia sp.

Siklus Hidup
Dalam siklus hidup T.saginata atau T.solium, manusia berperan sebagai hospes definitif dan
hewan ternak sebagai hospes perantara (Gambar 2). Telur Taenia sp atau proglottid gravid
dapat keluar melalui feses manusia dan dapat bertahan hidup di lingkungan hingga berbulan-
bulan, selanjutnya telur tersebut akan ditelan oleh hewan ternak. Telur akan melepaskan
onkosfer yang kemudian akan menembus dinding usus dan berkembang di otot serta
selanjutnya berkembang menjadi sistiserkus. Ketika manusia mengkonsumsi daging hewan
ternak yang mengandung sistiserkus, maka sistiserkus akan masuk ke usus manusia dan
berkembang menjadi cacing dewasa dalam waktu 2 bulan. Cacing dewasa terdiri atas
proglotid yang jika matur akan menjadi proglotid gravid yang mengandung telur.

Gambar 2. Siklus hidup Taenia sp


PETA KONSEP

FAKTOR RISIKO
1. Makan daging yang mentah atau belum matang sempurna.
2. Kebiasaan buang air besar di tanah (tidak menggunakan jamban) sehingga feses manusia
bisa mengkontaminasi hewan ternak.
3. Penggunaan feses sebagai pupuk.
4. Kebersihan diri dan lingkungan yang buruk

PENEGAKAN DIAGNOSIS

ANAMNESIS

Keluhan yang biasanya diderita oleh pasien dengan taeniasis adalah sebagai berikut:
1. Keluarnya proglottid Bersama dengan feses
2. Nyeri abdomen (kolik terutama pada anak-anak)
3. Mual
4. Nafsu makan turun
5. Konstipasi
6. Diare
7. Pruritus ani
8. Sakit kepala
9. Lemah dan pusing
Nyeri perut dan mual dilaporkan lebih sering terjadi di pagi hari dan biasanya hilang dengan
makan sedikit. Anak-anak lebih bergejala daripada orang dewasa dan sering menunjukkan
perubahan nafsu makan, baik meningkat maupun menurun.
PEMERIKSAAN FISIK

1. Penurunan berat badan, yang disebabkan oleh hilangnya nafsu makan, lebih terlihat pada
bayi dibandingkan pada orang dewasa.
2. Nodul subkutan pada pasien yang terinfeksi Taenia solium.
3. Pseudohipertrofi otot (jarang terjadi).

PEMERIKSAAN PENUNJANG

1. Pemeriksaan hematologi: dapat ditemukan peningkatan eosinophil.


2. Pemeriksaan parasit dari sampel feses untuk menemukan telur dan proglottid.
Pemeriksaan feses sebaiknya dilakukan 3 kali dalam hari yang berbeda.
3. Pemeriksaan serologi: deteksi antigen atau antibodi Taenia sp.

DIAGNOSIS KLINIS

Taeniasis

DIAGNOSIS BANDING

1. Apendisitis
2. Inflammatory Bowel Disease
3. Gnatostomiasis
4. Kolesistitis
5. Obstruksi usus halus

SARANA DAN PRASARANA

1. Mikroskop cahaya
2. Kaca objek dan kaca tutup
3. NaCl/lugol

PENATALAKSANAAN KOMPREHENSIF

TERAPI FARMAKOLOGIS

Pengobatan yang dapat dilakukan pada pasien yang terinfeksi cacing pita yang menginvasi
usus dapat dilakukan dengan penggunaan praziquantel dan albendazole, keduanya sudah
teruji memiliki efektivitas yang tinggi dalam pengobatan taeniasis intestinal. Rekomendasi
dosis untuk praziquantel pada orang dewasa adalah 2,5-10 mg/kg yang diberikan dengan
dosis tunggal. Sementara untuk albendazole pada orang dewasa direkomendasikan sebanak
6.6 mg/kg atau 200 mg/2 kali sehari selama 3 hari.

KONSELING DAN EDUKASI

Edukasi yang perlu diberikan untuk perorangan dan keluarga adalah:


1. Mengolah daging yang akan dikonsumsi sampai matang.
2. Mencuci tangan menggunakan sabun dan air mengalir setiap habis kontak dengan tanah
dan sebelum makan.
3. Meningkatkan kebersihan diri dan sanitasi lingkungan.

MONITORING PENGOBATAN
Setelah pengobatan, pasien harus melakukan pemeriksaan feses kembali untuk mendeteksi
adanya proglottid selama 5 minggu ke depan untuk infeksi T solium dan selama 3 bulan
untuk infeksi T saginata.
Konfirmasi keberhasilan pengobatan taeniasis T. solium dengan riwayat pengeluaran
proglottid setelah 1 minggu pengobatan, pemeriksaan mikroskopis dan makroskopik sampel
feses 1 bulan dan 3 bulan kemudian dan jika salah satunya masih positif, pengobatan harus
diulangi.

KRITERIA RUJUKAN
Pasien perlu dirujuk jika memerlukan tindakan operasi yang dikarenakan komplikasi
taeniasis seperti abdomen akut, apendisitis atau obstruksi kandung empedu atau duktus
pankreas.

KOMPLIKASI
1. Apendisitis
2. Kolesistitis
3. Pankreatitis
4. Obstruksi usus

PROGNOSIS
Pada umumnya prognosis penyakit ini pada individu imunokompeten adalah bonam.
1. Ad sanasionam : bonam
2. Ad fungsionam : bonam
3. Ad vitam : bonam

PENCEGAHAN
Pencegahan dan pengendalian infeksi Taenia sp. diantaranya:
1. Pemberian obat massal untuk taeniasis
2. Identifikasi dan pengobatan kasus taeniasis
3. Edukasi kesehatan, termasuk kebersihan dan keamanan makanan
4. Perbaikan sanitasi yang lebih baik
5. Pengobatan antelmintik untuk babi (oxfendazole)
6. Vaksinasi babi (vaksin TSOL18)
7. Peningkatan pemeriksaan daging dan pemrosesan produk daging
DAFTAR PUSTAKA
1. Sutanto I, Suhariah I, Sjarifudin PK, Sungkar S. Buku Ajar Parasitologi Kedokteran.
Edisi keempat. Jakarta: Balai Penerbit UI. 2008
2. Despommier DD, RW Gwadz, DO Griffin. Parasitic Diseases. 6th edition. Parasites
Without Borders. Inc. NY 590 . 2017.
3. Panduan Praktek Klinis bagi dokter di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Primer, PB ID
4. CDC. Parasites-taeniasis [Internet]. USA; 2017 Dec 17th [cited 2020 Dec 22th].
Available at: http://www.cdc.gov/dpdx/taeniasis/
SKISTOSOMIASIS
No. ICD-10 : B65.9
No. ICPC-2 : D96 worms/other parasites
Tingkat Kompetensi : 4A

PENDAHULUAN
Setelah malaria dan helminthiasis usus, schistosomiasis adalah penyakit tropis ketiga di
dunia yang menjadi sumber utama morbiditas dan mortalitas penduduk di negara-negara
berkembang seperti Afrika, Amerika Selatan, Karibia, Timur Tengah, dan Asia. WHO
memperkirakan bahwa sekitar 220,8 juta orang membutuhkan perawatan pencegahan untuk
schistosomiasis pada 2017 dan diperkirakan 102,3 juta orang dirawat pada tahun yang sama.
Indonesia hingga kini menjadi satu-satunya negara di kawasan Asia Tenggara yang masih
memiliki masalah schistosomiasis. Berdasarkan data Kementerian Kesehatan Republik
Indonesia pada tahun 2016, penyakit yang sering disebut sebagai demam keong itu hanya
dijumpai di 5 desa di Kabupaten Sigi dan 23 desa di Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah,
yang berpenduduk 30.639 orang.

TUJUAN PEMBELAJARAN

TUJUAN PEMBELAJARAN UMUM (TIU)

Setelah menyelesaikan modul ini, dokter mampu menguatkan kompetensinya tentang


penyakit skistosomiasis.

TUJUAN PEMBELAJARAN KHUSUS (TIK)

Setelah menyelesaikan modul ini, maka dokter mampu:


1. Menganalisis data yang diperoleh dari anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan
penunjang untuk menegakkan diagnosis masalah kesehatan pasien.
2. Menentukan tatalaksana farmakologi dan evaluasi hasil pengobatan
3. Melakukan edukasi pencegahan reinfeksi

DEFINISI
Schistosomiasis adalah penyakit parasit yang disebabkan oleh cacing (trematoda) dari genus
Schistosoma. dan dibawa oleh keong Oncomelania yang ukurannya tidak lebih besar dari
bulir padi.

ETIOLOGI
Sebagian besar schistosomiasis di manusia disebabkan oleh S. haematobium, S. mansoni,
dan S japonicum. Spesies yang kurang lazim, seperti S mekongi dan S intercalatum, juga
dapat menyebabkan penyakit sistemik pada manusia.
Penyakit ini dapat didiagnosis dengan menemukan cacing pada waktu pemeriksaan jaringan
dengan cara biopsi hati dan biopsi rektal hospes definitif maupun pembedahan hospes
reservoir atau dengan menemukan telur dalam feses (Gambar 1).
Manusia terinfeksi schistosomiasis ketika bentuk larva parasit, yang dilepaskan oleh siput
air tawar, menembus kulit mereka selama kontak dengan air yang terinfestasi. Di dalam
tubuh, larva berkembang menjadi schistosom dewasa. Cacing dewasa hidup di pembuluh
darah dan cacing dewasa betina melepaskan telur yang dikeluarkan melalui tinja atau urin
untuk melanjutkan siklus hidup parasit. Beberpa telur terperangkap di dalam jaringan tubuh
manusia, menyebabkan reaksi kekebalan dan kerusakan organ secara progresif.

Gambar 1. Telur dari ketiga spesies Schistosoma yang menyebabkan penyakit di manusia.
Dari kiri ke kanan: S. mansoni, S.haemotobium, S.japonicum.

Siklus Hidup
Siklus hidup Schistosoma sp, dimulai ketika serkaria yang merupakan bentuk infektif
menembus kulit pada waktu manusia masuk atau berendam di air yang mengandung
serkaria. Di dalam tubuh manusia, serkaria akan berubah bentuk menjadi skistosomula yang
akan masuk ke sistem peredaran darah sistemik manusia dan menjadi dewasa di dalam hati.
Setelah dewasa cacing ini kembali ke vena porta dan vena usus untuk kemudian cacing
betina bertelur setelah berkopulasi. Telur dapat menembus keluar pembuluh darah,
bermigrasi ke jaringan dan akhirnya masuk ke dalam lumen usus sehingga bisa ditemukan
di dalam tinja. Pada S. haematobium, telur terdeposisi di dalam kandung kemih dan sebagian
akan keluar bersama urin. Jika infeksi berlangsung kronis dapat menyebabkan fibrosis. Telur
menetas dalam air, larva yang keluar disebut mirasidium. Mirasidium masuk ke dalam tubuh
keong Oncomelania hupensis lindoensis dan berkembang menjadi sporokista I dan
sporokista II dan kemudian menghasilkan serkaria (Gambar 2).
Gambar 2. Siklus hidup Schistosoma sp.

PETA KONSEP

FAKTOR RISIKO
1. Masyarakat yang tinggal di sekitar danau atau sungai karena mereka cenderung
menghabiskan waktu berenang atau mandi di air yang mengandung serkaria menular.
2. Pelancong bepergian ke, area endemis schistosomiasis dan terpapar air tawar yang
terkontaminasi
PENEGAKAN DIAGNOSIS

ANAMNESIS

Gejala schistosomiasis disebabkan oleh sistem kekebalan tubuh yang bereaksi terhadap telur
schistosom. Telur bisa menempel di sejumlah area di sekitar tubuh yang menyebabkan
peradangan (pembengkakan). Hal ini kemudian dapat menyebabkan pembentukan massa
jaringan yang disebut granuloma dan pengerasan jaringan yang disebut fibrosis. Ini dapat
menyebabkan berbagai gejala tergantung di organ mana mereka berada.
Pada penderita schistosomiasis intestinal, gejala yang biasanya dikeluhkan adalah:
1. Kelelahan
2. Nyeri perut
3. Diare
4. Disentri
5. Mual muntah
Pada penderita schistosomiasis urogenital, gejala yang biasanya dikeluhkan adalah:
1. Disuria
2. Frekuensi berkemih meningkat
3. Hematuria terminal

PEMERIKSAAN FISIK

Pemeriksaan fisik bervariasi tergantung pada stadium penyakit, banyaknya infestasi cacing,
lokasi cacing, dan keterlibatan organ.
Temuan pada schistosomiasis akut diantaranya sebagai berikut:
1. Limfadenopati umum
2. Hepatosplenomegali
3. Ruam
4. Demam
5. Nyeri pada kuadran kanan atas
6. Urtikaria
7. Tinja berdarah
Temuan pada schistosomiasis kronis diantaranya adalah:
1. Hipertensi portal dengan distensi abdomen, hepatosplenomegali, edema pedal, pucat,
vena abdomen membuncit, dan asites
2. Poliposis usus dengan feses heme-positif, pucat, dan tanda malnutrisi
3. Gejala SSP, termasuk temuan neurologis fokal, kejang, dan lesi medula spinalis
4. Gagal ginjal disertai anemia dan hipertensi
5. Kor pulmonal dengan tanda gagal jantung kanan
6. Lesi genital, termasuk ulserasi, lesi hipertrofik, atau lesi nodular pada serviks, vulva, atau
vagina atau fistula vesikovaginal (lesi vulva atau perianal eksternal terjadi pada 30%
wanita; wanita mengalami pembesaran uterus, gangguan menstruasi, servisitis, dan
infertilitas.
PEMERIKSAAN PENUNJANG

1. Pemeriksaan hematologi: dapat ditemukan peningkatan eosinophil dan anemia.


Peningkatan SGOT dan SGPT, peningkatan ureum dan kreatinin.
2. Pemeriksaan parasit dari sampel feses untuk menemukan telur Schistosoma sp. (S.
mansoni atau S. japonicum). Dan kadang dijumpai adanya eritrosit.
3. Pemeriksaan urin untuk menemukan telur Schistosoma hematobium
Pemeriksaan feses dan urin pada pasien terduga skistosmiasis dianjurkan sebanyak 3 kali
dalam hari yang berbeda untuk meningkatkan sensitivitas.

DIAGNOSIS KLINIS

Skistosomiasis

DIAGNOSIS BANDING

Skistosomiasis intestinal:
1. Ulkus peptikum
2. Pankreatitis
3. Sindrom myeloproliferatif
4. Apendisitis
5. Infammatory Bowel Disease
6. Infeksi Salmonella
7. Splenomegali tropika
8. Sirosis hati
Skistosomiasis urogenital:
1. Infeksi saluran kemih
2. Kanker uretra
3. Kanker kandung kemih

SARANA DAN PRASARANA

1. Mikroskop cahaya
2. Kaca objek dan kaca tutup
3. NaCl/lugol

PENATALAKSANAAN KOMPREHENSIF

TERAPI FARMAKOLOGIS

Obat pilihan untuk skistosomiasis adalah Proziquantel. Untuk infeksi skistosomiasis yang
disebabkan oleh S. mansoni dan S. hematobium dosis praziquantel yang diberikan adalah 40
mg/kg BB oral dibagi dalam 2 dosis dalam sehari. Sedangkan untuk infeksi yang disebabkan
oleh S. japonicum, dosis praziquantel yang diberikan adalah 60 mg/kg BB oral dibagi dalam
3 dosis dalam satu hari.
KONSELING DAN EDUKASI

Edukasi yang perlu diberikan untuk perorangan dan keluarga yang memiliki resiko adalah:
1. Menghindari kontak dengan air tawar (sungai, danau, dan sebagainya) di daerah tempat
terdapat cacing parasit ini.
2. Selalu minum air yang bersih dan aman. Jika harus mengonsumsi air mentah, pastikan
untuk merebus air terlebih dahulu.
3. Air yang digunakan untuk mandi sebaiknya direbus selama satu menit agar aman dari
parasit. Air yang ditampung selama 1–2 hari dapat dianggap aman untuk mandi.
4. Pengeringan badan dengan handuk (menggosok-gosok badan dengan handuk secara
keras) dapat membantu menghindari cacing masuk dalam kulit. Namun hal ini tidak dapat
diandalkan sebagai tindakan pencegahan

MONITORING PENGOBATAN
Obat antiskistosomal menghambat telur cacing dewasa bertelur. Oleh karena itu, feses dan
urine pasien harus diperiksa selama 6 bulan setelah pengobatan. Pengobatan diulangi untuk
pasien yang masih positif ditemukan telur dari sampel feses atau urinnya. Jika timbul
kekambuhan, misalnya hematuria, atau eosinofilia, disarankan untuk melakukan
pemeriksaan parasit berulang.

KRITERIA RUJUKAN
Pasien perlu dirujuk jika terjadi menimbulkan komplikasi dan kelainan kronis pada organ
yang terlibat.

KOMPLIKASI
Skistosomiasis intestinal
1. Fibrosis periportal
2. Hipertensi pulmonal
3. Cor-pulmonale
Skistosomiasis urogenital
1. Pyelonefritis
2. Kanker saluran kemih
3. Kanker hati

PROGNOSIS
Pada umumnya prognosis penyakit skistosomiasis akut ini pada individu imunokompeten
adalah bonam.
1. Ad sanasionam : bonam
2. Ad fungsionam : bonam
3. Ad vitam : bonam
Pada umumnya prognosis penyakit skistosomiasis kronis adalah dubia at malam.
1. Ad sanasionam : bonam
2. Ad fungsionam : dubia ad malam
3. Ad vitam : bonam

DAFTAR PUSTAKA
1. Sutanto I, Suhariah I, Sjarifudin PK, Sungkar S. Buku Ajar Parasitologi Kedokteran.
Edisi keempat. Jakarta: Balai Penerbit UI. 2008
2. Despommier DD, RW Gwadz, DO Griffin. Parasitic Diseases. 6th edition. Parasites
Without Borders. Inc. NY 590 . 2017.
3. Panduan Praktek Klinis bagi dokter di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Primer, PB IDI
4. CDC. Parasites-taeniasis [Internet]. USA; 2017 Dec 17th [cited 2020 Dec 22th].
Available at: CDC - DPDx - Schistosomiasis Infection

Anda mungkin juga menyukai